Sayembara mencari kelemahan Tipitaka

Started by fabian c, 11 April 2011, 07:53:54 PM

Previous topic - Next topic

0 Members and 1 Guest are viewing this topic.

ryu

kalau kisah arahat bunuh diri, itu khan gara2 ajaran buda mengajarkan asuba
Janganlah memperhatikan kesalahan dan hal-hal yang telah atau belum dikerjakan oleh diri sendiri. Tetapi, perhatikanlah apa yang telah dikerjakan dan apa yang belum dikerjakan oleh orang lain =))

Indra

Quote from: Kainyn_Kutho on 12 April 2011, 01:46:02 PM
Ga seru ah, kalau pakai tafsir ini itu, tentu tidak akan ada pemenangnya. Contohnya saya saja yang beri sayembara: kalau bisa ditemukan di tipitaka ada anjuran main lenong pakai musik death metal karangan Johan Sebastian Bach, saya beri 1 M Euro. <- Secara statistik, ini masih lebih mungkin ketimbang 'menemukan pernyataan dalam Tipitaka yang membenarkan/menyetujui perbuatan yang dengan sengaja melukai mahluk lain atau membunuh mahluk lain secara fisik yang menurut interpretasi, tafsir, komentar, persepsi dan olah makna dari saya'.



setuju, idealnya suatu sayembara pasti ada pemenangnya, jika suatu sayembara diadakan tapi mustahil ada pemenangnya, siapa yg mau main?

Indra

Quote from: ryu on 12 April 2011, 01:46:29 PM
kalau kisah arahat bunuh diri, itu khan gara2 ajaran buda mengajarkan asuba

itu karena salah paham

adi lim

Quote from: Indra on 12 April 2011, 09:34:21 AM
tapi saya masih optimis Mbah Fabian cukup konsisten yg apa yg ia katakan, kalo Bro Adi sih memang agak meragukan

adu ni yeh !  :))

Seringlah PancaKhanda direnungkan sebagai Ini Bukan MILIKKU, Ini Bukan AKU, Ini Bukan DIRIKU, bermanfaat mengurangi keSERAKAHan, mengurangi keSOMBONGan, Semoga dapat menjauhi Pandangan SALAH.

K.K.

Quote from: Kelana on 12 April 2011, 12:28:18 PM
Benar, Sdr. Kainyn, jika kita mengganti kata-katanya dengan kata-kata yang berhubungan dekat dan jelas yaitu antara makan dan kenyang, persepsi kita dengan cepat menghubungkannya sebagai sebab-akibat.
Tapi dalam syair tersebut tidak demikian. Apa hubungan antara berjalan tak tergoyangkan dengan membunuh? Bahkan kita tidak tahu tak tergoyangkan dalam hal apa, apakah batinnya, apakah badannya. Apakah dengan membunuh pasti badannya tidak bergoyang-goyang saat berjalan?
Jadi tidak ada kejelasan hubungan yang benar-benar jelas dalam syair ini.
Sudah saya singgung sebelumnya, "anīgha" di sini maksudnya tanpa kebingungan/tak tergoyangkan bathinnya. Mana mungkin seorang Buddha memberikan syair yang tidak berhubungan antar frasanya, jadi seperti:
"makan nasi, makan kwetiau
makan soto, Brahmana garuk-garuk"

Sudah dikutip kisahnya oleh bro ChandraOyuget, ayah & ibu adalah keinginan dan pandangan 'atta'; dua raja adalah pandangan keabadian & anihilasi; kerajaan dan isinya adalah enam indriah beserta objeknya; harimau adalah pancanivarana: kemalasan & kelambanan, pikiran kejam, keraguan, nafsu indera. Ketika semua itu 'dibunuh', maka brahmana mencapai akhir dari dukkha. Semua adalah simbolik, dan mengabaikan arti dan makna denotatifnya, syair tersebut secara mentah memang berarti 'membunuh ini-itu, mencapai nibbana'. Itu pula sebabnya para bhikkhu yang pertama dengar syair itu terbingung-bingung.


K.K.

#125
Quote from: Indra on 12 April 2011, 01:48:11 PM
setuju, idealnya suatu sayembara pasti ada pemenangnya, jika suatu sayembara diadakan tapi mustahil ada pemenangnya, siapa yg mau main?
Biasanya sayembara dan sejenisnya harus mencantumkan 'syarat dan ketentuan' yang tepat, karena memang bisa dicari kelemahannya. Saya ingat dulu ada kasus iklan mobil seharga $X yang dalam iklannya dikatakan seharga X pisang (banana), lalu ada orang benar datang membawa pisang sejumlah X untuk beli mobilnya. Pisang ditolak, naik sidang, pembeli menang, dan mobil itu dibeli seharga X pisang.

Sayembara juga memang bisa juga tantangan dari klaim2 orang lain, tidak selalu harus ada pemenangnya. Seperti James Randi yang menantang klaim orang-orang yang mengaku punya kemampuan supranormal untuk dibuktikan dan bisa mengambil uang $1juta. Seharusnya "si badut" klaim KALAU memang sakti.

Peacemind

Quote from: ChandraOyuget on 12 April 2011, 12:21:45 PM
Kisah Bhaddiya Thera, Si Orang Pendek


DHAMMAPADA XXI : 294, 295

Suatu ketika beberapa bhikkhu datang berkunjung dan memberi hormat kepada Sang Buddha di Vihara Jetavana. Ketika mereka bersama Sang Buddha, Lakundaka Bhaddiya kebetulan lewat tidak jauh dari mereka.

Sang Buddha meminta mereka untuk memperhatikan Thera yang pendek itu dan berkata kepada mereka, "Para bhikkhu, lihatlah kepada Thera itu. Ia telah membunuh kedua ayah dan ibunya, dan setelah membunuh orang tuanya ia pergi tanpa penderitaan lagi".

Para bhikkhu tidak dapat mengerti pernyataan yang telah diucapkan oleh Sang Buddha. Karena itu mereka memohon kepada Sang Buddha untuk menjelaskannya dan Beliau berkenan menjelaskan artinya.

Pernyataan di atas dibuat oleh Sang Buddha berkaitan dengan kehidupan arahat, yang telah melenyapkan nafsu keinginan, kesombongan, pandangan salah, dan kemelekatan pada indria dan objek indria. Sang Buddha telah membuat pernyataan metaforis. Istilah "ibu" dan "ayah" digunakan untuk menunjukkan nafsu keinginan dan kesombongan. Kepercayaan/pandangan tentang keabadian (sassataditthi) dan kepercayaan/pandangan tentang pemusnahan (ucchedaditthi) seperti halnya dua raja, kemelekatan seperti para menterinya, dan indria serta objek indria seperti halnya sebuah kerajaan.

Setelah menjelaskan arti pernyataan itu kepada mereka, Sang Buddha membabarkan syair 294 dan 295 berikut ini:


Setelah membantai ibu (nafsu keinginan) dan ayah (kesombongan),
serta dua orang ksatria (dua pandangan ekstrim berkenaan dengan kekekalan dan kemusnahan);
dan setelah menghancurkan negara (pintu-pintu indria)
bersama dengan para menterinya (kemelekatan),
maka seorang brahmana akan berjalan pergi tanpa kesedihan.(294)


Setelah membantai ibu (nafsu keinginan) dan ayah (kesombongan),
serta dua raja yang arif (dua pandangan ekstrim berkenaan dengan kekekalan dan kemusnahan);
dan setelah menghancurkan lima jalan yang penuh bahaya (lima rintangan batin),
maka seorang brahmana akan berjalan pergi tanpa kesedihan.(295)

http://www.w****a.com/forum/kumpulan-sutra-vinaya-buddhist/6495-kisah-kisah-dhammapada-bab-xxi-bunga-rampai-290-291-292-293-294-295-a.html

hehe sebagai member DC.... om Fabian 6 jt nya ditahan dulu ~ _/\_

Cerita di atas khan Dhammapada Aṭṭhakathā, dan bukan Dhammapadanya. Yang dijadikan sayembara adalah pernyataan yang ada dalam Tipitaka. Dhammapada Aṭṭhakathā bukan termasuk Tipitaka. Syair yang dicantumkan Kainyn sudah memenuhi syarat untuk menjawan posting awal. hehehe.....

ChandraOyuget

 _/\_
dengan melihat Pancasila buddhist saja, kita sudah tahu kalau Buddhist melarang pembunuhan hahahaha
selamat mencari yah ~ :) maap kak ga bisa nambahin nominal hadiahnya ~ _/\_

bodhi

M14ka: "the nature of things are unstable.. "

K.K.


fabian c

Quote from: Peacemind on 12 April 2011, 02:20:48 PM
Cerita di atas khan Dhammapada Aṭṭhakathā, dan bukan Dhammapadanya. Yang dijadikan sayembara adalah pernyataan yang ada dalam Tipitaka. Dhammapada Aṭṭhakathā bukan termasuk Tipitaka. Syair yang dicantumkan Kainyn sudah memenuhi syarat untuk menjawan posting awal. hehehe.....

Samanera yang saya hormati,  ^:)^  Sayang sekali saya harus mengecewakan Samanera lagi nih... Syair tersebut jelas hanya merupakan kiasan. Tak ada yang dilukai, tak ada yang mati. Hanya bentuk kiasan, bukan real secara fisik. Berikut saya copaskan syair tersebut dari Mettalanka:

Mataram pitaram hantva
rajano dye ca khattiye
rattham sanucaram hantva
anigho yati1 brahmano.

Mataram pitaram hantva
rajano dve ca sotthiye
veyagghapancamam2 hantva
anigho yati brahmano


Ini terjemahan bahasa Inggrisnya:

Verse 294: Having killed mother (i.e., Craving), father (i.e., Conceit), and the two kings (i.e., Eternity-belief and Annihilation-belief), and having destroyed the kingdom (i.e., the sense bases and sense objects) together with its revenue officer (i.e., attachment), the brahmana (i.e., the arahat) goes free from dukkha.

Verse 295: Having killed mother, father, the two brahmin kings and having destroyed the hindrances of which the fifth (i.e., doubt) is like a tiger-infested journey, the brahmana (i.e., the arahat) goes free from dukkha.


Sedangkan sayembaranya ditulis demikian:

"membenarkan/menyetujui perbuatan yang dengan sengaja melukai mahluk lain atau membunuh mahluk lain secara fisik"

Syair itu tidak dimaksudkan membunuh secara fisik, jadi saya masih aman. Ayo jangan menyerah Samanera... :))

Mettacittena,   _/\_

Tiga hal ini, O para bhikkhu dilakukan secara rahasia, bukan secara terbuka.
Bercinta dengan wanita, mantra para Brahmana dan pandangan salah.

Tiga hal ini, O para Bhikkhu, bersinar secara terbuka, bukan secara rahasia.
Lingkaran rembulan, lingkaran matahari serta Dhamma dan Vinaya Sang Tathagata

Peacemind

Quote from: fabian c on 12 April 2011, 04:41:23 PM
Samanera yang saya hormati,  ^:)^  Sayang sekali saya harus mengecewakan Samanera lagi nih... Syair tersebut jelas hanya merupakan kiasan. Tak ada yang dilukai, tak ada yang mati. Hanya bentuk kiasan, bukan real secara fisik. Berikut saya copaskan syair tersebut dari Mettalanka:

Mataram pitaram hantva
rajano dye ca khattiye
rattham sanucaram hantva
anigho yati1 brahmano.

Mataram pitaram hantva
rajano dve ca sotthiye
veyagghapancamam2 hantva
anigho yati brahmano


Ini terjemahan bahasa Inggrisnya:

Verse 294: Having killed mother (i.e., Craving), father (i.e., Conceit), and the two kings (i.e., Eternity-belief and Annihilation-belief), and having destroyed the kingdom (i.e., the sense bases and sense objects) together with its revenue officer (i.e., attachment), the brahmana (i.e., the arahat) goes free from dukkha.

Verse 295: Having killed mother, father, the two brahmin kings and having destroyed the hindrances of which the fifth (i.e., doubt) is like a tiger-infested journey, the brahmana (i.e., the arahat) goes free from dukkha.


Sedangkan sayembaranya ditulis demikian:

"membenarkan/menyetujui perbuatan yang dengan sengaja melukai mahluk lain atau membunuh mahluk lain secara fisik"

Syair itu tidak dimaksudkan membunuh secara fisik, jadi saya masih aman. Ayo jangan menyerah Samanera... :))

Mettacittena,   _/\_



Yang disayembarakan tidak menyebutkan apakah harus mengecualikan'makna kiasan' ataukah tidak. Yang terpenting adalah 'pernyataan dalam Tipitaka'. Makna sesungguhnya dalam syair di atas dijelaskan dalam kitab komentar dan bukan Tipitakanya. Beberapa kata-kata yang ada dalam tanda kurung di terjemahan bahasa Inggris di atas diambil dalam Kitab komentar. Secara pernyataan, dengan melupakan makna yang tersembunyi di balik syair di atas, sudah memenuhi syarat untuk memenangkan sayembara di atas. hehe....

Sekarang juga mesti dibahas mengenai Abhāyarājākumārasutta, Majjhimanikāya terutama ketika Sang Buddha mengklaim bahwa Beliau sendiri juga terkadang mengucapkan kata-kata yang tidak menyenangkan (appiyā) dan tidak disetujui (amanāpā) kepada orang lain. Meskipun kata-kata yang diucapkan Beliau pada akhirnya bermanfaat bagi si pendengar, setidaknya, kata-kata tersebut pada awalnya melukai. Lihat saja dalam Aggikkhandhasutta, Aṇguttaranikāya. Ketika Sang Buddha membabarkan Sutta ini, ada 60 bhikkhu langsung memuntahkan darah ( Imasmiñca   pana   veyyākaraṇasmiṃ   bhaññamāne   saṭṭhimattānaṃ   bhikkhūnaṃ  uṇhaṃ  lohitaṃ  mukhato uggañchi). Di sutta ini, ada indikasi bahwa kata-kata yang melukai diperbolehkan jika pada akhirnya memberikan manfaat yang lebih besar. Bagaimana, 6 jutakah? hehehe....

Indra

selalu ada term and condition baru jika ada jawaban yg benar, sayembara ini tidak sah

ChandraOyuget

 _/\_ bagaimanapun juga, siswa sang Buddha jangan hanyut demi 6 jt yah  :)) :)) :))

Umat Awam

Quote from: Indra on 12 April 2011, 08:00:03 PM
selalu ada term and condition baru jika ada jawaban yg benar, sayembara ini tidak sah

Sah atau tidak sah, seharusnya hadiah tetap diberikan kepada yang menjawab nya kan?? gimana dewa Indra ? ;D

Peraturan seharusnya berlaku maju, bukan mundur.. jadi term n condition yg digunakan utk penjawab pertama adalah term n condition yg pertama pula.. Xixixi

*Kaboooooooooooooorrrrrrrrrrrrrrrrrrrrr...................*