Kebenaran adalah satu atau banyak!

Started by Peacemind, 13 April 2010, 02:48:47 PM

Previous topic - Next topic

0 Members and 1 Guest are viewing this topic.

sobat-dharma

Sdr.Fabian, mohon maaf sekali saya tidak akan sempat menjelaskan semua hal ini dengan terperinci. Izinkanlah lain kali, jika saya memiliki waktu lebih longgar, baru akan kujelaskan. Untuk uraian hal tersebut akan lebih mudah jika seandainya kita bisa bercakap-cakap langsung, bukan dengan cara menulisnya. Namun, untuk kali ini saya akan menjawab sebagian saja pertanyaan dari anda.

Quote from: fabian c on 20 April 2010, 09:22:47 PM
Sepanjang yang saya ketahui kemelekatan bukan hanya terhadap objek yang berada di luar, kemelekatan juga terhadap segala sesuatu yang ada di dalam diri kita. Umpamanya apakah kita mau mendonorkan jantung atau mata kita, tentu tidak kan? Bila ada suatu perasaan bahagia muncul, tentu akan menyebabkan kita melekat. Selain itu ada berbagai kemelekatan terhadap pancakhandha lainnya.


Jika anda menyinggung tubuh, maka sebenarnya tubuh juga adalah bagian dari rupa (obyek). Jantung dan mata dalam hal ini adalah bagian dari rupa. Dalam Abhidhamma, rupa ada 28, termasuk di dalamnya adalah semuanya yang mengandung keempat unsur (tanah, api, air, angin). Sudah jelas seluruh tubuh kita dapat dibagi-bagi ke dalam empat unsur tersebut.

Soal kemelekatan pada pancaskandha (pancakandha), saya tunda dulu penjelasannya. Jadinya nanti akan terlalu panjang lebar. Sekalian jika ada lagi yang bertanya,  akan sekaligus kujawab. Agar tidak bolak-balik menjelaskannya.

Mereka yang melihat-Ku dari wujud dan mengikuti-Ku dari suara terlibat dalam upaya salah. Mereka takkan melihat Aku. Dari Dharma-lah mestinya ia melihat Para Buddha. Dari Dharmakaya datang tuntunan baginya. Namun hakikat sejati Dharma tak terlihat dan tiada seorangpun bisa menyadarinya sebagai obyek

Nevada

Quote from: sobat-dharmaSalam juga sdr.upasaka, senang bisa berdialog kembali dengan anda

Sebelumnya saya minta maaf terlebih dahulu, jika nanti tanggapan saya tidak optimal. Hal ini dikarenakan terbatasnya waktu dan padatnya aktivitas, saya tidak bisa menjawab dengan optimal. Mohon dimaklumi. Bila ada waktu yang lebih longgar, saya akan menulis dengan lebih lengkap sebagai jawaban atas persoalan ini. Trimakasih atas tanggapannya.

Tidak apa-apa. Saya juga terkadang membalas postingan agak lama...


Quote from: sobat-dharmaKetika saya mengatakan Pannati Dhamma adalah konsep yang berlawanan dengan Paramattha Dhamma saya hanya membahasnya secara konseptual. Tentu saja saya sepakat dengan anda bahwa keduanya adalah Dhamma yang tunggal dalam kenyataannya. Meskipun apa yang bertentangan dari segi gagasan tidak selalu berarti terpisah sama sekali dalam kenyataannya. Misalnya, gelap dan terang adalah dua konsep yang berlawanan, namun kita tahu kedua adalah kondisi yang berada di satu alam semesta yang sama dan saling melengkapi satu sama lain.  Tapi kita pun semuanya tahu bahwa "munculnya terang berarti hilangnya gelap", begitu juga sebaliknya., atau "yang terang pastilah bukan yang gelap"dan sebaliknya, sehingga keduanya dapat diandaikan beroposisi secara konsep.

Cara penjelasan demikian tidak terhindarkan dalam bahasa konseptual. Bahkan anda pun menggunakan kata Paramattha Sacca (kebenaran sejati) dan Samutti Sacca (kebenaran relatif) yang sebenarnya diam-diam menyiratkan adanya konsep pertentangan yang "sejati" versus yang "relatif". Dalam hal ini saya tidak melihat adanya perbedaan pendapat yang esensial antara kita berdua.

Bukan demikian yang saya maksud... Yang saya maksud adalah Paramattha Dhamma adalah kebenaran yang sesungguhnya. Sedangkan Pannati Dhamma adalah cara atau konsep untuk menyebut kebenaran itu. Seperti yang sudah dijelaskan oleh Bro Markosprawira, misalnya  Paramattha Dhamma adalah Sungai Ciliwung. Sedangkan Pannati Dhamma misalnya cara atau konsep untuk menyebut aliran air di daerah yang datar dan lambat itu. Karena itulah Paramattha Dhamma dan Pannati Dhamma tidak bisa disebut berlawanan.

Paramattha Sacca dan Samutti Sacca juga bukan dua hal yang bertentangan. Samutti Sacca adalah kebenaran yang relatif, sebab bergantung pada beberapa faktor. Sedangkan Paramattha Sacca adalah kebenaran sejati, berlaku untuk siapa pun, dimana pun dan kapan pun.

Quote from: sobat-dharmaPersoalan apakah di dalam teks Abhidhamma terkandung Paramattha Dhamma atau tidak. Nah, itu tergantung pada bagaimana kita mendeskripsikannya. Misalnya, sebuah teks (tulisan) tentu saja adalah bagian dari Paramattha Dhamma, karena ia adalah rupa (obyek) yang nantinya dapat ditangkap oleh indra. Sedangkan jika ada orang yang membaca teks tersebut, maka di situ terdapat citta yang mengetahui plus cetasika yang bersekutu dengan batinnya (subyek). Dan hal ini berlaku untuk teks apapun, tidak meski eksklusif untuk teks Abhidhamma, bahkan ketika seseorang membaca komik pun di situ hadir citta, cetasika dan rupa. Dalam hal ini teks Abhidhamma menunjuk pada Paramattha Dhamma itu, namun ia bukanlah Paramattha Dhmama itu sendiri. Dalam hal ini pun semestinya kita tidak terlalu berbeda pendapat.

Anda salah mengerti lagi... Paramattha Dhamma adalah kebenaran yang sesungguhnya. Contoh Paramattha Dhamma adalah nama (batin) dan rupa (fisik jasmani). Dan saya perlu tambahkan di sini, contoh Pannati Dhamma adalah konsep atau cara untuk menjelaskan nama dan rupa; misalnya nama dan rupa terdiri dari pancakhandha.

Sedangkan Paramattha Sacca adalah kebenaran sejati yang berlaku bagi siapa pun, dimana pun, dan kapan pun; misalnya adalah "anicca, dukkha dan anatta". Dan saya perlu tambahkan di sini, contoh Samutti Sacca adalah "seks di luar nikah itu haram". Bisakah Anda lihat perbedaannya?

Yang saya nyatakan bahwa Teks Abhidhamma (mungkin) mengandung Paramattha Sacca dan Samutti Sacca di dalamnya adalah demikian. Yang jelas, Teks Abhidhamma menguraikan detil gejolak batiniah yang secara tersirat akan memberi konklusi bahwa semua fenomena adalah aniica, dukkha dan anatta. Nah ini merupakan Paramattha Sacca yang terkandung dalam Teks Abhidhamma. Demikian pula Teks Abhidhamma mengandung Samutti Sacca, misalnya di Kitab Kathavatthu yang mencantumkan poin-poin kontroversial di seputar Buddhasasana.

Sebuah teks atau tulisan bukanlah Paramattha Dhamma. Anda harus jelas membedakan apa yang merupakan kebenaran sesungguhnya, dan apa yang merupakan konsep untuk menyebut suatu kebenaran... Teks atau tulisan merupakan suatu materi, dan materi ini merupakan kebenaran. Tapi materi ini bukan berarti teks atau tulisan. Sebab teks atau tulisan adalah cara atau konsep yang dipakai untuk menyebut materi ini.

Teks atau tulisan memang dapat ditangkap oleh indria penglihatan. Tapi teks atau tulisan bukanlah rupa. Rupa adalah fisik jasmani. Sedangkan teks atau tulisan adalah objek indria mata. Ketika indira mata mengadakan kontak dengan objek, maka itulah phasa. Ketika terjadi kontak, maka akan timbul perasaan. Di titik perasaan (vedana) inilah yang menentukan apakah seseorang memiliki kusala citta atau akusala citta; maupun sobhana cetasika atau asobhana cetasika. Demikian pula ketika membaca teks atau tulisan lainnya. Jika ingin mengetahui penjelasan lebih lanjut mengenai gejolak citta-cetasika saat membaca suatu teks, kita bisa bertanya pada Bro Markos. Namun yang jelas, saya kurang setuju untuk menyebut teks atau tulisan sebagai rupa (fisik jasmani).


Quote from: sobat-dharmaKetika saya mengatakan "semua eksistensi dan esensi di dunia ini lahir dari kehadiran subyek dan obyek dan interaksi antara keduanya" yang saya maksudkan sebagai "dunia" adalah alam Samsara. Eksistensi adalah keberadaan dan kehadiran subyek dan obyek yang saling mengadakan satu sama lain: obyek hadir  dalam subyek dan subyek hadir di antara obyek-obyek, seolah keduanya terpisah, namun sebenarnya sulit dipisahkan secara mutlak. Sedangkan Esensi adalah pembedaan yang dibangun dalam bentuk gagasan-gagasan yang bersifat terpisah satu sama lain, terdeferensiasi dan terklasifikasi yang terwujudnya sangat terbantu oleh keberadaan bahasa

Singkatnya, menurut pengetahuan saya yang masih sangat minim, dasar dari munculnya Samsara adalah pemisahan antara subyek (Citta dan Cetasika) dan obyek (Rupa). Hilangnya pemisahan antara subyek dan obyek adalah jalan menuju padamnya dukkha. Dalam hal ini berarti bahwa ketika hakikat citta, cetasika dan rupa berhasil dibongkar, maka sebenarnya mereka adalah tunggal dan hal ini merupakan jalan menuju ke pengetahuan yang sejati. Sankhata Dhamma tidak lagi benar-benar berdaya mempengaruhi karena pada dasarnya hanyalah ilusi, maka tersingkaplah Asankhata Dhamma: Nibbana (Nirvana). 

Demikian penjelasan saya yang sangat ringkas, semoga dapat membantu anda memahami apa yang kumaksudkan. Sebaliknya saya ingin bertanya apakah yang anda maksudkan dengan kata:  "objek yang diketahui tidak selalu merupakan rupa (fisik jasmani)" dan apa hubungannya pernyataan ini dengan diskusi kita? Setahu saya dalam Abhidhamma, obyek-obyek indra (ruparammana, saddaramana, gandharammana, rasarammana) semuanya termasuk dalam kategori rupa.

Perlu kita ketahui, bahwa interaksi antara subjek dan objek (dalam hal ini adalah indria dengan objek) dapat terjadi karena adanya kontak. Kontak dapat terjadi karena didukung oleh beberapa sebab. Oleh karena itu, apa yang Anda anggap sebenarnya subjek tidak berbeda dengan objek pun ternyata dapat berinteraksi ketika ada kontak. Lalu dimana posisi kontak bagi pandangan Anda? Indria bukanlah sama dengan objek indria. Objek indria bukanlah sama dengan indria. Indria bukanlah sama dengan kesadaran indria. Kesadaran indria juga bukanlah sama dengan objek indria. Misalkan ada seekor sapi putih dan seekor sapi hitam yang diikatkan dengan sebuah tali pada lehernya masing-masing. Menurut Anda, apakah kedua sapi itu sama?

Menurut saya tidak demikian... Ada kerancuan dalam komentar Anda: Jika Anda mengatakan bahwa "samsara muncul ketika ada pemisahan subjek dengan objek", maka sejak kapan ada pemisahan subjek dan objek? Anda mengatakan bahwa samsara itu muncul ketika pemisahan subjek dan objek terjadi. Maka secara implisit Anda menyatakan bahwa ada asal mula dari samsara => prima causa. Ini adalah pandangan eternalisme.

Ketika Anda mengatakan bahwa "hilangnya pemisahan subjek dan objek adalah akhir dukkha", maka ini merupakan pandangan yang memegang konsepsi bahwa aku adalah satu, dan satu adalah aku. Padahal untuk mengetahui wujud sejati kehidupan, saya pikir yang perlu kita lakukan adalah memahami bahwa "inilah anicca, inilah dukkha, inilah anatta"; "inilah rupa, inilah vedana, inilah sanna, inilah vinnana, inilah sankhara"; "inilah dukkha, inilah sebab dukkha, inilah terhentinya dukkha, dan inilah jalan menuju terhentinya dukkha". Justru ketika memegang pandangan bahwa citta-cetasika-rupa adalah satu (sama), maka ini merupakan pandangan yang mengakui bahwa ada atta (atman). Ini menurut saya yah...

Maksud saya, objek yang diketahui tidak selalu merupakan rupa (fisik jasmani). Sebab citta (kesadaran yang mengetahui) juga bisa mengetahui Nibbana.


Quote from: sobat-dharmaMungkin anda salah tangkap maksud saya, tidak ada maksud saya mengatakan adanya "tubuh halus." Citta yang saya maksud di sini adalah "yang mengetahui", yaitu menangkap obyek dan mengenali obyek. Menitikberatkan pada Citta berarti menggunakannya sebagai pintu masuk dalam meditasi., sebagaimana Meditasi Empat Unsur menggunakan rupa sebagai titik tolak. Tidak ada persoalan esensial yang perlu dipermasalahkan di sini. Apa yang andamaksudkan di atas tidak berbeda dengan apa yang kumaksud.

Yang saya maksud dengan "tubuh halus" adalah batin. Kalau memang tidak berbeda dengan yang Anda maksud, it's okay. :)


Quote from: sobat-dharmaKata yang "Ketika... maka..."yang anda gunakan untuk menjelaskan bagaimana Asankhata Dhamma direalisasi seolah-olah mengandaikan bahwa "Ketika kita menyelami Sankhata Dhamma, maka kita merealisasi Asankhata Dhamma." Kata ini tidak salah namun berpotensi menimbulkan kerancuan  makna. Jika tidak hati-hati kita bisa terjebak pada pengertian bahwa penyebab munculnya Asankhata Dhamma adalah akibat penyelaman terhadap Sankhata Dhamma. Hal ini kemudian terjebak pada pandangan seolah-olah Asankhata Dhamma dihasilkan atau diakibatkan oleh suatu kondisi yaitu penyelaman terhadap Sankhata Dhamma, sehingga mengandaikan bahwa Sankhata Dhamma itu memiliki sebab.Padahal sudah jelas, Asankhata Dhamma itu tidak dilahirkan dan tidak musnah.

Betul, bisa saja orang lain justru menangkap pemahaman yang seperti itu... Karena itu perlu saya tambahkan bahwa perealisasian Sankhata Dhamma akan bersamaan dengan perealisasian Asankhata Dhamma. Kita tidak bisa melihat apa itu Asankhata Dhamma. Tapi kita bisa melihat Sankhata Dhamma. Karena itu kita bisa merealisasikan Sankhata Dhamma... Dan ketika kita bisa melihat apa itu Sankhata Dhamma, dengan sendirinya akan timbul nana dan panna yang mengantarkan kita pada perealisasian Asankhata Dhamma.

Asankhata Dhamma dalam hal ini adalah Nibbana. Nibbana bukanlah akibat dari perealisasian Sankhata Dhamma. Sebab perealisasian kedua hal ini adalah bersamaan. Contoh analoginya adalah "ketika Anda memahami bagaimana korek api itu menyala, maka Anda akan paham bagaimana korek api itu padam".


Quote from: sobat-dharmaBetul.Semuanya adalah ilusi ketika seseorang telah tersadarkan! Hanya ketika yang belum tercerahkan seperti kita ini semuanya adalah nyata.

Ilusi adalah sesuatu yang tidak nyata namun terbiaskan sehingga seolah menjadi nyata. Sedangkan delusi adalah sesuatu yang nyata namun terbiaskan sehingga seolah menjadi tidak nyata.

Jika menurut Anda kehidupan dan dunia ini adalah ilusi, apa yang membuat Anda terkena ilusi ini? Siapa yang membuat ilusi ini? Apa penyebab munculnya ilusi ini? Dan Bagaimana mungkin anicca, dukkha dan anatta juga merupakan ilusi sedangkan mereka sungguh nyata dan dapat dibuktikan?

Dan bagaimana bisa tersadarkan sedangkan Anda sendiri hanyalah sekumpulan ilusi?


Quote from: sobat-dharmaKalau hal tersebut nyata (sejati) mengapa menghasilkan dukkha?

Rupanya Anda menganggap bahwa apa yang nyata merupakan sejati... Sekadar perbandingan pembendaharaan kata dari saya:
- "nyata" adalah sesuatu yang benar ada dan benar terjadi, dan bukanlah rekayasa
- "sejati" adalah sesuatu yang bersifat kompeten dan kredibel, sesuatu yang bersifat apa adanya, sesuatu yang bersifat tetap (permanen)

Citta-cetasika-rupa dan segala sesuatu yang bersyarat akan menghasilkan dukkha, sebab mereka timbul karena beberapa sebab. Karena timbul dari beberapa sebab, makanya segala sesuatu tidak kekal. Karena tidak kekal, maka segala sesuatu tidak ada yang memuaskan.

Jika dibalik lagi pertanyaannya adalah "kenapa segala sesuatu itu timbul karena beberapa sebab?" Jika ditanya demikian, maka jawaban yang baik adalah "karena segala sesuatu adalah saling mengondisikan". Tidak ada sebab pertama.

Pertanyaan saya untuk Anda: "Jika hal-hal tersebut adalah ilusi, mengapa ada kebenaran sejati? Bagaimana caranya melenyapkan ilusi dengam menggunakan ilusi?"


Quote from: sobat-dharmaKalau semua penyebab itu berhenti baru terdapat Nibbana, berarti Nibbana muncul setalah adalnya suatu sebab yaitu: "ketika semua sebab berhenti". Maka istilah ini masih mengandaikan Nibbana ada karena suatu sebab.

Nah, ini adalah permainan kata-kata Anda sendiri... :)

"Semua sebab itu berhenti" bukanlah merupakan penyebab yang lain, sebab tidak ada penyebab lain yang memunculkan "semua sebab itu berhenti".


Quote from: sobat-dharmaAnda bahkan masih terikat pada kata "sebab"bahkan ketika untuk menjelaskan mengapa Nibbana tidak musnah.

Tentu saja saya masih memakai terminologi "sebab". Sebab segala sesuatu bisa ada, berproses dan musnah karena sebab. Memangnya apa sebab Anda tidak lagi terikat pada kata sebab?


Quote from: sobat-dharmaKarena pada dasarnya Nibbana tidak bersebab dan tidak musnah serta tidak berubah-ubah, maka tidak ada "sebab yang berhenti" dalam realisasi nibbana.

Jika tidak ada "sebab yang berhenti" dalam perealisasian Nibbana, lantas apa yang terjadi dalam perealisasian Nibbana? Jika segala sesuatu muncul karena sebab, segala sesuatu yang muncul adalah dukkha, maka akhir dari dukkha seharusnya adalah berhentinya sebab. Akhir dari dukkha tentu adalah Nibbana.

Jika Anda menyatakan bahwa Nibbana bukan direalisasi dengan cara menghentikan penyebab, maka saya pikir Anda tidak setuju dengan "Kebenaran Mulia Ketiga: Terhentinya Dukkha (Dukkhanirodha)".


Quote from: sobat-dharmaBenih Kebuddha adalah potensi setiap makhluk dalam mencapai Kebuddhaan. Kalau tidak ada benih Kebuddhaan bagaimana mungkin makhluk hidup mencapai Kebuddhaan. Karena Nibbana tidak bersebab, tidak musnah dan tidak berubah-ubah, maka sebenarnya ia merupakan potensi yang sudah menetap di dalam setiap makhluk hidup. Hanya saja ia tertutup kabut ilusi ketidaktahuan yang menyelubunginya, sehingga menyebabkan makhluk hidup mengira citta-cetasika-rupa sebagai sesuatu yang nyata, padahal mereka hanyalah ilusi.

Ini mirip dengan kata-kata motivator bahwa "semua orang memiliki benih kesuksesan". Padahal ada beberapa orang yang memang sama sekali tidak punya peluang untuk sukses. Bagaimanapun juga, saya menerima pendapat Anda tentang "benih Kebuddha-an" sebagai kata-kata motivasi. :)

Menurut Anda, citta-cetasika-rupa merupakan ilusi. Darimana munculnya Buddha itu? Saya pikir itu juga muncul dari ilusi... Apakah Anda setuju?


Quote from: sobat-dharmaBenih keserakahan-kemelekatan setiap makhluk hidup adalah ketidaktahuan (avidya atau avijja)

Benar, saya sependapat dengan Anda. Lalu jika dikatakan ada "benih Kebuddha-an", apakah setiap makhluk hidup sudah memiliki "vidya" atau "vijja"?


Quote from: sobat-dharmaJika anda melihat soal "terhenti"dan "berputar"adalah soal gerak seperti halnya gerak biasa, maka demikianlah adanya.  Tapi ingatlah, yang "terhenti"dan "berputar"adalah Samsara. Nibbana tidak bergerak seinci pun (ini metafor :) ). Oleh karena itu Nibbana (dalam hal ini yang kumaksudkan adalah Hakikat Kebuddhaan) senantiasa  "ada" sebagai potensi yang ada di dalam setiap makhluk, menunggu kita untuk menyadarinya...(Sekali lagi ini cuman metafor... Bahasa kita terlalu terbatas untuk menjelaskannya)

Memang demikianlah bahwa samsara akan terus berputar selama masih ada avijja. Ketika avijja lenyap, maka itulah terhentinya samsara. Terhentinya samsara inilah Nibbana. Contoh analoginya adalah: "Ketika Anda terus berlari, maka itu adalah samsara; akan membuat Anda letih. Ketika Anda tidak lagi berlari, maka itu adalah terhentinya samsara; yakni Nibbana."

Jadi Nibbana adalah istilah lain untuk "terhentinya samsara". Yang sampai saya tidak mengerti adalah bagaimana Anda berpandangan bahwa "terhentinya samsara" dan "berputarnya samsara" adalah sama? Apakah "terus berlari" dan "tidak berlari" adalah sama?



adi lim

#77
QuoteQuote from: sobat-dharma
Jika anda melihat soal "terhenti"dan "berputar"adalah soal gerak seperti halnya gerak biasa, maka demikianlah adanya.  Tapi ingatlah, yang "terhenti"dan "berputar"adalah Samsara. Nibbana tidak bergerak seinci pun (ini metafor  ). Oleh karena itu Nibbana (dalam hal ini yang kumaksudkan adalah Hakikat Kebuddhaan) senantiasa  "ada" sebagai potensi yang ada di dalam setiap makhluk, menunggu kita untuk menyadarinya...(Sekali lagi ini cuman metafor... Bahasa kita terlalu terbatas untuk menjelaskannya)

Memang demikianlah bahwa samsara akan terus berputar selama masih ada avijja. Ketika avijja lenyap, maka itulah terhentinya samsara. Terhentinya samsara inilah Nibbana. Contoh analoginya adalah: "Ketika Anda terus berlari, maka itu adalah samsara; akan membuat Anda letih. Ketika Anda tidak lagi berlari, maka itu adalah terhentinya samsara; yakni Nibbana."

Bro Upasaka :
Jadi Nibbana adalah istilah lain untuk "terhentinya samsara". Yang sampai saya tidak mengerti adalah bagaimana Anda berpandangan bahwa "terhentinya samsara" dan "berputarnya samsara" adalah sama? Apakah "terus berlari" dan "tidak berlari" adalah sama?


berlari itu capek, cepat lelah, nafas ngos-ngosan !
tidak berlari itu bisa duduk, diam, rileks, bisa meditasi, nafas tidak ngos-ngosan :))
_/\_
Seringlah PancaKhanda direnungkan sebagai Ini Bukan MILIKKU, Ini Bukan AKU, Ini Bukan DIRIKU, bermanfaat mengurangi keSERAKAHan, mengurangi keSOMBONGan, Semoga dapat menjauhi Pandangan SALAH.

Nevada

Quote from: adi lim on 22 April 2010, 08:17:52 PM
Bro Upasaka :
Jadi Nibbana adalah istilah lain untuk "terhentinya samsara". Yang sampai saya tidak mengerti adalah bagaimana Anda berpandangan bahwa "terhentinya samsara" dan "berputarnya samsara" adalah sama? Apakah "terus berlari" dan "tidak berlari" adalah sama?


berlari itu capek, cepat lelah, nafas ngos-ngosan !
tidak berlari itu bisa duduk, diam, rileks, bisa meditasi, nafas tidak ngos-ngosan :))
_/\_

Benar, Bro. Kurang lebih memang seperti itu... Saya punya contoh kalimat perbandingan lain mengenai samsara dan Nibbana ini...

- Samsara = memiliki nafsu keinginan
- Nibbana = tidak memiliki nafsu keinginan

Apakah "memiliki nafsu keinginan" sama dengan "tidak memiliki nafsu keinginan"?
Pertanyaan di atas hanya pertanyaan retorik, jadi tidak perlu dijawab. :)

sobat-dharma

#79
Mencermati beberapa tanggapan yang muncul terhadap pendapat saya, dapat disimpulkan jika saya meneruskan pola diskusi yang berlangsung seperti hal tersebut maka akan berdampak terhadap kurang berfaedahnya dialog yang kita lakukan, apalagi ditambah dengan adanya sentimen antar aliran yang bisa memperkeruh. Oleh karena itu, saya memutuskan untuk tidak memberikan jawaban-jawaban yang bersifat reaktif semata, namun mencoba menjelaskan pendapat-pendapat saya dengan lebih terperinci, meskipun hal ini berarti membutuhkan waktu dan tenaga yang lebih panjang untuk menguraikan semuanya, yang berarti tidak bisa menjawab tuntas dengan sekali postingan. Karenanya, mohon sebelum saya selesai menguraikan seluruh pendapat saya tidak diinterupsi dulu, agar pemahaman yang terbentuk lebih lengkap. Terimakasih

Sebagai pembuka, saya akan memulai dengan kutipan berikut ini:

Quote from: upasaka on 21 April 2010, 11:34:00 AM
Seperti yang sudah dijelaskan oleh Bro Markosprawira, misalnya  Paramattha Dhamma adalah Sungai Ciliwung. Sedangkan Pannati Dhamma misalnya cara atau konsep untuk menyebut aliran air di daerah yang datar dan lambat itu.

Tentu saja saya hampir sepakat  sepenuhnya dengan contoh yang dibwat oleh sdr. Markosprawira. Namun, sayangnya hal ini seringkali di sederhanakan dengan mudah. Nah dalam hal ini saya akan memulai penguraian saya dengan menjelaskan bahwa bagaimana hubungan antara konsep dan kondisi apa adanya tidak semudah yang kita bayingkan selama ini.

Misalkan kita rumuskan contoh tentang sungai ciliwung di atas dalam rumusan berikut:
Konsep: "sungai ciliwung" (selanjutnya disebut "A")
Kondisi apa adanya: "aliran air di daerah yang datar dan lambat itu." (selanjutnya disebut "B")

Selanjutnya mari kita uji pendapat ini.

Pada tataran tertentu bisa diterima A adalah konsep, sedangkan B adalah kondisi apa adanya. Mengapa A disebut sebagai konsep. Hal ini dikarenakan "Sungai Ciliwung" adalah sebuah label nama yang dipakai untuk menunjuk pada B. Maka benar jika A adalah konsep yang menunjuk pada B. Sedangkan B dalam hal ini adalah sesuatu yang ditunjuk oleh A, jadi asumsinya B adalah kondisi yang sebenarnya yang diwakili oleh A yang merupakan konsep semata.

Dalam hal ini, sudah pasti A adalah konsep semata. Persoalan ini sudah jelas dan tidak menyebabkan perbedaan pendapat antara kita.

Persoalan selanjutnya adalah apakah benar B adalah kondisi apa adanya? Jika demikian kita harus mengasumsikan terlebih dahulu bahwa B, yaitu pernyataan "aliran air di daerah yang datar dan lambat itu" mewakili keadaan sebenarnya.Benarkah demikian?

Pertama, jika B dibandingkan dengan A, maka mungkin dapat dikatakan pernyataan B lebih kongkrit dari A. Namun, apakah benar "lebih kongkrit" berarti langsung menunjukkan kondisi apa adanya. Pada nyatanya B bukanlah yang paling kongkrit, sebab B pun adalah sebuah pernyataan yang mewakili sesuatu yang dialami oleh si pengamat dengan inderanya. Yang kemudian dinyatakan dalam konsep B. Maka pengamatan dengan pengalaman indrawi yang tak disimpulkan dengan pikiran gagasan atau kata apapun sebenarnya adalah "yang apa adanya" (Ini kesimpulan sementara).

Kedua, melihat pada pandangan yang di atas, B pun sebenarnya adalah sekumpulan konsep yang terdiri dari sekumpulan kata yaitu "aliran", "air"., "di daerah", dst. B sendiri sebenarnya adalah konsep yang tersusun dari sejumlah kata-kata. Karena merupakan kumpulan dari gagasan-gagasan, maka B sebenarnya tidak jauh dari A. Jika A dikatakan sebagai gagasan karena ia menunjuk pada sesuatu yang di luar dirinya dan bukan obyek itu sendiri, maka B pun demikian. Jika terus menerus dilakukan cara yang sama untuk mendefinisikan satu gagasan dengan gagasan lain, maka sebenarnya kita terjebak pada rantai gagasan yang tak berujung yang saling menunjuk ke yang lain, namun tidak pernah menjadi dirinya sendiri.

Kata "itu" pada akhir kalimat, mungkin sebenarnya yang paling mendekati kondisi "apa adanya," karena mencerminkan secara tidak langsung antara si pengamat dengan yang diamati dengan kesimpulan yang paling minim. Namun kata "itu" pun sebenarnya hanya merupakan suatu gagasan untuk menunjuk sesuatu yang di amati, di sini telah terdapat gagasan mengenai jarak. Misalnya "itu" seringkali dibedakan dengan "ini", yang pertama mewakili jarak antara pengamat dan yang diamati  yang cenderung jauh, sedangkan yang terakhir mewakili jarak antara pengamat dan yang diamati yang cenderung dekat.

Dengan kata lain, ketika muncul sebersit kesimpulan dan penamaan saja di dalam kepala kita mengenai "sesuatu"maka di situ sebenarnya sudah terbit gagasan, yang berarti di sanalah kebenaran menjadi relatif, yang berarti bukan kondisi apa adanya.

Ketiga, tidak mudah mengandaikan suatu situasi yang bebas dari gagasan ataupun bahasa sama sekali. Hal ini dikarenakan tidak sedetik pun kita (yang masih awam) bisa bebas dari kemelekatan pada bahasa. Bahkan ketika kita melihat sesuatu pun dalam pikiran kita secara otomatis terbersit sebuah gagasan. Misalnya: "ini air", keybord" dll.  Bahkan ketika kita melamun pun kita menggunakan kata-kata untuk menggambarkan gagasan kita (misalnya "bosan ah..", "kurang ajar", "nggak enak" ) yang meski tidak diucapkan namun menjadi suara-suara batin yang memproduksi makna-makna di kepala kita.

Bahkan jika tersersit makna di kepala kita bahwa "ada sesuatu" , hal itu aja sudah mengandung gagasan di dalamnya, yang berarti bukan lagi sesuatu yang "apa adanya." Misalkan jika terjadi di tengah-tengah malam, pada seseorang yang melihat adanya benda berwarna putih-putih melambai-lambai di tengah-tengah kegelapan. Namun tentu saja gagasan "ada sesuatu" masih jauh lebih netral dibandingkan ketika orang tersebut mulai berpikir "ada benda putih yang bergerak"atau "ada kain putih yang berkibar-kibar." Pada kasus ini, semakin tegas daya pembedaan yang dimiliki seseorang akan sesuatu,  maka gagasan yang terbentuk semakin jelas pula, yang berarti semakin jauh pula dari kondisi awalnya, yaitu ketika daya pembedaannya bersifat masih kabur atau tidak tegas (yang bukan berarti tidak memiliki daya pembeda). Gagasan adanya "sesuatu"sifatnya lebih kabur dari "benda putih bergerak" yang sifat pembedanya lebih kabur daripada "ada kain putih berkibar-kibar."  Meski demikian, walau kabur, sebagai gagasan tetap terkandung daya pembeda di dalamnya. "Ada sesuatu" bisa dibedakan dengan "tidak ada sesuatupun" yang masing-masing adalah sebuah gagasan.

Ketika itu, saat terbersit satu saja gagasan dalam kepala kita, ia telah menjadi Pannati Dhamma, bukan Paramattha Dhamma. Bahkan ketika kita menggolongkan antara "Pannati Dhamma" dan "Paramattha Dhamma" sebenarnya kita sudah terjebak dalam Pannati Dhamma. Begitu juga ketika kita membeda-bedakan subyek dengan obyek, ada dengan tiada, sejati dengan palsu, dan sebagainya, mau tudak mau yang terjadi adalah kita mulai terjebak dalam dunia gagasan. 

Keempat, lantas bagaimana kita memahami kondisi "apa adanya." Ada sebagian orang mengira kondisi "apa adanya" sama dengan kondisi "obyektif materiil." Namun gagasan ini pantas dibantah karena jelas sangat dipengaruhi oleh konsep materialisme dan idealisme sebagaimana yang dikenal juga dalam dunia filsafat Barat. Meskipun, secara lebih luas, pandangan demikian bukan hanya dominasi dunia filsafat Barat, namun juga beredar di kalangan Buddhis tertentu dengan cara pemosisian yang kurang lebih serupa.

Dalam hal ini seringkali diandaikan bahwa apa yang disebut sebagai "apa adanya" adalah keadaan benda-benda jasmaniah secara utuh tanpa penafsiran subyek di dalamnya. Lantas diasumsikan terdapat dunia yang mandiri terpisah-pisah sendiri antara subyek dan obyek., di mana terdapat dunia obyek (dunia benda-benda) yang berdiri terpisah tanpa kehadiran subyek dan terdapat dunia subyek (dunia gagasan-gagasan) yang hanya diliputi oleh dua kemungkinan: sejalan dengan dunia obyek atau menyimpang darinya. Apabila sesuai dengan dunia obyek, maka dianggap "nyata-obyektif", sedangkan ketika tidak, dianggap sebagai  "imaji-subyektif." Konsekuensi dari pandangan ini adalah munculnya anggapan bahwa yang disebut sebagai "apa adanya"adalah dunia obyektif tanpa campur tangan interpretasi subyek. Sedangkan subyek dikatakan berada di jalan yang benar apabila ia sejalan dan tidak bertentangan dengan realitas dunia obyektif.

Beberapa pertanyaan yang muncul terhadap pandangan ini adalah, apakah benar terdapat sebuah dunia obyektif yang sama sekali terlepas dari gagasan subyektif? Kalaupun seandainya gagasan tersebut diterima, bahwa adanya dunia obyektif tanpa kehadiran subyek, apakah yang dimaksud sebagai "apa adanya" dalam Paramattha Dhamma sama dengan pengertian tersebut? Dari dua pertanyaan ini saya akan membahas lebih lanjut.Mohon-mohon teman-teman sabar menunggu saya mengupas persoalan ini secara terperinci dan komprehensif.

(Bersambung..)
Mereka yang melihat-Ku dari wujud dan mengikuti-Ku dari suara terlibat dalam upaya salah. Mereka takkan melihat Aku. Dari Dharma-lah mestinya ia melihat Para Buddha. Dari Dharmakaya datang tuntunan baginya. Namun hakikat sejati Dharma tak terlihat dan tiada seorangpun bisa menyadarinya sebagai obyek