Logika Untuk Meditator

Started by candra_mukti19, 10 December 2008, 12:47:12 PM

Previous topic - Next topic

0 Members and 1 Guest are viewing this topic.

candra_mukti19

Apakah pentingnya ilmu logika bagi meditator?
Apakah pentingnya ilmu logika bagi umat awam?
Apakah Budha Gotama menggunakan ilmu logika dalam membabarkan dhamma?
Apa pentingnya ilmu logika bagi umat beragama? 
(baca dulu artikel saya di halaman pertama!)

candra_mukti19

Dalam meditasi, kita melakukan usaha untuk sadar. Dalam merenung, kita tidak hanya melakukan usaha untuk sadar, tapi untuk mengerti. Ketika orang melihat suatu fenomena dengan jelas, maka dia disebut mengerti dengan jelas. Walaupun disebut mengerti dengan jelas, tapi belum tentu dia dapat mengungkapkan apa yang difahaminya melalui kata-kata. Jika kita ingin bermeditasi dengan tanpa maksud menyampaikan kembali pemahaman meditasi pada orang lain, maka tidak diperlukan keahlian merangkai kata secara logis. Tapi bila bermaksud menyampaikan pemahaman meditasi pada orang lain, maka kita dituntut untuk dapat merangkai dengan dengan logis sehingga membuat konsep menjadi jelas bagi orang lain.
Saat meditator memperhatikan nafas masuk dan keluar, dan ia mengerti dengan jelas nafas masuk dan keluar, maka meditator tersebut disebut "melihat dengan jelas." Tapi, bagaimanakah realitas nafas masuk dan keluar itu bisa dijelaskan sebagai logic. Demikianlah :
"nafas itu masuk". Inilah sebuah pernyataan yang bisa ilmiah dan bisa pula logic. Untuk membuat orang lain mengerti tentang arti "nafas itu masuk", maka kita dapat mengingatkan orang lain akan suatu pengalaman tentang "nafas masuk". Tapi jika dia tidak ingat, maka bisa dituntun ke arah praktik, dengan memperhatikan nafasnya yang masuk dan keluar, atau menyuruhnya menarik nafas, dan kita katakan padanya, "nah itulah dia, nafas masuk". Tapi, bila hal itu dinyatakan dalam kalimat logic, "nafas itu masuk karena nafas itu bergerak masuk ke dalam memenuhi paru-paru." Ini namanya pernyataan logic yang harus dimengerti bukan dengan praktik atau mengingat melainkan dengan mengkalkulasikan term-term. Jika dikonversi ke dalam bahasa logika, sebagai berikut :
nafas itu bergerak ke dalam . Dan setiap bergerak ke dalam  itu masuk. Jadi, nafas itu masuk.
logika ini benar, syah, dapat dimengerti sesuai dengan hukum logika alami. Benarnya, mengertinya secara logic bukan dengan memperhatikan realitas nafasnya melainkan dengan melihat hubungan yang jelas antara argument dengan kesimpulan, relevansi antara kalimat pertama dengan kalimat kedua dalam suatu pernyataan. Jadi, siapapun yang ingin memahami logika, hal ini perlu dicatat baginya, bahwa logika adalah suatu cara menguji relevansi pernyataan-pernyataan dan bukan membandingkan antara pernyataan dengan realitas alami.
Bagi sebagian orang, justru penjelasan logic ini menjadi sulit dimengerti. Persoalan nafas masuk dan keluar adalah sesuatu yang mudah sekali untuk difahami dengan cara memperhatikan nafas masuk dan keluar. Tapi, mengapa harus mempersulit diri dengan membahasnya secara logic yang ternyata justru membuatnya tampak lebih ribet? Hal ini lah yang harus difahami.
Ilmu logika bukan suatu ilmu untuk mempersulit hal yang mudah, justru untuk mempermudah hal yang tadinya sulit. Memang benar, untuk memahami apa itu nafas masuk, tidak perlu dengan cara uraian logic. Tapi, logika diperlukan ketika kita ingin memahami kebenaran pernyataan orang, "nafas itu masuk karena bergerak ke dalam." Pernyataan logic ini tidak dapat ditemukan kebenarannnya dalam dhamma, atau dengan cara memperhatikan nafas masuk dan keluar, walaupun dhamma merupakan asal usul dari logika. Dengan memperhatikan nafas, maka kita hanya dapat melihat bahwa nafas itu bergerak ke dalam. Pergerakan nafas ke arah dalam itu didefinisikan dengan variabel "nafas masuk". Yang ini disebut pengamatan ilmiah, dan peran logika hanya pada "memberikan definisi".
Ini sekedar contoh, yang pada kenyataannya, untuk masalah nafas tentunya tidak diperlukan penguraian secara logic. Ada contoh lain, dimana logika cukup berguna :
Banyak pernyataan yang benar-benar membuntuhkan logika untuk memahaminya. Seperti saya saksikan dalam banyak kasus di media massa dan sejarah. Dengan logika sama orang akan dapat mengerti benar atau salah pernyataan seorang brahmana yang dituduh membunuh, "saya seorang berhmana yang memiliki faham ahimsa, maka saya mustahil melakukan pembunuhan." Banyak umat mengangguk-ngangguk, "oh, iya yah. Dia kan seorang brahmin, bagaimana mungkin dia membunuh?" karena logika mereka gak jalan.
Saya sendiri menyaksikan lansung di TV, seorang tersangka yang dituduh melakukan penghinaan terhadap Islam, dia menyatakan, "Ibu saya muslim, adik saya ada yang muslim, saudara-saudara saya muslim, jadi tidak mungkin saya menghina islam yang berarti saya menghina keluarga sendiri." Orang-orang banyak yang percaya dengan omongannya itu, tapi para ahli logika tentunya akan mentertawakan pernyataan dengan logika yang jungkir balik tersebut. Orang yang selalu bersama dia, sangat tahu apakah sebenarnya dia pernah menghina Islam atau tidak. Sedangkan saya tidak tahu, apakah dia pernah menghina islam atau tidak, tapi pernyataan dia di media TV itu.
Dua kasus tersebut, dalam ilmu logika disebut dengan fallacy Of Glitering Generalities. Kenyataan logika yang salah itu banyak digunakan oleh para politikus untuk meraih banyak anggota. Dan banyak orang menganggap sesat terhadap agama-agama tertentu dengan menggunakan fallacy of Quantity. Hanya karena kesalahan logika, nyawa orang lain melayang. Hanya karena kesalahan logika, orang salah tafsir dengan ajaran agama-agama.
Pengetahuan langsung yang diperoleh melalui praktik meditasi, tidak akan menimbulkan salah tafsir bagi orang yang melihatnya secara langsung. Dia dapat melihat secara langsung, inilah kebenaran ariya, inilah 7 faktor pencerahan, inilah 5 nivarana, dsb. Dia melihat dan mengerti jelas, tanpa berpikir dan menganalisis dia akan memperoleh pengertian benar dan jelas, tidak mungkin salah tafsir. Dhamma hanya perlu dilihat dengan sejelas-jelasnya dan tidak perlu ditafsirkan lagi. Tapi, jika dhamma itu telah diungkapkan dapat menimbulkan kesalahan tafsir pada orang yang mendengar dan belum melihat dhamma secara langsung. Inilah awal dari pertentangan pendapat-pendapat. Sebagaimana banyak orang yang salah tafsir dengan menanggap Allah sebagai sesuatu yang personal. Ini semata karena kedangkalan logika. Allah itu sendiri adalah sesuatu sebagaimana adanya, tidak berubah karena anggapan manusia. Orang yang melihat Allah secara langsung, dia tahu dan mengerti dengan jelas, tanpa perlu berpikir dan menafsirkan. Tapi, sangat jarang orang yang dapat melihat Allah secara langsung. Umumnya manusia mempelajari Allah dengan pendekatan logikanya. Sayangnya, karena tidak memahami norma-norma logika, kemudian munculah anggapan "Allah personal". Inilah salah satu contoh, bagaimana pentingnya ilmu logika, terutama dalam rangka mempelajari teori-teori keagamaan. Demikian pula halnya dalam komunitas budhist, terjadi banyak kesalahan tafsir kitab suci karena "kedangkalan logika".
Apakah sang budha sendiri menggunakan ilmu logika? Ya, Budha Gotama menggunakan ilmu logika. Saya melihat bahwa penuturan sang budha yang tercantum di dalam sutta-sutta merupakan hal yang logic. Bahkan saya bilang, "sungguh hebat logikanya budha gotama." Tapi, sangat mengherankan saat menemukan banyaknya "kesalahan logika" yang tergambar dalam ungkapan-ungkapan sebagian umat budhist. Salah satu contohnya adalah vegetarianism dan ahimsa.
Untuk dapat berpikir logic, memang tidak harus selalu belajar ilmu logika. Sebab logika merupakan bahasa alami manusia. Seperti halnya bahasa tubuh, logika merupakan perbawaan lahir manusia. Logika alami ini, kemudian diselidiki oleh seorang filsuf bernama Aristoteles. Sebagaimana budha tidak menciptakan dhamma, melainkan menemukan dan mengungkapkannya saja, maka seperti itu pula Aristoteles. Ia tidak menciptakan Logika, melainkan menemukan dan mengungkapkannya saja. jadi, Logika itu ada pada setiap diri manusia.
Jika logika itu ada pada diri manusia, apakah ia merupakan bagian dari dhamma? Ya. Logika merupakan bagian dari dhamma. Tapi setelah logika dicatat dan dibukukan, ia menjadi pengetahuan intelektual, dimana untuk memanfaatkannya orang tidak lagi harus melihat langsung ke dalam dhamma, melainkan dapat langsung menggunakannya secara intelek. Aristoteles, sang penemu  Logika telah melihat logika di dalam dhamma. Dia mengungkapkannya untuk menusia yang belum melihat dhamma. Umat awam tidak tahu bagaimana asal muasal norma-norma logika itu muncul, tapi umat awam dapat merasakan manfaatnya. Sebagaimana umat awam tidak tahu bagaimana semua aturan-aturan dalam negeri itu dapat muncul, tapi umat awam dapat merasakan manfaatnya.
Jika memang logika ada pada diri setiap manusia, sudah tentu budha telah menemukan dan menggunakannya. Adalah mustahil orang dapat melihat nibbana tapi tidak melihat seluruh dhamma. Jika logika itu bagian dari dhamma, tentu sang budhapun telah melihatnya pula. demikian juga seluruh orang yang mengembangkan kebijaksanaan, akan dapat memahami kebenaran logic dengan sendirinya. Siapapun yang telah melihatnya, tentu akan memiliki ciri "logic dalam ungkapannya." Jadi, orang yang telah mengaku mengembangkan kebijaksaan tapi tidak logic dalam pernyataannya, maka kebijaksanaannya itu diragukan. Sebaliknya, orang yang masih jauh dari bijaksana, batinnya masih jauh dari berkembang, masih mengandung banyak kekotoran, dia tetap dapat berpikir logic, karena ilmu logika yang dulu telah diungkapkan oleh yang menemukannya dalam dhamma kini telah dipelajari oleh orang-orang yang banyak orang, termasuk orang yang dalam batinnya masih banyak kekotoran.
Jika budha Gotama tidak menguraikan ilmu logika sebagaimana Aristoteles, lalu mengapa umatnya harus menggunakan logika sebagaimana Aristoteles? Pertanyaan ini sama saja dengan pertanyaan : Budha Gotama tidak menggunakan internet untuk membabarkan dhamma, tapi mengapa umat budha menjadikan internet sebagai sarana untuk membabarkan dhamma? Zaman sekarang ini bukan 1000 tahun lalu. Sekarang, peribahasanya tidak ada sektor yang tidak disentuh oleh teknologi komputer dan internet. Seperti itu pula kebutuhan umat akan "ajaran yang logic".

candra_mukti19

capek gak bacanya?

apalagi gw yang nulisnya :))

hatRed

Satu hal yang pasti

Logika hanyalah alat.

Kebenaran sejati terdapat pada Ehipassiko.

maka itu Logika menjadi pincang ketika tidak ada pembenaran atas variabel2nya.

(baru sadar ini post g yang ke 1000  :)) )
i'm just a mammal with troubled soul



markosprawira

Logic secara buddhism adalah jika bisa membawa manfaat bagi batin org yg bersangkutan, bukan masuk akal secara nalar bagi org itu.

Spt yg pernah saya bilang bhw Aljabar tidak masuk akal bagi seorang anak TK tetapi merupakan sesuatu yg mudah bagi mahasiwa matematika

Seperti seorang brahmana yang dituduh membunuh, "saya seorang berhmana yang memiliki faham ahimsa, maka saya mustahil melakukan pembunuhan."
Dan banyak umat mengangguk-ngangguk, "oh, iya yah. Dia kan seorang brahmin, bagaimana mungkin dia membunuh?"
Anda yg bs blg bhw itu krn logika org2 itu ga jalan, tapi bagi mereka, itu sesuatu yg masuk akal loh....

Buddha tidak pernah membuat 1 keharusan yg sama utk setiap org seperti kurikulum Diknas
Itu kenapa ada yg mencapai pencerahan dengan sutta A, dengan diskusi B bahkan ada yg dengan hanya mengusapkan kain ke batu

Buddha sendiri juga tidak pernah memaksakan bhw semua org harus mengikuti ajarannya...

Sangat disayangkan jika ada org yg merasa sudah memahami ajaran buddha namun tidak berlaku sesuai dengan ajaran itu sendiri....

semoga bisa dimengerti

hendrako

#5
Quote from: candra_mukti19 on 10 December 2008, 12:47:45 PM
terjadi banyak kesalahan tafsir kitab suci karena "kedangkalan logika".

Anda benar sekali !! logika memang dangkal !! ^-^

Quote from: candra_mukti19 on 10 December 2008, 12:47:45 PM
Tapi, sangat mengherankan saat menemukan banyaknya "kesalahan logika" yang tergambar dalam ungkapan-ungkapan sebagian umat budhist. Salah satu contohnya adalah vegetarianism dan ahimsa. 

Benar juga, memang banyak kesalahan logika ^-^,  contohnya ada orang berlogika yang tidak menyelidiki tentang vegetarianism di dalam Buddhism, tetapi berani menyatakan hal tentang vegetarianism di dalam Buddhism.

Quote from: candra_mukti19 on 10 December 2008, 12:47:45 PM

Seperti itu pula kebutuhan umat akan "ajaran yang logic".


Logika memang banyak gunanya, bahkan didalam ilmu pengetahuan sangat penting, oleh karena itu ilmu pengetahuan tidak lepas dari logika.
Namun untuk membuktikan kebenaran agama, lain lagi ceritanya.

Apabila logika digunakan untuk membuktikan kebenaran suatu agama.
Maka logika tersebut lebih tinggi dari kebenaran itu sendiri,
Karena ada parameter terhadap kebenaran, yaitu logika.
Apabila kebenaran suatu agama dapat dibuktikan dengan logika,
Maka mending belajar logika daripada agama tersebut.

Namun nyatanya, logika saja tidak cukup.
Sekali lagi lihat Kalama Sutta.

Btw, metode 3 kalimat saya udah bener gak yach ^-^??
yaa... gitu deh

johan3000

Quote from: candra_mukti19 on 10 December 2008, 12:47:45 PM
Dalam meditasi, kita melakukan usaha untuk sadar. Dalam merenung, kita tidak hanya melakukan usaha untuk sadar, tapi untuk mengerti. Ketika orang melihat suatu fenomena dengan jelas, maka dia disebut mengerti dengan jelas. Walaupun disebut mengerti dengan jelas, tapi belum tentu dia dapat mengungkapkan apa yang difahaminya melalui kata-kata. Jika kita ingin bermeditasi dengan tanpa maksud menyampaikan kembali pemahaman meditasi pada orang lain, maka tidak diperlukan keahlian merangkai kata secara logis. Tapi bila bermaksud menyampaikan pemahaman meditasi pada orang lain, maka kita dituntut untuk dapat merangkai dengan dengan logis sehingga membuat konsep menjadi jelas bagi orang lain.
Saat meditator memperhatikan nafas masuk dan keluar, dan ia mengerti dengan jelas nafas masuk dan keluar, maka meditator tersebut disebut "melihat dengan jelas." Tapi, bagaimanakah realitas nafas masuk dan keluar itu bisa dijelaskan sebagai logic. Demikianlah :
"nafas itu masuk". Inilah sebuah pernyataan yang bisa ilmiah dan bisa pula logic. Untuk membuat orang lain mengerti tentang arti "nafas itu masuk", maka kita dapat mengingatkan orang lain akan suatu pengalaman tentang "nafas masuk". Tapi jika dia tidak ingat, maka bisa dituntun ke arah praktik, dengan memperhatikan nafasnya yang masuk dan keluar, atau menyuruhnya menarik nafas, dan kita katakan padanya, "nah itulah dia, nafas masuk". Tapi, bila hal itu dinyatakan dalam kalimat logic, "nafas itu masuk karena nafas itu bergerak masuk ke dalam memenuhi paru-paru." Ini namanya pernyataan logic yang harus dimengerti bukan dengan praktik atau mengingat melainkan dengan mengkalkulasikan term-term. Jika dikonversi ke dalam bahasa logika, sebagai berikut :
nafas itu bergerak ke dalam . Dan setiap bergerak ke dalam  itu masuk. Jadi, nafas itu masuk.
logika ini benar, syah, dapat dimengerti sesuai dengan hukum logika alami. Benarnya, mengertinya secara logic bukan dengan memperhatikan realitas nafasnya melainkan dengan melihat hubungan yang jelas antara argument dengan kesimpulan, relevansi antara kalimat pertama dengan kalimat kedua dalam suatu pernyataan. Jadi, siapapun yang ingin memahami logika, hal ini perlu dicatat baginya, bahwa logika adalah suatu cara menguji relevansi pernyataan-pernyataan dan bukan membandingkan antara pernyataan dengan realitas alami.
Bagi sebagian orang, justru penjelasan logic ini menjadi sulit dimengerti. Persoalan nafas masuk dan keluar adalah sesuatu yang mudah sekali untuk difahami dengan cara memperhatikan nafas masuk dan keluar. Tapi, mengapa harus mempersulit diri dengan membahasnya secara logic yang ternyata justru membuatnya tampak lebih ribet? Hal ini lah yang harus difahami.
Ilmu logika bukan suatu ilmu untuk mempersulit hal yang mudah, justru untuk mempermudah hal yang tadinya sulit. Memang benar, untuk memahami apa itu nafas masuk, tidak perlu dengan cara uraian logic. Tapi, logika diperlukan ketika kita ingin memahami kebenaran pernyataan orang, "nafas itu masuk karena bergerak ke dalam." Pernyataan logic ini tidak dapat ditemukan kebenarannnya dalam dhamma, atau dengan cara memperhatikan nafas masuk dan keluar, walaupun dhamma merupakan asal usul dari logika. Dengan memperhatikan nafas, maka kita hanya dapat melihat bahwa nafas itu bergerak ke dalam. Pergerakan nafas ke arah dalam itu didefinisikan dengan variabel "nafas masuk". Yang ini disebut pengamatan ilmiah, dan peran logika hanya pada "memberikan definisi".
Ini sekedar contoh, yang pada kenyataannya, untuk masalah nafas tentunya tidak diperlukan penguraian secara logic. Ada contoh lain, dimana logika cukup berguna :
Banyak pernyataan yang benar-benar membuntuhkan logika untuk memahaminya. Seperti saya saksikan dalam banyak kasus di media massa dan sejarah. Dengan logika sama orang akan dapat mengerti benar atau salah pernyataan seorang brahmana yang dituduh membunuh, "saya seorang berhmana yang memiliki faham ahimsa, maka saya mustahil melakukan pembunuhan." Banyak umat mengangguk-ngangguk, "oh, iya yah. Dia kan seorang brahmin, bagaimana mungkin dia membunuh?" karena logika mereka gak jalan.
Saya sendiri menyaksikan lansung di TV, seorang tersangka yang dituduh melakukan penghinaan terhadap Islam, dia menyatakan, "Ibu saya muslim, adik saya ada yang muslim, saudara-saudara saya muslim, jadi tidak mungkin saya menghina islam yang berarti saya menghina keluarga sendiri." Orang-orang banyak yang percaya dengan omongannya itu, tapi para ahli logika tentunya akan mentertawakan pernyataan dengan logika yang jungkir balik tersebut. Orang yang selalu bersama dia, sangat tahu apakah sebenarnya dia pernah menghina Islam atau tidak. Sedangkan saya tidak tahu, apakah dia pernah menghina islam atau tidak, tapi pernyataan dia di media TV itu.
Dua kasus tersebut, dalam ilmu logika disebut dengan fallacy Of Glitering Generalities. Kenyataan logika yang salah itu banyak digunakan oleh para politikus untuk meraih banyak anggota. Dan banyak orang menganggap sesat terhadap agama-agama tertentu dengan menggunakan fallacy of Quantity. Hanya karena kesalahan logika, nyawa orang lain melayang. Hanya karena kesalahan logika, orang salah tafsir dengan ajaran agama-agama.
Pengetahuan langsung yang diperoleh melalui praktik meditasi, tidak akan menimbulkan salah tafsir bagi orang yang melihatnya secara langsung. Dia dapat melihat secara langsung, inilah kebenaran ariya, inilah 7 faktor pencerahan, inilah 5 nivarana, dsb. Dia melihat dan mengerti jelas, tanpa berpikir dan menganalisis dia akan memperoleh pengertian benar dan jelas, tidak mungkin salah tafsir. Dhamma hanya perlu dilihat dengan sejelas-jelasnya dan tidak perlu ditafsirkan lagi. Tapi, jika dhamma itu telah diungkapkan dapat menimbulkan kesalahan tafsir pada orang yang mendengar dan belum melihat dhamma secara langsung. Inilah awal dari pertentangan pendapat-pendapat. Sebagaimana banyak orang yang salah tafsir dengan menanggap Allah sebagai sesuatu yang personal. Ini semata karena kedangkalan logika. Allah itu sendiri adalah sesuatu sebagaimana adanya, tidak berubah karena anggapan manusia. Orang yang melihat Allah secara langsung, dia tahu dan mengerti dengan jelas, tanpa perlu berpikir dan menafsirkan. Tapi, sangat jarang orang yang dapat melihat Allah secara langsung. Umumnya manusia mempelajari Allah dengan pendekatan logikanya. Sayangnya, karena tidak memahami norma-norma logika, kemudian munculah anggapan "Allah personal". Inilah salah satu contoh, bagaimana pentingnya ilmu logika, terutama dalam rangka mempelajari teori-teori keagamaan. Demikian pula halnya dalam komunitas budhist, terjadi banyak kesalahan tafsir kitab suci karena "kedangkalan logika".
Apakah sang budha sendiri menggunakan ilmu logika? Ya, Budha Gotama menggunakan ilmu logika. Saya melihat bahwa penuturan sang budha yang tercantum di dalam sutta-sutta merupakan hal yang logic. Bahkan saya bilang, "sungguh hebat logikanya budha gotama." Tapi, sangat mengherankan saat menemukan banyaknya "kesalahan logika" yang tergambar dalam ungkapan-ungkapan sebagian umat budhist. Salah satu contohnya adalah vegetarianism dan ahimsa.
Untuk dapat berpikir logic, memang tidak harus selalu belajar ilmu logika. Sebab logika merupakan bahasa alami manusia. Seperti halnya bahasa tubuh, logika merupakan perbawaan lahir manusia. Logika alami ini, kemudian diselidiki oleh seorang filsuf bernama Aristoteles. Sebagaimana budha tidak menciptakan dhamma, melainkan menemukan dan mengungkapkannya saja, maka seperti itu pula Aristoteles. Ia tidak menciptakan Logika, melainkan menemukan dan mengungkapkannya saja. jadi, Logika itu ada pada setiap diri manusia.
Jika logika itu ada pada diri manusia, apakah ia merupakan bagian dari dhamma? Ya. Logika merupakan bagian dari dhamma. Tapi setelah logika dicatat dan dibukukan, ia menjadi pengetahuan intelektual, dimana untuk memanfaatkannya orang tidak lagi harus melihat langsung ke dalam dhamma, melainkan dapat langsung menggunakannya secara intelek. Aristoteles, sang penemu  Logika telah melihat logika di dalam dhamma. Dia mengungkapkannya untuk menusia yang belum melihat dhamma. Umat awam tidak tahu bagaimana asal muasal norma-norma logika itu muncul, tapi umat awam dapat merasakan manfaatnya. Sebagaimana umat awam tidak tahu bagaimana semua aturan-aturan dalam negeri itu dapat muncul, tapi umat awam dapat merasakan manfaatnya.
Jika memang logika ada pada diri setiap manusia, sudah tentu budha telah menemukan dan menggunakannya. Adalah mustahil orang dapat melihat nibbana tapi tidak melihat seluruh dhamma. Jika logika itu bagian dari dhamma, tentu sang budhapun telah melihatnya pula. demikian juga seluruh orang yang mengembangkan kebijaksanaan, akan dapat memahami kebenaran logic dengan sendirinya. Siapapun yang telah melihatnya, tentu akan memiliki ciri "logic dalam ungkapannya." Jadi, orang yang telah mengaku mengembangkan kebijaksaan tapi tidak logic dalam pernyataannya, maka kebijaksanaannya itu diragukan. Sebaliknya, orang yang masih jauh dari bijaksana, batinnya masih jauh dari berkembang, masih mengandung banyak kekotoran, dia tetap dapat berpikir logic, karena ilmu logika yang dulu telah diungkapkan oleh yang menemukannya dalam dhamma kini telah dipelajari oleh orang-orang yang banyak orang, termasuk orang yang dalam batinnya masih banyak kekotoran.
Jika budha Gotama tidak menguraikan ilmu logika sebagaimana Aristoteles, lalu mengapa umatnya harus menggunakan logika sebagaimana Aristoteles? Pertanyaan ini sama saja dengan pertanyaan : Budha Gotama tidak menggunakan internet untuk membabarkan dhamma, tapi mengapa umat budha menjadikan internet sebagai sarana untuk membabarkan dhamma? Zaman sekarang ini bukan 1000 tahun lalu. Sekarang, peribahasanya tidak ada sektor yang tidak disentuh oleh teknologi komputer dan internet. Seperti itu pula kebutuhan umat akan "ajaran yang logic".


Bro Candra,

Apa itu nafas masuk?
Apa itu nafas?

trims sebelumnya!
Nagasena : salah satu dari delapan penyebab matangnya kebijaksanaan dgn seringnya bertanya

johan3000

#7
Quote from: hendrako on 10 December 2008, 08:33:30 PM
Quote from: candra_mukti19 on 10 December 2008, 12:47:45 PM
terjadi banyak kesalahan tafsir kitab suci karena "kedangkalan logika".
Anda benar sekali !! logika memang dangkal !! ^-^

Agama Islam adalah agama yg banyak menggunakan kata TAFSIR....

Kedangkalan LOGIKA?

Anjing (air liur) menurut Islam adalah NAJIS (sesuatu yg kurang baik). Kenapa?
Karna dlm ayat (gw lupa) anjing2 itu meminum air dari pemilik rumah. dan air liur anjing
sudah tentu mengandung kuman2. Seningga Anjing2 (air liur) dianggap najis.......
yg HERAN (baca tidak LOGIS) nya,
kenapa tidak memilih solusi :
   A. Bejana Air di tutup,
   B. Bejana air Diletakkan di tempat yg lebih tinggi supaya tidak terjanggau dari anjing?
Malah Anjing (air liur) di jadikan sebagai binatang yg DIJAUHIN, disebut NAJIS org2 ISLAM?

:'(  :'( Perlakuan tsb sangat menyakitin hati saya... spt tersayat2 bagaikan pisau tajam.....
karna ANJING adalah binatang kesayangan saya...  :'(  :'(

Logikanya ada dimana Mr. ChandraMukti?  ;D


Quote from: candra_mukti19 on 10 December 2008, 12:47:45 PM
Tapi, sangat mengherankan saat menemukan banyaknya "kesalahan logika" yang tergambar dalam ungkapan-ungkapan sebagian umat budhist. Salah satu contohnya adalah vegetarianism dan ahimsa. 

Benar juga, memang banyak kesalahan logika ^-^,  contohnya ada orang berlogika yang tidak menyelidiki tentang vegetarianism di dalam Buddhism, tetapi berani menyatakan hal tentang vegetarianism di dalam Buddhism.

Tulisan (text) memiliki keterbatasan sebagai alat komunikasi yg SEMPURNA...

Quote from: candra_mukti19 on 10 December 2008, 12:47:45 PM

Seperti itu pula kebutuhan umat akan "ajaran yang logic".


Logika memang banyak gunanya, bahkan didalam ilmu pengetahuan sangat penting, oleh karena itu ilmu pengetahuan tidak lepas dari logika.
Namun untuk membuktikan kebenaran agama, lain lagi ceritanya.

Apabila logika digunakan untuk membuktikan kebenaran suatu agama.
Maka logika tersebut lebih tinggi dari kebenaran itu sendiri,
Karena ada parameter terhadap kebenaran, yaitu logika.
Apabila kebenaran suatu agama dapat dibuktikan dengan logika,
Maka mending belajar logika daripada agama tersebut.

Namun nyatanya, logika saja tidak cukup.
Sekali lagi lihat Kalama Sutta.

Btw, metode 3 kalimat saya udah bener gak yach ^-^??

Contoh2 logika pada umat :
   Tanam jagung, panen jagung.... (kira2 begitulah)


Bro ChandraMukti19,
ada pertanyaan utk anda belum dijawab....
http://dhammacitta.org/forum/index.php?topic=6875.new#new

trims sebelumnya!
Nagasena : salah satu dari delapan penyebab matangnya kebijaksanaan dgn seringnya bertanya

johan3000

Quote from: hatRed on 10 December 2008, 12:54:49 PM
Satu hal yang pasti

Logika hanyalah alat.

Kebenaran sejati terdapat pada Ehipassiko.

maka itu Logika menjadi pincang ketika tidak ada pembenaran atas variabel2nya.

(baru sadar ini post g yang ke 1000  :)) )

Bro HatRed,

Selamat atas posting yg ke 1000

Setelah melampaui 1000 post, apakah kemampuan
menulis secara LOGIKA anda bertambah baik?
Nagasena : salah satu dari delapan penyebab matangnya kebijaksanaan dgn seringnya bertanya

hatRed

#9
 [at] Johan3R

trims trims :))

moga moga menulis secara Logika aye tambah bagus kek mr bagus :))
i'm just a mammal with troubled soul



Lily W

 [at] Hatred... tulisan secara logikamu salah... buktinye 3R di tulis 3K... :))

_/\_ :lotus:
~ Kakek Guru : "Pikiran adalah Raja Kehidupan"... bahagia dan derita berasal dari Pikiran.
~ Mak Kebo (film BABE) : The Only way you'll find happiness is to accept that the way things are. Is the way things are

hatRed

 [at] Lily

3K = 3 Kilo

1 Kilo = 1000

3 Kilo = 3000

;D
i'm just a mammal with troubled soul



Lily W

3 kilo = 3000 apa? ga jelas tuh :)) :hammer:

_/\_ :lotus:
~ Kakek Guru : "Pikiran adalah Raja Kehidupan"... bahagia dan derita berasal dari Pikiran.
~ Mak Kebo (film BABE) : The Only way you'll find happiness is to accept that the way things are. Is the way things are

Reenzia

3k biasa dipake di game juga...

misalnya harga barang 300.000 ditulis 300k

Lily W

Nah lho... :)) Johan maunya 3R kok... ;D

_/\_ :lotus:
~ Kakek Guru : "Pikiran adalah Raja Kehidupan"... bahagia dan derita berasal dari Pikiran.
~ Mak Kebo (film BABE) : The Only way you'll find happiness is to accept that the way things are. Is the way things are