News:

Semoga anda berbahagia _/\_

Main Menu

Sang Buddha Wafat

Started by iwakbelido, 14 May 2008, 06:19:22 PM

Previous topic - Next topic

0 Members and 1 Guest are viewing this topic.

iwakbelido

 _/\_ Dear all,

Saudara-saudari se-Dharma, ada yang mau saya tanyakan nih, Buddha wafat pada umur berapa tahun? Kalo 80 tahun tp koq di ilustrasinya masi tampak muda, tanpa kerutan. Setelah Buddha wafat, jasad Beliau diapakan? Apakah diprabu? Atau dikubur?

Terima kasih  _/\_
Sabbe satta bhavantu sukhitatta

andry

yup, seingat saya sekitar 80an ,
ah itu mah ilustrasi aje bos... biar lebih sedap dipandang...
seingat saya dibakar dan reliknya disebar...
sama2
Samma Vayama

chingik

Quote from: iwakbelido on 14 May 2008, 06:19:22 PM
_/\_ Dear all,

Saudara-saudari se-Dharma, ada yang mau saya tanyakan nih, Buddha wafat pada umur berapa tahun? Kalo 80 tahun tp koq di ilustrasinya masi tampak muda, tanpa kerutan. Setelah Buddha wafat, jasad Beliau diapakan? Apakah diprabu? Atau dikubur?

Terima kasih  _/\_

Film animasi Buddha produksi Jepang menggambarkan Buddha pada usia 80 dengan mimik yang tua.

iwakbelido

 [at]  Andry:
oh ya? disebar ya? ditabur di laut/sungai kayak masa sekarang kan begitu, setelah diprabu, abunya disebar di laut/sungai.

[at]  Chingik:
wah, bisa didownload di mana ya film animasi Buddha produksi Jepang itu?
Sabbe satta bhavantu sukhitatta

nyanadhana

#4
PENGHORMATAN TERHADAP PENINGGALAN
SANG BHAGAVA



13. Kemudian suku Malla dari Kusinara itu memerintahkan kepada orang-orangnya demikian : "Kumpulkanlah sekarang semua wangi-wangian, bunga-bungaan dan para pemain musik dan apa saja yang ada di Kusinara ini." Suku Malla dengan wewangian, bunga-bungaan dan para pemain musik, dengan membawa lima ratus perangkat pakaian, pergi ke hutan Sala, ke taman hiburan suku Malla, menuju tempat jenasah Sang Bhagava. Setelah sampai di sana, mereka lalu memberi hormat terhadap jenasah Sang Bhagava, serta menyajikan tari-tarian, nyanyi-nyanyian dan lagu kebaktian, serta mempersembahkan bunga-bungaan, wangi-wangian dan segala sesuatu yang dibawanya; lalu mereka mendirikan kemah-kemah dan kubu-kubu untuk bernaung selama mereka ada di sana, melakukan upacara penghormatan terhadap jenasah Sang Bhagava itu. Kemudian mereka berunding: "Kini matahari sudah tinggi, hari sudah siang, sudah terlambat kiranya untuk memperabukan layon Sang Bhagava. Sebaiknya kita laksanakan pada hari-hari berikutnya saja."
Pada hari-hari yang kedua, ketiga, keempat, kelima dan keenam mereka terus menerus mengadakan kebaktian dan penghormatan kepada jenasah Sang Bhagava dengan bermacam tari-tarian lagu-lagu kebaktian diserta bunyi gamelan dengan musik dengan tak henti-hentinya; di samping itu mereka menyajikan bunga-bunga, kembang rampai, wangi-wangian yang baunya harum semerbak meliputi seluruh tempat tersebut.
14. Tetapi pada hari ketujuh mereka lalu berunding : "Kita telah melakukan upacara kebaktian dan penghormatan terhadap jenasah Sang Bhagava dengan tari-tarian, nyanyi-nyanyian, lagu-lagu kebaktian disertai gamelan dan musik keagamaan; menyajikan segala macam kembang serta wangi-wangian dan melakukan puja-bakti untuk menghormati jenasah Sang Bhagava. Sekarang marilah kita, mengangkat dan mengusung jenasah Beliau ke arah Selatan, dan di sana di sebelah Selatan kota kita melakukan perabuan jenasah Sang Bhagava."
Kemudian delapan orang suku Malla dari keluarga yang terkemuka, setelah mandi dan berkeramas dengan bersih serta mengenakan pakaian yang baru, dengan pikiran : "Kita akan mengangkat jenasah Sang Bhagava" mereka pun lalu berusaha mengerjakan hal itu, tetapi mereka tak dapat mengangkatnya.
Demikianlah diceritakan bahwa suku Malla itu bertanya kepada Anurudha demikian: "Bhante, karena apa dan apakah sebabnya, delapan orang dari suku Malla dari keluarga yang terkemuka ini, yang telah mandi dan berkeramas dengan bersih, serta mengenakan pakaian yang baru, dengan pikiran : "Kita akan mengangkat jenasah Sang Bhagava, lalu mereka berusaha melakukan hal itu tetapi mereka tidak dapat mengangkatnya?"
"Saudara-saudara Vasettha, ketahuilah bahwa kalian mempunyai sesuatu maksud tetapi para dewa pun mempunyai maksud yang lain."

15. "Bhante, apakah maksud para dewa itu?"
"Saudara-saudara Vasettha, maksud para dewa bahwa kalian telah melakukan upacara kebaktian penghormatan terhadap jenasah Sang Bhagava, dengan tari-tarian, nyanyi-nyanyian, lagu kebaktian disertai gamelan dan musik keagamaan; dan menyajikan segala macam kembang serta wangi-wangian dan melakukan puji-pujian untuk menghormati Sang Bhagava. Lalu berkata : "Marilah mengangkat dan mengusung jenasah Beliau ke arah Selatan; dan di sana, di sebelah Selatan kota kita melakukan perabuan jenasah Sang Bhagava."
Vasettha, sedangkan maksud Para dewa adalah: "Kita telah melakukan upacara kebaktian dan penghormatan terhadap jenasah Sang Bhagava dengan tari-tarian, nyanyi-nyanyian dan lagu dari surga serta musik dari surga; menyajikan segala macam kembang serta wangi-wangian dari surga, dan melakukan puja untuk menghormati jenasah Sang Bhagava. Sekarang marilah kita membawa jenasah Sang Bhagava ke arah Utara di sebelah Utara kota dan setelah sampai di sana, dengan melalui pintu gerbang kita lalu menuju ke pusat kota; dan dari situ kita lalu menuju ke Timur; dengan melalui pintu gerbang di Timur lalu kita menuju ke Cetiya dari suku Malla, Makutta Bhandana, dan di sanalah kita perabukan jenasah Sang Bhagava."
"Bhante, kalau begitu, baiklah apa yang dikehendaki oleh para dewa itu, kita lakukan."

16. Dengan demikian seluruh Kusinara, di segala pelosok ditimbuni penuh dengan bunga-bungaan Mandarawa; sampai setengah lutut. Demikian kebaktian dan penghormatan terhadap jenasah Sang Bhagava itu telah dilakukan oleh Para dewa dan oleh suku Malla dari Kusinara. Dengan tari-tarian, lagu-lagu, musik; bunga-bungaan dan wangi-wangian dari kedua pihak, dewa dan manusia, semuanya melakukan penghormatan, kebaktian serta pemujaan dengan hidmat tulus ikhlas. Dengan hidmat dan tertib mereka mengusung jenasah Sang Bhagava itu ke arah Utara, ke bagian Utara dari kota, dan sesudah melalui pintu gerbang Utara, lalu menuju ke pusat kota, dan sesudah melewati pintu gerbang sebelah Timur mereka menuju ke Cetiya dari suku Malla, Makuta-bhandhana, dan di sanalah jenasah Sang Bhagava dibaringkan.

17. Lalu suku Malla dari Kusinara itu berkata kepada Ananda demikian : "Bagaimana seharusnya kita melakukan penghormatan dalam memperabukan jenasah Sang Bhagava?"
"Vasetha, sama seperti cara menghormati jenasah seorang Raja Jagad."
"Tetapi bagaimanakah seharusnya kita berlaku untuk menghormati Raja Jagad itu?"
"Jenasah seorang Raja Jagad itu pertama-tama di bungkus seluruhnya dengan kain linen yang baru, dan kemudian dengan kain katun wool baru pula.
Sesudah itu dibungkus lagi seluruhnya dengan kain linen yang baru, dan lagi dengan kain katun wool yang telah dipersiapkan. Dan begitulah selanjutnya dilakukan sampai lima ratus lapisan kain linen dan lima ratus kain katun wool. Setelah itu dikerjakan jenasah Raja Jagad dibaringkan dalam suatu peti dengan dicat meni, lalu dimasukkan lagi ke dalam peti dengan dicat meni, dan suatu Pancaka (tempat perabuan) didirikan dari berbagai macam kayu wangi-wangian; di situlah jenasah seorang Raja Jagad diperabukan, dan pada perempatan (pertemuan empat jalan) didirikan sebuah stupa bagi Raja Jagad itu. Demikianlah hal itu seharusnya dilaksanakan."
"Vasetha, demikianlah sama seperti halnya jenasah seorang Raja Jagad begitu pula harus dilakukan pada jenasah Sang Tathagata. Dan barang siapa yang datang ke tempat itu membawa bunga-bungaan, atau dupa, atau serbuk cendana dan melakukan kebaktian serta penghormatan di sana mereka akan memperoleh kebahagian, untuk suatu waktu yang lama."

18. Kemudian suku Malla memberi perintah kepada orang-orangnya demikian : "Kumpulkanlah sekarang segala kain katun wool yang baru dari suku Malla." Lalu suku Malla dari Kusinara itu membungkus jenasah Sang Bhagava seluruhnya dengan kain linen baru, lalu dengan kain katun wool yang telah disiapkan; dan demikian seterusnya sehingga lima ratus lapisan kain linen dan lima ratus lapisan kain katun wool. Setelah itu dikerjakan, mereka membaringkan jenasah Sang Bhagava di dalam sebuah peti dengan dicat meni yang ditaruh lagi di dalam sebuah peti yang dicat meni yang ditaruh lagi di dalam peti yang dicat meni lainnya, kemudian mereka mendirikan pancaka pembakaran yang dibuat dari segala macam kayu-kayuan wangi-wangian dan di atas pancaka itulah jenasah Sang Bhagava ditempatkan.

19. Ketika itu Maha Kassapa sedang dalam perjalanan dari Pava ke Kusinara, bersama serombongan besar para bhikkhu yang berjumlah sampai lima ratus orang. Dalam perjalanan itu, Maha Kassapa menepi dari jalan raya dan duduk di bawah sebatang pohon.
Demikian, suku Ajivaka telah datang di tempat itu, dalam perjalanan ke Pava; dan ia membawa setangkai bunga Mandarawa dari Kusinara. Maha Kassapa melihat Ajivaka itu datang; ketika ia sudah dekat maka beliau berkata kepadanya : "Apakah Anda mengetahui tentang Guru kita?"
"Ya, saya mengetahui bahwa hari ini adalah hari yang ketujuh dari wafatnya Pertapa Gotama. Di sana kami telah memungut bunga Mandarava ini."
Mendengar jawaban itu, beberapa bhikkhu yang belum melenyapkan kesenangan nafsu, mengangkat tangan mereka menangis, membanting diri di tanah sambil berguling-guling kian ke mari. Mereka meratap sambil berkata : "Terlalu cepat Sang Tathagata parinibbana, terlalu cepat Sang Sugata parinibbana, terlalu cepat Sang Guru Jagad parinibbana dan lenyap dari pandangan." Tetapi para bhikkhu yang telah bebas dari hawa nafsu, dengan penuh kesadaran dan pengertian yang benar, merenung: "Segala sesuatu adalah tidak kekal bersifat sementara. Bagaimanakah yang akan terjadi jika tidak demikian?"
20. Ketika itu, seorang bernama Subhadda, yang telah mengundurkan diri dari keduniawian setelah umurnya lanjut. Ia pun terdapat di antara sekelompok bhikkhu itu, di mana ia berkata kepada mereka demikian : "Cukuplah saudara-saudara, janganlah berduka cita, janganlah meratap. Sekarang kita telah bebas dari Pertapa yang Maha Besar itu. Sudah terlalu lama, kita telah ditekan dengan kata-kata : 'Ini cocok bagimu, itu tidak baik bagimu.' Sekarang kita akan dapat berbuat apa saja yang kita kehendaki, dan melepaskan apa yang kita tidak senangi, tidak ada yang akan melarangnya."
Tetapi Maha Kassapa menegur para bhikkhu : "Cukuplah, saudara-saudara! Janganlah berduka cita, janganlah meratap! Karena bukankah Sang Bhagava dahulu telah mengatakan bahwa segala yang baik dan yang kita cintai pastilah akan mengalami perubahan, pergeseran, dan perpisahan?" Karena segala sesuatu yang timbul menjadi wujud, terlahir dalam perpaduan bentuk-bentuk tertentu akan mengalami kelapukan; bagaimana seseorang dapat berkata : "Semoga ia tidak sampai pada peleburannya."

21. Dikisahkan pada waktu itu, di tempat perabuan, tempat orang suku Malla asal dari keluarga yang terkemuka telah mandi dan berkemas dengan bersih lalu mengenakan pakaian-pakaian yang baru dengan pikiran: "Kita akan menyalakan api perabuan Sang Bhagava itu." Lalu mereka berusaha mengerjakan hal itu, tetapi mereka tak dapat. Setelah itu suku Malla berkata kepada Anuruddha demikian: "Bhante Anuruddha, mengapa keempat orang dari keluarga yang terkemuka, yang telah mandi dan berkeramas dengan bersih serta mengenakan pakaian-pakaian baru mempunyai pikiran: 'Kita akan menyalakan api perabuan Sang Bhagava.' Mereka berusaha melakukan hal itu, tetapi tak dapat."
"Vasettha, kamu mempunyai satu maksud tetapi para dewa mempunyai maksud lain." "Bhante, apakah maksud para dewa itu?"
"Maksud dari para dewa adalah demikian: "Bhikkhu Maha Kassapa sedang dalam perjalanan dari Pava ke Kusinara, bersama serombongan para bhikkhu yang berjumlah sampai lima ratus orang. Jangan nyalakan api perabuan Sang Bhagava itu, sebelum bhikkhu Maha Kassapa tiba untuk menghormati jenasah Sang Bhagava."
" Kalau demikian, apa yang dikehendaki para dewa itu, biarkanlah terlaksana."

22. Kemudian rombongan Maha Kassapa tiba di tempat pancaka Sang Bhagava di Cetiya dari suku Malla, Makuta-bandhana, di Kusinara. Beliau lalu mengatur jubahnya pada salah satu bahunya, dan dengan tangan tercakup di muka, beliau menghormat Sang Bhagava; beliau berjalan mengitari pancaka tiga kali, kemudian menghadap pada jenasah Sang Bhagava, lalu beliau berlutut menghormat pada jenasah Sang Bhagava. Hal yang serupa itu, juga dilakukan oleh kelima ratus bhikkhu itu.
Demikianlah setelah dilakukan penghormatan oleh Maha Kassapa beserta kelima ratus bhikkhu itu, maka di pancaka Sang Bhagava lalu terlihat api menyala dengan sendirinya dan membakar seluruhnya.

23. Demikanlah terjadi takkala jenasah Sang Bhagava mulai dibakar; yang mula-mula terbakar adalah kulitnya, jaringan daging, urat-urat dan cairan-cairan semua itu tiada yang nampak, abu maupun bagian-bagiannya, hanya tulang-tulanglah yang tertinggal. Tepat sama seperti lemak atau minyak kalau dibakar tidak meninggalkan bagian-bagiannya atau debu-debunya, demikian pula dengan jenazah Sang Bhagava setelah terbakar, apa yang dinamakan kulit, jaringan, daging, urat-uratan serta cairan, tiada nampak debunya atau bagian-bagiannya, hanya tulang-tulanglah yang tertinggal. Dari kelima ratus lapisan kain linen pembungkusnya, hanya dua yang tidak musnah, yaitu yang paling dalam dan yang paling luar.
Demikianlah ketika jenazah Sang Bhagava telah habis terbakar maka air seperti dicurahkan dari langit memadamkan api perabuan itu. Dari pohon Sala juga keluar air menyiramnya, suku Malla dari Kusinara juga membawa air yang telah diisi dengan berbagai wangi-wangian dan mereka juga menyirami api perabuan Sang Bhagava itu.
Kemudian suku Malla dari Kusinara, mengambil relik (sisa jasmani) Sang Bhagava, lalu ditempatkan di tengah-tengah ruangan sidang mereka, yang kemudian dipagari sekelilingnya dengan anyaman tombak-tombak, lalu dilapisi lagi dengan pagar dari panah dan busur-busur.
Di sanalah mereka mengadakan upacara puja bakti selama tujuh hari. Untuk menghormati relik Sang Bhagava dengan tari-tarian, nyanyian dan lagu-lagu kebaktian, serta mempersembahkan bunga-bungaan dan wangi-wangian, melakukan puja bakti terhadap relik Sang Bhagava.
Sadhana is nothing but where a disciplined one, the love, talks to one's own soul. It is nothing but where one cleans his own mind.

nyanadhana

#5
PEMBAGIAN RELIK-RELIK (BENDA-BENDA
PENINGGALAN) SANG BHAGAVA



24. Kemudian Raja Magadha, Ajatasattu, putera Ratu Videhi, mendengar bahwa Sang Bhagava telah mangkat di Kusinara. Ia mengirim utusan pada suku Malla di Kusinara dan menyatakan: "Dari kesatria asal Sang Bhagava; demikianlah pula saya. Karena itu saya sangat perlu untuk menerima sebagian relik Sang Bhagava. Untuk relik Sang Bhagava itu saya akan dirikan sebuah stupa; dan untuk menghormatiNya, saya akan mengadakan suatu kebaktian dan perayaan."
Orang Licchavi dari Vesali setelah mendengar bahwa Sang Bhagava telah wafat di Kusinara. Mereka lalu mengirim utusan pada suku Malla di Kusinara dan mengatakan: "Dari Kesatria asal Sang Bhagava; demikianlah pula kami. Kami sangat perlu untuk menerima sebagian dari relik Sang Bhagava. Untuk relik Sang Bhagava itu kami akan mendirikan sebuah stupa. Kami akan mengadakan perayaan dan kebaktian, untuk menghormati Beliau."
Suku Sakya dari Kapilavasthu juga setelah mendengar bahwa Sang Bhagava telah wafat di Kusinara. Maka mereka mengirim utusan kepada suku Malla di Kusinara dan menyatakan: "Sang Bhagava adalah keluarga kami. Berhargalah bagi kami untuk menerima sebagian dari relik Sang Bhagava. Untuk relik Sang Bhagava kami akan mendirikan sebuah stupa, dan untuk menghormati Beliau, kami akan mengadakan perayaan dan kebaktian."
Suku Buli dari Allakappa mendengar pula bahwa Sang Bhagava telah wafat di Kusinara. Mereka mengirim utusan pada suku Malla di Kusinara dan mengatakan: "Dari Kesatria asal Sang Bhagava; dan demikian pula kami. Berhargalah kami untuk menerima sebagian dari relik Sang Bhagava. Untuk relik Sang Bhagava itu kami akan mendirikan stupa, dan untuk menghormati Beliau, kami akan mengadakan perayaan dan kebaktian."
Suku Koli dari Ramagama mendengar bahwa Sang Bhagava telah wafat di Kusinara. Mereka mengirim suatu utusan pada suku Malla di Kusinara dan menyatakan: "Dari Kesatria asalnya Sang Bhagava, dan demikian pula kami. Berhargalah kami untuk menerima sebagian dari relik Sang Bhagava. Untuk relik Sang Bhagava itu kami akan mendirikan stupa, dan untuk menghormati Beliau, kami akan mengadakan perayaan dan kebaktian."
Brahmana Vethadipa mendengar bahwa Sang Bhagava telah wafat di Kusinara. Ia mengirim suatu utusan pada suku Malla di Kusinara dan menyatakan: "Dari Kesatria asalnya Sang Bhagava dan saya adalah seorang brahmana. Berharga bagi saya untuk menerima sebagian dari relik Sang Bhagava. Untuk relik Sang Bhagava itu saya akan mendirikan sebuah stupa, dan untuk menghormati Beliau, saya akan mengadakan perayaan dan kebaktian."
Suku Malla dari Pava mendengar bahwa Sang Bhagava telah wafat di Kusinara, dan mereka mengirim suatu utusan pada suku Malla di Kusinara dan menyatakan: "Dari Kesatria asalnya Sang Bhagava, dan demikian pulalah kami. Berharga bagi kami untuk menerima sebagian dari relik Sang Bhagava. Untuk relik Sang Bhagava, kami akan mendirikan sebuah stupa, dan sebagai penghormatan, kami akan mengadakan perayaan kebaktian."
25. Tetapi ketika mereka menerima pernyataan-pernyataan ini, suku Malla di Kusinara, mengadakan sidang dan menyatakan demikian: "Di kota kitalah Sang Bhagava telah wafat. Kita yang berhak atas semua relik dari Sang Bhagava." Kemudian Brahmana Dona berkata kepada sidang dengan rangkaian sajak sebagai berikut :

"Wahai saudara-saudara dengarlah sepatah kata dariku,
Sang Buddha, Maha Guru yang kita junjung tinggi,
Telah mengajarkan, agar kita selalu bersabar,
Sungguh tak layak, jika timbul ketegangan nanti,
Timbul perkelahian, peperangan karena
Relik Beliau, Manusia Agung yang tak ternilai,
Marilah kita bersama, wahai para hadirin,
Dalam suasana persaudaraan yang rukun dan damai,
Membagi menjadi delapan, peninggalan yang suci ini,
Sehingga setiap penjuru, jauh tersebar di sana sini,
Terdapat stupa-stupa yang megah menjulang tinggi,
Dan jika melihat semua itu, lalu timbul dalam sanubari,
suatu keyakinan yang teguh terhadap Beliau."
"Kalau begitu baiklah, Brahmana. Silahkan Brahmana membagi relik itu dalam ke delapan bagian." Brahmana Dona berkata kepada sidang: "Baiklah para hadirin."
Kemudian dia membagi dengan adil, dalam delapan bagian yang sama, semua peninggalan Sang Bhagava itu. Setelah selesai membagi itu, ia berkata kepada sidang demikian: "Biarlah tempayan ini, saudara-saudara berikan kepadaku. Untuk tempayan ini akan kudirikan sebuah stupa, dan sebagai penghormatan, aku akan mengadakan perayaan dan kebaktian." Tempayan itu lalu diberikan kepada Brahmana Dona.
26. Kemudian suku Moriya dari Pippalivana mengetahui bahwa Sang Bhagava telah wafat di Kusinara.
Mereka mengirim suatu utusan pada kaum Malla dari Kusinara, dan menyatakan: "Dari Kesatria asalnya Sang Bhagava, dan demikian jugalah kami. Berharga bagi kami untuk menerima sebagian dari relik Sang Bhagava. Untuk relik Sang Bhagava kami akan mendirikan sebuah stupa, dan sebagai penghormatan, kami akan mengadakan perayaan dan kebaktian."
Tetapi oleh karena relik sudah habis terbagi, maka ia dianjurkan demikian: "Tidak ada bagian dari relik Sang Bhagava yang masih tertinggal lagi. Sudah terbagi habis relik Sang Bhagava itu. Tetapi saudara dapat mengambil abu-abu dari peninggalan Sang Bhagava." Mereka mengambil abu-abu dari Sang Bhagava, lalu dibawa pulang ke kotanya.

27. Kemudian raja dari Magadha, Ajatasattu, putera dari ratu Videhi, mendirikan sebuah stupa untuk relik Sang Bhagava, di Rajagaha, dan sebagai penghormatan diadakan suatu perayaan dan kebaktian.
Orang Licchavi dari Vesali mendirikan sebuah stupa untuk relik Sang Bhagava di Vesali, dan sebagai penghormatan diadakan suatu perayaan dan kebaktian.
Suku Sakya dari Kapilavasthu mendirikan sebuah stupa untuk relik Sang Bhagava di Kapilavasthu, dan sebagai penghormatan diadakan suatu perayaan dan kebaktian.
Suku Buli dari Allakappa mendirikan sebuah stupa untuk relik Sang Bhagava di Allakappa, dan sebagai penghormatan diadakan suatu perayaan dan kebaktian.
Suku Koli dari Ramagama telah mendirikan sebuah stupa untuk relik Sang Bhagava di Vethadipa, dan sebagai penghormatan diadakan suatu perayaan dan kebaktian.
Kaum Malla dari Pava telah mendirikan sebuah stupa untuk relik Sang Bhagava di Pava, dan sebagai penghormatan diadakan suatu perayaan dan kebaktian.
Brahmana Dona telah mendirikan sebuah stupa untuk Tempayan (bekas tempat relik Sang Bhagava), dan sebagai penghormatan diadakan suatu perayaan dan kebaktian.
Suku Moriya dari Pipphalivana mendirikan sebuah stupa untuk abu Sang Bhagava di Pipphalivana, dan sebagai penghormatan diadakan suatu perayaan dan kebaktian.
Demikian maka terdapat delapan stupa untuk relik Sang Bhagava dan stupa yang kesembilan untuk tempayan dan stupa yang kesepuluh untuk abu Sang Bhagava.
Demikianlah telah terjadi pada waktu yang lalu.

28. Terbagi delapan relik Sang Bhagava
Beliau Yang Maha Tahu, kembangnya manusia,
Tujuh bagian, di Jambudipa dipuja orang,
Satu bagian, di Ramagama,
Dipuja oleh raja naga,
Sebuah gigi dipuja di surga Tavatimsa.
Sebuah gigi lagi dipuja di Kalingga oleh raja naga.
Karena pancaran cinta kasih yang tak terbatas,
Tanah air ini mendapat berkah yang melimpah.
Karena itu relik-relik Beliau dijaga dengan baik,
oleh mereka yang turut memujanya, para dewa, para naga dan oleh manusia bijaksana.
Beliaulah yang paling tinggi dipuja.
Maka itu hormatilah Dia dengan anjali,
karena sungguh sulit adanya, mungkin
ratusan Kappa belum tentu bertemu dengan seorang Buddha.
Sadhana is nothing but where a disciplined one, the love, talks to one's own soul. It is nothing but where one cleans his own mind.

K.K.

iwakbelido,

Kalo dari tradisi Theravada, Buddha Gotama parinibbana (wafat) pada usia 80 tahun. Banyak dalam sutta dikatakan tubuhnya sudah tua dan melemah, jadi tidak selalu tampak muda seperti pada ilustrasi. Mengenai apa yang dilakukan pada jasadnya, ini kutipan dari Maha Parinibbana Sutta:

"Jenazah seorang Raja Dunia, mula-mula dibungkus dengan kain linen yang baru dan kemudian diikat dengan kain wool katun dan dengan begitu ia dibalut dengan lima ratus lapisan kain linen dan lima ratus lapisan kain katun wool. Apabila itu sudah dikerjakan, maka jenazah Sang Raja Dunia itu, ditempatkan dalam sebuah peti pembuluh yang dicat meni, yang dimasukkan pula dalam peti pembuluh yang lain, kemudian ditempatkan di pembakaran jenazah yang dibangun dengan beraneka macam kayu-kayu yang wangi, dan dengan demikian jenazah Sang Raja Jagat itu lalu dibakar. Di persimpangan empat (perempatan) lalu dirikan stupa untuk raja jagat itu. Demikianlah Ananda, yang seharusnya dilakukan kepada jenazah seorang Raja Dunia.
Selanjutnya Ananda, seperti halnya dengan jenazah dari Raja Dunia itu, demikian pula seharusnya dikerjakan terhadap badan wadag Sang Tathagata..."

kemudian reliknya dibagi menjadi 8 bagian dan dibagikan kepada:
1. Raja dari Magadha, Ajatasattu
2. Orang Licchavi dari Vesali
3. Suku Sakya dari Kapilavasthu
4. Suku Buli dari Allakappa
5. Suku Koli dari Ramagama
6. Kaum Malla dari Pava
7. Brahmana Dona
8. Suku Moriya dari Pipphalivana

chingik

Quote from: iwakbelido on 15 May 2008, 08:38:35 AM
[at]  Andry:
oh ya? disebar ya? ditabur di laut/sungai kayak masa sekarang kan begitu, setelah diprabu, abunya disebar di laut/sungai.

[at]  Chingik:
wah, bisa didownload di mana ya film animasi Buddha produksi Jepang itu?


Dulu sering lihat pajangan VCDnya di Yayasan Buddha Amitabha di jln Latumeten. Mungkin bro bisa minta ke sana.

iwakbelido

 [at]  nyanadhana : terima kasih banyak saudara Nyanadhana :) postingnya sangat berguna, menambah pengetahuan

[at]  Kainyn_Kutho : terima kasih atas infonya.

Saudara se-Dharma, kalau yang ada di Stupa puncak Candi Borobudur itu reliknya siapa ya?
Sabbe satta bhavantu sukhitatta

nyanadhana

setau aku ,cerita rakyatnya ada beberapa versi
1. Relik Rambut Sang Buddha
2. Relik pembuat Borobudur
3. Relik raja-raja Buddhist
4. Relik Arahat

namun ketika jaman penjajahan Belanda, stupa utama sempet dibongkar orang Belanda, pas mereka lihat dikira kotak debu, dibuang gitu aja oleh Belanda,stupa atas trus dijadikan sebagai tempat minum kopi dan teh pada pagi dan sore hari.
Sadhana is nothing but where a disciplined one, the love, talks to one's own soul. It is nothing but where one cleans his own mind.

iwakbelido

Quote from: nyanadhana on 15 May 2008, 11:28:02 AM
setau aku ,cerita rakyatnya ada beberapa versi
1. Relik Rambut Sang Buddha
2. Relik pembuat Borobudur
3. Relik raja-raja Buddhist
4. Relik Arahat

namun ketika jaman penjajahan Belanda, stupa utama sempet dibongkar orang Belanda, pas mereka lihat dikira kotak debu, dibuang gitu aja oleh Belanda,stupa atas trus dijadikan sebagai tempat minum kopi dan teh pada pagi dan sore hari.

HAH? dibuang begitu saja oleh Belanda?? Yakin? Jadi sekarang di dlm stupa tersebut ngga ada apa2 ya?

Lalu saat Sang Buddha wafat, apakah ada kejadian yang menakjubkan? Misalkan seperti para naga menangis atau apapun lah, seperti saat Beliau lahir, Beliau langsung jalan 7 langkah ke timur, lalu bumi bergetar dll _/\_
Sabbe satta bhavantu sukhitatta

williamhalim

#11
Quote from: iwakbelido on 15 May 2008, 12:06:33 PM

Lalu saat Sang Buddha wafat, apakah ada kejadian yang menakjubkan? Misalkan seperti para naga menangis atau apapun lah, ...

Yang ada, YA Ananda yg menangis.

Sementara murid2 lain yg telah mencapai kearahatan tidak ada satupun yg menagis.

OOT:
Dalam ajaran Buddha peristiwa kematian bukanlah suatu peristiwa yg harus ditangisi.
Kematian hanyalah fenomena alam biasa.

Dalam tangisan kematian, batin kita merintih karena kemelekatan kita terhadap objek yg ditarik lepas. Sangat berat melepas kemelekatan akan orang2 yg paling dikasihi.
Memang benar, apa yg kita anggap cinta itu adalah kemelekatan, buktinya, ketika  objek yg kita cintai 'pergi', kita menderita.

::
Walaupun seseorang dapat menaklukkan beribu-ribu musuh dalam beribu kali pertempuran, namun sesungguhnya penakluk terbesar adalah orang yang dapat menaklukkan dirinya sendiri (Dhammapada 103)

nyanadhana

setau aku itu kesalahan zaman dulu dimana ga ada yang mengerti bahwa itu punya org suci apalagi berdebu, btw informasi ini aku dapat dengan bertanya ke tour guide borobudur dan bagian penelitian borobudur yaph,itu informasi yang aku dapat.

Kejadian wafat,nanti aku post
Sadhana is nothing but where a disciplined one, the love, talks to one's own soul. It is nothing but where one cleans his own mind.

nyanadhana

PARINIBBANA SANG BHAGAVA


8. Mula-mula Sang Bhagava memasuki Jhana pertama.
Bangkit dari Jhana pertama, beliau memasuki Jhana kedua. Bangkit dari Jhana kedua beliau memasuki Jhana ketiga. Bangkit dari Jhana ketiga, beliau memasuki Jhana keempat. Bangkit dari Jhana keempat, beliau memasuki keadaan Ruang Tak Terbatas. Bangkit dari keadaan Ruang Tak Terbatas, beliau memasuki keadaan Kesadaran Tak Terbatas. Bangkit dari keadaan Kesadaran Tak Terbatas, beliau memasuki keadaan Kekosongan. Bangkit dari keadaan kekosongan, beliau memasuki keadaan Bukan Pencerapan maupun Tidak Bukan Pencerapan. Bangkit dari Keadaan Bukan Pencerapan maupun Tidak Bukan Pencerapan, beliau memasuki Keadaan Penghentian dari Pencerapan dan Perasaan.
Kemudian Ananda berkata demikian : "Anuruddha kiranya Sang Bhagava telah mangkat."
"Tidak, saudara Ananda, Sang Bhagava belum mangkat, Beliau memasuki keadaan Penghentian dari Pencerapan dan Perasaan."
9. Kemudian Sang Bhagava, bangkit dari keadaan Penghentian dari Pencerapan dan Perasaan, lalu kembali lagi memasuki keadaan Bukan Pencerapan maupun Tidak Bukan Pencernaan. Bangkit dari keadaan Bukan Pencerapan maupun Tidak Bukan Pencerapan, beliau memasuki keadaan Kekosongan, beliau memasuki keadaan Kesedaran Tak Terbatas. Bangkit dari Keadaan Kesadaran Tak Terbatas, beliau memasuki keadaan Ruang Tak Terbatas. Bangkit dari keadaan Ruang Tak Terbatas, beliau memasuki Jhana keempat. Bangkit dari Jhana keempat, beliau memasuki Jhana ketiga. Bangkit dari Jhana ketiga, beliau memasuki Jhana kedua. Bangkit dari Jhana kedua, beliau memasuki Jhana pertama.
Bangkit dari Jhana pertama, beliau memasuki Jhana kedua. Bangkit dari Jhana kedua, beliau memasuki Jhana ketiga. Bangkit dari Jhana ketiga, beliau memasuki Jhana keempat. Dan bangkit dari Jhana keempat, lalu mangkatlah, Sang Bhagava - Parinibbana.
Demikianlah ketika Sang Bhagava telah Parinibbana, tepat bersamaan dengan saat parinibbanaNya, maka terjadilah gempa bumi yang sangat dahsyat, menakutkan, mengerikan, dan mengejutkan disertai halilintar sambar-menyambar di angkasa.
Ketika Sang Bhagava parinibbana, pada saat parinibbana itu, dewa Brahma Sahampati mengucapkan syair ini:

Mereka semua, semua makhluk hidup akan melepaskan bentuk kehidupan mereka kelompok batin dan jasmani.
Walaupun Ia seorang Guru Jagad seperti Beliau, yang tiada taranya, yang perkasa Tathagata Sambuddha Parinibbana juga.

Ketika Sang Bhagava parinibbana, pada saat parinibbana itu, dewa Sakka, raja para dewa, mengucapkan syair ini:
"Segala yang berbentuk tidak kekal adanya, bersifat timbul dan tenggelam,
Setelah timbul akan hancur dan lenyap,
Bahagia timbul setelah gelisah lenyap."

Ketika Sang Bhagava parinibbana, pada saat parinibbana itu, bhikkhu Anuruddha mengucapkan syair ini:
Tanpa menggerakkan napas, namun dengan keteguhan batin, bebas dari keinginan dan segala ikatan, demikianlah Sang Bijaksana mengakhiri hidupnya.
Walaupun menghadapi saat maut, Beliau tak gentar, batinnya tetap tenang.
Bagaikan padamnya nyala lampu'
Beliau mencapai kebebasan.

Ketika Sang Bhagava parinibbana, pada saat parinibbana itu, Ananda mengucapkan syair ini:
"Maka terjadilah kegemparan sehingga bulu roma berdiri, ketika Sang Buddha parinibbana."

Demikianlah, ketika Sang Bhagava meninggal, beberapa bhikkhu yang belum melenyapkan kesenangan napsu dengan mengangkat tangan mereka menangis, membanting diri di tanah sambil berguling-guling kian ke mari. Mereka meratap sambil berkata: "Terlalu cepat Sang Tathagata parinibbana, terlalu cepat Sang Guru jagad parinibbana dan lenyap dari pandangan."
Tetapi para bhikkhu yang telah bebas dari hawa nafsu dengan penuh kesadaran dan pengertian yang benar, merenung dalam batin: "Segala sesuatu adalah tidak kekal, bersifat sementara. Bagaimanakah yang akan terjadi, jika tidak terjadi demikian?"
11. Kemudian bhikkhu Anurudha berkata kepada para bhikkhu: "Cukuplah para avuso! Janganlah berduka cita, janganlah meratap! Karena bukankah Sang Bhagava dahulu telah menyatakan bahwa segala sesuatu yang disayangi dan yang dicintai itu tidaklah kekal, pastilah ada perobahan, pergeseran serta perpisahan ? Apa yang timbul dalam perwujudan, kelahiran sebagai makhluk dalam bentuk yang berpaduan itu, pasti akan mengalami kelapukan; maka hal ini tidak lenyap. Para dewa juga sangat berduka cita."
"Tetapi, para dewa manakah yang disadarkan oleh bhante?" tanya Ananda.
"Ananda, para dewa angkasa dan bumi yang masih cenderung pada kesenangan nafsu, dengan rambut kusut sambil mengangkat tangan, mereka menangis, membanting diri di tanah sambil berguling-guling kian ke mari. Mereka meratap sambil berkata : "Terlalu cepat Sang Tathagata parinibbana, terlalu cepat Sang Guru Jagad parinibbana dan akan lenyap dari pandangan."
"Tetapi para dewa yang telah bebas dari hawa nafsu, dengan penuh kesadaran dan pengertian yang benar, merenung: "Segala sesuatu adalah tidak kekal bersifat sementara. Bagaimanakah yang akan terjadi jika tidak demikian?"

12. Kini Anurudha dan Ananda selama satu malam suntuk memperbincangkan Dhamma. Kemudian Anurudha berkata kepada Ananda : "Ananda, sekarang pergilah ke Kusinara, umumkanlah kepada suku Malla : "Vasetha, ketahuilah bahwa Sang Bhagava telah mangkat. Sekarang terserahlah kepada saudara-saudara sekalian." "Baiklah bhante."
Lalu Ananda dengan seorang kawannya mempersiapkan diri sebelum tengah hari dan sambil membawa patta serta jubahnya menuju ke Kusinara.
Pada saat itu suku Malla dari Kusinara sedang berkumpul dalam ruang persidangan untuk merundingkan soal itu juga. Takala Ananda menemui mereka, lalu mengumumkan : "Vasetha, ketahuilah bahwa Sang Bhagava telah mangkat. Sekarang terserahlah kepada saudara-saudara sekalian."
Demikianlah, ketika mereka mendengar kata-kata Ananda, suku Malla dengan semua anak, istri, menantu mereka menjadi sedih, berduka cita dan sangat susah kelihatannya, ada di antara mereka dengan rambut yang kusut serta mengangkat tangan mereka menangis, membanting diri di tanah sambil berguling-guling kian ke mari. Mereka meratap sambil berkata : "Terlalu cepat Sang Tathagata parinibbana, terlalu cepat Sang Sugata parinibbana, terlalu cepat Sang Guru Jagad parinibbana dan lenyap dari pandangan."
Sadhana is nothing but where a disciplined one, the love, talks to one's own soul. It is nothing but where one cleans his own mind.

iwakbelido

thanks a lot buat infonya _/\_
Sabbe satta bhavantu sukhitatta