Menurut saya sih kosongkan cangkir nasraninya, pengetahuan umum dsb dan jg pengetahuannya semula ttg buddhisme. Anggaplah seperti belajar dr awal. Memulai kembali dr awal, bukan hal sia2.
Kalau begitu kita tidak sependapat dalam hal ini.
Buat saya, hal bersifat doktriniah harus dibuang jika mau belajar doktrin lain. Namun hal non-doktriniah seperti logika dan pengetahuan umum, selalu berlaku, KECUALI dalam mempelajari suatu doktrin yang bertentangan dengan logika tersebut yang biasanya bersifat "cuci otak". Logika dan common sense inilah yang menjaga kita dari cengkeraman dogma.
Ini seperti saya seorang pengemudi truk sampah yg mewarisi profesi dr ayah saya, sedari kecil dunia saya hanya seputar dunia sampah di Bantar Gebang. Guncangan saat mengendarai truk, bau, bising, dlsb suasana yg tidak enak sudah menjadi teman akrab saya. Dan saya tidak pernah naik katakanlah mobil mercy. Jika saya hanya mendengar enaknya mobil mercy ini-itu dari orang lain sementara saya tidak pernah menaikinya tentu akan timbul berbagai pikiran, utamanya sih 2: antara percaya dan berpikir berlebihan bahwa naik mercy serasa di surga, atau sebaliknya tidak percaya dan menolak mentah2. Yg manapun, hanya konsep dan ide, bukan realitasnya hingga saya mencoba naik mercy dan mengetahui kalau lebih 90% pemikiran saya sebelumnya tidak benar. Utk itu, kosongkan cangkirnya dan minum tehnya, kesampingkan perbandingan dan prasangka sementara dan coba selami.
Perumpamaan ini bagi saya tidak tepat. Dalam hal hukum kamma, kita menganggap hukum kamma berlaku untuk semua orang, baik dia kenal teorinya atau pun tidak. Namun dalam perumpamaan ini, si tukang sampah tidak mengalami mobil Mercedes dan hanya tebak-tebakan saja.
Dan sekedar info juga, hingga hari ini, bbrp kelompok2 fundamentalis Islam salah 1 nya jamaah islamiah di Pakistan (pernah dipost di DC terjemahan wawancara dg wakil pimpinan kelompok tsb) menolak kenyataan bahwa Bumi bulat. Saat itu (berita diluncurkan), manusia sudah lama mendarat di bulan.
Ya, saya tahu mengenai hal tersebut. Itu yang saya singgung mengenai mengukur lengkung permukaan air yang dilakukan oleh pembela doktrin ekstremis bahwa bumi adalah datar.
Karena Bro Kain sudah memiliki "iman" yg sama, tentu saya tidak perlu bersusah payah membuktikan lagi bukan? Bukannya saya sudah katakan sebelumnya kalau kekuatan Kamma itu subtil dan tak-kasat-mata? Kalau mau contoh kerja Hukum Kamma yg mutlak terjadi dan dalam waktu singkat, dari segi tindakan, akan susah menemukan 1, jika saya katakan A membunuh B dan akibatnya A dipenjara. Hal ini tdk mutlak, krn ada pula kejadian di mana pembunuh A berhasil meloloskan diri dg cerdiknya dr kejaran hukum. Krn tdk mutlak terjadi dlm kehidupan ini juga, akan susah membuktikan bahwa akibatnya pasti akan terjadi dan diterima A di waktu mendatang. Selagi saya tidak dpt membuktikan, selalu akan ada sanggahan.
Itu karena anda dan kebanyakan rekan lain melihat hukum sebab-akibat secara logika sebagai hukum kamma.
Bagi saya, seseorang membunuh, menurut hukum kamma akibatnya adalah berumur pendek, entah lewat penyakit, entah dibunuh orang lain, entah kecelakaan atau apa pun, baik di sini mau pun di kehidupan mendatang, tidak ada yang tahu waktunya. Orang memberi, maka ia pun akan mendapatkan kemurahan, baik di kehidupan ini, bisa juga di kehidupan mendatang.
Sedangkan anda dan kebanyakan rekan di sini melihat konsekwensi logis sebagai hukum kamma. Membunuh = ditangkap. Memberi = ucapan terima kasih. Sekali lagi di sini kita berbeda.
Btw, gimana dg contoh dari Mba' Samaneri di thread lain itu? Tidak cukup membuktikankah? Karena Samaneri menanam kebaikan, maka terhindar dr marabahaya. Jangan katakan kalau temannya itu memang cuma berniat makan di Bakmi GM dan merampok di tempat lain (BRI). Apalagi Sebaliknya krn temannya menanam kejahatan (hingga 3x, dimana sempat mengambil nyawa petugas bank lain), akhirnya dibedil.
Sekadar mengingatkan, di sini saya hanya mencoba mengajak diskusi dg harapan kita dapat menyempurnakan pengertian buddhis ttg Hukum Kamma, bukan utk "menjatuhkan" dlsb. Jadi saya tidak tertarik utk berputar-putar, berkelit dan mencari2 pembenaran.
Point ke 3 perbedaan kita, anda mengambil satu contoh sebagai pembuktian universal (pars pro toto). Sedangkan kalau diambil contoh yang bertentangan, anda anggap sebagai sanggahan yang mencari celah. Apalah bedanya dengan kesembuhan rohani yang bisa menyembuhkan sebagian sangat kecil saja, namun meng-klaim bisa menyembuhkan siapa saja asal percaya? Ketika disanggah bahwa banyak yang tidak sembuh, tinggal bilang, "imannya kurang." Beres 'kan? Jika ingin membuktikan suatu hukum, meleset 1 saja dari antara 1 juta orang, maka hukum itu tidak berlaku.
Sikap apa yg Bro Kain ambil sehingga berbeda? Mohon jelaskan krn saya ngga mengikuti thread yg berlembar2 itu secara keseluruhan. Lagian lebih enak kalau dikatakan eksplisit.
Setelah membahas lebih jauh, saya ingin mengubah kesimpulan, yaitu bahwa sebetulnya "iman" saya dan kebanyakan rekan lain (dan mungkin juga anda) adalah sudah berbeda jauh. Saya melihat kamma sebagai sesuatu yang pasti (membunuh mengakibatkan umur pendek), namun tidak mengerti prosesnya (termasuk interaksi dengan kamma lain), hasilnya, dan kapan berbuahnya, dan oleh sebab itu saya katakan saya tidak bisa membuktikannya; sedangkan rekan lain menganggap kamma sebagai hukum konsekwensi logis sederhana saja seperti probabilitas (membunuh: ditangkap, merasa bersalah, dll), yang oleh karena itu jika probabilitasnya kebetulan benar, diklaimlah sebagai bukti hukum kamma. Sedangkan kalau contoh yang tidak mendukung (membunuh tidak tertangkap, tidak merasa bersalah) dianggap suatu usaha mencari celah.
Perbedaan yang paling menonjol adalah seperti yang saya singgung di thread sebelah (dan saya lengkapi satu lagi):
-seseorang memberi "angpau" dengan tulus namun tidak tahu tradisi sehingga menyinggung penerima dan mendapatkan sesuatu yang tidak menyenangkan.
-seseorang melakukan pembunuhan terhadap seorang enemy of the states, yang karenanya, bukan hanya bebas dari hukuman penjara, juga mendapatkan hadiah.
Mengikuti pendapat yang menganggap kamma bisa dibuktikan (memberi = ucapan terima kasih), maka
kamma memberi, vipakanya bisa jadi suatu penderitaan; kamma membunuh, bisa jadi vipakanya adalah dapat hadiah. Menurut pendapat saya, kamma memberi dan membunuh, kapan berbuahnya dan apa buahnya tidak bisa dibuktikan.
Namun untuk memberi, vipakanya PASTI baik, dan untuk membunuh, vipakanya PASTI buruk. Penolakan pemberian dan keadaan orang itu adalah enemy of the state adalah Vipaka dari kamma lain, BUKAN kamma pemberi dan pembunuh seperti pendapat rekan-rekan lain. Itulah "iman" saya dan perbedaannya.
Coba kita kembali ke definisi Kamma lagi (jangan cape ya Om)
Di Nibbedhika Sutta, dikatakan oleh Sang Buddha ttg definisi Kamma, "bahwa cetana (kehendak) itulah yg dinamakan kamma (perbuatan). Dan melalui kehendak, orang melakukan kamma melalui 3 saluran perbuatan: pikiran, ucapan dan tindakan."
Karena semua perbuatan dilakukan diawali oleh kehendak, maka perbuatan apapun itu adlh kamma. Saya ambil contoh yg baik2 saja deh. Misal menabung di banknya Samaneri. Dengan niat (kehendak) mengumpulkan uang, maka saya menabung. Akibat dr menabung, uang terkumpul dan saya bisa jadi kaya jika perbuatan ini saya kondisikan menjadi sebuah kebiasaan. Apakah ini bukan termasuk Kamma? Saya sih melihat ini bagian kamma, krn diawali oleh kehendak dan ada perbuatan. Lebih lanjut ada hasil/akibat dr perbuatan ini. CMIIW.
Saya beri kasusnya orang ingin menabung namun punya pengeluaran tak terduga seperti orang tua sakit, atau usahanya merugi, atau kerampokan, atau mungkin kena bencana alam, yang akhirnya tidak jadi menabung bahkan kehilangan uang. Niat (kamma) menabung sudah ada, bagaimana mungkin anda katakan kemiskinan adalah Vipakanya?
Saya melihat niat menabung memang sebagai kamma. Namun saya tidak melihat tabungan yang bertambah sebagai Vipaka dari niat menabung tersebut, setidaknya bukan vipaka tunggal. Bahkan dari suatu pikiran paling sederhana saja, saya tidak tahu vipakanya, karena saya pun tidak tahu interaksinya dengan kamma lain di masa lalu. Dari pandangan tersebut, saya mengakui bahwa saya tidak bisa membuktikan hukum kamma.