News:

Semoga anda berbahagia _/\_

Main Menu

tanpa duduk bersila

Started by Asiong, 12 November 2009, 01:41:42 PM

Previous topic - Next topic

0 Members and 1 Guest are viewing this topic.

Jerry

#45
Quote from: tesla on 14 November 2009, 10:32:04 PM
IMO, sikap "rendah hati" adalah suatu keserakahan & kesombongan, dan memegangnya sebagai suatu tujuan perilaku hanya akan menghasilkan penderitaan :)
Benar bahwa rendah hati adalah perilaku yg diinginkan dalam kehidupan bermasyarakat, namun dengan demikian rendah hati itu menjadi objek keserakahan (pada umumnya). sebaliknya tinggi hati menjadi objek kebencian (pada umumnya). Jadi pada umumnya, orang akan senang jika dijuluki "rendah hati" dan akan marah jika dijuluki "tinggi hati". marah dalam artian disini adalah penolakan dalam bathin atas apa yg terjadi, tidak selalu harus ditandai dg aksi merusak.
Jadi rendah/tinggi hati tidak ada hubungannya dg pembelajaran seseorang, melainkan berhubungan dg hasrat seseorang utk menjadi sosok yg dapat diterima masyarakat, yg tak lebih adalah keserakahan yg akan membawa pada penderitaan apabila tidak kesampaian.

Lebih lanjut lagi, rendah/tinggi hati hanyalah sebuah penilaian pikiran yg tidak jelas entah mana yg tinggi & mana yg rendah. Penilaian itu cuma didasari atas ego masing2 penilai. ketika saya suka A, walaupun A begini-begitu, saya katakan ia tidak sombong, tapi emg kenyataan. dan sebaliknya.

Jangan begitu Bro.. Jangan terburu2 membuang semua hal, berpeganglah pada hal2 yg bermanfaat, kembangkan dan jika pada masanya lepaskan maka lepaskan. Ini konsisten dengan ajaran Buddha yg saya pahami sejauh ini. Ini berlaku jika Anda, sebagaimana saya, masih merasa sbg seorang puthujjana. Tapi jika merasa kualitas diri seperti seorang Bahiya, maka tdk perlu dibaca lagi hingga ke bawah. Karena yg ditulis ini adalah perspektif seorang puthujjana dan bukan seorang yg memiliki "parami" demikian tinggi. ;)

Konteks berbeda yg sedang kita bicarakan di sini. Saya menyampaikan bahwa bersikap rendah hati perlu sbg salah 1 kualitas yg perlu dikembangkan. Sedangkan Bro Tesla berbicara tentang orang yg menginginkan dipuji 'rendah hati' namun tidak dalam pengembangan sikapnya. Kalau demikian, masihkah yg dilakukan org tsb dikatakan sbg 'kerendahan hati'? Coba pahami apa yg saya bicarakan. :)

Ya, memang penilaian itu sangat subjektif dan relatif berdasarkan yg melihat, tapi setidaknya kita tahu bagaimana kita sendiri terlepas anggapan si penilai. Apakah sikap rendah hati membutuhkan penilaian dr orang lain? Jika bersikap rendah hati butuh penilaian org lain, maka tentu org tsb tengah mencari penilaian positif atau pujian. Dan itu bukan sikap kerendahan hati yg sesungguhnya!

Terlepas dari rendah hati atau tidak, jika sesuatu yg disampaikan adalah fakta, benar, bermanfaat, pasti kita harus membenarkan hal itu. Tapi kerendahan hati adalah 1 kualitas yg jika dikembangkan akan membawa hasil yg lebih baik lagi. Bagaimana menurut Bro Tesla? Jika Bro Tesla melihat 2 orang, yg 1 menyampaikan Dhamma pd orang dan kesehariannya beliau adalah org yg rendah hati. Sedangkan yg 1 lagi menyampaikan Dhamma juga tetapi kesehariannya beliau adl orang yg tinggi hati. Kira2 bagaimana Dhamma mana yg dpt lebih diterima oleh pendengar? Yg pertama atau kedua? Dan contoh lainnya, ada 2 orang, yg 1 bersikap rendah hati dan yg 1 lagi bersikap tinggi hati dalam mempelajari ajaran dhamma seorang Guru. Menurut Bro Tesla, secara general atau rata-ratanya, manakah yg akan lebih mampu menyerap secara lebih baik dhamma yg diajarkan sang Guru?

Adalah jelas Sang Buddha memuji kualitas kerendahan hati dalam berbagai Sutta. Jika ini tidak perlu dikembangkan, bahwa ini menuntun pada keserakahan dan kesombongan maka tentu Sang Buddha tidak akan mengajarkan ini bukan? Selain itu, adalah 1 bentuk kebingungan spiritual, vicikiccha, sehingga kita tidak mampu membedakan antara yg bermanfaat dengan yg tidak. Banyak yg menganggap keinginan adalah tanha, keserakahan dan tidak bermanfaat karenanya harus dibuang. Mungkin, bbrp perlu dibuang pd saatnya, tetapi keinginan utk pencerahan adalah hal yg baik dan perlu dikembangkan. Demikian pula dg kesombongan, ada kesombongan yg bermanfaat dan perlu dikembangkan pd awalnya. Tapi jika Anda berkeras menganggap bahwa kerendahan hati adalah keserakahan & kesombongan dan tidak ada kaitannya dalam pembelajaran Dhamma, so be it.. Mungkin tidak ada pointnya berusaha menjelaskan lebih jauh. :)

Quote
sanksi apa yg diberikan ketika bhikkhu melanggar vinaya ini (seperti membabarkan dhamma pada yg memegang senjata)? ringan, sedang, berat, dikeluarkan?

Thank you,

May you free from suffering

Sanksi secara jelasnya saya kurang tau juga, saya sendiri masih sangsi dan tidak baik kalau saya malah memberi penjelasan yg menyesatkan. Ada baiknya kita bertanya pada yg lebih ahli soal vinaya. Cuma sekedar reminder, jangan menerapkan standar terlalu tinggi pada para bhikkhu bahwa mereka harus sesuai pengharapan kita. Mereka jg manusia biasa yg bisa salah mengambil keputusan. Agar tdk terjadi kesalahan pengambilan keputusan atau meminimalisir hal itu, maka vinaya diperlukan. Setidaknya jika mereka ragu dan mereka memutuskan utk mengikuti vinaya, mereka tidak bersalah melanggar vinaya, tdk ada keraguan dlm diri mereka dan itu kondusif bagi perkembangan batin mereka. Jika kita melihat sebaliknya, jika orang tsb memang ingin mendengarkan dhamma, kenapa mereka tidak melepaskan senjatanya? Kenapa mereka tidak melepaskan pisaunya? Ini saya bicara dlm konteks org yg ingin mendengarkan dhamma tapi ingin tetap membawa senjata. Fenomena bhikkhu dan pemegang senjata ini juga pernah dibahas dalam blognya Bhante Dhammika. ;D


Thanks for the wish. May you freed from suffering too..

NB: Saya jelas bukan termasuk dalam kategori "semua" yg ditulis oleh The Ronald.

_/\_
appamadena sampadetha

Jerry

Quote from: tesla on 14 November 2009, 09:59:16 PM
... yg saya lihat tindakan Buddha pada Angulimala sangat bijaksana, sedangkan vinaya itu tidak bijaksana. :)
Simple saja, bukan bermaksud mencari perbedaan tapi kenyataan. Lihat bagaimana sekte yg menganggap vinaya boleh dirubah, dan bahkan bukan hanya peraturan2 minor sbgmn yg dikatakan Sang Buddha, malah peraturan mayor dlm vinaya jg dimodifikasi. Dan lihat seberapa bijaksana kenyataan yg ada skrg. Vinaya memang harus dijalankan secara moderat, tapi tetap berdasar pertimbangan terbaik. Dan pertimbangan terbaik yg telah diambil YM Maha Kassapa adl tdk merubah vinaya utk berusaha mempreservasi ajaran Sang Buddha seasli mungkin, hal yg tdk mungkin, tp setidaknya masih lebih baik drpd tidak berusaha. :)
appamadena sampadetha

tesla

#47
Quote from: Jerry on 15 November 2009, 03:10:33 AM
Ya, memang penilaian itu sangat subjektif dan relatif berdasarkan yg melihat, tapi setidaknya kita tahu bagaimana kita sendiri terlepas anggapan si penilai. Apakah sikap rendah hati membutuhkan penilaian dr orang lain? Jika bersikap rendah hati butuh penilaian org lain, maka tentu org tsb tengah mencari penilaian positif atau pujian. Dan itu bukan sikap kerendahan hati yg sesungguhnya!
setuju sekali...
kerendahan hati yg sesungguhnya tidak memerlukan penilaian orang lain :)
ditambah lagi tidak membutuhkan penilaian dari diri sendiri.
jadi menurut saya, yg berpikir "utk menjadi rendah hati" sebenarnya bukan rendah hati sesungguhnya. contohnya: utk duduk lebih rendah agar memiliki sikap rendah hati (agar bisa mendengarkan dhamma?). kerendahan hati sesungguhnya tidak mempermasalahkan posisi duduk saya lebih tinggi/rendah/sama. tadi justru katanya duduk diposisi rendah itu sebagai suatu kerendahan hati, itu yg saya rasa agak tidak tepat.

Quote
Terlepas dari rendah hati atau tidak, jika sesuatu yg disampaikan adalah fakta, benar, bermanfaat, pasti kita harus membenarkan hal itu. Tapi kerendahan hati adalah 1 kualitas yg jika dikembangkan akan membawa hasil yg lebih baik lagi. Bagaimana menurut Bro Tesla? Jika Bro Tesla melihat 2 orang, yg 1 menyampaikan Dhamma pd orang dan kesehariannya beliau adalah org yg rendah hati. Sedangkan yg 1 lagi menyampaikan Dhamma juga tetapi kesehariannya beliau adl orang yg tinggi hati. Kira2 bagaimana Dhamma mana yg dpt lebih diterima oleh pendengar? Yg pertama atau kedua? Dan contoh lainnya, ada 2 orang, yg 1 bersikap rendah hati dan yg 1 lagi bersikap tinggi hati dalam mempelajari ajaran dhamma seorang Guru. Menurut Bro Tesla, secara general atau rata-ratanya, manakah yg akan lebih mampu menyerap secara lebih baik dhamma yg diajarkan sang Guru?
frankly, i think:
most people only hear what they want to hear.
most people don't want to accept truth they don't like.

jadi bicara soal dhamma tidak bisa dikategorikan ke general.
orang yg ingin mendengarkan dhamma adalah orang yg mencari kebenaran.
sisanya orang lebih ingin mendengarkan penyelamatan, surga abadi, dll.
termasuk di vihara, berapa byk yg benar2 ingin mendengarkan dhamma,
brp byk yg hanya datang demi keselamatan, keberuntungan, kemakmuran, dll

Quote
Adalah jelas Sang Buddha memuji kualitas kerendahan hati dalam berbagai Sutta. Jika ini tidak perlu dikembangkan, bahwa ini menuntun pada keserakahan dan kesombongan maka tentu Sang Buddha tidak akan mengajarkan ini bukan? Selain itu, adalah 1 bentuk kebingungan spiritual, vicikiccha, sehingga kita tidak mampu membedakan antara yg bermanfaat dengan yg tidak. Banyak yg menganggap keinginan adalah tanha, keserakahan dan tidak bermanfaat karenanya harus dibuang. Mungkin, bbrp perlu dibuang pd saatnya, tetapi keinginan utk pencerahan adalah hal yg baik dan perlu dikembangkan. Demikian pula dg kesombongan, ada kesombongan yg bermanfaat dan perlu dikembangkan pd awalnya. Tapi jika Anda berkeras menganggap bahwa kerendahan hati adalah keserakahan & kesombongan dan tidak ada kaitannya dalam pembelajaran Dhamma, so be it.. Mungkin tidak ada pointnya berusaha menjelaskan lebih jauh. :)
saya setuju jika kerendahan hati yg sesungguhnya harus dikembangkan. yg tidak membutuhkan penilaian orang lain & jg penilaian dari diri sendiri bahwa: "Aku rendah hati" atau "Aku akan ber-rendah hati".

mengenai keinginan utk mencapai pencerahan (OOT), menurut saya memang juga adalah suatu tanha :) yg pada akhirnya harus ditinggalkan juga.
ilustrasinya tanha ini dipertahankan utk mengikis tanha lainnya, namun akhirnya harus ditinggalkan juga. kata Ajahn Chah, seperti ketika kita ingin beli kelapa, kita harus beli kulit/cangkangnya juga.
demikian jg ketika kita ingin mencapai pencerahan, keinginan itu sendiri harus dibawa.
yg penting adalah sadar akan tanha ini & tidak melekatinya.

Quote
Sanksi secara jelasnya saya kurang tau juga, saya sendiri masih sangsi dan tidak baik kalau saya malah memberi penjelasan yg menyesatkan. Ada baiknya kita bertanya pada yg lebih ahli soal vinaya. Cuma sekedar reminder, jangan menerapkan standar terlalu tinggi pada para bhikkhu bahwa mereka harus sesuai pengharapan kita. Mereka jg manusia biasa yg bisa salah mengambil keputusan. Agar tdk terjadi kesalahan pengambilan keputusan atau meminimalisir hal itu, maka vinaya diperlukan. Setidaknya jika mereka ragu dan mereka memutuskan utk mengikuti vinaya, mereka tidak bersalah melanggar vinaya, tdk ada keraguan dlm diri mereka dan itu kondusif bagi perkembangan batin mereka. Jika kita melihat sebaliknya, jika orang tsb memang ingin mendengarkan dhamma, kenapa mereka tidak melepaskan senjatanya? Kenapa mereka tidak melepaskan pisaunya? Ini saya bicara dlm konteks org yg ingin mendengarkan dhamma tapi ingin tetap membawa senjata. Fenomena bhikkhu dan pemegang senjata ini juga pernah dibahas dalam blognya Bhante Dhammika. ;D
kenapa mereka "belum" melepaskan senjata ketika mau mendengarkan dhamma?
krn mereka belum mengerti, makanya harus diberi pengertian yg benar. :)
boleh minta url blog Bhante Dhammika?
Terima kasih.

May all beings free from suffering _/\_
Lepaskan keserakahan akan kesenangan. Lihatlah bahwa melepaskan dunia adalah kedamaian. Tidak ada sesuatu pun yang perlu kau raup, dan tidak ada satu pun yang perlu kau dorong pergi. ~ Buddha ~

tesla

Quote from: Jerry on 15 November 2009, 03:57:37 AM
Quote from: tesla on 14 November 2009, 09:59:16 PM
... yg saya lihat tindakan Buddha pada Angulimala sangat bijaksana, sedangkan vinaya itu tidak bijaksana. :)
Simple saja, bukan bermaksud mencari perbedaan tapi kenyataan. Lihat bagaimana sekte yg menganggap vinaya boleh dirubah, dan bahkan bukan hanya peraturan2 minor sbgmn yg dikatakan Sang Buddha, malah peraturan mayor dlm vinaya jg dimodifikasi. Dan lihat seberapa bijaksana kenyataan yg ada skrg. Vinaya memang harus dijalankan secara moderat, tapi tetap berdasar pertimbangan terbaik. Dan pertimbangan terbaik yg telah diambil YM Maha Kassapa adl tdk merubah vinaya utk berusaha mempreservasi ajaran Sang Buddha seasli mungkin, hal yg tdk mungkin, tp setidaknya masih lebih baik drpd tidak berusaha. :)

maaf, saya rasa pendapat ini agak berat sebelah pada salah satu tradisi :)
tradisi lain menurut saya juga tidak lebih buruk dr tradisi sesepuh (hehe)...

Peace...
Lepaskan keserakahan akan kesenangan. Lihatlah bahwa melepaskan dunia adalah kedamaian. Tidak ada sesuatu pun yang perlu kau raup, dan tidak ada satu pun yang perlu kau dorong pergi. ~ Buddha ~

The Ronald

jd menurutbro tesla, bagaimana melatih "rendah hati" dan bagaimana bersikap "rendah hati" ?
bagaimana mengetahui, ini rendah hati, dan ini bukan rendah hati...
ataukah hanya dalam pikiran?
...

Jerry

Quote from: tesla on 15 November 2009, 11:29:08 AM
setuju sekali...
kerendahan hati yg sesungguhnya tidak memerlukan penilaian orang lain :)
ditambah lagi tidak membutuhkan penilaian dari diri sendiri.
jadi menurut saya, yg berpikir "utk menjadi rendah hati" sebenarnya bukan rendah hati sesungguhnya. contohnya: utk duduk lebih rendah agar memiliki sikap rendah hati (agar bisa mendengarkan dhamma?). kerendahan hati sesungguhnya tidak mempermasalahkan posisi duduk saya lebih tinggi/rendah/sama. tadi justru katanya duduk diposisi rendah itu sebagai suatu kerendahan hati, itu yg saya rasa agak tidak tepat.
Harap ingat ajaran Sang Buddha dikenal jg sbg majjhima-patipada, ajaran jalan tengah, yg mengajarkan agar pengikutnya mengembangkan sikap proporsional yg menjembatani antara upaya pengejaran kebenaran hakiki dengan pengembangan nilai2 moral dan etika dlm masyarakat. Sikap berusaha dan berpikir utk menjadi rendah hati adl sikap yg baik dan bermanfaat utk dikembangkan, apakah itu rendah hati sesungguhnya atau tidak, tak masalah.

Quote
frankly, i think:
most people only hear what they want to hear.
most people don't want to accept truth they don't like.

jadi bicara soal dhamma tidak bisa dikategorikan ke general.
orang yg ingin mendengarkan dhamma adalah orang yg mencari kebenaran.
sisanya orang lebih ingin mendengarkan penyelamatan, surga abadi, dll.
termasuk di vihara, berapa byk yg benar2 ingin mendengarkan dhamma,
brp byk yg hanya datang demi keselamatan, keberuntungan, kemakmuran, dll
pertanyaan saya sebelumnya simple dan cukup dijawab saja secara langsung.

Quote
saya setuju jika kerendahan hati yg sesungguhnya harus dikembangkan. yg tidak membutuhkan penilaian orang lain & jg penilaian dari diri sendiri bahwa: "Aku rendah hati" atau "Aku akan ber-rendah hati".
Bahkan seorang yg rendah hati dan hidup penuh kesadaran pasti menyadari akan pemikiran dan sikapnya itu dan berusaha utk terus hidup selaras dengan hal tsb, bukan tidak menyadari. :)

Quote
mengenai keinginan utk mencapai pencerahan (OOT), menurut saya memang juga adalah suatu tanha :) yg pada akhirnya harus ditinggalkan juga.
ilustrasinya tanha ini dipertahankan utk mengikis tanha lainnya, namun akhirnya harus ditinggalkan juga. kata Ajahn Chah, seperti ketika kita ingin beli kelapa, kita harus beli kulit/cangkangnya juga.
demikian jg ketika kita ingin mencapai pencerahan, keinginan itu sendiri harus dibawa.
yg penting adalah sadar akan tanha ini & tidak melekatinya.
Ya.. Ilustrasi mengenai rakit dari Sang Guru bagi saya sudah lebih dr cukup dan jelas. Bukan oot, tapi itu utk menunjukkan bahwa apa yg dikatakan keserakahan atau keinginan dan bahkan kesombongan pun diperlukan dalam beberapa hal, tentu saja sesuai konteksnya.

Quote
kenapa mereka "belum" melepaskan senjata ketika mau mendengarkan dhamma?
krn mereka belum mengerti, makanya harus diberi pengertian yg benar. :)
boleh minta url blog Bhante Dhammika?
Terima kasih.

May all beings free from suffering _/\_
Konteks yg dikatakan dlm vinaya oleh Bro char101 kan dilarang membabarkan dhamma jika pendengarnya memegang senjata. Jika mereka mengerti dan lalu melepaskan senjata tsb, ya tentu 1 syarat yang mengondisikan aturan vinaya sebelumnya sudah tidak ada dan dengan demikian aturan vinaya terkait pelarangan itu sendiri sudah tidak berlaku kan? Vinaya itu benda mati, tapi bhikkhu itu benda hidup. Dan dalam catu-pratisarana-sutra sendiri dikatakan:
"Empat ketergantungan: yaitu, ketergantungan pada Dhamma tidak (hanya) bergantung pada orang; ketergantungan pada makna tidak (hanya) mengandalkan pada ungkapan; ketergantungan pada sutta yang artinya sudah ditarik keluar tidak (hanya) [eksplisit] bergantung pada sutta-sutta yang artinya masih harus ditarik keluar (ditafsirkan) [implisit]; ketergantungan pada pengetahuan yang lebih tinggi tidak (hanya) mengandalkan pada (intelektual) diskriminasi."

Quote from: tesla on 15 November 2009, 11:34:52 AM
maaf, saya rasa pendapat ini agak berat sebelah pada salah satu tradisi :)
tradisi lain menurut saya juga tidak lebih buruk dr tradisi sesepuh (hehe)...

Peace...
Ilustrasinya kalau saya katakan gajah afrika lebih besar dari gajah asia apakah itu berat sebelah? Ada beberapa hal yg kenyataan, ada beberapa hal yg dikaburkan pikiran oleh karena penilaian memihak. Mengetahui dan membedakan ke-2nya adl hal yg mutlak perlu. Saya hanya berbicara dari segi upaya preservasi kemurnian vinaya saja, terlepas dr fakta adanya pelanggaran vinaya dlm bbrp sekolah tradisi sesepuh tsb. Dan sebaliknya, kabar menggembirakan mengenai adanya usaha dr bbrp sekolah utk meluruskan kembali vinaya dlm tradisi sesepuh tsb. Berbeda lagi dengan tradisi saur sepuh, yg semakin hari semakin banyak ditemukan modifikasi atas vinaya. Silakan diamati secara objektif.

mettacittena
_/\_
appamadena sampadetha

tesla

Quote from: The Ronald on 15 November 2009, 01:59:53 PM
jd menurutbro tesla, bagaimana melatih "rendah hati" dan bagaimana bersikap "rendah hati" ?
bagaimana mengetahui, ini rendah hati, dan ini bukan rendah hati...
ataukah hanya dalam pikiran?
imo, berhenti membanding2kan mana yg lebih tinggi/rendah/sama dalam konteks status.
Lepaskan keserakahan akan kesenangan. Lihatlah bahwa melepaskan dunia adalah kedamaian. Tidak ada sesuatu pun yang perlu kau raup, dan tidak ada satu pun yang perlu kau dorong pergi. ~ Buddha ~

tesla

#52
Quote from: Jerry on 15 November 2009, 04:29:34 PM
Harap ingat ajaran Sang Buddha dikenal jg sbg majjhima-patipada, ajaran jalan tengah, yg mengajarkan agar pengikutnya mengembangkan sikap proporsional yg menjembatani antara upaya pengejaran kebenaran hakiki dengan pengembangan nilai2 moral dan etika dlm masyarakat. Sikap berusaha dan berpikir utk menjadi rendah hati adl sikap yg baik dan bermanfaat utk dikembangkan, apakah itu rendah hati sesungguhnya atau tidak, tak masalah.
setuju, jika memang tujuannya adalah agar lebih diterima dalam kehidupan sosial... :|

Quote
pertanyaan saya sebelumnya simple dan cukup dijawab saja secara langsung.
saya telah menjawab berdasarkan motif anda bertanya.
jika ingin lebih diterima, maka yg dalam dhamma desana bicarakan saja apa yg ingin didengar orang2, seperti penyelamatan instan :) cukup percaya, maka beres... cukup bakar namamu di secarik kertas udah terdaftar di surga... ;D
itu solusi yg lebih baik jika motifnya memang ingin lebih diterima.

solusi itu tentu tidak berlaku utk dhamma sbg ajaran kebenaran.
sejak semula memang kita diundang utk melihat fakta, walaupun itu tidak menyenangkan.
tentang dukkha dan berakhirnya dukkha... ini yg diajarkan Sang Buddha.

Quote
Ilustrasinya kalau saya katakan gajah afrika lebih besar dari gajah asia apakah itu berat sebelah? Ada beberapa hal yg kenyataan, ada beberapa hal yg dikaburkan pikiran oleh karena penilaian memihak. Mengetahui dan membedakan ke-2nya adl hal yg mutlak perlu.
tidak memihak/memihak itupun suatu subjektivitas.
bagi umat yg di tradisi seberang, mereka dapat melihat kebijaksanaan senior mereka dalam dhamma yg tidak terlihat dari tradisi ini. demikian juga sebaliknya :)

Lepaskan keserakahan akan kesenangan. Lihatlah bahwa melepaskan dunia adalah kedamaian. Tidak ada sesuatu pun yang perlu kau raup, dan tidak ada satu pun yang perlu kau dorong pergi. ~ Buddha ~

Jerry

Quote from: tesla on 15 November 2009, 05:05:48 PM
setuju, jika memang tujuannya adalah agar lebih diterima dalam kehidupan sosial... :|
Inilah ajaran utk menuju vijjacaranasampanno.. Bukan sekedar sempurna dalam pengetahuan mengabaikan tindak-tanduk atau sebaliknya sempurna dalam tindak-tanduk saja mengabaikan pengetahuan. Dhamma sbg sarana penyempurnaan vijja dan vinaya sbg sarana penyempurnaan cara. ;)

Quote
saya telah menjawab berdasarkan motif anda bertanya.
jika ingin lebih diterima, maka yg dalam dhamma desana bicarakan saja apa yg ingin didengar orang2, seperti penyelamatan instan :) cukup percaya, maka beres... cukup bakar namamu di secarik kertas udah terdaftar di surga... ;D
itu solusi yg lebih baik jika motifnya memang ingin lebih diterima.

solusi itu tentu tidak berlaku utk dhamma sbg ajaran kebenaran.
sejak semula memang kita diundang utk melihat fakta, walaupun itu tidak menyenangkan.
tentang dukkha dan berakhirnya dukkha... ini yg diajarkan Sang Buddha.
Begitu? Tapi IMO tidak mengena pada point yg saya tanyakan? Semoga Bro Tesla hanya menjawab sesuai konteks yg saya tanyakan saja, yaitu kerendahan hati dan kaitannya dengan dhamma-vinaya tok. Saya ulangi bertanya, bagaimana menurut Bro Tesla? Jika ada 2 orang, yg 1 berdhammadesana pd orang dan kesehariannya beliau adalah org yg rendah hati. Sedangkan yg 1 lagi berdhammadesana juga tetapi kesehariannya beliau adl orang yg tinggi hati. Kira2 dhamma mana yg dpt lebih diterima oleh pendengar? Yg pertama atau kedua?
Dan contoh lainnya saya modifikasi agar dapat lebih dipahami, sesuai yg kita bahas: kerendahan hati dan kaitan dengan dhamma-vinaya. Ada 2 kelompok bhikkhu pemula, kelompok yg 1 bersikap rendah hati saat mendengar dhammadesana dan duduk teratur dalam posisi lebih rendah sesuai vinaya, sedangkan kelompok 2 saat mendengar dhammadesana, dengan alasan sang guru-lah yg perlu melatih kerendahan hati saat berdhammadesana merasa tidak perlu duduk dalam posisi lebih rendah, jadi mereka memosisikan diri dalam posisi semau-gue, ada yg berdiri sambil menyilangkan tangan, ada yg berkacak pinggang, ada yg berlutut, ada yg berbaring ditopang 1 tangan, ada yg jongkok, ada yg bersandar di dinding dan tentu ada yg duduk dlm posisi lebih tinggi. Menurut Bro Tesla, secara rata-ratanya, manakah yg akan lebih mengondisikan dalam penyerapan ajaran sang guru secara lebih baik?

Tentang quote "Hanya ini yg diajarkan oleh Sang Buddha: awal dukkha dan lenyapnya dukkha". Saya tidak dapat lebih setuju lagi, memang jika disarikan secara singkat itulah inti ajaran Sang Buddha. Bagaimana menurut Bro Tesla? Adakah Sang Buddha dalam mengajarkan awal dan lenyapnya dukkha ini selalu mengajarkan dhamma dengan mengabaikan kondisi pendengar dan tidak menghiraukan aturan norma yg berlaku?

Quote
tidak memihak/memihak itupun suatu subjektivitas.
bagi umat yg di tradisi seberang, mereka dapat melihat kebijaksanaan senior mereka dalam dhamma yg tidak terlihat dari tradisi ini. demikian juga sebaliknya :)
Saya hanya bisa menyarankan [meski saya mungkin tidak berhak utk itu] untuk tidak memukul rata, menihilkan dan bersikap idealis. Utk yg underline, lagi saya ingatkan, saya bicara soal vinaya dan modifikasi thdp vinaya antara tradisi sesepuh dan tradisi saur sepuh. Itu saja, tidak lebih.

Mettacittena
_/\_
appamadena sampadetha

The Ronald

Quote from: tesla on 15 November 2009, 04:43:52 PM
Quote from: The Ronald on 15 November 2009, 01:59:53 PM
jd menurutbro tesla, bagaimana melatih "rendah hati" dan bagaimana bersikap "rendah hati" ?
bagaimana mengetahui, ini rendah hati, dan ini bukan rendah hati...
ataukah hanya dalam pikiran?
imo, berhenti membanding2kan mana yg lebih tinggi/rendah/sama dalam konteks status.

berarti cuma pikiran?? dalam bersikap gimana?

apakah menurut anda, tak ada yg patut di hormati, karena sebenarnya kita semua tidak lebih tinggi, tidak lebih rendah, dan tidak juga sama?
...

K.K.

Quote from: tesla on 14 November 2009, 05:48:25 PM
sudah saya ilustrasikan sebelumnya, bahwa dosen yg mengajar dapat berada di posisi paling dasar, sedangkan mahasiswa yg mendengar dapat berada diposisi lebih tinggi duduk berjenjang seperti susunan anak tangga. siapa yg berpikir "aku lebih rendah", "aku lebih tinggi", atau "aku sama tinggi/rendah", disitulah ego. dan ketika itulah dhamma tidak didengarkan dg baik. sebaliknya jika tidak ada ego, maka perihal aku lebih tinggi/rendah tidak akan dipersoalkan.
dalam arsitektur tempat classic, memang selalu pembicara berada di posisi lebih tinggi. mis: upacara agama, pidato, konser, dll.
dalamm arsitektur yg lebih pintar, pusat acara akan berada di tengah dan berada di posisi paling rendah, sedangkan penonton/pendengar berada di posisi lebih tinggi berbentuk seperti susunan anak tangga. mis: kelas pendidikan tertentu, bioskop, stadion sepak bola.

saya dapat membayangkan akan lebih mudah didengar dan dilihat, seorang bhante yg berceramah dalam arsitektur kedua.
dan saya membayangkan akan sangat susah sekali melihat pertandingan sepakbola dari arsitektur pertama :)

Oh, kalau hal itu, saya rasa hanya masalah tradisi yang berlaku di tempat tertentu saja. Sama seperti menunjukkan bahu kanan saja, mengapa bukan bahu kiri? Apakah dhamma mengajarkan diskriminasi orang kidal atau memupuk ego orang tidak kidal? Kembali lagi, menurut saya, itu bukanlah sesuatu yang harus mati-matian dipertahankan. Ingat kisah Buddha mengajar Uggasena si pemain sirkus yang naik galah jauh lebih tinggi di atas? Itu sudah contoh nyata bahwa dhamma dihormati atau tidak, bukan tergantung pada posisi pembabar atau pendengar.

Walaupun kita mengerti demikian, ada baiknya juga kita menghargai suatu tradisi atau kebiasaan. Seperti saya pernah tulis mengenai orang bersin yang "diberkati" panjang umur, Buddha pun memberikan izin bagi bhikkhu membalas "berkat" itu, dengan catatan, terlebih dahulu ia harus punya pandangan benar tentang "bersin" dan "berkat" itu sendiri.


tesla

Quote from: Jerry on 15 November 2009, 06:26:51 PM
Begitu? Tapi IMO tidak mengena pada point yg saya tanyakan? Semoga Bro Tesla hanya menjawab sesuai konteks yg saya tanyakan saja, yaitu kerendahan hati dan kaitannya dengan dhamma-vinaya tok. Saya ulangi bertanya, bagaimana menurut Bro Tesla? Jika ada 2 orang, yg 1 berdhammadesana pd orang dan kesehariannya beliau adalah org yg rendah hati. Sedangkan yg 1 lagi berdhammadesana juga tetapi kesehariannya beliau adl orang yg tinggi hati.
rendah hati menurut siapa? tinggi hati menurut siapa?
kalau sebagai pendengar kita menilai pembicaranya rendah hati tentu saja kita akan lebih mendengarkannya. namun kembali lagi itu semua pun hanya penilaian kita bahwa "dia rendah hati".

Quote
Dan contoh lainnya saya modifikasi agar dapat lebih dipahami, sesuai yg kita bahas: kerendahan hati dan kaitan dengan dhamma-vinaya. Ada 2 kelompok bhikkhu pemula, kelompok yg 1 bersikap rendah hati saat mendengar dhammadesana dan duduk teratur dalam posisi lebih rendah sesuai vinaya, sedangkan kelompok 2 saat mendengar dhammadesana, dengan alasan sang guru-lah yg perlu melatih kerendahan hati saat berdhammadesana merasa tidak perlu duduk dalam posisi lebih rendah, jadi mereka memosisikan diri dalam posisi semau-gue, ada yg berdiri sambil menyilangkan tangan, ada yg berkacak pinggang, ada yg berlutut, ada yg berbaring ditopang 1 tangan, ada yg jongkok, ada yg bersandar di dinding dan tentu ada yg duduk dlm posisi lebih tinggi. Menurut Bro Tesla, secara rata-ratanya, manakah yg akan lebih mengondisikan dalam penyerapan ajaran sang guru secara lebih baik?
sebelum terlalu jauh, sebaliknya balik lagi... hanya masalah ketinggian posisi duduk.
apakah posisi duduk menandakan tinggi/rendah hati seseorang?
dapatkah terlihat ini hanya sebuah subjektivifas?

Quote
Tentang quote "Hanya ini yg diajarkan oleh Sang Buddha: awal dukkha dan lenyapnya dukkha". Saya tidak dapat lebih setuju lagi, memang jika disarikan secara singkat itulah inti ajaran Sang Buddha. Bagaimana menurut Bro Tesla? Adakah Sang Buddha dalam mengajarkan awal dan lenyapnya dukkha ini selalu mengajarkan dhamma dengan mengabaikan kondisi pendengar dan tidak menghiraukan aturan norma yg berlaku?
psssst... tadi keknya saya ga pake kata "hanya"...

Quote
Saya hanya bisa menyarankan [meski saya mungkin tidak berhak utk itu] untuk tidak memukul rata, menihilkan dan bersikap idealis. Utk yg underline, lagi saya ingatkan, saya bicara soal vinaya dan modifikasi thdp vinaya antara tradisi sesepuh dan tradisi saur sepuh. Itu saja, tidak lebih.
yah saya pun bicara soal vinaya & perubahan pada vinaya,
bagi saya, dalam bahasa sehari2, mempertahankan vinaya "tidak lebih baik" dari memodifikasinya.

Mettacittena
Lepaskan keserakahan akan kesenangan. Lihatlah bahwa melepaskan dunia adalah kedamaian. Tidak ada sesuatu pun yang perlu kau raup, dan tidak ada satu pun yang perlu kau dorong pergi. ~ Buddha ~

tesla

Quote from: The Ronald on 15 November 2009, 06:35:20 PM
berarti cuma pikiran?? dalam bersikap gimana?
kalau pikiran sudah tidak membanding2kan/membeda2kan orang/individu lain. sikapnya juga otomatis akan selaras & tidak ada konflik dg orang/individu lain.

Quote
apakah menurut anda, tak ada yg patut di hormati, karena sebenarnya kita semua tidak lebih tinggi, tidak lebih rendah, dan tidak juga sama?
ketika berpikir ada yg patut dihormati, artinya ada jg yg tidak patut dihormati.
menurut saya pikiran demikian justru menghasilkan perpecahan saja.
makanya sejak semula saya bertanya,
"untuk apa" kita menghormati?
apa tujuan anda menghormati seseorang?
apa motifnya?
Lepaskan keserakahan akan kesenangan. Lihatlah bahwa melepaskan dunia adalah kedamaian. Tidak ada sesuatu pun yang perlu kau raup, dan tidak ada satu pun yang perlu kau dorong pergi. ~ Buddha ~

tesla

Quote from: Kainyn_Kutho on 16 November 2009, 10:06:07 AM
Walaupun kita mengerti demikian, ada baiknya juga kita menghargai suatu tradisi atau kebiasaan. Seperti saya pernah tulis mengenai orang bersin yang "diberkati" panjang umur, Buddha pun memberikan izin bagi bhikkhu membalas "berkat" itu, dengan catatan, terlebih dahulu ia harus punya pandangan benar tentang "bersin" dan "berkat" itu sendiri.
setuju...
disini saya hanya memberi suatu opini agar memandang posisi duduk sebagai suatu yg netral.
bukan agar besok sangha duduk di bawah saja :)
Lepaskan keserakahan akan kesenangan. Lihatlah bahwa melepaskan dunia adalah kedamaian. Tidak ada sesuatu pun yang perlu kau raup, dan tidak ada satu pun yang perlu kau dorong pergi. ~ Buddha ~

Jerry

Quote from: tesla on 16 November 2009, 11:43:25 AM
rendah hati menurut siapa? tinggi hati menurut siapa?
kalau sebagai pendengar kita menilai pembicaranya rendah hati tentu saja kita akan lebih mendengarkannya. namun kembali lagi itu semua pun hanya penilaian kita bahwa "dia rendah hati".
ngga masalah, percaya saja pada penilaian hati nurani kita. :D

Quote
sebelum terlalu jauh, sebaliknya balik lagi... hanya masalah ketinggian posisi duduk.
apakah posisi duduk menandakan tinggi/rendah hati seseorang?
dapatkah terlihat ini hanya sebuah subjektivifas?
Ketinggian tempat duduk mungkin tidak, tapi posisi duduk bisa saja menentukan tinggi/rendah hatinya seseorang. Subjektif pun gpp sepanjang itu hal yg baik, benar dan bermanfaat, memang Sang Buddha mengajarkan kita utk bersikap subjektif koq. ;) Sikap objektif dalam tataran puthujjana hanya sebuah angan2 belaka.

Quote
psssst... tadi keknya saya ga pake kata "hanya"...
Ok, nevermind. :)

Quote
yah saya pun bicara soal vinaya & perubahan pada vinaya,
bagi saya, dalam bahasa sehari2, mempertahankan vinaya "tidak lebih baik" dari memodifikasinya.

Mettacittena
Saya pikir mempertahankan lebih baik. :)

Mettacittena

appamadena sampadetha