News:

Semoga anda berbahagia _/\_

Main Menu

Kebenaran adalah satu atau banyak!

Started by Peacemind, 13 April 2010, 02:48:47 PM

Previous topic - Next topic

0 Members and 1 Guest are viewing this topic.

seniya

Thx atas penjelasan,rekan2 se-Dhamma sekalian.
_/\_
"Holmes once said not to allow your judgement to be biased by personal qualities, and emotional qualities are antagonistic to clear reasoning."
~ Shinichi Kudo a.k.a Conan Edogawa

Peacemind

Quote from: Jerry on 13 April 2010, 07:23:50 PM
Quote from: Peacemind on 13 April 2010, 02:48:47 PM
         Suttanipaya syair 890 menyebutkan kebenaran adalah satu dan tidak ada yang kedua (ekañhi saccaṃ na dutīyamatthi). Namun demikian, Khotbah2 Sang Buddha menyatakan adanya empat kebenaran mulia (cattaro ariyasaccaṃ), sementara Abhidhamma mengatakan adanya empat kebenaran tertinggi lainnya  (catudhā paramattho) yakni citta, cetasika, rūpa dan Nibbāna. Pertanyaannya, bagaimana pernyataan2 di atas berbeda antara satu dengan lainnya. Padahal, yang menjadi unik dalam ajaran Buddha adalah bahwa keseluruhan ajaran beliau memiliki koneksi antara satu dengan lainnya.

       Bagaimana pendapat teman-teman di sini untuk menanggapi kasus di atas?
Saya melihat bahwa empat kebenaran tertinggi yang dinyatakan dalam Abhidhamma pada dasarnya masih dicakupi oleh empat kebenaran mulia yang diajarkan Sang Buddha.
Citta, cetasika, rupa dan Nibbana itu sendiri merupakan bagian dari empat kebenaran mulia di mana citta, cetasika, rupa dapat dimasukkan dalam kategori "Kebenaran mulia mengenai penderitaan" (Dukkha ariya sacca). Dikatakan oleh Sang Buddha, "Apakah penderitaan itu? Lahir, sakit, tua, mati, kekecewaan, ratap tangis, kesakitan, kesedihan, keputusasaan, berpisah dari yang disenangi, berkumpul dengan yang tidak disenangi, tidak mendapatkan yang diinginkan adalah penderitaan. Singkatnya, kelima kelompok kemelekatan adalah penderitaan." Citta, cetasika, rupa itu sendiri merupakan bagian dari lima kelompok kemelekatan (pancupadanakkhandha).
Sedangkan untuk Nibbana, Nibbana merupakan inti dari "Kebenaran mulia mengenai akhir dari penderitaan" (Dukkha nirodha ariya sacca).

In short: Tertinggi belum tentu mulia. Mulia sudah tentu tertinggi. ;)

_/\_

Penjelasan yang sangat baik. Tapi belum dijelaskan tentang koneksinya dengan kebenaran adalah satu. Bisa dijelaskan? Thanks.


ryu

mungkin konteksnya kebenaran yang dimaksud kebenaran yang apa adanya, contoh pemahaman nibbana ya memang satu bukan yang lain, kalau yang lain ada menyebut nibbana dilihat apa kebenaran nibbana ajartan buddha dengan ajaran lain sama atau beda, itu bisa kita aplikasikan ke yang lain.
Janganlah memperhatikan kesalahan dan hal-hal yang telah atau belum dikerjakan oleh diri sendiri. Tetapi, perhatikanlah apa yang telah dikerjakan dan apa yang belum dikerjakan oleh orang lain =))

Jerry

Quote from: Peacemind on 14 April 2010, 11:44:32 AM
Quote from: Jerry on 13 April 2010, 07:23:50 PM
Quote from: Peacemind on 13 April 2010, 02:48:47 PM
         Suttanipaya syair 890 menyebutkan kebenaran adalah satu dan tidak ada yang kedua (ekañhi saccaṃ na dutīyamatthi). Namun demikian, Khotbah2 Sang Buddha menyatakan adanya empat kebenaran mulia (cattaro ariyasaccaṃ), sementara Abhidhamma mengatakan adanya empat kebenaran tertinggi lainnya  (catudhā paramattho) yakni citta, cetasika, rūpa dan Nibbāna. Pertanyaannya, bagaimana pernyataan2 di atas berbeda antara satu dengan lainnya. Padahal, yang menjadi unik dalam ajaran Buddha adalah bahwa keseluruhan ajaran beliau memiliki koneksi antara satu dengan lainnya.

       Bagaimana pendapat teman-teman di sini untuk menanggapi kasus di atas?
Saya melihat bahwa empat kebenaran tertinggi yang dinyatakan dalam Abhidhamma pada dasarnya masih dicakupi oleh empat kebenaran mulia yang diajarkan Sang Buddha.
Citta, cetasika, rupa dan Nibbana itu sendiri merupakan bagian dari empat kebenaran mulia di mana citta, cetasika, rupa dapat dimasukkan dalam kategori "Kebenaran mulia mengenai penderitaan" (Dukkha ariya sacca). Dikatakan oleh Sang Buddha, "Apakah penderitaan itu? Lahir, sakit, tua, mati, kekecewaan, ratap tangis, kesakitan, kesedihan, keputusasaan, berpisah dari yang disenangi, berkumpul dengan yang tidak disenangi, tidak mendapatkan yang diinginkan adalah penderitaan. Singkatnya, kelima kelompok kemelekatan adalah penderitaan." Citta, cetasika, rupa itu sendiri merupakan bagian dari lima kelompok kemelekatan (pancupadanakkhandha).
Sedangkan untuk Nibbana, Nibbana merupakan inti dari "Kebenaran mulia mengenai akhir dari penderitaan" (Dukkha nirodha ariya sacca).

In short: Tertinggi belum tentu mulia. Mulia sudah tentu tertinggi. ;)

_/\_

Penjelasan yang sangat baik. Tapi belum dijelaskan tentang koneksinya dengan kebenaran adalah satu. Bisa dijelaskan? Thanks.


Sebelumnya, dalam Suttanipata 890 adakah Sang Buddha menjelaskan me-refer kepada apakah ungkapan "ekañhi saccaṃ na dutīyamatthi" itu?
appamadena sampadetha

ryu

apakah dalam sutta ini?

CULAVIYUHA SUTTA
Penanya: Beberapa orang yang mengukuhi pandangan mereka sendiri saja, akan masuk ke dalam pertikaian dengan orang-orang lain. Masing-masing menyatakan bahwa hanya dia sendirilah satu-satunya pakar dan menyatakan: 'Orang yang memahami ini berarti mengetahui Kebenaran; siapa yang menolak ini berarti tidak sempurna.'

Maka, setelah masuk ke dalam perdebatan, mereka berselisih paham [di antara mereka sendiri]. Mereka mengatakan, 'Orang itu tolol, bukan pakar.' Karena semuanya ahli berbicara, pernyataan manakah yang benar?

Sang Buddha: Jika orang yang tidak memiliki toleransi terhadap pandangan orang lain adalah orang tolol, orang yang dungu dan bodoh, maka mereka semua adalah orang-orang tolol yang tidak memiliki pemahaman, karena semuanya hanya mengukuhi pandangan-pandangan mereka [sendiri] saja.

Jika karena pandangan maka orang bisa menjadi suci, murni dalam kebijaksanaan, ahli dan pandai -- berarti tidak ada satu pun di antara mereka yang lebih rendah kebijaksanaannya, karena mereka semuanya telah sama-sama sampai pada pandangan-pandangan [dogmatis].

Aku tidak mengatakan bahwa apa pun yang disarankan oleh setiap orang tolol merupakan kebenaran. Merekalah yang membenarkan pandangan-pandangan mereka sendiri. Karena itu, mereka memutuskan bahwa orang lain adalah tolol.

Sang Buddha: Kebenaran memang hanya satu dan mereka yang mengetahui kebenaran itu tidak memperdebatkannya. Tidak ada [pandangan] kedua. Karena dicetuskannya berbagai pandangan yang berbeda, maka para pertapa tidak mengatakan satu pandangan dan mereka tidak mengatakan hal yang sama.

Penanya: Mengapa mereka yang berselisih dan mengemukakan diri sebagai pakar menyatakan 'kebenaran-kebenaran' yang amat berbeda-beda? Apakah pada realitasnya memang ada kebenaran-kebenaran yang berbeda-beda atau apakah mereka hanya mengikuti penalaran mereka sendiri saja?

Sang Buddha: Tidak ada banyak kebenaran yang berbeda-beda di dunia ini kecuali kebenaran yang dinalarkan oleh persepsi [yang salah]. Karena memiliki pandangan dengan cara berpikir yang menyesatkan, mereka menyatakan dualisme -- 'Ini salah dan itu benar.'

Orang tolol bergantung pada apa yang dilihat, didengar, atau dikognisi, juga pada peraturan atau ritual serta memandang rendah orang-orang lain dan mengatakan 'Orang itu tolol, orang yang tidak sempurna.' Dia menentukan penilaiannya sendiri dan merasa bahagia dengan penilaian itu.

Hanya karena dia menganggap yang lain tolol sehingga dia menyebut dirinya ahli, orang yang menyebut dirinya ahli ini menghina dirinya sendiri dan menghina orang lain.

Orang yang dipenuhi pandangan-pandangan yang kaku dan mati, yang dibuai kesombongan dan kecongkakan, yang menganggap dirinya 'sempurna', akan terpaku di dalam opininya sendiri karena dia memegang erat-erat pandangannya sendiri.

Jika orang menjadi rendah karena kata-kata orang lain, maka dia menjadi orang yang rendah kebijaksanaannya bila bersama orang itu. Dan jika dengan usaha sendiri orang menjadi terampil dan bijaksana, maka tak seorang pun di antara pertapa itu yang merupakan orang tolol.

'Mereka yang menyatakan pandangan doktrin yang berbeda dari ini berarti telah salah memahami.' Demikianlah para orang bida'ah, (yang memiliki kepercayaan yang berbeda dengan kepercayaan umum) mencetuskan banyak pandangan yang berbeda karena mereka melekat pada pandangan-pandangan mereka sendiri.

Mereka yang melekat pada pandangan-pandangan mereka [sendiri] bertahan bahwa pada diri merekalah terdapat kemurnian [pandangan], dan mereka menyangkal kemurnian [pandangan] di dalam doktrin lain. Demikianlah para orang bida'ah melekat secara mendalam pada pandangan mereka sendiri.

Para orang bida'ah yang kukuh bertahan bahwa pandangan mereka sendirilah yang benar, orang lain mana yang akan disebutnya orang tolol? Dia yang menyebut orang lain 'orang tolol' dan 'pemegang doktrin yang tidak murni' benar-benar akan mengundang perselisihan.

Karena berdiri kaku di atas pandangannya sendiri dan bergantung pada kriterianya sendiri, dia memasuki perselisihan di dunia. Dengan berhenti dari segala teori, orang bijaksana tidak memasuki perselisihan di dunia.
Janganlah memperhatikan kesalahan dan hal-hal yang telah atau belum dikerjakan oleh diri sendiri. Tetapi, perhatikanlah apa yang telah dikerjakan dan apa yang belum dikerjakan oleh orang lain =))

tesla

kebenaran cuma 1, disini & sekarang.
yg banyak itu cara mendeskripsikan.
Lepaskan keserakahan akan kesenangan. Lihatlah bahwa melepaskan dunia adalah kedamaian. Tidak ada sesuatu pun yang perlu kau raup, dan tidak ada satu pun yang perlu kau dorong pergi. ~ Buddha ~

Peacemind

Quote from: Jerry on 14 April 2010, 12:34:07 PM
Sebelumnya, dalam Suttanipata 890 adakah Sang Buddha menjelaskan me-refer kepada apakah ungkapan "ekañhi saccaṃ na dutīyamatthi" itu?

Lebih jelasnya apa yang dimaksud Sang Buddha tentang kebenaran hanya satu, anda bisa lihat Cūḷaviyūhasutta yang dikutip oleh Saudara Ryu. Syair yang dimaksud adalah:

"Kebenaran memang hanya satu dan mereka yang mengetahui kebenaran itu tidak memperdebatkannya. Tidak ada [pandangan] kedua. Karena dicetuskannya berbagai pandangan yang berbeda, maka para pertapa tidak mengatakan satu pandangan dan mereka tidak mengatakan hal yang sama."

Namun coba bandingkan dengan terjemahan Inggris dari Prof. Jayawickrama (The most seniour and leading Pali teacher in Sri Lanka):

"Truth is but one, there is no second regarding which the knowing folk shall not dispute; they themselves acclaim diverse truths: therefore recluses do not say one thing (uniformly)".

Jerry

Quote from: Peacemind on 14 April 2010, 02:23:53 PM
Quote from: Jerry on 14 April 2010, 12:34:07 PM
Sebelumnya, dalam Suttanipata 890 adakah Sang Buddha menjelaskan me-refer kepada apakah ungkapan "ekañhi saccaṃ na dutīyamatthi" itu?

Lebih jelasnya apa yang dimaksud Sang Buddha tentang kebenaran hanya satu, anda bisa lihat Cūḷaviyūhasutta yang dikutip oleh Saudara Ryu. Syair yang dimaksud adalah:

"Kebenaran memang hanya satu dan mereka yang mengetahui kebenaran itu tidak memperdebatkannya. Tidak ada [pandangan] kedua. Karena dicetuskannya berbagai pandangan yang berbeda, maka para pertapa tidak mengatakan satu pandangan dan mereka tidak mengatakan hal yang sama."

Namun coba bandingkan dengan terjemahan Inggris dari Prof. Jayawickrama (The most seniour and leading Pali teacher in Sri Lanka):

"Truth is but one, there is no second regarding which the knowing folk shall not dispute; they themselves acclaim diverse truths: therefore recluses do not say one thing (uniformly)".
Kira2 apa perbedaannya menurut Samanera ya? tentang kalimat I dari kutipan Cek Ryu dan kalimat II dari Prof. Jayawickrama?
appamadena sampadetha

Nevada

#23
Quote from: Peacemind on 13 April 2010, 02:48:47 PM
         Suttanipaya syair 890 menyebutkan kebenaran adalah satu dan tidak ada yang kedua (ekañhi saccaṃ na dutīyamatthi). Namun demikian, Khotbah2 Sang Buddha menyatakan adanya empat kebenaran mulia (cattaro ariyasaccaṃ), sementara Abhidhamma mengatakan adanya empat kebenaran tertinggi lainnya  (catudhā paramattho) yakni citta, cetasika, rūpa dan Nibbāna. Pertanyaannya, bagaimana pernyataan2 di atas berbeda antara satu dengan lainnya. Padahal, yang menjadi unik dalam ajaran Buddha adalah bahwa keseluruhan ajaran beliau memiliki koneksi antara satu dengan lainnya.

       Bagaimana pendapat teman-teman di sini untuk menanggapi kasus di atas?

Kebenaran hanya ada satu, yaitu "segala sesuatu timbul karena suatu sebab, dan ada cara untuk menghentikan penyebab selanjutnya". Kebenaran ini dapat diurai menjadi 4 Kebenaran Mulia, yaitu kebenaran tentang dukkha, kebenaran tentang asal mula dukkha, kebenaran tentang akhir dukkha dan kebenaran tentang jalan menuju terhentinya dukkha. Segala sesuatu yang timbul dikarenakan oleh suatu sebab adalah citta, cetasika dan rupa; sedangkan terhentinya sebab selanjutnya adalah Nibbana.

Jadi Kebenaran hanya ada satu; namun diuraikan secara terampil oleh Sang Buddha pada masing-masing konteks yang berbeda.

fabian c

Quote from: upasaka on 14 April 2010, 03:35:14 PM
Quote from: Peacemind on 13 April 2010, 02:48:47 PM
         Suttanipaya syair 890 menyebutkan kebenaran adalah satu dan tidak ada yang kedua (ekañhi saccaṃ na dutīyamatthi). Namun demikian, Khotbah2 Sang Buddha menyatakan adanya empat kebenaran mulia (cattaro ariyasaccaṃ), sementara Abhidhamma mengatakan adanya empat kebenaran tertinggi lainnya  (catudhā paramattho) yakni citta, cetasika, rūpa dan Nibbāna. Pertanyaannya, bagaimana pernyataan2 di atas berbeda antara satu dengan lainnya. Padahal, yang menjadi unik dalam ajaran Buddha adalah bahwa keseluruhan ajaran beliau memiliki koneksi antara satu dengan lainnya.

       Bagaimana pendapat teman-teman di sini untuk menanggapi kasus di atas?

Kebenaran hanya ada satu, yaitu "segala sesuatu timbul karena suatu sebab, dan ada cara untuk menghentikan penyebab selanjutnya". Kebenaran ini dapat diurai menjadi 4 Kebenaran Mulia, yaitu kebenaran tentang dukkha, kebenaran tentang asal mula dukkha, kebenaran tentang akhir dukkha dan kebenaran tentang jalan menuju terhentinya dukkha. Segala sesuatu yang timbul dikarenakan oleh suatu sebab adalah citta, cetasika dan rupa; sedangkan terhentinya sebab selanjutnya adalah Nibbana.

Jadi Kebenaran hanya ada satu; namun diuraikan secara terampil oleh Sang Buddha pada masing-masing konteks yang berbeda.

Itulah satu-satunya kebenaran mengenai hakekat sebenarnya kehidupan dan jalan akhirnya....

_/\_
Tiga hal ini, O para bhikkhu dilakukan secara rahasia, bukan secara terbuka.
Bercinta dengan wanita, mantra para Brahmana dan pandangan salah.

Tiga hal ini, O para Bhikkhu, bersinar secara terbuka, bukan secara rahasia.
Lingkaran rembulan, lingkaran matahari serta Dhamma dan Vinaya Sang Tathagata

Peacemind

Quote from: Jerry on 14 April 2010, 03:19:33 PM
Quote from: Peacemind on 14 April 2010, 02:23:53 PM
Quote from: Jerry on 14 April 2010, 12:34:07 PM
Sebelumnya, dalam Suttanipata 890 adakah Sang Buddha menjelaskan me-refer kepada apakah ungkapan "ekañhi saccaṃ na dutīyamatthi" itu?

Lebih jelasnya apa yang dimaksud Sang Buddha tentang kebenaran hanya satu, anda bisa lihat Cūḷaviyūhasutta yang dikutip oleh Saudara Ryu. Syair yang dimaksud adalah:

"Kebenaran memang hanya satu dan mereka yang mengetahui kebenaran itu tidak memperdebatkannya. Tidak ada [pandangan] kedua. Karena dicetuskannya berbagai pandangan yang berbeda, maka para pertapa tidak mengatakan satu pandangan dan mereka tidak mengatakan hal yang sama."

Namun coba bandingkan dengan terjemahan Inggris dari Prof. Jayawickrama (The most seniour and leading Pali teacher in Sri Lanka):

"Truth is but one, there is no second regarding which the knowing folk shall not dispute; they themselves acclaim diverse truths: therefore recluses do not say one thing (uniformly)".
Kira2 apa perbedaannya menurut Samanera ya? tentang kalimat I dari kutipan Cek Ryu dan kalimat II dari Prof. Jayawickrama?

Sebenarnya pada intinya tidak ada perbedaan sih. Cuma yang diterjemahkan ke bahasa Indonesia, ada kalimat tambahan, "mereka tidak mengatakan hal yang sama" yang mana merupakan pengulangan dari kalimat "para pertapa tidak mengatakan pandangan yang sama / recluses do not say one thing / na ekaṃ samaṇa vadanti".

Peacemind

Quote from: upasaka on 14 April 2010, 03:35:14 PM
Quote from: Peacemind on 13 April 2010, 02:48:47 PM
         Suttanipaya syair 890 menyebutkan kebenaran adalah satu dan tidak ada yang kedua (ekañhi saccaṃ na dutīyamatthi). Namun demikian, Khotbah2 Sang Buddha menyatakan adanya empat kebenaran mulia (cattaro ariyasaccaṃ), sementara Abhidhamma mengatakan adanya empat kebenaran tertinggi lainnya  (catudhā paramattho) yakni citta, cetasika, rūpa dan Nibbāna. Pertanyaannya, bagaimana pernyataan2 di atas berbeda antara satu dengan lainnya. Padahal, yang menjadi unik dalam ajaran Buddha adalah bahwa keseluruhan ajaran beliau memiliki koneksi antara satu dengan lainnya.

       Bagaimana pendapat teman-teman di sini untuk menanggapi kasus di atas?

Kebenaran hanya ada satu, yaitu "segala sesuatu timbul karena suatu sebab, dan ada cara untuk menghentikan penyebab selanjutnya". Kebenaran ini dapat diurai menjadi 4 Kebenaran Mulia, yaitu kebenaran tentang dukkha, kebenaran tentang asal mula dukkha, kebenaran tentang akhir dukkha dan kebenaran tentang jalan menuju terhentinya dukkha. Segala sesuatu yang timbul dikarenakan oleh suatu sebab adalah citta, cetasika dan rupa; sedangkan terhentinya sebab selanjutnya adalah Nibbana.

Jadi Kebenaran hanya ada satu; namun diuraikan secara terampil oleh Sang Buddha pada masing-masing konteks yang berbeda.

Penjelasan yang luar biasa. Namun saya melihat penjelasan mengenai kebenaran hanya ada satu hanya mencakup tentang tentang kebenaran dukkha, sebab dukkha dan jalan untuk melenyapkan dukkha saja. Segala sesuatu timbul karena sebab: 'segala sesuatu = dukkha, karena sebab = dukkhasamudaya. Sementara itu, kalimat, 'ada cara untuk menghentikan penyebab selanjutnya' merupakan kata lain sebagai dukkhanirodhagaminipatipada / jalan untuk melenyapkan dukkha. Dalam penjelasan ini, dukkhanirodha / lenyapnya dukkha / nibbāna tidak disebutkan.

Jerry

Quote from: Peacemind on 14 April 2010, 11:44:32 AM
Quote from: Jerry on 13 April 2010, 07:23:50 PM
Quote from: Peacemind on 13 April 2010, 02:48:47 PM
         Suttanipaya syair 890 menyebutkan kebenaran adalah satu dan tidak ada yang kedua (ekañhi saccaṃ na dutīyamatthi). Namun demikian, Khotbah2 Sang Buddha menyatakan adanya empat kebenaran mulia (cattaro ariyasaccaṃ), sementara Abhidhamma mengatakan adanya empat kebenaran tertinggi lainnya  (catudhā paramattho) yakni citta, cetasika, rūpa dan Nibbāna. Pertanyaannya, bagaimana pernyataan2 di atas berbeda antara satu dengan lainnya. Padahal, yang menjadi unik dalam ajaran Buddha adalah bahwa keseluruhan ajaran beliau memiliki koneksi antara satu dengan lainnya.

       Bagaimana pendapat teman-teman di sini untuk menanggapi kasus di atas?
Saya melihat bahwa empat kebenaran tertinggi yang dinyatakan dalam Abhidhamma pada dasarnya masih dicakupi oleh empat kebenaran mulia yang diajarkan Sang Buddha.
Citta, cetasika, rupa dan Nibbana itu sendiri merupakan bagian dari empat kebenaran mulia di mana citta, cetasika, rupa dapat dimasukkan dalam kategori "Kebenaran mulia mengenai penderitaan" (Dukkha ariya sacca). Dikatakan oleh Sang Buddha, "Apakah penderitaan itu? Lahir, sakit, tua, mati, kekecewaan, ratap tangis, kesakitan, kesedihan, keputusasaan, berpisah dari yang disenangi, berkumpul dengan yang tidak disenangi, tidak mendapatkan yang diinginkan adalah penderitaan. Singkatnya, kelima kelompok kemelekatan adalah penderitaan." Citta, cetasika, rupa itu sendiri merupakan bagian dari lima kelompok kemelekatan (pancupadanakkhandha).
Sedangkan untuk Nibbana, Nibbana merupakan inti dari "Kebenaran mulia mengenai akhir dari penderitaan" (Dukkha nirodha ariya sacca).

In short: Tertinggi belum tentu mulia. Mulia sudah tentu tertinggi. ;)

_/\_

Penjelasan yang sangat baik. Tapi belum dijelaskan tentang koneksinya dengan kebenaran adalah satu. Bisa dijelaskan? Thanks.
Kalau begitu, kembali ke topik.. Menurut saya, kebenaran hanya ada satu. Tapi berdasarkan kondisi ada 2: Kondisi duniawi (lokiya) dan adiduniawi (lokuttara). Kebenaran dalam kondisi duniawi adalah dukkha sedangkan kebenaran dalam kondisi adiduniawi adalah nibbana. Tidak mungkin bagi kita untuk mengatakan bahwa salah 1 dari ke-2 kebenaran di atas tidaklah eksis: apakah Nibbana salah dan Dukkha-lah yang benar? Atau apakah Nibbana benar dan Dukkha-lah yang salah? Dalam kaitannya dengan 4KT Abhidhamma: Citta, cetasika, rupa termasuk dalam kebenaran kondisi duniawi sedangkan Nibbana termasuk dalam kebenaran kondisi adiduniawi. Yang 1 merupakan awal, sedangkan yang lain merupakan akhir. Yang 1 dicirikan oleh tanha, yang lain dicirikan oleh tiadanya tanha. Yang mana pun tidak dapat eksis bersama-sama. Saat yang 1 ada, maka yang lain tidak ada. Karena itu dikatakan Kebenaran hanya ada satu. Ke-2 kebenaran ini disatukan dalam harmoni dan dijabarkan dalam 4KM. 4KM lah wajah kebenaran yang sesungguhnya menurut Sang Buddha.
appamadena sampadetha

seniya

Quote from: Peacemind on 14 April 2010, 03:52:47 PM
Quote from: upasaka on 14 April 2010, 03:35:14 PM
Kebenaran hanya ada satu, yaitu "segala sesuatu timbul karena suatu sebab, dan ada cara untuk menghentikan penyebab selanjutnya". Kebenaran ini dapat diurai menjadi 4 Kebenaran Mulia, yaitu kebenaran tentang dukkha, kebenaran tentang asal mula dukkha, kebenaran tentang akhir dukkha dan kebenaran tentang jalan menuju terhentinya dukkha. Segala sesuatu yang timbul dikarenakan oleh suatu sebab adalah citta, cetasika dan rupa; sedangkan terhentinya sebab selanjutnya adalah Nibbana.

Jadi Kebenaran hanya ada satu; namun diuraikan secara terampil oleh Sang Buddha pada masing-masing konteks yang berbeda.

Penjelasan yang luar biasa. Namun saya melihat penjelasan mengenai kebenaran hanya ada satu hanya mencakup tentang tentang kebenaran dukkha, sebab dukkha dan jalan untuk melenyapkan dukkha saja. Segala sesuatu timbul karena sebab: 'segala sesuatu = dukkha, karena sebab = dukkhasamudaya. Sementara itu, kalimat, 'ada cara untuk menghentikan penyebab selanjutnya' merupakan kata lain sebagai dukkhanirodhagaminipatipada / jalan untuk melenyapkan dukkha. Dalam penjelasan ini, dukkhanirodha / lenyapnya dukkha / nibbāna tidak disebutkan.

Mungkin kebenaran yang dimaksud adalah seperti yang terkandung pada syair yang diajarkan YA Assaji kepada Upatissa (Sariputta):

Quote
Segala fenomena muncul dari sebab
Sebab tersebut dan penghentiannya
Inilah ajaran Sang Tathagata
Sang Pertapa Agung

Ditambah dengan rumusan umum hukum sebab akibat yang saling bergantungan berikut:

Quote
Dengan adanya ini, maka terjadilah itu.
Dengan timbulnya ini, maka timbulah itu.
Dengan tidak adanya ini, maka tidak adalah itu.
Dengan terhentinya ini, maka terhentilah juga itu.

Keduanya mengandung makna yang sama: Kebenaran yang diajarkan Sang Buddha adalah sebab , akibat dan penghentiannya. Disini sebab = sebab dukkha, akibat = dukkha, penghentian = pelenyapan dukkha (Nibbana). Tentu saja secara tersirat penghentian ini juga mencakup jalan menuju penghentian tersebut karena penghentian (dengan melenyapkan sebab) merupakan aspek teoritis yang memerlukan jalan menuju penghentian tersebut (bagaimana melenyapkan sebab) sebagai prakteknya.
"Holmes once said not to allow your judgement to be biased by personal qualities, and emotional qualities are antagonistic to clear reasoning."
~ Shinichi Kudo a.k.a Conan Edogawa

hendrako

Ikutan beropini:

Kebenaran itu cuman satu, yaitu sifat ke-benar-an-nya.
Segala sesuatu (yang jumlahnya tak terbayangkan) memancarkan kebenaran, yaitu sebagaimana adanya = benar.

4KM, walaupun ada angka 4 sebenarnya cuman 1 kebenaran, yaitu sifatnya yang benar.
Bukan jumlah ayatnya dihitung sebagai beberapa kebenaran, namun sifatnya dari masing2 ayat adalah Benar.

4KM adalah rumusan yang ditemukan oleh Buddha yang dipilah dari segala sesuatu yang bersifat benar yang apabila dipahami akan membawa pada ke-Benar-an.

Tentang citta, cetasika, rupa, dan Nibbana, saya memandangnya sebagai manifestasi lain dari 4KM, yaitu rupa=dukkha, cetasika=sumber dukkha, Nibbana=padamnya dukkha, dan citta=jalan menuju padamnya dukkha.

Pada suatu hari Sang Buddha berada di hutan Simsapa di Kosambi (dekat Allahabad). Beliau kemudian mengambil segenggam daun di tangan-Nya dan bertanya kepada para bhikkhu:
"Coba katakan, O bhikkhu. Mana yang lebih banyak, daun yang ada di genggaman-Ku ataukah daun yang ada di hutan ini?"

"Tentu saja daun yang ada di hutan ini lebih banyak daripada daun yang ada di dalam genggaman tangan Bhante."

"Begitulah juga, O bhikkhu, dari apa yang Aku tahu hanya sebagian kecil saja yang telah Aku ajarkan kepadamu dan bagian yang terbesar lagi tidak Aku ajarkan. Mengapa Aku berbuat demikian? Oleh karena hal-hal itu tidak berguna ... tidak akan membawamu ke Nibbana. Oleh karena itulah Aku tidak ajarkan hal-hal yang demikian itu kepadamu." (Samyutta Nikaya XXII 94)



yaa... gitu deh