Apakah ada aturan Bhante Theravada boleh main gitar/musik?

Started by ryu, 23 September 2010, 07:51:19 PM

Previous topic - Next topic

0 Members and 1 Guest are viewing this topic.

Jerry

Quote from: rooney on 05 October 2010, 04:10:38 PM
Kalo tidak sengaja terdengar mungkin ya , tapi kalo sengaja mendengar pasti tidak...
Apalagi sampai sengaja memainkan ^-^
appamadena sampadetha

Indra

Quote from: Jerry on 06 October 2010, 04:37:15 AM
Quote from: rooney on 05 October 2010, 04:10:38 PM
Kalo tidak sengaja terdengar mungkin ya , tapi kalo sengaja mendengar pasti tidak...
Apalagi sampai sengaja memainkan ^-^

mungkin tidak sengaja termainkan

Jerry

Quote from: Indra on 06 October 2010, 06:05:17 AM
Quote from: Jerry on 06 October 2010, 04:37:15 AM
Quote from: rooney on 05 October 2010, 04:10:38 PM
Kalo tidak sengaja terdengar mungkin ya , tapi kalo sengaja mendengar pasti tidak...
Apalagi sampai sengaja memainkan ^-^

mungkin tidak sengaja termainkan
Bener.. Di sini kita boleh koq pake praduga tak bersalah =))
appamadena sampadetha

ryu

Quote from: Kemenyan on 05 October 2010, 06:46:43 PM
Bijimana kalo kita diskusi'nya jgn terlalu kaku dalam pengunaan bahasa / typo / kebiasaan.
Entah itu vihara ataupun wihara, keduanya mengacu pada objek yg sama.

laen ceritera kalao yg diomongi emang beda...
nah... pertanyaan... ?
Vinaya dan Winaya itu sama makna tidak ?


ntar gw ditanyain pula... Biji apa :hammer:
Vinaya dan winaya keknya hampir sama mbah, tapi kalo hinaya tuh yang beda banget =))
Janganlah memperhatikan kesalahan dan hal-hal yang telah atau belum dikerjakan oleh diri sendiri. Tetapi, perhatikanlah apa yang telah dikerjakan dan apa yang belum dikerjakan oleh orang lain =))

ryu

kalau dalam mahayana memang musik di perbolehkan sih, dalam Bhaisajyaguru Buddha Sutra :
"Yang dijunjungi, mereka harus menerima dan mempelajari Sutra ini dan senantiasa mengucapkannya. Selain ini mereka harus membabarkan dan menjelaskan isinya kepada orang lain. Mereka sendiri harus memperbanyak Sutra ini atau menganjurkan orang lain menganjurkannya, serta memuja Sutra dengan berbagai jenis bunga harum, minyak wangi, dupa wangi, karangan bunga, kalung, panji, canopy, tambur dan musik. Untuk lebih hormat mereka harus melakukan puja dengan memasukkan Sutra ke dalam kantong dari kain Sutra 5 warna. Mereka harus menggosok lantai, memercikkan air suci untuk membersihkan tempat itu, kemudian mendirikan altar tinggi untuk menaruh Sutra ini. Pada saat itu keempat Raja Dewa beserta pengikutnya yang beribu-ribu jumlahnya dari perjamuan Dewa akan pergi ke tempat puja itu untuk mellindungi Sutra ini dan keluarga pemuja tersebut."
Janganlah memperhatikan kesalahan dan hal-hal yang telah atau belum dikerjakan oleh diri sendiri. Tetapi, perhatikanlah apa yang telah dikerjakan dan apa yang belum dikerjakan oleh orang lain =))

williamhalim

#605
Quote from: henrychan on 05 October 2010, 11:19:11 AM

menurut saya bukan itu tujuan dari bertapa.
tujuan hidup bertapa adalah untuk mendapatkan kebahagian, bukan untuk menyiksa diri.

Apakah 'tidak bermain gitar' adalah suatu bentuk penyiksaan diri?
Bagaimana dengan sila 'tidak mendengarkan nyanyian atau melihat tarian/hiburan'? Apa sebabnya disarankan suatu latihan untuk menghindari tarian dan nyanyian atau hiburan2 lainnya?

Saya jawab saja langsung, krn sudah pernah juga dibahas di thread lainnya:
Jawabannya klise dan sangat sederhana: "kita dirundung dukkha karena memanjakan panca indera kita", contoh: seks, makanan yg enak2, shopping, maen game, mabuk2an, drugs, judi, dsbnya.. Aktifitas memanjakan panca indera ini akan menimbulkan suatu 'kemelekatan'. Krn tujuan Ajaran Buddha adalah untuk terbebas dari dukkha, maka hal2 yg  memanjakan panca indera harus kita latih untuk dikurangi sehingga pada akhirnya kemelekatan kita berkurang.

Salah satu bentuk latihan yg cukup ringan adalah 'menghindari tari2an, nyanyian dan hiburan2 ringan lainnya'. Kalau bisa hal ini dilatih setiap hari, namun klu tidak, cukuplah dihari2 tertentu saja. Namun, untuk praktikal yg serius (mis: petapa, Bhikkhu, dll) tentu harus dijalankan setiap saat, ketat dan tidak boleh longgar.

Nah, logikanya: 'mendengarkan' saja sudah harus dihindari, apalagi 'memainkannya' kan?

Bertekad untuk tidak mendengarkan lagu2an, apa masuk diakal jika memainkannya? Memainkannya bukankah mendengar juga? Kecuali memakai penutup telinga saat bermain gitar (maksa nyari 'pembenaran')...

Quote
Saya ingat cerita riwayat hidup buddha, Siddharta tidak akan pernah jadi Buddha, kalau tidak mendengarkan lagu/nyanyian dari pemusik di pinggir sungai. Jadi, sama sekali tidak ada salahnya musik yang indah, yang membawa kita ke kesadaran, bukan yang sebaliknya.

Jika Siddharta saat itu menikmati lagu sitar tsb, ikut bergoyang2, niscaya Ia takkan sempat merenungkan ke-ekstriman setelan dawai. Bukan menikmati lagunya, namun 'renungannya akan setelan dawai' lah yg membawa manfaat bagiNya.

Jika menikmati alunan musik itu bisa bermanfaat, bukankah lebih baik Ia tinggal diistana saja, tanpa perlu meninggalkan keluarganya dan setiap hari menikmati musik dan nyanyian? Kenapa Ia mesti meninggalkan musik, nyanyian dan tari2an tsb?

Quote
Dan apakah mengekspresikan keindahan Dharma dan keagungan Buddha, melalui lagu, tarian dan puisi adalah pelanggaran? Coba baca lebih jelas, apa bunyi winaya itu. Pelanggaran apa yang sudah dilakukan?

Tentu tidak ada 'pelanggaran' dalam Ajaran Buddha. Yg ada adalah 'bermanfaat' atau 'tidak bermanfaat' untuk pengembangan batin.

Demikian juga bagi praktikal Vinya, menyadari bahwa aturan2 tsb ditujukan sebagai suatu bentuk latihan yg bermanfaat bagi batin. Jika dibedah kalimat perkalimat, tentu bisa saja dicari celahnya dan akan memperoleh suatu pembenaran, namun apakah itu tujuannya masuk jalur Ke-bhikkhuan?

Terakhir, untuk meng-ekspresikan keindahan Dhamma, sah2 saja melalui lagu, tarian atau puisi. Namun, sebutan untuk orang ini adalah: Seniman (menikmati / mengekspresikan keindahan).

Sepengetahuan saya, dijalur kebhikkhuan tidak diajarkan (dan tidak dianjurkan) untuk 'mengekspresikan keindahan'.

::



Walaupun seseorang dapat menaklukkan beribu-ribu musuh dalam beribu kali pertempuran, namun sesungguhnya penakluk terbesar adalah orang yang dapat menaklukkan dirinya sendiri (Dhammapada 103)

ryu

Janganlah memperhatikan kesalahan dan hal-hal yang telah atau belum dikerjakan oleh diri sendiri. Tetapi, perhatikanlah apa yang telah dikerjakan dan apa yang belum dikerjakan oleh orang lain =))

henrychan

Quote from: Kainyn_Kutho on 05 October 2010, 04:21:57 PM
Ya, terserahlah. Di sini fokus kita bukan bahasa. Yang jelas bahasa asli Tipitaka memang Bahasa Pali, bukan Bahasa Indonesia. 
QuoteSetuju. Tapi perlu ditegaskan bahwa Buddha mengajarkan Dharma nya tidak hanya dengan bahasa Pali, dan sangat besar kemungkinan malah dalam bahasa Sansekerta.

Betul. Yang saya tanyakan apakah petapa pantas melakukan hubungan seksual?
Quotetentu tidak. itu bagi biku adalah parajika.

Merdu itu berarti menyenangkan di telinga, bukan? Yang menyenangkan itu membawa orang pada kemelekatan atau pelepasan?
QuoteIni kita sedang bicara tataran mana nih? sila/winaya dijalankan bukan untuk tujuan lepas dari kemelakatan bro? justru terkadang menjadi sumber kemmelekatan juga.
Untuk lepas dari kemelekatan diperlukan usaha dan kebijaksanaan yang jauh lebih tinggi dari sekedar menjalankan winaya.

Andaikata ada seseorang yang ketagihan seks dan menjadi bhikkhu. Apakah ketika keinginannya untuk melakukan hubungan seksual timbul, ia boleh melakukan hubungan seks tersebut?
QuoteSudah saya jawab. Itu Parajika. Artinya dinyatakan keluar dari komunitas.

Jadi menurut anda, musiknya yang membuat bodhisatta mengubah cara pertapaannya?
QuoteIya. rangkaian dari peristiwa itu, termasuk syairnya dan juga musiknya.  Satu kesatuan utuh, tidak terpisahkan.

Saya kurang mengerti jadinya. Apakah orang bijaksana mengetahui apa yang terpuji dan apa yang tercela, ataukah karena sudah tidak ada dualisme, semua sama saja?
--
Orang bijaksana masih membedakan baik dan benar.
Yang Maha bijaksana / tercerahkan yang tidak lagi membedakan baik dan benar
[/quote]

No Pain No Gain

QuoteIya. rangkaian dari peristiwa itu, termasuk syairnya dan juga musiknya.  Satu kesatuan utuh, tidak terpisahkan.

anda betul2 aneh.. atau sengaja tdk menangkap mksdnya?

No matter how dirty my past is,my future is still spotless

K.K.

Quote from: henrychan on 06 October 2010, 09:51:43 AM
Setuju. Tapi perlu ditegaskan bahwa Buddha mengajarkan Dharma nya tidak hanya dengan bahasa Pali, dan sangat besar kemungkinan malah dalam bahasa Sansekerta.
Ini spekulasi, saya tidak tanggapi. Saya hanya berpegang pada fakta bahwa Tipitaka berbahasa Pali dan Tripitaka berbahasa Sanskrit. Bahasa yang digunakan oleh Buddha sesungguhnya, siapalah yang tahu.

Quotetentu tidak. itu bagi biku adalah parajika.
OK, jadi kalau parajika, tidak boleh dilanggar, kalau bukan parajika, boleh dilanggar?
Mengapa seorang yang sudah bertekad berdisiplin di bawah vinaya, malah menjalankannya setengah-setengah?

QuoteIni kita sedang bicara tataran mana nih? sila/winaya dijalankan bukan untuk tujuan lepas dari kemelakatan bro? justru terkadang menjadi sumber kemmelekatan juga.
Untuk lepas dari kemelekatan diperlukan usaha dan kebijaksanaan yang jauh lebih tinggi dari sekedar menjalankan winaya.
Ya, itu anda sendiri tahu. Vinaya yang mendisiplinkan diri saja bisa jadi kemelekatan, APALAGI bermain musik yang menyenangkan indriah.

Quote
QuoteAndaikata ada seseorang yang ketagihan seks dan menjadi bhikkhu. Apakah ketika keinginannya untuk melakukan hubungan seksual timbul, ia boleh melakukan hubungan seks tersebut?
Sudah saya jawab. Itu Parajika. Artinya dinyatakan keluar dari komunitas.
OK. Pertanyaan saya berikutnya, ketika orang yang ingin melakukan hubungan seksual terpaksa menahannya karena ada ancaman dikeluarkan dari sangha, bukankah berarti vinaya bersifat memberi tekanan, bukan kebahagiaan? Bagaimana menurut anda?

Quote
QuoteJadi menurut anda, musiknya yang membuat bodhisatta mengubah cara pertapaannya?
Iya. rangkaian dari peristiwa itu, termasuk syairnya dan juga musiknya.  Satu kesatuan utuh, tidak terpisahkan.
Jadi seandainya, masalah senar yang terlalu kencang atau kendur itu diutarakan dalam nyanyian yang kurang baik atau fals, misalnya, bodhisatta tidak akan mencapai pencerahan?


QuoteOrang bijaksana masih membedakan baik dan benar.
Yang Maha bijaksana / tercerahkan yang tidak lagi membedakan baik dan benar
Dalam Tipitaka, Buddha banyak sekali memuji perbuatan baik dan mencela perbuatan tidak baik. Berarti Buddha sepertinya baru tahapan bijaksana, belum yang Maha-bijaksana, begitukah? 

henrychan

Quote from: Kainyn_Kutho on 06 October 2010, 10:10:21 AM
Quote from: henrychan on 06 October 2010, 09:51:43 AM

Ini spekulasi, saya tidak tanggapi. Saya hanya berpegang pada fakta bahwa Tipitaka berbahasa Pali dan Tripitaka berbahasa Sanskrit. Bahasa yang digunakan oleh Buddha sesungguhnya, siapalah yang tahu.

Quoteoke. memang masih kontroversi, tetapi lebih banyak yang menyuarakan bahwa yang pali yang asli. jarang saya mendengar yang sebaliknya. bukan begitu?
Tapi logika berpikir saya terbalik. Sebagai seorang pangeran pasti mengunakan bahasa sansekerta.  apalagi sebagian besar biku awal adalah keluarga kerajaan, para brahmana, dll. yang semuanya menggunakan bahasa sansekerta.

OK, jadi kalau parajika, tidak boleh dilanggar, kalau bukan parajika, boleh dilanggar?
Mengapa seorang yang sudah bertekad berdisiplin di bawah vinaya, malah menjalankannya setengah-setengah?
QuoteBukan bermaksud setengah-setengah. Kita sendiri menjalankan 5 sila, katakanlah melatih diri untuk menghindari pembunuhan, kita tahu kalau kita mandi pasti membunuh, kita makan pasti ada pembunuhan. Tapi kita tetap makan, tetap mandi, dll.  Ini bukan karena kita setengah2 kan dalam menjalankan sila? .

Ya, itu anda sendiri tahu. Vinaya yang mendisiplinkan diri saja bisa jadi kemelekatan, APALAGI bermain musik yang menyenangkan indriah.
Quote
Tergantung kebijaksanaan masing-masing individu.

OK. Pertanyaan saya berikutnya, ketika orang yang ingin melakukan hubungan seksual terpaksa menahannya karena ada ancaman dikeluarkan dari sangha, bukankah berarti vinaya bersifat memberi tekanan, bukan kebahagiaan? Bagaimana menurut anda?
Quote
Tidak demikian jalan pikirannya. Semua tindakan bisa dilakukan dengan sadar dan kurang sadar.
Tapi pelanggaran mungkin sekali terjadi.
Untuk tindakan pelanggaran yang sifatnya berat, sangsinya juga sudah jelas, dan mereka sudah tahu.
Untuk yang ringan2, perlu dilihat konteksnya. bunyi winaya nya seperti apa?
contoh ; tidak boleh menyentuh wanita (dengan nafsu birahi).
Kadang yang () suka dihilangkan.
makanya ada cerita zen, soal biku yang menyeberangkan wanita di sungai. 

Jadi seandainya, masalah senar yang terlalu kencang atau kendur itu diutarakan dalam nyanyian yang kurang baik atau fals, misalnya, bodhisatta tidak akan mencapai pencerahan?
Quote
itu pendapat anda, saya tidak mengatakan hal itu. Saya cuma menjelaskan bahwa itu semua adalah satu kesatuan, yang karena perpaduan unsur2 itu menyebabkan kesadaran pertapa sidharta bangkit.

Dalam Tipitaka, Buddha banyak sekali memuji perbuatan baik dan mencela perbuatan tidak baik. Berarti Buddha sepertinya baru tahapan bijaksana, belum yang Maha-bijaksana, begitukah? 
Quote
Buddha mengajarkan untuk yang masih belum mencapai penembusan.
Tapi beliau sendiri sudah melampaui itu.
Contohnya : Angulimala, Pelacur (lupa-mungkin ambapali), dll
Beliau melihat mereka dengan kacamata kebijaksanaan, sehingga semuanya terselamatkan dan mencapai penembusan sejati.

Jerry

Sekedar pariwara: Tuhan bantu beresin dong postingan member baru yang berantakan hee.. >:D Biar member lain dan guest yang masih awam ngga bingung bacanya >:D
appamadena sampadetha

Sumedho

maap, aye salah satu dari orang yg bingung itu
There is no place like 127.0.0.1

Jerry

appamadena sampadetha

coecoed

pegimana member/umat baru gak bingung ?
lihat hubungan diskusi dalam topik ini dengan kutipan ini yang juga dilakukan oleh yang kontra :

Quote from: Jerry on 06 October 2010, 05:46:20 AM
Kalau menurut pendapat saya pribadi, pilih sesuai kecocokan aja. Kalau merasa cocoknya dengan yang longgar fleksibel, penuh dengan warna ritual dan kultur, filosofi-filosofi abstrak & metafisis, maka Bro Kawanbumi cocok dengan Mahayana.
Kalau merasa cocok dengan yang orthodoks, lebih ketat, lebih simple, down-to-earth, logis dan rasional maka cocoknya dengan Theravada.

Tentu saja ini yang saya tulis di atas tidak benar-benar mutlak, hanya gambaran secara general untuk mempermudah Bro Kawanbumi saja.

Kalau soal menjalankan pujabakti, saya pikir pujabakti di Indonesia secara umum di vihara-cetiya TriDharma, Theravada atau Buddhayana, lebih condong ke arah pujabhakti Theravada. Yaitu dimulai dengan Namakkara Gatha, Vandana, Tisarana, Pancasila, Buddhanussati, Dhammanussati, Sanghanussati, Saccakiriya gatha [optional], Karaniya metta Sutta [optional], Maha-manggala Sutta [optional], Ettavata.
Kalau yang Mahayana biasanya berbahasa Mandarin pujabhaktinya. Tetapi terkadang ada juga yang memakai tuntunan seperti di atas dikombinasikan dengan yang bahasa Mandarin.

Kalau Bro Kawanbumi merasa sulit mendapatkan buku tuntunan pujabakti, zaman sekarang tinggal googling aja pasti dapat isi dari tuntunan di atas. Tinggal cara pembacaan dan iramanya saja. 1 rujukan buat Bro dapat didownload dari sini untuk tahu bagaimana irama yang benar.
http://www.samaggi-phala.or.id/multimedia.php
Cari di bagian bertuliskan "Irama Paritta". Happy trying!


be happy
_/\_

bingung kan...?
sebenarnya yang diributkan dimengerti esensinya atau ga yach?
atau hurufiah saja?

kawan diskusi yang jujur
coeda, the believer
INILAH APA YANG TUHANKU TELAH KATAKAN, 'DALAM SATU TAHUN SEJAK HARI INI, KEJAYAAN MEREKA AKAN PUDAR'.


September 2010
coedabgf-the believer