Pelimpahan jasa, dari manakah rujukannya?

Started by Sumedho, 05 January 2011, 09:28:11 AM

Previous topic - Next topic

0 Members and 1 Guest are viewing this topic.

pannadevi

#90
Quote from: Kelana on 07 January 2011, 06:48:08 PM
Terima kasih Neri, _/\_ saya jadi lebih tahu pasti.
Neri, bukankah kamus Pali PTS sudah ada yang onlinenya: http://dsal.uchicago.edu/dictionaries/pali/

_/\_


kembali kasih, sama2 bro, saya sendiri juga belajar disini, di DC, malahan referensi pelimpahan jasa justru saya dapatkan disini barusan sekarang ini.

thanks juga untuk kamus online nya, barusan saya coba, bisa. (dari kemarin ga tahu sih, sekarang punya lagi yg online)

kemarin2 sepengetahuan saya berdasarkan kuliah dan dhammadesana pelimpahan jasa hanya untuk menolong mereka yg ada dialam Peta, padahal keyakinan dalam hati saya tidak demikian, saya yakin pelimpahan jasa bisa diterima semua alam, ternyata benar, sekarang terbukti dari referensi2 sutta yang udah diposting bro Ryu.

mettacittena,

morpheus

Quote from: pannadevi on 07 January 2011, 06:44:04 PM
bagi anggota sangha maksudnya anda ? khan sedikit rambutnya malahan abis, licin....  :P
tadinya sih saya maksudkan "facial hair", gak sadar dalam bahasa indonesia "bulu" dengan "rambut" itu beda.
kalo anggota sangha memang hambatan airnya sangat kecil.
* I'm trying to free your mind, Neo. But I can only show you the door. You're the one that has to walk through it
* Neo, sooner or later you're going to realize just as I did that there's a difference between knowing the path and walking the path

pannadevi

Quote from: morpheus on 07 January 2011, 11:14:54 PM
tadinya sih saya maksudkan "facial hair", gak sadar dalam bahasa indonesia "bulu" dengan "rambut" itu beda.
kalo anggota sangha memang hambatan airnya sangat kecil.

;D ;D

ryu

kalau cerita ini ada disutta mana ya? ;D

pada jaman Buddha ... di suatu daerah ada ritual kematian... bila ada orang yang meninggal maka dalam pembakaran... anak tertuanya akan memukul kepala yang meninggal ini... ini ritual...


pada saat itu ada keluarga yang meninggal.. dan anak tertua keluarga itu mendatangi buddha untuk mengadakan ritual pada orang tuanya yang meninggal ... agar masuk surga...


kemudian Buddha meminta pemuda yang orangtuanya meninggal ini... untuk membeli dua pot... kemudian pot itu yang satu di isi kerikil dan yang satu di isi sejenis mentega...

pemuda ini mengira Buddha akan mengadakan ritual untuk membuat agar orang tuanya masuk surga...

kemudian Buddha meminta pemuda itu menaruh kedua pot itu kedalam kolam...

setelah berada didasar kolam ... buddha meminta pemuda itu untuk memukul kedua pot itu sampai pecah... pemuda ini berpikir ritual buddha ini untuk menggantikan ritual memukul kepala orang yang meninggal...

pemuda ini berpikir dengan ritual itu akan membantu orang tuanya masuk ke surga...

dan setelah pemuda itu memecahkan pot itu... kemudian pot yang berisi kerikil... kerikilnya berserak didasar kolam... tenggelam.... sedangkan pot yang berisi sejenis mentega.... menteganya muncul ke permukaan air.... mengambang diatas air kolam...

kemudian Buddha menjelaskan ... bahwa dengan sendirinya yang ringan akan naik yang berat akan tenggelam ini hukum alam ... ini seperti perbuatan kita... bila perbuatan kita baik di umpamakan ringan... dengan sendirinya kita akan naik ke surga... tapi bila perbuatan kita jahat di umpamakan berat... dengan sendirinya kita akan jatuh ke neraka... ini sudah hukum alam...


tidak ada ritual yang dapat menangkalnya...

kemudian Buddha meminta pemuda ini... silahkan cari pendeta, brahmana dan orang orang sakti suci... yang bisa membuat ritual sehingga mentega tenggelam ke dalam dasar kolam dan membuat kerikil menjadi mengambang di permukaan kolam...

tidak akan ada pendeta , brahmana dan sebagainya yang akan bisa melakukan itu...
Janganlah memperhatikan kesalahan dan hal-hal yang telah atau belum dikerjakan oleh diri sendiri. Tetapi, perhatikanlah apa yang telah dikerjakan dan apa yang belum dikerjakan oleh orang lain =))

pannadevi

Quote from: Kelana on 06 January 2011, 06:36:01 PM
Cuplikan Nandamata Sutta, Anguttara Nikaya 7, Mahayanna Vagga :

.......Atha kho nandamātā upāsikā pārāyanaṃ sarena bhāsitvā tuṇhī ahosi. Atha kho vessavaṇo mahārājā nandamātāya upāsikāya kathāpariyosānaṃ viditvā abbhānumodi – ''sādhu bhagini, sādhu bhaginī''ti! ''Ko paneso, bhadramukhā''ti? ''Ahaṃ te, bhagini, bhātā vessavaṇo, mahārājā''ti. ''Sādhu, bhadramukha, tena hi yo me ayaṃ dhammapariyāyo bhaṇito idaṃ te hotu ātitheyya''nti. ''Sādhu, bhagini, etañceva me hotu ātitheyyaṃ. Sveva sāriputtamoggallānappamukho bhikkhusaṅgho akatapātarāso veḷukaṇḍakaṃ āgamissati, tañca bhikkhusaṅghaṃ parivisitvā mama dakkhiṇaṃ ādiseyyāsi. Etañceva me bhavissati ātitheyya''nti.......

Masalahnya saya tidak tahu secara pasti kata-kata mana yang disebut sebagai pelimpahan jasa.

bro Kelana yg baik,

saya tadi sewaktu menjalankan tugas pagi teringat dg pertanyaan bro kelana, kata2 yang mana yg menunjukkan pelimpahan jasa (transference merits), lantas saya buka forum, kalau dilihat kalimat ini yang semestinya menunjukkan pelimpahan jasa :

"....bhikkhusaṅghaṃ parivisitvā mama dakkhiṇaṃ ādiseyyāsi. Etañceva me bhavissati ātitheyya''nti.." (serve food to the Bhikkhu sangha and announce that is my gift, this is become my great merits)

jadi kalimat yang dilihat adalah arti seluruhnya, yaitu "dakkhiṇaṃ ādiseyyāsi" announcement of gift (menyatakan persembahan), otomatis telah terjadi pelimpahan jasa, ibaratnya "Bhante ini adalah persembahan dari si A" nah sewaktu menyatakan hal demikian langsung otomatis telah terjadi pelimpahan jasa. kalimat diatas seperti itu maksudnya. mohon masukan dari yang lain.

mettacittena,

pannadevi

Quote from: ryu on 08 January 2011, 07:57:59 AM
kalau cerita ini ada disutta mana ya? ;D

pada jaman Buddha ... di suatu daerah ada ritual kematian... bila ada orang yang meninggal maka dalam pembakaran... anak tertuanya akan memukul kepala yang meninggal ini... ini ritual...


pada saat itu ada keluarga yang meninggal.. dan anak tertua keluarga itu mendatangi buddha untuk mengadakan ritual pada orang tuanya yang meninggal ... agar masuk surga...


kemudian Buddha meminta pemuda yang orangtuanya meninggal ini... untuk membeli dua pot... kemudian pot itu yang satu di isi kerikil dan yang satu di isi sejenis mentega...

pemuda ini mengira Buddha akan mengadakan ritual untuk membuat agar orang tuanya masuk surga...

kemudian Buddha meminta pemuda itu menaruh kedua pot itu kedalam kolam...

setelah berada didasar kolam ... buddha meminta pemuda itu untuk memukul kedua pot itu sampai pecah... pemuda ini berpikir ritual buddha ini untuk menggantikan ritual memukul kepala orang yang meninggal...

pemuda ini berpikir dengan ritual itu akan membantu orang tuanya masuk ke surga...

dan setelah pemuda itu memecahkan pot itu... kemudian pot yang berisi kerikil... kerikilnya berserak didasar kolam... tenggelam.... sedangkan pot yang berisi sejenis mentega.... menteganya muncul ke permukaan air.... mengambang diatas air kolam...

kemudian Buddha menjelaskan ... bahwa dengan sendirinya yang ringan akan naik yang berat akan tenggelam ini hukum alam ... ini seperti perbuatan kita... bila perbuatan kita baik di umpamakan ringan... dengan sendirinya kita akan naik ke surga... tapi bila perbuatan kita jahat di umpamakan berat... dengan sendirinya kita akan jatuh ke neraka... ini sudah hukum alam...


tidak ada ritual yang dapat menangkalnya...

kemudian Buddha meminta pemuda ini... silahkan cari pendeta, brahmana dan orang orang sakti suci... yang bisa membuat ritual sehingga mentega tenggelam ke dalam dasar kolam dan membuat kerikil menjadi mengambang di permukaan kolam...

tidak akan ada pendeta , brahmana dan sebagainya yang akan bisa melakukan itu...

wah ini saya juga baru tahu....apa ya nama suttanya?

Peacemind

Saya melihat ajaran pelimpahan jasa dapat terlihat dalam Tipitaka meski dicantumkan di Khuddakanikāya. Dalam salah satu syairnya, Tirokuḍḍhasutta mengatakan:

Yathā vārivahā pūrā, paripūrenti sāgaraṃ;
evameva ito dinnaṃ, petānaṃ upakappati

Bisa diartikan:

Seperti halnya air sungai yang penuh akan memenuhi lautan;
Demikianlah, apa yang diberikan di sini akan melimpah ke para peta.

Dalam Khetthūpamapetavatthu, Petavatthu, ada syair berikut:

"Khettūpamā arahanto, dāyakā kassakūpamā;
  bījūpamaṃ deyyadhammaṃ, etto nibbattate phalaṃ.

Etaṃ bījaṃ kasi khettaṃ, petānaṃ dāyakassa ca;
taṃ petā paribhuñjanti, dātā puññena vaḍḍhati."

Bisa diartikan sebagai berikut:

"Para arahat ibarat sawah; para pemberi ibarat petani;
Barang yang dipersembahkan ibarat bibit (biji); dari situlah muncullah buah.

Demikianlah, bibit yang ditanam di sawah, seperti halnya para pemberi terhadap para peta.
Para peta akan menikmati, sedangkan para pemberi akan bertambah kebajikannya".

Syair di atas menyiratkan ajaran pelimpahan jasa. Di sini, barang yang dipersembahkan tidak langsung dipersembahkan kepada para peta, melainkan ke para arahat sebagai ladang kebajikan. Kita tidak  tahu bagaimana proses hukum kammanya, tetapi para peta bisa menikmati kebajikan kita yang dipersembahkan kepada arahat (dalm konteks ini).

Peacemind

Quote from: ryu on 08 January 2011, 07:57:59 AM
kalau cerita ini ada disutta mana ya? ;D

pada jaman Buddha ... di suatu daerah ada ritual kematian... bila ada orang yang meninggal maka dalam pembakaran... anak tertuanya akan memukul kepala yang meninggal ini... ini ritual...


pada saat itu ada keluarga yang meninggal.. dan anak tertua keluarga itu mendatangi buddha untuk mengadakan ritual pada orang tuanya yang meninggal ... agar masuk surga...


kemudian Buddha meminta pemuda yang orangtuanya meninggal ini... untuk membeli dua pot... kemudian pot itu yang satu di isi kerikil dan yang satu di isi sejenis mentega...

pemuda ini mengira Buddha akan mengadakan ritual untuk membuat agar orang tuanya masuk surga...

kemudian Buddha meminta pemuda itu menaruh kedua pot itu kedalam kolam...

setelah berada didasar kolam ... buddha meminta pemuda itu untuk memukul kedua pot itu sampai pecah... pemuda ini berpikir ritual buddha ini untuk menggantikan ritual memukul kepala orang yang meninggal...

pemuda ini berpikir dengan ritual itu akan membantu orang tuanya masuk ke surga...

dan setelah pemuda itu memecahkan pot itu... kemudian pot yang berisi kerikil... kerikilnya berserak didasar kolam... tenggelam.... sedangkan pot yang berisi sejenis mentega.... menteganya muncul ke permukaan air.... mengambang diatas air kolam...

kemudian Buddha menjelaskan ... bahwa dengan sendirinya yang ringan akan naik yang berat akan tenggelam ini hukum alam ... ini seperti perbuatan kita... bila perbuatan kita baik di umpamakan ringan... dengan sendirinya kita akan naik ke surga... tapi bila perbuatan kita jahat di umpamakan berat... dengan sendirinya kita akan jatuh ke neraka... ini sudah hukum alam...


tidak ada ritual yang dapat menangkalnya...

kemudian Buddha meminta pemuda ini... silahkan cari pendeta, brahmana dan orang orang sakti suci... yang bisa membuat ritual sehingga mentega tenggelam ke dalam dasar kolam dan membuat kerikil menjadi mengambang di permukaan kolam...

tidak akan ada pendeta , brahmana dan sebagainya yang akan bisa melakukan itu...

Bisa dilihat kemiripannya di Asibandhakaputtasutta, Samyuttanikāya.

ryu

Quote from: Peacemind on 09 January 2011, 09:13:20 PM
Bisa dilihat kemiripannya di Asibandhakaputtasutta, Samyuttanikāya.
bisa minta sutanya Samanera? ;D

_/\_
Janganlah memperhatikan kesalahan dan hal-hal yang telah atau belum dikerjakan oleh diri sendiri. Tetapi, perhatikanlah apa yang telah dikerjakan dan apa yang belum dikerjakan oleh orang lain =))

williamhalim

#99
Barusan sy lihat di SP, Bro WE ada posting soal persembahan yg dilakukan oleh Bhikkhu untuk makhluk di alam peta, yg kemudian makhluk tsb, menjadi lbh baik kondisinya... sy sdh cek ternyata sutta ini blm diposting di thread ini, sy copas kesini, sbb:

PETAVATTHU
Khuddaka Nikaya

BAB II
BAB UBBARI
[Ubbarivagga]

II. 1 PENJELASAN MENGENAI
CERITA PETA SAMSARAMOCAKA
[Samsaramocakapetavatthuvannana]

'Engkau telanjang dan berpenampilan buruk.'
Demikian dikatakan Sang Guru ketika Beliau sedang berdiam di Hutan Bambu
mengenai peti di desa Itthakavati di kerajaan Magadha.
Diceritakan bahwa di kerajaan Magadha ada dua desa yang bernama Itthakavati dan Digharaji.
Di situ tinggal banyak orang bida'ah Samsaramocaka.

Sekitar lima ratus tahun yang lalu, seorang wanita terlahir di suatu
keluarga Samsaramocaka di Itthakavati.
Karena pandangan-pandangan salahnya, dia membunuh berbagai serangga dan
belalang, dan kemudian terlahir di antara para peta.Di situ dia menjalani penderitaan karena rasa lapar dan haus selama lima ratus tahun.
Setelah Sang Buddha muncul di dunia dan memutar roda Dhamma Agung dan
kemudian berdiam di Hutan Bambu, dekat Rajagaha, wanita itu terlahir
sekali lagi di keluarga Samsaramocaka yang sama, juga di Itthakavati
itu.Suatu hari ketika dia berusia sekitar tujuh atau delapan tahun dan
sedang sibuk bermain-main dengan anak-anak lain di jalanan, Y. M.
Sariputta, Thera -yang sedang berdiam di vihara Arunavati di dekat desa
itu- lewat di dekat pintu gerbang desa bersama dua belas bhikkhu.

Pada saat itu banyak gadis kecil yang telah keluar dari desa dan sedang
bermain-main di dekat pintu gerbang. Karena telah diajar tata-cara oleh orang tua mereka, dengan cepat mereka
menghampiri Thera dan bhikkhu-bhikkhu lain. Dengan bakti di hati, mereka memberikan penghormatan dengan namaskara.

Tidak demikian dengan anak perempuan dari keluarga yang tidak memiliki
keyakinan itu. Dia tidak memiliki rasa hormat dan kesantunan orang luhur karena telah
lama tidak mengumpulkan jasa perbuatan baik. Maka dia tetap berdiri bagaikan orang tanpa disiplin.

Y M. Sariputta meneliti perilakunya di dalam kehidupan lampaunya, kemudian kelahirannya sekarang di keluarga Samsaramocaka, dan melihat bahwa di masa mendatang dia pantas muncul (hanya) di neraka. Beliau menyadari bahwa jika seandainya anak ini mau memberikan penghormatan, dia tidak akan terlahir di neraka. Atau seandainya pun muncul di antara para peta, dia akan mencapai kemuliaan lewat beliau.

Digerakkan oleh kasih sayang, Y.M. Sariputta berkata pada anak-anak perempuan itu, 'Kalian menghormat para bhikkhu tetapi anak ini tetap berdiri seperti orang tanpa disiplin.' Maka anak-anak perempuan itu merenggut tangannya, menyeretnya ke depan dan secara paksa membuatnya menghormat di kaki Thera itu.

Sesudah dewasa, dia diserahkan (dalam pernikahan) kepada seorang pemuda dari keluarga Samsaramocaka di Digharaji. Namun ketika akan melahirkan, dia meninggal dan muncul di antara para peta, dalam keadaan telanjang dan berpenampilan buruk. Sungguh pemandangan yang menjijikkan.

Dia berkelana kian kemari, menampakkan diri di malam hari pada Y. M. Sariputta Thera, dan kemudian berdiri di satu sisi. Ketika melihatnya, beliau bertanya kepadanya dengan syair ini:

1. 'Engkau telanjang dan berpenampilan buruk, kurus kering dengan urat-nadi yang menonjol.
Engkau yang kurus, dengan tulang-tulang iga yang menonjol keluar, siapakah engkau, wahai yang berdiri di sana?'

2. 'Tuan, saya adalah peti, yang pergi menuju kehidupan sengsara di alam Yama;
karena telah melakukan suatu perbuatan jahat, saya telah pergi dari sini menuju alam para peta.'
Sekali lagi Y. M. Sariputta bertanya tentang perbuatan yang telah dilakukannya:

3. Kalau demikian, perbuatan jahat apakah yang telah engkau lakukan
lewat tubuh, ucapan atau pikiran? Sebagai akibat dari perbuatan apakah
engkau pergi dari sini menuju alam para peta?' Peti itu menyampaikan tiga syair untuk menunjukkan bahwa karena
keegoisan dan karena tidak memiliki keluhuran dalam perbuatan memberi, maka dia telah muncul di dalam kandungan-peta dan menjalani kesengsaraan yang besar:

4. 'Bhante, dahulu saya tidak mempunyai ayah, ibu atau pun sanak saudara
yang memiliki belas kasihan kepada saya dan yang mau mendorong saya dengan mengatakan,
"Dengan bakti di hatimu, berikanlah dana kepada para petapa dan brahmana".

5. Sejak sekarang selama lima ratus tahun saya harus berkelana telanjang seperti ini,
dirongrong oleh rasa lapar dan nafsu keinginan – inilah buah dari perbuatan jahat saya.

6. Saya memberikan penghormatan kepadamu, tuan yang mulia, dengan bakti di hati saya;
kasihanilah saya, O manusia yang mantap dan agung.
Berikanlah sesuatu dan tujukanlah dana itu kepada saya;
bebaskanlah saya dari keadaan yang sengsara ini, tuan.'

7. ' "Baiklah", Sariputta menyetujui karena belas kasihannya.
Beliau memberikan kepada para bhikkhu sedikit makanan, sejengkal kain, dan semangkuk air
dan kemudian menujukan dana itu kepada peti itu.


8. Segera setelah Sariputta mempersembahkan ini, hasilnya langsung muncul.
Makanan, pakaian dan minuman menjadi buah dari dana ini.


9. Maka peti itu menjadi murni, terbungkus pakaian yang bersih dan segar,
mengenakan pakaian yang lebih halus daripada pakaian dari kain Kasi.

Lalu, dengan dihiasi berbagai pakaian dan perhiasan, peti itu mendekati Sariputta.'

10. 'Engkau yang berdiri dengan keelokan yang luar biasa,
wahai devata, menyinari segala penjuru bagaikan Bintang Penyembuh,

11. Disebabkan oleh apakah keelokanmu seperti ini?
Disebabkan oleh apakah maka keadaan ini dicapai olehmu di sini sehingga akan muncul
kenikmatan-kenikmatan apa pun yang disenangi hatimu?

12. Saya bertanya kepadamu, O devi yang amat agung,
tindakan berjasa apakah yang telah engkau lakukan ketika engkau dahulu menjadi manusia?
Disebabkan oleh apakah maka keagunganmu bersinar dan keelokanmu memancar ke segala penjuru?'

13. 'Orang suci yang penuh welas asih bagi dunia telah melihat saya pergi
menuju kehidupan yang sengsara kekuningan, kurus kering, kelaparan, telanjang
dan dengan kulit yang berkerut-kerut.

14. Beliau memberikan kepada para bhikkhu sepotong makanan,
sepotong kain berukuran sejengkal dan semangkuk air dan dana itu ditujukan kepadaku.

15. Lihatlah buah dari sepotong makanan itu:
selama seribu tahun saya akan menyantap makanan yang beraneka citarasanya,
menikmati kepuasan dari semua keinginanku.


16. Lihatlah hasil yang diperoleh dari sepotong kain berukuran sejengkal ini:
pakaian sebanyak yang ada di seluruh alam raja Nanda,


17. Masih lebih banyak daripada itu, tuan, adalah pakaianku dan kain penutup
dari sutra serta wol, linen dan katun.


18. Banyak dan mahal benda-benda itu – semua itu bahkan menggantung turun dari langit
dan saya tinggal mengenakan mana pun yang saya senangi.


19. Lihatlah hasil yang diperoleh dari semangkuk air ini:
kolam-kolam teratai yang dalam, bersudut empat dan tertata indah,

20. Dengan air yang jenih dan tepian yang indah,
sejuk dan harum, tertutup teratai dan lili air, airnya penuh dengan serabut teratai,

21. Dan saya berolah raga dan bermain serta bersenang-senang, tanpa
merasa takut dari tempat mana pun. Saya, yang mulia, telah datang untuk
memberikan penghormatan kepada petapa yang penuh welas asih bagi dunia.

Setelah hal ini dikatakan oleh peti itu, Y. M. Sariputta, menyampaikan
cerita itu secara terperinci kepada penghuni dua desa -Itthakavati dan
Digharaji-, yang telah datang kepada beliau.

Y M. Sariputta membuat hati mereka tersentak dan mereka pun terbebas
dari klenik Samsaramocaka yang jahat dan kemudian mengukuhkan mereka
sebagai umat awam.

Persoalan ini kemudian menjadi terkenal di kalangan para bhikkhu dan
mereka pun mengemukakan hal itu kepada Sang Buddha.

Sang Buddha menganggap persoalan itu sebagai munculnya suatu kebutuhan
dan Beliau mengajarkan Dhamma kepada kelompok yang berkumpul di sana.

Ajaran itu bermanfaat bagi orang-orang tersebut.

::
Walaupun seseorang dapat menaklukkan beribu-ribu musuh dalam beribu kali pertempuran, namun sesungguhnya penakluk terbesar adalah orang yang dapat menaklukkan dirinya sendiri (Dhammapada 103)

williamhalim

satu lagi, sutta yang senada.. yakni persembahan dana yg dilakukan seorang Bhikkhu yg bermanfaat bagi makhluk di alam peta (Sy copas dari postingan Bro WE di milis SP):

CERITA PETI IBU SARIPUTTA THERA
[Sariputtattheramatupetivatthuvannana]

'Telanjang dan berpenampilan buruk engkau.'

Ini dikatakan ketika Sang Guru sedang berdiam di Hutan Bambu sehubungan dengan seorang peti yang dulunya ibu dari Y. M. Sariputta Thera dalam kelahiran kelima sebelumnya.

Suatu hari Y. M. Sariputta, Y. M. Mahamoggallana, Y. M. Anuruddha dan Y. M. Kappina sedang berdiam di suatu tempat di hutan yang tidak jauh dari Rajagaha. Pada saat itu di Benares ada seorang brahmana yang memiliki kekayaan besar, kesejahteraan besar, timbunan emas dan perak yang luar biasa.

Dia mau memberikan makanan, minuman, pakaian dan tempat tinggal dan sebagainya kepada para petapa dan brahmana, fakir miskin, gelandangan, pelancong dan pengemis, bagaikan sumur yang memberikan air. Dia memberi kepada semua pendatang, sesuai dengan kesempatan dan kebutuhan, menyimpan berbagai hadiah yang terdiri dari segala kebutuhan seperti misalnya air (untuk mencuci) kaki, (salep) untuk merawat kaki dan sebagainya, serta melayani para bhikkhu dengan baik lewat makanan dan minuman dll. untuk makan pagi mereka.

Jika pergi ke tempat lain, dia akan berkata kepada istrinya, 'Sayang, tolong lanjutkan dengan saksama pemberian dana seperti yang telah saya atur. Jangan sampai berkurang.' 'Baiklah', istrinya setuju.

Tetapi ketika suaminya pergi, dia tidak lagi memberikan dana yang telah diatur untuk para bhikkhu. Kepada para pelancong yang mencari tempat tinggal, dia akan menunjukkan gudang tua yang telah tidak terpakai di belakang rumah dan mengatakan, 'Kalian bisa tinggal di sini'. Jika para pelancong datang untuk mencari makanan, minuman dan sebagainya, dia akan berkata, 'Makan saja kotoran; minum saja air kencing, minum saja darah; makan saja otak ibumu!'.

Dan dia mengutuk mereka dengan kata-kata yang kotor dan menjijikkan.

Ketika tiba waktu kematiannya, dia terseret oleh kekuatan tindakannya dan terlahir di kandungan-peta dan menjalani kesengsaraan sesuai dengan perilaku buruknya dalam ucapan.

Mengingat hubungan mereka di dalam kelahiran dahulu dan karena ingin menemui Y. M. Sariputta, peti tersebut pergi ke vihara Y. M. Sariputta, tetapi para-devata (penjaga) vihara itu tidak mengizinkannya masuk ke vihara. Dikatakan bahwa dulunya dia adalah ibu dari Thera tersebut di dalam kelahiran kelima sebelumnya.

Oleh karenanya dia berkata, 'Di dalam kelahiran kelima sebelum ini, saya adalah ibu dari Sariputta yang mulia; tolong izinkanlah saya masuk melalui gerbang untuk menemui Thera Sariputta.'

Ketika mendengar hal ini, para devata tersebut memberikan izin.

Setelah masuk, dia berdiri di ujung tempat-berjalan dan menampakkan diri kepada Thera tersebut. Ketika Thera itu melihatnya, hatinya tergugah oleh welas asih dan beliau bertanya dengan syair:

1. 'Telanjang dan berpenampilan buruk engkau, kurus kering dan dengan nadi yang menonjol.
Engkau yang kurus, dengan tulang iga yang menonjol keluar, siapakah engkau, engkau yang berdiri di sana ?'

2. Ditanya oleh Thera Sariputta, peti itu menyampaikan lima syair ini sebagai jawabannya:

3. 'Dahulu saya adalah ibumu sendiri di dalam kelahiran-kelahiran sebelumnya,
tetapi saya sekarang terlahir di alam peta, dikuasai oleh rasa lapar dan haus.

4. Muntahan, dahak, ludah, ingus, lendir, lemak dari makhluk
yang sedang dibakar dan darah wanita yang melahirkan,

5. Dan darah dari luka dan dari hidung serta itu dari kepala yang remuk –
dikuasai oleh rasa lapar saya makan apa yang melekat pada pria dan wanita.

6. Saya makan nanah serta darah ternak dan manusia;
saya tidak punya tempat berteduh dan tidak punya rumah, beristirahat di ranjang yang hitam.

7. Berikanlah, Nak, suatu pemberian demi saya dan setelah engkau memberikannya,
tujukanlah jasa itu kepadaku
– dengan demikian saya pasti akan terbebas dari makan nanah dan darah.'


8. 'Setelah mendengar apa yang ingin dikatakan oleh ibunya, Upatissa -yang memiliki belas kasihan-,
berunding dengan Moggallana, Anuruddha dan Kappina.

9. Dia membangun empat gubuk dan memberikan gubuk-gubuk beserta
makanan dan minuman itu kepada Sangha dari empat penjuru
dan kemudian mempersembahkan dana itu kepada ibunya.


10. Begitu dia mempersembahkan ini, hasilnya langsung muncul,
makanan, minuman dan pakaian sebagai buah dari dana ini.


11. Setelah itu dia menjadi murni,
terbungkus pakaian yang bersih dan segar, mengenakan pakaian yang lebih halus daripada pakaian Kasi.

Dan, dengan berhiaskan berbagai pakaian dan perhiasan, dia mendatangi Kolita.'

12. 'Engkau yang berdiri dengan kecantikan yang memukau,
wahai devata, menyinari segala penjuru bagaikan Bintang Penyembuh,

13. Disebabkan oleh apakah kecantikanmu yang seperti itu?
Disebabkan oleh apakah hal ini bisa tercapai olehmu di sini
sehingga muncul kenikmatan-kenikmatan apa pun yang menyenangkan hatimu?

14. Saya bertanya kepadamu, devi nan amat agung,
tindakan-tindakan berjasa apakah yang telah engkau lakukan
ketika engkau sebagai manusia dulu? Disebabkan oleh karena apakah
keagunganmu yang bersinar sedemikian ini
dan kecantikanmu yang memancar ke segala penjuru?"
Dia kemudian menjawab dengan mengatakan, 'Saya adalah ibu dari Sariputta'dan seterusnya.

Yang lain sama artinya dengan yang telah disebutkan.

Kemudian Y. M. Mahamoggallana Thera mengajukan persoalan tersebut kepada
Sang Buddha.

Sang Buddha menganggap persoalan tersebut sebagai suatu kebutuhan yang
muncul dan mengajarkan Dhamma kepada mereka yang berkumpul di sana.

Ajaran itu bermanfaat bagi orang-orang tersebut.

::
Walaupun seseorang dapat menaklukkan beribu-ribu musuh dalam beribu kali pertempuran, namun sesungguhnya penakluk terbesar adalah orang yang dapat menaklukkan dirinya sendiri (Dhammapada 103)

Sumedho

so many things to kejar lor...  [at] WL: itu kekna dari atthakatha bukan dari sutta nya
There is no place like 127.0.0.1

williamhalim

yah.. atthakatha lagi yah..

asumsi saya:
Sepertinya 'pelimpahan jasa' ini memang tradisi lokal yg telah ada yg kemudian praktiknya disesuaikan dengan Ajaran Buddhisme (atau dicari2 penjelasan secara Buddhisme) seiring dengan berbaurnya agama buddha dgn budaya setempat tsb?

Belakangan berkembang pula penjelasan2 yg diusahakan logis, meskipun begitu, jika dicari sumber sutta yg benar2 merujuk ke praktik "pelimpahan jasa baik untuk makhluk peta" ini, ternyata tidak ditemukan yah...

::
Walaupun seseorang dapat menaklukkan beribu-ribu musuh dalam beribu kali pertempuran, namun sesungguhnya penakluk terbesar adalah orang yang dapat menaklukkan dirinya sendiri (Dhammapada 103)

tesla

sederhananya karena kontradiksi dg basis buddhism, setiap mahkluk adalah pewaris karmanya masing2.
Lepaskan keserakahan akan kesenangan. Lihatlah bahwa melepaskan dunia adalah kedamaian. Tidak ada sesuatu pun yang perlu kau raup, dan tidak ada satu pun yang perlu kau dorong pergi. ~ Buddha ~

Peacemind

Quote from: ryu on 10 January 2011, 07:30:24 AM
bisa minta sutanya Samanera? ;D

_/\_

Dalam Chaṭṭhasangayana, nama suttanya adalah Asibandhakaputtasutta, namun dalam PTS Pacchabhūmikasuttta dan bisa dilihat di link ini http://awake.kiev.ua/dhamma/tipitaka/2Sutta-Pitaka/3Samyutta-Nikaya/Samyutta4/41-Gamini-Samyutta/01-Gamanivaggo-e.html