News:

Semoga anda berbahagia _/\_

Main Menu

Pencapaian Nibbana dan Terlahir kembali

Started by Sukma Kemenyan, 19 December 2011, 11:02:47 AM

Previous topic - Next topic

0 Members and 1 Guest are viewing this topic.

Sukma Kemenyan

Quote from: Indra on 23 December 2011, 12:19:30 PM
itu adalah ajaran Ajita Kesakambali, bukan Ajaran Buddha. ajaran pemusnahan = nihilisme
Lha... kalo gitu ngapaen di bawa... :hammer:
Tuh khan... jadi salah tangkep... :hammer:

Indra

Quote from: Kemenyan on 23 December 2011, 12:20:56 PM
Lha... kalo gitu ngapaen di bawa... :hammer:
Tuh khan... jadi salah tangkep... :hammer:

untuk menunjukkan perbedaan dengan asumsi ini

Quote from: Kemenyan on 23 December 2011, 12:02:35 PM
Kalau dari teori ini... bukankah menjadi kejeblos ke nihilisme ?
*poof* end of story

K.K.

Quote from: Kemenyan on 23 December 2011, 12:06:41 PM
um... mungkin biar kaga bentrok ama istilah/term/definisi orang laen...
mungkin gw kaga pake istilah... nihilisme...

gue pake istilah "*poof* end of story",
so... what is nibbana ? end of story ? end of existence ?
Are we exist, in the first place? Ataukah 'ada' hanyalah sebuah persepsi?

Bedanya Buddhisme dan nihilisme atau eternalisme adalah:
-Menurut Eternalisme/Nihilisme, 'aku' ada dan setelah meninggal/nibbana/fase tertentu, yang ada itu menjadi kekal atau hancur
-Menurut Buddhisme, bahkan sebelum mencapai nibbana pun, tidak ada 'aku', semua ini adalah kumpulan yang berproses dan berlangsung tanpa akhir. Proses ini tidak terlepas dari perubahan, tidak ada yang bisa dipertahankan, maka menyebabkan penderitaan. Nah, Buddhisme tidak mengajarkan 'aku kekal' ataupun 'aku hilang', namun mengajarkan dukkha dan akhir dari dukkha.


Kang_Asep

Quote from: william_phang on 23 December 2011, 09:29:11 AM
Siddharta Gotama memang sebelum mencapai pencerahan belajar dengan dua guru... tetapi tetap setelah semua yg diketahui oleh gururnya sidharta melihat bahwa jalan tsb tidak membawa kearahan pencerahan atau apa yg dicari oleh Siddharta... oleh kerana itu beliau meninggalkan gurunya dan menjalani pertapaan keras.... jd anda sebut Siddharta saat itu sudah arahat..apakah yang anda katakan ini benar? kalo anda meyakini benar, mohon berikan rujukan/fakta/eviden atas pernyataan ini...

Siddharta mencapai pencerahan dengan usaha sendiri tanpa guru, itulah kenapa disebut sammasambuddha...beliau mencapai sammasambuddha bukan krn diajari oleh gurunya...

Setiap term itu memiliki 8 kesatuan arti dan 10 kategori. salah satunya adalah tmpat dan tempo. jika ada orang menyatakan bahwa "SBY itu murid saya", maka baik subjek (sby) atau predikat (murid saya) itu memiliki 8 kesatuan arti yang salah satunya adalah "tempat dan tempo". Jika kemudian orang menafsirkan bahwa si pembuat pernyataan telah menyatakan bahwa "saat ini sby adalah murid dia", maka dia telah melakukan suatu penambahan kepada term orang lain. padahal orang lain itu belum menjelaskan tempo "saat ini", " masa lalu" atau "masa depan" dari masing-masing term.

demikian pula ketika ada orang mengatakan "murid saya telah menjadi arahat". itu tidak boleh terburu-buru ditafsirkan sebagai "saat ini", "masa lalu" maupun "masa depan". karena yang mengetahui "makna tempo" pada term sebuah pernyataan adalah orang yang membuat pernyataannya itu sendiri.

"Sang Buddha adalah murid seorang pertapa". membantah kebenaran proposisi ini dengan berargumen bahwa ketika sang buddha disebut "sang Buddha" adalah dalam kondisi sudah tidak berguru lagi kepada pertapa tersebut, menandakan bahwa pembantah tersbut telah menambahkan persepsinya kepada pernyataan orang lain, yakni menafsirkan sendiri term milik orang lain tanpa bertanya apa makna term tersebut kepada si pembuat pernyataan.

Quote

Sedangkan apa yang disampaikan oleh YM Choa adalah beliau pada kehidupan yang lampau sudah merealisasikan dhamma dan sudah merealisasikan arahat...dan terlahir kembali pada kehidupan ini, dan beliau menyatakan bahwa beliau sudah diatas kualitas arahat, dan beliau menjawab TS secara tersirat bahwa dengan pengalaman beliau (yg dulunya adalah arahat) masih bisa terlahir lagi ke dunia ini yang sekarang menjelma menjadi YM Choa...

lalu, apa yang salah dengan pernyataan tersebut?

apakah karena kita memiliki pengetahuan bahwa ciri-ciri dari arahat itu adalah begini dan begitu, lalu kemudian kita ingin menyelidiki, apakah dia itu memenuhi ciri-ciri arahat yang kita ketahui? apakah ini masalahnya?

Quote
Apakah anda membaca dengan teliti apa yg ditulis YM Choa?.... jd coba bandingkan antara kondisi Siddharta sebelum pencerahan dengan YM Choa sekarang.. apakah kondisinya sama?....

hanya melihat dari halaman trakhir diskusi, yang tampak terlihat jelas kesalahan fahaman, atau mis komunikasi.

Indra

#454
Quote from: Kang_Asep on 23 December 2011, 02:33:40 PM
Setiap term itu memiliki 8 kesatuan arti dan 10 kategori. salah satunya adalah tmpat dan tempo. jika ada orang menyatakan bahwa "SBY itu murid saya", maka baik subjek (sby) atau predikat (murid saya) itu memiliki 8 kesatuan arti yang salah satunya adalah "tempat dan tempo". Jika kemudian orang menafsirkan bahwa si pembuat pernyataan telah menyatakan bahwa "saat ini sby adalah murid dia", maka dia telah melakukan suatu penambahan kepada term orang lain. padahal orang lain itu belum menjelaskan tempo "saat ini", " masa lalu" atau "masa depan" dari masing-masing term.

demikian pula ketika ada orang mengatakan "murid saya telah menjadi arahat". itu tidak boleh terburu-buru ditafsirkan sebagai "saat ini", "masa lalu" maupun "masa depan". karena yang mengetahui "makna tempo" pada term sebuah pernyataan adalah orang yang membuat pernyataannya itu sendiri.

"Sang Buddha adalah murid seorang pertapa". membantah kebenaran proposisi ini dengan berargumen bahwa ketika sang buddha disebut "sang Buddha" adalah dalam kondisi sudah tidak berguru lagi kepada pertapa tersebut, menandakan bahwa pembantah tersbut telah menambahkan persepsinya kepada pernyataan orang lain, yakni menafsirkan sendiri term milik orang lain tanpa bertanya apa makna term tersebut kepada si pembuat pernyataan.

lalu, apa yang salah dengan pernyataan tersebut?

apakah karena kita memiliki pengetahuan bahwa ciri-ciri dari arahat itu adalah begini dan begitu, lalu kemudian kita ingin menyelidiki, apakah dia itu memenuhi ciri-ciri arahat yang kita ketahui? apakah ini masalahnya?


Seseorang pada masa kecilnya pernah belajar musik, kemudian setelah menyelesaikan pendidikan formal ia berhasil menjadi seorang dokter, dalam bahasa umum sehari2, apakah "dalam hal kedokterannya" si dokter ini akan mengakui si guru musik sebagai gurunya?

Quote

hanya melihat dari halaman trakhir diskusi, yang tampak terlihat jelas kesalahan fahaman, atau mis komunikasi.


setelah berhari2 anda sepertinya tetap tidak mau membaca dari awal agar dapat menilai secara objektik. oleh karena itu, saya meragukan kapasitas anda sebagai juri di sini.

William_phang

#455
Quote from: Kang_Asep on 23 December 2011, 02:33:40 PM

lalu, apa yang salah dengan pernyataan tersebut?

apakah karena kita memiliki pengetahuan bahwa ciri-ciri dari arahat itu adalah begini dan begitu, lalu kemudian kita ingin menyelidiki, apakah dia itu memenuhi ciri-ciri arahat yang kita ketahui? apakah ini masalahnya?


Penyataan tersebut tidak ada yg salah... tp YM Choa bilang beliau juga theravadin... jd seharusnya pengalamannya sejalan dengan sutta-sutta yang ada.. krn saya dan teman2 disini belum pernah merealisasikan dhamma tersebut maka timbul banyak pertanyaan krn ada perbedaan pandangan dengan sutta-sutta yang ada, dan juag pengen tau dan belajar kecuali kalo YM Choa mengatakab bahwa sutta-sutta itu tidak benar dan pengalaman beliau lah yang benar, maka ya sudah tidak ada yg perlu di tanyakan lagi...

dilbert

Quote from: Kang_Asep on 23 December 2011, 02:33:40 PM
Setiap term itu memiliki 8 kesatuan arti dan 10 kategori. salah satunya adalah tmpat dan tempo. jika ada orang menyatakan bahwa "SBY itu murid saya", maka baik subjek (sby) atau predikat (murid saya) itu memiliki 8 kesatuan arti yang salah satunya adalah "tempat dan tempo". Jika kemudian orang menafsirkan bahwa si pembuat pernyataan telah menyatakan bahwa "saat ini sby adalah murid dia", maka dia telah melakukan suatu penambahan kepada term orang lain. padahal orang lain itu belum menjelaskan tempo "saat ini", " masa lalu" atau "masa depan" dari masing-masing term.

demikian pula ketika ada orang mengatakan "murid saya telah menjadi arahat". itu tidak boleh terburu-buru ditafsirkan sebagai "saat ini", "masa lalu" maupun "masa depan". karena yang mengetahui "makna tempo" pada term sebuah pernyataan adalah orang yang membuat pernyataannya itu sendiri.


wuah... mempertahankan pendapat-nya sampai tahap seperti ini... salut-salut...
VAYADHAMMA SANKHARA APPAMADENA SAMPADETHA
Semua yang berkondisi tdak kekal adanya, berjuanglah dengan penuh kewaspadaan

Kang_Asep

Quote from: Kainyn_Kutho on 23 December 2011, 09:14:42 AM
Jadi menurut anda boleh bicara seenak perut asal bukan di ruang sidang? Boleh klaim apapun tanpa dasar dan bukti? Baiklah, tampaknya anda memang tidak tahu. Diskusi memang bisa saja bebas, tidak terlalu formal. Namun namanya diskusi, seseorang yang mengemukakan argumen harus bisa mempertanggung-jawabkannya, apakah dengan bukti, logika, ataupun sekadar referensi. Itu yang membedakan diskusi dengan gossip. Cara anda 'diskusi' itu tidak ada bedanya dengan gossip ibu-ibu di pasar, tidak perlu mempertanggung-jawabkan, tidak perlu mempertahankan argumen, tidak perlu membuktikan. Nah, jika demikian cara anda, silahkan lanjutkan, tapi saya pamit sebab saya tidak suka gossip.

inilah hal yang membuat diskusi yang berat dan tidak menyenangkan. kerena, apabila segala perkataan harus dibuktikan kebenarannya, harus dipertanggung jawabkan di depan kawan diskusi yang terus menerus mencari "titik salah" dari pernyataan orang lain, maka pertanggung jawaban itu menjadi tidak mungkin. kenapa? karena setiap pernyataan akhirnya harus diurai sampai kepada detail yang terkecil yang disebut dengan "atom-atom logic". energi membutuhkan energi yang besar dan melelahkan. setelah atom-atom logic itu ditemukan, ia akan sampai kepada faktor x, yakni sesuatu yang melampaui nalar. "apa yang ada" ketika ditelusuri hingga faktor x, maka ia menjadi "tidak ada". apa yang tidak ada, ketika ditelusuri hingga faktor x, maka ia menjadi ada. sesuatu yang benar, sesampainya di faktor x, ia menjadi salah. demikian pula sebaliknya.

petanyaan yang bajik diajukan untuk mengetahui sebuah jawaban dan tidak berasal dari suatu kesimpulan bahwa orang lain telah membuat sebuah pernyataan yang salah dan akan terbukti kesalahannya oleh serangan pertanyaan yang bertubi-tubi. ini disebut "bertanya untuk menjatuhkan". Pertanyaan yang bajik itu berasal dari seseorang yang terdesak oleh suatu masalah sperti terdesaknya dia oleh rasa sakit, "apakah obat yang bisa meredakan rasa sakitku ini?" ketika orang lain menjelaskan, maka ia tidak mendebat dengan cara yang tidak menyenangkan. ia hanya mempertimbangkan, apakah jawaban orang lain itu dapat dipercaya ataukah tidak. bila tidak, ia akan bertanya kepada orang lainnya.

adi lim

Quote from: Indra on 23 December 2011, 02:37:34 PM
setelah berhari2 anda sepertinya tetap tidak mau membaca dari awal agar dapat menilai secara objektik. oleh karena itu, saya meragukan kapasitas anda sebagai juri di sini.

jadi penasehat yang tidak punya kapasitas
apa yang di bicarakan juga tidak nyambung.  ::) 
Seringlah PancaKhanda direnungkan sebagai Ini Bukan MILIKKU, Ini Bukan AKU, Ini Bukan DIRIKU, bermanfaat mengurangi keSERAKAHan, mengurangi keSOMBONGan, Semoga dapat menjauhi Pandangan SALAH.

adi lim

Quote from: Kang_Asep on 23 December 2011, 02:47:34 PM
inilah hal yang membuat diskusi yang berat dan tidak menyenangkan. kerena, apabila segala perkataan harus dibuktikan kebenarannya, harus dipertanggung jawabkan di depan kawan diskusi yang terus menerus mencari "titik salah" dari pernyataan orang lain, maka pertanggung jawaban itu menjadi tidak mungkin. kenapa? karena setiap pernyataan akhirnya harus diurai sampai kepada detail yang terkecil yang disebut dengan "atom-atom logic". energi membutuhkan energi yang besar dan melelahkan. setelah atom-atom logic itu ditemukan, ia akan sampai kepada faktor x, yakni sesuatu yang melampaui nalar. "apa yang ada" ketika ditelusuri hingga faktor x, maka ia menjadi "tidak ada". apa yang tidak ada, ketika ditelusuri hingga faktor x, maka ia menjadi ada. sesuatu yang benar, sesampainya di faktor x, ia menjadi salah. demikian pula sebaliknya.


bingung  ???
Seringlah PancaKhanda direnungkan sebagai Ini Bukan MILIKKU, Ini Bukan AKU, Ini Bukan DIRIKU, bermanfaat mengurangi keSERAKAHan, mengurangi keSOMBONGan, Semoga dapat menjauhi Pandangan SALAH.

Kang_Asep

Quote from: william_phang on 23 December 2011, 02:46:10 PM
Penyataan tersebut tidak ada yg salah... tp YM Choa bilang beliau juga theravadin... jd seharusnya pengalamannya sejalan dengan sutta-sutta yang ada.. krn saya dan teman2 disini belum pernah merealisasikan dhamma tersebut maka timbul banyak pertanyaan krn ada perbedaan pandangan dengan sutta-sutta yang ada, dan juag pengen tau dan belajar kecuali kalo YM Choa mengatakab bahwa sutta-sutta itu tidak benar dan pengalaman beliau lah yang benar, maka ya sudah tidak ada yg perlu di tanyakan lagi...

berarti kita ingin menguji kesesuaian antara sutta-sutta dengan pengalaman orang itu. begitu ya?

tampaknya sejak kemarin sudah dapat disimpulkan dengan baik bahwa pengalaman dia itu tidak sesuai dengan sutta-sutta yang dipercaya kaum theravada di sini. itu saja kan? bahkan kita bisa menyimpulkan bahwa kemungkinan orang itu hanya berhalusinasi, kalau kita ingin menyimpulkannya demikian. apakah lagi yang harus dipermasalahkan? masalah terjadi, mungkin ketika kita sangat mengharapkan bahwa dia mengakui dirinya bersalah. sebagaimana yang terlihat di dalam jalannya diskusi, pretanyaan-pertanyaan yang diajukan itu spertinya mendesak agar orang itu mengakui ssuatu. akan tetapi, orang itu juga tidak dapat mengakuinya karena tampaknya tidak mrasa seperti yang dituduhkan kepadanya. inilah tampaknya yang menjadi masalah.




dilbert

Quote from: Kang_Asep on 23 December 2011, 02:47:34 PM
inilah hal yang membuat diskusi yang berat dan tidak menyenangkan. kerena, apabila segala perkataan harus dibuktikan kebenarannya, harus dipertanggung jawabkan di depan kawan diskusi yang terus menerus mencari "titik salah" dari pernyataan orang lain, maka pertanggung jawaban itu menjadi tidak mungkin. kenapa? karena setiap pernyataan akhirnya harus diurai sampai kepada detail yang terkecil yang disebut dengan "atom-atom logic". energi membutuhkan energi yang besar dan melelahkan. setelah atom-atom logic itu ditemukan, ia akan sampai kepada faktor x, yakni sesuatu yang melampaui nalar. "apa yang ada" ketika ditelusuri hingga faktor x, maka ia menjadi "tidak ada". apa yang tidak ada, ketika ditelusuri hingga faktor x, maka ia menjadi ada. sesuatu yang benar, sesampainya di faktor x, ia menjadi salah. demikian pula sebaliknya.

petanyaan yang bajik diajukan untuk mengetahui sebuah jawaban dan tidak berasal dari suatu kesimpulan bahwa orang lain telah membuat sebuah pernyataan yang salah dan akan terbukti kesalahannya oleh serangan pertanyaan yang bertubi-tubi. ini disebut "bertanya untuk menjatuhkan". Pertanyaan yang bajik itu berasal dari seseorang yang terdesak oleh suatu masalah sperti terdesaknya dia oleh rasa sakit, "apakah obat yang bisa meredakan rasa sakitku ini?" ketika orang lain menjelaskan, maka ia tidak mendebat dengan cara yang tidak menyenangkan. ia hanya mempertimbangkan, apakah jawaban orang lain itu dapat dipercaya ataukah tidak. bila tidak, ia akan bertanya kepada orang lainnya.

seperti kang asep yang mencoba "membela" argumen tertentu sampai kepada atom atom logic.

contohnya :
Quote from: Kang_Asep on 23 December 2011, 02:33:40 PM
Setiap term itu memiliki 8 kesatuan arti dan 10 kategori. salah satunya adalah tmpat dan tempo. jika ada orang menyatakan bahwa "SBY itu murid saya", maka baik subjek (sby) atau predikat (murid saya) itu memiliki 8 kesatuan arti yang salah satunya adalah "tempat dan tempo". Jika kemudian orang menafsirkan bahwa si pembuat pernyataan telah menyatakan bahwa "saat ini sby adalah murid dia", maka dia telah melakukan suatu penambahan kepada term orang lain. padahal orang lain itu belum menjelaskan tempo "saat ini", " masa lalu" atau "masa depan" dari masing-masing term.

demikian pula ketika ada orang mengatakan "murid saya telah menjadi arahat". itu tidak boleh terburu-buru ditafsirkan sebagai "saat ini", "masa lalu" maupun "masa depan". karena yang mengetahui "makna tempo" pada term sebuah pernyataan adalah orang yang membuat pernyataannya itu sendiri.

"Sang Buddha adalah murid seorang pertapa". membantah kebenaran proposisi ini dengan berargumen bahwa ketika sang buddha disebut "sang Buddha" adalah dalam kondisi sudah tidak berguru lagi kepada pertapa tersebut, menandakan bahwa pembantah tersbut telah menambahkan persepsinya kepada pernyataan orang lain, yakni menafsirkan sendiri term milik orang lain tanpa bertanya apa makna term tersebut kepada si pembuat pernyataan.


pernyataan dari member CHOA bahwa ada muridnya yg menjadi Arahat, menurut kang asep ditafsirkan sebagai apa ?
VAYADHAMMA SANKHARA APPAMADENA SAMPADETHA
Semua yang berkondisi tdak kekal adanya, berjuanglah dengan penuh kewaspadaan

Kang_Asep

Quote from: dilbert on 23 December 2011, 02:58:55 PM
seperti kang asep yang mencoba "membela" argumen tertentu sampai kepada atom atom logic.

semua boleh menjelaskan pendapatnya sampai kepada atom-atom logic. Tapi semua akan menjadi tidak mungkin dan hanya akan mmbuang-buang energi apabila logika tidak tegak di atas ketenangan, kedamaian dan pikiran yang dipenuhi dengan cinta kasih. karena untuk dapat melihat dhamma secara lebih mendalam dan terperinci dibutuhkan konsentrasi dan ketenangan, demikian pula untuk bisa sampai kepada atom-atom logic. tidak ada hal lain yang diharapkan dari komentar-komentar ini kecuali harapan "umat bisa menjalin komunikasi" dengan cara yang lebih baik.

Quote
contohnya :
pernyataan dari member CHOA bahwa ada muridnya yg menjadi Arahat, menurut kang asep ditafsirkan sebagai apa ?

ditafsirkan sebagai kemungkinan, yakni mungkin salah atau mungkin benar.

William_phang

Quote from: Kang_Asep on 23 December 2011, 02:57:16 PM
berarti kita ingin menguji kesesuaian antara sutta-sutta dengan pengalaman orang itu. begitu ya?

tampaknya sejak kemarin sudah dapat disimpulkan dengan baik bahwa pengalaman dia itu tidak sesuai dengan sutta-sutta yang dipercaya kaum theravada di sini. itu saja kan? bahkan kita bisa menyimpulkan bahwa kemungkinan orang itu hanya berhalusinasi, kalau kita ingin menyimpulkannya demikian. apakah lagi yang harus dipermasalahkan? masalah terjadi, mungkin ketika kita sangat mengharapkan bahwa dia mengakui dirinya bersalah. sebagaimana yang terlihat di dalam jalannya diskusi, pretanyaan-pertanyaan yang diajukan itu spertinya mendesak agar orang itu mengakui ssuatu. akan tetapi, orang itu juga tidak dapat mengakuinya karena tampaknya tidak mrasa seperti yang dituduhkan kepadanya. inilah tampaknya yang menjadi masalah.





iya memang diuji apakah benar seperti yg terulis di sutta,,,dan sudah dapat disimpulkan bahwa pengalaman YM Choa tidak sesuai dengan sutta.. makanya ada, indra, yang menanyakan apakah beliau itu menganut bodhisattva (mahayana) atau bodhisatta (theravada).... tetapi hal ini tidak pernah dijawab...

Kang_Asep

Quote from: william_phang on 23 December 2011, 03:07:34 PM
iya memang diuji apakah benar seperti yg terulis di sutta,,,dan sudah dapat disimpulkan bahwa pengalaman YM Choa tidak sesuai dengan YM Choa.. makanya ada, indra, yang menanyakan apakah beliau itu menganut bodhisattva (mahayana) atau bodhisatta (theravada).... tetapi hal ini tidak pernah dijawab...

berarti sebenarnya sudah selesai urusan. semua sudah jelas. kemudian, apakah lagi yang dipermsalahkan?