Cara Yang Sesuai Untuk Penyebaran Dhamma

Started by K.K., 24 February 2010, 11:46:29 AM

Previous topic - Next topic

0 Members and 1 Guest are viewing this topic.

Riky_dave

saya no comment lagi bro Change..

[at] Bro Kainyn

Thanks ya Bro! :)

Anumodana _/\_
Langkah pertama adalah langkah yg terakhir...

K.K.

Quote from: ryu on 02 March 2010, 08:32:51 PM
Salah satu kelemahan ajaran Buddha adalah tenggang rasa, dan dengan mengatasnamakan tenggang rasa itu maka apabila ada aliran yang menyimpang di biarkan, ada sutra yang dipalsukan di biarkan, sehingga itu menjadi kebiasaan dan menjangkiti kesemua elemen buddhism sehingga ya beginilah wajah Buddhism suka atau tidak suka harus diterima, penyebaran dhamma dengan cara2 yang "katanya" modern lah dengan berbagai macam alasan dan pembenaran dengan mudahnya diterima oleh mereka karena "katanya" harus begitu demi menjaring umat dan "mungkin" menarik dana demi kelangsungan hidup vihara atau bhikkhunya.
sepertinya memang buddhism hanya sebatas begini ya ;D

Sebetulnya sikap tenggang rasa atau sikap tidak toleran yang tidak didasari pengertian, adalah bentuk ekstremitas yang keluar dari "jalan tengah". Ketika kita menerima atau menolak satu cara/tradisi/budaya, harus dimengerti mengapa itu diterima, dan mengapa itu ditolak.
Misalnya kisah 'mantra' untuk orang bersin yang diperbolehkan, namun dengan pengertian benar. Tetapi ada juga cara/tradisi/budaya yang ditolak seperti pembagian kasta karena kelahiran. Hal itu tidak diakui oleh Buddha dan banyak sekali sutta yang menjelaskannya.

Di masyarakat umumnya, hanya mau tahu hasil akhir saja, tidak peduli dengan pengertian. Agama Buddha memperbolehkan pakai patung, maka semua pakai patung, tetapi belum tentu tahu makna di balik patung. Sementara di 'tetangga' ada yang menolak makanan bekas sembahyang, seolah-olah bisa masuk neraka kalau makan. Mereka tidak memiliki pengertian dari agama dan kitabnya sendiri, hanya membuta saja. Oleh karena itu jugalah maka saya mendukung penyebaran dhamma yang landasannya adalah pengertian, bukan "banyak-banyakan". Justru semakin banyak suara "sumbang" dari orang yang tidak mengerti, pengertian dhamma lebih gampang dibelokkan.


dhammadinna

^ ^ ^ Mungkin OOT dikit, Bro Kainyn, mantra untuk orang bersin seperti apa ya? untuk apa ya?

g.citra

QuoteSalah satu kelemahan ajaran Buddha adalah tenggang rasa, dan dengan mengatasnamakan tenggang rasa itu maka apabila ada aliran yang menyimpang di biarkan, ada sutra yang dipalsukan di biarkan, sehingga itu menjadi kebiasaan dan menjangkiti kesemua elemen buddhism sehingga ya beginilah wajah Buddhism suka atau tidak suka harus diterima, penyebaran dhamma dengan cara2 yang "katanya" modern lah dengan berbagai macam alasan dan pembenaran dengan mudahnya diterima oleh mereka karena "katanya" harus begitu demi menjaring umat dan "mungkin" menarik dana demi kelangsungan hidup vihara atau bhikkhunya.

Ikut kasih pendapat ...
Tenggang rasa timbul karena berbagai sebab yang mendasari ... Salah 1-nya adalah karena 'telah mengerti' ...
Lain halnya dengan melihat sesuatu dengan "apa adanya" karena telah mengerti ... Itu yang sulit ... Dan itu bukan kelemahan ataupun kelebihan (yang sebatas penilaian terhadap orang tertentu) ...

K.K.

Quote from: Mayvise on 03 March 2010, 12:13:57 PM
^ ^ ^ Mungkin OOT dikit, Bro Kainyn, mantra untuk orang bersin seperti apa ya? untuk apa ya?

Saya Co-Pas:

Quote from: Kainyn_Kutho on 11 July 2009, 11:37:19 AM
[...]
Ada kisah di mana ketika buddha sedang memberikan khotbah kepada para bhikkhu, Buddha bersin. Menurut kepercayaan orang-orang dulu, kalau bersin itu berarti "roh"-nya meninggalkan tubuhnya dan bisa menyebabkan umur pendek/kematian, maka ketika ada orang bersin, mereka "memantrai" dengan ucapan "semoga panjang umur". Kebiasaan ini juga ada di mana-mana sampai sekarang, di mana orang barat sering berkata "Bless you!" ketika ada orang bersin. (Di Jerman, "mantranya" adalah "Gesundheit!" yang mengharapkan agar sehat selalu.)

Kemudian Buddha bertanya kepada para bhikkhu tersebut, "apakah ungkapan 'semoga panjang umur' yang ditujukan kepada orang bersin bisa menyebabkan orang itu hidup atau mati?" Para bhikkhu menjawab, "tidak". Inilah pengertian benar yang diajarkan Buddha kepada para murid.

Lalu bagaimana dengan kebiasaan masyarakat yang demikian? Buddha menetapkan aturan yang memperbolehkan bhikkhu ketika bersin dan didoakan "panjang umur", membalas dengan "semoga anda juga panjang umur" sesuai adat yang berlaku. Inilah sikap Buddha terhadap kebiasaan, adat, tradisi dan budaya.

Jadi sebagai umat Buddha, kita harus memiliki pengertian yang benar tentang ajaran Buddha. Di samping itu, tidaklah perlu menjajah budaya orang lain, tidak perlu melakukan hal-hal ekstrim seperti penghancuran simbol-simbol, dan lain-lain yang tidak bermanfaat.


CHANGE

Cara yang sesuai untuk penyebaran Dhamma secara keseluruhan ? "Seandainya" saya berpikir secara "Idealis", maka saya akan berpikir cara penyebaran Dhamma yang sesuai ( ? ) dan baik ( ? ) akan memberikan hasil optimal ( minimal bukan minoritas ) misalnya :

1.   Kualitas tercapai, sehingga "kemurnian" Dhamma dan Vinaya terjaga.
2.   Kuantitas tercapai, sehingga menciptakan suatu kondisi dan situasi yang mendukung perkembangan tanpa menodai "kemurnian" Dhamma dan Vinaya.

Tentu berpikir "idealis" tidak segampang memberikan hasil seperti "membalikkan telapak tangan" karena begitu banyak kendala yang selalu berubah, maka yang kita hadapi adalah berpikir "Realistis", tentu ini pasti bukan masalah mudah dan gampang. Karena setiap tindakan yang dilakukan selalu memberikan "konsekuensi" yang harus diterima baik secara langsung maupun tidak langsung yakni konsekuensi baik atau buruk ataupun stagnan, dan mungkin tidak menghasilkan dua-duanya.

Karena ini adalah suatu pengandaian, maka yang ingin  ditanyakan adalah bagaimana cara yang sesuai dalam penyebaran Dhamma sehingga dapat menjembatan-i kualitas dan kuantitas ( neraca yang seimbang ) dengan konsekuansi baik yang dominan ?

_/\_

K.K.

Quote from: CHANGE on 03 March 2010, 02:47:48 PM
Cara yang sesuai untuk penyebaran Dhamma secara keseluruhan ? "Seandainya" saya berpikir secara "Idealis", maka saya akan berpikir cara penyebaran Dhamma yang sesuai ( ? ) dan baik ( ? ) akan memberikan hasil optimal ( minimal bukan minoritas ) misalnya :

1.   Kualitas tercapai, sehingga "kemurnian" Dhamma dan Vinaya terjaga.
2.   Kuantitas tercapai, sehingga menciptakan suatu kondisi dan situasi yang mendukung perkembangan tanpa menodai "kemurnian" Dhamma dan Vinaya.

Tentu berpikir "idealis" tidak segampang memberikan hasil seperti "membalikkan telapak tangan" karena begitu banyak kendala yang selalu berubah, maka yang kita hadapi adalah berpikir "Realistis", tentu ini pasti bukan masalah mudah dan gampang. Karena setiap tindakan yang dilakukan selalu memberikan "konsekuensi" yang harus diterima baik secara langsung maupun tidak langsung yakni konsekuensi baik atau buruk ataupun stagnan, dan mungkin tidak menghasilkan dua-duanya.

Karena ini adalah suatu pengandaian, maka yang ingin  ditanyakan adalah bagaimana cara yang sesuai dalam penyebaran Dhamma sehingga dapat menjembatan-i kualitas dan kuantitas ( neraca yang seimbang ) dengan konsekuansi baik yang dominan ?

_/\_


Saya kira kalau masalah kuantitas adalah persoalan yang menerima ajaran. Kita lihat Buddha sendiri berpengetahuan sempurna akan dhamma dan bathin orang lain, mengajar di masyarakat yang kondisi spiritualnya masih baik, namun tetap tidak bisa membuat semua orang mengerti. Bahkan masih ada juga yang antipati.
Sekarang kita di sini, pengetahuan dhamma pas-pas-an apa adanya hanya dari kitab suci (yang belum tentu kita sendiri memahami sepenuhnya), tidak punya kemampuan membaca bathin orang lain, terbatas dalam hal keahlian dan kecakapan mengajar, ada di jaman kemerosotan moral, kira-kira bagaimana perbandingannya? Saya bukan mau bersikap pesimis, tetapi realistis saja. Hal-hal seperti "kebijaksanaan orang lain" tidak bisa kita atur. Kita hanya bisa mengembangkan kebijaksanaan di diri sendiri dan membagikannya dengan cara sebaik mungkin ke orang lain. Tidak lebih dari itu.


BobbyXu

Menyebarkan dhamma menggunakan bukti, berarti bukan asal modal ngomong alias bacot doang, selain itu agama Buddhist sangatlah logis jadi pasti bisa menjawab permasalahan teman - teman, selain itu mengajak teman agama Buddhist ktp ke vihara agar faith atau keyakinan mereka semakin kuat, jangan dibiarkan, jangan biarkan mereka terjerumus kedalam moha yang ada diagama lain...

chen83


K.K.

Quote from: BobbyXu on 22 March 2010, 11:52:08 PM
Menyebarkan dhamma menggunakan bukti, berarti bukan asal modal ngomong alias bacot doang, selain itu agama Buddhist sangatlah logis jadi pasti bisa menjawab permasalahan teman - teman, selain itu mengajak teman agama Buddhist ktp ke vihara agar faith atau keyakinan mereka semakin kuat, jangan dibiarkan, jangan biarkan mereka terjerumus kedalam moha yang ada diagama lain...

Betul Ajaran Buddha mengarahkan orang agar berpikir yang masuk akal, tetapi keliru kalau mengatakan semuanya bisa dibuktikan. Misalnya hukum kamma dan tumimbal lahir. Itu adalah kepercayaan dan bergantung pada kecocokan. Bagi yang memiliki kemampuan khusus, memang bisa membuktikan, namun hanya sebatas untuk diri sendiri, bukan orang lain.

Agama Buddha juga bukan untuk "menyelesaikan masalah". Jika berpromosi demikian, maka akan memeluk Ajaran Buddha hanya sebagai pelarian, dan lebih parahnya lagi, kalau tidak berhasil, pasti langsung pindah agama lain. Ajaran Buddha adalah untuk membentuk pola pikir seseorang, bagaimana seorang menyikapi kenyataan dalam hidup, menyadari segala perubahan. 


Riky_dave

berhati2 lah...ada orang yang mengaku sebagai Buddhist,tetapi menekan pada aspek KEYAKINAN/KEPERCAYAAN atau KEPERCAYAAN MEMBABI BUTA?

aspek kepercayaan tanpa dasar,dengan ilmu pengetahuan nihil...berbahaya...hati2 lah..orang2 semacam ini sangat dikagumi dan di elu2kan oleh kaum mereka...

anda tidak bisa berdiskusi dengan orang semacam ini,karena ketika anda menyinggung konsep mereka,maka mereka akan melontarkan jurus tersakti mereka yaitu "ini adalah keyakinan saya,bla bla bla.."
Langkah pertama adalah langkah yg terakhir...

Forte

Quote from: Riky_dave on 23 March 2010, 10:00:13 AM
berhati2 lah...ada orang yang mengaku sebagai Buddhist,tetapi menekan pada aspek KEYAKINAN/KEPERCAYAAN atau KEPERCAYAAN MEMBABI BUTA?

aspek kepercayaan tanpa dasar,dengan ilmu pengetahuan nihil...berbahaya...hati2 lah..orang2 semacam ini sangat dikagumi dan di elu2kan oleh kaum mereka...

anda tidak bisa berdiskusi dengan orang semacam ini,karena ketika anda menyinggung konsep mereka,maka mereka akan melontarkan jurus tersakti mereka yaitu "ini adalah keyakinan saya,bla bla bla.."
dan hati2lah.. ada orang yang mengaku BUDDHIST.. dan suka mengumbar KALAMA SUTTA, OBJEK ITU NETRAL, SYAIR DHAMMAPADA.. namun ketika hinaan itu ditujukan kepadanya.. dia tidak bisa menerimanya.. dan cenderung mengeluh..

BobbyXu

Quote from: Forte on 23 March 2010, 10:06:16 AM
Quote from: Riky_dave on 23 March 2010, 10:00:13 AM
berhati2 lah...ada orang yang mengaku sebagai Buddhist,tetapi menekan pada aspek KEYAKINAN/KEPERCAYAAN atau KEPERCAYAAN MEMBABI BUTA?

aspek kepercayaan tanpa dasar,dengan ilmu pengetahuan nihil...berbahaya...hati2 lah..orang2 semacam ini sangat dikagumi dan di elu2kan oleh kaum mereka...

anda tidak bisa berdiskusi dengan orang semacam ini,karena ketika anda menyinggung konsep mereka,maka mereka akan melontarkan jurus tersakti mereka yaitu "ini adalah keyakinan saya,bla bla bla.."
dan hati2lah.. ada orang yang mengaku BUDDHIST.. dan suka mengumbar KALAMA SUTTA, OBJEK ITU NETRAL, SYAIR DHAMMAPADA.. namun ketika hinaan itu ditujukan kepadanya.. dia tidak bisa menerimanya.. dan cenderung mengeluh..

Emang beneran ada bro orang kayak gini? Wah - wah...

markosprawira

banyak bro....... justru kita bs belajar dari mereka agar kita tidak berbuat seperti itu

bhw hendaknya teori berjalan bersamaan dengan praktek.... bahkan ada sharing dari bhikkhu di myanmar sana, bahwa jika mereka sedang "buntu" dengan vipassana maka guru mereka akan menyuruh mereka utk buka2 teori lagi

setelah lebih jelas, baru lanjut vipassana...... demikianlah hendaknya praktek dan teori bisa saling mengisi

kusalaputto

Quote from: BobbyXu on 23 March 2010, 11:48:04 PM
Quote from: Forte on 23 March 2010, 10:06:16 AM
Quote from: Riky_dave on 23 March 2010, 10:00:13 AM
berhati2 lah...ada orang yang mengaku sebagai Buddhist,tetapi menekan pada aspek KEYAKINAN/KEPERCAYAAN atau KEPERCAYAAN MEMBABI BUTA?

aspek kepercayaan tanpa dasar,dengan ilmu pengetahuan nihil...berbahaya...hati2 lah..orang2 semacam ini sangat dikagumi dan di elu2kan oleh kaum mereka...

anda tidak bisa berdiskusi dengan orang semacam ini,karena ketika anda menyinggung konsep mereka,maka mereka akan melontarkan jurus tersakti mereka yaitu "ini adalah keyakinan saya,bla bla bla.."
dan hati2lah.. ada orang yang mengaku BUDDHIST.. dan suka mengumbar KALAMA SUTTA, OBJEK ITU NETRAL, SYAIR DHAMMAPADA.. namun ketika hinaan itu ditujukan kepadanya.. dia tidak bisa menerimanya.. dan cenderung mengeluh..

Emang beneran ada bro orang kayak gini? Wah - wah...
jgn ditanya jangan di cari bro bobby biar diskusi tetap berjalan lancar =)) =)) =))
semoga kamma baik saya melindungi saya, semoga kamma baik saya mengkondisikan saya menemukan seseorang yang baik pada saya dan anak saya, semoga kamma baik saya mengkondisikan tujuan yang ingin saya capai, semoga saya bisa meditasi lebih lama.