//honeypot demagogic

 Forum DhammaCitta. Forum Diskusi Buddhis Indonesia

Author Topic: Authenticity of the Suttas of the Pali Canon  (Read 84494 times)

0 Members and 1 Guest are viewing this topic.

Offline sobat-dharma

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.286
  • Reputasi: 45
  • Gender: Male
  • sharing, caring, offering
Re: Authenticity of the Suttas of the Pali Canon
« Reply #225 on: 20 May 2011, 04:26:48 PM »
maka jelaskanlah, bagaimana cara anda mempertahankan cita-cita bodhisattva (yg menghindari pembunuhan) sementara anda membenarkan pembunuhan?

Sebelumnya saya ingin mengkoreksi terlebih dahulu: Kata "membenarkan pembunuhan" seolah-olah saya mengganggap membunuh dalam situasi dan keadaan apapun adalah baik, padahal yang saya maksudkan bukan demikian. Saya hanya hendak menyampaikan bahwa sila-sila dalam Buddhadharma harus fleksibel melihat kondisi, karena memang dalam kondisi tertentu seseorang tidak bisa menghindari pembunuhan demi keselamatan makhluk lain. Ini bukan sekadar "pembenaran", tapi pemahaman terhadap bagaimana cara praktik Buddhadharma dapat dikontekstualisasikan dalam kehidupan sehari-hari masyarakat yang sangat beragam. 

Bagaimana tetap mempertahankan cita-cita Bodhisattva dalam dunia realitas?

Umat Buddhis yang dipenuhi dengan pikiran ingin tetap konsisten untuk mempraktikkan ajaran sebagaimana yang ditulis dalam sutta/sutra, tentu pantas dihargai dan dipandang positif. Akan tetapi keinginan ini akan justru menjadi halangan tatkala ia harus menghadapi realitas yang menyebabkannya harus memilih antara mempertahankan konsistensi ajaran atau menyadari realitas yang ada. Hal demikian adalah tantangan bagi semua praktisi Buddhadharma, terutama yang hidup dalam dunia awam. 

Konflik semacam ini jika tidak diselesaikan malah akan menyebabkan yang bersangkutan mengalami kecemasan dan tidak tenang dalam menjalani aktivitas sehari-harinya. Misalnya, seorang yang dikarenakan ia sangat patuh dan terobsesi dengan sila dilarang membunuh, selalu dihantui oleh kekhawatiran dalam setiap detiknya ia telah membunuh makhluk hidup. Akibatnya setiap dia berdiri, melangkah,duduk, ataupun berbaring ia selalu cemas apakah ia telah membunuh serangga kecil yang ada di sekitarnya atau tidak. Bahkan ketika sedang makan atau bernapas pun ia selalu cemas kalau-kalau ada bakteri atau serangga kecil yang ikut terbunuh karenanya. Dalam kodisi demikian, orang tersebut sulit menjadi damai dan dipenuhi oleh kecemasan. Jika ini berlangsung terus menerus bagaimana nasib orang ini, apakah ia mencapai kebahagiaan atau justru menderita? Kalau menurut saya, tidak ayal lagi, orang demikian akan menderita. Akibatnya, keinginan orang tersebut menjalankan Buddhadharma dengan konsisten akan menuai hasil yang bertentangan dengan tawaran Buddhadharma itu sendiri, yaitu melepaskan manusia dari penderitaan.

Namun, jika yang bersangkutan diberitahu oleh Guru Dharmanya bahwa pembunuhan yang tidak disertai dengan niat untuk melakukannya (tidak sengaja) tidak menghasilkan buah karma yang buruk dalam kehidupan mendatang, maka yang bersangkutan akan menjadi lega dan kembali tenang. Ia kemudian  bisa menjalani aktivitas sehari-harinya kembali seperti sediakala. Menjalankan praktik Buddhadharma dengan damai, sehingga dengan demikian ia dapat meraih perkembangan.

Perubahanan kesadaran orang tersebut dari awalnya yang tidak memahami bahwa "pembunuhan yang tidak disertai dengan niat untuk melakukannya (tidak sengaja) tidak menghasilkan buah karma yang buruk dalam kehidupan mendatang" sebenarnya tidak merubah fakta bahwa ia tetap mungkin saja membunuh banyak makhluk hidup kecil tak tampak dalam setiap aktivitas sehari-harinya. Dan hal demikian memang terjadi terus dalam kehidupan kita, kita memang tidak bisa menghindari membunuh makhluk-makhluk hidup tak terlihat di sekitar kita. Meski demikian, kita juga tidak bisa menolak kenyataan, bahwa sebenarnya kalau kita bisa waspada dan hati-hati sebenarnya kita bisa mengurangi kemungkinan tersebut, meski sama sekali tidak mungkin terlepas dari pembunuhan.

Dalam kondisi ini, semuanya bergantung pada batin yang bersangkutan: apakah ia hanya pula-pula tidak sengaja (misalnya sengaja menjadi ceroboh) atau memang ia benar-benar tidak sengaja (tanpa niat apapun). Yang penting adalah ia tetap jujur dengan sendiri dan mempertahankan batin yang murni.

Dalam konteks Mahayana, juga berlaku hal yang demikian, meski dalam konteks berbeda. Petani yang membunuh hama dan tentara yang membunuh tentara lawan, jika ia, minimal, tidak dipenuhi oleh kebencian dan keserakahan saat melakukannya serta tetap mempertahankan tekad untuk menjalankan Buddhadharma pada selanjutnya, menurut saya hal situasional demikian bisa dimaklumi. Dengan demikian, bila yang bersangkutan tetap mempertahankan batin yang bersih (atau dalam bahasa Mahayanis, tetap menyadari hakikat citta yang murni dan jernih), bukan berpura-pura bersih, maka praktiknya dalam melaksanakan Buddhadharma tidak akan terganggu. Pandangan ini akan memberikan kesempatan bagi seorang tentara ataupun petani, bahkan seorang pekerja seks sekalipun, untuk selalu kembali ke Buddhadharma tanpa harus dipengaruhi oleh konflik dilematis antara menjalankan ajaran dengan realitas sehari-hari.

Dalam hal ini, sebaliknya, jika seseorang tidak pernah membunuh sekalipun, namun hatinya selalu diliputi oleh kegelisahan dan kecemasan akibat keserakahan, kebencian ataupun kecemasan akan pelanggaran sila, maka ia akan semakin menyimpang dari Jalan Buddhadharma.

Oleh karena itu jawaban saya atas pertanyaan Anda adalah dengan menjaga batin agar tetap murni, seseorang tetap mempertahankan cita-cita Bodhisattva dalam realitas.

Ini pendapat saya, mohon maaf jika kurang berkenan.
 
« Last Edit: 20 May 2011, 04:33:42 PM by sobat-dharma »
Mereka yang melihat-Ku dari wujud dan mengikuti-Ku dari suara terlibat dalam upaya salah. Mereka takkan melihat Aku. Dari Dharma-lah mestinya ia melihat Para Buddha. Dari Dharmakaya datang tuntunan baginya. Namun hakikat sejati Dharma tak terlihat dan tiada seorangpun bisa menyadarinya sebagai obyek

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: Authenticity of the Suttas of the Pali Canon
« Reply #226 on: 20 May 2011, 04:43:55 PM »
Bagaimana tetap mempertahankan cita-cita Bodhisattva dalam dunia realitas?

Umat Buddhis yang dipenuhi dengan pikiran ingin tetap konsisten untuk mempraktikkan ajaran sebagaimana yang ditulis dalam sutta/sutra, tentu pantas dihargai dan dipandang positif. Akan tetapi keinginan ini akan justru menjadi halangan tatkala ia harus menghadapi realitas yang menyebabkannya harus memilih antara mempertahankan konsistensi ajaran atau menyadari realitas yang ada. Hal demikian adalah tantangan bagi semua praktisi Buddhadharma, terutama yang hidup
dalam dunia awam. 


bukankah "Dhamma telah sempurna dibabarkan? atau apakah lebih tepat jika dikatakan "Dhamma belum sempurna, karena itu harus disesuaikan dari waktu ke waktu sesuai situasi dan kondisi"?

Quote
Konflik semacam ini jika tidak diselesaikan malah akan menyebabkan yang bersangkutan mengalami kecemasan dan tidak tenang dalam menjalani aktivitas sehari-harinya. Misalnya, seorang yang dikarenakan ia sangat patuh dan terobsesi dengan sila dilarang membunuh, selalu dihantui oleh kekhawatiran dalam setiap detiknya ia telah membunuh makhluk hidup. Akibatnya setiap dia berdiri, melangkah,duduk, ataupun berbaring ia selalu cemas apakah ia telah membunuh serangga kecil yang ada di sekitarnya atau tidak. Bahkan ketika sedang makan atau bernapas pun ia selalu cemas kalau-kalau ada bakteri atau serangga kecil yang ikut terbunuh karenanya. Dalam kodisi demikian, orang tersebut sulit menjadi damai dan dipenuhi oleh kecemasan. Jika ini berlangsung terus menerus bagaimana nasib orang ini, apakah ia mencapai kebahagiaan atau justru menderita? Kalau menurut saya, tidak ayal lagi, orang demikian akan menderita. Akibatnya, keinginan orang tersebut menjalankan Buddhadharma dengan konsisten akan menuai hasil yang bertentangan dengan tawaran Buddhadharma itu sendiri, yaitu melepaskan manusia dari penderitaan.

untuk kasus di atas, Sang Buddha sudah memberikan batasan yg jelas bahwa pelanggaran terjadi jika didorong oleh niat, jadi menginjak semut secara tidak sengaja bukanlah pelanggaran. dan batasan lain adalah makhluk yg visible oleh mata telanjang. jadi jika anda membunuh kuman yg tidak tampak oleh mata, ini bukan pelanggaran. saya tidak tau jika mahayana menginterpretasikan vinaya ini secara berbeda.

Quote
Namun, jika yang bersangkutan diberitahu oleh Guru Dharmanya bahwa pembunuhan yang tidak disertai dengan niat untuk melakukannya (tidak sengaja) tidak menghasilkan buah karma yang buruk dalam kehidupan mendatang, maka yang bersangkutan akan menjadi lega dan kembali tenang. Ia kemudian  bisa menjalani aktivitas sehari-harinya kembali seperti sediakala. Menjalankan praktik Buddhadharma dengan damai, sehingga dengan demikian ia dapat meraih perkembangan.

setuju

Quote

Perubahanan kesadaran orang tersebut dari awalnya yang tidak memahami bahwa "pembunuhan yang tidak disertai dengan niat untuk melakukannya (tidak sengaja) tidak menghasilkan buah karma yang buruk dalam kehidupan mendatang" sebenarnya tidak merubah fakta bahwa ia tetap mungkin saja membunuh banyak makhluk hidup kecil tak tampak dalam setiap aktivitas sehari-harinya. Dan hal demikian memang terjadi terus dalam kehidupan kita, kita memang tidak bisa menghindari membunuh makhluk-makhluk hidup tak terlihat di sekitar kita. Meski demikian, kita juga tidak bisa menolak kenyataan, bahwa sebenarnya kalau kita bisa waspada dan hati-hati sebenarnya kita bisa mengurangi kemungkinan tersebut, meski sama sekali tidak mungkin terlepas dari pembunuhan.
batasan membunuh hanya pada makhluk yg terlihat oleh mata telanjang.

Quote
Dalam kondisi ini, semuanya bergantung pada batin yang bersangkutan: apakah ia hanya pula-pula tidak sengaja (misalnya sengaja menjadi ceroboh) atau memang ia benar-benar tidak sengaja (tanpa niat apapun). Yang penting adalah ia tetap jujur dengan sendiri dan mempertahankan batin yang murni.

Dalam konteks Mahayana, juga berlaku hal yang demikian, meski dalam konteks berbeda. Petani yang membunuh hama dan tentara yang membunuh tentara lawan, jika ia, minimal, tidak dipenuhi oleh kebencian dan keserakahan saat melakukannya serta tetap mempertahankan tekad untuk menjalankan Buddhadharma pada selanjutnya, menurut saya hal situasional demikian bisa dimaklumi. Dengan demikian, bila yang bersangkutan tetap mempertahankan batin yang bersih (atau dalam bahasa Mahayanis, tetap menyadari hakikat citta yang murni dan jernih), bukan berpura-pura bersih, maka praktiknya dalam melaksanakan Buddhadharma tidak akan terganggu. Pandangan ini akan memberikan kesempatan bagi seorang tentara ataupun petani, bahkan seorang pekerja seks sekalipun, untuk selalu kembali ke Buddhadharma tanpa harus dipengaruhi oleh konflik dilematis antara menjalankan ajaran dengan realitas sehari-hari.

Dalam hal ini, sebaliknya, jika seseorang tidak pernah membunuh sekalipun, namun hatinya selalu diliputi oleh kegelisahan dan kecemasan akibat keserakahan, kebencian ataupun kecemasan akan pelanggaran sila, maka ia akan semakin menyimpang dari Jalan Buddhadharma.

Ini pendapat saya, mohon maaf jika kurang berkenan.
 

mungkinkah seseorang membunuh tanpa didorong oleh kebencian? di sini kebencian bukan berarti "gue benci banget", tapi mungkin saja dalam bentuk yg lebih halus berupa penolakan terhadap keberadaan hama.

saya setuju bahwa seorang yg tidak membunuh, namun hatinya selalu diliputi oleh kegelisahan dan kecemasan akibat keserakahan, kebencian ataupun kecemasan akan pelanggaran sila, maka ia akan semakin menyimpang dari Jalan Buddhadharma. jadi apalagi seorang pembunuh?

Offline Sostradanie

  • Sebelumnya: sriyeklina
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.375
  • Reputasi: 42
Re: Authenticity of the Suttas of the Pali Canon
« Reply #227 on: 20 May 2011, 09:59:55 PM »
4.8. ‘Seandainya seorang bhikkhu mengatakan: “Teman-teman, aku mendengar dan menerima ini dari mulut Sang Bhagavā sendiri: inilah Dhamma, inilah disiplin, inilah Ajaran Sang Guru,” maka, para bhikkhu, kalian tidak boleh menerima atau menolak kata-katanya. Kemudian, tanpa menerima atau menolak, kata-kata dan ungkapannya harus dengan teliti dicatat dan dibandingkan dengan Sutta-sutta dan dipelajari di bawah cahaya disiplin. Jika kata-katanya, saat dibandingkan dan dipelajari, terbukti tidak selaras dengan Sutta atau disiplin, berarti kesimpulannya adalah: “Pasti ini bukan kata-kata Sang Buddha, hal ini telah keliru dipahami oleh bhikkhu ini,” dan kata-katanya itu harus ditolak. Tetapi jika saat dibandingkan dan dipelajari, terbukti selaras dengan Sutta atau disiplin, berarti kesimpulannya adalah: “Pasti ini adalah kata-kata Sang Buddha, hal ini telah dengan benar dipahami oleh bhikkhu ini.” Ini adalah kriteria pertama.

PEMUSNAHAN BAIK ADANYA (2019)

Offline Sostradanie

  • Sebelumnya: sriyeklina
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.375
  • Reputasi: 42
Re: Authenticity of the Suttas of the Pali Canon
« Reply #228 on: 20 May 2011, 10:35:50 PM »

Dalam konteks Mahayana, juga berlaku hal yang demikian, meski dalam konteks berbeda. Petani yang membunuh hama dan tentara yang membunuh tentara lawan, jika ia, minimal, tidak dipenuhi oleh kebencian dan keserakahan saat melakukannya serta tetap mempertahankan tekad untuk menjalankan Buddhadharma pada selanjutnya, menurut saya hal situasional demikian bisa dimaklumi. Dengan demikian, bila yang bersangkutan tetap mempertahankan batin yang bersih (atau dalam bahasa Mahayanis, tetap menyadari hakikat citta yang murni dan jernih), bukan berpura-pura bersih, maka praktiknya dalam melaksanakan Buddhadharma tidak akan terganggu. Pandangan ini akan memberikan kesempatan bagi seorang tentara ataupun petani, bahkan seorang pekerja seks sekalipun, untuk selalu kembali ke Buddhadharma tanpa harus dipengaruhi oleh konflik dilematis antara menjalankan ajaran dengan realitas sehari-hari.
 
Jika tidak ada kebencian dan keserakahan maka tidak akan ada terjadi pembunuhan yang dikerjakankan dengan sadar.
Seorang petani membunuh hama sudah jelas supaya panennya tidak gagal. Jika panen gagal merupakan suatu kebahagiaan maka tidak akan terjadi pembasmian hama. Dari pada harus kelaparan lebih baik hama dilenyapkan.
Sama seperti tentara, jika tidak ada kebencian dan keserakahan maka tidak akan mungkin membunuh. Semua yang terjun dalam perang untuk mencari kemenangan dan untuk membela suatu kepentingan. Dan saat bertempur-pun mereka jelas mengutamakan keselamatan hidup-nya. Dan untuk menyelamatkan hidupnya makanya seorang tentara menghabisi tentara lawan.

Realita kehidupan yang kita alami sekarang juga terjadi karena kebencian dan keserakahan. Manusia berkembang biak karena nafsu, dengan jumlah manusia yang semakin banyak membuat makanan juga harus diperbanyak. Untuk memperbanyak itulah sehingga terjadi berbagai hal seperti sekarang.

PEMUSNAHAN BAIK ADANYA (2019)

Offline pannadevi

  • Samaneri
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.960
  • Reputasi: 103
  • Gender: Female
Re: Authenticity of the Suttas of the Pali Canon
« Reply #229 on: 21 May 2011, 08:38:32 AM »
maaf bro, sy menanggapi bro Sobat-dharma atas postingan beliau, coba anda baca, apakah yg sy tanyakan, jelas2 sy meng-quote pernyataan beliau, jadi beliau yg lebih berhak menjawab, anda sudah menanggapi sy yg bukan menjawab pertanyaan sy, malah akan menjurus ke perdebatan yg tidak membawa manfaat.

 saya hanya menyambut positif saran anda untuk melihat manfaatnya
baiklah, lain kali klo menjawab tidak perlu meng-quote jika TIDAK bermaksud menanggapi seseorang. lebih baik langsung ketik jawaban tanpa quote postingan. krn sy mempertanyakan postingan bro sobat-dharma maka sy quote postingan beliau, tapi anda quote postingan sy dg sekarang menyatakan tidak menanggapi saya.

(**BUKAN premanisasi lho....**)

Wahhh….kemarin siang wkt baca postingan bro Djoe yg menjawab saya dengan : “saya tidak menanggapi anda” kok udah diganti. Anehnya habis saya posting tanggapan sy bhw sy membaca dia meng-quote postingan saya sehingga sy menganggap dia menanggapi sy, kok tiba2 connection internet saya terputus, berkali2 saya mencoba masuk kembali tidak bisa, berhubung saya harus pergi jadi saya tinggal dulu dg pikiran di benak sy ntar sore sy revisi, ternyata saya pergi hingga agak larut jadi wkt bisa online lagi udah terlalu larut malam utk wkt indonesia.  oleh karena itu sy posting tanggapan ini pagi ini, untuk menambahkan keterangan bhw saya menanggapi bro Djoe karena dia menjawab tidak menanggapi saya (kenyataannya dia meng-quote postingan sy). agar yg membaca postingan sy dpt mengerti kronologis kejadiannya, karena sekarang seolah2 saya kayak preman aja.
« Last Edit: 21 May 2011, 08:44:02 AM by pannadevi »

Offline Mahadeva

  • Sebelumnya: raynoism
  • Sahabat Baik
  • ****
  • Posts: 602
  • Reputasi: 10
  • Gender: Male
Re: Authenticity of the Suttas of the Pali Canon
« Reply #230 on: 21 May 2011, 02:02:11 PM »
hmm..brarti gambar atau patung Buddha dibuat dengan teliti

http://www.buddhanet.net/budart.htm

Offline sobat-dharma

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.286
  • Reputasi: 45
  • Gender: Male
  • sharing, caring, offering
Re: Authenticity of the Suttas of the Pali Canon
« Reply #231 on: 24 May 2011, 12:02:40 AM »
mungkinkah seseorang membunuh tanpa didorong oleh kebencian? di sini kebencian bukan berarti "gue benci banget", tapi mungkin saja dalam bentuk yg lebih halus berupa penolakan terhadap keberadaan hama.

Jika tidak ada kebencian dan keserakahan maka tidak akan ada terjadi pembunuhan yang dikerjakankan dengan sadar.
Seorang petani membunuh hama sudah jelas supaya panennya tidak gagal. Jika panen gagal merupakan suatu kebahagiaan maka tidak akan terjadi pembasmian hama. Dari pada harus kelaparan lebih baik hama dilenyapkan.
Sama seperti tentara, jika tidak ada kebencian dan keserakahan maka tidak akan mungkin membunuh. Semua yang terjun dalam perang untuk mencari kemenangan dan untuk membela suatu kepentingan. Dan saat bertempur-pun mereka jelas mengutamakan keselamatan hidup-nya. Dan untuk menyelamatkan hidupnya makanya seorang tentara menghabisi tentara lawan.

Kita mesti menyadari bahwa iat dan perilaku adalah dua hal yang tidak selalu sejalan. Perilaku adalah gerak fisik yang tampak dari luar, sedangkan niat adalah batin yang tidak terlihat dari luar. Kita tidak bisa langsung menafsirkan niat suatu perilaku hanya berdasarkan asumsi-asumsi umum mengenainya. Perilaku membunuh umumnya dianggap dilandasi oleh dorongan niat buruk, sedang berdana dilandasi oleh dorongan niat baik. Hal demikian sangat bersifat stereotipe belaka dan tidak akurat, dikarenakan sebuah perilaku selalu mungkin dilandasi oleh beragam niat yang berbeda-beda dibaliknya.

Seseorang yang berdana pun tidak selalu dilandasi oleh niat baik untuk melepaskan kepemilikan. Berdana jika dilandasi dengan niat untuk, misalnya, agar mendapatkan balasan kekayaan di kehidupan mendatang, menunjukkan perbuatan apa yang menurut asumsi umum seharusnya dilandasi niat baik, ternyata dilandasi batin yang serakah.  Begitu juga seseorang yang membunuh, tidak selalu didasarkan atas niat menyakiti ataupun serakah. Jika seorang petani yang membasmi hama, jika tidak dengan pikiran takut kehilangan penghasilan atau membenci ataupun menolak keberadaan hama, namun dengan pikiran yang dipenuhi oleh tekad kuat untuk menyelamatkan manusia yang lain dari kelaparan, maka dalam perbuatannya yang tampak dari luar dapat dinilai "melanggar sila", namun di dalamnya dilandasi oleh batin yang murni. Oleh karena itu, antara perilaku/perbuatan yang tampak dari luar dan niat di dalam tidak selalu sejalan. 

Ilusi bahwa perilaku seseorang yang secara sosial dianggap buruk selalu selaras dengan niat di dalamnya, seringkali terjadi ketika kita tidak dapat berempati terhadap perbuatan seseorang. Dalam ilmu psikologi sosial, bias pandangan demikian disebut sebagai fundamental attribution error, yaitu kecenderungan bias persepsi akibat melebih-lebihkan faktor internal dan meremehkan faktor situasional dalam menjelaskan penyebab perilaku orang lain. Dalam hal ini, bukan saja suatu perilaku yang dianggap buruk secara sosial tidak selalu dilandasi niat yang buruk pula, namun sebenarnya pendorong suatu perilaku bisa dikarenakan aspek situasional yang sama sekali tidak terkait dengan niatnya sama sekali. Seseorang yang berbohong selalu kita asumsikan adalah orang yang tidak dapat dipercaya. Padahal kenyataannya seseorang bisa berbohong karena tuntutan keadaan belaka seperti pada contoh kisah di bawah ini.

Ada sebuah cerita mengenai seorang anak kecil yang menyelamatkan banyak sekali manusia lainnya di kamp konsentrasi  yahudi selama zaman Jerman Nazi.  Suatu hari tentara Nazi menemukan kehilangan beberapa barang yang dicuri dalam kamp konsentrasi. Mereka kemudian mengumpulkan sekelompok orang Yahudi yang dicurigai sebagai pelakunya, termasuk di dalamnya adalah seorang anak kecil. Mereka kemudian meminta agar pelaku pencurian tersebut menyerahkan diri dengan sukarela. Namun dikarenakan takut dihukum mati, atau mungkin memang si pencuri tidak benar-benar ada di dalam kelompok tersebut, tidak ada seorang pun yang mengakui perbuatan tersebut. Tentara Nazi yang marah, setelah beberapa kali memerintahkan hal yang sama, akhirnya mengeluarkan ancaman akan menghabisi satu orang Yahudi jika setiap setiap kali ia mengajukan perintahnya dan belum juga ada yang mengaku. Setelah itu, mereka mengulangi perintahnya sekali lagi, namun ternyata tidak membuahkan hasil. Untuk membuktikan ancamannya, tentara Nazi tersebut kemudian menembak mati seorang pria tua,. Setelah itu ia kembali mengumumkan peringatan yang sama. Sekali lagi, para tahananan Yahudi tersebut tetap diam. Dan tentara Nazi itu mulai menhampiri seorang yang lain lagi, menaikan pistolnya dan menodongkannya pada seorang perempuan tua, hendak membuktikan ancamannya. Pada saat genting itu, tiba-tiba anak kecil itu mengangkat tangannya, sambil gemetaran ia berkata kalau ia bukan pencurinya, tapi ia sempat memergoki pelakunya. Lantas tentara Nazi tersebut, yang tampak puas karena merasa gertakannya membuahkan hasil, mulai melepaskan pistolnya dari perempuan tua tersebut dan mendekati anak kecil tersebut, kemudian bertanya  siapa gerangan pelakunya. Anak kecil tersebut dengan tegas dan percaya diri menunjuk pada mayat pria yahudi yang barusan ditembak mati tentara Nazi tersebut. Dengan demikian, tentara Nazi itu terpaksa menghentikan aksinya. Dengan demikian tidak ada yang mati lagi dari mereka dan sekaligus tidak ada pencuri yang perlu dihukum mati. Tentu saja, sebenarnya anak kecil itu tidak tahu siapa pelaku sebenarnya dan ia hanya asal menunjuk. Namun dengan "berbohong" yang demikian, yang dikarenakan tekanan situasional, ia telah menyelamatkan banyak orang.

Dalam hal ini, yang penting dari suatu perbuatan adalah kondisi batin seseorang  yang mengikuti niat utamanya. Dalam hal ini kekotoran batin halus yang muncul dalam kehidupan sehari-hari kita adalah hal yang tidak bisa ditolak begitu saja. Kekotoran batin halus bahkan muncul pada setiap perbuatan yang niat utamanya adalah baik. Kekotoran batin bahkan selalu dapat muncul kapan saja, entah apakah perbuatan kita sedang sesuai dengan sila atau tidak, bahkan ia bisa muncul saat kita dalam keadaan tidak berbuat apapun. Jadi kekotoran batin halus demikian tidak bergantung pada perbuatan yang sedang dilakukan sesorang. Bahkan dalam perbuatan yang dilandasi niat yang positif-pun kadang-kadang kekotoran batin halus tetap muncul. Selama kita belum tercerahkan sempurna, kita tetap diaganggu oleh kotoran batin dalam berbagai kadar tergantung pada tingkat pencapaiannya.  Karena itu, tidak ada gunanya kita memikiran kekotoran batin. Semakin kita merasa prihatin dengan kekokotoran batin halus kita, kita akan semakin didera oleh kecemasan, dan hal ini berarti membuat kita semakin menyimpang dari Jalan sejati Buddhadharma. Daripada itu, lebih baik kita fokus pada niat utama kita, yaitu memperkuat tekad kita untuk menyelamatkan makhluk hidup lain dan terus menanamkan sikap melepaskan serta terus memperkuat faktor-faktor batin yang positif.  Dengan terus memperkuat faktor-faktor batin yang mendukung pada pencerahan, maka lama kelamaan faktor-faktor batin yang menghalangi pencerahan bisa teratasi.
« Last Edit: 24 May 2011, 12:12:50 AM by sobat-dharma »
Mereka yang melihat-Ku dari wujud dan mengikuti-Ku dari suara terlibat dalam upaya salah. Mereka takkan melihat Aku. Dari Dharma-lah mestinya ia melihat Para Buddha. Dari Dharmakaya datang tuntunan baginya. Namun hakikat sejati Dharma tak terlihat dan tiada seorangpun bisa menyadarinya sebagai obyek

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: Authenticity of the Suttas of the Pali Canon
« Reply #232 on: 24 May 2011, 08:26:44 AM »
Kita mesti menyadari bahwa iat dan perilaku adalah dua hal yang tidak selalu sejalan. Perilaku adalah gerak fisik yang tampak dari luar, sedangkan niat adalah batin yang tidak terlihat dari luar. Kita tidak bisa langsung menafsirkan niat suatu perilaku hanya berdasarkan asumsi-asumsi umum mengenainya. Perilaku membunuh umumnya dianggap dilandasi oleh dorongan niat buruk, sedang berdana dilandasi oleh dorongan niat baik. Hal demikian sangat bersifat stereotipe belaka dan tidak akurat, dikarenakan sebuah perilaku selalu mungkin dilandasi oleh beragam niat yang berbeda-beda dibaliknya.

Seseorang yang berdana pun tidak selalu dilandasi oleh niat baik untuk melepaskan kepemilikan. Berdana jika dilandasi dengan niat untuk, misalnya, agar mendapatkan balasan kekayaan di kehidupan mendatang, menunjukkan perbuatan apa yang menurut asumsi umum seharusnya dilandasi niat baik, ternyata dilandasi batin yang serakah.  Begitu juga seseorang yang membunuh, tidak selalu didasarkan atas niat menyakiti ataupun serakah. Jika seorang petani yang membasmi hama, jika tidak dengan pikiran takut kehilangan penghasilan atau membenci ataupun menolak keberadaan hama, namun dengan pikiran yang dipenuhi oleh tekad kuat untuk menyelamatkan manusia yang lain dari kelaparan, maka dalam perbuatannya yang tampak dari luar dapat dinilai "melanggar sila", namun di dalamnya dilandasi oleh batin yang murni. Oleh karena itu, antara perilaku/perbuatan yang tampak dari luar dan niat di dalam tidak selalu sejalan. 

Ilusi bahwa perilaku seseorang yang secara sosial dianggap buruk selalu selaras dengan niat di dalamnya, seringkali terjadi ketika kita tidak dapat berempati terhadap perbuatan seseorang. Dalam ilmu psikologi sosial, bias pandangan demikian disebut sebagai fundamental attribution error, yaitu kecenderungan bias persepsi akibat melebih-lebihkan faktor internal dan meremehkan faktor situasional dalam menjelaskan penyebab perilaku orang lain. Dalam hal ini, bukan saja suatu perilaku yang dianggap buruk secara sosial tidak selalu dilandasi niat yang buruk pula, namun sebenarnya pendorong suatu perilaku bisa dikarenakan aspek situasional yang sama sekali tidak terkait dengan niatnya sama sekali. Seseorang yang berbohong selalu kita asumsikan adalah orang yang tidak dapat dipercaya. Padahal kenyataannya seseorang bisa berbohong karena tuntutan keadaan belaka seperti pada contoh kisah di bawah ini.

Ada sebuah cerita mengenai seorang anak kecil yang menyelamatkan banyak sekali manusia lainnya di kamp konsentrasi  yahudi selama zaman Jerman Nazi.  Suatu hari tentara Nazi menemukan kehilangan beberapa barang yang dicuri dalam kamp konsentrasi. Mereka kemudian mengumpulkan sekelompok orang Yahudi yang dicurigai sebagai pelakunya, termasuk di dalamnya adalah seorang anak kecil. Mereka kemudian meminta agar pelaku pencurian tersebut menyerahkan diri dengan sukarela. Namun dikarenakan takut dihukum mati, atau mungkin memang si pencuri tidak benar-benar ada di dalam kelompok tersebut, tidak ada seorang pun yang mengakui perbuatan tersebut. Tentara Nazi yang marah, setelah beberapa kali memerintahkan hal yang sama, akhirnya mengeluarkan ancaman akan menghabisi satu orang Yahudi jika setiap setiap kali ia mengajukan perintahnya dan belum juga ada yang mengaku. Setelah itu, mereka mengulangi perintahnya sekali lagi, namun ternyata tidak membuahkan hasil. Untuk membuktikan ancamannya, tentara Nazi tersebut kemudian menembak mati seorang pria tua,. Setelah itu ia kembali mengumumkan peringatan yang sama. Sekali lagi, para tahananan Yahudi tersebut tetap diam. Dan tentara Nazi itu mulai menhampiri seorang yang lain lagi, menaikan pistolnya dan menodongkannya pada seorang perempuan tua, hendak membuktikan ancamannya. Pada saat genting itu, tiba-tiba anak kecil itu mengangkat tangannya, sambil gemetaran ia berkata kalau ia bukan pencurinya, tapi ia sempat memergoki pelakunya. Lantas tentara Nazi tersebut, yang tampak puas karena merasa gertakannya membuahkan hasil, mulai melepaskan pistolnya dari perempuan tua tersebut dan mendekati anak kecil tersebut, kemudian bertanya  siapa gerangan pelakunya. Anak kecil tersebut dengan tegas dan percaya diri menunjuk pada mayat pria yahudi yang barusan ditembak mati tentara Nazi tersebut. Dengan demikian, tentara Nazi itu terpaksa menghentikan aksinya. Dengan demikian tidak ada yang mati lagi dari mereka dan sekaligus tidak ada pencuri yang perlu dihukum mati. Tentu saja, sebenarnya anak kecil itu tidak tahu siapa pelaku sebenarnya dan ia hanya asal menunjuk. Namun dengan "berbohong" yang demikian, yang dikarenakan tekanan situasional, ia telah menyelamatkan banyak orang.

Dalam hal ini, yang penting dari suatu perbuatan adalah kondisi batin seseorang  yang mengikuti niat utamanya. Dalam hal ini kekotoran batin halus yang muncul dalam kehidupan sehari-hari kita adalah hal yang tidak bisa ditolak begitu saja. Kekotoran batin halus bahkan muncul pada setiap perbuatan yang niat utamanya adalah baik. Kekotoran batin bahkan selalu dapat muncul kapan saja, entah apakah perbuatan kita sedang sesuai dengan sila atau tidak, bahkan ia bisa muncul saat kita dalam keadaan tidak berbuat apapun. Jadi kekotoran batin halus demikian tidak bergantung pada perbuatan yang sedang dilakukan sesorang. Bahkan dalam perbuatan yang dilandasi niat yang positif-pun kadang-kadang kekotoran batin halus tetap muncul. Selama kita belum tercerahkan sempurna, kita tetap diaganggu oleh kotoran batin dalam berbagai kadar tergantung pada tingkat pencapaiannya.  Karena itu, tidak ada gunanya kita memikiran kekotoran batin. Semakin kita merasa prihatin dengan kekokotoran batin halus kita, kita akan semakin didera oleh kecemasan, dan hal ini berarti membuat kita semakin menyimpang dari Jalan sejati Buddhadharma. Daripada itu, lebih baik kita fokus pada niat utama kita, yaitu memperkuat tekad kita untuk menyelamatkan makhluk hidup lain dan terus menanamkan sikap melepaskan serta terus memperkuat faktor-faktor batin yang positif.  Dengan terus memperkuat faktor-faktor batin yang mendukung pada pencerahan, maka lama kelamaan faktor-faktor batin yang menghalangi pencerahan bisa teratasi.

Bro Sobat, anda bisa mencopas ratusan artikel tapi tidak akan membawa diskusi kita kemana2.
saya ulangi lagi,

ketika si petani membunuh hama tikus di sawahnya, mungkinkah ia melakukan itu tanpa didorong oleh kebencian (dosa)? tanpa dosa itu untuk apakah ia membunuh?

ketika seorang prajurit membunuh lawannya di medan perang, apakah ia melakukan itu tanpa didorong oleh kebencian (dosa)?

Offline dilbert

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.935
  • Reputasi: 90
  • Gender: Male
  • "vayadhamma sankhara appamadena sampadetha"
Re: Authenticity of the Suttas of the Pali Canon
« Reply #233 on: 24 May 2011, 09:31:15 AM »

Walaupun dalam kondisi ekstrim misalnya : ter-ancam jiwa-nya... seseorang masih bisa MEMILIH, apakah "melawan" untuk dibunuh ataupun tidak melawan...
VAYADHAMMA SANKHARA APPAMADENA SAMPADETHA
Semua yang berkondisi tdak kekal adanya, berjuanglah dengan penuh kewaspadaan

Offline M14ka

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 4.821
  • Reputasi: 94
  • Gender: Female
  • Live your best life!! ^^
Re: Authenticity of the Suttas of the Pali Canon
« Reply #234 on: 24 May 2011, 11:24:26 AM »
Apakah kalo kita misalnya tidak membunuh hama karena takut karma buruk termasuk egois juga karena tidak memikirkan keluarga yang butuh makan?

Offline K.K.

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 8.851
  • Reputasi: 268
Re: Authenticity of the Suttas of the Pali Canon
« Reply #235 on: 24 May 2011, 11:29:25 AM »
Apakah kalo kita misalnya tidak membunuh hama karena takut karma buruk termasuk egois juga karena tidak memikirkan keluarga yang butuh makan?
Butuh makan yah butuh makan. Bunuh hama untuk keluarga makan, sama saja dengan buat sate terwelu untuk makan keluarga. Pembunuhan harus diketahui sebagai pembunuhan, bukan dibenarkan dengan berbagai alasan.


Offline M14ka

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 4.821
  • Reputasi: 94
  • Gender: Female
  • Live your best life!! ^^
Re: Authenticity of the Suttas of the Pali Canon
« Reply #236 on: 24 May 2011, 11:34:48 AM »
Butuh makan yah butuh makan. Bunuh hama untuk keluarga makan, sama saja dengan buat sate terwelu untuk makan keluarga. Pembunuhan harus diketahui sebagai pembunuhan, bukan dibenarkan dengan berbagai alasan.
Bukan membenarkan loh, tapi misalnya mengetahui konsekuensi dari karma buruknya, tapi merasa lebih baik melakukan sedikit karma buruk untuk karma baik yg lebih besar daripada berpangku tangan pasrah gitu?

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: Authenticity of the Suttas of the Pali Canon
« Reply #237 on: 24 May 2011, 11:38:14 AM »
Bukan membenarkan loh, tapi misalnya mengetahui konsekuensi dari karma buruknya, tapi merasa lebih baik melakukan sedikit karma buruk untuk karma baik yg lebih besar daripada berpangku tangan pasrah gitu?

ya silakan lakukan kalau begitu.

misalnya contoh kasus berikut ini
dalam kondisi di indonesia sekarang ini, saya tau kalau saya korupsi uang 100M misalnya, kalau tertangkap saya bisa dipenjara selama 2 tahun. tapi saya mempertimbangkan, kerja apa bisa dapat 100M dalam 2 tahun, selain itu selama di penjara saya toh masih bisa jalan2 ke Bali dan ke Hongkong, jadi baiklah saya terima resiko itu dan saya korupsi 100M.

Offline K.K.

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 8.851
  • Reputasi: 268
Re: Authenticity of the Suttas of the Pali Canon
« Reply #238 on: 24 May 2011, 11:49:14 AM »
Bukan membenarkan loh, tapi misalnya mengetahui konsekuensi dari karma buruknya, tapi merasa lebih baik melakukan sedikit karma buruk untuk karma baik yg lebih besar daripada berpangku tangan pasrah gitu?
Bukannya untuk pasrah. Seseorang hidup sesuai dengan prinsipnya. Ayah saya pernah cerita seorang ahli bela diri dari China yang mungkin pernah melukai/membunuh musuh-musuhnya, datang ke sini, tobat dan jadi tukang masak. Ia punya prinsip tidak mau melukai lagi, maka walaupun ia diejek dan dihina, ia diam saja dan tidak melawan. Ketika ia dihina, ia diam bukan karena 'pasrah', namun demi menegakkan prinsip hidupnya yang tidak ingin melukai.

Nah, kalau menurut Sis t3rw3lu, bisakah seseorang yang masih membunuh, walaupun bunuhnya pilih-pilih, disebut orang yang hidup dengan prinsip belas kasih?


Offline M14ka

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 4.821
  • Reputasi: 94
  • Gender: Female
  • Live your best life!! ^^
Re: Authenticity of the Suttas of the Pali Canon
« Reply #239 on: 24 May 2011, 11:51:11 AM »
Quote
T : Surat kabar beberapa hari ini menampilkan kejadian di Taiwan bagian selatan yang menceritakan satu keluarga petani yang bergembira melahirkan seorang bayi. Tiga hari kemudian saat ibunya keluar mencuci pakaian, bayinya menangis dengan keras. Sang ibu segera berlari masuk ke rumah dan melihat seekor tikus yang besar sedang menggigit leher bayinya. Darah mengotori pakaian sang bayi. Sang ibu segera mengusir tikus itu, tetapi sudah terlambat, leher bayi itu telah berlubang terkena gigitan. Bayi itu tak sadarkan diri. Mohon bimbingan : dalam peristiwa seperti ini, siswa Buddha tidak diperkenankan melanggar sila pantang membunuh, tetapi bila tidak membunuh, maka itu sama saja dengan mengorbankan bayi demi menyenangkan tikus. Mohon penjelasannya.

J : Melihat tikus menggigit bayi dan membiarkannya, itu adalah mengorbankan bayi demi menyenangkan tikus. Mana ada perbuatan bodoh macam ini dalam agama Buddha!
Tanggapan kk gmn?