comotan dari blog tetangga

Started by bond, 27 July 2009, 11:11:16 AM

Previous topic - Next topic

0 Members and 1 Guest are viewing this topic.

ryu

biasanya kalau ga salah kita memanggil orang gila atau orang bodoh itu tidak punya pikiran khan ;D
Janganlah memperhatikan kesalahan dan hal-hal yang telah atau belum dikerjakan oleh diri sendiri. Tetapi, perhatikanlah apa yang telah dikerjakan dan apa yang belum dikerjakan oleh orang lain =))

hendrako

Orang gila biasanya dibilang: "terganggu" pikirannya.
Orang bodoh biasanya dibilang: Gak punya otak..
Orang ngeles biasanya bilang: Emangnye gue pikiran..??...eh ....pikirin...

:|


yaa... gitu deh

williamhalim

Buddha tidak pernah mengajarkan untuk 'menghentikan pikiran'.

Bukanlah pikiran yg bermasalah, yg sesungguhnya bermasalah adalah 'kemelekatan' 'Tanha' 'hawa nafsu' 'egoisme'. Pikiran2 yg diliputi hawa nafsu ini mesti kita arahkan dan kendalikan agar menjadi jernih dan tenang untuk merealisasi akhir dukkha.

Untuk itu, kita kembali ke referensi Tipitaka agar tidak berputar2 tak jelas atau menciptakan istilah2 sendiri:

Anguttara Nikaya; I, iii, 1-10

Tak ada hal lain yang kuketahui, O para bhikkhu, yang sangat sulit dikendalikan seperti pikiran yang tidak berkembang. Pikiran yang belum berkembang sungguh sangat sulit dikendalikan.

Tak ada hal lain yang kuketahui, O para bhikkhu, yang sangat mudah dikendalikan seperti pikiran yang telah berkembang. Pikiran yang telah berkembang sungguh mudah dikendalikan.

Tak ada hal lain yang kuketahui, O para bhikkhu, yang membawa sangat banyak penderitaan seperti pikiran yang tidak berkembang dan tidak dilatih. Pikiran yang tidak berkembang dan tidak dilatih sungguh membawa penderitaan.

Tidak ada hal lain yang kuketahui, O para bhikkhu, yang membawa sangat banyak kebahagiaan seperti pikiran yang telah berkembang dan dilatih. Pikiran yang telah berkembang dan dilatih sungguh membawa kebahagiaan.

::
Walaupun seseorang dapat menaklukkan beribu-ribu musuh dalam beribu kali pertempuran, namun sesungguhnya penakluk terbesar adalah orang yang dapat menaklukkan dirinya sendiri (Dhammapada 103)

ryu

Quote from: williamhalim on 07 August 2009, 02:35:22 PM
Buddha tidak pernah mengajarkan untuk 'menghentikan pikiran'.

Bukanlah pikiran yg bermasalah, yg sesungguhnya bermasalah adalah 'kemelekatan' 'Tanha' 'hawa nafsu' 'egoisme'. Pikiran2 yg diliputi hawa nafsu ini mesti kita arahkan dan kendalikan agar menjadi jernih dan tenang untuk merealisasi akhir dukkha.

Untuk itu, kita kembali ke referensi Tipitaka agar tidak berputar2 tak jelas atau menciptakan istilah2 sendiri:

Anguttara Nikaya; I, iii, 1-10

Tak ada hal lain yang kuketahui, O para bhikkhu, yang sangat sulit dikendalikan seperti pikiran yang tidak berkembang. Pikiran yang belum berkembang sungguh sangat sulit dikendalikan.

Tak ada hal lain yang kuketahui, O para bhikkhu, yang sangat mudah dikendalikan seperti pikiran yang telah berkembang. Pikiran yang telah berkembang sungguh mudah dikendalikan.

Tak ada hal lain yang kuketahui, O para bhikkhu, yang membawa sangat banyak penderitaan seperti pikiran yang tidak berkembang dan tidak dilatih. Pikiran yang tidak berkembang dan tidak dilatih sungguh membawa penderitaan.

Tidak ada hal lain yang kuketahui, O para bhikkhu, yang membawa sangat banyak kebahagiaan seperti pikiran yang telah berkembang dan dilatih. Pikiran yang telah berkembang dan dilatih sungguh membawa kebahagiaan.

::

maaf Sutta anda tidak valid =))
Janganlah memperhatikan kesalahan dan hal-hal yang telah atau belum dikerjakan oleh diri sendiri. Tetapi, perhatikanlah apa yang telah dikerjakan dan apa yang belum dikerjakan oleh orang lain =))

williamhalim

#259
tunggulah dulu, siapa tau diakui ;D

::
Walaupun seseorang dapat menaklukkan beribu-ribu musuh dalam beribu kali pertempuran, namun sesungguhnya penakluk terbesar adalah orang yang dapat menaklukkan dirinya sendiri (Dhammapada 103)

K.K.

Quote from: williamhalim on 07 August 2009, 01:46:24 PM
Quote from: Kainyn_Kutho on 07 August 2009, 12:49:23 PM

"Pikiran berhenti" ini memang istilah "kontroversial" yang tidak bisa langsung diambil kesimpulan tanpa pembahasan lebih jauh. Setelah beberapa kali diskusi dengan PH, saya sendiri (yang nota bene adalah "teoritis") menangkap maksudnya adalah "pikiran yang tidak dikondisikan sebuah bentuk pikiran masa lampau, juga tidak mengkondisikan bentuk pikiran baru", bukan semacam pikiran berhenti ketika pingsan atau tidak bergerak seperti dalam jhana. Memang sedikit heran buat saya mengapa para "praktisi" tidak mampu menangkap maksudnya.


(Yang di bold): Buddha sudah mengajarkan istilah yg lebih mudah dan gampang: KEMELEKATAN.

Jika kita sudah mulai mengikis sedikit demi sedikit KEMELEKATAN kita maka "bentuk2 Pikiran yang banyak maunya dan selalu membanding-bandingkan" perlahan2 akan mulai berkurang.

Bila KEMELEKATAN sudah mulai berkurang -karena adanya latihan (Sila, Samadhi, dan Panna)- maka Pikiran akan lebih tenang dan gampang diarahkan.

Jadi, menurut saya, tidak usah susah2 menciptakan istilah baru (yg kontroversial), yang memperumit pelajaran.

Saya jadi memahami sekarang, kenapa Buddha memaparkan "Dalam melihat hanya melihat... dstnya..." dan bukan mengatakan "Hentikan Pikiran"

::

Yah saya sih memang tidak menggunakan istilah tersebut dan juga tidak mendukung penggunaannya. Tetapi sedikitnya saya punya niat untuk mengerti orang lain terlebih dahulu sebelum mengatakan "sesat". Penggunaan bahasa seseorang dipengaruhi oleh kecenderungannya, pendidikannya dan juga lingkungan, tidak bisa kita pukul rata penggunaannya harus sama.



K.K.

Quote from: upasaka on 07 August 2009, 02:07:34 PM
Kalau menurut saya, makna dari "terhentinya pikiran" dalam kamus MMD itu berada di luar konsep Buddhisme.

Dalam Mulapariyaya Sutta (MN 1), dijelaskan tentang "akar" dari kemelekatan dan beda "pikiran" putthujjana, sekha, arahat, dan Samma Sambuddha.
Kalau dalam terjemahan Inggris, seorang putthujjana dikatakan "thinks it is mine"; seorang yang berlatih "should not think it's mine"; seorang ariya, "does not think it's mine". Menurut saya, "pikiran terhenti" yang dimaksud dalam MMD adalah terhentinya "think" -> "should not think" -> "does not think" tersebut.

Apakah di luar konsep Buddhisme? Apakah "does not think" berarti gila, pingsan, idiot, cuek, dlsb? Saya kembalikan lagi pada masing-masing.

g.citra

Dalam kondisi sadar, emang pikiran bisa berhenti? Sepertinya ini semua cuma masalah tulisan aja koq...;D

Toh dari yang saya tau aja, citta seorang ariya pugala masih berproses koq selama dia belum parinibbana...

K.K.

Quote from: g.citra on 07 August 2009, 04:54:19 PM
Dalam kondisi sadar, emang pikiran bisa berhenti? Sepertinya ini semua cuma masalah tulisan aja koq...;D

Toh dari yang saya tau aja, citta seorang ariya pugala masih berproses koq selama dia belum parinibbana...

Pikiran dalam artian apa? Seorang Arahat memang tetap "berpikir", namun dengan kebijaksanaannya ia mengetahui objek sebagai objek, "telah berhenti berpikir" objek adalah saya, objek adalah milikku, tidak melekat lagi kepadanya. 


g.citra

Quote from: Kainyn_Kutho on 07 August 2009, 05:01:02 PM
Quote from: g.citra on 07 August 2009, 04:54:19 PM
Dalam kondisi sadar, emang pikiran bisa berhenti? Sepertinya ini semua cuma masalah tulisan aja koq...;D

Toh dari yang saya tau aja, citta seorang ariya pugala masih berproses koq selama dia belum parinibbana...

Pikiran dalam artian apa? Seorang Arahat memang tetap "berpikir", namun dengan kebijaksanaannya ia mengetahui objek sebagai objek, "telah berhenti berpikir" objek adalah saya, objek adalah milikku, tidak melekat lagi kepadanya. 

Yah tentu saja pikiran dalam menangkap, merasa dan mempersepsikan dan bereaksi pada obyek-obyek luar maupun dalam ... :)

Dalam arti lainnya yang saya maksud adalah nama (batin) ...


bond

#265
Quote from: morpheus on 07 August 2009, 12:24:27 PM
Quote from: markosprawira on 06 August 2009, 05:35:34 PM

Jadi yang berhenti adalah KONSEPNYA, bukan KESADARANNYA  itu sendiri.

Hal ini bisa kita lihat diatas, "berhenti mengkonsepsikan", "berhenti mengkonsignasikan tanah" dstnya, jadi BUKAN berhentinya kesadaran

Kesadarannya itu sendiri tetap berjalan, tetap berlangsung dengan kondisi pikiran yang KIRIYA/fungsional sebagaimana ada dalam tabel Citta/Pikiran
biar adil dikit, saya postingkan jawabannya.
sebenernya ini dulu udah berkali2 diluruskan, tapi sepertinya gak pernah dibaca.

HUDOYO:
Yang saya katakan adalah "Dalam Mulapariyaya-sutta Sang Buddha menyatakan bahwa dalam batin seorang arahat & tathagata tidak terjadi pembentukan konsep, sehingga proses kognisi (proses menyadari, proses berpikir) berhenti sampai pada tahap 1 saja (abhijanati)." Ini dinyatakan pula oleh Bhikkhu Bodhi, alm Nanavira Thera dsb dalam buku-buku mereka tentang Mulapariyaya-sutta.

Lalu kepada seorang yang berlatih, Sang Buddha menganjurkan agar dalam menerima 'persepsi murni' (abhijanati), jangan sampai timbul pembentukan konsep (ma manni), jangan sampai timbul si aku, yang memisahkan diri dari objek, ingin memiliki objek, dan bersenang hati dengan objek.

Kesimpangsiuran terjadi karena Sdr Markosprawira menerjemahkan 'citta' dengan 'pikiran' (lihat kutipan tulisannya di bawah), sedangkan saya menerjemahkan 'citta/vinnana' dengan 'batin' atau 'kesadaran' , bukan 'pikiran'! Arus 'batin'/'kesadaran' memang tidak pernah berhenti, tapi 'pikiran', 'berpikir' bisa dan harus berhenti dalam kesadaran vipassana.

Dalam bahasa Inggris, 'pikiran' adalah 'thought', 'pemikiran/berpikir' adalah 'thinking'. 'Pikiran'/'berpikir' selalu didahului dengan 'pembentukan konsep', 'penafsiran' (misalnya, konsep Buddha, konsep Dhamma, konsep Sangha, pikiran tentang pembunuhan, pikiran tentang pencurian, pikiran tentang perzinaan dsb). Manusia tidak bisa berpikir tanpa 'pembentukan konsep', tanpa 'penafsiran'. Dalam bahasa Pali, 'pembentukan konsep', 'penafsiran' dsb disebut 'mannati' (verb) atau 'mannitam' (noun) (lihat Dhatu-vibhanga-sutta, MN 140). Menurut Bhikkhu Bodhi, akar kata dari 'mannati' dan 'mannitam' adalah 'man-', yang berarti 'berpikir'.

Di dalam Mulapariyaya-sutta (MN 1) maupun Dhatu-vibhanga-sutta (MN 140), Sang Buddha mengajarkan bahwa dalam batin (citta) seorang yang bebas tidak ada lagi 'pembentukan konsep, penafsiran' dsb, singkatnya tidak ada lagi 'pikiran, berpikir' SEBAGAIMANA SEORANG PUTHUJJANA BERPIKIR. Seorang arahat tidak berpikir baik tidak pula berpikir buruk, sebagaimana manusia biasa berpikir.

Di dalam Mulapariyaya-sutta, hal ini sangat jelas ketika Sang Buddha bicara tentang OBJEK "segala yang terlihat (dittham), segala yang terdengar (sutam), segala yang tercerap (mutam), segala yang dikenal [dalam batin] (vinnatam)". Kepada orang yang berlatih, Sang Buddha menganjurkan agar setiap kali mencerap OBJEK seperti itu, jangan sampai timbul pembentukan konsep/pemikiran tentang objek, jangan sampai timbul aku, yang memisahkan diri dari objek, kemudian ingin memiliki objek, dan bersenang hati dengan objek.



Jadi, jika muncul 'Buddha, Dhamma, Sangha' sebagai 'vinnatam' (yang dikenal), jangan sampai timbul pembentukan konsep/pemikiran tentang ketiga objek itu, jangan sampai timbul aku, yang memisahkan diri dari ketiga objek itu, kemudian ingin memiliki ketiga objek itu, dan bersenang hati dengan ketiga objek itu.

Itulah yang dilatih dalam MMD. Dalam MMD, pemeditasi tidak memikir-pikir tentang Buddha, Dhamma, Sangha, Sila, Samadhi, Pannya dsb di satu pihak, dan tidak memikir-mikir tentang hal-hal yang tidak baik (menurut pengertian puthujjana) di lain pihak. Yang ada hanya sadar/eling di dalam diamnya pengamatan (sati, appamada).

Bacalah khotbah-khotbah terbaru dari Sri Pannyavaro Mahathera tentang sadar/eling, di mana orang tidak memikir-mikir lagi tentang hal-hal yang baik maupun yang buruk. "Sadar/eling itu membebaskan," kata Bhante Pannya. .

Salam,
Hudoyo


Tuh kan, pengecut, bisanya bawa2 bhante untuk dijadikan bemper. Manusia tidak bertanggung jawab... khotbahnya juga diambil sepotong-sepotong. Katanya tidak ada tiratna, koq bawa2 anggota sangha....

Nanti ditanya ini jawab itu, dijawab itu jawab ini.......buang ludah....dijilat lagi.....sudah dijilat dibuang lagi...



Bangun tidur.....tidur lagi....

Bangun lagi ...tidur lagi....kayak lagunya mbah surip ha...ha....ha (ketawa ala mbah surip dah )


Mulapariyaya sutta saja diplesetkan. Sudah jelas disana diterangkan latihan putthujana,sekkha dan arahat.
Mana ada orang langsung 'zap' latihan 'hasil'. ^-^






Natthi me saranam annam, Buddho me saranam varam, Etena saccavajjena, Sotthi te hotu sabbada

Jerry

Quote from: Kainyn_Kutho on 07 August 2009, 09:57:40 AM
Quote from: xuvie on 04 August 2009, 10:18:56 PM
Misii.. Numpang lewat n nambahin.. Sati/Smrti dah dikenal sebelum jaman Sang Buddha, sekurang-kurangnya sejak adanya Rg Veda.
Begitu juga dalam Jainisme. Brarti nambah jadi 7 dr 8 faktor dong? ;D

:) Kalau mau omong jujur, bahkan keseluruhan JMB 8 saya katakan bukan eksklusif punya "Buddhis". Oleh karena itu, maka kita mengenal yang namanya Pacceka Buddha (= Ariya yang memahami Buddha Dhamma tanpa mengenal Buddha-sasana sama sekali). Yang saya tekankan sebelumnya adalah Ditthi & Sati lah yang memuat Buddha-Dhamma, 6 lainnya adalah dhamma.

Sati dan ditthi tentu saja bukan hal baru atau eksklusif. Tetapi apakah mengarah pada samma ditthi & samma sati (definisi Buddha)? Saya rasa tidak. Sedangkan 6 lainnya bisa sesuai dengan dhamma versi Buddha. Contohnya adalah para petapa/brahmana masa lampau yang sering dikisahkan dan dipuji oleh Buddha karena memiliki sila (moralitas) dan samadhi (jhana), kendati pun tidak hidup di zaman munculnya Samma Sambuddha.

benar. saya sependapat soal itu. ;)
appamadena sampadetha

Jerry

Quote from: ratnakumara on 07 August 2009, 11:46:38 AM
Memang Sang Buddha mengajarkan "Pikiran adalah Pelopor".

Tapi, tanpa penembusan akan Empat Kesunyataan Mulia ( Beserta penempuhan Jalan Ariya Beruas 8 ), maka tidak akan mungkin jelmaan panca-khanda berakhir ( yang berarti termasuk pikiran itu ikut berakhir ).

Pikiran hanya akan berakhir setelah "Parinibbana", yaitu saat jelmaan Panca-Khanda tidak ada lagi.

Bagaimana mungkin, seseorang yang menolak Empat Kesunyataan Mulia, bisa mengakhiri dukkha, sementara ia sendiri menolak mengakui dan menyadari bahwa hidup ini sejatinya adalah dukkha ? menolak mengakui dan menyadari sebab dukkha adalah nafsu-keinginan ( tanha )-nya, menolak mengakui dan menyadari adanya pengakhiran-dukkha ( Nibbana ), dan menolak mengakui serta menyadari adanya Jalan menuju pengakhiran-dukkha ?

Siapapun yang menolak Empat Kesunyataan tersebut, akan terus bertumimbal lahir, berkelana dalam samsara, itu artinya, pikirannya pun tidak akan pernah berhenti, karena jelmaan panca-khanda akan terus "mengada".

Dan itu sebabnya pula, mengapa pikiran Pak Hudoyo tidak pernah berhenti untuk berdebat dengan banyak orang, he he... :)
Pak Hud bukan menolak Kebenaran tentang Dukkha loh. Yang ditolaknya adalah 4 proses, menurutnya sesungguhnya adalah 1 proses. Utk selengkapnya dapat dibaca di notes dia di FB. :)
appamadena sampadetha

Jerry

Quote from: g.citra on 07 August 2009, 04:54:19 PM
Dalam kondisi sadar, emang pikiran bisa berhenti? Sepertinya ini semua cuma masalah tulisan aja koq...;D

Toh dari yang saya tau aja, citta seorang ariya pugala masih berproses koq selama dia belum parinibbana...
Dari klarifikasi Pak Hud yg dihadirkan Morpheus sudah clear deh kalo 'pikiran' yg dimaksud Pak Hud adalah yg biasa disebut buddhis 'sankhara', bentukan pikiran, konsep. Bukannya seperti yg Om Markus dan Anda sebut 'citta' yg berarti pikiran-kesadaran. Dan yg dihentikan dalam MMD adalah sankhara ini. Mengenai pemilihan terminologi 'pikiran' oleh Pak Hud, seyogianya dapat dimengerti karena Pak Hud mencoba menjembatani antar berbagai tradisi, dan agama, sehingga terminologi yang dipakai pun harus yang lebih bercorak umum.
appamadena sampadetha

morpheus

Quote from: bond on 07 August 2009, 10:16:40 PM
Tuh kan, pengecut, bisanya bawa2 bhante untuk dijadikan bemper. Manusia tidak bertanggung jawab... khotbahnya juga diambil sepotong-sepotong. Katanya tidak ada tiratna, koq bawa2 anggota sangha....

Nanti ditanya ini jawab itu, dijawab itu jawab ini.......buang ludah....dijilat lagi.....sudah dijilat dibuang lagi...

Bangun tidur.....tidur lagi....

Bangun lagi ...tidur lagi....kayak lagunya mbah surip ha...ha....ha (ketawa ala mbah surip dah )
daripada sibuk menyerang pribadinya, lebih baik menanggapi isi tulisannya yuk :)

kalo melihat kotbah bhante panna yg ini:
http://dhammacitta.org/forum/index.php/topic,12059.0.html
emang bener kok, bhante mengajak kita melangkah lebih dari sekadar berbuat baik, lebih jauh lagi, yaitu mencoba sadar/sati/aware... tidak perlu berkelahi, tidak perlu memberantas, tidak perlu perang, tidak perlu mikir2 konsep agama. hanya sadar...

saya kutipkan sedikit:
"Bagaimana mengurangi keakuan, merontokkan keakuan? Dengan menyadari, dengan memperhatikan, mengawasi. Jadi, kalau keakuan Saudara muncul, "Aku sudah selesai menjalankan kewajibanku sebagai ketua panitia, aku sudah selesai memenuhi janji, aku sudah selesai menulis buku, aku sudah selesai membayar lunas uang masuk anakku yang mau masuk perguruan tinggi, aduh, sebagai ayah aku merasa lega" – tidak dikeluarkan, tidak diucapkan, tetapi muncul dalam pikiran. Waspada! – "Diberantas, Bhante?" – Tidak usah. – "Lho, katanya aku berbahaya, kok tidak boleh diberantas?" – Amat-amati saja, ketahui saja, "Oh, pikiran muncul." Selesai. Selesai, Saudara. Itulah sati, itulah awareness. Tidak usah dianalisis, "Kok aku saya muncul, dari mana tiba-tiba aku ini kok muncul; aku sudah kenal Agama Buddha dua puluh tahun, akuku kok masih gede-gede, tidak usah. Aku malu, aku ini harus dihantam, aku harus dimengerti, dengan anatta, tidak benar, aku ini salah," – lha, nanti pikirannya ribut sendiri, perang sendiri di dalam pikiran, ramai di dalam pikirannya, bertengkar sendiri. – "Jadi bagaimana, Bhante?" – Dilihati saja, "Oh, aku muncul." Selesai. – Mudah, Saudara? Tidak mudah. ... Tidak perlu doa, tidak perlu paritta, tidak perlu menyebut Buddha, Dhamma, Sangha, tidak perlu ingat Triratna, tidak perlu ingat anatta. Mungkin seseorang tidak mengerti anatta sekalipun, tetapi kalau keakuannya muncul, dia ngonangi—ngonangi berarti mengetahui—akunya muncul, dia mengetahui, akunya muncul, dia menyadari, akunya muncul, dia menyadari. Itulah cara dukkha-nirodha, lenyapnya penderitaan, dengan mencabut akar penderitaan, kelengketan pada keakuan."
* I'm trying to free your mind, Neo. But I can only show you the door. You're the one that has to walk through it
* Neo, sooner or later you're going to realize just as I did that there's a difference between knowing the path and walking the path