News:

Semoga anda berbahagia _/\_

Main Menu

Mencapai pencerahan dengan sex?

Started by morpheus, 26 July 2007, 10:58:55 PM

Previous topic - Next topic

0 Members and 1 Guest are viewing this topic.

Suchamda

Bro Morpheus,
Memang katanya begitu, melalui melatih qi, nadi, kundalini dsb katanya bisa mencapai pencerahan.
Tapi patut kita simak kata2 Thrangu Rinpoche yg mengatakan :
Bahwa ada dua jalur pencerahan dalam Vajrayana Buddhism, yaitu path of Liberation yaitu Mahamudra Upadesha, dan path of Method spt misalnya Six Yoga of Naropa (Clear Light, Inner Fire, Illusory Body, dll).

Katanya karena path of Liberation itu begitu langsung maka banyak orang yang kurang percaya dan kurang puas kok begitu saja. Oleh karena itu diciptakan path of Method supaya seakan2 esoteris, dan penuh misteri. Dalam path of Method maka loba (keinginan utk mencapai pencerahan yg paling tinggi) itu dipuaskan dahulu dengan teknik2 esoteris. Maka TR mengatakan bahwa path of Liberation itu adalah cara bagaimana melompati puncak gunung, sedangkan path of method itu adalah bagaimana berputar2 kelok kanan kiri dalam mencapai puncak gunung.

Salam,
Suchamda
"We don't use the Pali Canon as a basis for orthodoxy, we use the Pali Canon to investigate our experience." -- Ajahn Sumedho

Kelana

Apakah Sang Buddha dalam mencapai pencerahanNya melakukan hal ini? Jika tidak, mengapa kita tidak mengikuti saja teladan Beliau.
GKBU

_/\_ suvatthi hotu


- finire -

Suchamda

#17
QuoteApakah Sang Buddha dalam mencapai pencerahanNya melakukan hal ini? Jika tidak, mengapa kita tidak mengikuti saja teladan Beliau.

Kalau menurut tradisi Tantrayana, maka Sang Buddhalah yang mengajarkan semua ini.

Kalau permasalahan ini dilanjutkan, tentu topiknya akan bergeser menjadi membuktikan apa yg diajarkan sang Buddha yang asli. Saya sudah jawab di topik lain bahwa jawabannya adalah saya tidak tahu dan siapapun tidak bisa tahu secara pasti karena semuanya adalah teori2 semata.
Saya sekedar mengungkapkan fakta adanya pandangan2 yg berbeda dalam tiap aliran. Kita hargai sajalah perbedaan2 itu. Lakukan sajalah yg cocok menurut masing2.
"We don't use the Pali Canon as a basis for orthodoxy, we use the Pali Canon to investigate our experience." -- Ajahn Sumedho

Kelana

Quote from: Suchamda on 11 September 2007, 12:14:49 PM
Kalau menurut tradisi Tantrayana, maka Sang Buddhalah yang mengajarkan semua ini.
Benarkah? Kapan? Dimana?

QuoteKalau permasalahan ini dilanjutkan, tentu topiknya akan bergeser menjadi membuktikan apa yg diajarkan sang Buddha yang asli. Saya sudah jawab di topik lain bahwa jawabannya adalah saya tidak tahu dan siapapun tidak bisa tahu secara pasti karena semuanya adalah teori2 semata.
Saya sekedar mengungkapkan fakta adanya pandangan2 yg berbeda dalam tiap aliran. Kita hargai sajalah perbedaan2 itu. Lakukan sajalah yg cocok menurut masing2.

Mungkin yang kita hadapi hanyalah teori-teori, tetapi ini bukan berarti tidak ada satu pun teori tersebut yang mengandung kebenaran, pasti ada.

Benar kita perlu menghargai pandangan-pandangan, tapi untuk menghargai ataupun menerimanya secara utuh kita butuh pengujian dan tentu saja salah satu instumennya adalah akal sehat. Jika tidak, maka marilah kita membunuh orang lain beramai-ramai jika ada padangan dari suatu aliran yang mengatakan bahwa membunuh dapat mencerahkan, dan membiarkan orang-orang membunuh karena menurut mereka padangan itu cocok untuknya.
GKBU

_/\_ suvatthi hotu


- finire -

Suchamda

QuoteBenarkah? Kapan? Dimana?

Biasanya dalam belief tradisi Tantrayana dikatakan bahwa pembabaran ajaran seperti itu adalah Sang Buddha dalam wujud samboghakaya-nya.
Saya pernah membacanya tapi info itu tersebar entah dimana. Dan perlu anda ketahu adanya keterbatasan saya dalam mempelajari Tantra (saya belum masuk mempelajari Tantric traditionnya tapi baru sutta traditionnya), saya lebih paham ajaran Theravada.

Tapi bila anda penasaran dapat mencarinya di buku :
http://www.amazon.com/Ornament-Stainless-Light-Exposition-Kalachakra/dp/0861714520/ref=sr_1_3/103-1678190-0832643?ie=UTF8&s=books&qid=1189499451&sr=8-3
Disitu adalah tentang tahap completion Stage Kalachakra Tantra yg juga dijelaskan tentang garis silsilahnya.

atau masuk ke E-sangha untuk menanyakan pertanyaan anda di ruang Tibetan:
http://www.lioncity.net/buddhism/


QuoteMungkin yang kita hadapi hanyalah teori-teori, tetapi ini bukan berarti tidak ada satu pun teori tersebut yang mengandung kebenaran, pasti ada.

Karena kita berbicara di ruang Tibetan Buddhism, maka kebenaran teori itu tentu sudah selayaknya dari acuan Tibetan Buddhism itu sendiri.
Kalau anda menilai Tibetan Buddhism dari standar Theravada (misalnya) tentu akan menjadi persengketaan antar aliran. Itulah yang coba saya hindarkan.


QuoteBenar kita perlu menghargai pandangan-pandangan, tapi untuk menghargai ataupun menerimanya secara utuh kita butuh pengujian dan tentu saja salah satu instumennya adalah akal sehat. Jika tidak, maka marilah kita membunuh orang lain beramai-ramai jika ada padangan dari suatu aliran yang mengatakan bahwa membunuh dapat mencerahkan, dan membiarkan orang-orang membunuh karena menurut mereka padangan itu cocok untuknya.

Contoh anda terlalu ekstrim dan tidak relevan. Contoh yg anda berikan adalah dalam cakupan common-knowledge yg bisa dikaji dari lintas tradisi bahkan lintas agama, sedangkan permasalahan kita ini adalah uncommon-knowledge yang berlaku dalam suatu tradisi, lagipula ini menyangkut belief.
Tibetan Buddhism tentu memiliki instrumen yaitu melalui sejarah dan tradisinya sendiri untuk menilai suatu keabsahan suatu ajaran yg diusungnya.

Mohon pelajari kembali pertanyaan anda di awal diskusi dng saya agar tidak lari dari permasalahan semula:
Quote from: kelanaApakah Sang Buddha dalam mencapai pencerahanNya melakukan hal ini? Jika tidak, mengapa kita tidak mengikuti saja teladan Beliau.

Apakah yang anda maksud "dengan teladan Beliau"? menurut standard Theravada kah?
Come on bang....kita disini sedang berbicara tentang agama/ belief dan bukan pelajaran sejarah atau ilmu eksak. Tentu saja tidak bisa menerapkan standard Theravada untuk Tibetan Buddhism.


Salam,
Suchamda
"We don't use the Pali Canon as a basis for orthodoxy, we use the Pali Canon to investigate our experience." -- Ajahn Sumedho

Suchamda

http://www.khandro.net/TibBud%20_vajrayana.htm

The historical Buddha, more than 2500 years ago, addressed the objective of Enlightenment from four different perspectives.  He is held to have used many different approaches and techniques to do so in order to help all types of sentient beings. Tradition says that he taught 84, 000 different ways, but that not all of those were given by his "ordinary" self.

    The bodhisattva who was to emanate as Prince Siddhartha Gautama, and who eventually would be Buddha Shakyamuni, had attained the Tenth Bhumi without any Vajrayana practices. While dwelling in the Akanistha Realm in a state of deep samadhi, he was snapped out of that state by the Tathagatas of the ten directions and three times, who all gathered together to say "This samadhi of yours is not sufficient for attainment of Bodhi!"

    So, having invited the Devis to participate, the Buddhas bestowed upon the bodhisattva the last two of  Four Empowerments.  On engaging in the practices related to these  empowerments, the final objective was attained.

    In His example, we understand that Buddhahood cannot be attained without going through the Vajrayana or Resultant Path.  Furthermore, it is possible for someone to complete the Causal Path of Shravakayana and Paramitayana, which in this case took more than three aeons, and then to enter the Resultant Path for that final segment of the Way.

    We should understand, though, that Lord Buddha was actually a complete and perfect buddha before his appearance in this world as Prince Siddhartha.  It is only due to His prior aspiration and the need to set an example for sentient beings whose karma had ripened sufficiently for them to be born in this Good Aeon, that He: appeared to be born, get married, have a child, leave home, practiced asceticism, renounce wrong paths and attained Enlightenment after subduing the Maras.

    After that, He turned the Dharmachakra three times and, having taught and lived for 80 years, He eventually passed beyond existence (Skt. parinirvana,) in order to teach the lesson of Impermanence.

    It is clear that this achievement was not a case of "self-empowerment" and an invention of [the] Vajrayana. 

    He was a Hindu practitioner until the time of his bodhi. He unequivocally pointed out the flaws of those spiritual traditions then.  Many of those ideas are mirrored in some spiritual cocktails currently being concocted.

    ~ edited for this page from a contribution by BB to the Kagyu email list, June 2002.
"We don't use the Pali Canon as a basis for orthodoxy, we use the Pali Canon to investigate our experience." -- Ajahn Sumedho

Upaseno

Dalai Lama pernah tulis, kalian boleh melakukan sexual intercourse kalau sudah menjadi Arahant.

Silakan mencoba...

bond

Nah ini dia info yg di berikan Bhante Upaseno, bermakna dalam sekali.



Anumodana
Natthi me saranam annam, Buddho me saranam varam, Etena saccavajjena, Sotthi te hotu sabbada

Kelana

Ternyata ada tanggapan ya. Sorry saya tidak tahu.  :)

Quote from: Suchamda on 11 September 2007, 03:48:59 PM

Biasanya dalam belief tradisi Tantrayana dikatakan bahwa pembabaran ajaran seperti itu adalah Sang Buddha dalam wujud samboghakaya-nya.
Saya pernah membacanya tapi info itu tersebar entah dimana. Dan perlu anda ketahu adanya keterbatasan saya dalam mempelajari Tantra (saya belum masuk mempelajari Tantric traditionnya tapi baru sutta traditionnya), saya lebih paham ajaran Theravada.

Tapi bila anda penasaran dapat mencarinya di buku :
http://www.amazon.com/Ornament-Stainless-Light-Exposition-Kalachakra/dp/0861714520/ref=sr_1_3/103-1678190-0832643?ie=UTF8&s=books&qid=1189499451&sr=8-3
Disitu adalah tentang tahap completion Stage Kalachakra Tantra yg juga dijelaskan tentang garis silsilahnya.

atau masuk ke E-sangha untuk menanyakan pertanyaan anda di ruang Tibetan:
http://www.lioncity.net/buddhism/

Bagi saya tetap belum ada jawaban.

QuoteKarena kita berbicara di ruang Tibetan Buddhism, maka kebenaran teori itu tentu sudah selayaknya dari acuan Tibetan Buddhism itu sendiri.
Kalau anda menilai Tibetan Buddhism dari standar Theravada (misalnya) tentu akan menjadi persengketaan antar aliran. Itulah yang coba saya hindarkan.

Tentu saja kita berada dalam ruang Tibetan Buddhism, tetapi tetap kan namanya Buddhisme. Jika dalam aliran lain tidak terdapat ajaran seperti ini, sudah layak bagi kita mempertanyakannya. Kekritisan, inilah yang coba saya sampaikan.

Quote
Contoh anda terlalu ekstrim dan tidak relevan. Contoh yg anda berikan adalah dalam cakupan common-knowledge yg bisa dikaji dari lintas tradisi bahkan lintas agama, sedangkan permasalahan kita ini adalah uncommon-knowledge yang berlaku dalam suatu tradisi, lagipula ini menyangkut belief.
Tibetan Buddhism tentu memiliki instrumen yaitu melalui sejarah dan tradisinya sendiri untuk menilai suatu keabsahan suatu ajaran yg diusungnya.

Bagi saya justru relevan dan signifikan. Anda mungkin hanya memperhatikan kata "orang" bukan kata "membunuh"nya jadi anda merasa ini adalah common-knowledge. Apakah Buddhisme mendorong untuk melakukan pembunuhan? Hidup makhluk adalah berharga jadi tidak ada dorongan untuk melakukan pembunuhan. Berbeda dengan agama lain, berapa ribu hewan dikorbankan setiap tahun?

Begitu juga dengan seks yang pada dasarnya di picu oleh napsu dan memiliki dampak kemelekatan yang besar. Oleh kerena itu mempertanyakan ajaran seperti ini adalah wajar-wajar saja. Apalagi menyangkut belief (bagi saya cenderung faith), apakah umat Tibetan harus percaya begitu saja seperti kerbau dicucuk hidungnya? Jadi kekritisan itu perlu dan ini sifatnya lintas aliran.

QuoteApakah yang anda maksud "dengan teladan Beliau"? menurut standard Theravada kah?
Come on bang....kita disini sedang berbicara tentang agama/ belief dan bukan pelajaran sejarah atau ilmu eksak. Tentu saja tidak bisa menerapkan standard Theravada untuk Tibetan Buddhism.

Seperti yang saya sampaikan di atas bahwa Tibetan Buddhisme itu juga Buddhisme. Dan standard yang digunakan juga seharusnya standard yang diambil dari intisari seluruh ajaran lintas aliran.
Bagi saya ini bukan sekedar berbicara tentang agama/ belief dan bukan pelajaran sejarah atau ilmu eksak, tetapi masalah kekritisan. Apakah anda ingin teman-teman kita dari Tibetan hanya seperti kerbau yang dicucuk hidungnya tanpa berani mempertanyakan ajaran yang disuguhkan pada mereka?
Inilah alasan mengapa saya merasa perlu mempertanyakan "belief' seperti ini, "belief" yang tidak biasa dan kontradiksi.
GKBU

_/\_ suvatthi hotu


- finire -

Kelana

So where and when Sang Buddha mengajarakan "Pencerahan melalui Sex"?
(pertanyaan ini bukan untuk mereka yang tidak tahu)
GKBU

_/\_ suvatthi hotu


- finire -

bond

Iman tanpa pengetahuan buta
Pengetahuan tanpa iman pincang.

Albert Einstein



_/\_
Natthi me saranam annam, Buddho me saranam varam, Etena saccavajjena, Sotthi te hotu sabbada

bond

#26
Quote from: Kelana on 22 December 2007, 05:27:33 PM
So where and when Sang Buddha mengajarakan "Pencerahan melalui Sex"?
(pertanyaan ini bukan untuk mereka yang tidak tahu)


Setau saya tidak ada. Bahkan utk mencapai pencerahan Sang Buddha pernah mengatakan selama nafsu sex ini belum ditaklukan seperti suatu jembatan yg putus utk mencapai pencerahan sempurna.Lupa sutta apa, kalo ada yg tau silakan beri pencerahan . :)


_/\_
Natthi me saranam annam, Buddho me saranam varam, Etena saccavajjena, Sotthi te hotu sabbada

Suchamda

#27
Inti semua keberatan anda sebenarnya sudah tertampung dalam quote ini:

Quote from: kelanaSeperti yang saya sampaikan di atas bahwa Tibetan Buddhisme itu juga Buddhisme. Dan standard yang digunakan juga seharusnya standard yang diambil dari intisari seluruh ajaran lintas aliran.
Bagi saya ini bukan sekedar berbicara tentang agama/ belief dan bukan pelajaran sejarah atau ilmu eksak, tetapi masalah kekritisan. Apakah anda ingin teman-teman kita dari Tibetan hanya seperti kerbau yang dicucuk hidungnya tanpa berani mempertanyakan ajaran yang disuguhkan pada mereka?
Inilah alasan mengapa saya merasa perlu mempertanyakan "belief' seperti ini, "belief" yang tidak biasa dan kontradiksi.

1. Darimanakah keharusan itu muncul?
a. Menurut siapa harus?
b. Apakah semuahal itu "harus"?

2. Kekacauan sudah terjadi disini karena anda rancu antara Tibetan Buddhism dan Tantric Buddhism. Saya melihat anda belum memahami makna Tantra, bantahan anda sekedar berparadigmakan Sutric.

3. Anda sedang berbicara tentang suatu belief yang anda tidak pahami. Tentu saja belief itu memiliki dasar pemikirannya sendiri, sama sekali bukan seperti kerbau yg dicucuk hidungnya. Disini tampaknya anda sudah meluncurkan kalimat meremehkan. Oleh karena itu saya melihat bahwa tanpa suatu mutual respect maka penjelasan apa pun akan percuma.  Saya stop saja sampai disini.


"Tantric texts stress that practice with consorts is not a form of sexual indulgence, but rather a form of controlled visualization that uses the special bliss of sexual union. It is restricted to very advanced practitioners, yogins who have gained control over the emanation of a subtle body and have awakened the mystical heat energy . . . . Those who have not advanced to this level are not qualified to practice with an actual consort; people without the necessary prerequisites who mimic tantric sexual practices thinking that they are practicing tantra are simply deluded, and may do themselves great harm. "

Bila anda dapat mengeringkan alas meditasi katun basah dicelup air hanya dengan menggunakan panas tubuh anda di ruangan terbuka di musim dingin membeku hinga mengeluarkan kepulan asap putih, maka anda boleh bertanya untuk meminta penjelasan tentang sadhana sex kepada guru yang menguasai. Bila tidak, maka saya rasa diskusi ini hanya akan menimbulkan konflik dan pandangan salah. So, hati-hati.
"We don't use the Pali Canon as a basis for orthodoxy, we use the Pali Canon to investigate our experience." -- Ajahn Sumedho

nyanabhadra

Quote from: cetera_zhang on 27 July 2007, 10:30:30 AM
Dear all,


deleted...

Dan praktisi tantrik monastik (bhikshu/ni) tidak mempraktikkan ini karena vinaya.


sarva mangalam,
effendy

Ini praktik pribadi masing-masing, jarang diperbincangkan di komunitas tempat saya tinggal. Yang jelas, para monastik juga mempraktikkan 4 kelas tantra, namun tidak dalam wujud fisik, karena vinaya.

apabila kita tidak memiliki izin utk berlatih dan tidak tahu, memang sebaiknya tidak perlu berspekulasi tentang praktik ini.

dan entah mengapa perbincangan ini sangat digemari oleh byk orang, apalagi kalau berbicara tentang "tantra", dan lebih byk efek negatif daripada efek positif, ini buktinya kita tidak siap  :) (mgkn hanya saya sendiri yg blum siap)

bown and respect,

El Sol

 [at] atas
*baru liat avatarnya*
Bhikkhu Vajra yak? -_-"

kalo iya..
_/\_ dulu..

menurut gw..personally..

kenapa kita suka membahas yg seperti itu? karena..sex = pemuasan nafsu bisa tercerahkan..

sedangkan guru kt...Sang Buddha Gotama mengajarkan pemuasan nafsu/sex tidak akan membuat kita tercerahkan..

simple~~