comotan dari blog tetangga

Started by bond, 27 July 2009, 11:11:16 AM

Previous topic - Next topic

0 Members and 1 Guest are viewing this topic.

williamhalim

^

Sedikit tambahan,

Pak Hudoyo tidak menolak kesemua 4 Kensunyataan Mulia.

Pak Hud hanya mengakui 3, yakni: Kenyataan akan dukkha, Penyebabnya*) dan Akhir Dukkha.
Pak Hud menolak yg ke 4, yakni: Jalan untuk mengakhiri Dukkha.
Karena menurut Pak Hud, TIDAK ADA JALAN/CARA untuk mengakhiri Dukkha.

*) Meski mengakui Penyebab Dukkha adalah KEMELEKATAN, namun Pak Hud berupaya menggali lagi lebih dalam, dan berkesimpulan bahwa bahwa KEMELEKATAN disebabkan oleh adanya PIKIRAN. Sehingga Pak Hud berkonsentrasi untuk menghentikan 'pikiran' ini, bukan mengikis 'kemelekatan'.

::
Walaupun seseorang dapat menaklukkan beribu-ribu musuh dalam beribu kali pertempuran, namun sesungguhnya penakluk terbesar adalah orang yang dapat menaklukkan dirinya sendiri (Dhammapada 103)

ratnakumara

Nah, masalahnya, "akhir-dukkha" versi pak Hud adalah "berhentinya-pikiran".

Bukankah pak hud sendiri menolak adanya "pantai seberang" ?

" tidak ada Jalan, tidak ada tujuan...tidak ada pantai seberang", demikian yang sering dinyatakan pak hud kan.

Jika pak hud menerima hidup ini adalah dukkha, maka ia akan sedikit demi sedikit melepaskan kemelekatan, dan mengajarkan para siswanya untuk demikian. Bukankah hal ini tidak pernah diajarkan pak hud ? dengan demikian, sebenarnya pak hud sendiri pun menolak bahwa hidup ini adalah "dukkha", sebab masih terus melekati "hidup" dunia ini.

Para siswa Sang Buddha, berlatih mengikis kemelekatan pada dunia dengan berlatih "SILA", misal atthangasila yang mulai tampak jelas pengikisan kemelekatannya ( tidak berhubungan sexual, tidak menonton hiburan/pertunjukan, tidak menyanyi, tidak mendengarkan lagu, tidak menggunakan wewangian, tidak tidur di tempat tidur yang mewah ( tinggi dan besar ), dll. ).

Nah, bukankah pak hud menolak "SILA" ini, sebagaimana J.Krishnamurti menolak perlunya semua bentuk2 latihan dan disiplin.

Inilah hal2 fundamen dimana pak hud sesungguhnya dengan sangat menolak Empat Kesunyataan Mulia.

Mettacittena,
_/\_

johan3000

Quote from: ratnakumara on 07 August 2009, 11:11:56 AM
Dear All,

Sekedar pemberitahuan, artikel "Apakah Romo Hudoyo Berpandangan...dst." yang saya upload di blog saya mengalami beberapa proses re-editing. Jadi , mungkin ada beberapa perbedaan dengan yang lama ( termasuk dengan yang dicopy-paste di dhammacitta ini ).

Sekian, terimakasih.

May All Beings Attain Enlightenment,
Sadhu,Sadhu,Sadhu.

bro ratnakumara,

kalau selama ini ada belum bisa menerima masukan bro,
apakah berarti GELASNYA UDAH PENUH ?

jangan mau merasa capek utk memberikan masukan2 ya,..

posting bro mantep yoooooooooo
Nagasena : salah satu dari delapan penyebab matangnya kebijaksanaan dgn seringnya bertanya

ratnakumara

Dear Johan3000,

Salam kenal dari saya ;)

Oiya, maaf, saya kurang jelas dengan pertanyaan anda ini :

"kalau selama ini ada belum bisa menerima masukan bro,
apakah berarti GELASNYA UDAH PENUH ?"

Bisakah / berkenankah anda mengulanginya, he he.. ( maaf ya kalau agak gak "mudeng" ini ;)  )

Tapi kalau yang dimaksud selama ini saya belum bisa menerima masukan, aduh.. apakah begitu... masukan yang mana ya... tentu bisa lah, saya sangat bisa menerima masukan, karena saya sendiri kan masih seorang "siswa" yang terus belajar dan berpraktik, sehingga belum pada proses akhir , masih jauh lah kalau sampai disebut "gelas sudah penuh".


Mohon koreksinya ;)

_/\_

Mettacittena. ;)

williamhalim

Iyah juga, meski secara resmi Pak Hud sering mengulang2 Sabda SB: Dukkha, Samudaya dan Nirodha... tapi secara implisit dan uraian, Pak Hud sudah berbeda pengertian.

Menurut saya, karena "pengertian dasar" nya tadi itu yg nyeleneh 'agak lain', sehingga akhirnya menyebabkan perbedaan pandangan tsb menjadi merembet/meluas ke Ajaran SB keseluruhan.

::
Walaupun seseorang dapat menaklukkan beribu-ribu musuh dalam beribu kali pertempuran, namun sesungguhnya penakluk terbesar adalah orang yang dapat menaklukkan dirinya sendiri (Dhammapada 103)

johan3000

QuoteBelum puas dengan kemampuan yang dapat dihasilkan dari kinerja sebuah processor Intel Core i7 965 Extrem Edition, dalam bulan April ini Intel menghadirkan Intel Core i7 975 Extrem Edition. Processor ini akan bekerja  pada clock speed 3,3 GHz, dan akan menjadi processor flagship intel untuk desktop PC. Selain itu, direncanakan juga akan diluncurkan Core i7 950 yang bekerja pada clock speed 3,06 GHz, pada bulan Mei 2009.

Seperti pendahulunya, Intel Core i7 965 Extrem Edition, processor Intel Core i7 975 Extrem Edition juga memiliki banderol harga sekitar 999 US dollar. Sedangkan harga untuk Intel Core i7 950 562 US dollar.
Intel Core i7 965


Bagaimana kalau Intel memproduksikan CHIPS yg bisa BERHENTI processingnya ?
Apakah bakal banyak yg berminat ? Apakah Processor boleh berhenti ?

Tanya KENAPA (A mild)




Quote
bro ratnakumara :
Nah, masalahnya, "akhir-dukkha" versi pak Hud adalah "berhentinya-pikiran".
Nagasena : salah satu dari delapan penyebab matangnya kebijaksanaan dgn seringnya bertanya

K.K.

Quote from: Indra on 07 August 2009, 10:47:35 AM
Bro Kainyn, seorang dokter yg bijaksana hanya memberikan obat sesuai dosis yang diperlukan untuk sembuh, seorang pasien mungkin harus menelan 3 butir obat untuk sembuh, pasien lainnya mungkin cukup 1 butir saja. di sini Sang Buddha adalah dokter yang tidak tertandingi yang menyembuhkan makhluk2.

Ya, saya setuju. Maka tidak tepat jika mengatakan seorang dokter bijaksana (=tidak korup) harus memberikan 3 (atau hanya 1) obat, bukan? Lagi-lagi tergantung pasien.





Quote from: williamhalim on 07 August 2009, 11:24:39 AM

Saya ingin mengingatkan lagi, salah satu perbedaan ajaran Pak Hud dan Buddhisme adalah:

~ Pak Hud mengajarkan bahwa "Tidak perlu adanya usaha untuk berbuat baik atau ingin berbuat kebaikan, dsbnya..." Karena "Keinginan untuk berbuat baik adalah produk pikiran juga".

~ Sedangkan Buddhisme jelas2 mengajarkan "Perbanyak Kebaikan"

Kenapa menjadi begini, ya itu gara2 Pandangan Pak Hud bahwa sumber segala masalah kita adalah "Pikiran" sehingga "Setiap produk pikiran / 'pikiran' itu sendiri harus dihentikan" termasuk keinginan untuk berbuat baik, belas kasihan, simpati, dsbnya....

Perbedaan pemikiran Pak Hud ini (bahwa pikiran lah sumber sagala penderitaan) sangat mendasar yg mana akan menimbulkan banyak rentetan perbedaan lainnya sehingga  akhirnya meluas ke pendapat bahwa Seluruh Tipitaka kemungkinan tidak berasal dari SB langsung, kecuali HANYA 3 sutta saja (krn hanya 3 sutta ini yg bisa mendukung teori MMD) ...

::
Seingat saya, PH bilang berbuat baik tidak relevan dengan pencapaian kesucian, dan saya setuju hal tersebut. Tidak ada relevansi seseorang berbuat baik demikian, maka hasilnya adalah mencapai kesucian demikian. Perbuatan baik mengakibatkan seseorang memiliki kondisi yang kondusif dalam pencapaian kesucian (terlahir sebagai manusia, bertemu dengan dhamma, tubuh sehat, dsb) tetapi bukanlah faktor penentunya. Demikian pula perbuatan jahat juga menyebabkan kondisi yang tidak kondusif (akusala garuka, terlahir di alam rendah, kurang pandai) tetapi tetap bukan perbuatan jahat tertentu mempengaruhi pencapaian kesucian tertentu.

Saya tidak ingat bahwa PH mengajarkan untuk "tidak perlu berbuat baik". Yang saya ingat adalah dalam vipassana, perbuatan baik dan buruk tidak relevan.


Quote
tapi Buddha kan nggak ada bilang ke Gotami (dan ke siapapun):

"Eh, Gotami, tidak ada perlunya berbuat baik...."

::
Memang tidak. Juga tidak bilang ke siapapun "Jangan berbuat jahat dan banyaklah berbuat baik maka engkau akan mencapai kesucian".


morpheus

Quote from: markosprawira on 06 August 2009, 05:35:34 PM

Jadi yang berhenti adalah KONSEPNYA, bukan KESADARANNYA  itu sendiri.

Hal ini bisa kita lihat diatas, "berhenti mengkonsepsikan", "berhenti mengkonsignasikan tanah" dstnya, jadi BUKAN berhentinya kesadaran

Kesadarannya itu sendiri tetap berjalan, tetap berlangsung dengan kondisi pikiran yang KIRIYA/fungsional sebagaimana ada dalam tabel Citta/Pikiran
biar adil dikit, saya postingkan jawabannya.
sebenernya ini dulu udah berkali2 diluruskan, tapi sepertinya gak pernah dibaca.

HUDOYO:
Yang saya katakan adalah "Dalam Mulapariyaya-sutta Sang Buddha menyatakan bahwa dalam batin seorang arahat & tathagata tidak terjadi pembentukan konsep, sehingga proses kognisi (proses menyadari, proses berpikir) berhenti sampai pada tahap 1 saja (abhijanati)." Ini dinyatakan pula oleh Bhikkhu Bodhi, alm Nanavira Thera dsb dalam buku-buku mereka tentang Mulapariyaya-sutta.

Lalu kepada seorang yang berlatih, Sang Buddha menganjurkan agar dalam menerima 'persepsi murni' (abhijanati), jangan sampai timbul pembentukan konsep (ma manni), jangan sampai timbul si aku, yang memisahkan diri dari objek, ingin memiliki objek, dan bersenang hati dengan objek.

Kesimpangsiuran terjadi karena Sdr Markosprawira menerjemahkan 'citta' dengan 'pikiran' (lihat kutipan tulisannya di bawah), sedangkan saya menerjemahkan 'citta/vinnana' dengan 'batin' atau 'kesadaran' , bukan 'pikiran'! Arus 'batin'/'kesadaran' memang tidak pernah berhenti, tapi 'pikiran', 'berpikir' bisa dan harus berhenti dalam kesadaran vipassana.

Dalam bahasa Inggris, 'pikiran' adalah 'thought', 'pemikiran/berpikir' adalah 'thinking'. 'Pikiran'/'berpikir' selalu didahului dengan 'pembentukan konsep', 'penafsiran' (misalnya, konsep Buddha, konsep Dhamma, konsep Sangha, pikiran tentang pembunuhan, pikiran tentang pencurian, pikiran tentang perzinaan dsb). Manusia tidak bisa berpikir tanpa 'pembentukan konsep', tanpa 'penafsiran'. Dalam bahasa Pali, 'pembentukan konsep', 'penafsiran' dsb disebut 'mannati' (verb) atau 'mannitam' (noun) (lihat Dhatu-vibhanga-sutta, MN 140). Menurut Bhikkhu Bodhi, akar kata dari 'mannati' dan 'mannitam' adalah 'man-', yang berarti 'berpikir'.

Di dalam Mulapariyaya-sutta (MN 1) maupun Dhatu-vibhanga-sutta (MN 140), Sang Buddha mengajarkan bahwa dalam batin (citta) seorang yang bebas tidak ada lagi 'pembentukan konsep, penafsiran' dsb, singkatnya tidak ada lagi 'pikiran, berpikir' SEBAGAIMANA SEORANG PUTHUJJANA BERPIKIR. Seorang arahat tidak berpikir baik tidak pula berpikir buruk, sebagaimana manusia biasa berpikir.

Di dalam Mulapariyaya-sutta, hal ini sangat jelas ketika Sang Buddha bicara tentang OBJEK "segala yang terlihat (dittham), segala yang terdengar (sutam), segala yang tercerap (mutam), segala yang dikenal [dalam batin] (vinnatam)". Kepada orang yang berlatih, Sang Buddha menganjurkan agar setiap kali mencerap OBJEK seperti itu, jangan sampai timbul pembentukan konsep/pemikiran tentang objek, jangan sampai timbul aku, yang memisahkan diri dari objek, kemudian ingin memiliki objek, dan bersenang hati dengan objek.

Jadi, jika muncul 'Buddha, Dhamma, Sangha' sebagai 'vinnatam' (yang dikenal), jangan sampai timbul pembentukan konsep/pemikiran tentang ketiga objek itu, jangan sampai timbul aku, yang memisahkan diri dari ketiga objek itu, kemudian ingin memiliki ketiga objek itu, dan bersenang hati dengan ketiga objek itu.

Itulah yang dilatih dalam MMD. Dalam MMD, pemeditasi tidak memikir-pikir tentang Buddha, Dhamma, Sangha, Sila, Samadhi, Pannya dsb di satu pihak, dan tidak memikir-mikir tentang hal-hal yang tidak baik (menurut pengertian puthujjana) di lain pihak. Yang ada hanya sadar/eling di dalam diamnya pengamatan (sati, appamada).

Bacalah khotbah-khotbah terbaru dari Sri Pannyavaro Mahathera tentang sadar/eling, di mana orang tidak memikir-mikir lagi tentang hal-hal yang baik maupun yang buruk. "Sadar/eling itu membebaskan," kata Bhante Pannya. .

Salam,
Hudoyo
* I'm trying to free your mind, Neo. But I can only show you the door. You're the one that has to walk through it
* Neo, sooner or later you're going to realize just as I did that there's a difference between knowing the path and walking the path

K.K.

Quote from: morpheus on 07 August 2009, 12:24:27 PM
Jadi, jika muncul 'Buddha, Dhamma, Sangha' sebagai 'vinnatam' (yang dikenal), jangan sampai timbul pembentukan konsep/pemikiran tentang ketiga objek itu, jangan sampai timbul aku, yang memisahkan diri dari ketiga objek itu, kemudian ingin memiliki ketiga objek itu, dan bersenang hati dengan ketiga objek itu.

Itulah yang dilatih dalam MMD. Dalam MMD, pemeditasi tidak memikir-pikir tentang Buddha, Dhamma, Sangha, Sila, Samadhi, Pannya dsb di satu pihak, dan tidak memikir-mikir tentang hal-hal yang tidak baik (menurut pengertian puthujjana) di lain pihak. Yang ada hanya sadar/eling di dalam diamnya pengamatan (sati, appamada).

"Pikiran berhenti" ini memang istilah "kontroversial" yang tidak bisa langsung diambil kesimpulan tanpa pembahasan lebih jauh. Setelah beberapa kali diskusi dengan PH, saya sendiri (yang nota bene adalah "teoritis") menangkap maksudnya adalah "pikiran yang tidak dikondisikan sebuah bentuk pikiran masa lampau, juga tidak mengkondisikan bentuk pikiran baru", bukan semacam pikiran berhenti ketika pingsan atau tidak bergerak seperti dalam jhana. Memang sedikit heran buat saya mengapa para "praktisi" tidak mampu menangkap maksudnya.

Dulu ketika saya mulai berbangga-bangga dengan Buddhisme karena sesuai logika, bingung mengapa Kalama Sutta juga mengajarkan jangan bertumpu pada ajaran karena logika semata. Belakangan saya sadar bahwa logika pun adalah berkondisi, dikondisikan bentukan pikiran lampau, sehingga kalau mengatakan Buddhisme adalah sebatas logika (pikiran), itu sungguh-sungguh mengecilkan ajaran Buddha. Melihat pikiran (termasuk logika) dan "melampauinya" itulah ajaran Buddha.


johan3000

Quote from: ratnakumara on 07 August 2009, 12:12:38 PM
Dear Johan3000,

Salam kenal dari saya ;)

Oiya, maaf, saya kurang jelas dengan pertanyaan anda ini :

"kalau selama ini ada belum bisa menerima masukan bro,
apakah berarti GELASNYA UDAH PENUH ?"

Bisakah / berkenankah anda mengulanginya, he he.. ( maaf ya kalau agak gak "mudeng" ini ;)  )

Tapi kalau yang dimaksud selama ini saya belum bisa menerima masukan, aduh.. apakah begitu... masukan yang mana ya... tentu bisa lah, saya sangat bisa menerima masukan, karena saya sendiri kan masih seorang "siswa" yang terus belajar dan berpraktik, sehingga belum pada proses akhir , masih jauh lah kalau sampai disebut "gelas sudah penuh".


Mohon koreksinya ;)

_/\_

Mettacittena. ;)

Ada yg bilang .......
berhentinya pikiran adalah sesuatu yg....lenyapnya dhukka...

saya juga berpikir kalau processor (otaknya komputer) yg dijual
oleh Intel.... sering2 berhenti apa ada orang yg mau membelinya ?
HANG = (istilah komputernya yg suka nyangkut, dan biasanya tidak diminatin)

mengenai gelas yg penuh ya bisa saja
saya sendiri, atau bro, atau orang lain....

banyak hal yg kurang baik kalau berhenti.
spt : kerjanya jantung, pernafasan paru2, dst...

bagaimana menurut bro tentang YG BERHENTI ?
Nagasena : salah satu dari delapan penyebab matangnya kebijaksanaan dgn seringnya bertanya

g.citra

#250
Ikut kasih pendapat... :)

Quote from: williamhalim on 07 August 2009, 11:24:39 AM

Saya ingin mengingatkan lagi, salah satu perbedaan ajaran Pak Hud dan Buddhisme adalah:

~ Pak Hud mengajarkan bahwa "Tidak perlu adanya usaha untuk berbuat baik atau ingin berbuat kebaikan, dsbnya..." Karena "Keinginan untuk berbuat baik adalah produk pikiran juga".

~ Sedangkan Buddhisme jelas2 mengajarkan "Perbanyak Kebaikan"

Kenapa menjadi begini, ya itu gara2 Pandangan Pak Hud bahwa sumber segala masalah kita adalah "Pikiran" sehingga "Setiap produk pikiran / 'pikiran' itu sendiri harus dihentikan" termasuk keinginan untuk berbuat baik, belas kasihan, simpati, dsbnya....

Perbedaan pemikiran Pak Hud ini (bahwa pikiran lah sumber sagala penderitaan) sangat mendasar yg mana akan menimbulkan banyak rentetan perbedaan lainnya sehingga  akhirnya meluas ke pendapat bahwa Seluruh Tipitaka kemungkinan tidak berasal dari SB langsung, kecuali HANYA 3 sutta saja (krn hanya 3 sutta ini yg bisa mendukung teori MMD) ...
::

Yang dikasih warna biru, jelas perbuatan baik, tapi menurut saya ada yang membedakan timbulnya perbuatan tersebut ... :)

Seseorang yang punya pikiran 'melekat' bisa aja melakukan suatu perbuatan baik bukan ?

contohnya: seorang kakak yang sayang adiknya, tentunya akan membelikan sebuah barang yang diinginkan adiknya bila harganya terjangkau dan tidak membahayakan, walaupun barang itu tidak bermanfaat untuk kemajuan pikirannya dalam sekolah (mainan) atau juga seorang kakak yang tetap kasihan melihat adiknya dikeluarkan dari sekolahnya karena kenakalan adiknya ... :)

Lain halnya dengan pikiran yang timbul dari seorang ariya pugala, tentunya kita sepakat bahwa timbulnya gak ada pengaruh dari LDM bukan ... :)

Dalam meditasi, apa yang seharusnya kita kontrol ? tentunya pikiran bukan ? jadi apakah dalam meditasi adakah tindakan untuk melakukan bermatapencarian benar ? atau hal lainnya ... atau apakah kita semua dah mampu untuk tetap bermeditasi sambil bekerja ?

Lalu, kira-kira kalau dalam praktek meditasi, kita masih berpikir tentang sebuah perbuatan walaupun itu baik sekalipun, apakah itu bisa dinamakan telah melakukan konsentrasi benar ?

Kalau ada tulisan mengenai pikiran lah sumber sagala penderitaan, terus terang saya setuju, bahkan sangat setuju ... Manusia = 5 khanda = Rupa + nama ... kalau gak ada 'nama', mungkinkah rupa menderita?

Maaf, tidak ada dorongan dari pihak manapun untuk mengeluarkan pendapat ini, dan juga tidak bermaksud untuk berpihak pada siapapun juga dalam menuliskan ini ... :)
Jadi kalau memang seandainya tulisan saya ini 'salah' adanya, ini karena memang sayalah yang salah dalam mempersepsikan tulisan-tulisan di thread ini ... :)

salam,
g.citra

ratnakumara

Seharusnya, kembali pada permasalahan semula.

Sebab, banyak bukti menunjukkan, pak Hudoyo menyatakan bahwa Jalan apapun juga, tidak mengantar pada pembebasan/pencerahan.

Jadi ini bukan masalah "ketika-meditasi" semata.

Saat meditasi, tentunya pelajaran2 mengenai Sutta dan beberapa pelajaran Buddha-Dhamma yang tidak relevan dengan meditasi, menjadi tidak relevan lagi. Sedangkan sutta2 dan pelajaran Buddha-Dhamma yang berkaitan dengan meditasi, masih relevan, setidaknya saat awal2 bermeditasi.

Inti permasalahan, pak Hudo menolak adanya "Jalan", menolak segala bentuk latihan seperti Sila dan Samadhi ( Samadhi lho, bukan vipassana ). Ini didasari oleh ajaran J.Krishnamurti yang menolak segala bentuk Jalan dan segala bentuk latihan serta disiplin.

Apakah dengan bermeditasi vipassana saja manusia dapat mencapai "pencerahan" dan "pembebasan" ? Untuk beberapa kasus, mungkin saja bisa, seperti kasus petapa Bahiya.

Tapi, harus disadari juga, kenapa Bahiya bisa tercerahkan dengan sekedar instruksi sederhana tersebut.

Juga harus dimengerti, mengapa Sang Buddha hanya mengajarkan Dhamma yang singkat saat Bahiya memohon pada Sang Buddha untuk diberi "pelajaran" Dhamma ? Karena, Bahiya memohon di waktu yang tidak tepat ( "Ini bukan waktu yang tepat , Bahiya, kami akan pergi menerima dana makanan", demikian Sang Buddha beberapa kali menjawab permohonan Bahiya ).

Jika Bahiya memohon pada waktu yang tepat, pastilah Sang Buddha akan mengajarkan Dhamma sesuai yang dipintakan Bahiya.

Jika hanya duduk meditasi bisa membawa seseorang pada "pencerahan" dan "pembebasan",  maka seorang pembunuh bisa terus membunuh dan mengumbar keberingasannya, tanpa harus memperbaiki moralitasnya, mensucikan moralitasnya, mensucikan pikirannya, mensucikan pandangannya, mengembangkan cinta-kasih, mengembangkan konsentrasi, mengembangkan kedermawanan ; asalkan ia dalam setiap saat " dalam apa yang dilihat hanya ada yang dilihat, dalam apa yang dirasakan hanya ada apa yang dirasakan...dst."  Nah ini malah bisa jadi "pembunuh-berdarah-dingin".

Kekeliruan Romo Hudoyo adalah disitu, yaitu menolak adanya "Jalan".

Kalau akhir2 ini Romo Hudoyo mengubah statementnya dengan membelokkan topik tidak diperlukannya ajaran Buddha saat bermeditasi, itu perkara lain. Berarti ia sudah sedikit sadar.

Namun yang pasti, sampai detik ini, saya belum melihat Romo Hudoyo kembali pada ajaran Buddha, sebab di beberapa tempat yang sempat saya kunjungi dan lihat, ia tetap masih terus membahas ajaran "eling" ala krishnamurti yang menolak berbagai bentuk "Jalan" dan menolak berbagai bentuk latihan serta disiplin. Inilah yang membedakannya dengan Buddha-Dhamma.

Juga perlu diingat, Krishnamurti pernah menyatakan, bahwa selama 60 tahun ia mengajar, ia belum pernah berhasil membawa manusia pada "transformasi-batin" sesuai harapannya.  Ini setidaknya pengakuan jujur, bahwa konsep ajarannya bahwa manusia tidak memerlukan "Dhamma" ( ajaran ), tidak memerlukan "Jalan", tidak memerlukan berbagai bentuk latihan dan disiplin, ternyata tidaklah bisa membawa manusia pada pencerahan dan pembebasan-sempurna.


Mengenai Berhentinya pikiran, menurut saya hanya bisa dicapai setelah Parinibbana, yaitu saat jelmaan panca-khanda telah tidak terbentuk lagi ( inilah akhir dukkha sempurna, akhir dari dukkha batin dan jasmani ). Selama masih hidup, para Buddha dan Arahat masih terus "berpikir", perbedaannya sudah tidak ada kilesa dalam "pikiran"-Nya tersebut. Masih terus berpikir dan mempunyai kesadaran, karena masih terkondisikan, masih "memiliki" Nama dan Rupa. Juga, dalam pikiran dan perbuatan tersebut sudah tidak timbul lagi tunas2 kelahiran barunya kembali ( lihat Ratana Sutta ).

Demikian menurut saya.
Bila ada kekeliruan mohon koreksinya.

May All Beings Attain Enlightenment,
Sadhu,Sadhu,Sadhu.

williamhalim

#252
Quote from: Kainyn_Kutho on 07 August 2009, 12:49:23 PM

"Pikiran berhenti" ini memang istilah "kontroversial" yang tidak bisa langsung diambil kesimpulan tanpa pembahasan lebih jauh. Setelah beberapa kali diskusi dengan PH, saya sendiri (yang nota bene adalah "teoritis") menangkap maksudnya adalah "pikiran yang tidak dikondisikan sebuah bentuk pikiran masa lampau, juga tidak mengkondisikan bentuk pikiran baru", bukan semacam pikiran berhenti ketika pingsan atau tidak bergerak seperti dalam jhana. Memang sedikit heran buat saya mengapa para "praktisi" tidak mampu menangkap maksudnya.


(Yang di bold): Buddha sudah mengajarkan istilah yg lebih mudah dan gampang: KEMELEKATAN.

Jika kita sudah mulai mengikis sedikit demi sedikit KEMELEKATAN kita maka "bentuk2 Pikiran yang banyak maunya dan selalu membanding-bandingkan" perlahan2 akan mulai berkurang.

Bila KEMELEKATAN sudah mulai berkurang -karena adanya latihan (Sila, Samadhi, dan Panna)- maka Pikiran akan lebih tenang dan gampang diarahkan.

Jadi, menurut saya, tidak usah susah2 menciptakan istilah baru (yg kontroversial), yang memperumit pelajaran.

Saya jadi memahami sekarang, kenapa Buddha memaparkan "Dalam melihat hanya melihat... dstnya..." dan bukan mengatakan "Hentikan Pikiran"

::
Walaupun seseorang dapat menaklukkan beribu-ribu musuh dalam beribu kali pertempuran, namun sesungguhnya penakluk terbesar adalah orang yang dapat menaklukkan dirinya sendiri (Dhammapada 103)

williamhalim

Quote from: g.citra on 07 August 2009, 01:04:41 PM
Ikut kasih pendapat... :)

Seseorang yang punya pikiran 'melekat' bisa aja melakukan suatu perbuatan baik bukan ?

Lain halnya dengan pikiran yang timbul dari seorang ariya pugala, tentunya kita sepakat bahwa timbulnya gak ada pengaruh dari LDM bukan ... :)

Dalam meditasi, apa yang seharusnya kita kontrol ? tentunya pikiran bukan ? jadi apakah dalam meditasi adakah tindakan untuk melakukan bermatapencarian benar ? atau hal lainnya ... atau apakah kita semua dah mampu untuk tetap bermeditasi sambil bekerja ?


Nah saya sependapat dengan Bro Citra...

Sumber segala Penderitaan kita sebenarnya adalah KEMELEKATAN (Bro Citra telah menjelaskan dengan baik, dari yg saya bold). Kita harus melatih pikiran kita, mengarahkannya ke "pikiran bebas dari kemelekatan", bukannya "menghentikan pikiran".

::
Walaupun seseorang dapat menaklukkan beribu-ribu musuh dalam beribu kali pertempuran, namun sesungguhnya penakluk terbesar adalah orang yang dapat menaklukkan dirinya sendiri (Dhammapada 103)

Nevada

Kalau menurut saya, makna dari "terhentinya pikiran" dalam kamus MMD itu berada di luar konsep Buddhisme.