[quoe author=hudoyo link=topic=2355.msg34157#msg34157 date=1208516297]
Apakah MMD (Meditasi Mengenal Diri) itu? MMD adalah suatu meditasi yang unik. Bagaimana keunikannya akan terlihat dalam artikel-artikel--dan mungkin juga diskusi-diskusi--dalam thread ini.
Untuk pertama kali, saya forward artikel dari blogspot Dewi Lestari (penulis, selebriti) tentang MMD.
Salam,
hudoyo
Dari:
http://dee-idea.blogspot.com/Thursday, June 21, 2007
TUJUH TAHUN MENUJU MENDUT
Barangkali inilah artikel dengan tingkat kesulitan paling tinggi yang pernah saya tulis, karena saya akan mencoba menuliskan sesuatu yang sudah pasti tidak bisa digambarkan dengan kata-kata. Semua yang saya tulis berikut ini ibarat setetes air laut mencoba menjelaskan samudera. Kendati terdengar sia-sia, mudah-mudahan upaya ini masih punya makna.
Selama tiga hari, berlokasikan di Vihara Mendut – Magelang, saya mengikuti Meditasi Mengenal Diri (MMD) di bawah bimbingan Pak Hudoyo Hupudio. Beliau, MMD, dan milis spiritualnya, sudah saya kenal sejak tujuh tahun yang lalu lewat internet, bahkan beliau pernah saya “todong” untuk membuat pengantar buku pertama saya “Supernova: Ksatria, Puteri, dan Bintang Jatuh”. Namun baru tahun inilah saya berkenalan langsung dengan Pak Hudoyo. Pertama, ketika kami sama-sama menjadi pembicara dalam diskusi tentang meditasi di Bandung bulan Februari lalu, dan kedua ketika saya menjadi peserta MMD angkatan ke-99 di Mendut.
Meski berbasiskan meditasi vipassana, MMD sendiri merupakan meditasi lintas agama, terbukti dari komposisi peserta yang beragam. Angkatan ke-99 yang berjumlah total 31 orang ini, mayoritas peserta beragama Katholik dan Islam, disusul Buddhis sebanyak lima orang, dan yang beragama Protestan sebanyak empat orang.
Sekalipun sudah delapan tahun menggeluti dan merenungi masalah spiritualitas, saya bukanlah meditator yang disiplin. Kegiatan bermeditasi saya lakukan dengan frekuensi dan intensitas yang acak. Saya tidak asing dengan konsep vipassana, tapi baru di Mendutlah saya secara fokus menyelami pengalaman mengamati diri.
Hari pertama dimulai dengan pengarahan. Pak Hudoyo berpesan agar kami meninggalkan semua pemahaman, pengetahuan, harapan, dan segala teknik yang kami ketahui. Tidak ada doa. Tidak bicara. Tidak ada apa-apa. Tugas kami hanya menjadi pengamat pasif. Total. Dan beliau mengingatkan, “Kalian akan memasuki neraka.” Neraka yang dimaksud adalah segala sakit yang akan dimuntahkan oleh badan, segala resah dan bimbang yang akan dimuntahkan oleh batin, dan sekali lagi, tugas kami hanya mengamati.
Kami bermeditasi kurang lebih dua belas jam sehari, diselingi tiga kali diskusi, satu kali istirahat, dan dua kali makan. Neraka itu saya alami dalam tiga sesi pertama. Perjuangan berat untuk sekadar duduk diam satu jam, dan perjuangan lebih berat lagi untuk mengalami apa artinya “mengamati”.
--------------------------------
Sankhara upekkha nyana
--------------------------
Saya mulai dengan tidak menjustifikasi dan bereaksi, tapi hanya memberi label pada segala fenomena batin yang terungkap: “perasaan”, “memori”, “gambar”, “bosan”, “pegal”, dan seterusnya. Hingga pada satu titik saya kelelahan sendiri dengan proses memberi label itu. Fenomena fisik seperti rasa pegal dan kesemutan pun enggan hilang, bahkan ketika saya pikir saya sudah “mengamati”.
--------------------------
Tdk akan hilang kalau begitu caranya.
-----------------------
Pada saat meditasi pagi hari ke-2, saya mulai mengalami sesuatu. Selagi pikiran saya lepaskan mengembara tanpa label, tiba-tiba saya seperti terjatuh. Tepatnya, seperti dibangunkan. Bukan oleh kehendak, melainkan terjadi tiba-tiba di luar kendali sang “aku”. Dan deskripsi paling mendekati dari kondisi terbangun itu adalah… hening. Tak lama, pikiran kembali lolos seperti belut licin dan mulai berkata “Barangkali ini hening yang dimaksud. Bagaimana caranya bisa kembali ke sini?” Seketika, hening itu hilang.
-----------------------
Salah. Konsentrasi kurang.Mesti tahu sebelum ada 'diam'. Itu bukan hening.tahu setelah 'diam' ada berarti metode salah.
----------------------
Saya merenungi pengalaman sekian detik itu dan menyadari bahwa manusia menghabiskan hidupnya dalam bermimpi. Kita hidup dalam kuasa pikiran yang tak pernah dibiarkan berhenti. Tak henti-hentinya tertarik ke masa lalu dan terdorong ke masa depan. Dan kita menyangka kita sungguhan hidup. Guru saya pernah berkata: Mind is always delayed. Evaluating is the job description of the mind. That’s why, the mind is always slightly behind, and at the same time always trying to be slightly forward so it can protect. Hal itu juga dikonfirmasi oleh penjelasan Pak Hudoyo saat diskusi, pikiran adalah alat manusia untuk bertahan hidup, tapi ketika pikiran dijadikan penuntun maka selamanya kita terseret-seret ke masa lalu yang sudah tidak ada dan masa depan yang belum terjadi. Kita bermimpi sekalipun kita terjaga. Kita bermimpi tentang cinta, tentang hidup, dan tentang Tuhan. Tanpa menghentikan pikiran, tak sekalipun kita mengalami cinta, hidup, dan Tuhan yang sesungguhnya. Yang ada hanyalah konsep dan upaya.
----------------
Bersambung