comotan dari blog tetangga

Started by bond, 27 July 2009, 11:11:16 AM

Previous topic - Next topic

0 Members and 1 Guest are viewing this topic.

ryu

Yang pasti dalam pandangan MMD yang anti MMD itu cuma bisa teori, tidak pernah praktek, dan apabila praktek maka prakteknya pasti salah karena MMD pasti benar kakakakakak
Janganlah memperhatikan kesalahan dan hal-hal yang telah atau belum dikerjakan oleh diri sendiri. Tetapi, perhatikanlah apa yang telah dikerjakan dan apa yang belum dikerjakan oleh orang lain =))

morpheus

Quote from: marcedes on 20 August 2009, 10:48:49 PM
seperti nya bro Morp  pro MMD yah?
saya tidak mempunyai afiliasi apapun dengan mmd maupun pak hudoyo.
saya hanyalah pembaca, sama seperti anda.

kalo anda mempunyai pertanyaan untuk saya, akan saya jawab sesuai pengertian pribadi saya.

Quote from: marcedes on 20 August 2009, 10:48:49 PM
hmm. kalau begitu saya titip pertanyaan yang belum sempat dijawab sama PH..
dalam latihan tentu kita ingin kebijaksanaan kita meningkat bukan....
nah pada saat dikatakan PH mengenai ELING, ketika seseorang anak kecil saja bertanya pada anda....

manakah lebih baik menjadi anak rajin atau anak nakal?
silahkan dijawab sendiri....

ketika kita mau menjawab anak rajin, disitu kata PH batin kita telah melabeli....sebuah konsep...
dimana aku berada pada objek kemudian membedakan objek..!!!
jadi kata PH ini adalah "aku" yang muncul yang merupakan penyebab penderitaan....
kalau saya renungkan justru seperti nya ada yang salah...

wong masa tidak bisa membedakan hal ini saja mana baik mana buruk....kemudian saya merujuk bertanya
"mengapa SangBuddha masih kadang memberikan nasehat ini baik ini buruk"
PH menjawab bahwa, "batin seorang Sammasambuddha tentu tidak dapat ditebak....dan lagi Tipitaka itu sudah diragukan kebenarannya."

kemudian saya bertanya bahwa "lalu darimana hasil latihan yang selalu merujuk bahiya dan malupariya-sutta? bukankah itu dari Tipitaka?"
PH kemudian tidak pernah OL lagi dan memberikan jawaban....

bisakah saudara morp membantu jawab terutama masalah anak nakal anak rajin....
saya kurang yakin mengerti pertanyaan anda, om marce...
sepertinya anda menanyakan mengenai perlunya mengenali baik buruk ya?

saya akan menjawabnya dalam konteks meditasi.

idealnya memang dalam meditasi, kita tidak berusaha untuk menjadi apapun. kita tidak perlu berusaha untuk menjadi tenang, tidak perlu berusaha untuk berkelahi dengan lobha dosa moha, tidak perlu berusaha untuk menjadi suci, menjadi baik. hanya mengamati. mengapa? seperti yg sudah2, coba sendiri dalam praktik anda. cobalah bermeditasi dengan paradigma akumulasi (pengen ini, pengen itu, mengumpulkan ini itu) dan coba juga bermeditasi melepas (gak ada target, gak ada usaha mencapai ini itu).

ini sebenernya erat hubungannya dengan pengertian dukkha itu sendiri. dukkha itu adalah konflik antara keinginan dan realita, konflik antara keinginan dan saat ini (present). simplenya, kalo realitanya gaji anda 10jt dan anda merasa kurang dan pengen 15jt, itulah dukkha. kalo saat ini udara 31 derajad celcius dan anda mendambakan sejuk 25 derajad, anda dalam dukkha.

tapi kalo anda berdamai dengan saat ini (present), berada hanya di saat ini, berhenti maka anda tidak dukkha.

berhenti di sini bukanlah pengekangan, bukan memaksakan diri anda menurut satu ideal. berhenti di sini terjadi dengan sendirinya, seperti yg dijelaskan ajahn chah dan juga jelas terlihat dalam kotbah bhante pannavaro. saat kita memaksakan diri ke satu ideal, berarti kita sudah berada di masa depan, tidak lagi berada di saat ini. berada di masa depan berarti berada dalam dukkha.

kembali ke anak nakal dan rajin, semuanya tidak relevan dalam konteks meditasi.
kalo anda lihat ke dalam, "aku harus jadi rajin, lebih rajin", keliatan ada konflik kan?

sekali lagi ini konteks meditasi, arahnya ke dalam.
pada orang yg over dosis, pelajaran spiritual ke dalam dipake untuk ke luar, menasehati orang lain, nggosip, ngalor ngidul, berandai2...
* I'm trying to free your mind, Neo. But I can only show you the door. You're the one that has to walk through it
* Neo, sooner or later you're going to realize just as I did that there's a difference between knowing the path and walking the path

ryu

CHACHAKKA SUTTA

(Sumber : Kumpulan Sutta Majjhima Nikaya I,
Oleh : Tim Penerjemah Tripitaka,
Penerbit : Yayasan Pancaran Dharma, Jakarta, 1992)

1. Demikian telah saya dengar:
Pada suatu saat Sang Bhagava berdiam di Savatthi di Hutan Jeta, Taman Anathapindika. Di sana beliau berkhotbah kepada para bhikkhu demikian "Para Bhikkhu."
"Bhante," para bhikkhu menjawab. Sang Bhagava lalu berkata demikian:

2. "Para Bhikkhu, Aku akan menerangkan Dhamma yang baik pada awalnya, baik pada pertengahan dan baik pada akhirnya, dengan arti dan ungkapan yang benar, dan Aku akan memberitahukan kehidupan brahma1) yang sangat sempurna dan murni, yang disebut Chachakka. Dengar dan perhatikan baik-baik apa yang akan Aku katakan."
"Baiklah, Bhante," para bhikkhu menjawab. Sang Bhagava berkata demikian:

(Ringkasan)

3. (i-vi) "Enam landasan di dalam diri seorang dapat dimengerti. Enam landasan luar dapat dimengerti. Enam kelompok kesadaran dapat dimengerti. Enam kelompok kontak dapat dimengerti. Enam kelompok perasaan dapat dimengerti. Enam kelompok keinginan dapat dimengerti.

(A. Uraian)

4. (i)1-6. 'Enam landasan di dalam diri seseorang dapat dimengerti,' demikian dikatakan. Lalu dengan dasar apa hal ini dikatakan? Enam landasan itu adalah mata, telinga, hidung, lidah, badan, pikiran. Maka berdasarkan hal-hal tersebut dapat dikatakan: 'Enam landasan di dalam diri seseorang dapat dimengerti.' Ini adalah enam yang pertama.

5. (ii) 1-6. 'Enam landasan luar dapat dimengerti,' demikian dikatakan. Lalu dengan dasar apa hal ini dikatakan? Enam landasan itu adalah bentuk, suara, bebauan, rasa, wujud, dhamma. Maka, berdasarkan hal-hal tersebut dapat dikatakan: 'Enam landasan luar dapat dimengerti.' Ini adalah enam yang kedua.

6. (iii) 1-6. 'Enam kelompok kesadaran dapat dimengerti,' demikian dikatakan. Lalu dengan dasar apa hal ini dikatakan? Tergantung pada penglihatan dan kesadaran akan bentuk-bentuk penglihatan timbul, tergantung pada pendengaran dan kesadaran akan suara-suara timbul, tergantung pada penciuman dan kesadaran akan bebauan timbul, tergantung pada pencerapan dan kesadaran akan rasa-rasa timbul, tergantung pada tubuh dan kesadaran akan wujud-wujud tubuh timbul, tergantung pada pikiran dan kesadaran akan dhamma-dhamma pikiran timbul. Maka dengan dasar-dasar tersebut dapat dikatakan: 'Enam kelompok kesadaran dapat dimengerti.' Ini adalah enam yang ketiga.

7. (iv) 1-6. 'Enam kelompok kontak dapat dimengerti,' demikian dikatakan. Lalu dengan dasar apa hal ini dikatakan? Tergantung pada penglihatan dan kesadaran akan bentuk-bentuk penglihatan muncul, kesamaan dari ketiganya adalah kontak; tergantung pada pendengaran dan kesadaran akan suara-suara timbul, kesamaan dari ketiganya adalah kontak; tergantung pada penciuman dan kesadaran akan bebauan timbul, kesamaan dari ketiganya adalah kontak; tergantung pada pencerapan dan kesadaran akan rasa-rasa timbul, kesamaan dari ketiganya adalah kontak; tergantung pada badan dan kesadaran akan wujud-wujud tubuh timbul, kesamaan dari ketiganya adalah kontak; tergantung pada pikiran dan kesadaran akan dhamma-dhamma pikiran timbul, kesamaan dari ketiganya adalah kontak. Maka dengan dasar tersebut dapat dikatakan: 'Enam kelompok kontak dapat dimengerti.' Ini adalah enam yang keempat.

8. (v) 1-6.'Enam kelompok perasaan dapat dimengerti,' demikian dikatakan. Lalu dengan dasar apa hal ini dikatakan? Tergantung pada penglihatan dan kesadaran akan bentuk-bentuk penglihatan timbul, kesamaan dari ketiganya adalah kontak, dengan kontak seperti keadaan maka ada perasaan; tergantung pada pendengaran dan kesadaran akan suara-suara timbul, kesamaan dari ketiganya adalah kontak; dengan kontak seperti keadaan maka ada perasaan; tergantung pada penciuman dan kesadaran akan bebauan timbul, kesamaan dari ketiganya adalah kontak, dengan kontak seperti keadaan maka ada perasaan; tergantung pada pencerapan dan kesadaran akan rasa-rasa timbul, kesamaan dari ketiganya adalah kontak, dengan kontak seperti keadaan maka ada perasaan; tergantung pada tubuh dan kesadaran akan wujud-wujud badan timbul, kesamaan dari ketiganya adalah kontak, dengan kontak seperti keadaan maka ada perasaan. Maka dengan dasar-dasar tersebut dapat dikatakan: 'Enam kelompok perasaan dapat dimengerti.' Ini adalah enam yang kelima.

9. (vi) 1-6. 'Enam kelompok perasaan dapat dimengerti,' demikian dikatakan. Lalu dengan dasar apa hal ini dikatakan? Tergantung pada penglihatan dan kesadaran akan bentuk-bentuk penglihatan timbul, kesamaan dari ketiganya adalah kontak, dengan kontak seperti keadaan maka ada perasaan, dengan perasaan seperti keadaan maka ada keinginan; tergantung pada pendengaran dan kesadaran akan suara-suara timbul, kesamaan dari ketiganya adalah kontak; dengan kontak seperti keadaan maka ada perasaan, dengan perasaan seperti keadaan maka ada keinginan; tergantung pada penciuman dan kesadaran akan bebauan timbul, kesamaan dari ketiganya adalah kontak, dengan kontak seperti keadaan maka ada perasaan, dengan perasaan seperti keadaan maka ada keinginan; tergantung pada pencerapan dan kesadaran akan rasa-rasa timbul, kesamaan dari ketiganya adalah kontak, dengan kontak seperti keadaan maka ada perasaan, dengan perasaan seperti keadaan maka ada keinginan; tergantung pada tubuh dan kesadaran akan wujud-wujud tubuh timbul, kesamaan dari ketiganya adalah kontak, dengan kontak seperti keadaan maka ada perasaan, dengan perasaan seperti keadaan maka ada keinginan; tergantung pada pikiran dan kesadaran akan dhamma-dhamma pikiran timbul, kesamaan dari ketiganya adalah kontak, dengan kontak seperti keadaan maka ada perasaan, dengan perasaan seperti keadaan maka ada keinginan. Maka dengan dasar-dasar tersebut dapat dikatakan: 'Enam kelompok kesadaran dapat dimengerti.' Ini adalah enam yang keenam.

(B. Tanpa Aku)

10.1. (i). 'Jika seseorang berkata bahwa penglihatan adalah aku sendiri, hal itu tidak dapat dipertahankan. Naik dan turunnya penglihatan adalah jelas2). Sekarang karena naik dan turunnya jelas, maka dia mengikuti dirinya sendiri naik dan turun. Oleh karena itu, jika seseorang berkata bahwa penglihatan adalah aku sendiri, hal itu tidak dapat dipertahankan.

(ii). 'Jika seseorang berkata bahwa bentuk-bentuk adalah aku sendiri, hal itu tidak dapat dipertahankan ...'

(iii). 'Jika seseorang berkata bahwa kesadaran penglihatan adalah aku sendiri, hal itu tidak dapat dipertahankan ... '

(iv). 'Jika seseorang berkata bahwa kontak penglihatan adalah aku sendiri, hal itu tidak dapat dipertahankan ... '

(v). 'Jika seseorang berkata bahwa perasaan adalah aku sendiri, hal itu tidak dapat dipertahankan ...'

(vi). 'Jika seseorang berkata bahwa keinginan adalah aku sendiri, hal itu tidak dapat dipertahankan ...'

11.2. (i). 'Jika seseorang berkata bahwa pendengaran adalah aku sendiri, hal itu tidak dapat dipertahankan ...'

(ii). '... suara-suara adalah aku sendiri ...

(iii). '... kesadaran akan suara adalah aku sendiri ...

(iv). '... kontak pendengaran adalah aku sendiri ...

(v). '... perasaan adalah aku sendiri ...

(vi). '... keinginan adalah aku sendiri ... tidak dapat dipertahankan.

12.3. (i). 'Jika seseorang berkata bahwa penciuman adalah aku sendiri, hal itu tidak dapat dipertahankan ...

(ii). '... bebauan adalah aku sendiri ...

(iii). '... kesadaran penciuman adalah aku sendiri ...

(iv). '... kontak penciuman adalah aku sendiri ...

(v). '... perasaan adalah aku sendiri ...

(vi). '... keinginan adalah aku sendiri ... tidak dapat dipertahankan.

13.4. (i). 'Jika seseorang berkata bahwa pencerapan adalah aku sendiri, hal itu tidak dapat dipertahankan ...

(ii). '... rasa-rasa adalah aku sendiri ...

(iii). '... kesadaran akan pencerapan adalah aku sendiri ...

(iv). '... kontak pencerapan adalah aku sendiri ...

(v). '... perasaan adalah aku sendiri ...

(vi). '... keinginan adalah aku sendiri ... tidak dapat dipertahankan.

14.5. (i) 'Jika seseorang berkata bahwa badan adalah aku sendiri, ... hal itu tidak dapat dipertahankan ...

(ii). '... bentuk-bentuk adalah aku sendiri ...

(iii). '... kesadaran akan tubuh adalah aku sendiri ...

(iv). '... kontak badan adalah aku sendiri ...

(v). '... perasaan adalah aku sendiri ...

(vi). '... keinginan adalah aku sendiri ... tidak dapat dipertahankan.

15.6. (i). 'Jika seseorang berkata bahwa pikiran adalah aku sendiri, hal itu tidak dapat dipertahankan. Sekarang sejak naik dan turunnya adalah suatu hal yang jelas mengikuti naik dan turunnya itu sendiri. Oleh karena itu, jika seseorang berkata bahwa pikiran adalah aku sendiri, itu tidak dapat dipertahankan.'

(ii). '... dhamma-dhamma adalah aku sendiri ...

(iii). '... kesadaran akan pikiran adalah aku sendiri ...

(iv). '... kontak pikiran adalah aku sendiri ...

(v). '... perasaan adalah aku sendiri ...

(vi). '... keinginan adalah aku sendiri ... tidak dapat dipertahankan.

(C. Asal Mula Penjelmaan)

16. Sekarang para bhikkhu, jalan yang menuntun kemunculan dari penjelmaan adalah demikian:

17.1. (i-vi). Seseorang melihat mata sebagai 'Ini adalah milikku, ini adalah aku, ini adalah diriku.'
Dia melihat bentuk-bentuk sebagai 'Ini adalah milikku, ini adalah aku, ini adalah diriku.'
Dia melihat kesadaran akan penglihatan sebagai 'Ini adalah milikku, ini adalah aku, ini adalah diriku.'
Dia melihat kontak mata sebagai 'Ini adalah milikku, ini adalah aku, ini adalah diriku.'
Dia memandang perasaan sebagai 'Ini adalah milikku, ini adalah aku, ini adalah diriku.'
Dia melihat keinginan sebagai 'Ini adalah milikku, ini adalah aku, ini adalah diriku.'

18.2. (i-vi). Seseorang memandang telinga sebagai 'Ini adalah milikku ...

19.3. (i-vi). Seseorang memandang hidung sebagai 'Ini adalah milikku ...

20.4. (i-vi). Seseorang memandang lidah sebagai 'Ini adalah milikku ...

21.5. (i-vi). Seseorang memandang tubuh sebagai 'Ini adalah milikku ...

22.6. (i-vi). Seseorang memandang pikiran sebagai 'Ini adalah milikku, ini adalah aku, ini adalah diriku.'
Dia memandang dhamma-dhamma sebagai 'Ini adalah milikku, ini adalah aku, ini adalah diriku.'
Dia memandang kesadaran akan pikiran sebagai 'Ini adalah milikku, ini adalah aku, ini adalah diriku.'
Dia memandang kontak pikiran sebagai 'Ini adalah milikku, ini adalah aku, ini adalah diriku.'
Dia memandang perasaan sebagai 'Ini adalah milikku, ini adalah aku, ini adalah diriku.'
Dia memandang keinginan sebagai 'Ini adalah milikku, ini adalah aku, ini adalah diriku.'

(D. Terhentinya Penjelmaan)

23. Sekarang para bhikkhu, jalan yang menuntun ke pembebasan penjelmaan adalah sebagai berikut:

24.1. (i-vi). Seseorang memandang mata sebagai 'Ini bukan milikku, ini bukan aku, ini bukan diriku.'
Dia memandang bentuk-bentuk sebagai 'Ini bukan milikku, ini bukan aku, ini bukan diriku.'
Dia memandang kesadaran akan penglihatan sebagai 'Ini bukan milikku, ini bukan aku, ini bukan diriku.'
Dia memandang kontak penglihatan sebagai 'Ini bukan milikku, ini bukan aku, ini bukan diriku.'
Dia memandang perasaan sebagai 'Ini bukan milikku, ini bukan aku, ini bukan diriku.'
Dia memandang keinginan sebagai 'Ini bukan milikku, ini bukan aku, ini bukan diriku.'

25.2. (i-vi). Seseorang memandang kuping sebagai 'Ini bukan milikku ...'

26.3. (i-vi). Seseorang memandang hidung sebagai 'Ini bukan milikku ...'

27.4. (i-vi). Seseorang memandang lidah sebagai 'Ini bukan milikku ...'

28.5. (i-vi). Seseorang memandang tubuh sebagai 'Ini bukan milikku ...'

29.6. (i-vi). Seseorang memandang pikiran sebagai 'Ini bukan milikku ...'

(E. Kecenderungan Pokok)

30.1.(i-vi). Para bhikkhu, timbulnya kesadaran akan penglihatan tergantung pada mata dan bentuk-bentuk, kesamaan dari ketiganya adalah kontak, dengan kontak seperti keadaan timbul yang dirasakan sebagai menyenangkan atau menyakitkan atau tidak menyakitkan maupun tidak menyenangkan. Ketika seseorang dalam perasaan senang, dia menyukainya, dia menyatakan dan menerimanya, kemudian kecenderungan pokok mendasarinya. Ketika seseorang dalam perasaan sedih, dia bersedih pilu dan meratap, memukul dadanya meneteskan air mata dan menjadi kusut pikirannya, kemudian kecenderungan pokok bertahan untuk mendasarinya. Ketika seseorang tidak dalam perasaan yang menyakitkan maupun yang menyenangkan, dia tidak mengerti sebagaimana adanya, awal dan akhir dari perasaan itu, atau kepuasan, bahaya dan pelarian (dalam setiap kasus), kemudian kecenderungan pokok mengabaikan untuk mendasari. Selanjutnya, para bhikkhu, dia akan mengakhiri penderitaan tanpa meninggalkan kecenderungan pokok untuk bertahan pada perasaan menyenangkan, tanpa menghapus kecenderungan pokok bertahan untuk perasaan yang menyakitkan, tanpa menghapus kecenderungan pokok mengabaikan baik perasaan yang menyakitkan maupun yang menyenangkan, tanpa menghentikan ketakpedulian atau memiliki pengetahuan benar - ini tidak mungkin.

31.2. (i-vi). Kesadaran pendengaran timbul tergantung ...

32.3. (i-vi). Kesadaran penciuman timbul tergantung ...

33.4. (i-vi). Kesadaran pencerapan timbul tergantung ...

34.5. (i-vi). Kesadaran badan timbul tergantung ...

35.6. (i-vi). Kesadaran pikiran timbul tergantung ...

(F. Terlepasnya Kecenderungan Pokok)

36.1. (i-vi). Para bhikkhu, tergantung pada penglihatan dan kesadaran akan bentuk-bentuk penglihatan timbul, kesamaan dari ketiganya adalah kontak, dengan kontak seperti keadaan lalu timbul apa yang dirasakan seperti menyenangkan atau menyakitkan atau tidak menyakitkan maupun tidak menyenangkan. Ketika seseorang dalam perasaan senang, dia tidak menikmati atau menegaskan atau menerimanya, kemudian tidak ada kecenderungan pokok yang berkeinginan untuk mendasarinya. Ketika seseorang dalam perasaan sedih, dia tidak merasa sedih, berduka cita dan meratap, dia tidak memukuli dadanya, meneteskan air mata dan menjadi bingung, lalu tidak ada kecenderungan pokok yang bertahan mendasarinya. Meskipun seseorang tidak dalam perasaan sedih maupun senang dia mengerti apa yang sebenarnya, asal dan akhir dari perasaan tersebut, atau kepuasan, bahaya dan pelarian (dalam setiap hal), lalu tidak ada kecenderungan pokok yang mengabaikan dasarnya. Kemudian sesungguhnya, para bhikkhu, bahwa dia akan di sini dan mengakhiri penderitaan dengan menghentikan kecenderungan pokok untuk perasaan menyenangkan, dengan menghapus kecenderungan pokok untuk melawan perasaan menyakitkan, dan dengan menghapus kecenderungan pokok untuk mengabaikan perasaan yang tidak menyakitkan maupun yang tidak menyenangkan, menghentikan kebodohan dan mempunyai pengetahuan benar, hal itu mungkin.

37.2. (i-vi). Tergantung pada telinga dan suara-suara ...

38.3. (i-vi). Tergantung pada hidung dan bebauan ...

39.4. (i-vi). Tergantung pada lidah dan rasa-rasa ...

40.5. (i-vi). Tergantung pada badan dan wujud-wujud ...

41.6. (i-vi). Tergantung pada pikiran dan dhamma-dhamma ... Kemudian para bhikkhu, bahwa dia harus mengakhiri penderitaan, di sini dan sekarang dengan menghentikan kecenderungan pokok yang menginginkan perasaan yang menyenangkan, dengan menghapus kecenderungan pokok melawan perasaan menyakitkan, dan dengan menghapus kecenderungan pokok untuk mengabaikan baik perasaan yang menyakitkan maupun yang menyenangkan, menghentikan ketakpedulian dan mempunyai pengetahuan benar hal itu adalah mungkin.

(Kesimpulan)

42. Oleh karena itu, lalu seorang siswa mulia terpelajar yang baik menjadi bebas terhadap penglihatan, menjadi bebas terhadap bentuk-bentuk, menjadi bebas terhadap kesadaran akan penglihatan, menjadi bebas terhadap kontak penglihatan, menjadi bebas terhadap perasaan, menjadi bebas terhadap keinginan.
Dia menjadi bebas terhadap telinga ...
Dia menjadi bebas terhadap hidung ...
Dia menjadi bebas terhadap lidah ...
Dia menjadi bebas terhadap tubuh ...
Dia menjadi bebas terhadap pikiran, dia menjadi bebas terhadap dhamma-dhamma, menjadi bebas terhadap kesadaran akan pikiran, menjadi bebas terhadap kontak pikiran, menjadi bebas terhadap perasaan, menjadi bebas terhadap keinginan.

Menjadi bebas, (keinginannya) lenyap; dengan lenyapnya (keinginan) dia terbebas; ketika (pikirannya) terbebas, datanglah pengetahuan 'Dia terbebas.' Dia mengerti: 'Kelahiran adalah melelahkan, kehidupan brahmana telah ditempuh, apa yang harus dikerjakan sudah dikerjakan, tidak akan ada kehidupan lagi.' "

Inilah apa yang dikatakan oleh Sang Bhagava. Para bhikkhu merasa puas, dan gembira di dalam kata-kata Sang Bhagava.
Lalu sementara khotbah disampaikan pikiran-pikiran enam puluh bhikkhu tersebut terbebas dari noda-noda tanpa melekat.
Janganlah memperhatikan kesalahan dan hal-hal yang telah atau belum dikerjakan oleh diri sendiri. Tetapi, perhatikanlah apa yang telah dikerjakan dan apa yang belum dikerjakan oleh orang lain =))

Anatta

#558
Quote from: morpheus on 21 August 2009, 07:10:47 AM
sekali lagi ini konteks meditasi, arahnya ke dalam.
pada orang yg over dosis, pelajaran spiritual ke dalam dipake untuk ke luar, menasehati orang lain, nggosip, ngalor ngidul, berandai2...


Konon kabarnya ada Master meditasi sibuk bergerilya untuk berdebat kesana-kemari; menasehati orang-orang; mempromosikan ajarannya, mem-posting testimoni 'murid'nya guna menarik perhatian calon murid baru. Saya jadi ingat akan pepatah lama "sumber mata air mencari gayungnya." Seharusnya gayung-lah yang mencari sumber mata air....hmmm dunia (si Master) memang sudah terjungkir-balik.... :o :o :o

morpheus

Quote from: Anatta on 21 August 2009, 08:15:12 AM
Seharusnya gayung-lah yang mencari sumber mata air....hmmm dunia (si Master) memang sudah terjungkir-balik.... :o :o :o
mungkin si pengajar meditasi hanya mengikuti masternya yg mengembara ke kapilavastu, bodhgaya, sarnath, rajgir, shravasti, varanasi, vaishali, dan kushinagar 2500 tahun yg lalu...
* I'm trying to free your mind, Neo. But I can only show you the door. You're the one that has to walk through it
* Neo, sooner or later you're going to realize just as I did that there's a difference between knowing the path and walking the path

K.K.

Quote from: upasaka on 19 August 2009, 04:37:23 PM
QuoteHUDOYO di SP ini menulis:
>>Salah satu KESALAHPAHAMAN yang paling sering diungkit-ungkit adalah bahwa saya "menolak Jalan Mulia Berfaktor Delapan" dari doktrin Buddhisme. > Kesalahpahaman ini disebabkan karena sementara rekan Buddhis > menyalahpahami kata-kata saya: "DI DALAM VIPASSANA, Jalan Mulia Berfaktor Delapan tidak relevan lagi."

Sebenarnya, klarifikasi Pak Hudoyo di atas ini pun kurang bisa dipertanggungjawabkan...

Di dalam vipassana, tidak tepat menyatakan bahwa JMB8 adalah tidak relevan. Namun yang sebenarnya, vipassana adalah salah satu poin di dalam JMB8.

Vipassana bukan satu-satunya kunci guna merealisasi Pembebasan. Vipassana harus didukung oleh sila dan panna.

Adalah kesalahan fatal untuk mengatakan bahwa tidak ada jalan untuk mencapai Pembebasan, karena justru vipassana itu sendiri merupakan salah satu ruas jalan yang bisa mengantar kita pada Pembebasan.


Kalau begitu, apa penjelasan tentang Angulimala yang sudah membunuh banyak orang, namun tetap dapat merealisasi Arahatta?


Quote from: upasaka on 19 August 2009, 05:26:24 PM
Kalau pada kasus panci, akibat dari api (mis: panas) bisa lenyap perlahan-lahan secara alami. Alias tanpa perlu diusahakan pun, otomatis panas akan lenyap sendiri.

Nah, kalau pada kasus Sotapanna, akibat lampau dari kebodohan batin tidak bisa lenyap secara alami. Alias diperlukan usaha (latihan) untuk memusnahkan semua kebodohan batin dan kilesa.

Bagaimana pendapat Anda?
Menurut pendapat saya, kalau orang merealisasi Sotapanna, sudah tidak memikirkan "ini latihan" atau "ini bukan", tetapi karena bathinnya sudah berbeda, maka segala yang pola pikirnya adalah menuju "kepadaman". "Latihan" di sini pun saya percaya sudah tidak seperti latihan seorang Puthujjana. Tidak ada dikatakan Sotapanna yang tidak latihan bisa terlahir kembali lebih dari 7 kali.
Bagi saya, latihan seorang Ariya "mencapai" kepadaman total adalah seperti menaruh es dalam air panas yang sudah tidak ada api, mempercepat proses pendinginan yang bagaimanapun juga pasti terjadi di masa depan.


QuoteMengenai kasus "jumlah perasaan", itu masih relevan jika suatu ketika Sang Buddha menyatakan perasaan memang terbagi dua, tiga, empat, dsb. Karena konsep dari sebuah perasaan itu nilainya relatif.

Tapi untuk kasus "nihilisme" atau "tidak nihilisme", itu tidak relevan. Karena konsep dari sebuah nihilisme itu sudah memenuhi kriteria yang jelas, bukan mengambang sehingga kadang bisa disebut nihilisme atau tidak nihilisme. Jika suatu ketika seseorang mengatakan ini adalah "nihilisme", tapi di lain waktu mengatakan ini adalah "tidak nihilisme", dan di lain waktu kemudian ia mengatakan ini adalah "nihilisme", maka hanya ada enam kemungkinan, yaitu:

- orang itu plin-plan
- orang itu terus mengalami transformasi konsep pandangan
- orang itu berbicara asal
- orang itu mengeluarkan pernyataan karena terhimpit oleh kondisi pembicaraan
- orang itu kurang menguasai pembendaharaan tata-bahasa
- orang itu menganggap "nihilisme" dan "tidak nihilisme" adalah sama
Kalau begitu saya mau tanya, Nibbana itu adalah suatu keabadian atau suatu kebinasaan?


QuoteSaya sependapat dengan Anda. Ajaran Buddha Gotama saja juga bisa diklaim sebagai ajaran sesat oleh orang lain.

Karena itu saya melihat diskusi ini adalah ajang untuk berargumentasi, mana yang lebih bisa diterima dan dilihat secara objektif.
Ya, argumentasi yang baik selalu bermanfaat. Namun siapa lebih benar, siapa lebih objektif adalah tergantung pribadi masing-masing.
Saya pernah bilang ciri khas ajaran Buddha adalah menurut Sankhitta Sutta, sedangkan bagi mayoritas adalah JMB 8. Tidak bisa dipungkiri, selama mayoritas memegang JMB 8 lebih objektif, otomatis terjadi opini Sankhitta Sutta yang subjektif.

K.K.

Quote from: bond on 19 August 2009, 04:57:55 PM
kalau begitu dapatkah Anda memberikan cara yg terbaik untuk melihat kebenaran paramatha Dhamma itu?

Kalau saya sudah mampu demikian, berarti saya sudah jadi Samma Sambuddha. :)
Bagi saya, kapasitas maksimal yang dapat diberikan seorang Puthujjana "hanyalah" sebatas memberikan kebenaran relatif sehingga bisa bermanfaat dalam hidup.

hatRed

Angulimala dapat menjadi arahat karena menjalankan jalam mulia 8 ....
i'm just a mammal with troubled soul



markosprawira

Quote from: Kainyn_Kutho on 21 August 2009, 08:55:04 AM
Quote from: upasaka on 19 August 2009, 04:37:23 PM
QuoteHUDOYO di SP ini menulis:
>>Salah satu KESALAHPAHAMAN yang paling sering diungkit-ungkit adalah bahwa saya "menolak Jalan Mulia Berfaktor Delapan" dari doktrin Buddhisme. > Kesalahpahaman ini disebabkan karena sementara rekan Buddhis > menyalahpahami kata-kata saya: "DI DALAM VIPASSANA, Jalan Mulia Berfaktor Delapan tidak relevan lagi."

Sebenarnya, klarifikasi Pak Hudoyo di atas ini pun kurang bisa dipertanggungjawabkan...

Di dalam vipassana, tidak tepat menyatakan bahwa JMB8 adalah tidak relevan. Namun yang sebenarnya, vipassana adalah salah satu poin di dalam JMB8.

Vipassana bukan satu-satunya kunci guna merealisasi Pembebasan. Vipassana harus didukung oleh sila dan panna.

Adalah kesalahan fatal untuk mengatakan bahwa tidak ada jalan untuk mencapai Pembebasan, karena justru vipassana itu sendiri merupakan salah satu ruas jalan yang bisa mengantar kita pada Pembebasan.


Kalau begitu, apa penjelasan tentang Angulimala yang sudah membunuh banyak orang, namun tetap dapat merealisasi Arahatta?


Pas contoh ini baru saya angkat di kelas tanggal 08 Agustus, berikut detailnya :


QuoteUpaghataka Kamma memotong Janaka Kamma supaya tidak menimbulkan hasil selamanya

1.   Kusala Upaghataka Kamma memotong akusala janaka kamma supaya tidak menimbulkan hasil untuk selamanya. YA Angulimala Thera sebelum menjadi anggota Sangha, dulu adalah penjahat yang banyak membunuh orang. Seharusnya YA Angulimala menerima akibatnya dengan tumimbal lahir di alam Neraka. Setelah beliau menjadi Arahat, dengan kekuatan Magga-Phala yang merupakan kusala upaghataka kamma, memotong akusala janaka kamma yang pernah dibuat YA Angulimala di kehidupan sekarang dan yg lampau agar tidak menghasilkan akibat lagi selamanya

2.   Kusala Upaghataka Kamma memotong kusala janaka kamma supaya tidak menimbulkan hasil untuk selamanya. B melaksanakan samatha bhavana sampai mencapai Arupa Jhana dimana seharusnya dia setelah meninggal, akan masuk ke alam Arupa Brahma. Namun karena sudah mencapai Arupa Jhana, berarti kekuatan Rupa Jhananya tidak mampu mendorong B terlahir di alam Rupa Bumi.

3.   Akusala Upaghataka Kamma memotong kusala janaka kamma supaya tidak menimbulkan hasil untuk selamanya. Devadatta mempunyai abhinna yang hampir setara dengan Buddha namun karena melakukan akusala garuka kamma yg menjadi akusala upaghataka kamma, memotong mahagatta kusala janaka kamma sehingga terlahir di alam Avici Naraka, bukan ke alam Brahma

Demikian sedikit yg saya dapat share mengenai cara kerja kamma yang kompleks  _/\_

markosprawira

Quote from: Kainyn_Kutho on 21 August 2009, 08:55:04 AM
Quote from: upasaka on 19 August 2009, 05:26:24 PM
Kalau pada kasus panci, akibat dari api (mis: panas) bisa lenyap perlahan-lahan secara alami. Alias tanpa perlu diusahakan pun, otomatis panas akan lenyap sendiri.

Nah, kalau pada kasus Sotapanna, akibat lampau dari kebodohan batin tidak bisa lenyap secara alami. Alias diperlukan usaha (latihan) untuk memusnahkan semua kebodohan batin dan kilesa.

Bagaimana pendapat Anda?
Menurut pendapat saya, kalau orang merealisasi Sotapanna, sudah tidak memikirkan "ini latihan" atau "ini bukan", tetapi karena bathinnya sudah berbeda, maka segala yang pola pikirnya adalah menuju "kepadaman". "Latihan" di sini pun saya percaya sudah tidak seperti latihan seorang Puthujjana. Tidak ada dikatakan Sotapanna yang tidak latihan bisa terlahir kembali lebih dari 7 kali.
Bagi saya, latihan seorang Ariya "mencapai" kepadaman total adalah seperti menaruh es dalam air panas yang sudah tidak ada api, mempercepat proses pendinginan yang bagaimanapun juga pasti terjadi di masa depan.

Saat es perlahan-lahan mencair walau tidak terlihat namun secara fisika sesungguhnya terjadi perpindahan energi

hasilnya adalah pasti namun tetap dibutuhkan usaha karena itu sudah "nature"-nya sotapanna

demikianlah hasil dari parami yg dikumpulkan dalam berbagai kehidupan, yaitu trend batin sebagai nature-nya

markosprawira

Quote from: Kainyn_Kutho on 21 August 2009, 08:55:04 AM
QuoteMengenai kasus "jumlah perasaan", itu masih relevan jika suatu ketika Sang Buddha menyatakan perasaan memang terbagi dua, tiga, empat, dsb. Karena konsep dari sebuah perasaan itu nilainya relatif.

Tapi untuk kasus "nihilisme" atau "tidak nihilisme", itu tidak relevan. Karena konsep dari sebuah nihilisme itu sudah memenuhi kriteria yang jelas, bukan mengambang sehingga kadang bisa disebut nihilisme atau tidak nihilisme. Jika suatu ketika seseorang mengatakan ini adalah "nihilisme", tapi di lain waktu mengatakan ini adalah "tidak nihilisme", dan di lain waktu kemudian ia mengatakan ini adalah "nihilisme", maka hanya ada enam kemungkinan, yaitu:

- orang itu plin-plan
- orang itu terus mengalami transformasi konsep pandangan
- orang itu berbicara asal
- orang itu mengeluarkan pernyataan karena terhimpit oleh kondisi pembicaraan
- orang itu kurang menguasai pembendaharaan tata-bahasa
- orang itu menganggap "nihilisme" dan "tidak nihilisme" adalah sama
Kalau begitu saya mau tanya, Nibbana itu adalah suatu keabadian atau suatu kebinasaan?

Mahluk hidup terdiri dari :
- NAma Khandha
- rupa khandha
- NAma Dhamma
- Rupa Dhamma

Nibbana adalah NAma Dhamma, batin secara hakekat yg sesungguhnya........ bukan keabadian, pun bukan pemusnahan karena sesungguhnya dari awal, yg ada hanyalah proses.....

back to topic, apa bro Kai bisa share kemungkinan lain selain 6 kemungkinan yg disebutkan diatas?

markosprawira

Quote from: Kainyn_Kutho on 21 August 2009, 08:55:04 AM
QuoteSaya sependapat dengan Anda. Ajaran Buddha Gotama saja juga bisa diklaim sebagai ajaran sesat oleh orang lain.

Karena itu saya melihat diskusi ini adalah ajang untuk berargumentasi, mana yang lebih bisa diterima dan dilihat secara objektif.
Ya, argumentasi yang baik selalu bermanfaat. Namun siapa lebih benar, siapa lebih objektif adalah tergantung pribadi masing-masing.
Saya pernah bilang ciri khas ajaran Buddha adalah menurut Sankhitta Sutta, sedangkan bagi mayoritas adalah JMB 8. Tidak bisa dipungkiri, selama mayoritas memegang JMB 8 lebih objektif, otomatis terjadi opini Sankhitta Sutta yang subjektif.

Cuma ingin bertanya Sankhitta sutta bertentangan dengan salah satu, beberapa atau banyak sutta dalam tipitaka?

mungkin bro kai bisa share karena saya belum tahu sutta ini

anumodana

markosprawira

Quote from: morpheus on 20 August 2009, 05:37:31 PM
itu tulisan lengkapnya om... bisa cross check ke bukunya atau internet.

saya gak heran kalo anda punya interpretasi lain...
silakan dibaca pelan2, interpretasinya saya serahkan ke pribadi masing2.
bisa saja kita mengambil kutipan masing2 dan terus2an mengadu interpretasi, gak habis2.


loh bro, saya tidak mengambil kutipan lain loh....... khan anda yg memberikannya.... sama seperti di sutta, saya hanya diskusi mengenai apa yg anda sodorkan saja loh

untuk lebih fair, bagaimana kita sama2 menterjemahkan biar kita bisa sama2 tahu persepsi masing2?

karena jika hanya lihat sekilas, give up, let go... itu berhubungan dengan tidak melekat..... jadi tidak melekat pada teori tapi bukan berarti melepas teori

sama seperti angka selain positif (+), belum tentu negatif (-)karena masih ada angka nol (0).... logika ini yg sering disalah artikan bhw seolah2 jika bukan +, berarti - ......

markosprawira

Quote from: morpheus on 21 August 2009, 08:43:02 AM
Quote from: Anatta on 21 August 2009, 08:15:12 AM
Seharusnya gayung-lah yang mencari sumber mata air....hmmm dunia (si Master) memang sudah terjungkir-balik.... :o :o :o
mungkin si pengajar meditasi hanya mengikuti masternya yg mengembara ke kapilavastu, bodhgaya, sarnath, rajgir, shravasti, varanasi, vaishali, dan kushinagar 2500 tahun yg lalu...


bukankah master si pengajar adalah Jiddu Krishnamurti?

soalnya kalo master guru Buddha udah jelas kriterianya :
1. maha suci
2. telah mencapai penerangan sempurna
3. sempurna pengetahuan dan tingkah lakunya
4. sempurna menempuh jalan ke Nibbana
5. pengenal semua alam
6. pembimbing manusia yang tiada taranya
7. guru para dewa dan manusia
8. yang sadar
9. yang patut dimuliakan.

kalo ajaran si pengajar meditasi khan jelas : sadar, bukan suci
kalo ajaran buddha, khan mengarah ke kesucian......

ajaran si pengajar meditasi : tidak ada jalan, cocok ama JK
kalo ajaran buddha, ada jalan yg menuju ke Nibbana

kesimpulan : master si pengajar adalah JK....  ;D ... cmiiw

bond

Quote from: Kainyn_Kutho on 21 August 2009, 09:00:50 AM
Quote from: bond on 19 August 2009, 04:57:55 PM
kalau begitu dapatkah Anda memberikan cara yg terbaik untuk melihat kebenaran paramatha Dhamma itu?

Kalau saya sudah mampu demikian, berarti saya sudah jadi Samma Sambuddha. :)
Bagi saya, kapasitas maksimal yang dapat diberikan seorang Puthujjana "hanyalah" sebatas memberikan kebenaran relatif sehingga bisa bermanfaat dalam hidup.


Baiklah jika itu pandangan bro, saya hargai. Hanya saya ingin menggarisbawahi bahwa jika demikian anda telah memilih untuk dalam samsara sampai pandangan itu berubah. Smoga ini semua bisa membawa manfaat bagi hidup Anda.

Sesungguhnya seorang putthujana jangan melulu berpikir saya putthujana tidak ada kemampuan apa2. Tetapi harus mau dan berusaha melihat apa yg ada dibalik kerelatifan itu yakni paramatha Dhamma dengan ehipasiko benar sampai terealisasi. Jika sebatas itu kapasitas maksimal putthujana dengan hanya bergelut pada yg relatif, dan ini menambah pengertian saya lebih mendalam mengapa makhluk menderita bukan hanya karena perbuatannya tetapi adalah pilihan pada awalnya yg kemudian termanifestasi dalam pikiran, perkataan dan perbuatannya.

Terima kasih bro kainyn untuk diskusi yg menarik dengan Anda . _/\_
Natthi me saranam annam, Buddho me saranam varam, Etena saccavajjena, Sotthi te hotu sabbada