maka jelaskanlah, bagaimana cara anda mempertahankan cita-cita bodhisattva (yg menghindari pembunuhan) sementara anda membenarkan pembunuhan?
Sebelumnya saya ingin mengkoreksi terlebih dahulu: Kata "membenarkan pembunuhan" seolah-olah saya mengganggap membunuh dalam situasi dan keadaan apapun adalah baik, padahal yang saya maksudkan bukan demikian. Saya hanya hendak menyampaikan bahwa sila-sila dalam Buddhadharma harus fleksibel melihat kondisi, karena memang dalam kondisi tertentu seseorang tidak bisa menghindari pembunuhan demi keselamatan makhluk lain. Ini bukan sekadar "pembenaran", tapi pemahaman terhadap bagaimana cara praktik Buddhadharma dapat dikontekstualisasikan dalam kehidupan sehari-hari masyarakat yang sangat beragam.
Bagaimana tetap mempertahankan cita-cita Bodhisattva dalam dunia realitas?
Umat Buddhis yang dipenuhi dengan pikiran ingin tetap konsisten untuk mempraktikkan ajaran sebagaimana yang ditulis dalam sutta/sutra, tentu pantas dihargai dan dipandang positif. Akan tetapi keinginan ini akan justru menjadi halangan tatkala ia harus menghadapi realitas yang menyebabkannya harus memilih antara mempertahankan konsistensi ajaran atau menyadari realitas yang ada. Hal demikian adalah tantangan bagi semua praktisi Buddhadharma, terutama yang hidup dalam dunia awam.
Konflik semacam ini jika tidak diselesaikan malah akan menyebabkan yang bersangkutan mengalami kecemasan dan tidak tenang dalam menjalani aktivitas sehari-harinya. Misalnya, seorang yang dikarenakan ia sangat patuh dan terobsesi dengan sila dilarang membunuh, selalu dihantui oleh kekhawatiran dalam setiap detiknya ia telah membunuh makhluk hidup. Akibatnya setiap dia berdiri, melangkah,duduk, ataupun berbaring ia selalu cemas apakah ia telah membunuh serangga kecil yang ada di sekitarnya atau tidak. Bahkan ketika sedang makan atau bernapas pun ia selalu cemas kalau-kalau ada bakteri atau serangga kecil yang ikut terbunuh karenanya. Dalam kodisi demikian, orang tersebut sulit menjadi damai dan dipenuhi oleh kecemasan. Jika ini berlangsung terus menerus bagaimana nasib orang ini, apakah ia mencapai kebahagiaan atau justru menderita? Kalau menurut saya, tidak ayal lagi, orang demikian akan menderita. Akibatnya, keinginan orang tersebut menjalankan Buddhadharma dengan konsisten akan menuai hasil yang bertentangan dengan tawaran Buddhadharma itu sendiri, yaitu melepaskan manusia dari penderitaan.
Namun, jika yang bersangkutan diberitahu oleh Guru Dharmanya bahwa pembunuhan yang tidak disertai dengan niat untuk melakukannya (tidak sengaja) tidak menghasilkan buah karma yang buruk dalam kehidupan mendatang, maka yang bersangkutan akan menjadi lega dan kembali tenang. Ia kemudian bisa menjalani aktivitas sehari-harinya kembali seperti sediakala. Menjalankan praktik Buddhadharma dengan damai, sehingga dengan demikian ia dapat meraih perkembangan.
Perubahanan kesadaran orang tersebut dari awalnya yang tidak memahami bahwa "pembunuhan yang tidak disertai dengan niat untuk melakukannya (tidak sengaja) tidak menghasilkan buah karma yang buruk dalam kehidupan mendatang" sebenarnya tidak merubah fakta bahwa ia tetap mungkin saja membunuh banyak makhluk hidup kecil tak tampak dalam setiap aktivitas sehari-harinya. Dan hal demikian memang terjadi terus dalam kehidupan kita, kita memang tidak bisa menghindari membunuh makhluk-makhluk hidup tak terlihat di sekitar kita. Meski demikian, kita juga tidak bisa menolak kenyataan, bahwa sebenarnya kalau kita bisa waspada dan hati-hati sebenarnya kita bisa mengurangi kemungkinan tersebut, meski sama sekali tidak mungkin terlepas dari pembunuhan.
Dalam kondisi ini, semuanya bergantung pada batin yang bersangkutan: apakah ia hanya pula-pula tidak sengaja (misalnya sengaja menjadi ceroboh) atau memang ia benar-benar tidak sengaja (tanpa niat apapun). Yang penting adalah ia tetap jujur dengan sendiri dan mempertahankan batin yang murni.
Dalam konteks Mahayana, juga berlaku hal yang demikian, meski dalam konteks berbeda. Petani yang membunuh hama dan tentara yang membunuh tentara lawan, jika ia, minimal, tidak dipenuhi oleh kebencian dan keserakahan saat melakukannya serta tetap mempertahankan tekad untuk menjalankan Buddhadharma pada selanjutnya, menurut saya hal situasional demikian bisa dimaklumi. Dengan demikian, bila yang bersangkutan tetap mempertahankan batin yang bersih (atau dalam bahasa Mahayanis, tetap menyadari hakikat citta yang murni dan jernih), bukan berpura-pura bersih, maka praktiknya dalam melaksanakan Buddhadharma tidak akan terganggu. Pandangan ini akan memberikan kesempatan bagi seorang tentara ataupun petani, bahkan seorang pekerja seks sekalipun, untuk selalu kembali ke Buddhadharma tanpa harus dipengaruhi oleh konflik dilematis antara menjalankan ajaran dengan realitas sehari-hari.
Dalam hal ini, sebaliknya, jika seseorang tidak pernah membunuh sekalipun, namun hatinya selalu diliputi oleh kegelisahan dan kecemasan akibat keserakahan, kebencian ataupun kecemasan akan pelanggaran sila, maka ia akan semakin menyimpang dari Jalan Buddhadharma.
Oleh karena itu jawaban saya atas pertanyaan Anda adalah dengan menjaga batin agar tetap murni, seseorang tetap mempertahankan cita-cita Bodhisattva dalam realitas.
Ini pendapat saya, mohon maaf jika kurang berkenan.