News:

Semoga anda berbahagia _/\_

Main Menu

Kelirumologi ala Buddhis

Started by Mr. Wei, 06 January 2010, 02:01:00 AM

Previous topic - Next topic

0 Members and 1 Guest are viewing this topic.

Mr. Wei


Mr. Wei

Gw ringkas ya gabungan dari bro hatRed dan bro Markos:

Tisarana
Dalam Tīsarana (Tiga perlindungan) tertulis:

Buddhaṁ Saranaṁ Gacchāmi
Dhammaṁ Saranaṁ Gacchāmi
Saṅghaṁ Saranaṁ Gacchāmi

Umumnya, ketiga bait syair di atas diartikan menjadi:

Aku berlindung kepada Buddha
Aku berlindung kepada Dhamma
Aku berlindung kepada Saṅgha

Kata 'berlindung' dalam syair di atas sering dikelirupahamkan bahwa Buddha, Dhamma, dan Saṅgha dapat/bisa dijadikan tempat juru selamat dari mara bahaya atau apapun; padahal sudah jelas kalau setiap makhluk berada dalam naungan kamma/karmanya masing-masing. Makna syair ini sebenarnya adalah:

Aku berlindung kepada Buddha = menjadikan Buddha sebagai guru agung kita.
Aku berlindung kepada Dhamma = menjadikan Dhamma sebagai penunjuk tujuan spiritual kita.
Aku berlindung kepada Saṅgha = menjadikan Saṅgha sebagai teladan yang sudah menjalankan Dhamma dan mencapai tujuan spiritual tersebut (Nibbana).

exam

gue suka nih, anti pembodohan, emang musti begini, biar makin cerdas
SALUT

kusalaputto

Quote from: markosprawira on 06 January 2010, 04:46:34 PM
kalo boleh saya jelaskan bro, justru disinilah permasalahannya yaitu kita melihat pada individunya

padahal yg dimaksud dengan Tisarana disini sebenarnya adalah Nibbana
Buddha sebagai guru yg mengajarkan
Dhamma sebagai penunjuk jalan
Sangha sebagai murid yg sudah menjalankan Dhamma dan mencapai Nibbana

jadi berlindung disini sesungguhnya adalah tekad utk berusaha mencapai nibbana

kalo kita melihat secara harafiah saja, tentunya sulit dan jadi rancu.
Misal jika kita melihat sangha sebagai individu, akan jadi rancu dan aneh jika kita lihat kembali pada Berlindung kepada Buddha
kita berlindung kepada Buddha yg udah udah padam panca khandhanya?  ;D

jadi hendaknya pernyataan2 itu kita lihat secara keseluruhan karena kalau ditafsirkan terpisah, akan bisa jadi bias

hal ini yg sering terjadi misal pada karaniya metta sutta, ada seorang rekan yang mengkritisi metta sebagai cinta yg egois karena berdasar pada baris :
Bagaikan seorang ibu mempertaruhkan nyawanya
untuk melindungi anaknya yg tunggal

padahal jika kita lihat baris2 selanjutnya :
Demikianlah terhadap semua mahluk
dipancarkannya kasih sayang tanpa batas 

sangat berbeda sekali maknanya khan?  _/\_


semoga bermanfaat
thx bro markos atas masukannya memang kita ga boleh melihat individunya aja ^:)^, tapi sebagai buddhis saya tidak akan tinggal diam ketika seseorang meremehkan mereka yang telah menjadi bhikkhu :ngomel: karena menjadi bhikkhu bukan perkara mudah harus ada niat n ijin dari keluarga & menurut saya mereka yang menjalani hidup kebhikkhuan adalah mereka yang menjalankan buddha dhamma dengan sngat serius  :>- d banding kita yang mungkin mengetahui teori lebih banyak dari mereka n merasa lebih pintar dari mereka  [-X tapi kita harus sadar merekalah yang lebih banyak praktek n membimbing umat di banding dengan kita semua di dc ini. maksud saya disini ada baiknya kita tidak mendiskreditkan bhikkhu, jangan karena nila setitik rusak susu se belanga :no:
no offense just only catenacio ;D ;D
_/\_ _/\_ _/\_
semoga kamma baik saya melindungi saya, semoga kamma baik saya mengkondisikan saya menemukan seseorang yang baik pada saya dan anak saya, semoga kamma baik saya mengkondisikan tujuan yang ingin saya capai, semoga saya bisa meditasi lebih lama.

hatRed

 [at] putta baik

silahkan junjung tinggi usaha mereka menjadi bhikkhu,

tapi saya lebih prefer menilai usaha mereka dalam menjalani kebhikkhuan....

apa arti menjadi seorang bhikkhu?
i'm just a mammal with troubled soul



markosprawira

mari kita kembalikan pada sebagaimana mestinya.....

jika ada bhikkhu yg berbuat hal yg tidak baik, tentunya itu adalah perorangan, bukan mencerminkan keseluruhan sangha
sama seperti jika saya berlaku salah, apakah itu berarti seluruh keluarga saya harus dimaki juga?  ;D

bahkan saat seorang bhikkhu berprilaku yg tidak benar pun, namun jika dia mengucapkan hal2 yg bermanfaat, kita harus mengakui bhw itu adalah hal yg bermanfaat

tapi bukan berarti juga, kita jadi mengkultuskan atau berasumsi bhw karena seorang bhikkhu sudah mengambil ikrar, lalu berarti semua tindak tanduknya pasti benar (menilai isi hanya berdasar dari bungkusnya saja)

mari lanjut ke topik semula, kelirumologi lagi...........

Mr. Wei

Raja
Dalam berbagai buku mengenai riwayat hidup Buddha Gotama, dikisahkan bahwa Siddhattha Gotama adalah anak seorang raja yang bernama Suddhodana. Namun dalam Bab Pendahuluan buku Dīgha Nikāya yang dibawakan oleh Bhikkhu Bodhi (diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh Dhammacitta Press, 2009) dijelaskan bahwa Suddhodana adalah seorang kepala suku, bukan seorang raja. Gelarnya memang rājā, tapi maknanya hanya sedikit berhubungan dengan makna raja dalam Bahasa Indonesia. Bhikkhu Bodhi memang seorang bhikkhu yang sangat terpelajar, jadi kira-kira kelirukah pernyataan beliau tersebut? Atau memang selama ini kita yang keliru tahu?

Nevada

Quote from: Mr. Wei on 09 January 2010, 12:13:57 AM
Raja
Dalam berbagai buku mengenai riwayat hidup Buddha Gotama, dikisahkan bahwa Siddhattha Gotama adalah anak seorang raja yang bernama Suddhodana. Namun dalam Bab Pendahuluan buku Dīgha Nikāya yang dibawakan oleh Bhikkhu Bodhi (diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh Dhammacitta Press, 2009) dijelaskan bahwa Suddhodana adalah seorang kepala suku, bukan seorang raja. Gelarnya memang rājā, tapi maknanya hanya sedikit berhubungan dengan makna raja dalam Bahasa Indonesia. Bhikkhu Bodhi memang seorang bhikkhu yang sangat terpelajar, jadi kira-kira kelirukah pernyataan beliau tersebut? Atau memang selama ini kita yang keliru tahu?

Siddhattha Gotama terlahir dari pernikahan Suddhodhana dengan Maha Maya; terlahir dengan nama keluarga (marga) "Gotama"; terlahir sebagai seorang keturunan Suku Sakya; tumbuh besar di daerah Kapilavatthu. Siddhattha Gotama adalah anak dari Suddhodana, yang menjabat sebagai Raja Kerajaan Sakya. Di India zaman dahulu, Suku Sakya adalah salah satu suku yang membumi di dekat lereng Pegunungan Himalaya. Suku Sakya ini berdiri sebagai "kerajaan kecil" di bawah Kerajaan Magadhi yang kala itu dipimpin oleh Raja Bimbisara.

Selama ini, banyak orang mengira bahwa ayah Siddhattha Gotama adalah seorang raja besar. Padahal Raja Suddhodhana hanyalah seorang raja kecil, yang memerintah "negara bagian" di dalam Kerajaan Besar Magadhi.

Tambahan ralat: Kitab Digha Nikaya terbitan DhammaCitta Press © 2009 itu diterjemahkan dari Bahasa Pali ke Bahasa Inggris oleh Maurice Walshe. :)

Mr. Wei

Waw, keren. Thanx buat infonya.

kamala

kerajaan kecil ?
selain istana kerajaan raja sudhodana menghadiahkan 3 istana sesuai untuk musim2 untuk membujuk pangeran siddhatta agar tidak melepas keduniawian
jadi seberapa kecilkah kerajaan ini
Daripada seribu kata yang tak berarti,
adalah lebih baik sepatah kata yang bermanfaat,
yang dapat memberi kedamaian kepada pendengarnya.

hatRed

Quote from: kamala on 09 January 2010, 10:44:23 AM
kerajaan kecil ?
selain istana kerajaan raja sudhodana menghadiahkan 3 istana sesuai untuk musim2 untuk membujuk pangeran siddhatta agar tidak melepas keduniawian
jadi seberapa kecilkah kerajaan ini

maksudnya dibanding Kerajaan Magadhi tadi, kerajaan Sakya itu masih terbilang imut2
i'm just a mammal with troubled soul



Nevada

Quote from: kamala on 09 January 2010, 10:44:23 AM
kerajaan kecil ?
selain istana kerajaan raja sudhodana menghadiahkan 3 istana sesuai untuk musim2 untuk membujuk pangeran siddhatta agar tidak melepas keduniawian
jadi seberapa kecilkah kerajaan ini

Ketika Pangeran Siddhattha Gotama mengadakan sayembara untuk mencari calon istrinya, hadir ribuan pangeran dan putri dari berbagai kerajaan. Bisa Anda bayangkan berapa banyak kerajaan di Tanah India pada masa itu?

Ya, sangat banyak. Dan salah satunya adalah Kerajaan Sakya. Kerajaan Sakya ini berada di daerah kekuasaan Magadha, yang kala itu dipimpin oleh Raja Bimbisara.

Sumedho

tentang 3 istana yah, mungkin definisi istana itu yg berbeda?
There is no place like 127.0.0.1

Mr. Wei

Kayaknya istilahnya Kerajaan Sakya itu kayak negara bagian kali ya?

Quote from: Sumedho on 09 January 2010, 11:16:49 AM
tentang 3 istana yah, mungkin definisi istana itu yg berbeda?

Kalau di Bahasa Inggris mank pake kata apa suhu?

Mr. Wei

#29
Quote from: Mr. Wei on 09 January 2010, 12:13:57 AM
Raja
Dalam berbagai buku mengenai riwayat hidup Buddha Gotama, dikisahkan bahwa Siddhattha Gotama adalah anak seorang raja yang bernama Suddhodana. Namun dalam Bab Pendahuluan buku Dīgha Nikāya yang dibawakan oleh Bhikkhu Bodhi (diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh Dhammacitta Press, 2009) dijelaskan bahwa Suddhodana adalah seorang kepala suku, bukan seorang raja. Gelarnya memang rājā, tapi maknanya hanya sedikit berhubungan dengan makna raja dalam Bahasa Indonesia. Bhikkhu Bodhi memang seorang bhikkhu yang sangat terpelajar, jadi kira-kira kelirukah pernyataan beliau tersebut? Atau memang selama ini kita yang keliru tahu?

Kalau diralat menjadi

Dalam berbagai buku mengenai riwayat hidup Buddha Gotama, dikisahkan bahwa Siddhattha Gotama adalah anak seorang raja yang bernama Suddhodana. Namun dalam pendahuluan buku Dīgha Nikāya yang dibawakan oleh Bhikkhu Bodhi (edisi Bahasa Indonesia diterbitkan oleh Dhammacitta Press & Giri Maṅgala, 2009) dijelaskan bahwa Suddhodana adalah seorang kepala suku, bukan seorang raja. Gelarnya memang rājā, tapi maknanya bukan berarti raja yang berarti penguasa sebuah negara, karena Raja Suddhodana hanyalah penguasa dari Kerajaan Sakya yang merupakan bagian dari Kerajaan Magadha. Kalau di zaman sekarang, mungkin Kerajaan Sakya bisa disamakan dengan negara bagian dan Kerajaan Magadhi adalah negara federasinya.

Gimana?