Komentar tentang tulisan pak Hudoyo:
Saya salut dengan usaha dari pak Hudoyo dan teman-teman untuk bersikap kritis. Menyambutnya saya ingin sedikit urun rembug:
Bagaimana kalau ternyata arti kata "sutta" dalam Mahaparinibbana tidak berarti seperti yang dimaksud atau dikira penerjemahnya. Kita seringkali berasumsi bahwa kata "sutta" atau "sutra" selalu sinonim dengan "Sutta pitaka", padahal kata "sutta" itu sendiri di jaman pra-konsili sangha memiliki arti yang berbeda.
Untuk jelasnya, saya kutipkan etimologi kata sutra/sutta dalam bahasa sansekerta di bawah:
] Etymology
From Sanskrit सूत्र (sū́tra), “‘thread, yarn, string; rule’”).
[edit] Pronunciation
* IPA: /ˈsuːtrə/
[edit] Noun
Singular
sutra
Plural
sutras
sutra (plural sutras)
1. A rule or thesis in Sanskrit grammar or Hindu law or philosophy.
2. (Buddhism, Hinduism) A scriptural narrative, especially a discourse of the Buddha.
(sumber:
http://en.wiktionary.org/wiki/sutra)
Jika menilik pada akar kata sutra di atas, pengertiannya dapat berarti dua hal: 1. aturan; 2. teks yang berisi narasi atau percakapan
Bagaimana kalau kata "sutta/sutra" dalam Mahaparinibbana Sutra ternyata berarti "aturan", yang dalam hal ini hanya merupakan pelengkap bagi kata "vinaya" yang disebutkan setelahnya. Mungkin terjemahannya dalam bahasa Inggris bisa dirubah menjadi:
"... Without approval and without scorn, but carefully studying the sentences word by word, one should trace them in the Rules and verify them by the Discipline. .."
Bagaimana menurut teman-teman?
Selain itu, sepengetahuan saya kata "sutra" (dalam arti "teks tentang narasi atau wacana") juga tidak eksklusif digunakan oleh pengikut agama Buddha saja. Kata sutra juga digunakan oleh kaum Jain dan terakhir digunakan juga dalam penganut Yoga.
Mohon maaf jika saya melakukan kesalahan, saya hanya bermaksud menawarkan alternatif penjelasan yang mungkin. Saya berpendapat, sebelum menyimpulkan bahwa sutta ini telah disisipi, perlu dipelajari dulu penggunaan kata "sutra/sutta" di jaman hidup Sang Buddha.