News:

Semoga anda berbahagia _/\_

Main Menu

YANG MERUPAKAN AJARAN SANG BUDDHA

Started by dewi_go, 26 July 2010, 07:10:56 PM

Previous topic - Next topic

0 Members and 1 Guest are viewing this topic.

K.K.

Quote from: ryu on 27 July 2010, 03:27:04 PM
memang ada hal2 seperti itu, tapi tetap ada korelasinya seseorang yang banyak kekayaan dengan pengembangan spiritual ;D
Bisa mempengaruhi, tetapi tidak secara langsung. Kalau dibilang berkaitan langsung, maka berarti hanya orang-orang kaya yang berpotensi mengembangkan spiritualisme, padahal kenyataannya tidak demikian.

Seperti saya pernah bilang bahwa kekayaan berkaitan langsung dengan daya beli. Namun kekayaan tidak berkaitan langsung dengan kerelaan dan kemelekatan seseorang. Baik orang kaya maupun orang miskin, bisa menjadi seorang kikir/dermawan. Bagaimana kekayaan/kemiskinan mempengaruhi pola pikir seseorang, itu sudah banyak sekali faktor.

ryu

Quote from: Indra on 27 July 2010, 03:44:30 PM
Quote from: ryu on 27 July 2010, 03:42:51 PM
Quote from: Indra on 27 July 2010, 03:16:27 PM
Quote from: ryu on 27 July 2010, 02:17:52 PM
Quote from: Kainyn_Kutho on 27 July 2010, 02:09:11 PM
Quote from: ryu on 27 July 2010, 02:08:04 PM
Quote from: Kainyn_Kutho on 27 July 2010, 02:02:00 PM
Quote from: ryu on 27 July 2010, 02:00:27 PM
saya tidak setuju, baca CAKKAVATTI SIHANADA SUTTA

Jadi korelasinya bagaimana menurut Bro ryu? Berbanding lurus/terbalik?
orang yang mempunyai kekayaan kesempatan untuk mengembangkan spiritualnya lebih besar daripada orang yang miskin, walaupun tidak menutup kemungkinan orang yang kaya tidak bisa memanfaatkan kekayaannya dengan benar, oleh karena itu buddha mengajarkan dengan bijaksana dalam sigalovada sutta.
Lalu menurut Bro ryu, mengapa beberapa orang memilih mengembangkan spiritual dengan jalan menjadi petapa yang notabene tidak memiliki kekayaan?
pertama, dengan kekayaan seseorang bisa mencari guru yang bisa mengajarkannya dengan benar
kedua, dengan kekayaan mungkin orang itu bisa tenang meninggalkan keluarganya yang tidak ikut dengan dia menjalani pertapaan
ketiga, dengan kekayaan saya rasa itu meupakan timbunan hasil karma baik dia di masa lampau

mencari guru yg baik adalah dengan usaha, bukan dengan kekayaan.
keluarga yg ditinggalkan terlindung oleh karmanya sendiri, walaupun kita mewariskan harta yg sangat banyak, itu tidak menjamin kemakmuran keluarga yg ditinggalkan.

jadi saya lebih setuju dengan Bro Kain di sini
walaupun terlindung oleh karmanya sendiri masa kalau miskin juga di tinggalkan?  memangnya pikiran bisa tenang meninggalkan keluarga yang miskin demi meninggalkan duniawi?

kalo gue sih bisa, yg lain gak tau deh...
TEGA BENER =)) =)) =))

ada yang mau ikutin? =)) =)) =))
Janganlah memperhatikan kesalahan dan hal-hal yang telah atau belum dikerjakan oleh diri sendiri. Tetapi, perhatikanlah apa yang telah dikerjakan dan apa yang belum dikerjakan oleh orang lain =))

ryu

Quote from: Kainyn_Kutho on 27 July 2010, 03:47:14 PM
Quote from: ryu on 27 July 2010, 03:27:04 PM
memang ada hal2 seperti itu, tapi tetap ada korelasinya seseorang yang banyak kekayaan dengan pengembangan spiritual ;D
Bisa mempengaruhi, tetapi tidak secara langsung. Kalau dibilang berkaitan langsung, maka berarti hanya orang-orang kaya yang berpotensi mengembangkan spiritualisme, padahal kenyataannya tidak demikian.

Seperti saya pernah bilang bahwa kekayaan berkaitan langsung dengan daya beli. Namun kekayaan tidak berkaitan langsung dengan kerelaan dan kemelekatan seseorang. Baik orang kaya maupun orang miskin, bisa menjadi seorang kikir/dermawan. Bagaimana kekayaan/kemiskinan mempengaruhi pola pikir seseorang, itu sudah banyak sekali faktor.

betul tidak secara langsung masih banyak faktor, Buddha tidak mengatakan orang kaya baik atau buruk dari kekayaannya tetapi di lihat dari kelakuannya lah dia bisa dinilai baik atau buruk.

Buddha pun pernah berkata Aku tak mengatakan bahwa seorang lebih baik dikarenakan (sebagai) seorang dari golongan tinggi, juga Aku tak mengatakan bahwa ia lebih buruk dikarenakan (menjadi) seorang dari golongan tinggi; Aku tidak mengatakan bahwa ia lebih baik dikarenakan (menjadi) golongan lebih tinggi, juga Aku tak mengatakan bahwa ia lebih buruk dikarenakan (menjadi) seorang dari golongan lebih tinggi; Aku tak mengatakan bahwa ia lebih baik dikarenakan (memiliki) kekayaan berlimpah, juga Aku tak mengatakan bahwa ia lebih buruk dikarenakan (memiliki) kekayaan berlimpah.

Dalam hal ini, Aku katakan, seseorang dari golongan tinggi mungkin menjadi pembunuh makhluk hidup, menjadi pengambil barang yang tidak diberikan, memiliki kelakuan seksual yang tak senonoh, menjadi pembohong, pemfitnah, pembicaraannya kasar, pembual, bernafsu serakah, berkeinginan buruk, dan memiliki pandangan salah.
Dikarenakan hal-hal tersebut, dan bukan dikarenakan menjadi seorang dari golongan tinggi, ia disebut buruk. Lalu, dalam hal ini, seseorang dari golongan tinggi mungkin menghindari diri dari membunuh makhluk hidup, tidak mengambil sesuatu yang tak diberikan, tidak berkelakuan seksual yang tak senonoh, tidak berbohong, tidak memfitnah, tidak berucap kasar, tidak membual, tidak bernafsu serakah, tidak berkeinginan buruk, dan tidak memiliki pandangan salah.
Dikarenakan hal-hal ini, Aku katakan, dan bukan dikarenakan (menjadi) seorang dari golongan tinggi, ia disebut baik.

Janganlah memperhatikan kesalahan dan hal-hal yang telah atau belum dikerjakan oleh diri sendiri. Tetapi, perhatikanlah apa yang telah dikerjakan dan apa yang belum dikerjakan oleh orang lain =))

morpheus

kayaknya asumsi "pengembangan batin berkorelasi dengan jumlah harta" itu berangkat dari pemikiran pencarian dhamma ataupun pengembangan batin itu berasal dari luar... kasarnya, asumsinya mo batin berkembang, cari guru hebat. mo batin berkembang, cari vihara adem. mo batin berkembang, banyak berdana - fangshen - nyumbang pindapatta. mo batin berkembang, cari buku2 keren. mo batin berkembang, ikutan retret di myanmar. mo batin berkembang, musti nyepi tinggalin anak bini.

padahal pengembangan batin itu semuanya dari dalam...
* I'm trying to free your mind, Neo. But I can only show you the door. You're the one that has to walk through it
* Neo, sooner or later you're going to realize just as I did that there's a difference between knowing the path and walking the path

K.K.

Quote from: ryu on 27 July 2010, 03:55:45 PM
betul tidak secara langsung masih banyak faktor, Buddha tidak mengatakan orang kaya baik atau buruk dari kekayaannya tetapi di lihat dari kelakuannya lah dia bisa dinilai baik atau buruk.

Buddha pun pernah berkata Aku tak mengatakan bahwa seorang lebih baik dikarenakan (sebagai) seorang dari golongan tinggi, juga Aku tak mengatakan bahwa ia lebih buruk dikarenakan (menjadi) seorang dari golongan tinggi; Aku tidak mengatakan bahwa ia lebih baik dikarenakan (menjadi) golongan lebih tinggi, juga Aku tak mengatakan bahwa ia lebih buruk dikarenakan (menjadi) seorang dari golongan lebih tinggi; Aku tak mengatakan bahwa ia lebih baik dikarenakan (memiliki) kekayaan berlimpah, juga Aku tak mengatakan bahwa ia lebih buruk dikarenakan (memiliki) kekayaan berlimpah.

Dalam hal ini, Aku katakan, seseorang dari golongan tinggi mungkin menjadi pembunuh makhluk hidup, menjadi pengambil barang yang tidak diberikan, memiliki kelakuan seksual yang tak senonoh, menjadi pembohong, pemfitnah, pembicaraannya kasar, pembual, bernafsu serakah, berkeinginan buruk, dan memiliki pandangan salah.
Dikarenakan hal-hal tersebut, dan bukan dikarenakan menjadi seorang dari golongan tinggi, ia disebut buruk. Lalu, dalam hal ini, seseorang dari golongan tinggi mungkin menghindari diri dari membunuh makhluk hidup, tidak mengambil sesuatu yang tak diberikan, tidak berkelakuan seksual yang tak senonoh, tidak berbohong, tidak memfitnah, tidak berucap kasar, tidak membual, tidak bernafsu serakah, tidak berkeinginan buruk, dan tidak memiliki pandangan salah.
Dikarenakan hal-hal ini, Aku katakan, dan bukan dikarenakan (menjadi) seorang dari golongan tinggi, ia disebut baik.


Demikianlah seseorang menjadi lebih baik atau lebih buruk, bukan karena kekayaannya.

Buddha (setahu saya) memang tidak mengajarkan orang bagaimana mengembangkan kekayaan, karena memang Buddha bukan konsultan keuangan. Buddha hanya mengajarkan bagaimana mencari penghasilan dengan benar dan menggunakannya dengan bijaksana. Mata pencaharian adalah bagian penting dari hidup. Tanpa nafkah, orang tidak makan dan tanpa makan, orang tidak akan mencerna dhamma. Ini adalah realita.

Dalam satu kisah dhammapada, suatu kali Buddha akan membabarkan dhamma di suatu desa karena melihat seseorang telah matang bathinnya. Pagi hari orang itu melihat kerbaunya hilang dan mencarinya ke hutan sampai siang. Buddha menunda khotbahnya sampai orang itu kembali ke desa. Dan setelah kembali, Buddha pun menunggu orang tersebut makan terlebih dahulu, karena jika mendengarkan dalam keadaan lapar, tidak akan mencerna perkataan Buddha dengan baik. Setelah itu, barulah diberikan khotbah yang mengakibatkan orang tersebut menembus Sotapatti-phala.

Jadi apakah Buddha benar-benar hanya mengajarkan "dukkha dan terhentinya dukkha" mutlak, tidak ada ajaran apa-apa yang lain selain khotbah yang berhubungan langsung dengan dukkha? Saya rasa tidak. Intinya selalu berpusat pada terhentinya dukkha, namun Buddha pun mengajarkan bagaimana mengembangkan kualitas kehidupan yang menunjang pula berkembangnya bathin sehingga pada saatnya akan kondusif dalam memahami "dukkha dan terhentinya dukkha".

Edward

mungkin, kaya atau miskin hanyalah "akibat" bukan "sebab". Dan tidak berhubungan secara langsung dengan pengembangan batin.
"Hanya dengan kesabaran aku dapat menyelamatkan mereka....."

Nevada

Quote from: morpheus on 27 July 2010, 04:00:54 PM
kayaknya asumsi "pengembangan batin berkorelasi dengan jumlah harta" itu berangkat dari pemikiran pencarian dhamma ataupun pengembangan batin itu berasal dari luar... kasarnya, asumsinya mo batin berkembang, cari guru hebat. mo batin berkembang, cari vihara adem. mo batin berkembang, banyak berdana - fangshen - nyumbang pindapatta. mo batin berkembang, cari buku2 keren. mo batin berkembang, ikutan retret di myanmar. mo batin berkembang, musti nyepi tinggalin anak bini.

padahal pengembangan batin itu semuanya dari dalam...

Tergantung kondisi di tiap orang juga, Bro...

Siddhattha Gotama, demi mengembangkan batin justru Beliau melakukan: "mencari guru hebat pada masa itu, cari tempat yang adem untuk bermeditasi, menyelematkan sekawanan domba yang hendak dikurbankan, hidup bertapa dengan petapa-petapa lain, meinggalkan anak-bini". Tapi ternyata Beliau berhasil.

Sang Buddha malah sering menganjurkan para bhikkhu untuk pergi berlatih di tempat yang sepi. Malah Beliau pernah menganjurkan Nanda (yang berstatus pengantin baru) untuk menjadi bhikkhu dan meninggalkan istrinya. Jadi menurut Bro bagaimana?

Saya harap Anda setuju dengan kesimpulan ini: "Tergantung motivasi setiap orang. Ada orang yang melakukan suatu tahapan latihan karena itu sebagai rakit. Ada orang yang melakukan suatu tahapan latihan sebagai hal yang dilekati."

K.K.

Quote from: morpheus on 27 July 2010, 04:00:54 PM
kayaknya asumsi "pengembangan batin berkorelasi dengan jumlah harta" itu berangkat dari pemikiran pencarian dhamma ataupun pengembangan batin itu berasal dari luar... kasarnya, asumsinya mo batin berkembang, cari guru hebat. mo batin berkembang, cari vihara adem. mo batin berkembang, banyak berdana - fangshen - nyumbang pindapatta. mo batin berkembang, cari buku2 keren. mo batin berkembang, ikutan retret di myanmar. mo batin berkembang, musti nyepi tinggalin anak bini.

padahal pengembangan batin itu semuanya dari dalam...

Idealnya, dan pada akhirnya, semua memang berasal dari dalam. Tetapi pada realita, dalam lingkup puthujjana, tidaklah demikian. Itu sebabnya perlu adanya teman yang baik, tempat tinggal yang baik, kesempatan yang baik, yang dikatakan sebagai berkah utama. "Luar" dan "dalam" saling berinteraksi dan mempengaruhi bathin.

K.K.

Quote from: Edward on 27 July 2010, 04:14:05 PM
mungkin, kaya atau miskin hanyalah "akibat" bukan "sebab". Dan tidak berhubungan secara langsung dengan pengembangan batin.
Berhubungan, namun tidak mutlak.

Misalnya saja orang yang hidupnya super miskin, kemudian dapet "hoki" dan menjadi kaya. Adalah mungkin seseorang berpikir, "dulu saya super miskin, cari duit setengah mati, jadi sekarang harus menjaga agar jangan sampai kekayaan ini 'mengalir' ke luar." Tetapi ada juga orang yang berpikir, "dulu saya super miskin, mengetahui rasanya hidup susah, maka dengan kekayaan ini, saya akan gunakan agar orang lain tidak menderita hal yang sama dengan saya dulu."

Kondisi sama, dapat kekayaan yang sama. Tetapi perkembangan bathinnya bisa beda.

ryu

Quote from: Kainyn_Kutho on 27 July 2010, 04:13:48 PM
Quote from: ryu on 27 July 2010, 03:55:45 PM
betul tidak secara langsung masih banyak faktor, Buddha tidak mengatakan orang kaya baik atau buruk dari kekayaannya tetapi di lihat dari kelakuannya lah dia bisa dinilai baik atau buruk.

Buddha pun pernah berkata Aku tak mengatakan bahwa seorang lebih baik dikarenakan (sebagai) seorang dari golongan tinggi, juga Aku tak mengatakan bahwa ia lebih buruk dikarenakan (menjadi) seorang dari golongan tinggi; Aku tidak mengatakan bahwa ia lebih baik dikarenakan (menjadi) golongan lebih tinggi, juga Aku tak mengatakan bahwa ia lebih buruk dikarenakan (menjadi) seorang dari golongan lebih tinggi; Aku tak mengatakan bahwa ia lebih baik dikarenakan (memiliki) kekayaan berlimpah, juga Aku tak mengatakan bahwa ia lebih buruk dikarenakan (memiliki) kekayaan berlimpah.

Dalam hal ini, Aku katakan, seseorang dari golongan tinggi mungkin menjadi pembunuh makhluk hidup, menjadi pengambil barang yang tidak diberikan, memiliki kelakuan seksual yang tak senonoh, menjadi pembohong, pemfitnah, pembicaraannya kasar, pembual, bernafsu serakah, berkeinginan buruk, dan memiliki pandangan salah.
Dikarenakan hal-hal tersebut, dan bukan dikarenakan menjadi seorang dari golongan tinggi, ia disebut buruk. Lalu, dalam hal ini, seseorang dari golongan tinggi mungkin menghindari diri dari membunuh makhluk hidup, tidak mengambil sesuatu yang tak diberikan, tidak berkelakuan seksual yang tak senonoh, tidak berbohong, tidak memfitnah, tidak berucap kasar, tidak membual, tidak bernafsu serakah, tidak berkeinginan buruk, dan tidak memiliki pandangan salah.
Dikarenakan hal-hal ini, Aku katakan, dan bukan dikarenakan (menjadi) seorang dari golongan tinggi, ia disebut baik.


Demikianlah seseorang menjadi lebih baik atau lebih buruk, bukan karena kekayaannya.

Buddha (setahu saya) memang tidak mengajarkan orang bagaimana mengembangkan kekayaan, karena memang Buddha bukan konsultan keuangan. Buddha hanya mengajarkan bagaimana mencari penghasilan dengan benar dan menggunakannya dengan bijaksana. Mata pencaharian adalah bagian penting dari hidup. Tanpa nafkah, orang tidak makan dan tanpa makan, orang tidak akan mencerna dhamma. Ini adalah realita.

Dalam satu kisah dhammapada, suatu kali Buddha akan membabarkan dhamma di suatu desa karena melihat seseorang telah matang bathinnya. Pagi hari orang itu melihat kerbaunya hilang dan mencarinya ke hutan sampai siang. Buddha menunda khotbahnya sampai orang itu kembali ke desa. Dan setelah kembali, Buddha pun menunggu orang tersebut makan terlebih dahulu, karena jika mendengarkan dalam keadaan lapar, tidak akan mencerna perkataan Buddha dengan baik. Setelah itu, barulah diberikan khotbah yang mengakibatkan orang tersebut menembus Sotapatti-phala.

Jadi apakah Buddha benar-benar hanya mengajarkan "dukkha dan terhentinya dukkha" mutlak, tidak ada ajaran apa-apa yang lain selain khotbah yang berhubungan langsung dengan dukkha? Saya rasa tidak. Intinya selalu berpusat pada terhentinya dukkha, namun Buddha pun mengajarkan bagaimana mengembangkan kualitas kehidupan yang menunjang pula berkembangnya bathin sehingga pada saatnya akan kondusif dalam memahami "dukkha dan terhentinya dukkha".

ya setuju, intinya kekayaan bukanlah hal yang salah ;D
Janganlah memperhatikan kesalahan dan hal-hal yang telah atau belum dikerjakan oleh diri sendiri. Tetapi, perhatikanlah apa yang telah dikerjakan dan apa yang belum dikerjakan oleh orang lain =))

Peacemind

Kekayaan itu ibarat api. Kalau mau digunakan untuk bakar rumah, juga bisa. Kalau mau digunakan untuk bakar singkong, juga bisa. Jika seseorang menggunakan kekayaan secara baik, kekayaan tersebut juga bisa menjadi sarana untuk berpraktik melepas, dermawan, mengikis keserakahan, pelit dan kikir. Jika seseorang tidak hati-hati, kekayaan tersebut justru akan semakin membuatnya terpuruk di dlm lingkaran tumimbal lahir.

morpheus

Quote from: upasaka on 27 July 2010, 04:18:38 PM
Siddhattha Gotama, demi mengembangkan batin justru Beliau melakukan: "mencari guru hebat pada masa itu, cari tempat yang adem untuk bermeditasi, menyelematkan sekawanan domba yang hendak dikurbankan, hidup bertapa dengan petapa-petapa lain, meinggalkan anak-bini". Tapi ternyata Beliau berhasil.
imo, Beliau berhasil setelah menyadari ternyata semuanya ada di dalam, bukan di luar, bukan di guru2nya, bukan di hutan uruvela, melainkan kembali ke dalam seperti yang pernah dipraktikkannya sewaktu masih kecil pada perayaan panen sawah... yang dicari kemana2 ternyata sudah ada dari dulu...

justru ini menegaskan, jumlah harta gak berkorelasi dengan pengembangan batin...

Quote from: upasaka on 27 July 2010, 04:18:38 PM
Sang Buddha malah sering menganjurkan para bhikkhu untuk pergi berlatih di tempat yang sepi. Malah Beliau pernah menganjurkan Nanda (yang berstatus pengantin baru) untuk menjadi bhikkhu dan meninggalkan istrinya. Jadi menurut Bro bagaimana?

Saya harap Anda setuju dengan kesimpulan ini: "Tergantung motivasi setiap orang. Ada orang yang melakukan suatu tahapan latihan karena itu sebagai rakit. Ada orang yang melakukan suatu tahapan latihan sebagai hal yang dilekati."
setuju secara parsial.

bang upa, saya gak mengecam pengembangan kekayaan, gak mengecam mencari tempat sepi untuk bertapa. point yang saya ingin fokuskan adalah pendapat yang menyatakan jumlah harta berkorelasi pengembangan spiritual. opini seperti ini mengandalkan sesuatu yang ada di luar sebagai alasan untuk tidak mengembangkan batin, padahal pengembangan batin itu dilakukan saat ini, apapun kondisinya, gak berkorelasi dengan jumlah harta. sikap mental seperti ini penting dalam pengembangan batin...

tidak perlu menunggu rakit ataupun sesuatu yang ada di luar. seperti yang disadari siddharta, semuanya sudah ada di sini, saat ini...

sampai di sini, saya pikir pengertian kita udah sejalan, hanya sudut pandang saja... thanks
* I'm trying to free your mind, Neo. But I can only show you the door. You're the one that has to walk through it
* Neo, sooner or later you're going to realize just as I did that there's a difference between knowing the path and walking the path

morpheus

Quote from: Kainyn_Kutho on 27 July 2010, 04:19:16 PM
Idealnya, dan pada akhirnya, semua memang berasal dari dalam. Tetapi pada realita, dalam lingkup puthujjana, tidaklah demikian. Itu sebabnya perlu adanya teman yang baik, tempat tinggal yang baik, kesempatan yang baik, yang dikatakan sebagai berkah utama. "Luar" dan "dalam" saling berinteraksi dan mempengaruhi bathin.
anda melihat dari sudut sebab-akibat dan sosial, saya melihat dari sudut meditatif...
secara general, pengertian kita sejalan... thanks.
* I'm trying to free your mind, Neo. But I can only show you the door. You're the one that has to walk through it
* Neo, sooner or later you're going to realize just as I did that there's a difference between knowing the path and walking the path

K.K.

Quote from: morpheus on 28 July 2010, 08:42:51 AM
Quote from: Kainyn_Kutho on 27 July 2010, 04:19:16 PM
Idealnya, dan pada akhirnya, semua memang berasal dari dalam. Tetapi pada realita, dalam lingkup puthujjana, tidaklah demikian. Itu sebabnya perlu adanya teman yang baik, tempat tinggal yang baik, kesempatan yang baik, yang dikatakan sebagai berkah utama. "Luar" dan "dalam" saling berinteraksi dan mempengaruhi bathin.
anda melihat dari sudut sebab-akibat dan sosial, saya melihat dari sudut meditatif...
secara general, pengertian kita sejalan... thanks.
Saya juga meninjau dari sudut meditatif, maka saya katakan memang benar, idealnya & pada akhirnya, semua bersumber dari dalam. Namun tidak setiap saat kita bisa berada pada keadaan meditatif tersebut. :)

ryu

Quote from: Kainyn_Kutho on 28 July 2010, 09:04:36 AM
Quote from: morpheus on 28 July 2010, 08:42:51 AM
Quote from: Kainyn_Kutho on 27 July 2010, 04:19:16 PM
Idealnya, dan pada akhirnya, semua memang berasal dari dalam. Tetapi pada realita, dalam lingkup puthujjana, tidaklah demikian. Itu sebabnya perlu adanya teman yang baik, tempat tinggal yang baik, kesempatan yang baik, yang dikatakan sebagai berkah utama. "Luar" dan "dalam" saling berinteraksi dan mempengaruhi bathin.
anda melihat dari sudut sebab-akibat dan sosial, saya melihat dari sudut meditatif...
secara general, pengertian kita sejalan... thanks.
Saya juga meninjau dari sudut meditatif, maka saya katakan memang benar, idealnya & pada akhirnya, semua bersumber dari dalam. Namun tidak setiap saat kita bisa berada pada keadaan meditatif tersebut. :)

setuju _/\_
Janganlah memperhatikan kesalahan dan hal-hal yang telah atau belum dikerjakan oleh diri sendiri. Tetapi, perhatikanlah apa yang telah dikerjakan dan apa yang belum dikerjakan oleh orang lain =))