Pengaruh budaya instan dan praktis juga...
Di agama sebelah kan praktis, mau damai? Akui tuhanmu. Mau bahagia? Pujilah tuhanmu. Mau sejahtera selama-selamanya? Cintailah tuhanmu
Di agama kita, mau damai? Sejuta teori keluar, seabrek sutta dipaparkan. Mau bahagia? Sejuta teori filosofis keluar. Bahagia adalah tidak mengejar bahagia, bla bla bla. Mau sejahtera selama-lamanya? Hapuskanlah 'aku'.
Yang gw bingung, semua ke-ribed-an ini memang muncul dari Buddhanya langsung (karena ajaran Dhamma yang konon katanya begitu luhurnya) atau karena ulah manusia yang sok ribed? Nanya sedikit aja dijawabnya langsung berfilosofi-filosofi ria.
Seseorang yang sedang sedih, ketika berhadapan dengan seorang kristiani, maka ia akan mengatakan, "bersukacitalah, tuhan sebenarnya terus bersamamu. Cintailah dia maka engkau akan bahagia." Simple.
Tapi kalau berhadapan dengan yang buddhis, maka jawabannya, "Inilah dukkha, dukkha, dukkha. Maka itu hapuskanlah egomu, lepaskanlah keinginanmu, bla bla bla." Malah bikin makin nelangsa.
Kalo di Buddhisme, kebahagiaannya ditemukan dalam diri sendiri, tapi berbeda dengan tetangga, kalo kebahagiaannya umat tetangga justru condong didapatkan dari luar dirinya. Bahkan ada tetangga bahagia apabila melihat umat bada agamanya menderita. Syukurlah pemikiran umat Buddha tidak demikian.
Saya melihat banyaknya tetangga kita dengan bersemangat mengunjungi si A untuk mengajak mereka bergabung pada kepercayaannya, dengan menawarkan bantuan tertentu. Bagi si A yang lagi down, bantuan yang mendadak datang tentu saja membuat si A simpati terhadap "kawan barunya." Disaat kawan barunya meminta untuk kesaksian di depan umum, "apakah anda merasa hidupnya ada perubahan setelah bergabung dengan keyakinan ini ?" Tentu saja si A tidak akan mengeluh didepan umum dan akan memberikan kalimat yang baik2 saja. Disini kawan2 yang mendengarnya akan merasa senang karena orang ini berbahagia atas pilihan agamanya. dan setelah mendengar kesaksian ini, mereka akan menyambung lidah, si A telah bergabung dan kini telah bahagia hidupnya. sehingga kesannya terdapat banyak keunggulan di agama ini. Apakah si A benar2 bahagia? Itu tidak masalah!!!
Bagi Mr. Wei mengangap kalo nasihat dalam Buddhisme selalu memberikan filosofi dan nasihat kaku "ini lah dukkha, dukkha, dan dukkha" itu karena yang menasihati Mr. Wei itu orangnya kutu buku dan kurang pengalaman dalam memberikan nasihat. Tetapi, Hal ini sangat berbeda dengan mereka yang memahami dan mengerti masalah hidup dan kehidupan.
Ada sebuah cerita :
Seorang pedagang kekayaannya ditipu habis oleh orang kepercayaannya, semua miliknya habis ditipu orang tersebut. yang dia miliki hanya tinggal pakaian yang menempel di tubuhnya.
Dia pergi ke Bhikkhu meditasi dan menangisi nasibnya,
"habis sudah bhante, segala-galanya sudah habis, tidak ada sisa apapun bagi saya............"
Bhikkhu ini dengan tenang balik menanya:
"Saudara masih hidup?" "Ya bhante"
"saudara masih sehat?" "masih sehat bhante"
"NAH, IITULAH SEGALA-GALANYA"
Nasihat ini membuka pikiran dan harapan bagi si pedagang dan menghapus "dukkha" yang di hati serta memberikan semangat hidupnya kembali, tidak perlu filosofi dan sutta yang panjang lebar koq.