Authenticity of the Suttas of the Pali Canon

Started by sobat-dharma, 13 May 2011, 03:50:45 PM

Previous topic - Next topic

0 Members and 1 Guest are viewing this topic.

Indra

Quote from: Kainyn_Kutho on 20 May 2011, 08:57:05 AM
Kalau ini sih sudah pengetahuan umum, sebetulnya. Bagaimana dengan yang bisa mengusap lutut tanpa membungkuk?

ya ini jadi kontradiksi, mengusap lutut tanpa membungkuk hanya bisa jika "the length of a man's outspread arms (arm span) is longer than his height". tapi lucunya bukan poin ini yg dianggap kontroversial oleh artikel di atas.

ryu

Janganlah memperhatikan kesalahan dan hal-hal yang telah atau belum dikerjakan oleh diri sendiri. Tetapi, perhatikanlah apa yang telah dikerjakan dan apa yang belum dikerjakan oleh orang lain =))

ryu

Quote from: Kainyn_Kutho on 20 May 2011, 08:57:05 AM
Kalau ini sih sudah pengetahuan umum, sebetulnya. Bagaimana dengan yang bisa mengusap lutut tanpa membungkuk?
khan bisa sambil tidur atau duduk =))
Janganlah memperhatikan kesalahan dan hal-hal yang telah atau belum dikerjakan oleh diri sendiri. Tetapi, perhatikanlah apa yang telah dikerjakan dan apa yang belum dikerjakan oleh orang lain =))

K.K.

Quote from: Indra on 20 May 2011, 09:03:54 AM
ya ini jadi kontradiksi, mengusap lutut tanpa membungkuk hanya bisa jika "the length of a man's outspread arms (arm span) is longer than his height". tapi lucunya bukan poin ini yg dianggap kontroversial oleh artikel di atas.

Sepertinya sih memang artikel itu membahas kalau memang itu benar, berarti 'manusia besar' itu tubuhnya tidak proporsional. Saya justru bukan membayangkan kakinya pendek, tapi pahanya yang pendek, sehingga lututnya berada di atas.

Tapi memang terlepas dari yang satu ini, memang artikel ini juga bermanfaat. Hal begini dibahas untuk mengingatkan kita agar objektif dan tidak 'mengkultuskan' buku. Tidak otentik, kita bilang tidak otentik, bukan melakukan pembenaran a la master: "palsu atau asli, yang penting bermanfaat!" Bagi yang sudah sering baca, tentu tahu ada banyak kejanggalan, dari segi kronologis atau tulisan (sutta Pali saja juga banyak salah tulis, ada koreksi, kadang juga tambahan). Tapi yang baru baca sutta atau baru mengenal Buddhisme, mungkin masih terbawa pemikiran seperti agama lain yang kitabnya 'infallible'. Dalam Buddhisme, sama sekali tidak demikian.

djoe

Quote from: Kainyn_Kutho on 20 May 2011, 09:57:18 AM

Tapi memang terlepas dari yang satu ini, memang artikel ini juga bermanfaat. Hal begini dibahas untuk mengingatkan kita agar objektif dan tidak 'mengkultuskan' buku. Tidak otentik, kita bilang tidak otentik, bukan melakukan pembenaran a la master: "palsu atau asli, yang penting bermanfaat!" Bagi yang sudah sering baca, tentu tahu ada banyak kejanggalan, dari segi kronologis atau tulisan (sutta Pali saja juga banyak salah tulis, ada koreksi, kadang juga tambahan). Tapi yang baru baca sutta atau baru mengenal Buddhisme, mungkin masih terbawa pemikiran seperti agama lain yang kitabnya 'infallible'. Dalam Buddhisme, sama sekali tidak demikian.

Akhirnya ada yang bisa melihat sisi positif yang ingin disampaikan bro Sobat Dharma


Quote from: sobat-dharma on 14 May 2011, 08:40:33 PM
Daripada ribut soal asli atau palsu sutta2 (ataupun sutra2), pesan dari penulis artikel ini, yaitu Leight Brasington, pantas diperhatikan:

"Read lots of suttas looking for practices the Buddha repeatedly says you should do - and then go do them. Don't worry too much about the stories, contradictions, mythology, etc. Remember the Buddha was only concerned about showing the way to end dukkha - find his instructions concerning this and follow them."

Saya melihat sikap ini dari penulis sangat jujur, berani mengakui bahwa sebagian kitab suci yang dijadikannya sebagai landasan praktik dirinya pribadi, mungkin saja "tidak otentik" alias "palsu". Meski demikian, sepalsu-palsunya sebuah sutta, isi dan pesan yang termaktub di dalamnya tidak selalu langsung dapat dianggap sebagai sesat. Sebagai praktisi, kita perlu langsung melihat pada petunjuk dalam setiap sutta  kemudiannya meggunakannya sebagai tuntunan bagi praktik kita, bukan langsung merendah-rendahkan atau mengabaikan isinya sama sekali.

Oleh karena itu, dalam mendiskusikan mengenai palsu atau tidaknya suatu sutta, hindarilah semangat kolektor barang antik:  mengkoleksi barang asli dan membuang barang palsu semata-mata dilihat dari nilai harganya di pasar, bukan kegunaan riilnya. Meskipun sebuah sutta diragukan keotentikkannya, sebaiknya perhatikan isi pesannya secara keseluruhan. Jika di dalam sutta tersebut banyak mengandung petunjuk yang berguna dalam praktik, sebaiknya sutta tersebut tetap layak untuk  dipertahankan untuk dijadikan petunjuk.

Quote from: sobat-dharma on 15 May 2011, 11:34:51 AM
Kumpulan Tipitaka Pali misalnya, meski seperti yang diungkap dalam artikel di atas sebagian diragukan otensitasnya, namun secara keseluruhan telah berjasa selama ribuan tahun memberi petunjuk bagi para Thera di Sri Lanka untuk mencapai kearahatan. Terlepas dari kenyataan bahwa ada yang palsu atau asli dalam kumpulan sutta tersebut, kumpulan sutta tersebut telah berjasa selama ribuan tahun untuk memberikan petunjuk bagi Guru2 besar yang akhirnya tercerahkan. Bahkan guru2 besar yang tercerahkan tersebut tidak melakukan suatu tindakan "pembersihan" atas sutta-sutta "palsu." Mereka tetap menghormati dan melestarikan keseluruhan koleksi Tipitaka dalam bentuknya sepertyi sekarang ini. Kenapa demikian? Kalau mau jujur, yang paling bisa membedakan mana sutra asli dan mana sutra palsu adalah Guru yang telah mencapai kearahatan, bukankah demikian? Tapi coba pikir, mengapa Para Guru-guru tersebut sama sekali tidak tertarik melakukan hal demikian?

Demikian juga dalam Mahayana, meski sebagian besar sutranya diragukan keasliannya, namun sutra-sutra itu telah berjasa membantu para Guru2 dalam Mahayana dengan memberikan petunjuk praktik yang membawanya pada pencerahan. Bahkan setelah Para Guru tersebut  mencapai pencerahan, mereka menyarankan agar sutra-sutra tersebut untuk dibaca dan terus diwariskan kepada murid-muridnya. Saya percaya, hal ini dikarenakan bagi Guru2 itu sutra-sutra tersebut, terlepas dari palus atau aslinya, bermanfaat bagi praktik. Mereka tidak menilai sutra-sutra dari nilai originalitasnya belaka, melainkan dari manfaatnya bagi manusia.
   

sobat-dharma

#185
Quote from: Kainyn_Kutho on 20 May 2011, 09:57:18 AM
Sepertinya sih memang artikel itu membahas kalau memang itu benar, berarti 'manusia besar' itu tubuhnya tidak proporsional. Saya justru bukan membayangkan kakinya pendek, tapi pahanya yang pendek, sehingga lututnya berada di atas.

Tapi memang terlepas dari yang satu ini, memang artikel ini juga bermanfaat. Hal begini dibahas untuk mengingatkan kita agar objektif dan tidak 'mengkultuskan' buku. Tidak otentik, kita bilang tidak otentik, bukan melakukan pembenaran a la master: "palsu atau asli, yang penting bermanfaat!" Bagi yang sudah sering baca, tentu tahu ada banyak kejanggalan, dari segi kronologis atau tulisan (sutta Pali saja juga banyak salah tulis, ada koreksi, kadang juga tambahan). Tapi yang baru baca sutta atau baru mengenal Buddhisme, mungkin masih terbawa pemikiran seperti agama lain yang kitabnya 'infallible'. Dalam Buddhisme, sama sekali tidak demikian.


Bukankah ini justru semangat dalam artikel ini: jangan pusing dengan segala ketidakotentikan dalam sutta tapi langsung perhatikan petunjuknya yang bermanfaat bagi praktik:

"Read lots of suttas looking for practices the Buddha repeatedly says you should do - and then go do them. Don't worry too much about the stories, contradictions, mythology, etc. Remember the Buddha was only concerned about showing the way to end dukkha - find his instructions concerning this and follow them."
Mereka yang melihat-Ku dari wujud dan mengikuti-Ku dari suara terlibat dalam upaya salah. Mereka takkan melihat Aku. Dari Dharma-lah mestinya ia melihat Para Buddha. Dari Dharmakaya datang tuntunan baginya. Namun hakikat sejati Dharma tak terlihat dan tiada seorangpun bisa menyadarinya sebagai obyek

Indra

Quote from: sobat-dharma on 20 May 2011, 11:16:41 AM
Bukankah ini justru semangat dalam artikel ini: jangan pusing dengan segala ketidakotentikan dalam sutta tapi langsung perhatikan petunjuknya yang bermanfaat bagi praktik:

Read lots of suttas looking for practices the Buddha repeatedly says you should do - and then go do them. Don't worry too much about the stories, contradictions, mythology, etc. Remember the Buddha was only concerned about showing the way to end dukkha - find his instructions concerning this and follow them.

tapi bukankah hal itu dapat memberi peluang pada masuknya ajaran2 palsu yg berbahaya, spt misalnya ajaran, "membunuh untuk menolong", dll

sobat-dharma

Quote from: Indra on 20 May 2011, 11:19:29 AM
tapi bukankah hal itu dapat memberi peluang pada masuknya ajaran2 palsu yg berbahaya, spt misalnya ajaran, "membunuh untuk menolong", dll

Soal demikian tidak bisa langsung dinilai secara rigid, harus dilihat dari konteks ketika pesan itu disampaikan.
Mereka yang melihat-Ku dari wujud dan mengikuti-Ku dari suara terlibat dalam upaya salah. Mereka takkan melihat Aku. Dari Dharma-lah mestinya ia melihat Para Buddha. Dari Dharmakaya datang tuntunan baginya. Namun hakikat sejati Dharma tak terlihat dan tiada seorangpun bisa menyadarinya sebagai obyek

Indra

Quote from: sobat-dharma on 20 May 2011, 11:21:47 AM
Soal demikian tidak bisa langsung dinilai secara rigid, harus dilihat dari konteks ketika pesan itu disampaikan.

jadi ada juga kasus tertentu di mana kita harus mempertimbangkan?

ryu

Quote from: sobat-dharma on 20 May 2011, 11:16:41 AM
Bukankah ini justru semangat dalam artikel ini: jangan pusing dengan segala ketidakotentikan dalam sutta tapi langsung perhatikan petunjuknya yang bermanfaat bagi praktik:

"Read lots of suttas looking for practices the Buddha repeatedly says you should do - and then go do them. Don't worry too much about the stories, contradictions, mythology, etc. Remember the Buddha was only concerned about showing the way to end dukkha - find his instructions concerning this and follow them."
sepertinya anda salah mengartikan kata2 om kutu, maksudnya adalah kita harus jujur, mengatakan asli sebagai asli dan palsu sebagai palsu, bukannya membenarkan yang palsu asal bermanfaat, apakah para guru budis tidak bisa berkata jujur sutra ini asli ini palsu kepada umatnya? sehingga umat bisa memilah2 mau diambil atau tidak yang palsu itu, bukannya membenarkan sutra palsu dan di perbanyak, sedangkan sutra asli di sembunyikan, umat mana tahu kepalsuan sutra kalau diturunkan terus sama guru2nya, umat hanya bisa anguk2 kepala saja tanpa tahu kepalsuan sutra itu.
Janganlah memperhatikan kesalahan dan hal-hal yang telah atau belum dikerjakan oleh diri sendiri. Tetapi, perhatikanlah apa yang telah dikerjakan dan apa yang belum dikerjakan oleh orang lain =))

sobat-dharma

Quote from: Indra on 20 May 2011, 11:23:20 AM
jadi ada juga kasus tertentu di mana kita harus mempertimbangkan?

Misalnya:

Apakah sebuah negara yang mayoritas Buddhis tidak memiliki tentara yang boleh membunuh? Seandainya negara itu diserang oleh negara lain untuk ditaklukkan dan Buddhisme akan dihapuskan dari negara itu, apakah tentara itu tidak boleh berperang? Dalam peperangan apakah yang tidak terjadi pembunuhan? Lantas bagaimana engkau menjawab kepada tentara yang memegang Pancasila Buddhis tentang soal ini? Apakah mereka tetap tidak boleh membunuh di medan perang?

Saat petani yang sawah atau kebunnya diserang oleh hama serangga, tikus atau hewan lainnya, apakah mereka tidak boleh membasmi hama tersebut? Apakah ia lebih baik membiarkan sawahnya habis dilahap hama, atau seluruh sawah di negara Buddhis dibiarkan saja habis dilahap hama, hanya karena semuanya memegang sila tidak boleh membunuh? Menurutmu, dalam kondisi seperti ini apakah membunuh hama bisa dihindari?

Mereka yang melihat-Ku dari wujud dan mengikuti-Ku dari suara terlibat dalam upaya salah. Mereka takkan melihat Aku. Dari Dharma-lah mestinya ia melihat Para Buddha. Dari Dharmakaya datang tuntunan baginya. Namun hakikat sejati Dharma tak terlihat dan tiada seorangpun bisa menyadarinya sebagai obyek

dilbert

Quote from: Kainyn_Kutho on 20 May 2011, 09:57:18 AM
Sepertinya sih memang artikel itu membahas kalau memang itu benar, berarti 'manusia besar' itu tubuhnya tidak proporsional. Saya justru bukan membayangkan kakinya pendek, tapi pahanya yang pendek, sehingga lututnya berada di atas.

Tapi memang terlepas dari yang satu ini, memang artikel ini juga bermanfaat. Hal begini dibahas untuk mengingatkan kita agar objektif dan tidak 'mengkultuskan' buku. Tidak otentik, kita bilang tidak otentik, bukan melakukan pembenaran a la master: "palsu atau asli, yang penting bermanfaat!" Bagi yang sudah sering baca, tentu tahu ada banyak kejanggalan, dari segi kronologis atau tulisan (sutta Pali saja juga banyak salah tulis, ada koreksi, kadang juga tambahan). Tapi yang baru baca sutta atau baru mengenal Buddhisme, mungkin masih terbawa pemikiran seperti agama lain yang kitabnya 'infallible'. Dalam Buddhisme, sama sekali tidak demikian.

Quote from: djoe on 20 May 2011, 10:53:05 AM
Akhirnya ada yang bisa melihat sisi positif yang ingin disampaikan bro Sobat Dharma

[at] bro djoe, kayaknya kamu salah pengertian... yang saya tangkap maksud bro kainyn malah "mengingat"-kan yang sebaliknya...
[at] bro kainyn, coba di-klarifikasi dulu...
VAYADHAMMA SANKHARA APPAMADENA SAMPADETHA
Semua yang berkondisi tdak kekal adanya, berjuanglah dengan penuh kewaspadaan

Indra

Quote from: sobat-dharma on 20 May 2011, 11:28:21 AM
Misalnya:

Apakah sebuah negara yang mayoritas Buddhis tidak memiliki tentara yang boleh membunuh? Seandainya negara itu diserang oleh negara lain untuk ditaklukkan dan Buddhisme akan dihapuskan dari negara itu, apakah tentara itu tidak boleh berperang? Dalam peperangan apakah yang tidak terjadi pembunuhan? Lantas bagaimana engkau menjawab kepada tentara yang memegang Pancasila Buddhis tentang soal ini? Apakah mereka tetap tidak boleh membunuh di medan perang?

Saat petani yang sawah atau kebunnya diserang oleh hama serangga, tikus atau hewan lainnya, apakah mereka tidak boleh membasmi hama tersebut? Apakah ia lebih baik membiarkan sawahnya habis dilahap hama, atau seluruh sawah di negara Buddhis dibiarkan saja habis dilahap hama, hanya karena semuanya memegang sila tidak boleh membunuh? Menurutmu, dalam kondisi seperti ini apakah membunuh hama bisa dihindari?



jadi intinya pandangan mahayanis anda memang membenarkan pembunuhan dalam peperangan dan pembasmian hama?

yg saya pelajari dari Buddhisme, profesi sbg prajurit memang bukan penghidupan benar.


ryu

Quote from: sobat-dharma on 20 May 2011, 11:28:21 AM
Misalnya:

Apakah sebuah negara yang mayoritas Buddhis tidak memiliki tentara yang boleh membunuh? Seandainya negara itu diserang oleh negara lain untuk ditaklukkan dan Buddhisme akan dihapuskan dari negara itu, apakah tentara itu tidak boleh berperang? Dalam peperangan apakah yang tidak terjadi pembunuhan? Lantas bagaimana engkau menjawab kepada tentara yang memegang Pancasila Buddhis tentang soal ini? Apakah mereka tetap tidak boleh membunuh di medan perang?

Saat petani yang sawah atau kebunnya diserang oleh hama serangga, tikus atau hewan lainnya, apakah mereka tidak boleh membasmi hama tersebut? Apakah ia lebih baik membiarkan sawahnya habis dilahap hama, atau seluruh sawah di negara Buddhis dibiarkan saja habis dilahap hama, hanya karena semuanya memegang sila tidak boleh membunuh? Menurutmu, dalam kondisi seperti ini apakah membunuh hama bisa dihindari?


apakah buda mengajarkan untuk membunuh?

apakah dalai lama membunuh?

ada option lain khan yaitu lari?

setiap pembunuhan ada konsekuensinya itu yang diajarkan buda, bukan melakukan pembenaran membunuh demi menolong.
Janganlah memperhatikan kesalahan dan hal-hal yang telah atau belum dikerjakan oleh diri sendiri. Tetapi, perhatikanlah apa yang telah dikerjakan dan apa yang belum dikerjakan oleh orang lain =))

sobat-dharma

Quote from: Indra on 20 May 2011, 11:31:13 AM
jadi intinya pandangan mahayanis anda memang membenarkan pembunuhan dalam peperangan dan pembasmian hama?

yg saya pelajari dari Buddhisme, profesi sbg prajurit memang bukan penghidupan benar.



Mahayana berkembang dari tuntutan realitas di masyarakat. Tentara dan petani yang mempunyai keyakinan terhadap ajaran Buddhis tidak perlu terlalu risau antara tuntutan dalam kehidupan dalam dunia awam dengan Buddhadharma. Konflik2 demikian, bagaimanapun harus dijawab dan diberikan ruang yang toleran untuk mendamaikan keduanya. Mereka tidak perlu meninggalkan pekerjaannya, selama profesi itu mutlak dibutuhkan dalam masyarakat, hanya untuk Buddhadharma ataupun sebaliknya.

Jika tidak ada tentara atau polisi (seperti Densus 88) lantas siapa yang akan mempertahankan negara atau menjaga keamanan di negara tersebut dari teroris dll? Negara-negara Buddhis seperti Sri Lanka, Thailand dl, faktanya,l sama sekali tidak menghilangkan tentara dari alat negara.

Jika petani tidak boleh membunuh hama-hama dari sawahnya, lantas bagaimana mengisi perut warga negara yang lapar?
Mereka yang melihat-Ku dari wujud dan mengikuti-Ku dari suara terlibat dalam upaya salah. Mereka takkan melihat Aku. Dari Dharma-lah mestinya ia melihat Para Buddha. Dari Dharmakaya datang tuntunan baginya. Namun hakikat sejati Dharma tak terlihat dan tiada seorangpun bisa menyadarinya sebagai obyek