Gerakan Islam Bersatu Tanjungbalai Tuntut Penurunan Rupang

Started by ngabdi, 01 June 2010, 04:04:44 PM

Previous topic - Next topic

0 Members and 1 Guest are viewing this topic.

sobat-dharma

Selama ini saya heran, banyak teman-teman non-Buddhis yang ikut memperjuangkan hak kebebasan beragama dan berkeyakinan untuk Umat Buddha di Tanjung Balai. Tapi anehnya sebagian besar Umat Buddha sendiri  malah hanya berpangku tangan. Mengapa demikian?
Mereka yang melihat-Ku dari wujud dan mengikuti-Ku dari suara terlibat dalam upaya salah. Mereka takkan melihat Aku. Dari Dharma-lah mestinya ia melihat Para Buddha. Dari Dharmakaya datang tuntunan baginya. Namun hakikat sejati Dharma tak terlihat dan tiada seorangpun bisa menyadarinya sebagai obyek

Predator

mungkin sudah putus harapan sama pemerintah beserta jajarannya menyangkut kasus ini, atau mungkin juga sudah berhasil lepas dari kemelekatan termasuk kemelekatan akan "hak"-nya sendiri ;D


Quote from: sobat-dharma on 06 April 2011, 09:40:26 AM
Selama ini saya heran, banyak teman-teman non-Buddhis yang ikut memperjuangkan hak kebebasan beragama dan berkeyakinan untuk Umat Buddha di Tanjung Balai. Tapi anehnya sebagian besar Umat Buddha sendiri  malah hanya berpangku tangan. Mengapa demikian?
susah dan senang, sakit dan sehat selalu silih berganti

hendrako

Quote from: sobat-dharma on 06 April 2011, 09:36:32 AM
[at] hendrako:
Dalam hal ini kita bukan memaksa umat lain untuk toleran terhadap Umat Buddha, namun jadikan peristiwa ini sebagai pembelajaran dan batu ujian untuk bangsa ini: sejauh manakah mereka bisa menghargai keberadaan minoritas? Bukan saja umat Buddha, tapi juga untuk umat agama minoritas lainya yang selama ini menjadi korban. Ini terkait dengan isu kebebasan beragama dan berkeyakinan di Indonesia.


Yang dipermasalahkan adalah peletakan patung raksasa di atas bangunan 4 lantai, bukan keberadaan dan kegiatan ibadah di dalam vihara, kan?

Pada post2 sebelumnya saya sudah berusaha menjelaskan kenapa patung tersebut menjadi masalah. Saya coba sekali lagi untuk menjelaskan. Patung manusia, binatang dan makhluk lain diharamkan di dalam ajaran Islam, apalagi patung yang disembah2 karena dianggap sebagai berhala.  Pada kasus ini, hal yang diharamkan justru dipertontonkan dalam ukuran yang besar dan tinggi, sehingga perkiraan saya cukup jelas terlihat dari berbagai sisi dan jarak yang cukup jauh di daerah tersebut. Ini terlihat bagaikan seorang eksibisionis, yang mempertontonkan kemaluannya di tempat umum. Bagi seorang eksibisionis kemaluannya adalah kebanggaan, sedangkan orang "normal" lainnya melihatnya sebagai hal yang memalukan. Jangan salah mengerti, saya tidak menyamakan patung dengan kemaluan, tetapi inilah usaha saya untuk menjelaskan.

Menurut saya, akar masalah bukan pada penurunan patung, tetapi pada pemasangan. Belajar dari sejarah, patung2 yang dianggap berhala di daerah mayoritas muslim tidak sedikit yang dihancurkan, contoh yang paling jelas adalah kasus Bamiyan. Dari sini idealnya (menurut saya) pihak vihara dapat melihat potensi buruk yang mungkin terjadi dengan pemasangan patung raksasa di atap vihara. Dan sekarang inilah yang terjadi, saya menganggap pihak yang memasang patung tersebut tidak peka dengan lingkungan sekitar.

Hal ini juga mirip dengan kasus peternakan babi yang dihancurkan massa yang menurut saya konyol. Sudah tahu kalo umat muslim haram dengan babi, tapi tetap ngotot miara babi dilingkungan yang mayoritas muslim. Toh manusia tidak akan mati kalo tidak makan daging babi.

Begitu juga dengan kasus ini, apakah umat Buddha tidak bisa menjalankan aktivitasnya di dalam vihara, tanpa ada kehadiran patung raksasa di atas atap?

yaa... gitu deh

hendrako

Quote from: sobat-dharma on 06 April 2011, 09:40:26 AM
Selama ini saya heran, banyak teman-teman non-Buddhis yang ikut memperjuangkan hak kebebasan beragama dan berkeyakinan untuk Umat Buddha di Tanjung Balai. Tapi anehnya sebagian besar Umat Buddha sendiri  malah hanya berpangku tangan. Mengapa demikian?

Keberadaan umat dan Vihara agama Buddha di Tanjung Balai sudah menunjukkan kebebasan beragama. Yang jadi masalah adalah kebebasan memasang patung raksasa di atap, bukan kebebasan beragama. Apakah Buddha pernah mengajarkan agar patung gambar diri beliau harus dipasang tinggi2 di atap?
yaa... gitu deh

Predator

waktu yg berbeda, daerah/wilayah/komunitas berbeda sehingga sensitifitas juga berbeda, seperti Lodan memiliki patung Buddha di atas bangunannya tidak terjadi masalah saat ini (mungkin ukurannya gak terlalu men-colok-mata)

hmm jadi ingat kasus ini berbarengan dengan kasus Buddha bar..cuma pemerintah tutup mata untuk kasus ini, berbeda dengan tanjung balai.
susah dan senang, sakit dan sehat selalu silih berganti

Landy Chua

Quote from: hendrako on 06 April 2011, 10:13:31 AM
Keberadaan umat dan Vihara agama Buddha di Tanjung Balai sudah menunjukkan kebebasan beragama. Yang jadi masalah adalah kebebasan memasang patung raksasa di atap, bukan kebebasan beragama. Apakah Buddha pernah mengajarkan agar patung gambar diri beliau harus dipasang tinggi2 di atap?


klo alasannya ptung gede di turunkan krn takut jatuh and nimpa org di bwhnya..itu msh bisa di tolerir .. tp bila alasannya di kait2kan dengan "berhala" and blabla ..~ hm....

Quotesaya menganggap pihak yang memasang patung tersebut tidak peka dengan lingkungan sekitar.

bener.. udah tahu negara Indonesia mayoritas muslim , harusnya umat buddha yg secuil ini pindah aja ke India sana.. dasar kite ini gk peka ama lingkungan sekitar  ;D ;D ;D

ryu

intinya minoritas harus tunduk sama mayoritas, kalau misalnya mayoritas meminta minoritas dibubarkan maka dia harus nurut sama mayoritas.
Janganlah memperhatikan kesalahan dan hal-hal yang telah atau belum dikerjakan oleh diri sendiri. Tetapi, perhatikanlah apa yang telah dikerjakan dan apa yang belum dikerjakan oleh orang lain =))

andry

coba kek kejadian yg di malaysia, yg patung komat kamit itu terjadi di sumatra.. wakakakakak...

pasti menarik....
kirim demitt ahhhh biar iso komat kamit
Samma Vayama

hendrako

Quote from: ryu on 06 April 2011, 10:37:40 AM
intinya minoritas harus tunduk sama mayoritas, kalau misalnya mayoritas meminta minoritas dibubarkan maka dia harus nurut sama mayoritas.

Once again, kasus ini bukan penutupan vihara dan pelarangan beragama.

Saya meminjam perumpamaan dari Ajahn Chah.
Hal ini bagaikan seorang pria yang berjalan di tengah jalan tol dan berteriak pada mobil2 yang lewat agar tidak menghalanginya berjalan.

Apabila tetap tidak mengerti, yaaa.... wesss lah.
yaa... gitu deh

ryu

Quote from: hendrako on 06 April 2011, 10:54:20 AM
Once again, kasus ini bukan penutupan vihara dan pelarangan beragama.

Saya meminjam perumpamaan dari Ajahn Chah.
Hal ini bagaikan seorang pria yang berjalan di tengah jalan tol dan berteriak pada mobil2 yang lewat agar tidak menghalanginya berjalan.

Apabila tetap tidak mengerti, yaaa.... wesss lah.
baca thread ini biar mengerti

http://dhammacitta.org/forum/index.php?topic=612.0
Janganlah memperhatikan kesalahan dan hal-hal yang telah atau belum dikerjakan oleh diri sendiri. Tetapi, perhatikanlah apa yang telah dikerjakan dan apa yang belum dikerjakan oleh orang lain =))

Landy Chua

Quote from: hendrako on 06 April 2011, 10:54:20 AM
Once again, kasus ini bukan penutupan vihara dan pelarangan beragama.

Saya meminjam perumpamaan dari Ajahn Chah.
Hal ini bagaikan seorang pria yang berjalan di tengah jalan tol dan berteriak pada mobil2 yang lewat agar tidak menghalanginya berjalan.

Apabila tetap tidak mengerti, yaaa.... wesss lah.

tetap nggak ngerti nih ..~ jangan "ya wesss lah" ,  ^-^  boQ ya di jelasin dengan kesabaran dan kesadaran biar yang tidak mengerti bisa tercerahkan  :P

Quote from: ryu on 06 April 2011, 11:02:41 AM
baca thread ini biar mengerti

http://dhammacitta.org/forum/index.php?topic=612.0

bagus om story nya  ;D

hendrako

Quote from: ryu on 06 April 2011, 11:02:41 AM
baca thread ini biar mengerti

http://dhammacitta.org/forum/index.php?topic=612.0

Udah pernah baca, tapi banyak mana yang "sadar" seperti tokoh dalam cerita tersebut dengan yang tidak mau tahu, pokoknya ane terganggu?

Beberapa tahun yang lalu ane pernah membantu mendesain renovasi bagian depan sebuah gereja Protestan. Ane mengusulkan struktur baja dengan salib pada 4 sisi di sebuah struktur berbentuk kotak tempat menggantung lonceng. Pendeta di gereja minta salibnya dihilangkan. Pada saat saya menanyakan alasannya, beliau mengatakan bahwa untuk memperoleh ijin keberadaan gereja saja sudah cukup sulit dan memakan waktu dan biaya yang sangat banyak. Setelah sekian lama akhirnya mendapat ijin, kita sebaiknya tidak melakukan hal2 yang bisa memicu kontroversi di masyarakat, jangankan salib yang besar, penggunaan bentuk atap tradisional saja telah memicu kontroversi, ada masyarakat yang protes kalo atap tradisional digunakan sebagai atap gereja yang lain.

Menurut ane, sikap Pendeta tersebut lebih bijaksana daripada pengurus Vihara di Tanjung Balai. Umat tidak ngotot menunjukkan simbol kekr****nannya dan aktivitas gereja berjalan lancar tanpa terganggu salib raksasa.

yaa... gitu deh

hendrako

Quote from: Landy Chua on 06 April 2011, 11:19:52 AM
tetap nggak ngerti nih ..~ jangan "ya wesss lah" ,  ^-^  boQ ya di jelasin dengan kesabaran dan kesadaran biar yang tidak mengerti bisa tercerahkan  :P

bagus om story nya  ;D


Pengertian seseorang terhadap sesuatu adalah hal yang alamiah, tidak bisa dipaksakan. Saya tidak mengklaim bahwa pendapat saya benar, saya bisa saja salah. Tapi yang jelas inilah pendapat saya. Saya rasa penjelasan saya sudah cukup jelas. Di post awal di thread ini malah ada yang mengira saya adalah muslim dan saya mendapat beberapa brp pada thread ini.  ;D
yaa... gitu deh

lobsangchandra


Indra

Quote from: lobsangchandra on 06 April 2011, 04:13:53 PM
apakah itu buah karma patung/ vihara tsb ?  :-?

apakah hukum karma juga berlaku bagi benda2 mati?