Forum Dhammacitta

Topik Buddhisme => Diskusi Umum => Topic started by: Sukma Kemenyan on 30 August 2008, 01:18:32 AM

Title: Seberapa jauh Nibbana?
Post by: Sukma Kemenyan on 30 August 2008, 01:18:32 AM
Menurut anda,
Berapa jauhkah Nibbana dari anda?
Berapa kehidupan lagi yang harus anda jalani?
atau... Mungkinkah nibbana tercapai pada kehidupan anda sekarang?

Bagaimana usaha yang anda lakukan untuk memperpendek jarak anda dengan tercapainya Nibbana?
dan apakah usaha anda akan efektif memperpendek jarak?
dan apakah usaha anda tidak menjadi sia-sia?
Title: Re: Seberapa jauh Nibbana?
Post by: Mr. Wei on 30 August 2008, 01:30:32 AM
Yang pasti, saya tidak akan melekat pada nibbana, karena semakin saya melekat pada nibbana, semakin saya jauh dari nibbana itu sendiri ;D

Mohon diluruskan apabila pandangan saya salah :p
Title: Re: Seberapa jauh Nibbana?
Post by: ryu on 30 August 2008, 07:25:12 AM
Quote from: Kemenyan on 30 August 2008, 01:18:32 AM
Menurut anda,
Berapa jauhkah Nibbana dari anda?
Berapa kehidupan lagi yang harus anda jalani?
atau... Mungkinkah nibbana tercapai pada kehidupan anda sekarang?

Bagaimana usaha yang anda lakukan untuk memperpendek jarak anda dengan tercapainya Nibbana?
dan apakah usaha anda akan efektif memperpendek jarak?
dan apakah usaha anda tidak menjadi sia-sia?
Mo nyontek ahh :))
1. Tidak jauh, tidak dekat.
2. Mungkin saja.
3. Tergantung diri sendiri lah.
Title: Re: Seberapa jauh Nibbana?
Post by: bond on 30 August 2008, 10:02:50 AM
Just do it dengan usaha yg benar maka akan efektif. :)
Title: Re: Seberapa jauh Nibbana?
Post by: Pitu Kecil on 30 August 2008, 10:11:43 AM
Dekat di depan, mau diraih atau tidak!
Title: Re: Seberapa jauh Nibbana?
Post by: Hikoza83 on 30 August 2008, 10:48:28 AM
dalam samsara.
Title: Re: Seberapa jauh Nibbana?
Post by: Sumedho on 30 August 2008, 11:15:46 AM
nibbana tidak dimana2x tapi ukurannya kemelekatan. bingung kan?
Title: Re: Seberapa jauh Nibbana?
Post by: Jayadharo Anton on 30 August 2008, 11:55:09 AM
Tambah bingung deh
Title: Re: Seberapa jauh Nibbana?
Post by: F.T on 30 August 2008, 12:02:43 PM
Jauh di mata , Dekat di hati ;D
Title: Re: Seberapa jauh Nibbana?
Post by: markosprawira on 01 September 2008, 02:59:43 PM
Nibbana adalah kebahagiaan tertinggi........

nah tinggal liat aja, apa hidup kita masih sering sedih, cemas, khawatir, emosi, marah, malas, lamban???

jika iya, berarti belum sampe nibbana.........  ;D

makin sering kita sedih, cemas, khawatir, emosi, marah, malas, lamban dan berbagai perasaan negatif, yah berarti kita makin jauh dari Nibbana........

Ini berlaku juga untuk melihat kondisi orang lain.......... ada yg ngaku suci, tapi masih marah2......... ada yg ngaku udh mencapai tingkatan tertentu, tapi masih ngantuk..........  :D

biar kita ga gampang ditipu........  ^-^
Title: Re: Seberapa jauh Nibbana?
Post by: decky on 09 September 2008, 10:33:43 PM
Quote from: Mr. Wei on 30 August 2008, 01:30:32 AM
Yang pasti, saya tidak akan melekat pada nibbana, karena semakin saya melekat pada nibbana, semakin saya jauh dari nibbana itu sendiri ;D

Mohon diluruskan apabila pandangan saya salah :p
Title: Re: Seberapa jauh Nibbana?
Post by: decky on 09 September 2008, 10:36:30 PM
Quote from: decky on 09 September 2008, 10:33:43 PM
Quote from: Mr. Wei on 30 August 2008, 01:30:32 AM
Yang pasti, saya tidak akan melekat pada nibbana, karena semakin saya melekat pada nibbana, semakin saya jauh dari nibbana itu sendiri ;D

Mohon diluruskan apabila pandangan saya salah :p
menurut saya nibbana adalah mengikis LDM semakin terkikis semakin dekat nibbannanya,kalau smkn jauh berarti menambah LDM itu sendiri
Title: Re: Seberapa jauh Nibbana?
Post by: decky on 09 September 2008, 10:51:22 PM
tidak jauh asal kita sudah dpt mngikis LDM
Title: Re: Seberapa jauh Nibbana?
Post by: andry on 09 September 2008, 10:56:03 PM
ini seh cuma pikiran saya doang.
samsara ini di ibaratkan lingkaran.
dan terus berputar di dalam nya..
terus..terus..dan terus....
lalu mau keluar dr lingkaran ini gmn?
yah berputarlah dgn cepatnya...
sgn semakin cepat.. maka anda kan terpental dan keluar..

Nb:gw sendiri juga bingung.. apa yg wa tulis...
Title: Re: Seberapa jauh Nibbana?
Post by: fran on 09 September 2008, 11:24:11 PM
Quote from: Felix Thioris on 30 August 2008, 12:02:43 PM
Jauh di mata , Dekat di hati ;D

usus..

Mungkinkah Nibanna bersemayam dalam usus ?

Title: Re: Seberapa jauh Nibbana?
Post by: fran on 09 September 2008, 11:26:36 PM
Quote from: Kemenyan on 30 August 2008, 01:18:32 AM
Menurut anda,
Berapa jauhkah Nibbana dari anda?
Berapa kehidupan lagi yang harus anda jalani?
atau... Mungkinkah nibbana tercapai pada kehidupan anda sekarang?

Bagaimana usaha yang anda lakukan untuk memperpendek jarak anda dengan tercapainya Nibbana?
dan apakah usaha anda akan efektif memperpendek jarak?
dan apakah usaha anda tidak menjadi sia-sia?

Btw, Nibbana itu dimana ya ?

Title: Re: Seberapa jauh Nibbana?
Post by: Adhitthana on 09 September 2008, 11:30:26 PM
Nibbana ..... tidak kemana-mana, ada dimana-mana
tapi Nibbana juga tidak tau ada dimana dan berada dimana

Bingung khan!!!  :hammer:
Title: Re: Seberapa jauh Nibbana?
Post by: Delusion on 11 September 2008, 10:32:42 AM
Quote from: Virya on 09 September 2008, 11:30:26 PM
Nibbana ..... tidak kemana-mana, ada dimana-mana
tapi Nibbana juga tidak tau ada dimana dan berada dimana

Bingung khan!!!  :hammer:
Yeah!!
Thz call nibbana...
Title: Re: Seberapa jauh Nibbana?
Post by: nyanadhana on 11 September 2008, 10:44:47 AM
Seberapa jauh Nibbana?

Sejauh pikiranmu ingin menggapainya
Title: Re: Seberapa jauh Nibbana?
Post by: fran on 11 September 2008, 05:26:24 PM
Dimanakah pikiran kita sekarang berada ?
Masih berapa kalpa lagi tuk capai garis finish Nibbana ?

Title: Re: Seberapa jauh Nibbana?
Post by: Delusion on 11 September 2008, 06:28:06 PM
Di mananakah pikiran Bro Fran sekarang berada  ;D
Title: Re: Seberapa jauh Nibbana?
Post by: dh14n on 12 September 2008, 01:25:51 AM
sejauh kita melepas dunia..
Title: Re: Seberapa jauh Nibbana?
Post by: nyanadhana on 12 September 2008, 07:49:42 AM
Quote from: dh14n on 12 September 2008, 01:25:51 AM
sejauh kita melepas dunia..
Quote from: Delusion on 11 September 2008, 06:28:06 PM
Di mananakah pikiran Bro Fran sekarang berada  ;D
Quote from: fran on 11 September 2008, 05:26:24 PM
Dimanakah pikiran kita sekarang berada ?
Masih berapa kalpa lagi tuk capai garis finish Nibbana ?


Quote from: nyanadhana on 11 September 2008, 10:44:47 AM
Seberapa jauh Nibbana?

Sejauh pikiranmu ingin menggapainya

Karena Nibbana itu tidak terletak dimana-mana,bukanlah sebuah tempat, sejauh pikiranmu ingin menggapai,sejauh itu pula Nibbana itu ada, pikiranlah yang membuat anda jauh dari Nibbana,dengan mengerti kerja pikiran dan menundukkan pikiran seperti menjinakkan harimau bukan membunuh harimaunya,maka barulah anda dikatakan sebagai penjinak pikiran. dan disitulah anda akan merasakan Nibbana terlepas dari segala konsep dualitas ,pemikiran,dan pemahaman.
Title: Re: Seberapa jauh Nibbana?
Post by: markosprawira on 12 September 2008, 10:20:31 AM
Setuju dengan bro nyana,

yang selama ini banyak disalah artikan adalah bahwa seolah-olah pikiran/citta/kesadaran itu menjadi musuh, yang harus dijauhi, atau dilepaskan untuk mencapai nibbana.

padahal sesungguhnya nibbana itu sendiri adalah kondisi pikiran yang tenang, tidak tergoyahkan, yang sudah memahami esensi sesungguhnya dari proses timbul dan tenggelamnya nama dan rupa  _/\_

logikanya : bagaimana mau mengenal dan memahami pikiran, jika kita memusuhi atau menjauhi pikiran itu sendiri  ^-^
Title: Re: Seberapa jauh Nibbana?
Post by: fran on 12 September 2008, 03:44:44 PM
Apakah saat kita tidur, kita telah mencapai Nibbana sesaat ?

Title: Re: Seberapa jauh Nibbana?
Post by: gajeboh angek on 13 September 2008, 10:47:11 AM
Quote from: fran on 12 September 2008, 03:44:44 PM
Apakah saat kita tidur, kita telah mencapai Nibbana sesaat ?

Om fran, konon kata Nibanna digunakan oleh Sang Buddha untuk menggambarkan keadaan makhluk yang sudah tercerahkan sempurna. Beliau-Beliau yang sudah mencapai Nibanna gak akan terjatuh jadi makhluk biasa lagi.

Tapi memang belakangan ada guru-guru spiritual yang menggambarkan ketenangan batin, kebahagiaan, dan lain-lain sebagai "nibanna". Nah mungkin saja "nibanna" ini bisa bersifat sementara.

Permasalahan mana yang baik dan betul tentu anda sudah bisa memutuskan sendiri. Saya pribadi lebih senang menggunakan Nibanna sebagaimana yang telah diajarkan Sang Buddha, agar makna aslinya tidak rancu atau semakin lama semakin kabur.

_/\_
Title: Re: Seberapa jauh Nibbana?
Post by: fran on 14 September 2008, 08:33:14 AM
Apakah org yg tidak pernah tau istilah Nibbana / konsep Nibbana bisa merealisasikan Nibbana ?
Manakah yg lebih baik, org yg tdk tau istilah Nibbana atau org yg tau istilah Nibbana, dlm merealisasikan Nibbana ?


Title: Re: Seberapa jauh Nibbana?
Post by: markosprawira on 15 September 2008, 10:56:12 AM
Quote from: fran on 12 September 2008, 03:44:44 PM
Apakah saat kita tidur, kita telah mencapai Nibbana sesaat ?

dear fran,

AFAIK, Nibbana sesaat terjadi pada mereka yang melatih bhavana sehingga pada satu saat 5 nivarana/rintangan batin sedemikian mengendapnya sehingga serasa sudah mencapai nibbana

jika kita tidur, biasanya ada 2 macam tidur yaitu tidur lelap dan non lelap.
Pada tidur lelap, yang berfungsi adalah bhavanga (citta/kesadaran penyambung)
Pada Non lelap, yang ditandai dengan adanya mimpi2, yang berfungsi adalah proses citta seperti saat kita sadar/sedang beraktifitas seperti biasanya.....

semoga bisa dimengerti yah.......  _/\_
Title: Re: Seberapa jauh Nibbana?
Post by: markosprawira on 15 September 2008, 11:34:16 AM
Quote from: fran on 14 September 2008, 08:33:14 AM
Apakah org yg tidak pernah tau istilah Nibbana / konsep Nibbana bisa merealisasikan Nibbana ?
Manakah yg lebih baik, org yg tdk tau istilah Nibbana atau org yg tau istilah Nibbana, dlm merealisasikan Nibbana ?

dear fran

bisa... seorang yang tidak pernah tau konsep nibbana bisa banget mencapai nibbana, seperti yang dialami oleh Siddhattha sebelum mencapai keBuddhaan

Istilah itu sendiri adalah konsep, yang dibuat agar orang memahaminya.
Didalam usaha merealisasi Nibbana, hendaknya konsep/pannati itu ditinggalkan dan orang mulailah memahami esensi sesungguhnya dari proses timbul dan tenggelamnya nama dan rupa

Nah yang sering kebablasan adalah bahwa karena nama dan rupa itu timbul dan tenggelam, diasumsikan oleh banyak pihak sebagai "Kosong"......... dimana ini terjebak kepada konsep Nihilisme

semoga bisa dimengerti yah...........  _/\_
Title: Re: Seberapa jauh Nibbana?
Post by: Kristin_chan on 15 September 2008, 01:13:58 PM
Nibanna...

Saat ku kejar... Kau menjauh...
Saat ku diam... Kau datang...
Title: Re: Seberapa jauh Nibbana?
Post by: nyanadhana on 15 September 2008, 02:01:36 PM
Kuntilanak mode on

Kalo suaranya dekat dengan kita berarti Nibbana itu masih jauh
Kalo suaranya jauh dari kita berarti Nibbana sudah sangat dekat dengan kita.

Nyambung ga yah gw?hehehehe....yah gitu deh...pokoke kalo Sang Buddha bilang
berusaha mati2an mengejar yang ada hanyalah babak belur
tidak berusaha dan diam di tempat yang ada hanyalah kemalasan dan kemunduran
tidak ekstrim dan tidak malas,sambil berjalan disitulah Kebenaran ditemukan.
Title: Re: Seberapa jauh Nibbana?
Post by: markosprawira on 15 September 2008, 03:17:44 PM
Quote from: Kristin_chan on 15 September 2008, 01:13:58 PM
Nibanna...

Saat ku kejar... Kau menjauh...
Saat ku diam... Kau datang...

diam dalam arti apa dulu nih? kalo diam dalam arti tidur dan bermalas2an, itu artinya memperbanyak thina middha (malas dan lamban).....

Nibbana akan muncul pada mereka yang menjalankan Jalan Utama beruas 8  :D
Title: NIBBANA DI SINI DAN SEKARANG
Post by: ilalang on 15 September 2008, 05:57:00 PM
NIBBANA DI SINI DAN SEKARANG

(Oleh: Y.M. Buddhadasa Mahathera)

Manfaat terbesar yang mungkin diperoleh dari praktik perhatian-penuh (mindfullnes)
dengan pernapasan ialah bahwa tanpa harus meninggal dunia dulu kita dapat
mengalami 'nibbana' dalam hidup ini. Di sini dimaksud adalah 'nibbana' di sini dan
sekarang, yang tidak ada kaitannya dengan kematian. 'Nibbana' berarti 'dingin,
sejuk' (cool). Kata 'nibbana' juga berarti 'dingin' yang mengacu pada dingin
yang bersifat sementara, belum permanen, belum sempurna. Namun citarasanya
adalah sama dengan 'nibbana' yang sempurna. 'Nibutto' adalah seperti sampel yang
ditunjukkan oleh seorang salesman tentang sebuah produk yang mungkin kita beli.
Sampel itu harus serupa. Jadi kita mempunyai sampel dari 'nibbana' untuk
dicicipi sebentar. Ini disebut 'nibbana sementara' atau 'saamaayika-nibbaana'.

Keadaan dingin bisa juga 'nibbana' yang muncul karena "faktor itu". Dalam
bahasa Pali itu disebut "faktor itu", yang berarti sesuatu yang mirip "terjadi
bersamaan " (coincidental). Misalnya, bila terdapat 'sati' (perhatian-penuh)
terfokus pada pernapasan, 'citta' (batin) dingin. Maka 'anapanasati' (perhatian
pada napas) adalah "faktor itu", agen, penyebab, yang menghasilkan dingin itu di
sini dan sekarang. Ini disebut 'tadanga-nibbana', 'nibbana' yang muncul
bersamaan (coincidental). Dingin itu muncul oleh karena tidak ada kotoran batin;
bila tidak ada kotoran batin, 'citta' (batin) dingin. Bila tidak ada api,
terdapat dingin. Di sini 'anapanasati' melenyapkan api, artinya, kotoran batin.
Sekalipun itu hanya bersifat sementara, api itu padam dan terdapat dingin untuk
sementara. Terdapat 'nibbana' untuk suatu waktu tertentu karena adanya "faktor
itu", alat itu, yakni 'anapanasati'. Sekalipun berlangsung sesaat (momentary),
belum sempurna dan menetap, citarasa 'nibbana' dikecap sebagai sampel, suatu
citarasa. 'Anapanasati' membantu kita mencicipi 'nibbana' sedikit demi sedikit,
saat demi saat, dalam hidup ini juga. Dan tidak perlu mati! Maka, durasi dingin
itu semakin panjang, semakin luas, dan frekuensinya semakin meningkat, sampai
terdapat 'nibbana' sempurna. Jika tercapai, manfaat inilah yang paling
memuaskan, paling berharga.

Adalah penting bahwa kita memahami kata 'nibbana' dengan benar. Itu berarti
"dingin", dan tidak ada kaitannya dengan kematian. Kita menggunakan kata
'parinibbana' jika kita bermaksud mengacu pada 'nibbana' yang berkaitan dengan
kematian, misalnya kematian seorang 'arahat'. Kata 'nibbana' saja tanpa awalan
'pari-' sekadar berarti "dingin", tidak adanya panas. Bayangkan bahwa segala
sesuatu berjalan sebagaimana mestinya buat Anda: Anda sehat, secara ekonomis
terjamin, punya keluarga yang baik, sahabat-sahabat yang baik, dan lingkungan
yang baik. Maka, sesuai dengan arti kata 'nibbana', kehidupan Anda ini 'dingin'.
Itu mungkin bukan 'nibbana' yang sempurna, oleh karena agar sempurna harus
mencakup batin yang 'dingin' pula, namun itu pun bisa dikatakan 'dingin'.

'Nibbana' berarti "dingin, sejuk". Kita bahkan bisa menggunakan kata ini
dalam kaitan dengan hal-hal material. Sebuah arang yang berangsur-angsur menjadi
dingin sampai tidak panas lagi, dikatakan 'nibbana'. Ketika sebuah sup terlalu
panas untuk dimakan, kita menunggunya sampai mendingin; lalu kita katakan sup
itu cukup 'nibbana' untuk dimakan. Kita bahkan bisa menggunakan kata itu untuk
binatang buas dan berbahaya yang ditangkap dari hutan; lalu dijinakkan dan
dilatih sehingga bisa hidup di tengah-tengah manusia. Binatang-binatang itu juga
bisa disebut 'nibbana'. Dalam kitab-kitab Pali, kata 'nibbana' digunakan dalam
kaitan dengan hal-hal material, binatang dan manusia. Jika sesuatu itu dingin
dan tidak panas, itu adalah 'nibbana' dalam satu atau lain makna,.Dan itu tidak
perlu mati. Melalui praktik 'anapanasati' kita akan memperoleh jenis 'nibbana'
yang paling memuaskan--dingin dalam tubuh jasmani, dingin dalam batin, dingin
dalam semua aspek.

Singkatnya, kita mempunyai kehidupan yang dingin di sini dan sekarang;
hidup kita 'nibbana', dalam arti yang diuraikan di atas. Dalam bahasa Pali, ini
disebut 'nibutto', artinya "orang yang menjadi dingin" atau "orang yang
mempunyai nibbana". Realitas ini disebut 'nibbana'. Orang seperti ini disebut
'nibutto'. "

(Dari: "MINDFULNESS WITH BREATHING -- A Manual for Serious Beginners", oleh:
Y.M. Buddhadasa Mahathera, halaman 104-6.)
Title: Re: Seberapa jauh Nibbana?
Post by: fran on 22 September 2008, 02:53:26 PM
Mengingat Nibbana adalah tujuan akhir dari setiap makhluk, maka mungkinkah suatu hari, 31 alam kehidupan itu kosong penghuninya ?


Title: Re: Seberapa jauh Nibbana?
Post by: Lily W on 22 September 2008, 05:33:28 PM
May be Yes....May be NO.... ;D

Title: Re: Seberapa jauh Nibbana?
Post by: markosprawira on 24 September 2008, 09:24:21 AM
Quote from: Lily W on 22 September 2008, 05:33:28 PM
May be Yes....May be NO.... ;D

saya yakin : ga mungkin

ga usah jauh2 nibbana, silahkan dihitung aja, berapa banyak mahluk2 alam apaya?? semut, serangga2 kecil2, ikan teri??? belum mahluk2 dari alam apaya lain

kelahiran di alam manusia aja, digambarkan seperti penyu yang naek ke permukaan setiap 100 thn sekali, yang berusaha memasukkan kepalanya ke gelang yang terombang ambing di lautan

untuk lahir menjadi manusia saja, sudah sesusah itu loh....... belum masuk ke alam Brahma, yang membutuhkan konsentrasi

Pesan moralnya : marilah kita mempercepat dan memperbanyak perbuatan baik, agar bisa mempercepat pencapaian Nibbana juga  _/\_
Title: Re: Seberapa jauh Nibbana?
Post by: gajeboh angek on 24 September 2008, 10:03:01 AM
Bro Markosaprawira,
sayangnya bukan itu yang dicatat dalam Tipitaka.

Sang Buddha tidak menjawab pertanyaan : apakah dunia terbatas, apakah dunia tidak terbatas, apakah jumlah makhluk terbatas, apakah jumlah makhluk tidak terbatas. Hal ini tidak dijawab, dan pertanyaan yang tidak seharusnya ditanyakan. Contohnya dalam Brahmajala Sutta, dalam Cula-Malunkyovada Sutta (http://www.accesstoinsight.org/tipitaka/mn/mn.063.than.html), dan seingat saya dalam satu Sutta lagi yang memperlihatkan Sang Buddha diam mengenai jumlah makhluk terbatas atau tidak terbatas, tetapi Ananda mengatakan apapun jalannya, hanya ada satu gerbang pembebasan yang diajarkan Sang Buddha.
Title: Re: Seberapa jauh Nibbana?
Post by: markosprawira on 24 September 2008, 10:55:38 AM
dear karuna,

anumodana untuk sutta yang and berikan, namun bukan perhitungan satu persatu yang menjadi inti postingan saya

moral dari post saya adalah bahwa lebih banyak mahluk yang menderita dibanding mahluk yang menyenangkan.

Pemikiran/opini saya ini sehubungan dengan kecenderungan mahluk untuk akusala dimana ini membuat umur semakin pendek, terlihat dari usia manusia dahulu yang mencapai 84.000 tahun dan turun terus........

Singkatnya ini hanya opini/kesimpulan saya aja   _/\_
Title: Re: Seberapa jauh Nibbana?
Post by: ilalang on 24 September 2008, 11:19:16 AM
Quote from: markosprawira on 24 September 2008, 09:24:21 AM
Quote from: Lily W on 22 September 2008, 05:33:28 PM
May be Yes....May be NO.... ;D

saya yakin : ga mungkin

ga usah jauh2 nibbana, silahkan dihitung aja, berapa banyak mahluk2 alam apaya?? semut, serangga2 kecil2, ikan teri??? belum mahluk2 dari alam apaya lain

kelahiran di alam manusia aja, digambarkan seperti penyu yang naek ke permukaan setiap 100 thn sekali, yang berusaha memasukkan kepalanya ke gelang yang terombang ambing di lautan

untuk lahir menjadi manusia saja, sudah sesusah itu loh....... belum masuk ke alam Brahma, yang membutuhkan konsentrasi

Pesan moralnya : marilah kita mempercepat dan memperbanyak perbuatan baik, agar bisa mempercepat pencapaian Nibbana  juga  _/\_

Hati-hati Bro...orang bisa salah paham dengan pernyataan Anda.
Moral (perbuatan baik dst) tidak relevan sejauh menyangkut Nibbana. Saya kira angulimala sutta sudah cukup jelas (mohon jangan terus diartikan saya menganjurkan amoral lho)

Jadi menurut saya pesan moral...eh pesan meditatifnya adalah:  meditasilah saat ini juga dengan menyadari setiap tindakan, ucapan, dan pikiran setiap saat...jangan ditunda-tunda lagi karena berbagai alasan duniawi, kurang Sila dsb...
Title: Re: Seberapa jauh Nibbana?
Post by: ilalang on 24 September 2008, 11:43:41 AM
Quote from: karuna_murti on 24 September 2008, 10:03:01 AM
Sang Buddha tidak menjawab pertanyaan : apakah dunia terbatas, apakah dunia tidak terbatas, apakah jumlah makhluk terbatas, apakah jumlah makhluk tidak terbatas. Hal ini tidak dijawab, dan pertanyaan yang tidak seharusnya ditanyakan...

Betul Bro. Sesuatu yang tidak terbatas tidak bisa dijangkau oleh pikiran manusia yang terbatas...bisa gila nanti :(.  Susahnya memang pikiran ini ga mau diam, selalu penasaran mencari-cari jawaban yang memuaskan dirinya... Kalau Sang Buddha memilih tidak menjawab, ini ada referensi lain yang mudah-mudahan "menjawab" pertanyaan sang pikiran:

"Nibbana ada, tapi tidak ada yang memasukinya"
(Visuddhi Magga)

"Betapa pun banyak jenis makhluk hidup ... kita harus menuntun semua makhluk hidup ini menuju nirvana tertinggi sehingga mereka terbebaskan. Dan ketika makhluk yang tak terhitung banyaknya ini telah terbebaskan, sesungguhnya kita tidak berpikir bahwa ada satu makhluk pun terbebaskan".
...
"Subhuti, janganlah berkata, Sang Tathagata memiliki ide, 'Saya akan menuntun makhluk-makhluk hidup ke seberang pantai pembebasan.' Jangan berpikir seperti itu, Subhuti. Mengapa? Sesungguhnya tidak ada satu pun makhluk yang bisa diseberangkan oleh Sang Tathagata. Jika Sang Tathagata berpikir itu ada, maka ia akan terperangkap dalam ide tentang suatu diri/aku, suatu pribadi, suatu makhluk hidup, suatu jangka hidup.
(Prajna Paramitha Sutra, "Sutra Pemecah Intan")

"Nibbana adalah samsara, samsara adalah Nibbana" (Nagarjuna)

Kalau ini sungguh-sungguh direnungkan dan dibarengi dengan meditasi, mudah-mudahan sang pikiran bisa diam dan enggak lagi mencari-cari jawaban.  Karena dalam diam itulah barangkali "jawaban" yang dicari dapat ditemukan.
Title: Re: Seberapa jauh Nibbana?
Post by: Delusion on 24 September 2008, 12:16:55 PM
Nibbana ngak nibbana sama saja, sama-sama merasakan derita fisik.
Hanya saja berbeda pada batinnya...
Title: Re: Seberapa jauh Nibbana?
Post by: markosprawira on 24 September 2008, 01:28:22 PM
Quote from: ilalang on 24 September 2008, 11:19:16 AM
Quotesaya yakin : ga mungkin

ga usah jauh2 nibbana, silahkan dihitung aja, berapa banyak mahluk2 alam apaya?? semut, serangga2 kecil2, ikan teri??? belum mahluk2 dari alam apaya lain

kelahiran di alam manusia aja, digambarkan seperti penyu yang naek ke permukaan setiap 100 thn sekali, yang berusaha memasukkan kepalanya ke gelang yang terombang ambing di lautan

untuk lahir menjadi manusia saja, sudah sesusah itu loh....... belum masuk ke alam Brahma, yang membutuhkan konsentrasi

Pesan moralnya : marilah kita mempercepat dan memperbanyak perbuatan baik, agar bisa mempercepat pencapaian Nibbana  juga  _/\_

Hati-hati Bro...orang bisa salah paham dengan pernyataan Anda.
Moral (perbuatan baik dst) tidak relevan sejauh menyangkut Nibbana. Saya kira angulimala sutta sudah cukup jelas (mohon jangan terus diartikan saya menganjurkan amoral lho)

Jadi menurut saya pesan moral...eh pesan meditatifnya adalah:  meditasilah saat ini juga dengan menyadari setiap tindakan, ucapan, dan pikiran setiap saat...jangan ditunda-tunda lagi karena berbagai alasan duniawi, kurang Sila dsb...

dear Ilalang,

Sila, samadhi dan panna hendaknya dilaksanakan.... itu sudah jelas... hubungan ketiganya akan saling mendukung

hal termudah yang bisa dilakukan oleh seorang pemula, adalah SILA....... memang ada sebagian orang yang batinnya sudah cukup matang, bisa langsung bermeditasi........

namun sebagian besar, kondisinya masih harus dikondisikan dahulu dengan perbuatan yang baik

Ini bisa dilihat pada Angulimala dimana batin beliau sebenarnya sudah cukup matang, sehingga bisa langsung "tersadar" hanya dengan ucapan Buddha
"Wahai Angulimala, Aku sudah dari tadi tidak bergerak, engkaulah yang masih terus bergerak."

dan dalam kehidupan itu juga, Angulimala langsung menjadi Arahat.

Ini sering disalah artikan bahwa kesucian begitu mudah didapat, hanya dengan bermeditasi saja.

Sama seperti menisbikan arti pengalaman2 dari kehidupan Buddha Gautama sebelum menjadi buddha, yang melalui 4 assankheya kappa dan 100.000 maha kappa, menjadi "hanya" bermeditasi 6 tahun, sudah menjadi samma sambuddha

Jadi sebenarnya adalah bahwa kesiapan batin adalah melalui pengalaman pada kehidupan2 yang lampau

semoga ini tidak diartikan bahwa saya anti meditasi yah  ;D
Title: Re: Seberapa jauh Nibbana?
Post by: markosprawira on 24 September 2008, 01:39:01 PM
Quote from: ilalang on 24 September 2008, 11:43:41 AM

"Nibbana ada, tapi tidak ada yang memasukinya"
(Visuddhi Magga)


Kalau ini sungguh-sungguh direnungkan dan dibarengi dengan meditasi, mudah-mudahan sang pikiran bisa diam dan enggak lagi mencari-cari jawaban.  Karena dalam diam itulah barangkali "jawaban" yang dicari dapat ditemukan.

Maaf bro Ilalang,

bisa kasih referensi lengkapnya mengenai vissudhi magga yang anda maksud diatas???  _/\_
karena kadang ada sebagian orang yang hanya mencuplik sebagian isi sutta, sehingga berpotensi membuat keliru

Mengenai pikiran diam : maaf kalau saya berbeda pendapat, karena dalam meditasi itu sebenarnya adalah melatih konsentrasi........ diam dan konsentrasi/fokus itu beda loh..... diam itu doing nothing, terkonsentrasi adalah tetap pada 1 objek

Jika berkenan, silahkan baca mengenai micca samadhi (meditasi yg keliru) di http://dhammacitta.org/forum/index.php?topic=4204.0

Jadi bisa tahu bagaimana ciri-ciri meditasi yang keliru

semoga bermanfaat dalam melakukan meditasi  _/\_
Title: Re: Seberapa jauh Nibbana?
Post by: gajeboh angek on 24 September 2008, 01:54:38 PM
Quote from: ilalang on 24 September 2008, 11:43:41 AM
"Nibbana ada, tapi tidak ada yang memasukinya"

Quote di atas memang ada, saya pernah membacanya. Untuk mencantumkan visuddhi magga tampaknya agak susah, karena versi online/digital susah dicari.
Quote itu menunjukkan anatta. Tetapi hal ini merupakan hal yang tidak dapat dialami makhluk biasa, melainkan dialami pada saat mencapai tingkat kesucian.
_/\_
Title: Re: Seberapa jauh Nibbana?
Post by: ilalang on 24 September 2008, 02:02:07 PM
Quote from: markosprawira on 24 September 2008, 01:39:01 PM
Quote from: ilalang on 24 September 2008, 11:43:41 AM

"Nibbana ada, tapi tidak ada yang memasukinya"
(Visuddhi Magga)


Kalau ini sungguh-sungguh direnungkan dan dibarengi dengan meditasi, mudah-mudahan sang pikiran bisa diam dan enggak lagi mencari-cari jawaban.  Karena dalam diam itulah barangkali "jawaban" yang dicari dapat ditemukan.

Maaf bro Ilalang,

bisa kasih referensi lengkapnya mengenai vissudhi magga yang anda maksud diatas???  _/\_
karena kadang ada sebagian orang yang hanya mencuplik sebagian isi sutta, sehingga berpotensi membuat keliru

Mengenai pikiran diam : maaf kalau saya berbeda pendapat, karena dalam meditasi itu sebenarnya adalah melatih konsentrasi........ diam dan konsentrasi/fokus itu beda loh..... diam itu doing nothing, terkonsentrasi adalah tetap pada 1 objek

Jika berkenan, silahkan baca mengenai micca samadhi (meditasi yg keliru) di http://dhammacitta.org/forum/index.php?topic=4204.0

Jadi bisa tahu bagaimana ciri-ciri meditasi yang keliru

semoga bermanfaat dalam melakukan meditasi  _/\_

Visuddhi-magga:

"Mere suffering exists, no sufferer is found;
The deed is, but no doer of the deed is there;
Nibbána is, but not the man that enters it;
The path is, but no traveler on it is seen." (Vis.M.XVI)
(terjemahan: Ven. Nyanatiloka Mahathera)

Visuddhi-Magga XVI:
"Penderitaan ada, tapi tak ada si penderita;
Perbuatan ada, tapi tak ada si pembuat;
Nibbana ada, tapi tak ada orang yang memasukinya;
Jalan ada, tapi tak ada orang yang menempuhnya."

Nah rekan Markosprawira,
Sebelum kita diskusi lebih lanjut, sy ingin tahu bagaimana pendapat Anda tentang kutipan diatas?
Title: Re: Seberapa jauh Nibbana?
Post by: gajeboh angek on 24 September 2008, 02:04:02 PM
Ilalang, hal itu menunjukkan Paramatha Dhamma, bukan untuk orang yang masih berlatih.
_/\_
Title: Re: Seberapa jauh Nibbana?
Post by: markosprawira on 24 September 2008, 02:52:37 PM
Quote from: ilalang on 24 September 2008, 02:02:07 PM
Visuddhi-magga:

"Mere suffering exists, no sufferer is found;
The deed is, but no doer of the deed is there;
Nibbána is, but not the man that enters it;
The path is, but no traveler on it is seen." (Vis.M.XVI)
(terjemahan: Ven. Nyanatiloka Mahathera)

Visuddhi-Magga XVI:
"Penderitaan ada, tapi tak ada si penderita;
Perbuatan ada, tapi tak ada si pembuat;
Nibbana ada, tapi tak ada orang yang memasukinya;
Jalan ada, tapi tak ada orang yang menempuhnya."

Nah rekan Markosprawira,
Sebelum kita diskusi lebih lanjut, sy ingin tahu bagaimana pendapat Anda tentang kutipan diatas?


Ini adalah mengenai Anatta, dimana ada perbuatan tapi tidak ada pelakunya
Yang ada adalah proses (nama dan rupa) yang berkelanjutan

Ini selaras sekali dengan AKU/ATTA yang dicontohkan dengan sungai yang mengalir dimana isinya berubah-ubah, dengan masukan dari kamma2 yang dilakukan setiap saat.
Apakah air sungai itu ada? iya ada
Apakah air sungai itu tidak ada? iya tidak ada, karena komposisi di dalamnya selalu berubah-ubah setiap saat

Jadi tolong berhati-hati dalam pembahasan Anatta karena sebagian besar orang masuk ke paham ATTA yg kekal, dan banyak meditator terpeleset ke beberapa paham sesat seperti Nihilisme, Atman/Brahman, dll

Topik ini baru saja dibahas oleh pak Selamat Rodjali dalam diskusi di kebaktian Mahasathi tgl 21 Sept jam 09.09

Nah menurut bro Ilalang sendiri?  _/\_

maaf jika saya hanya membahas dari sudut Theravada karena pengetahuan saya yang terbatas  :-[

semoga bisa bermanfaat
Title: Re: Seberapa jauh Nibbana?
Post by: ilalang on 24 September 2008, 09:19:46 PM
Quote from: markosprawira on 24 September 2008, 02:52:37 PM
Ini adalah mengenai Anatta, dimana ada perbuatan tapi tidak ada pelakunya
Yang ada adalah proses (nama dan rupa) yang berkelanjutan

Ini selaras sekali dengan AKU/ATTA yang dicontohkan dengan sungai yang mengalir dimana isinya berubah-ubah, dengan masukan dari kamma2 yang dilakukan setiap saat.
Apakah air sungai itu ada? iya ada
Apakah air sungai itu tidak ada? iya tidak ada, karena komposisi di dalamnya selalu berubah-ubah setiap saat

Jadi tolong berhati-hati dalam pembahasan Anatta karena sebagian besar orang masuk ke paham ATTA yg kekal, dan banyak meditator terpeleset ke beberapa paham sesat seperti Nihilisme, Atman/Brahman, dll

Pemahaman Anda teoritis sekali menurut saya. Masalahnya dalam membahas nibbanna/anatta secara teoritis saja mau tidak mau kita akan terjebak dalam dualitas. Itulah kenapa dalam pengungkapannya sering digunakan paradoks-paradoks seperti kutipan Visuddhi Magga di atas. Pemahaman secara teoritis/intelektual malah akan kelihatan kontradiktif. 

Atta" dipahami sebagai LAWAN dari "anatta". "Dhukkha" dipahami sebagai LAWAN dari lenyapnya Dhukkha (Nibbana). "Kemudian "dhukkha" dan "atta" ingin dilenyapkan/dijauhi tanpa dipahami benar-benar hakekatnya. Untuk mencapai "tujuan" itu harus melalui sebuah "jalan", dengan "anatta" dan "nibbana" diletakan jauuuh di ujung "jalan"... Dalam posting sebelumnya misalnya Anda menulis bahwa orang harus bagus Sila-nya dulu, matang dulu batinnya melalui sekian ratus ribu kappa pengalaman hidup yang lampau...bahkan sekadar untuk mulai meditasi...

Dalam meditasi vipassana secara aktual terlihat jelas apa yang dikatakan dalam Visuddhi-magga. Kalau Anda melihat kebenaran "atta" secara tuntas dalam vipassana, PADA SAAT ITU JUGA Anda melihat "anatta". Demikian juga kalau Anda melihat "dukkha" secara tuntas dalam vipassana, pada saat itu juga Anda melihat Nibbana (Lenyapnya Dukkha), penyebab, sekaligus "jalan" (menuju lenyapnya Dukkha).  Dan semua itu harus terjadi pada saat kini, bukan diletakkan di masa depan.  Menaruh "Nibbana" di ujung "jalan" nun jauh di sana tidak lebih dari ulah pikiran (sankhara), untuk mempertahankan dirinya supaya tetap langgeng.
Title: Re: Seberapa jauh Nibbana?
Post by: ilalang on 24 September 2008, 09:27:54 PM
Quote from: markosprawira on 24 September 2008, 01:39:01 PM

Mengenai pikiran diam : maaf kalau saya berbeda pendapat, karena dalam meditasi itu sebenarnya adalah melatih konsentrasi........ diam dan konsentrasi/fokus itu beda loh..... diam itu doing nothing, terkonsentrasi adalah tetap pada 1 objek

Jika berkenan, silahkan baca mengenai micca samadhi (meditasi yg keliru) di http://dhammacitta.org/forum/index.php?topic=4204.0

Jadi bisa tahu bagaimana ciri-ciri meditasi yang keliru

semoga bermanfaat dalam melakukan meditasi  _/\_

Oh ya terima kasih atas peringatan Anda soal "pikiran diam" dan micca samadhi (meditasi yg keliru). Buat para pemidatasi juga perlu diwaspadai PIKIRAN SALAH seperti dikatakan dalam bab terakhir Surangama Sutra ("Peringatan bagi para pemeditasi: Lima puluh keadaan palsu disebabkan oleh kelima arus-diri [skandha].")

Sang Buddha bersabda:

"Kalian perlu belajar lebih banyak dalam upaya kalian mencapai Anuttara Samyak-Sambodhi [Pencerahan Sempurna Tiada Tara]. Saya telah mengajarkan cara berlatih yang benar, tapi kalian masih belum tahu sepak terjang Mara yang halus ketika kalian melatih samatha-vipassana... Bila mereka muncul dan kalian tidak bisa mengenali mereka dan batin kalian tidak berada dalam keadaan yang benar, maka kalian akan jatuh ke dalam kejahatan mereka atau kejahatan kelima arus-diri kalian. Jika kalian tidak memahami jelas tentang mereka, kalian akan mengira pencuri-pencuri itu seperti anak-anak kalian sendiri. Lebih jauh lagi, kalian akan menganggap kemajuan kecil sebagai pencapaian sempurna ...

"Kalian harus tahu bahwa BODHI FUNDAMENTAL yang jernih, cemerlang dan mendalam dari semua makhluk yang hidup di dalam Samsara ini adalah BODHI DARI SEMUA BUDDHA. ... Karena kalian berpikir salah maka kalian tidak jelas melihat kebenaran sejati, lalu menjadi bodoh dan penuh keinginan yang membawa kalian pada kegelapan batin sepenuhnya. Dari situlah datang kekosongan (relatif), dan karena kalian selalu terkelabui, maka alam semesta ini tercipta secara palsu. SEMUA ALAM YANG TAK TERHITUNG BAGAIKAN DEBU DI DALAM SAMSARA INI ADA KARENA KALIAN BERKERAS KEPALA DENGAN PIKIRAN YANG SALAH!
Title: Re: Seberapa jauh Nibbana?
Post by: markosprawira on 25 September 2008, 09:50:20 AM
Quote from: ilalang on 24 September 2008, 09:19:46 PM
Quote from: markosprawira on 24 September 2008, 02:52:37 PM
Ini adalah mengenai Anatta, dimana ada perbuatan tapi tidak ada pelakunya
Yang ada adalah proses (nama dan rupa) yang berkelanjutan

Ini selaras sekali dengan AKU/ATTA yang dicontohkan dengan sungai yang mengalir dimana isinya berubah-ubah, dengan masukan dari kamma2 yang dilakukan setiap saat.
Apakah air sungai itu ada? iya ada
Apakah air sungai itu tidak ada? iya tidak ada, karena komposisi di dalamnya selalu berubah-ubah setiap saat

Jadi tolong berhati-hati dalam pembahasan Anatta karena sebagian besar orang masuk ke paham ATTA yg kekal, dan banyak meditator terpeleset ke beberapa paham sesat seperti Nihilisme, Atman/Brahman, dll

Pemahaman Anda teoritis sekali menurut saya. Masalahnya dalam membahas nibbanna/anatta secara teoritis saja mau tidak mau kita akan terjebak dalam dualitas. Itulah kenapa dalam pengungkapannya sering digunakan paradoks-paradoks seperti kutipan Visuddhi Magga di atas. Pemahaman secara teoritis/intelektual malah akan kelihatan kontradiktif. 

Atta" dipahami sebagai LAWAN dari "anatta". "Dhukkha" dipahami sebagai LAWAN dari lenyapnya Dhukkha (Nibbana). "Kemudian "dhukkha" dan "atta" ingin dilenyapkan/dijauhi tanpa dipahami benar-benar hakekatnya. Untuk mencapai "tujuan" itu harus melalui sebuah "jalan", dengan "anatta" dan "nibbana" diletakan jauuuh di ujung "jalan"... Dalam posting sebelumnya misalnya Anda menulis bahwa orang harus bagus Sila-nya dulu, matang dulu batinnya melalui sekian ratus ribu kappa pengalaman hidup yang lampau...bahkan sekadar untuk mulai meditasi...

dear Ilalang,

boleh tau apa post saya mana yang bilang bahwa harus matang batin untuk sekedar mulai bermeditasi yah???

bahkan di depan, saya sudah dengan jelas menyatakan Sila, samadhi dan panna hendaknya dilaksanakan.... itu sudah jelas... hubungan ketiganya akan saling mendukung

Berikut lanjutannya :
Quotehal termudah yang bisa dilakukan oleh seorang pemula, adalah SILA....... memang ada sebagian orang yang batinnya sudah cukup matang, bisa langsung bermeditasi........

namun sebagian besar, kondisinya masih harus dikondisikan dahulu dengan perbuatan yang baik

Ini bisa dilihat pada Angulimala dimana batin beliau sebenarnya sudah cukup matang, sehingga bisa langsung "tersadar" hanya dengan ucapan Buddha
"Wahai Angulimala, Aku sudah dari tadi tidak bergerak, engkaulah yang masih terus bergerak."

Diatas sudah jelas bahwa saya menyatakan bahwa setiap orang mempunyai kecocokan masing-masing.

Kematangan batin diperoleh dari pengalaman2 dari hidup lampau, yang sudah menjalankan Sila, samadhi dan Panna..... bukan semata dari samadhi saja

Mengenai teoritis atau tidaknya, saya tidak akan berkomentar, karena yang terpenting bagi saya saat ini adalah hidup yang lebih dan lebih baik lagi, bukan berdebat teori mana yang cocok untuk saya atau anda


Quote from: ilalang on 24 September 2008, 09:19:46 PM
Dalam meditasi vipassana secara aktual terlihat jelas apa yang dikatakan dalam Visuddhi-magga. Kalau Anda melihat kebenaran "atta" secara tuntas dalam vipassana, PADA SAAT ITU JUGA Anda melihat "anatta". Demikian juga kalau Anda melihat "dukkha" secara tuntas dalam vipassana, pada saat itu juga Anda melihat Nibbana (Lenyapnya Dukkha), penyebab, sekaligus "jalan" (menuju lenyapnya Dukkha).  Dan semua itu harus terjadi pada saat kini, bukan diletakkan di masa depan.  Menaruh "Nibbana" di ujung "jalan" nun jauh di sana tidak lebih dari ulah pikiran (sankhara), untuk mempertahankan dirinya supaya tetap langgeng.

Dear Ilalang,

Setuju bahwa dengan vipassana, bisa menembus hakekat sesungguhnya dari Anicca, Dukkha dan Anatta

Saya juga setuju bahwa untuk melenyapkan Dukkha dan mengetahui Anatta, kita harus mengetahui dahulu apa itu Dukkha, apa itu Atta......

Namun maaf jika saya tidak sependapat dengan anda.
Jika anda melihat "Atta", bukan berarti anda sudah melihat Anatta.
Jika anda sudah melihat "Dukkha", juga bukan berarti anda sudah melihat Lenyapnya Dukkha/Nibbana

Bagaimana anda bisa mengetahui Anatta dan Nibbana, dengan batin yang diliputi Lobha, Dosa dan Moha?

Sama seperti buah mangga, apakah dengan melihat mangga, berarti anda sudah memahami mangga secara keseluruhan??
Anda belum tahu rasanya
Anda belum tahu bentuk bijinya
Anda bahkan belum tahu warnanya

Hal berbeda jika anda sudah membuka kulitnya, mencicipinya, melihat bijinya...... Disitulah anda mengetahui "mangga"


Jadi jika anda merasa dengan Vipassana anda saat ini, anda sudah melihat apa yang dikatakan dalam Vissudhi Magga, saya ikut bermudita citta.

Namun maaf jika saya tetap berpendapat bahwa Nibbana adalan merupakan kondisi batin yang ada di akhir, bukan dengan melihat Anicca, Dukkha dan Anatta dengan batin masih diliputi Lobha, Dosa dan Moha


anumodana  _/\_
Title: Re: Seberapa jauh Nibbana?
Post by: markosprawira on 25 September 2008, 09:54:45 AM
Quote from: ilalang on 24 September 2008, 09:27:54 PM
Quote from: markosprawira on 24 September 2008, 01:39:01 PM

Mengenai pikiran diam : maaf kalau saya berbeda pendapat, karena dalam meditasi itu sebenarnya adalah melatih konsentrasi........ diam dan konsentrasi/fokus itu beda loh..... diam itu doing nothing, terkonsentrasi adalah tetap pada 1 objek

Jika berkenan, silahkan baca mengenai micca samadhi (meditasi yg keliru) di http://dhammacitta.org/forum/index.php?topic=4204.0

Jadi bisa tahu bagaimana ciri-ciri meditasi yang keliru

semoga bermanfaat dalam melakukan meditasi  _/\_

Oh ya terima kasih atas peringatan Anda soal "pikiran diam" dan micca samadhi (meditasi yg keliru). Buat para pemidatasi juga perlu diwaspadai PIKIRAN SALAH seperti dikatakan dalam bab terakhir Surangama Sutra ("Peringatan bagi para pemeditasi: Lima puluh keadaan palsu disebabkan oleh kelima arus-diri [skandha].")

Sang Buddha bersabda:

"Kalian perlu belajar lebih banyak dalam upaya kalian mencapai Anuttara Samyak-Sambodhi [Pencerahan Sempurna Tiada Tara]. Saya telah mengajarkan cara berlatih yang benar, tapi kalian masih belum tahu sepak terjang Mara yang halus ketika kalian melatih samatha-vipassana... Bila mereka muncul dan kalian tidak bisa mengenali mereka dan batin kalian tidak berada dalam keadaan yang benar, maka kalian akan jatuh ke dalam kejahatan mereka atau kejahatan kelima arus-diri kalian. Jika kalian tidak memahami jelas tentang mereka, kalian akan mengira pencuri-pencuri itu seperti anak-anak kalian sendiri. Lebih jauh lagi, kalian akan menganggap kemajuan kecil sebagai pencapaian sempurna ...

"Kalian harus tahu bahwa BODHI FUNDAMENTAL yang jernih, cemerlang dan mendalam dari semua makhluk yang hidup di dalam Samsara ini adalah BODHI DARI SEMUA BUDDHA. ... Karena kalian berpikir salah maka kalian tidak jelas melihat kebenaran sejati, lalu menjadi bodoh dan penuh keinginan yang membawa kalian pada kegelapan batin sepenuhnya. Dari situlah datang kekosongan (relatif), dan karena kalian selalu terkelabui, maka alam semesta ini tercipta secara palsu. SEMUA ALAM YANG TAK TERHITUNG BAGAIKAN DEBU DI DALAM SAMSARA INI ADA KARENA KALIAN BERKERAS KEPALA DENGAN PIKIRAN YANG SALAH!

Maaf, sejauh yang saya tahu ini adalah Sutra Mahayana, dimana saya tidak mempunyai pengetahuan yang cukup untuk membahasnya  ^:)^

Hanya saja, jika dilihat dari sisi Theravada, ada beberapa ketidak cocokan dengan sutra ini, namun saya rasa ketidak cocokan ini bukanlah sesuatu yang perlu didiskusikan karena memang sudah berbeda sudut pandang....

_/\_
Title: Re: Seberapa jauh Nibbana?
Post by: ilalang on 25 September 2008, 12:36:06 PM
Quote from: markosprawira on 25 September 2008, 09:50:20 AM
dear Ilalang,

boleh tau apa post saya mana yang bilang bahwa harus matang batin untuk sekedar mulai bermeditasi yah???


Boleh, yang ini:

Quote from: markosprawira on 24 September 2008, 01:28:22 PM

hal termudah yang bisa dilakukan oleh seorang pemula, adalah SILA....... memang ada sebagian orang yang batinnya sudah cukup matang, bisa langsung bermeditasi........

namun sebagian besar, kondisinya masih harus dikondisikan dahulu dengan perbuatan yang baik

[...]

Sama seperti menisbikan arti pengalaman2 dari kehidupan Buddha Gautama sebelum menjadi buddha, yang melalui 4 assankheya kappa dan 100.000 maha kappa, menjadi "hanya" bermeditasi 6 tahun, sudah menjadi samma sambuddha

Jadi sebenarnya adalah bahwa kesiapan batin adalah melalui pengalaman pada kehidupan2 yang lampau


Quote
Namun maaf jika saya tidak sependapat dengan anda.
Jika anda melihat "Atta", bukan berarti anda sudah melihat Anatta.
Jika anda sudah melihat "Dukkha", juga bukan berarti anda sudah melihat Lenyapnya Dukkha/Nibbana

Bagaimana anda bisa mengetahui Anatta dan Nibbana, dengan batin yang diliputi Lobha, Dosa dan Moha?

Beda pendapat wajar-wajar aja kok. Bagaimanapun juga uraian tentang 'nibbana' dan 'anatta'  berapa banyak pun tidak akan ada gunanya sama sekali bila orang tidak mengalaminya sendiri dalam keheningan vipassana.

Quote
Sama seperti buah mangga, apakah dengan melihat mangga, berarti anda sudah memahami mangga secara keseluruhan??
Anda belum tahu rasanya
Anda belum tahu bentuk bijinya
Anda bahkan belum tahu warnanya

Hal berbeda jika anda sudah membuka kulitnya, mencicipinya, melihat bijinya...... Disitulah anda mengetahui "mangga"

Soal cicip-mencicipi...
Keadaan yang diungkapkan dalam Visuddhi Magga, walau mungkin orang belum sampai pada keadaan akhir yang permanen (arahat), tetapi apa yang dialami dalam keheningan vipassana itu dapat dinamakan "mencicipi nibbana" (having a taste of nibbana). Demikian pernyataan guru vipassana terkenal, YM Buddhadasa Mahathera.

Bagaimana pendapat Anda tentang ini?
Quote from: ilalang on 15 September 2008, 05:57:00 PM
NIBBANA DI SINI DAN SEKARANG

(Oleh: Y.M. Buddhadasa Mahathera)

_/\_
Title: Re: Seberapa jauh Nibbana?
Post by: markosprawira on 25 September 2008, 02:01:57 PM
Quote from: ilalang on 25 September 2008, 12:36:06 PM
Quote
hal termudah yang bisa dilakukan oleh seorang pemula, adalah SILA....... memang ada sebagian orang yang batinnya sudah cukup matang, bisa langsung bermeditasi........

namun sebagian besar, kondisinya masih harus dikondisikan dahulu dengan perbuatan yang baik

Sama seperti menisbikan arti pengalaman2 dari kehidupan Buddha Gautama sebelum menjadi buddha, yang melalui 4 assankheya kappa dan 100.000 maha kappa, menjadi "hanya" bermeditasi 6 tahun, sudah menjadi samma sambuddha

Jadi sebenarnya adalah bahwa kesiapan batin adalah melalui pengalaman pada kehidupan2 yang lampau

dear Ilalang,

kembali disini saya ulangi bahwa tidak semua orang bisa langsung bermeditasi, bukan berarti tidak semua orang tidak bisa bermeditasi

Ada kecocokan masing-masing dimana ini berhubungan dengan akselerasi pencapaiannya.
Sama seperti bhikkhu yang sedemikian bodohnya, bisa tercerahkan hanya karena mengusap kain sutera.
Ada juga ibu yang tercerahkan setelah disuruh mencari biji lada dari keluarga yang belum pernah mengalani kematian

Disini jelas bahwa batin yang matang itu, yang menentukan bagaimana pencapaiannya

Itulah salah satu kelebihan seorang samma sambuddha, yaitu melihat kecocokan dari kondisi batin perseorangan, bukan main terabas saja bahwa semuanya harus bervipassana

semoga bisa memperjelas dan maaf jika sebelumnya muncul kesalah pahaman  _/\_


Quote from: ilalang on 25 September 2008, 12:36:06 PM
Quote
Namun maaf jika saya tidak sependapat dengan anda.
Jika anda melihat "Atta", bukan berarti anda sudah melihat Anatta.
Jika anda sudah melihat "Dukkha", juga bukan berarti anda sudah melihat Lenyapnya Dukkha/Nibbana

Bagaimana anda bisa mengetahui Anatta dan Nibbana, dengan batin yang diliputi Lobha, Dosa dan Moha?

Beda pendapat wajar-wajar aja kok. Bagaimanapun juga uraian tentang 'nibbana' dan 'anatta'  berapa banyak pun tidak akan ada gunanya sama sekali bila orang tidak mengalaminya sendiri dalam keheningan vipassana.

Uraian Nibbana dan Anatta memang perlu diimbangi dengan Vipassana, namun bukan berarti uraian itu tidak perlu

Dan vipassana itupun bukan sesuatu yang harus dilakukan dalam keheningan, justru vipassana diarahkan untuk menjadi "sadar setiap saat", bukan hanya dalam keheningan saja



Quote from: ilalang on 25 September 2008, 12:36:06 PM
Quote
Sama seperti buah mangga, apakah dengan melihat mangga, berarti anda sudah memahami mangga secara keseluruhan??
Anda belum tahu rasanya
Anda belum tahu bentuk bijinya
Anda bahkan belum tahu warnanya

Hal berbeda jika anda sudah membuka kulitnya, mencicipinya, melihat bijinya...... Disitulah anda mengetahui "mangga"

Soal cicip-mencicipi...
Keadaan yang diungkapkan dalam Visuddhi Magga, walau mungkin orang belum sampai pada keadaan akhir yang permanen (arahat), tetapi apa yang dialami dalam keheningan vipassana itu dapat dinamakan "mencicipi nibbana" (having a taste of nibbana). Demikian pernyataan guru vipassana terkenal, YM Buddhadasa Mahathera.


Dear Ilalang,

Mengenai "mencicipi nibbana", atau "nibbana sementara" sudah pernah dibahas juga

Dan di theravada pun, setahu saya tidak pernah ada sebutan mengenai "mencicipi nibbana" atau "nibbana sementara" dimana ini sebenarnya adalah kondisi dimana kekotoran batin sudah mengendap sedemikian halusnya sehingga "seolah" serasa seperti nibbana

Hal serupa sebenarnya bisa anda baca di buku Nibbana Kini dan Sekarang yang anda posting di depan, dimana benar yang dirasakan adalah kekotoran batin yang mengendap karena konsentrasi sudah terfokus pada pernafasan


Mengenai Buddhadasa Mahathera, ada beberapa yang sebaiknya tidak langsung dicerna begitu saja, misalnya beliau dalam buku Anatta terbitan tahun 1939, menyebutkan mengenai "tidak adanya kesadaran" selagi tidur lelap
Sementara menurut proses citta/citta vitthi dalam Abhidhamma, selagi tidur lelap yang aktif adalah citta bhavanga/kesadaran lampau

Jadi maaf jika saya sekiranya masih tidak merasa sesuai dengan konsep "mencicipi nibbana"  _/\_
Title: Re: Seberapa jauh Nibbana?
Post by: ilalang on 25 September 2008, 06:14:10 PM
Quote
Uraian Nibbana dan Anatta memang perlu diimbangi dengan Vipassana, namun bukan berarti uraian itu tidak perlu

Dan vipassana itupun bukan sesuatu yang harus dilakukan dalam keheningan, justru vipassana diarahkan untuk menjadi "sadar setiap saat", bukan hanya dalam keheningan saja

Anda keliru memahami "keheningan" (dalam vipassana) sebagai ketenangan (dalam samatha bhavana).

Quote
Mengenai "mencicipi nibbana", atau "nibbana sementara" sudah pernah dibahas juga

Dan di theravada pun, setahu saya tidak pernah ada sebutan mengenai "mencicipi nibbana" atau "nibbana sementara" dimana ini sebenarnya adalah kondisi dimana kekotoran batin sudah mengendap sedemikian halusnya sehingga "seolah" serasa seperti nibbana

Hal serupa sebenarnya bisa anda baca di buku Nibbana Kini dan Sekarang yang anda posting di depan, dimana benar yang dirasakan adalah kekotoran batin yang mengendap karena konsentrasi sudah terfokus pada pernafasan

Anda keliru memahami istilah "mencicipi Nibbana" (dalam vipassana) sebagai mengendapnya kilesa (dalam samatha).
PADA SAAT "mencicipi Nibbana" (dalam vipassana) TIDAK ADA kekotoran batin, bukannya MENGENDAP seperti dalam keadaan Jhana (dalam samatha bhavana).

Yang mendasar ini saja kelihatannya Anda confuse...
Mohon maaf kelihatannya kita susah nyambung nih Bro, kalo boleh sy mundur aja yah... _/\_
Title: Re: Seberapa jauh Nibbana?
Post by: Sumedho on 25 September 2008, 09:45:02 PM
kalau buat saya pribadi sih "mencicipi nibbana" (dalam vipassana) TIDAK ADA kekotoran batin itu dan MENGENDAP sepertinya mengacu pada maksud yg sama, cuma dilihat dari sudut yg berbeda.

Sebelum lebih jauh, apa sebenarnya kekotoran batin? LDM? Kemelekatan?

Dalam salah satu sutta dijelaskan bagaimana seseorang melepaskan kemelekatan ketika dia sudah merasakan "nikmat"nya melepas ketika didalam jhana. Setelah merasakan itu, dia akan melepaskan kemelekatan pada nafsu keinginan sensual, & keinginan buruk dan menjadi seorang anagami.

Buat saya having taste of nibbana itu tidak lain adalah jhana. btw definisi jhana saya tidak sama dengan visudhimagga, tapi lebih kepada sutta.
Title: Re: Seberapa jauh Nibbana?
Post by: tesla on 25 September 2008, 10:47:23 PM
Quote from: ilalang on 25 September 2008, 06:14:10 PM
Anda keliru memahami istilah "mencicipi Nibbana" (dalam vipassana) sebagai mengendapnya kilesa (dalam samatha).
PADA SAAT "mencicipi Nibbana" (dalam vipassana) TIDAK ADA kekotoran batin, bukannya MENGENDAP seperti dalam keadaan Jhana (dalam samatha bhavana).

susah jg membedakan makna sesungguhnya dari kata TIDAK ADA dan mengendap nya kotoran bathin...

bicara dalam konteks 'saat ini', kedua2nya adalah dalam artian tidak ada kotoran bathin yg muncul. pada saat ia tidak muncul, apakah ia bersembunyi atau hilang, sulit utk menjelaskannya... sama seperti ketika saya marah, kemudian berubah menjadi senang. apakah marah saya mengendap atau marah saya tidak ada? lantas ketika saya marah kembali, apakah marah yg mengendap tadi yg muncul ke permukaan lagi atau marah tadi muncul begitu saja dari ketiadaan?

akhirnya... kesimpulan:
sejauh ini saya tidak tahu beda antara mengendap dan tidak ada kotoran bathin...
Title: Re: Seberapa jauh Nibbana?
Post by: Sukma Kemenyan on 26 September 2008, 08:48:13 AM
Sïla (Moralitas)

Apakah moralitas?
Moralitas kehendak Cetanà Sïla
    Yaitu tekad: "Aku tidak akan melakukan kejahatan, karena, jika aku melakukan kejahatan, aku akan menderita karenanya".

Moralitas penghindaran Veramanï Sïla
    Yaitu menjauhi situasi-situasi kejahatan.

Moralitas tidak melanggar Avïtikkama Sïla
    (Di sini) seorang mulia memotong cacat secara jasmani dan ucapan.
    Arti dari memotong adalah 'menghindari'.
    Semua aktivitas baik adalah moralitas


Semua aktivitas baik adalah moralitas.
Dikatakan dalam Abhidhamma sebagai berikut:
kehancuran nafsu-indria dengan meninggalkan keduniawian (adalah moralitas)

Moralitas ini dapat melenyapkan kejahatan. Yaitu,
'moralitas kehendak', 'moralitas mengendalikan ', dan 'moralitas menghindari'.


01. Menghancurkan kebencian dengan tidak membenci, menghancurkan kekakuan dan ketumpulan dengan persepsi kecemerlangan, menghancurkan kekacauan dan kekhawatiran dengan ketidak-kacauan, menghancurkan keragu-raguan dengan kebulatan tekad, menghancurkan kebodohan dengan pengetahuan, menghancurkan ketidak-puasan dengan kegembiraan, menghancurkan lima rintangan dengan meditasi pertama
02. Menghancurkan permulaan dan berlangsungnya pikiran dengan meditasi kedua,
03. Menghancurkan kegembiraan dengan meditasi ketiga,
04. Menghancurkan kebahagiaan dengan meditasi keempat
05. Menghancurkan (persepsi) dari persepsi bentuk hingga (persepsi) reaksi-indria dan persepsi yang beraneka-ragam dengan konsentrasi ruang tanpa batas,
06. Menghancurkan persepsi ruang tanpa batas dengan konsentrasi kesadaran tanpa batas
07. Menghancurkan persepsi kesadaran tanpa batas dengan konsentrasi kekosongan
09. Menghancurkan (persepsi) kekosongan dengan konsentrasi bukan-persepsi dan bukan bukan-persepsi
-
10. Menghancurkan persepsi kekekalan dengan pandangan ketidak-kekalan,
11. Menghancurkan persepsi kebahagiaan dengan pandangan penderitaan,
12. Menghancurkan persepsi aku dengan pandangan tanpa-aku
13. Menghancurkan persepsi kesucian dengan pandangan ketidak-sucian
14. Menghancurkan persepsi kemelekatan dengan pandangan penderitaan,
15. Menghancurkan persepsi nafsu dengan pandangan tanpa-noda,
16. Menghancurkan kemunculan dengan pelenyapan,
17. Menghancurkan kepadatan dengan pandangan meluruhkan,
18. Menghancurkan pertemuan dengan pandangan perpisahan,
19. Menghancurkan kekekalan dengan pandangan perubahan,
20. Menghancurkan gambaran dengan pandangan tanpa-gambaran,
21. Menghancurkan keinginan dengan pandangan ketidak-inginan,
22. Menghancurkan keterikatan dengan pandangan kekosongan,
23. Menghancurkan kemelekatan dan kepercayaan (terhadap inti?) dengan pandangan kebijaksanaan yang lebih tinggi,
24. Menghancurkan keterikatan terhadap kebodohan dengan pengetahuan dan melihat segala sesuatu sebagaimana adanya,
25. Menghancurkan keterikatan terhadap tempat tinggal  dengan pandangan penderitaan,
26. Menghancurkan bukan-perenungan dengan pandangan perenungan,
27. Menghancurkan keterikatan terhadap belenggu dengan pandangan membalikkan (kebodohan),
-
28. Menghancurkan keterikatan terhadap kekotoran pandangan dengan jalan Pemasuk-Arus,
29. Menghancurkan kekotoran-kekotoran kasar dengan jalan Yang-Kembali-Sekali,
30. Menghancurkan kekotoran-kekotoran halus dengan jalan Yang-Tidak-Kembali,
31. Menghancurkan semua kekotoran dengan jalan Yang Suci"

Semua ini disebut 'moralitas tidak melanggar', 'moralitas kehendak', 'moralitas mengendalikan' dan 'moralitas menghindari'.
Semua ini disebut moralitas.

Disadur dari, Vimutti-Magga, Bab-II

----

Dalam 31 point diatas,
seakan memberitahukan secara ga langsung, mengenai pencapaian, tahap, tingkat...
01-09: Berbicara mengenai Konsentrasi, yang dalam pemahaman gue... Samatha
10-27: Berbicara mengenai pandangan, yang dalam pemahaman gue... Vipasanna
28-31: Berbicara mengenai ....(gami-gami?)....

Kalau apa yang gue tangkap ga salah...
Ternyata gue masih amat jauh dari "semua kekotoran"
Title: Re: Seberapa jauh Nibbana?
Post by: markosprawira on 26 September 2008, 09:44:31 AM
Quote from: ilalang on 25 September 2008, 06:14:10 PM
Quote
Uraian Nibbana dan Anatta memang perlu diimbangi dengan Vipassana, namun bukan berarti uraian itu tidak perlu

Dan vipassana itupun bukan sesuatu yang harus dilakukan dalam keheningan, justru vipassana diarahkan untuk menjadi "sadar setiap saat", bukan hanya dalam keheningan saja

Anda keliru memahami "keheningan" (dalam vipassana) sebagai ketenangan (dalam samatha bhavana).

Quote
Mengenai "mencicipi nibbana", atau "nibbana sementara" sudah pernah dibahas juga

Dan di theravada pun, setahu saya tidak pernah ada sebutan mengenai "mencicipi nibbana" atau "nibbana sementara" dimana ini sebenarnya adalah kondisi dimana kekotoran batin sudah mengendap sedemikian halusnya sehingga "seolah" serasa seperti nibbana

Hal serupa sebenarnya bisa anda baca di buku Nibbana Kini dan Sekarang yang anda posting di depan, dimana benar yang dirasakan adalah kekotoran batin yang mengendap karena konsentrasi sudah terfokus pada pernafasan

Anda keliru memahami istilah "mencicipi Nibbana" (dalam vipassana) sebagai mengendapnya kilesa (dalam samatha).
PADA SAAT "mencicipi Nibbana" (dalam vipassana) TIDAK ADA kekotoran batin, bukannya MENGENDAP seperti dalam keadaan Jhana (dalam samatha bhavana).

Yang mendasar ini saja kelihatannya Anda confuse...
Mohon maaf kelihatannya kita susah nyambung nih Bro, kalo boleh sy mundur aja yah... _/\_

Dear Ilalang,


Kembali saya minta maaf jika saya hanya membahas dari sudut theravada, dan tidak mencampurkan dengan mahayana/vajarayana

Dasar pemikiran mengenai Nibbana = dingin, sejuk selaras dengan pengertian Nibbana sebagai pencapaian tertinggi kesempurnaan moral/visuddhi
Disini disebutkan bahwa Nibbana itu dingin, sejuk (sesuai dengan postingan anda di http://dhammacitta.org/forum/index.php?topic=4374.30), yang juga selaras dengan Jataka 21-23 yang berisikan :

"Where there is pain, pleasure is to be strived for. In the same way, where there is becoming, non-becoming is to be desired."

"Where there is heat,there must be cool. In the same way, where there are the three fires, there must also be Nibbana."

"Where there is evil. There is also the good. In the same way, where there is birth, non-birth can be inferred."

Berdasar dari Jataka 21 - 23 tersebut, Nibbana merupakan kondisi dimana 3 fires/api/akusala mula (lobha,dosa dan moha) sudah tidak ada sama sekali

Ini sesuai dengan pengertian Nibbana sebagai pencapaian tertinggi kesempurnaan moral (visuddhi) dimana mereka yang sudah merealisasi Nibbana disebut dengan "siti bhuta" (cooled) karena 3 fires/akusala mula sudah dimusnahkan

Sanyutta Nikaya juga menyebutkan , "Apakah Nibbana itu, teman? Penghancuran nafsu, penghancuran kebencian, penghancuran ketidak tahuan - itulah teman yang disebut Nibbana"

Nibbana dilihat dari sisi pencapaian tertinggi kebebasan/vimutti.

Mereka yang sudah mencapai Nibbana, berhak disebut ARAHAT karena sudah mengatasi semua kekotoran batin raga/kemelekatan/lobha, kebencian/dosa dan ketidak tahuan/moha


Nibbana dilihat dari pencapaian tertinggi kebahagiaan/paramam sukha

Buddha dengan jelas sudah menyatakan dalam Dhammapada 203/204 bahwa "Nibbanam paramam sukham" (Nibbana adalah kebahagiaan tertinggi)
Kebahagiaan Nibbana berbeda dengan kebahagiaan duniawi dimana kebahagiaan Nibbana adalah permanen, yang tidak akan luntur seiring dengan berlalunya waktu

Disini anda bisa melihat bahwa Nibbana sudah final, bukan gradual dimana bisa dicicip sedikit demi sedikit

Singkat kata dari sudut Theravada, NIBBANA adalah kondisi dimana sudah tidak ada KEKOTORAN BATIN/akusala mula/lobha, dosa dan moha...
NIBBANA adalah point of no return dimana ga mungkin batin anda kembali kotor

Namun anda baca kembali tulisan Buddhadasa yang anda posting, dia dengan jelas menyebutkan bahwa "bisa keluar" dari nibbana sementara dan "rasa" nibbana semakin meningkat/gradual


Jadi demikianlah dasar pemikiran saya yang masih cetek ini mengenai Nibbana  ^:)^

Memang saya masih teoritis sekali jadi maaf jika dirasa tidak sesuai dengan bro Ilalang selaku praktisi vipassana  :-[

Semoga bisa bermanfaat bagi  rekan2  _/\_

Title: Re: Seberapa jauh Nibbana?
Post by: ilalang on 26 September 2008, 01:07:41 PM
 [at] Sumedho / Tesla:

Sebelumnya supaya lebih nyambung, berikut klarifikasi soal KONSENTRASI dan MINDFULNESS/AWARENESS yang saya pahami.

Dalam KONSENTRASI yang kuat (jhana), tidak ada MINDFULNESS akan fenomena badan & batin (yang berubah-ubah); kesadaran berada terus-menerus pada obyek konsentrasi.

Tetapi dalam MINDFULNESS yang kuat, TIDAK ADA LAGI DUALITAS ANTARA MINDFULNESS DAN KONSENTRASI. Pada saat itu mindfulness dan konsentrasi menyatu, tidak bisa dibedakan lagi.

Nah terkait dengan, "mencicipi nibbana", keadaan ini dalam meditasi vipassana disebut 'khanika samadhi' (yang berbeda dengan jhana) dimana PADA SAAT ITU pikiran [thought] "diam", tidak bergerak, sementara batin [mind] dalam keadaan "hening dan aktif", penuh perhatian [mindfulness]. Karena tidak ada tidak ada pikiran/aku, maka tidak ada kekotoran batin yang disebabkan oleh pikiran/aku PADA SAAT ITU. Setelah keluar dari samadhi yah lobha dosa moha muncul lagi.

Ini beda dengan kondisi jhana, setidaknya jhana 1 (CMIIW, udah lama ga baca sutta soalnya). Menurut teori dari kitab suci dalam jhana 1 masih ada vitakka-vicara [applied thought & sustained thought]; masih ada pikiran thus masih ada aku, dengan demikian menurut saya masih ada kekotoran batin walau halus sekali (mengendap). Entah pada jhana-jhana berikutnya, mungkin kekotoran batin sudah lenyap, saya tidak tahu.

[at] Markos

Mohon maaf kalau deskripsi saya kurang memadai, saya selalu kesulitan memilih kata-kata untuk menganalisa soal ini ...terlebih sebenarnya sih saya rada malu men-share pengalaman meditasi di forum.  Kebanyakan kalo kira-kira akan sulit nyambung, saya memilih mundur dulu, seperti diskusi dengan rekan Markos. Bukan artinya saya merasa benar atau sebaliknya, cuman yah rasanya ga nyambung aja...
_/\_
Title: Re: Seberapa jauh Nibbana?
Post by: markosprawira on 26 September 2008, 04:15:34 PM
 [at] Ilalang : maaf nih hanya saja bagi saya, jika ada pengalaman, hendaknya kita merujuk kembali dengan Tipitaka Pali mengingat Tipitaka pali sudah diuji coba oleh "mungkin" ratusan ribu bahkan jutaan orang dengan hasil pencapaian arahat

Itu kenapa saya jabarkan kembali Nibbana dengan dasar Tipitaka secara keseluruhan, tidak bagian per bagian yang terpisah

karena tipitaka bagi saya, tidaklah semata berdasar pengalaman 6 tahun meditasi saja, melainkan merupakan kumpulan trial dan error selama 4 assankheya kappa dan 100.000 maha kappa, dimana beliau sudah lahir berulang-ulang, dan akhirnya menemukan jalan mencapai Nibbana

kembali ini adalah pendapat saya pribadi, itu kenapa saya selalu merujuk ke Tipitaka, namun tentunya selalu berusaha untuk tidak melekat dengannya.........

semoga bisa bermanfaat agar kita tidak "tersesat" lagi padahal sudah diberitahu oleh Buddha _/\_
Title: Re: Seberapa jauh Nibbana?
Post by: ilalang on 26 September 2008, 06:47:24 PM
Kalo rujukannya kitab suci ini boleh enggak Bro?  [-o<
Kira-kira bisa tersesat enggak yah?

Quote from: ilalang on 26 September 2008, 06:37:59 PM
Kalau membuka mata terhadap hubungan kita dengan semua yang kita hadapi setiap hari, dan kita membuka mata terhadap tanggapan kita akan hubungan kita dengan semua itu setiap saat, maka kita akan mengenal diri sendiri. Dan mengenal diri sendiri merupakan langkah pertama kepada kebijaksanaan, orang muda."

"Teecu menghaturkan terima kasih atas segala wejangan Locianpwe yang amat berharga."

Kakek itu tersenyum lebar. "Tidak ada yang mewejang dan tidak ada yang diwejang, orang muda. Engkau adalah muridnya dan engkau pula gurunya, dan seluruh isi alam ini adalah guru yang dapat memberi petunjuk. Sudah terlampau lama aku duduk di sini, mari kita bejalan-jalan menikmati keindahan alam, orang muda. Coba engkau membuka mata melihat segala keindahan itu tanpa penilaian dan tanpa perbandingan. Belajarlah menggunakan mata sebagaimana sewajarnya dan jangan biarkan pikiran mengaduk dan mengacaunya dan engkau akan melihat."
Title: Re: Seberapa jauh Nibbana?
Post by: bond on 26 September 2008, 07:26:32 PM
Quote
Anda keliru memahami istilah "mencicipi Nibbana" (dalam vipassana) sebagai mengendapnya kilesa (dalam samatha).
PADA SAAT "mencicipi Nibbana" (dalam vipassana) TIDAK ADA kekotoran batin, bukannya MENGENDAP seperti dalam keadaan Jhana (dalam samatha bhavana).

Yang mendasar ini saja kelihatannya Anda confuse...
Mohon maaf kelihatannya kita susah nyambung nih Bro, kalo boleh sy mundur aja yah...

Dalam vipasanna, sebelum mencapai titik sotapana dst kotoran batin sepenuhnya masih ada, karena dalam vipasana tidak saja melihat nama dan rupa juga termasuk kilesa2 yg ada. Jadi bukan ia/kilesa tidak ada, tetapi ia tidak mampu menganggu batin yg mantap, seperti seorang ksatria berperang dengan tangguhnya hingga semua lawan nyaris tidak dapat menyentuhnya tetapi begitu lengah maka sang Ksatria akan terkena serangan. Sampai Ksatria itu menembus benteng pertama , itulah disebut sotapana demikian seterusnya.

Atau perumpamaan lain, ketika air keruh kita tidak dapat melihat lumpur sesungguhnya, hanya ketika air mulai tenang kita melihat lumpur itu lalu mengambilnya dengan hati2, apabila tidak, lumpur akan tergoncang dan mengaburkan pandangan kita. yg akhirnya kita harus mengulang kembali.

Mencicipi nibbana adalah ketika seseorang sudah mencapai sotapana, dimana ada kilesa2 yg telah tercabut sampai keakarnya misalnya vicikicha, dll selamanya. Demikian pada pencapaian berikutnya dst. Tapi itu pun belum bisa dikatakan telah mencapai nibbana, hanya ketika mencapai kearahatanlah baru bisa dikatakan telah mencapai nibbana.

Jadi khanika samadhi itu sendiri tidak mencerminkan mencicipi nibbana, karena seutuhnya masih ada kilesa.
Jadi entah dalam jhana ataupun khanika samadhi pemula atau yg belum matang maka nivarana itu juga mengendap di kedua stage tadi (jhana ataupun khanika) jadi bukanlah diartikan begitu mencapai khanika samadhi sebagai bebas/tidak ada dari kilesa atau kotoran batin.

Apakah yg dimaksud khanika yg belum matang, bila ia belum menyelesaikan 7 stage of visudhi--> jika telah menyelesaikannya pertama kali maka disebut sotapanna(inipun belum matang seutuhnya).

Yang lebih tepat kotoran batin tersebut tidak muncul, bukan tidak ada. Jadi berbeda pengertiannya. Tidak ada artinya memang hilang sama sekali.

_/\_

Title: Re: Seberapa jauh Nibbana?
Post by: Sumedho on 26 September 2008, 08:31:22 PM
Bro ilalang, kalau tentang berhentinya pikiran itu *dalam mencicipi nibbana*, apakah itu jhana ke 2 *menurut sutta*
*kalau menurut visudhimagga, khanika samadhi itu dibawah jhana ke 1*

Setahu saya sih, perhatian dan konsentrasi itu bersama-sama saling mendukung.

pernyataan ini,
QuoteTIDAK ADA LAGI DUALITAS ANTARA MINDFULNESS DAN KONSENTRASI
sepertinya "membingungkan", bisa dijelaskan bro? *Tidak ada dualitas antara sati dan samadhi?, jadi apakah itu?*
Title: Re: Seberapa jauh Nibbana?
Post by: ilalang on 28 September 2008, 10:48:59 AM
 [at]  Bond

Terima kasih atas sudut pandang anda. Saya tidak tahu apakah kondisi batin sotapana dan arahat berbeda. Tapi pemahaman saya, sebagai sampel, cita rasa yang dikecap pemeditasi vipassana PADA SAAT "mencicipi nibbana" adalah sama dengan cita rasa "nibbana" sotapana atau arahat.  Itulah kenapa YM Buddhadasa mengatakan "Nibbana di sini dan sekarang", bukan nanti kalau sudah mencapai sotapana atau arahat.

Baiklah saya akan memberikan pijakan pemahaman saya pada Mulapariyaya Sutta, bukan untuk memuaskan intelek, tetapi semata-mata untuk klarifikasi pemahaman saya dengan sutta sebagai frame of reference. Bukan untuk dipegang sebagai konsep, melainkan lebih mendorong diskusi ini ke arah praktis. 

Pemahaman saya, keadaan batin seorang pemeditasi vipassana PADA SAAT "mencicipi nibana" adalah sesuai dengan uraian Sang Buddha tentang keadaan batin seorang sekha. Dalam Mulapariyaya Sutta Sang Buddha mengungkapkan 3 keadaan batin: manusia biasa (puthujjana), pejalan spiritual menuju pembebasan / pemeditasi vipassana (sekha), seorang yang telah tercerahkan/terbebaskan (arahat)

Sang Buddha berkata:
"Seorang puthujjana, ketika mencerap nibbana, dia membayangkan nibbana [tanah, air, dst sampai nibbana]; mencerap [dirinya] di dalam nibbana; mencerap [dualitas
diri yang terpisah] dari nibbana; mencerap nibbana sebagai milikku; bersenang hati dengan nibbana. Mengapa? Karena dia belum menyadarinya

"Seorang sekha, KETIKA MENCERAP NIBBANA, hendaklah dia tidak membayangkan nibbana, hendaklah dia tidak mencerap  di dalam nibbana, hendaklah dia tidak mencerap
dari nibbana, hendaklah dia tidak mencerap nibbana sebagai milikku, hendaklah dia tidak bersenang hati dengan nibbana. Mengapa? Agar dia dapat menyadarinya"

"Seorang arahat, ketika mencerap nibbana, dia tidak membayangkan nibbana, dia tidak mencerap
di dalam nibbana, dia tidak mencerap  dari nibbana, dia tidak mencerap nibbana sebagai
milikku, dia tidak bersenang hati dengan nibbana. Mengapa? Karena dia telah menyadarinya. Karena ia tidak lagi memiliki keinginan, ketidaksenangan, ketidakahuan (raaga, dosa,moha)."

Keadaan batin seorang sekha dalam khanika samadhi, pada saat itu dan dari saat ke saat, hanya ada PERSEPSI MURNI, tidak ada lagi dualitas aku dan bukan aku, subyek dan obyek, yang mengalami dan yang di alami, "yang mencicipi" dan "yang dicicipi ("nibbana").

Sekali lagi mohon deskripsi ini jangan dijadikan pegangan, sebagai konsep atau apapun.  Menurut saya sih kalau dibilang keadaan itu seperti keadaan orang yang bego/bodoh pun bisa aja. Atau bisa juga seperti keadaan bayi sebelum self-conciousnya tumbuh. Dalam keadaan PERSEPSI MURNI tanpa-aku itu tidak ada pengertian, konsep apa-apa sama sekali yang muncul dalam batin.
Title: Re: Seberapa jauh Nibbana?
Post by: gajeboh angek on 28 September 2008, 11:03:37 AM
Yang disebut Sekha (yang masih harus berlatih) itu minimal sudah Sotapanna, bukan pemeditasi biasa.
Title: Re: Seberapa jauh Nibbana?
Post by: ilalang on 28 September 2008, 11:23:42 AM
 [at] sumedho

Quote from: Sumedho on 26 September 2008, 08:31:22 PM
Bro ilalang, kalau tentang berhentinya pikiran itu *dalam mencicipi nibbana*, apakah itu jhana ke 2 *menurut sutta*
Soal Jhana 2, mohon maaf Bro, saya belom pernah ke jhana 2.  Tapi  denger-denger sih di sono enggak ada pikiran samasekali [applied/sustained thought], jadi kalo seorang sekha tiba disitu, barangkali keadaannya mirip saat dia menuju ke jhana 1 via khanika samadhi.

Quote from: Sumedho on 26 September 2008, 08:31:22 PM
*kalau menurut visudhimagga, khanika samadhi itu dibawah jhana ke 1*
Ya khanika [vipassana] setara dengan upacara ]samatha] tapi mungkin "beda arah"...kalo via khanika aye ga jamin dia bisa nyampe ke jhana 1 apalagi jhana 2... Bukannya enggak ada jalan...jalan ada, tapi ga ada yang menempuhnya... :??

Quote from: Sumedho on 26 September 2008, 08:31:22 PM
Setahu saya sih, perhatian dan konsentrasi itu bersama-sama saling mendukung.

pernyataan ini,
QuoteTIDAK ADA LAGI DUALITAS ANTARA MINDFULNESS DAN KONSENTRASI
sepertinya "membingungkan", bisa dijelaskan bro? *Tidak ada dualitas antara sati dan samadhi?, jadi apakah itu?*

Begini, sebelumnya kita harus paham dengan sangat jelas bahwa kata bukanlah apa yang dideskripsikan. Kata meditasi  bukanlah meditasi. Telunjuk bukan rembulan. Hakikat awareness/mindfulness pada dasarnya tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata, dengan pikiran, melainkan akan menjadi jelas dengan sendirinya dengan praktik.

Diskursus mengenai masalah ini dalam sejarah manusia merupakan "tumit Achilles" dari pemahaman manusia terhadap dirinya dan dunia. Kelemahan yang membuat para filsuf, ilmuwan, psikolog terhenti dalam upayanya menembus masalah kesadaran dan hanya berputar-putar diantara padang analisis dan rawa-rawa gelap metafisika.

Jadi kita harus luar biasa sadar kalau tidak mau tetap berada di tingkat verbal. Saya tidak menganggap meditasi sebagai sesuatu yang intelektual. Meditasi bukan sesuatu yang melambung tinggi, dan dengan demikian tidak punya arti penting dalam kehidupan sehari-hari. Jadi dalam hal ini komunikasi hanya bersifat menunjukkan "arah", tapi tidak bisa mendeskripsikan secara tuntas pengalaman itu sendiri.

***

KONSENTRASI menyiratkan mengarahkan pada sesuatu, mengamati [suatu 'OBYEK']. Ada suatu proses eksklusi [MENGESAMPINGKAN] dan resistensi terhadap semua yang di luar obyek. Jadi terdapat DUALITAS, si pengamat [SUBYEK] dan apa yang diamati [OBYEK]; si pemikir dan yang dipikirkannya; yang mengalami dan yang dialami.

Dalam MINDFULLNESS pada saat [1] Anda MENYADARI/PENUH PERHATIAN akan akan gerak-gerik pikiran Anda, maka saat itu juga [2] Anda akan melihat bahwa pemisahan [dualitas] itu adalah ilusi; [3] yang ada hanyalah OBSERVASI MURNI dimana subyek dan obyek menjadi satu. Si pengamat adalah yang diamati. Atau bisa juga dikatakan di dalam apa yang terlihat hanya ada yang terlihat... Tidak ada dualitas subyek-obyek. Dalam keheningan perhatian, batin mengamati, menyimak segala sesuatu; setiap bunyi, setiap gerak, setiap nuansa pikiran dan perasaan. Batin yang seperti itu tidak mempunyai batas [boundary] dan mampu BERKONSENTRASI tanpa MENGESAMPINGKAN. Tidak ada lagi dualitas antara mindfulnes dan konsentrasi.

Perhatikan bahwa keadaan [1], [2], dan [3], terjadi secara bersamaan dalam satu waktu, dan dari saat ke saat. Di sinilah biasanya pikiran/intelek kesulitan memahami karena seolah waktu menjadi tidak relevan. Sebaliknya buat pemeditasi vipassana keadaan ini bisa dirasakan dan akan menjadi jelas dalam praktik. Dhamma Sang Buddha adalah 'akaliko' [a-kala, timeless, tanpa waktu] artinya dapat diselami dan ditembus pada saat kini.

***

[at]  karuna

Dalam Mula Pariyaya Sutta (Akar Fenomena), Buddha menjelaskan urutan proses pikiran dalam merespon stimulus(obyek), yang terjadi secepat kilat:
[1] mencerap obyek sebagai obyek
[2] muncul persepsi akan obyek
[3] muncul subyek (si aku) yang masih menyatu dengan obyek
[4] subyek memisahkan diri dari obyek
[5] subyek berelasi dengan obyek
[6] subyek melekat pada obyek

OBSERVASI MURNI terjadi saat proses pikiran terhenti pada tahap [1]. Dalam batin arahat, proses pikiran berhenti secara permanen pada tahap [1]. Tidak ada dualitas subyek-obyek. Ini yang harus dilatih dalam vipassana, dan menurut saya bisa dialami pemeditasi vipassana walau belum secara permanen.

_/\_
Title: Re: Seberapa jauh Nibbana?
Post by: bond on 28 September 2008, 11:29:31 AM

Quote

Terima kasih atas sudut pandang anda. Saya tidak tahu apakah kondisi batin sotapana dan arahat berbeda. Tapi pemahaman saya, sebagai sampel, cita rasa yang dikecap pemeditasi vipassana PADA SAAT "mencicipi nibbana" adalah sama dengan cita rasa "nibbana" sotapana atau arahat.  Itulah kenapa YM Buddhadasa mengatakan "Nibbana di sini dan sekarang", bukan nanti kalau sudah mencapai sotapana atau arahat.

Kondisi batin sotapana dan arahat sudah pasti berbeda, yg mana sotapanna baru sebagian kecil kilesa yg telah hilang selamanya, sementara arahat telah seluruh kilesa hilang selamanya. Hal ini yg paling jelas. Nibbana memang dicapai saat ini. Saya ambil contoh ketika Anda besok mencapai nibbana, tepat saat Anda mencapai nibbana "yg besok" telah menjadi "saat ini". Ini pengertian sebenarnya "saat ini" yg sebenarnya hanyalah relativitas waktu. Inilah yg disebut sebenarnya saat ke saat adalah saat ini ke saat ini atau sekarang ke sekarang. apa yg ditulis YM Buddhadasa sudah benar tapi kita harus tau saat moment apa tercapainya "saat ini" mencicipi nibbana bukanlah seperti mendapatkan lotre. Sebenarnya "saat ini" dan "saat ini" hanya sebuah proses sebab akibat saja.

Quote
Baiklah saya akan memberikan pijakan pemahaman saya pada Mulapariyaya Sutta, bukan untuk memuaskan intelek, tetapi semata-mata untuk klarifikasi pemahaman saya dengan sutta sebagai frame of reference. Bukan untuk dipegang sebagai konsep, melainkan lebih mendorong diskusi ini ke arah praktis. 

Setuju  untuk ke arah yg praktis.

Quote
Pemahaman saya, keadaan batin seorang pemeditasi vipassana PADA SAAT "mencicipi nibana" adalah sesuai dengan uraian Sang Buddha tentang keadaan batin seorang sekha. Dalam Mulapariyaya Sutta Sang Buddha mengungkapkan 3 keadaan batin: manusia biasa (puthujjana), pejalan spiritual menuju pembebasan / pemeditasi vipassana (sekha), seorang yang telah tercerahkan/terbebaskan (arahat)
Sudah jelas mencicipi nibbana=sotapanna= seorang sekha yg diuraikan singkat oleh bro Karuna

Quote
"Seorang sekha, KETIKA MENCERAP NIBBANA, hendaklah dia tidak membayangkan nibbana, hendaklah dia tidak mencerap  di dalam nibbana, hendaklah dia tidak mencerap
dari nibbana, hendaklah dia tidak mencerap nibbana sebagai milikku, hendaklah dia tidak bersenang hati dengan nibbana. Mengapa? Agar dia dapat menyadarinya"

"Seorang arahat, ketika mencerap nibbana, dia tidak membayangkan nibbana, dia tidak mencerap
di dalam nibbana, dia tidak mencerap  dari nibbana, dia tidak mencerap nibbana sebagai
milikku, dia tidak bersenang hati dengan nibbana. Mengapa? Karena dia telah menyadarinya. Karena ia tidak lagi memiliki keinginan, ketidaksenangan, ketidakahuan (raaga, dosa,moha)."

Keadaan batin seorang sekha dalam khanika samadhi, pada saat itu dan dari saat ke saat, hanya ada PERSEPSI MURNI, tidak ada lagi dualitas aku dan bukan aku, subyek dan obyek, yang mengalami dan yang di alami, "yang mencicipi" dan "yang dicicipi ("nibbana").

Sekali lagi mohon deskripsi ini jangan dijadikan pegangan, sebagai konsep atau apapun.  Menurut saya sih kalau dibilang keadaan itu seperti keadaan orang yang bego/bodoh pun bisa aja. Atau bisa juga seperti keadaan bayi sebelum self-conciousnya tumbuh. Dalam keadaan PERSEPSI MURNI tanpa-aku itu tidak ada pengertian, konsep apa-apa sama sekali yang muncul dalam batin.

Apakah Anda masih berasumsi atau suatu pernyataan yg benar2 benar---> realita yg sebenarnya-->paramatha dhamma?




[/quote]
Title: Re: Seberapa jauh Nibbana?
Post by: gajeboh angek on 28 September 2008, 11:43:15 AM
Dari Sekha Sutta dan berbagai sumber lainnya, Sekha minimal adalah Sotapanna.

http://www.samaggi-phala.or.id/tipitaka_dtl.php?cont_id=1292
http://www.accesstoinsight.org/glossary.html#s
http://www.palikanon.com/english/wtb/s_t/sekha.htm
http://www.buddhistethics.org/12/adam-article.html
http://web.mit.edu/stclair/www/sammaditthi.html
http://www.dhammastudy.com/Conditions2.html
http://www.samaggi-phala.or.id/naskahdamma_dtl.php?id=92&hal=1&cont=ananda1.html&path=&hmid=
Title: Re: Seberapa jauh Nibbana?
Post by: bond on 28 September 2008, 11:58:35 AM


Quote
Ya khanika [vipassana] setara dengan upacara ]samatha] tapi mungkin "beda arah"...kalo via khanika aye ga jamin dia bisa nyampe ke jhana 1 apalagi jhana 2... Bukannya enggak ada jalan...jalan ada, tapi ga ada yang menempuhnya... :??

Siapa mempuat arah menjadi berbeda antara upacara samadhi dan khanika? :)
Benarkah khanika tidak bisa mencapai jhana? kalau terpleset bagaimana? Dalam meditasi samatha ataupun vipasana, masing2 memiliki rintangan dan bahaya yg harus dipahami. Disinilah letak panna membantu samadhi, samadhi membantu panna.



QuoteTIDAK ADA LAGI DUALITAS ANTARA MINDFULNESS DAN KONSENTRASI

Pernahkah Anda melihat mindfulness dan konsentrasi bekerja dalam proses batin bekerja dalam bervipasana, ini bukanlah mengenai dualitas, singlelitas tetapi ini mengenai REALITAS yg harus dilihat dalam vipasanna itu sendiri



Title: Re: Seberapa jauh Nibbana?
Post by: Indra on 28 September 2008, 01:45:17 PM
Quote from: karuna_murti on 28 September 2008, 11:43:15 AM
Dari Sekha Sutta dan berbagai sumber lainnya, Sekha minimal adalah Sotapanna.

Betul sekali, Sekha adalah Sotapatti Magga dan Phala, Sakadagamai Magga dan Phala, Anakagami Magga dan Phala, dan Arahatta Magga. Ini sepertinya perlu diluruskan, mengingat selama ini di DC telah beredar bahwa Sekha=Puthujjana, mungkin utk hal ini diperlukan fatwa DC utk klarifikasi.
Title: Re: Seberapa jauh Nibbana?
Post by: Sumedho on 28 September 2008, 05:19:48 PM
Quote from: ilalang on 28 September 2008, 11:23:42 AM
Soal Jhana 2, mohon maaf Bro, saya belom pernah ke jhana 2.  Tapi  denger-denger sih di sono enggak ada pikiran samasekali [applied/sustained thought], jadi kalo seorang sekha tiba disitu, barangkali keadaannya mirip saat dia menuju ke jhana 1 via khanika samadhi.
Saya justru tambah bingung bro. Terlihat ada inkonsistensi sekali disini.
Jhana 2 -> tidak ada pikiran
Jhana 1 -> ada pikiran

Dikatakan khanika samadhi adalah konsentrasi sebentar / mendekati jhana 1
Khanika samadhi -> tidak ada pikiran

Jadi dari tidak ada pikiran (khanika) -> ada pikiran (jhana 1) -> tidak ada pikiran (jhana 2)

jadi malahan konsentrasinya dari tajam, melemah, menajam. Setahu saya tidak demikian.
Definisi khanika samadhinya diambil dari mana bro?

Quote from: ilalang on 28 September 2008, 11:23:42 AM
Ya khanika [vipassana] setara dengan upacara ]samatha] tapi mungkin "beda arah"...kalo via khanika aye ga jamin dia bisa nyampe ke jhana 1 apalagi jhana 2... Bukannya enggak ada jalan...jalan ada, tapi ga ada yang menempuhnya... :??
Disini juga tidak ada yang mengetik, dan membaca hehehehe ;D


Quote from: ilalang on 28 September 2008, 11:23:42 AM

Begini, sebelumnya kita harus paham dengan sangat jelas bahwa kata bukanlah apa yang dideskripsikan. Kata meditasi  bukanlah meditasi. Telunjuk bukan rembulan. Hakikat awareness/mindfulness pada dasarnya tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata, dengan pikiran, melainkan akan menjadi jelas dengan sendirinya dengan praktik.

Diskursus mengenai masalah ini dalam sejarah manusia merupakan "tumit Achilles" dari pemahaman manusia terhadap dirinya dan dunia. Kelemahan yang membuat para filsuf, ilmuwan, psikolog terhenti dalam upayanya menembus masalah kesadaran dan hanya berputar-putar diantara padang analisis dan rawa-rawa gelap metafisika.

Jadi kita harus luar biasa sadar kalau tidak mau tetap berada di tingkat verbal. Saya tidak menganggap meditasi sebagai sesuatu yang intelektual. Meditasi bukan sesuatu yang melambung tinggi, dan dengan demikian tidak punya arti penting dalam kehidupan sehari-hari. Jadi dalam hal ini komunikasi hanya bersifat menunjukkan "arah", tapi tidak bisa mendeskripsikan secara tuntas pengalaman itu sendiri.

***

Memang benar antara telunjuk dan bulan. Akan tetapi jika telunjuk menunjukkan pada benda lain yg bukan bulan, itu yg perlu kita perhatikan.

Untuk memeriksa apakah mengarah pada bulan *tujuan yg sama*, maka kita perlu memeriksa pada dari penjelasan Sang Buddha dalam Tipitaka sebagai rujukan. Dengan satu rujukan yang sama, pen-"verbal"an pengalaman ini bisa menggunakan satu standard yg baku sehingga diskusi menggunakan kata dan makna yang sama sehingga bisa terjadi diskusi yg baik.

Teman-teman disini selain berdiskusi *kalau boleh dikatakan secara intelektual*, mereka juga praktisi2x yang sudah memiliki pengalaman2x meditatifnya. Semoga saja pen-verbal-an pengalaman2x ini bisa nyambung dengan menggunakan rujukan yang sama.

Quote from: ilalang on 28 September 2008, 11:23:42 AM

KONSENTRASI menyiratkan mengarahkan pada sesuatu, mengamati [suatu 'OBYEK']. Ada suatu proses eksklusi [MENGESAMPINGKAN] dan resistensi terhadap semua yang di luar obyek. Jadi terdapat DUALITAS, si pengamat [SUBYEK] dan apa yang diamati [OBYEK]; si pemikir dan yang dipikirkannya; yang mengalami dan yang dialami.

Dalam MINDFULLNESS pada saat [1] Anda MENYADARI/PENUH PERHATIAN akan akan gerak-gerik pikiran Anda, maka saat itu juga [2] Anda akan melihat bahwa pemisahan [dualitas] itu adalah ilusi; [3] yang ada hanyalah OBSERVASI MURNI dimana subyek dan obyek menjadi satu. Si pengamat adalah yang diamati. Atau bisa juga dikatakan di dalam apa yang terlihat hanya ada yang terlihat... Tidak ada dualitas subyek-obyek. Dalam keheningan perhatian, batin mengamati, menyimak segala sesuatu; setiap bunyi, setiap gerak, setiap nuansa pikiran dan perasaan. Batin yang seperti itu tidak mempunyai batas [boundary] dan mampu BERKONSENTRASI tanpa MENGESAMPINGKAN. Tidak ada lagi dualitas antara mindfulnes dan konsentrasi.

Perhatikan bahwa keadaan [1], [2], dan [3], terjadi secara bersamaan dalam satu waktu, dan dari saat ke saat. Di sinilah biasanya pikiran/intelek kesulitan memahami karena seolah waktu menjadi tidak relevan. Sebaliknya buat pemeditasi vipassana keadaan ini bisa dirasakan dan akan menjadi jelas dalam praktik. Dhamma Sang Buddha adalah 'akaliko' [a-kala, timeless, tanpa waktu] artinya dapat diselami dan ditembus pada saat kini.

Tentang Konsentrasi dan mindfulness, saya tidak tahu bro mengambil rujukan darimana, bisa disertakan bro?

Ketika Sati, diperlukan Samadhi. Ketika Samadhi diperlukan Sati. Kan ketika mengamati *dengan sati dan samadhi*, tidak ada ini yang samadhi, ini yg sati.

Dalam konteks Buddhisme, Sati dan Samadhi *yang benar* itu dijelaskan sebagai berikut

"Dan apakah, para bhikkhu, perhatian benar? (i) Dimana ada seorang bhikkhu tetap fokus pada tubuh kedalam & keluar — tekun, sadar, & perhatian — membuang keserakahan & kecemasan yang berhubungan dengan dunia. (ii) Dia tetap terfokus pada sensasi kedalam & keluar — tekun, sadar, & perhatian — membuang keserakahan & kecemasan yang berhubungan dengan dunia. (iii) Dia tetap terfokus pada pikiran kedalam & keluar — tekun, sadar, perhatian — membuang keserakahan & kecemasan yang berhubungan dengan dunia. (iv) Dia tetap terfokus pada kualitas mental kedalam & keluar — tekun, sadar, perhatian — membuang keserakahan & kecemasan yang berhubungan dengan dunia. Ini, para bhikkhu, yang disebut perhatian benar.

"Dan apakah, para bhikkhu, konsentrasi benar? (i) Dimana ada seorang bhikkhu — sepenuhnya melepaskan sensualitas, melepaskan kualitas (mental) tidak terampil — memasuki & berdiam dalam jhana pertama: kegirangan dan kenikmatan yang muncul dari pelepasan, disertai oleh pemikiran yang diarahkan & penilaian. (ii) Dengan menenangkan pemikiran yang diarahkan & evaluasi, dia memasuki & berdiam didalam jhana kedua: kegirangan dan kenikmatan muncul dari konsentrasi, penyatuan dari kesadaraan yang bebas dari pemikiran yang diarahkan & penilaian — kepastian dari dalam. (iii) Dengan hilangnya kegirangan, dia tetap dalam ketenangan, perhatian & awas, dan merasakan kenikmatan dengan tubuhnya. Dia memasuki & berdiam didalam jhana ketiga, yang dinyatakan oleh Yang Mulia, 'Ketenangan & perhatian, dia memiliki kenikmatan yang terus menerus.' (iv) Dengan meninggalkan kenikmatan & sakit — bersamaan hilangnya kebahagiaan & penderitaan yang sebelumnya — dia memasuki & berdiam didalam jhana keempat: kemurnian dari ketenangan & perhatian penuh, tidak nikmat ataupun sakit. Ini, para bhikkhu, yang disebut konsentrasi benar."


Quote from: ilalang on 28 September 2008, 11:23:42 AM

[at]  karuna

Dalam Mula Pariyaya Sutta (Akar Fenomena), Buddha menjelaskan urutan proses pikiran dalam merespon stimulus(obyek), yang terjadi secepat kilat:
[1] mencerap obyek sebagai obyek
[2] muncul persepsi akan obyek
[3] muncul subyek (si aku) yang masih menyatu dengan obyek
[4] subyek memisahkan diri dari obyek
[5] subyek berelasi dengan obyek
[6] subyek melekat pada obyek

OBSERVASI MURNI terjadi saat proses pikiran terhenti pada tahap [1]. Dalam batin arahat, proses pikiran berhenti secara permanen pada tahap [1]. Tidak ada dualitas subyek-obyek. Ini yang harus dilatih dalam vipassana, dan menurut saya bisa dialami pemeditasi vipassana walau belum secara permanen.

_/\_

tentang mulapariyaya sutta, saya tidak tahu terjemahan siapa itu, tapi sepertinya dikutip dari penjelasn Pak Hudoyo. Didalam mulapariyaya sutta dijelaskan dalam beberapa bagian. saya coba sertakan yg terjemahan Bhante Thanissaro.

Orang Biasa
Quotememahami tanah sebagai tanah
Dengan memahami tanah sebagai tanah, dia membayangkan (conceive) hal2x tentang tanah.
Dengan membayangkan hal2x tentang tanah, dia membayangkan hal2x muncul dari tanah, dia membayangkan tanah sebagai 'milikku', dia bersenang pada tanah.

Yang berlatih (Trainee)
Quotemengetahui langsung tanah sebagai tanah. 
Dengan mengetahui langsung tanah sebagai tanah, jangan biarkan dia membayangkan hal2x tentang tanah.
Dengan tidak membayangkan hal2x pada tanah, jangan biarkan dia untuk membayangkan hal2x muncul dari tanah. Jangan biarkan dia untuk membayangkan tanah sebagai 'milikku', jangan biarkan dia bersenang pada tanah.

Seorang Arahant
Quotemengetahuai langsung tanah sebagai tanah.
Dengan mengetahui langsung tanah sebagai tanah, dia tidak membayangkan hal2x tentang tanah,
Dengan tidak membayangkan hal2x pada tanah, tidak membayangkan hal2x muncul dari tanah, tidak membayangkan tanah sebagai 'milikku', tidak bersenang pada tanah.
Dari sini terlihat bahwa seorang arahant bukan tidak berpikir, tapi tidak membayangkan hal2x tentang objek sehingga yg menyebabkan kemelekatan.

Didalam AN II, 6, 36 dikatakan
Seorang arahant memiliki kemampuan yang sempurna daam mengendalikan pikirannya (cetovasippatta), bukan tidak berpikir lagi.
Title: Re: Seberapa jauh Nibbana?
Post by: markosprawira on 29 September 2008, 11:01:00 AM
Quote from: ilalang on 28 September 2008, 10:48:59 AM
[at]  Bond

Terima kasih atas sudut pandang anda. Saya tidak tahu apakah kondisi batin sotapana dan arahat berbeda. Tapi pemahaman saya, sebagai sampel, cita rasa yang dikecap pemeditasi vipassana PADA SAAT "mencicipi nibbana" adalah sama dengan cita rasa "nibbana" sotapana atau arahat.  Itulah kenapa YM Buddhadasa mengatakan "Nibbana di sini dan sekarang", bukan nanti kalau sudah mencapai sotapana atau arahat.

Dear Ilalang,

saya hanya mencoba menjelaskan yang dikatakan Buddhadasa adalah Nibbana SAAT INI dan sekarang, bukan Nibbana DISINI dan sekarang

disini jelas bahwa Buddhadasa menyatakan bahwa Nibbana dapat dicapai dalam kehidupan sekarang, bukan pada kehidupan yang akan datang, seperti janji pada paham lain.... hal serupa beliau nyatakan dalam beberapa buku lainnya  _/\_

jadi semoga bisa dimengerti maksud dari Buddhadasa karena banyak pernyataan dalam Buddhadasa yang bisa memlesetkan orang jika orang tersebut tidak memandang dari sudut pandang Abhidhamma

Jika anda berkenan untuk berdiskusi lebih lanjut, saya akan postingkan tulisan dari Lily de Silva dan Jerry Po mengenai Nibbana berbasis Tipitaka Pali, bukan dari pitaka lainnya

Pun jika saya boleh saran, tolong pastikan pembahasan akan dilakukan dengan menggunakan sudut pandang sekte mana?
karena anda berbasis Buddhadasa, namun masih mencampur adukkan dengan mahayana dan vajrayana dimana masing2 mempunyai sudut pandang yang berbeda

semoga diskusi ini bisa tetap fokus dan ga melantur kemana2 yah.......  _/\_
Title: Re: Seberapa jauh Nibbana?
Post by: fabian c on 29 September 2008, 05:45:01 PM
Teman teman sekalian, ikut sharing ya...?

Topik mengenai Mulapariyaya sutta adalah topik yang tidak mudah dibahas, karena untuk mengerti Mulapariyaya secara benar kita perlu bukan hanya praktek, tetapi juga teori yang ada dalam Tipitaka, sehingga dapat menjelaskan dengan baik, maklumlah kita berusaha menjelaskan kata-kata Sang Buddha yang dalam.

Sang Buddha berusaha menjelaskan rangkaian akar pikiran yang menyebabkan seseorang memiliki pandangan (ditthi).

Terlebih dahulu kita sebaiknya mencari padanan kata yang tepat untuk perceiving...
Saya sendiri merasa kata pencerapan sebagai penerjemahan kata perceiving membuat kita tetap tidak mengerti akan maksud dari Mulapariyaya tersebut. Oleh karena itu saya lebih suka menerjemahkan perceiving dalam bahasa Indonesia sebagai menganggap atau anggapan.

Saya tak akan mengambil seluruh sutta karena pembahasannya terlalu panjang. Hanya mengutip mengenai Nibbana karena berhubungan langsung dengan topik thread  ini.

Pada batin putujjhana:

Quote"He perceives Unbinding as Unbinding.7 Perceiving Unbinding as Unbinding, he conceives things about Unbinding, he conceives things in Unbinding, he conceives things coming out of Unbinding, he conceives Unbinding as 'mine,' he delights in Unbinding. Why is that? Because he has not comprehended it, I tell you.[/i]

sudah jelas bahwa Putthujana tak pernah mengalami pencapaian Nibbana, mengapa disini dikatakan Nibbana? maksudnya disini adalah seorang putthujana menganggap Nibbana sebagai Nibbana, mengapa seorang putthujana menganggap Nibbana sebagai Nibbana? karena ia hanya mengenal Nibbana berdasarkan suatu konsep yang diketahuinya dari orang lain.

Sehingga kemudian yang timbul adalah persepsi sesuatu mengenai Nibbana, ia beranggapan ada sesuatu dalam Nibbana (he conceives things in Unbinding), ia menganggap ada sesuatu yang keluar dari Nibbana (he conceives things coming out of Unbinding), ia menganggap nibbana sebagai milikku dan ia menyenangi Nibbana (Unbinding as 'mine,' he delights in Unbinding), mengapa demikian? karena ia tidak menyelaminya. (Apari��àtaü tassà'ti vadàmi.)

Pada batin sekkha (Sotapanna hingga Anagami):

Quote"He directly knows Unbinding as Unbinding. Directly knowing Unbinding as Unbinding, let him not conceive things about Unbinding, let him not conceive things in Unbinding, let him not conceive things coming out of Unbinding, let him not conceive Unbinding as 'mine,' let him not delight in Unbinding. Why is that? So that he may comprehend it, I tell you.[/i]

Disini jelas bahwa seorang Sekha bukan hanya menganggap bahwa Nibbana sebagai Nibbana, tetapi ia mengetahui bahwa Nibbana adalah Nibbna, karena ia pernah mengalami Nibbana (Directly knowing Unbinding as Unbinding). Tetapi Sang Buddha menganjurkan bagi seorang Sotapanna untuk jangan membuat anggapan-anggapan mengenai Nibbana (let him not conceive things about Unbinding), janganlah beranggapan ada sesuatu dalam Nibbana (let him not conceive things in Unbinding), janganlah beranggapan ada sesuatu yang keluar dari Nibbana (let him not conceive things coming out of Unbinding), dan janganlah menganggap Nibbana sebagai milikku dan janganlah melekat pada Nibbana (Nibbana yang berkenaan dengan pencapaiannya).

Disini kita harus mengerti bahwa perjuangan seorang Sekha puggala belum selesai. Oleh karena seorang Sekha puggala, bila melekat pada Nibbana yang telah dicapainya akan menghalangi dia untuk maju lebih jauh lagi, dan akan menghalangi pencapaian tingkat kesucian yang lebih tinggi. Bila seorang Sotapanna ingin mencapai tingkat Sakadagami, maka ia harus bertekad untuk mencapai Sakadagami, dan bila ia bertekad demikian maka kemampuannya untuk mengalami Nibbana tingkat Sotapanna akan lenyap.

Dan ia harus berjuang lagi dari Udayabaya nana lalu sedikit sedikit maju hingga kembali mencapai Sankharupekkha nana. lalu memasuki Nibbana sakadagami Magga-Phala, demikian seterusnya hingga mencapai tingkat kesucian Arahat. Keterangan ini konsisten dengan sutta-sutta lain yang mengatakan bahwa, Dhamma yang diajarkan Sang Buddha tidak terjadi secara tiba-tiba, tetapi terjadi melalui proses yang berulang, jadi tak ada pencerahan seketika.

Pada batin Arahat:

Quote"He directly knows Unbinding as Unbinding. Directly knowing Unbinding as Unbinding, he does not conceive things about Unbinding, does not conceive things in Unbinding, does not conceive things coming out of Unbinding, does not conceive Unbinding as 'mine,' does not delight in Unbinding. Why is that? Because, with the ending of delusion, he is devoid of delusion, I tell you.[/i]

Perhatikan konsistensi bahasanya (ini juga sejalan dengan Abhidhamma), pada pencapaian Arahat maupun Sotapanna, dikatakan bahwa ia menyelami langsung (he directly knows) Nibbana sebagai Nibbana. Tetapi ada perbedaannya dengan Sekha, pada seorang Arahat, Ia tidak memiliki anggapan apapun terhadap Nibbana (he does not conceive things about Unbinding), tidak memiliki anggapan apapun dalam Nibbana (does not conceive things in Unbinding), Tidak memiliki anggapan sesuatu keluar dari Nibbana (does not conceive things coming out of Unbinding), dan tidak memiliki anggapan Nibbana sebagai milikku dan tidak melekat kepada Nibbana (does not conceive Unbinding as 'mine,' does not delight in Unbinding).

Ini adalah konsistensi pandangan bahwa seorang Arahat tidak melihat ada sesuatupun di dunia ini yang pantas untuk di"melekati" Mengapa demikian? karena dengan berakhirnya pandangan khayal (delusion), maka seorang Arahat sudah tidak memiliki pandangan khayal. Dengan demikian Nibbana pada Putthujjana adalah pandangan khayal. (Khayà mohassa vãtamohattà.)

Pada batin Tathagata

Quote"He directly knows Unbinding as Unbinding. Directly knowing Unbinding as Unbinding, he does not conceive things about Unbinding, does not conceive things in Unbinding, does not conceive things coming out of Unbinding, does not conceive Unbinding as 'mine,' does not delight in Unbinding. Why is that? Because he has known that delight is the root of suffering & stress, that from coming-into-being there is birth, and that for what has come into being there is aging & death. Therefore, with the total ending, fading away, cessation, letting go, relinquishment of craving, the Tathagata has totally awakened to the unexcelled right self-awakening, I tell you."

Disini terlihat konsistensinya, seorang Tatahagata, Arahat dan Sekkha puggala, semuanya memang mengalami Nibbana, Perbedaannya disini Sang Tathagata mengetahui bahwa akar dari dukkha adalah kemelekatan terhadap kesenangan, selain itu dari penjelmaan terjadi kelahiran, dan dari kelahiran akan terjadi umur tua dan mati.
Oleh karena itu dengan berakhirnya (total ending), meredupnya (fading away), penghentian (cessation), pelepasan (letting go), membebaskan diri dari kemelekatan (relinquishment of craving), Sang Tathagata telah tercerahkan sepenuhnya, dan mencapai pencerahan sempurna. (disini perbedaan pencerahan Sang Buddha dan para Arahat adalah: pengetahuannya).

Semoga keterangan ini bermanfaat bagi teman-teman.

(((semoga kita semua semakin maju dalam Dhamma)))

sukhi hotu.


Title: Re: Seberapa jauh Nibbana?
Post by: ilalang on 29 September 2008, 08:44:31 PM
Quote from: bond on 28 September 2008, 11:29:31 AM
Sekali lagi mohon deskripsi ini jangan dijadikan pegangan, sebagai konsep atau apapun.  Menurut saya sih kalau dibilang keadaan itu seperti keadaan orang yang bego/bodoh pun bisa aja. Atau bisa juga seperti keadaan bayi sebelum self-conciousnya tumbuh. Dalam keadaan PERSEPSI MURNI tanpa-aku itu tidak ada pengertian, konsep apa-apa sama sekali yang muncul dalam batin.

Apakah Anda masih berasumsi atau suatu pernyataan yg benar2 benar---> realita yg sebenarnya-->paramatha dhamma?

Menurut Mulapariyaya-sutta dalam batin seorang arahat (dan yg harus dilatih seorang sekha) hanya ada PERSEPSI MURNI. Dalam khanika samadhi, pada saat itu dan dari saat ke saat, hanya ada PERSEPSI MURNI.  Tentu dalam melatihnya tidak serta merta kondisi ini sempurna dalam durasi yg panjang, berbagai bentuk pikiran masih menyelinap diantaranya dikarenakan kesadaran yang menurun.

Soal orang bodoh atau bayi (childlike) mohon maaf kalau dirasa enggak nyambung. Maklum ilalang tidak mudeng dengan istilah kitab suci yang canggih-canggih, jadi lebih suka baca cerita silat atau novel. Makanya istilahnya kadang rada-rada aneh. Rekan-rekan yg pernah baca cerita silat KPH: "Bu Kek Sian Su" atau novel Herman Hesse: "Siddharta" tentu familiar dengan istilah-istilah nyeleneh tadi... :hammer:
[kapan-kapan saya akan tulis ulasan film Siddharta-nya Herman Hesse, sangat menggugah -p> highly recommended]

Tapi yang penting bukanlah bagaimana mengenali orang yang telah bebas, melainkan bagaimana memahami diri kita sendiri. Gagasan apapun tentang itu bukan fakta, tapi fiksi. Saya mungkin percaya arahat begini begitu, tapi itu tetap fiksi. Untuk menemukan kebebasan, justru saya harus menghancurkan fiksi itu sepenuhnya.
Title: Re: Seberapa jauh Nibbana?
Post by: ilalang on 29 September 2008, 08:53:52 PM
 [at] karuna / bond /indra

Terima kasih atas infonya soal Sekha.  Terkait topik "mencicipi Nibbana", keadaan batin seorang pemeditasi vipassana PADA SAAT  "mencicipi nibana" adalah sesuai dengan uraian Sang Buddha dalam Mulapariyaya-sutta. PADA SAAT ITU hanya ada PERSEPSI MURNI.  Bedanya pada Arahat bersifat permanen, pada Sekha belum permanen.

Saya katakan PERSEPSI MURNI ini adalah IDENTIK dengan "mencicipi nibbana"  dan bisa dilatih dalam vipassana. Tidak harus jadi Sottapana atau Arahat dulu. Citarasa dari persepsi murni yang dikecap adalah sama walau hanya dalam sekejap. Menurut Buddhadasa yang sekejap itu durasi nya akan semakin panjang, semakin luas, dan frekuensinya semakin meningkat, sampai terdapat 'nibbana' sempurna..

Dalam diskusi ini saya jelaskan posisi saya dalam memahami "mencicipi nibbana" dengan menggunakan frame of reference Mulapariyaya-sutta. Menurut saya bisa dilatih dalam vipassana tanpa harus jadi Sottapana. Silahkan saja kalau ada pendapat yang berbeda.

Oh ya jangan khawatir saya akan "tersesat".... SELAMA setiap perasaan dan pikiran, yang menyenangkan maupun tidak menyenangkan terus disadari, orang tidak akan pernah tersesat. Dan tidak perlu tuntunan siapa pun untuk melakukan itu. Justru saya akan mulai khawatir dan merasa tersesat kalau hanya berada di tingkat kata-kata dan mendiskusikan kualitas batin, oleh karena lalu kita tidak pernah dapat merasakan kualitas dari hal menakjubkan itu.

[at]  Sumedho
Soal konsentrasi-mindfulness, itu sekadar pemahaman [verbalisasi] pengalaman meditasi, mohon dimaklumi kalau ternyata tidak nyambung dengan  metode analisa-nya "Magga-vibhanga Sutta".
Title: Re: Seberapa jauh Nibbana?
Post by: kullatiro on 29 September 2008, 09:54:51 PM
kalau aku jujur kepada diri ku sendiri rasa nya sangat jauh yah entah masih berapa ribu ribu ribu ribu ribu ribu ribu kalpa lagi. kadang kadang rasanya kita telah mencapai ini dan itu tapi toh apa yang kita capai ternyata masih seperti setapak kaki saja dari jalan yang panjang yang kita lalui menuju nibbana.
Title: Re: Seberapa jauh Nibbana?
Post by: markosprawira on 30 September 2008, 10:26:35 AM
Quote from: ilalang on 28 September 2008, 11:23:42 AM
Quote from: Sumedho on 26 September 2008, 08:31:22 PM
*kalau menurut visudhimagga, khanika samadhi itu dibawah jhana ke 1*
Ya khanika [vipassana] setara dengan upacara ]samatha] tapi mungkin "beda arah"...kalo via khanika aye ga jamin dia bisa nyampe ke jhana 1 apalagi jhana 2... Bukannya enggak ada jalan...jalan ada, tapi ga ada yang menempuhnya... :??

sekedar memperjelas bahwa Khanika itu ada 2, yaitu samatha dan vipassana

jadi jika menjalankan khanika di samatha, maka dia bisa mencapai jhana...... _/\_
Title: Re: Seberapa jauh Nibbana?
Post by: markosprawira on 30 September 2008, 10:32:52 AM
Quote from: ilalang on 29 September 2008, 08:44:31 PM
Menurut Mulapariyaya-sutta dalam batin seorang arahat (dan yg harus dilatih seorang sekha) hanya ada PERSEPSI MURNI.

setuju bahwa dalam batin Arahat, hanya ada PERSEPSI MURNI

Tidak setuju bahwa itu hanya harus dilatih oleh seorang sekha. SIAPAPUN harus melatihnya, apakah dia sekha, atau baru sekedar putthujhana

Quote from: ilalang on 29 September 2008, 08:44:31 PM
Dalam khanika samadhi, pada saat itu dan dari saat ke saat, hanya ada PERSEPSI MURNI.  Tentu dalam melatihnya tidak serta merta kondisi ini sempurna dalam durasi yg panjang, berbagai bentuk pikiran masih menyelinap diantaranya dikarenakan kesadaran yang menurun.


Khanika Samadhi adalah kondisi momentary concentration/sequential momentary deep concentration dimana ini berarti bahwa belum ada PERSEPSI MURNI karena persepsi murni ada pada saat MINDFULNESS

namun hendaknya khanika samadhi dilatih terus menerus dalam setiap langkah untuk mencapai mindfulness

Itulah kenapa sedari awal, saya sudah sebutkan bahwa secara theravada : "tidak ada nibbana sementara"

Quote from: ilalang on 29 September 2008, 08:44:31 PM
Tapi yang penting bukanlah bagaimana mengenali orang yang telah bebas, melainkan bagaimana memahami diri kita sendiri. Gagasan apapun tentang itu bukan fakta, tapi fiksi. Saya mungkin percaya arahat begini begitu, tapi itu tetap fiksi. Untuk menemukan kebebasan, justru saya harus menghancurkan fiksi itu sepenuhnya.

setuju untuk memahami diri kita sendiri  _/\_

tidak setuju untuk menghancurkan fiksi karena fiksi itu sebenarnya adalah buatan anda sendiri

Sesuai asumsi Anatta : "ada perbuatan, tapi tidak ada pelakunya" dimana jika anda berkata HARUS menghancurkan, berarti anda masih berbuat sesuai konsep ATTA

semoga bisa memperjelas mengenai konsep yang anda kemukakan yah  _/\_
Title: Re: Seberapa jauh Nibbana?
Post by: markosprawira on 30 September 2008, 10:40:47 AM
Quote from: ilalang on 26 September 2008, 01:07:41 PM
[at] Sumedho / Tesla:

Sebelumnya supaya lebih nyambung, berikut klarifikasi soal KONSENTRASI dan MINDFULNESS/AWARENESS yang saya pahami.

Dalam KONSENTRASI yang kuat (jhana), tidak ada MINDFULNESS akan fenomena badan & batin (yang berubah-ubah); kesadaran berada terus-menerus pada obyek konsentrasi.

Tetapi dalam MINDFULNESS yang kuat, TIDAK ADA LAGI DUALITAS ANTARA MINDFULNESS DAN KONSENTRASI. Pada saat itu mindfulness dan konsentrasi menyatu, tidak bisa dibedakan lagi.

Nah terkait dengan, "mencicipi nibbana", keadaan ini dalam meditasi vipassana disebut 'khanika samadhi' (yang berbeda dengan jhana) dimana PADA SAAT ITU pikiran [thought] "diam", tidak bergerak, sementara batin [mind] dalam keadaan "hening dan aktif", penuh perhatian [mindfulness]. Karena tidak ada tidak ada pikiran/aku, maka tidak ada kekotoran batin yang disebabkan oleh pikiran/aku PADA SAAT ITU. Setelah keluar dari samadhi yah lobha dosa moha muncul lagi.

Ini beda dengan kondisi jhana, setidaknya jhana 1 (CMIIW, udah lama ga baca sutta soalnya). Menurut teori dari kitab suci dalam jhana 1 masih ada vitakka-vicara [applied thought & sustained thought]; masih ada pikiran thus masih ada aku, dengan demikian menurut saya masih ada kekotoran batin walau halus sekali (mengendap). Entah pada jhana-jhana berikutnya, mungkin kekotoran batin sudah lenyap, saya tidak tahu.

dear bro ilalang,


pada vipassana sekalipun, tetap melakukan konsentrasi namun yang menjadi obyek adalah proses timbul tenggelamnya nama/batin dan rupa/jasmani

itu mengapa ada sebagian guru meditasi yang menjalankan samatha dahulu, baru ke vipassana

Tujuannya adalah untuk melatih konsentrasi agar menjadi kuat dan fokus dalam memegang obyek

Dalam samatha, kekotoran batin hanya "mengendap" itu kenapa jika tidak dilatih, akan timbul kembali...

Disini dapat dilihat bahwa penjelasan "timbul kembali" selaras dengan persepsi anda "nibbana sementara", yang sangat berbeda sekali dengan Nibbana sebenarnya dimana kekotoran batin tidak akan muncul lagi

semoga bisa bermanfaat  _/\_
Title: Re: Seberapa jauh Nibbana?
Post by: markosprawira on 30 September 2008, 10:47:26 AM
Quote from: daimond on 29 September 2008, 09:54:51 PM
kalau aku jujur kepada diri ku sendiri rasa nya sangat jauh yah entah masih berapa ribu ribu ribu ribu ribu ribu ribu kalpa lagi. kadang kadang rasanya kita telah mencapai ini dan itu tapi toh apa yang kita capai ternyata masih seperti setapak kaki saja dari jalan yang panjang yang kita lalui menuju nibbana.

RASA itu memang berbahaya, bro  ;D

banyak orang menilai dari RASA, padahal itu hanya vedana/perasaan yang dipengaruhi oleh persepsi/sanna kusala, akusala dan netral

semoga bisa bermanfaat  _/\_
Title: Re: Seberapa jauh Nibbana?
Post by: fabian c on 07 October 2008, 09:35:40 PM
Quote from: markosprawira on 30 September 2008, 10:47:26 AM
Quote from: daimond on 29 September 2008, 09:54:51 PM
kalau aku jujur kepada diri ku sendiri rasa nya sangat jauh yah entah masih berapa ribu ribu ribu ribu ribu ribu ribu kalpa lagi. kadang kadang rasanya kita telah mencapai ini dan itu tapi toh apa yang kita capai ternyata masih seperti setapak kaki saja dari jalan yang panjang yang kita lalui menuju nibbana.

RASA itu memang berbahaya, bro  ;D

banyak orang menilai dari RASA, padahal itu hanya vedana/perasaan yang dipengaruhi oleh persepsi/sanna kusala, akusala dan netral

semoga bisa bermanfaat  _/\_


Saudara Daimond yang baik,

Saya bisa mengerti umumnya orang memang beranggapan demikian bila belum bermeditasi, atau pengalaman meditasinya belum membentuk pengertian-pengertian. Tentu akan beranggapan bahwa untuk mencapai/mengalami Nibbana sangat jauh dan lama sekali.

Tapi menurut pendapat saya berdasarkan pengalaman beberapa meditator, Nibbana berada sangat dekat (baca: Dhammanussati) Pada pengalaman beberapa meditator Vipassana yang saya kenal kemajuan yang mereka alami adalah pasti, walau kecepatan progress setiap meditator berbeda-beda.

Nana dalam Vipassana ada enam belas, yang ke12 hingga yang ke15 dicapai bersamaan pada satu sesi duduk yang sama. Yang ke enam belas dicapai setelah mencapai yang ke 15. Nana yang ke sebelas adalah sankharupekkha nana, jika nana ke 11 matang maka khanika samadhi juga matang dan siap untuk penembusan.

Untuk mencapai nana ke 11 diperlukan kesabaran, batin tidak bisa dimurnikan seketika, untuk memurnikan batin memerlukan waktu beberapa lama.

Pada pengalaman meditator yang dengan penuh kesabaran dan semangat yang kuat berlatih meditasi Vipassana jangka panjang, kemajuan mereka terukur dan bisa mereka ketahui sendiri. ada yang menyelesaikan satu nana selama dua minggu, ada yang hanya seminggu bahkan yang sangat tajam kecerdasan spiritualnya menyelesaikan satu nana hanya dalam waktu tiga hari (jadi sankharupekkha nana dicapai hanya dalam waktu + satu bulan) Jadi ini semua tergantung dari parami kita.

Banyak umat Buddha memiliki kemampuan untuk merealisasi Nibbana dalam kehidupan ini juga (maksudnya memiliki kecerdasan spiritual yang cukup), tetapi tidak mau mengambil kesempatan tersebut, karena memang dihalangi karma, umpamanya dia sudah berumah tangga dan tak boleh meninggalkan keluarga untuk waktu yang lama, atau dia tak mau melepaskan apa yang telah mereka dapatkan dalam kehidupan ini.

Apakah anda memiliki keberanian itu? pergi bermeditasi Vipassana... katakanlah selama beberapa bulan...? mungkin mengorbankan keluarga atau karir dsbnya..?

Bila anda memiliki keberanian dan memiliki tekad serta konsistensi yang kuat untuk berlatih intensif selama beberapa bulan mudah-mudahan anda bisa mencapai Nibbana atau minimal dekat-dekat Nibbana.

Tapi sementara ini mungkin baik juga jika anda lebih dahulu pemanasan dengan mencoba meditasi intensif selama beberapa hari (dibawah bimbingan guru yang memang benar-benar telah menyelami) biasanya guru meditasi Vipassana yang memang benar-benar telah menyelami akan mengetahui bahwa, pengalaman yang mereka alami selaras dengan yang tertera dalam Sutta-sutta.

Sebelum anda membuat rencana ada baiknya anda sekali lagi merenungkan sifat-sifat Dhamma, yaitu ehipassiko, sebagian orang senang menerjemahkan dengan datang dan buktikan, secara harfiah saya rasa artinya adalah datang dan saksikan. Saya sendiri lebih suka menerjemahkan "datang dan alami" atau "datang dan selami"

Benar seperti yang saudara Markos bilang, jangan merasa jauh dengan Nibbana, pergunakanlah kesempatan yang ada saat ini untuk berjuang mencapainya.

(((Semoga kita semua berbahagia dan tetap maju dalam Dhamma)))

Title: Re: Seberapa jauh Nibbana?
Post by: Hendra Susanto on 07 October 2008, 11:15:48 PM
wahhh ko saudara fabian... makin dijelasin gt makin terasa kesedooottttt... :'(
Title: Re: Seberapa jauh Nibbana?
Post by: Adhitthana on 07 October 2008, 11:50:11 PM
Jadi kepengen belajar Meditasi

Niat ada, tapi ditunda-tunda, mungkin krn kemalasan ....
ada kesempatan harus digunakan yaaak .....
ditunda-tunda malah ... nanti ngga ada kesempatan lagi  :'(

Anumodana ... sdr fabian  :lotus: _/\_

Title: Re: Seberapa jauh Nibbana?
Post by: markosprawira on 08 October 2008, 10:14:45 AM
dear Virya,

kalau saya boleh berpendapat bahwa meditasi hendaknya tidaklah dilakukan harus pada momen tertentu saja.

justru tujuannya adalah menjadi "sadar setiap saat" sehingga kita bisa "sadar" pada setiap apapun yang kita lakukan.

disini dapat kita lihat bahwa hendaknya kita berlatih meditasi dalam hidup sehari-hari kita
yang paling gampang adalah mempraktekkan ajaran para buddha, yaitu:

1. Kurangi kejahatan : ini bentuk meditasi juga loh dimana anda mulai mengerem akusala kamma yang biasanya muncul tak terkendali.
Dengan mulai menyadari bahwa akusala hanya akan membuahkan akusala juga, hendaknya kita mulai mengerem akusala.
Caranya? misalnya pada kasus marah, dimulai dengan melihat bagaimana sensasi pada waktu akan marah, bagaimana rasanya sewaktu marah.
Dengan mempelajari ini, kita akan jadi mahir untuk mengendalikan marah
Cara serupa bisa diterapkan pada jenis2 akusala lainnya seperti iri hari, jengkel, dsbnya...

2. Perbanyak kebajikan : sama seperti no. 1, ini meditasi juga loh, dimana karena kita sudah mahir mengontrol akusala, maka kita juga bisa mengatur yang kusala
Pada kusala, dimulai dari merasakan bagaimana bahagianya pada saat melakukan kusala kamma.
Pun setelah melakukan, hendaknya kebahagiaan ini seringkali direnungkan

dalam meditasi vipassana pun, yang akan diajarkan pertama adalah bagaimana menyadari langkah pada saat berjalan, tindakan2 pada waktu makan, dsbnya dimana ini untuk melatih agar kita bisa mengontrol batin kita

semoga bisa bermanfaat agar anda dapat segera mulai meditasi dalam hidup sehari-hari yah............  _/\_
Title: Re: Seberapa jauh Nibbana?
Post by: Adhitthana on 08 October 2008, 11:33:55 PM
[at] markosprawira

Anumodana  :lotus: _/\_

mao share dalam menjalani kehidupan sehar-hari
setelah mengenal Buddha Dhamma  :)
tapi masih sungkan .....  ;D
Title: Re: Seberapa jauh Nibbana?
Post by: markosprawira on 09 October 2008, 10:46:03 AM
Quote from: Virya on 08 October 2008, 11:33:55 PM
[at] markosprawira

Anumodana  :lotus: _/\_

mao share dalam menjalani kehidupan sehar-hari
setelah mengenal Buddha Dhamma  :)
tapi masih sungkan .....  ;D

dear Virya,

Sabbe dana, Dhammadanam Jinnati : Dana yang tertinggi adalah Dhamma dana

Dhamma dana adalah dana dengan memberikan pengetahuan, knowledge, bimbingan, konsultasi, sharing hal yang baik termasuk testimoni setelah mengenal buddha dhamma loh.......


Juga bisa kita lihat dari : http://dhammacitta.org/forum/index.php?topic=2878.35

beberapa dari 14 akusala cetasika/faktor batin adalah:
1. Thina (malas) : sulit untuk berbuat kusala/yang baik
2. Middha (lamban) : lambat bereaksi jika ada kesempatan berbuat baik
3. Vicikiccha (ragu-ragu) : ragu tentang kusala dan akusala, sehingga menghambat pada waktu ada kesempatan berbuat baik
4. Kukkucca (khawatir) : khawatir jadi bahan gunjingan, khawatir ditertawakan jika omong di depan org yg senior/jumlahnya banyak, dsbnya.......

Nibbana sebagai kebahagiaan tertinggi, tidak akan dicapai kalau kita masih terus mengembangkan akusala.......

semoga bisa bermanfaat bagi kita semua  _/\_
Title: Dhamma hanya dapat diselami mereka yang melihat kenyataan dukkha dalam dirinnya
Post by: ilalang on 13 October 2008, 06:30:50 PM
Praksis Dhamma berjalan melawan arah kebiasaan-kebiasaan (diri) kita, kebenaran berlawanan arah dengan hasrat-hasrat diri, sehingga orang biasanya selalu menemui kesulitan dalam praksis. Dan kebanyakan dari kita enggan untuk berada dalam keadaan sadar yang intens, karena hal itu dirasakan terlalu mengganggu. Kita cenderung melanjutkan kegiatan rutin, betapapun membosankan. Kita cenderung membentuk comfort zone masing-masing, dengan segala bentuk iming-iming yang sacred maupun yang profan, ketimbang berhadapan langsung dengan fakta dhukkha yang membentang di hadapan kita.

Namun betapapun saat ini orang merasa nyaman dalam kehidupannya, cepat atau lambat dia akan berhadapan dengan kenyataan dhukkha.  Dia akan menyadari bahwa penyebab dari penderitaan manusia itu tidak lain adalah dirinya sendiri: akunya, keinginannya, kemelekatannya, dsb.  Demikianlah "Dhamma hanya dapat diselami oleh mereka yang melihat dukkha di dalam dirinya". Jika orang benar-benar menyadarinya kenyataan dhukkha dalam PENGALAMAN EKSISTENSIAL, bukan hasil pelajaran atau pengetahuan AGAMA Buddha secara INTELEKTUAL,  maka saat itulah dia akan mulai mengerti Dhamma dan akan timbul tekad dalam dirinya untuk bebas dan mulai bermeditasi. Orang tidak harus jadi bhikkhu dulu,  dalam kehidupan sebagai perumah tangga juga bisa mencapai pembebasan. Kenapa menunda-nunda upaya mencapai pembebasan? Siapa tahu kita terlahir lagi di zaman dimana tidak ada ajaran Buddha sama sekali. Kenapa tidak mencapai Nibbana dalam hidup ini juga?
Title: Melihat Mulapariyaya-Sutta dalam Meditasi
Post by: ilalang on 13 October 2008, 06:37:00 PM
Sekadar klarifikasi, vipassana yang saya lakukan adalah sebagai berikut:

Kapanpun saat sedang sendirian dan merasa tidak perlu memutar otak (menganalisa, berkomunikasi, mengingat, dll), saya biasanya mulai dengan mengamati pikiran saya sendiri.  Saat menyadari akan gerak-gerik pikiran saya sendiri, jika kesadaran makin intens, biasanya akan terlihat PEMISAHAN antara si aku yang mengamati dan yang diamati, antara si aku yang berpikir dan pikirannya, antara yang mengalami dan pengalamannya, antara subyek dan obyek. Hingga suatu ketika akan terlihat bahwa PEMISAHAN itu adalah ILUSI. Dan yang tinggal hanya pengamatan murni, tanpa subyek tanpa obyek, tanpa masa lalu, tanpa waktu.

Itu saja meditasi vipassana yang saya lakukan. Dan ini saja saya rasa cukup buat saya. Saya tahu saya mungkin tidak akan pergi ke mana-mana; mungkin suatu saat saya hanya sekadar terbangun, dan menyadari bahwa semua ini hanya sekadar mimpi...

Catatan: saya tidak mengharapkan rekan-rekan mengerti apalagi menerima kata-kata saya di atas. Buat seseorang mungkin terdengar berharga dan layak untuk dilakukan, sementara buat orang lain tampaknya hanya omong kosong saja.
_/\_
Title: Re: Seberapa jauh Nibbana?
Post by: Hendra Susanto on 13 October 2008, 07:22:21 PM
hanya dengan meditasi seseorang tidak akan terbebaskan ;D

meditasi merupakan salah satu bagian dari jalan mulia berunsur delapan dimana 7 jalan lainnya saling mendukung dan melengkapi dan merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan... ;D
Title: Re: Seberapa jauh Nibbana?
Post by: fabian c on 13 October 2008, 09:12:38 PM
Saudara Ilalang yang baik,

Saya tertarik dan ingin menanggapi mengenai postingan saudara, saya harap diterima dengan pemikiran konstruktif, demi kemajuan kita bersama dalam Dhamma... karena saya merasa saudara juga memiliki keinginan me-realisasi Dhamma dalam kehidupan ini.... demikian juga banyak anggota DC yang lain...

Dalam Mulapariyaya sutta saudara Ilalang menerjemahkan demikian,

Quote
Sang Buddha berkata:
"Seorang puthujjana, ketika mencerap nibbana, dia membayangkan nibbana [tanah, air, dst sampai nibbana]; mencerap [dirinya] di dalam nibbana; mencerap [dualitas
diri yang terpisah] dari nibbana; mencerap nibbana sebagai milikku; bersenang hati dengan nibbana. Mengapa? Karena dia belum menyadarinya

"Seorang sekha, KETIKA MENCERAP NIBBANA, hendaklah dia tidak membayangkan nibbana, hendaklah dia tidak mencerap  di dalam nibbana, hendaklah dia tidak mencerap
dari nibbana, hendaklah dia tidak mencerap nibbana sebagai milikku, hendaklah dia tidak bersenang hati dengan nibbana. Mengapa? Agar dia dapat menyadarinya"

Dari terjemahan diatas terlihat bahwa tidak ada bedanya antara puthujana (umat awam dan sekha) yang berbeda hanya konsep... kelihatannya keduanya menurut saudara Ilalang bisa mencerap Nibbana...

Menurut pemahaman saya, menurut para guru meditasi Vipassana dan menurut Tipitaka, seorang Sekha (minimum Sotapanna) adalah orang yang telah merealisasi Nibbana, yaitu saupadisesa Nibbana (bedakan dengan anupadisesa Nibbana), sedangkan seorang puthujana belum pernah mengalami Nibbana.
Bedakan penerjemahan saya, saya menerjemahkan Nibbana sebagai sesuatu yang dialami sekarang dalam kehidupan ini juga, bukan hanya sekedar dimengerti.... (bila mencicipi otomatis mengerti, sedangkan bila belum mencicipi maka akan sulit mengerti)

Jadi terjemahan untuk sekha dalam Mulapariyaya sutta maksudnya adalah, walau telah mencicipi Nibbana diterjemahkan bahasa Inggris directly knows..

Sebenarnya bila seseorang telah mencicipi Nibbana maka ia akan mengalami juga berhentinya dukkha (selama mengalami Nibbana) sehingga dia menyelami Empat Kebenaran Ariya. Selain dari itu ia juga mengalami Paticca Samupada sehingga dia tahu dengan jelas kaitan semua itu dan dapat menjawab dengan baik setiap pertanyaan yang diajukan... yang berhubungan dengan pencapaian itu....

Coba renungkan... mungkin kepada diri kita sendiri, sebelum meng-klaim bahwa kita telah mencicipi Nibbana, apakah saya "mengalami Empat Kebenaran Mulia?" dan apakah saya "mengalami Paticca Samuppada? / sebab musabab yang saling bergantungan...?" dan kalau memang pernah mengalami tentu tak akan kesulitan menjawab....

Yang terutama membuat saya ingin menanggapi pengalaman saudara Ilalang adalah pengalaman meditasi yang saudara Ilalang tuturkan,

QuoteKapanpun saat sedang sendirian dan merasa tidak perlu memutar otak (menganalisa, berkomunikasi, mengingat, dll), saya biasanya mulai dengan mengamati pikiran saya sendiri.  Saat menyadari akan gerak-gerik pikiran saya sendiri, jika kesadaran makin intens, biasanya akan terlihat PEMISAHAN antara si aku yang mengamati dan yang diamati, antara si aku yang berpikir dan pikirannya, antara yang mengalami dan pengalamannya, antara subyek dan obyek. Hingga suatu ketika akan terlihat bahwa PEMISAHAN itu adalah ILUSI. Dan yang tinggal hanya pengamatan murni, tanpa subyek tanpa obyek, tanpa masa lalu, tanpa waktu.

Saya tidak meragukan pengalaman meditasi saudara Ilalang, dan bukan hanya saudara Ilalang yang mengalami pengalaman ini, banyak diantara mereka yang berlatih meditasi Vipassana metode lain juga mengalami pengalaman ini, ini adalah nyana atau pengetahuan yang disebut (namarupa paricheda nana, atau pengetahuan membedakan nama dan rupa / batin dan jasmani / pengamat dan yang diamati), pengetahuan ini dialami oleh mereka yang berlatih meditasi intensif dua,tiga hari atau lebih.

Ini adalah insight tingkat pertama dari ke enam belas insight. Pencapaian ini menandakan saudara Ilalang memiliki kecerdasan batin yang cukup. Karena latihan yang dilakukan oleh saudara Ilalang kurang memperhatikan gerak gerik jasmani, sehingga tidak sama dengan mereka yang secara cermat memperhatikan gerak-gerik jasmani (tetapi insightnya sama). Pada mereka yang secara cermat mengamati jasmani, mereka akan melihat tubuhnya terasa seperti robot dan ia melihat bahwa batin dan jasmani terpisah...

Saudara Ilalang melihat bahwa pemisahan itu cuma ilusi, tetapi saya kira bukan ilusi tetapi pengalaman itu sendiri anicca, karena pengalaman itu tak dapat dialami terus-menerus, (tolong dikoreksi bila saya salah).

Pencapaian nyana atau insight tidak seperti Jhana yang bisa diulangi terus-menerus. Pencapaian Nyana umumnya dialami hanya sekali lalu kemudian pengalaman lain akan muncul bila meditasinya benar...

Konsentrasi pada tingkat ini mulai memusat (pada meditator yang berlatih dengan penuh perhatian dan kewaspadaan, konsentrasinya akan bertambah baik).
Pada tahap ini kadang kadang perhatian mulai jernih, walaupun masih banyak sekali PR yang harus dilakukan, meditator pada tahap ini belum mengenal bentuk batin yang lebih halus.. apalagi menyadari setiap kehendak yang muncul.

Pada tahap ini biasanya batin belum mampu melihat awal kemunculan bentuk-bentuk batin, hanya setelah muncul pada pertengahan baru menyadari, tetapi walau demikian kadang-kadang bisa juga menyadari awal kemunculan fenomena batin.

mengenai pengamatan murni tanpa subjek-objek dsbnya... coba cek dengan benar apakah saudara Ilalang memiliki kontrol penuh atas batin saudara...? coba alihkan untuk memperhatikan sesuatu yang lain... umpamanya keluar masuk napas...atau kembang-kempis perut... apakah saudara dapat mengikuti tanpa muncul pikiran, perasaan dll untuk waktu yang lama....?

Terlepas dari semua itu, Ini hanya pendapat saya, dan ini awal yang baik, mudah-mudahan saudara Ilalang berusaha memperpanjang waktu meditasi intensifnya, karena sadar dan waspada pada kegiatan sehari-hari sulit dipraktekkan kalau tidak di tempat retreat, karena sangat banyak bolong-bolongnya.... iya kan...?

(((Semoga kita semua tetap maju dalam Dhamma)))

sukhi hotu,

fabian

Title: Re: Seberapa jauh Nibbana?
Post by: ilalang on 14 October 2008, 09:04:47 PM
Quote from: Hendra Susanto on 13 October 2008, 07:22:21 PM
hanya dengan meditasi seseorang tidak akan terbebaskan ;D

meditasi merupakan salah satu bagian dari jalan mulia berunsur delapan dimana 7 jalan lainnya saling mendukung dan melengkapi dan merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan... ;D

Kalau keyakinan itu mendorong Anda untuk menempuh kedelapan ruas jalan itu secara bersamaan/simultan (istilah Anda: "satu kesatuan, tidak dapat dipisahkan"), saran saya: lakukanlah... Jalankan meditasi sambil mengembangkan Sila, konsentrasi, dsb, tanpa menunggu yang satu harus matang dulu baru menjalankan yg lain.

Tapi kalau keyakinan Anda itu membuat Anda menunda meditasi, dengan alasan Sila harus mantap dulu dsb, saran saya hati-hatilah... Kemungkinan itu adalah akal-akalan aku/pikiran Anda yang licin, yang tidak ingin kebiasaan-kebiasaan, hasrat-hasrat, dan kenyamanannya terusik jika Anda bermeditasi.
Title: Re: Seberapa jauh Nibbana?
Post by: ilalang on 14 October 2008, 09:19:30 PM
Quote from: fabian c on 13 October 2008, 09:12:38 PM
Dari terjemahan diatas terlihat bahwa tidak ada bedanya antara puthujana (umat awam dan sekha) yang berbeda hanya konsep... kelihatannya keduanya menurut saudara Ilalang bisa mencerap Nibbana...

Makhluk hidup dan para Buddha bukan hal berbeda. Bila kita selaras dengan kesadaran murni untuk sesaat, maka kita adalah Buddha untuk sesaat; dan bila kita selaras selaras dengan kesadaran murni dari saat ke saat, maka kita adalah Buddha-Buddha dari saat ke saat.

Quote
Sebenarnya bila seseorang telah mencicipi Nibbana maka ia akan mengalami juga berhentinya dukkha (selama mengalami Nibbana) sehingga dia menyelami Empat Kebenaran Ariya. Selain dari itu ia juga mengalami Paticca Samupada sehingga dia tahu dengan jelas kaitan semua itu dan dapat menjawab dengan baik setiap pertanyaan yang diajukan... yang berhubungan dengan pencapaian itu....

Coba renungkan... mungkin kepada diri kita sendiri, sebelum meng-klaim bahwa kita telah mencicipi Nibbana, apakah saya "mengalami Empat Kebenaran Mulia?" dan apakah saya "mengalami Paticca Samuppada? / sebab musabab yang saling bergantungan...?" dan kalau memang pernah mengalami tentu tak akan kesulitan menjawab....

Seandainya Sang Buddha sendiri pun yang menjelaskan Empat Kebenaran Mulia, Paticca Samupada, Mulapariyaya Sutta, dst, selama orang tidak melihat kenyataan dukkha dalam dirinya, selama itu dia akan menjadi puthujjana.

Tetapi ketika orang mulai melihat kenyataan dukkha dalam dirinya, maka dia akan melihat Dhamma pada sehelai daun dan ribuan daun yang gugur, sungai yang mengalir, serta seluruh gerak kehidupan.

Jadi kebenaran bukan milik sutta atau kitab suci. Segala sesuatu di muka bumi ini, hidup, mati, muncul dan layu. Segala sesuatu mengalir dari saat ke saat, tanpa sesuatu pun yang menetap dan berpindah dari saat ke saat, seperti diri ini yang berproses didorong oleh kehausan dan ketidaktahuan, lahir dan mati. Untuk menangkap seluruh gerak kehidupan dibutuhkan kecerdasan yang bukan berasal dari pikiran, buku, kitab suci, atau pengetahuan. Selagi memandang daun yang jatuh, layu, mengering, lenyap terbawa angin, mungkin kita akan memahami, bagaimana sebenarnya kematian kita sendiri.

Quote
Pada tahap ini biasanya batin belum mampu melihat awal kemunculan bentuk-bentuk batin, hanya setelah muncul pada pertengahan baru menyadari, tetapi walau demikian kadang-kadang bisa juga menyadari awal kemunculan fenomena batin.

mengenai pengamatan murni tanpa subjek-objek dsbnya... coba cek dengan benar apakah saudara Ilalang memiliki kontrol penuh atas batin saudara...? coba alihkan untuk memperhatikan sesuatu yang lain... umpamanya keluar masuk napas...atau kembang-kempis perut... apakah saudara dapat mengikuti tanpa muncul pikiran, perasaan dll untuk waktu yang lama....?

Rekan Fabian,
Terima kasih atas saran Anda untuk meditasi saya. Soal tingkat-tingkat vipassana, mohon maaf saya sudah tidak peduli lagi dengan pencapaian apapun. Ada kalanya kegairahan, ketakutan, kesedihan, dan kebosanan, yang belum pernah terbayangkan sebelumnya muncul. Tapi pada akhirnya semua itu indah jika diamati secara wajar dan sederhana.
_/\_
Title: Re: Seberapa jauh Nibbana?
Post by: Sumedho on 14 October 2008, 09:32:33 PM
definisi Buddha dan Putthujana nya sepertinya pada berbeda makna nih....
Title: Re: Seberapa jauh Nibbana?
Post by: hendrako on 14 October 2008, 11:44:07 PM
Quote from: ilalang on 14 October 2008, 09:19:30 PM

Seandainya Sang Buddha sendiri pun yang menjelaskan Empat Kebenaran Mulia, Paticca Samupada, Mulapariyaya Sutta, dst, selama orang tidak melihat kenyataan dukkha dalam dirinya, selama itu dia akan menjadi puthujjana.

Tetapi ketika orang mulai melihat kenyataan dukkha dalam dirinya, maka dia akan melihat Dhamma pada sehelai daun dan ribuan daun yang gugur, sungai yang mengalir, serta seluruh gerak kehidupan.

Quote

Saya teringat isi salah satu sutta yang isinya kurang lebih begini (secara singkat dan ringkas karena saya lupa ada di sutta mana?):

Buddha Gotama memaparkan tentang 3 tipe orang:
1. Orang yang tetap tidak mengerti walaupun telah mendapatkan kesempatan mendengarkan Dhamma.
2. Orang yang dapat mengerti walaupun tidak mendengarkan Dhamma.
3. Orang yang hanya dapat mengerti apabila mendengarkan Dhamma.

Untuk jenis orang ketigalah Dhamma dibabarkan, namun 2 yang lain tetap perlu untuk dibabarkan Dhamma.

Jadi yang bro Ilalang maksud dari quote alinea pertama diatas mungkin adalah tergolong tipe pertama, sedangkan dari alinea kedua termasuk ke dalam 2 tipe yang lainnya.

Pembabaran tentang tipe diatas (menurut saya) jelas bukan untuk tujuan akhir, namun menajamkan kebijaksanaan tentang "pengertian" bahwa memang ada perbedaan antara masing2 orang, jadi tidak ada gunanya memperdebatkan bahwa orang harus bertipe yang ini atau yang itu. Lebih pada proses usaha untuk "mengerti" dan "berempati" terhadap "orang lain".

Quote from: ilalang on 14 October 2008, 09:19:30 PM

Jadi kebenaran bukan milik sutta atau kitab suci. Segala sesuatu di muka bumi ini, hidup, mati, muncul dan layu. Segala sesuatu mengalir dari saat ke saat, tanpa sesuatu pun yang menetap dan berpindah dari saat ke saat, seperti diri ini yang berproses didorong oleh kehausan dan ketidaktahuan, lahir dan mati. Untuk menangkap seluruh gerak kehidupan dibutuhkan kecerdasan yang bukan berasal dari pikiran, buku, kitab suci, atau pengetahuan. Selagi memandang daun yang jatuh, layu, mengering, lenyap terbawa angin, mungkin kita akan memahami, bagaimana sebenarnya kematian kita sendiri.
Quote

Setuju dengan Kebenaran bukan milik siapa/apapun, karena kebenaran tidak perlu dimiliki, tanpa perlu dimiliki/dipercaya, Kebenaran tetaplah Kebenaran.

Dari beberapa thread termasuk thread ini tentang "jalan" (beberapa pasti tidak setuju dengan penggunaan kata "jalan" ini) menuju ke "hakikat sejati", saya menyimpulkan sebagai berikut:

Latah seorang cleaning service:

Untuk membersihkan lantai
Masing-masing orang memiliki cara berbeda
Namun jelas harus terdapat cahaya
Agar orang menyadari bahwa lantainya berdebu

Setelah memiliki cahaya
Yang terangnya pun tak sama
Masing-masing orang
Lagi-lagi berpikir tak sama

Instruksi Sang Supervisor
Dimengerti dengan beda
Rupanya pengertian tiap orang
Sungguhlah berbeda

Ada yang menyapu terlebih dahulu
Baru mengepel sesudahnya
Namun ada juga yang langsung mengepelnya
Tanpa menyapu terlebih dahulu

Satu sama lain memiliki kecepatannya
Bisa sama cepat,
lebih lambat,
atau lebih cepat

Menyapu terlebih dahulu
Lebih gampang mengepelnya
Langsung mengepel
tidak semudah menyapu terlebih dahulu

Namun jelas keduanya
Memiliki tujuan mulia
Membersihkan lantai berdebu
Hingga tuntas pekerjaannya

_/\_



Title: Re: Seberapa jauh Nibbana?
Post by: Hendra Susanto on 15 October 2008, 07:26:38 AM
Quote from: ilalang on 14 October 2008, 09:04:47 PM
Quote from: Hendra Susanto on 13 October 2008, 07:22:21 PM
hanya dengan meditasi seseorang tidak akan terbebaskan ;D

meditasi merupakan salah satu bagian dari jalan mulia berunsur delapan dimana 7 jalan lainnya saling mendukung dan melengkapi dan merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan... ;D

Kalau keyakinan itu mendorong Anda untuk menempuh kedelapan ruas jalan itu secara bersamaan/simultan (istilah Anda: "satu kesatuan, tidak dapat dipisahkan"), saran saya: lakukanlah... Jalankan meditasi sambil mengembangkan Sila, konsentrasi, dsb, tanpa menunggu yang satu harus matang dulu baru menjalankan yg lain.

Tapi kalau keyakinan Anda itu membuat Anda menunda meditasi, dengan alasan Sila harus mantap dulu dsb, saran saya hati-hatilah... Kemungkinan itu adalah akal-akalan aku/pikiran Anda yang licin, yang tidak ingin kebiasaan-kebiasaan, hasrat-hasrat, dan kenyamanannya terusik jika Anda bermeditasi.

terima kasih atas saran yang anda berikan, secara pribadi saya pun rutin bermeditasi...

Title: Re: Seberapa jauh Nibbana?
Post by: fabian c on 15 October 2008, 11:19:24 PM
saudara Ilalang yang baik,

saya akan menanggapi sedikit komentar saudara, saya ingin tahu lebih jauh pandangan kita nyambung atau tidak...

QuoteMakhluk hidup dan para Buddha bukan hal berbeda. Bila kita selaras dengan kesadaran murni untuk sesaat, maka kita adalah Buddha untuk sesaat; dan bila kita selaras selaras dengan kesadaran murni dari saat ke saat, maka kita adalah Buddha-Buddha dari saat ke saat.

Bolehkah saya tahu ini pendapat saudara atau pendapat kitab suci...? bila pendapat kitab suci tolong diberi rujukannya...

QuoteSeandainya Sang Buddha sendiri pun yang menjelaskan Empat Kebenaran Mulia, Paticca Samupada, Mulapariyaya Sutta, dst, selama orang tidak melihat kenyataan dukkha dalam dirinya, selama itu dia akan menjadi puthujjana.

Saya setuju... tetapi harus diingat melihat dukkha juga bukan berarti dia sudah Ariya... Karena melihat dukkha yang dimaksud disini juga berkaitan dengan asal mula dukkha, berhentinya dukkha dan cara untuk melenyapkan dukkha yaitu Jalan Ariya berunsur delapan... Untuk lebih tegasnya yang anda maksud disini tentu Nibbana...?

Nibbana yang bagaimana...? Nibbana yang sebenarnya berkaitan dengan Paticca Samuppada... yaitu ia mengalami Paticcasamupada...

QuoteTetapi ketika orang mulai melihat kenyataan dukkha dalam dirinya, maka dia akan melihat Dhamma pada sehelai daun dan ribuan daun yang gugur, sungai yang mengalir, serta seluruh gerak kehidupan
.

Bedakan antara pannati Dhamma dan Paramattha Dhamma, pada pannati Dhamma, kaki tersandung batu dan merasa sakit adalah dukkha, makan makanan enak adalah sukha.... (selami bagian ini...)

Pada Paramattha Dhamma... kaki tersandung batu maupun makan enak adalah dukkha.... Terbebas dari semua bentukan batin itu adalah sukkha... Inilah yang dimaksud dengan Nibbana... Inilah yang dimaksud terbebas dari dukkha....

Dan saya ingin saudara perhatikan lagi komentar berikut...
karena kebebasan dari dukkha yang dimaksud adalah Nibbana... yaitu batin yang terlepas dari senang maupun tidak senang atau bentuk batin / tanggapan batin apapun....

Coba renungkan dalam meditasi saudara Ilalang... apakah saudara ilalang pernah dalam meditasi mampu melihat rasa sakit, tanpa merasa sakit sama sekali...? (umpamanya duduk lama melihat kaki yang menjadi sakit tapi tidak merasa sakit sama sekali)

Bila saudara Ilalang mampu melihat demikian, berarti saudara Ilalang mulai dapat terlepas dari Dukkha...Tetapi itupun belum berarti bahwa saudara Ilalang sudah mencapai Nibbana... itu hanya ibarat fondasi yang mulai kokoh... untuk mencapai Nibbana (magga-phala/Sotapanna) masih diperlukan perjuangan lebih jauh...

Quote
Jadi kebenaran bukan milik sutta atau kitab suci. Segala sesuatu di muka bumi ini, hidup, mati, muncul dan layu. Segala sesuatu mengalir dari saat ke saat, tanpa sesuatu pun yang menetap dan berpindah dari saat ke saat, seperti diri ini yang berproses didorong oleh kehausan dan ketidaktahuan, lahir dan mati. Untuk menangkap seluruh gerak kehidupan dibutuhkan kecerdasan yang bukan berasal dari pikiran, buku, kitab suci, atau pengetahuan. Selagi memandang daun yang jatuh, layu, mengering, lenyap terbawa angin, mungkin kita akan memahami, bagaimana sebenarnya kematian kita sendiri.

Tolong diperjelas... (1) kebenaran yang mana yang dimaksud... ? kata-kata milik sendiri sudah tidak tepat... kata-kata yang lebih tepat adalah: kebenaran ada... atau kebenaran tidak ada di kitab suci... terus terang pada bagian ini saya tidak mengerti maksud saudara Ilalang... tolong diperjelas...

Quote
Rekan Fabian,
Terima kasih atas saran Anda untuk meditasi saya. Soal tingkat-tingkat vipassana, mohon maaf saya sudah tidak peduli lagi dengan pencapaian apapun. Ada kalanya kegairahan, ketakutan, kesedihan, dan kebosanan, yang belum pernah terbayangkan sebelumnya muncul. Tapi pada akhirnya semua itu indah jika diamati secara wajar dan sederhana.
Namaste

Mengenai tingkat Vipassana.. like it or dislike or whatever... kita akan melewati itu...that is the truth...
Mengenai kegairahan, ketakutan, kesedihan dan kebosanan saya rasa dalam meditasi tidak perlu dianggap indah atau tidak indah atau buruk... melihat saja apa adanya.... sesuai sifat alaminya... sehingga semuanya nampak wajar...

(((Semoga kita semua terbebas dari pandangan salah...)))

sukhi hotu..

Title: Re: Seberapa jauh Nibbana?
Post by: ilalang on 16 October 2008, 09:21:18 PM
Quote from: fabian c on 15 October 2008, 11:19:24 PM
Bolehkah saya tahu ini pendapat saudara atau pendapat kitab suci...? bila pendapat kitab suci tolong diberi rujukannya...
Itu pemahaman saya terkait topik "mencicipi Nibbana" dan kaitannya dengan "persepsi murni" seperti diuraikan dalam Mulapariyaya-Sutta.  Saya sudah katakan "mencicipi Nibbana" identik dengan "citarasa" PADA SAAT memasuki persepsi murni, dalam konteks ini saya tidak membedakan antara kesadaran makhluk hidup, sekha, arahat atau Buddha. Hanya jika kesadaran menurun hingga ke tahap "conceive things", maka mulai muncul dualitas aku dan bukan aku, subyek dan obyek, dan kesadaran akan kembali seperti puthujjana, yang terbiasa berpikir ini milikku, ini aku, ini diri-ku.

Sekali lagi mohon disadari bahwa kata-kata bukanlah yang dikatakan. Orang harus harus luarbiasa sadar jika tidak mau tersesat dalam kata-kata ketika mendiskusikan pengalaman meditasi, sekalipun kata-kata itu dinyatakan dalam sutta-sutta atau kitab suci.

[at]  Sumedho
Mudah-mudahan ini menjelaskan maksud saya.

Quote
Nibbana yang bagaimana...? Nibbana yang sebenarnya berkaitan dengan Paticca Samuppada... yaitu ia mengalami Paticcasamupada...
Apa itu "mengalami Paticcasamupada"?
Dapatkah Anda melihat arus diri dalam sungai yang mengalir dari saat ke saat?
Dapatkah Anda memahami kematian dan kelahiran pada sehelai daun yang gugur?

Quote
Bila saudara Ilalang mampu melihat demikian, berarti saudara Ilalang mulai dapat terlepas dari Dukkha...Tetapi itupun belum berarti bahwa saudara Ilalang sudah mencapai Nibbana... itu hanya ibarat fondasi yang mulai kokoh... untuk mencapai Nibbana (magga-phala/Sotapanna) masih diperlukan perjuangan lebih jauh...
Rasa sakit adalah salah satu fenomena jasmani. Dalam meditasi yang diamati bukan hanya fenomena jasmani tetapi seluruh arus diri: jasmani dan batin, perasaan, persepsi, bentuk-bentuk batin. Kelima arus diri ini adalah dukkha (Dhammacakkappavattana-sutta). Jika fenomena-fenomena ini diamati terus menerus secara intens, maka semuanya akan terlihat timbul dan lenyap dengan cepat; begitu cepat hingga semua seperti langsung lenyap begitu diamati.

Quote
Tolong diperjelas... (1) kebenaran yang mana yang dimaksud... ? kata-kata milik sendiri sudah tidak tepat... kata-kata yang lebih tepat adalah: kebenaran ada... atau kebenaran tidak ada di kitab suci... terus terang pada bagian ini saya tidak mengerti maksud saudara Ilalang... tolong diperjelas...
Anda mengatakan: untuk mencicipi Nibbana, orang harus mengalami Empat Kebenaran Mulia dan Paticca Samuppada, dan bisa menjelaskan/menjawab dengan baik setiap pertanyaan, dst. Tentu maksud Anda pengalaman dan penjelasan seperti yang tencantum dalam sutta-sutta atau kitab suci bukan?

Saya katakan tidak perlu. Jika orang dapat mengamati dirinya beserta seluruh fenomena secara tuntas dalam meditasi, dia tidak perlu semua pengetahuan itu untuk "mencicipi Nibbana". Dia akan melihat kebenaran mulia dari sehelai daun yang gugur, melihat arus diri di dalam sungai yang mengalir, serta memahami seluruh gerak kehidupan... tanpa perlu mengetahui rumusan Empat Kebenaran Mulia dan Paticca Samuppada versi sutta-sutta atau kitab suci, yang malah sering menjadi penghalang untuk dapat melihat fakta dengan jelas seperti apa adanya.


Quote
(((Semoga kita semua terbebas dari pandangan salah...)))

Soal pandangan salah, saya jadi teringat cerita orang:

"Seorang murid Zen, sebelum berlatih, ia melihat sebuah gunung sebagai gunung,
setelah berlatih beberapa lama, ia melihat gunung bukan sebagai gunung,
setelah tercerahkan, ia melihat gunung sebagai gunung lagi"

Semoga kita semua terbebas dari pandangan salah, dan kembali melihat gunung sebagai gunung...
Title: Re: Seberapa jauh Nibbana?
Post by: fabian c on 16 October 2008, 11:57:12 PM
Saudara Ilalang yang baik,

Saya rasa saya sudah mengerti pandangan anda..

Quote
QuoteBolehkah saya tahu ini pendapat saudara atau pendapat kitab suci...? bila pendapat kitab suci tolong diberi rujukannya...
Itu pemahaman saya terkait topik "mencicipi Nibbana" dan kaitannya dengan "persepsi murni" seperti diuraikan dalam Mulapariyaya-Sutta.  Saya sudah katakan "mencicipi Nibbana" identik dengan "citarasa" PADA SAAT memasuki persepsi murni, dalam konteks ini saya tidak membedakan antara kesadaran makhluk hidup, sekha, arahat atau Buddha. Hanya jika kesadaran menurun hingga ke tahap "conceive things", maka mulai muncul dualitas aku dan bukan aku, subyek dan obyek, dan kesadaran akan kembali seperti puthujjana, yang terbiasa berpikir ini milikku, ini aku, ini diri-ku.

Saya kira saya mengerti darimana sumber pemikiran anda...

QuoteSekali lagi mohon disadari bahwa kata-kata bukanlah yang dikatakan. Orang harus harus luarbiasa sadar jika tidak mau tersesat dalam kata-kata ketika mendiskusikan pengalaman meditasi, sekalipun kata-kata itu dinyatakan dalam sutta-sutta atau kitab suci.

Apabila pengalaman meditasi yang saya lakukan sesuai dengan kitab suci, apakah saya harus mengungkapkan sesuatu yang berbeda dengan kitab suci..?

Quote
QuoteNibbana yang bagaimana...? Nibbana yang sebenarnya berkaitan dengan Paticca Samuppada... yaitu ia mengalami Paticcasamupada...
Apa itu "mengalami Paticcasamupada"?
Dapatkah Anda melihat arus diri dalam sungai yang mengalir dari saat ke saat?
Dapatkah Anda memahami kematian dan kelahiran pada sehelai daun yang gugur?

Dengan sangat menyesal harus saya katakan bahwa, mereka yang telah mengalami Nibbana akan mengalami proses tersebut (paticca samuppada), sedangkan yang tidak mengalami Nibbana maka ia tak akan melihat itu...

Tentu  Paticcca Samuppada dan empat kebenaran Ariya hanya merupakan teori bagi anda dan pembimbing anda, karena belum pernah mengalami. Tetapi bagi mereka yang pernah mengalami, itu bukan lagi teori ... tetapi itu adalah pembuktian yang sesungguhnya... dan itulah yang dimaksud dengan Ehipassiko....

Quote
QuoteBila saudara Ilalang mampu melihat demikian, berarti saudara Ilalang mulai dapat terlepas dari Dukkha...Tetapi itupun belum berarti bahwa saudara Ilalang sudah mencapai Nibbana... itu hanya ibarat fondasi yang mulai kokoh... untuk mencapai Nibbana (magga-phala/Sotapanna) masih diperlukan perjuangan lebih jauh...
Rasa sakit adalah salah satu fenomena jasmani. Dalam meditasi yang diamati bukan hanya fenomena jasmani tetapi seluruh arus diri: jasmani dan batin, perasaan, persepsi, bentuk-bentuk batin. Kelima arus diri ini adalah dukkha (Dhammacakkappavattana-sutta). Jika fenomena-fenomena ini diamati terus menerus secara intens, maka semuanya akan terlihat timbul dan lenyap dengan cepat; begitu cepat hingga semua seperti langsung lenyap begitu diamati.

Kelihatannya saudara Ilalang, menghindar dari apa yang saya ungkapkan... apakah saudara Ilalang atau pembimbing saudara Ilalang pernah melihat rasa sakit tanpa merasa sakit...?

Quote
Quote
Tolong diperjelas... (1) kebenaran yang mana yang dimaksud... ? kata-kata milik sendiri sudah tidak tepat... kata-kata yang lebih tepat adalah: kebenaran ada... atau kebenaran tidak ada di kitab suci... terus terang pada bagian ini saya tidak mengerti maksud saudara Ilalang... tolong diperjelas...
Anda mengatakan: untuk mencicipi Nibbana, orang harus mengalami Empat Kebenaran Mulia dan Paticca Samuppada, dan bisa menjelaskan/menjawab dengan baik setiap pertanyaan, dst. Tentu maksud Anda pengalaman dan penjelasan seperti yang tencantum dalam sutta-sutta atau kitab suci bukan?

kembali lagi pada jawaban saya diatas... bila pengalaman saya sesuai dengan kitab suci apakah saya harus mengatakan hal yang lain..?
Apakah menurut anda bila seseorang berlatih dari guru yang berpraktek sesuai dengan kitab suci Tipitaka, hasilnya berbeda dengan kitab suci Tipitaka..?

QuoteSaya katakan tidak perlu. Jika orang dapat mengamati dirinya beserta seluruh fenomena secara tuntas dalam meditasi, dia tidak perlu semua pengetahuan itu untuk "mencicipi Nibbana". Dia akan melihat kebenaran mulia dari sehelai daun yang gugur, melihat arus diri di dalam sungai yang mengalir, serta memahami seluruh gerak kehidupan...

Sayang sekali saudara Ilalang saya harus membuyarkan mimpi indah anda yang, menganggap bahwa Nibbana bisa dialami oleh setiap orang yang berlatih meditasi Vipassana dua tiga hari...entah siapa yang mengatakan kepada anda demikian. Percayalah siapapun yang mengatakan demikian kepada anda pasti ia hanya berteori... tidak lebih.

Quote
tanpa perlu mengetahui rumusan Empat Kebenaran Mulia dan Paticca Samuppada versi sutta-sutta atau kitab suci, yang malah sering menjadi penghalang untuk dapat melihat fakta dengan jelas seperti apa adanya.

bila anda ingin membuat roket.. mungkinkah dilakukan dengan benar tanpa belajar teori lebih dahulu...? apakah anda sebaiknya menganggap bahwa petunjuk membuat roket hanya menjadi penghalang dan langsung saja membuat roket...?

Saudara Ilalang perlu berapa kalikah saya katakan bahwa Empat Kebenaran Ariya dan Paticcasamuppada adalah pengalaman langsung yang dialami oleh seorang meditator Vipassana? bukan membaca buku...?

Inilah sebabnya saya berani mengatakan bahwa anda "definitely" belum pernah merasakan Nibbana... demikian juga dengan pembimbing anda...
Seorang yang pernah mengalami Nibbana, mengalami empat Kebenaran Ariya dan juga mengalami Paticcasamuppada, itu pasti....

QuoteSoal pandangan salah, saya jadi teringat cerita orang:

"Seorang murid Zen, sebelum berlatih, ia melihat sebuah gunung sebagai gunung,
setelah berlatih beberapa lama, ia melihat gunung bukan sebagai gunung,
setelah tercerahkan, ia melihat gunung sebagai gunung lagi"

Mungkin murid ini waktu melihat gunung bukan sebagai gunung dia sedang halusinasi?

QuoteSemoga kita semua terbebas dari pandangan salah, dan kembali melihat gunung sebagai gunung...

Mungkin lebih baik bila kita komentari demikian,

((("Semoga kita semua terbebas dari pandangan salah, dan tidak pernah melihat gunung sebagai bukan gunung...)))

Semoga anda berbahagia..

sukhi hotu

Title: Re: Seberapa jauh Nibbana?
Post by: ilalang on 17 October 2008, 12:55:50 PM
Quote from: fabian c on 16 October 2008, 11:57:12 PM
QuoteSekali lagi mohon disadari bahwa kata-kata bukanlah yang dikatakan. Orang harus harus luarbiasa sadar jika tidak mau tersesat dalam kata-kata ketika mendiskusikan pengalaman meditasi, sekalipun kata-kata itu dinyatakan dalam sutta-sutta atau kitab suci.

Apabila pengalaman meditasi yang saya lakukan sesuai dengan kitab suci, apakah saya harus mengungkapkan sesuatu yang berbeda dengan kitab suci..?
Tidak ada yang mengharuskan Anda begitu. Sebaliknya saya melihat Anda sulit untuk mengakui pengalaman meditasi yang Anda rasa tidak sesuai dengan sutta-sutta atau kitab suci. CMIIW.


Quote
Dengan sangat menyesal harus saya katakan bahwa, mereka yang telah mengalami Nibbana akan mengalami proses tersebut (paticca samuppada), sedangkan yang tidak mengalami Nibbana maka ia tak akan melihat itu...
Tidak ada yang mengatakan bahwa orang yang mengalami Nibbana tidak mengalami/melihat Paticcasamupada.
Dan Anda belum menjawab pertanyaan saya:
Apa itu "mengalami Paticcasamupada"?

Quote
Tentu  Paticcca Samuppada dan empat kebenaran Ariya hanya merupakan teori bagi anda dan pembimbing anda, karena belum pernah mengalami. Tetapi bagi mereka yang pernah mengalami, itu bukan lagi teori ... tetapi itu adalah pembuktian yang sesungguhnya... dan itulah yang dimaksud dengan Ehipassiko....
Apa itu "mengalami Paticcasamupada"?
Silahkan Anda jelaskan berdasarkan pengalaman Anda.

Quote
Kelihatannya saudara Ilalang, menghindar dari apa yang saya ungkapkan... apakah saudara Ilalang atau pembimbing saudara Ilalang pernah melihat rasa sakit tanpa merasa sakit...?

Anda tidak melihat jawaban saya, tidak mengerti, atau jawaban saya tidak sesuai dengan yang Anda harapkan?
Saya katakan jika fenomena-fenomena [salah satunya rasa sakit] diamati terus menerus secara intens, maka semuanya akan terlihat timbul dan lenyap dengan cepat; begitu cepat hingga semua seperti langsung lenyap begitu diamati. Ini saya alami dalam meditasi, dan tidak perlu dibesar-besarkan.

Saya katakan juga dalam meditasi vipassana saya tidak memusatkan perhatiannya pada satu obyek saja[/b], melainkan mengamati semua fenomena dari kelima arus diri. Dengan meningkatnya kesadaran, semua fenomena [termasuk rasa sakit] seolah-olah langsung lenyap begitu diamati. Dalam hal ini batin tidak terserap dalam fenomena rasa sakit, melainkan terus awas mengamati kelima fenomena arus yang muncul. Hal ini bisa dipahami  karena tidak ada pengamat sebagai subyek yang terpisah dari obyek pengamatannya.

Saya tidak mengerti pertanyaan Anda soal "pembimbing" saya, dan apa kaitannya dalam diskusi ini? Tapi OK-lah saya jawab: "pembimbing-pembimbing" saya tidak pernah merasakan sakit apapun!  Anda tahu siapa "pembimbing-pembimbing" saya?
[Clue: saya sudah ungkapkan siapa itu "pembimbing-pembimbing" saya dalam posting sebelumnya]  :-?

Quote
Sayang sekali saudara Ilalang saya harus membuyarkan mimpi indah anda yang, menganggap bahwa Nibbana bisa dialami oleh setiap orang yang berlatih meditasi Vipassana dua tiga hari...entah siapa yang mengatakan kepada anda demikian. Percayalah siapapun yang mengatakan demikian kepada anda pasti ia hanya berteori... tidak lebih.
Tidak ada yang mengatakan hal-hal di atas dalam diskusi ini. Saya rasa itu cuma asumsi pribadi yang Anda kenakan kepada saya. Jika tidak ingin diskusi kehilangan arah atau berubah menjadi debat kusir, saran saya lepaskan asumsi-asumsi Anda, atau Anda klarifikasikan kepada saya secara terbuka, dengan demikian kita bisa berdiskusi dengan lebih sehat.

Quote
Saudara Ilalang perlu berapa kalikah saya katakan bahwa Empat Kebenaran Ariya dan Paticcasamuppada adalah pengalaman langsung yang dialami oleh seorang meditator Vipassana? bukan membaca buku...?
Kita sedang mendiskusikan soal Meditasi Vipassana, bukan soal membuat roket.
Let's put it this way:
Bisakah Anda menerima kenyataan bahwa seorang meditator Vipassana bisa mengalami Empat Kebenaran Ariya dan Paticcasamuppada tanpa mengetahui teorinya lebih dahulu?

Quote
Inilah sebabnya saya berani mengatakan bahwa anda "definitely" belum pernah merasakan Nibbana... demikian juga dengan pembimbing anda...
Seorang yang pernah mengalami Nibbana, mengalami empat Kebenaran Ariya dan juga mengalami Paticcasamuppada, itu pasti....
Saya tidak pernah mengatakan orang yg pernah mengalami Nibbana, tidak mengalami empat Kebenaran Ariya dan juga mengalami Paticcasamuppada.
Silahkan jawab pertanyaan saya:
Apa itu "mengalami Paticcasamupada"?
Dapatkah Anda melihat arus diri dalam sungai yang mengalir dari saat ke saat?
Dapatkah Anda memahami kematian dan kelahiran pada sehelai daun yang gugur?

Quote
((("Semoga kita semua terbebas dari pandangan salah, dan tidak pernah melihat gunung sebagai bukan gunung...)))
Apakah kita sudah melihat gunung sebagai gunung?
Bukan gunung sebagai teori?

gunung=Paticcasamupada
Title: Re: Seberapa jauh Nibbana?
Post by: anak naga on 17 October 2008, 01:11:58 PM
Quote from: fabian c on 16 October 2008, 11:57:12 PM



QuoteSoal pandangan salah, saya jadi teringat cerita orang:

"Seorang murid Zen, sebelum berlatih, ia melihat sebuah gunung sebagai gunung,
setelah berlatih beberapa lama, ia melihat gunung bukan sebagai gunung,
setelah tercerahkan, ia melihat gunung sebagai gunung lagi"

Mungkin murid ini waktu melihat gunung bukan sebagai gunung dia sedang halusinasi?

QuoteSemoga kita semua terbebas dari pandangan salah, dan kembali melihat gunung sebagai gunung...

Mungkin lebih baik bila kita komentari demikian,

((("Semoga kita semua terbebas dari pandangan salah, dan tidak pernah melihat gunung sebagai bukan gunung...)))

Semoga anda berbahagia..

sukhi hotu




Umat Awam melihat gunung sebagai gunung = yang dia lihat adalah tampak luar dari sebuah gunung.

Setelah berlatih (tercerahkan) dia melihat gunung bukan sebagai gunung = biasanya orang yang dari awam (gelap) kemudian tercerahkan  (disinari lampu yang terang benderang) = dia "silau" jadi gunung yang dia lihat itu bukan sebagai gunung .

Setelah Cerah "Matang" = dia melihat gunung sebagai gunung lagi.

Yang membedakan dari awam = melihat gunung sebagai gunung,  Dengan yang Cerah Matang melihat gunung sebagai gunung adalah dalam hal "Kebijaksanaannya"

_/\_ mohon koreksi ...
Title: Re: Seberapa jauh Nibbana?
Post by: markosprawira on 17 October 2008, 03:06:01 PM
Sedikit menambahkan mengenai Mulapariyaya Sutta :



Mulapariyaya Sutta berasal dari Majjhima Nikaya, yang artinya Asal Semua Akar. 

Dikatakan dalam sutta tersebut bahwa ada 5 bikkhu yg berpandangan salah karena mereka memegang kuat pada ajaran aliran lain sewaktu mereka belum menjadi pengikut Sang Buddha. 

Sang Buddha lalu berusaha untuk meluruskan pandangan mereka ini dan berkata, "Para bikkhu, akan kuajarkan pada kalian khotbah mengenai akar semua hal.  Dengarkan dan perhatikan dgn cermat apa yg akan kukatakan."

Dalam khotbah ini Sang Buddha mengajarkan bahwa di dalam alam semesta ini terdapat tiga golongan makhluk yaitu Assutava Putujjana, yang artinya manusia biasa yg tidak belajar; Sekha, yg artinya siswa dlm pelatihan lebih tinggi; dan Arahat.

Assutava Putujjana (1)
Orang-orang yg tergolong dalam kategori ini dapat dikatakan sebagai berikut:
    1. Ariyanam Adassari
    Mereka tidak memiliki rasa hormat kepada manusia-manusia agung
    2. Ariyadhamnussa Akovido
    Mereka yang tidak terampil
    3. Ariyadhamme Avinita
    Mereka yang tidak disiplin di dalam dhamma
    4. Pathavim Pathavito Sanjanati
    Mereka mempersepsikan tanah (Pathavi) sebagai tanah (2)
    5. Pathavim Pathavito Sanjitva
    Mereka lalu mengkonsepsikan (3) [dirinya sebagai] tanah
    6. Pathavim Mannati
    Mereka lalu mengkognisasikan [dirinya terpisah dari] tanah
    7. Pathavim Meti Mannati
    Mereka mengkonsepsikan tanah sebagai "milikku"
    8. Pathavim Abhinandati
    Mereka bersuka cita di dalam konsepsi tanah

Lalu Sang Buddha bertanya, "Tam kissa hetu?" (Mengapa demikian?) "Aparinnatam tasmim vadam" (Karena mereka belum sepenuhnya memahami hal itu).  Mereka berpegang pada konsep:
    1. Nicca - kekekalan
    2. Natta - ke"aku"an
    3. Sukha - kepuasan2

Sekha
Orang2 ini dapat dikatakan telah mencapai tingkat kesucian, (ariya puggala).
Orang yg tergolong dalam kategori ini adalah:
    1. Sappurisanam Adassari
    Para bikkhu yg berada pd pelatihan yg lebih tinggi
    2. Sappurisadhamnussa Akovido
    Para bikkhu yg belum mencapai tujuan
    3. Sappurisadhamme Avinita
    Para bikkhu yg masih berjuang untuk terbebas dari belenggu
    4. Pathavim Pathavito Abhijanati
    secara langsung mengetahui tanah sebagai tanah
    5. Pathavim Abhinnaya
    berusaha untuk tidak mengkonsepsikan [dirinya sebagai] tanah
    6. Pathavim Ma Mannati
    berusaha untuk tidak mengkognisasikan [dirinya terpisah dari] tanah
    7. Pathavim Ma Meti Mannati
    berusaha untuk tidak menganggap tanah sebagai "milikku"
    8. Pathavim Ma Abhinandati
    berusaha untuk tidak bersukacita di dalam konsepsi tanah

Lalu Sang Buddha bertanya, "Tam kissa hetu?" (Mengapa demikian?) "Parinneyyam tasmim vadami " (Karena mereka telah memahami segala yg harus dipahami).

Arahat

Orang yg tergolong dalam kategori ini adalah:
    1. Para bikkhu yg telah menghancurkan segala noda
    2. Para bikkhu yg telah mencapai tujuan
    3. Para bikkhu yg telah menghacurkan belenggu-belenggu dan sepenuhnya terbebaskan
    4. Pathavim Pathavito Abhijanati
    secara langsung mengetahui tanah sebagai tanah
    5. Pathavim Abhinnaya
    berhenti mengkonsepsikan [dirinya sebagai] tanah
    6. Pathavim Na Mannati
    berhenti mengkognisasikan [dirinya terpisah dari] tanah
    7. Pathavim Na Meti Mannati
    berhenti menganggap tanah sebagai "milikku"
    8. Pathavim Na Abhinandati
    tidak bersukacita di dalam konsepsi tanah

Lalu Sang Buddha bertanya, "Tam kissa hetu?" (Mengapa demikian?) "Parinneyyam tasmim vadami " (Karena mereka telah sepenuhnya memahami segala yg harus dipahami).


(1) Kita juga sebenarnya tergolong dlm kategori Putujjana tapi bukan Assutava karena kita (belajar) mengenal dhamma, Assutava adalah untuk orang2 yg tidak tahu dhamma sama sekali.

(2) Tanah adalah sebagai contoh dan dapat digantikan dengan ke-24 obyek dibawah ini. 

Kelima bikkhu yg saya sebut diatas berpegang pada 24 obyek kepercayaan yg salah sebagai berikut:
EMPAT ELEMEN
    1. Pathavi - tanah
    2. Apo - air
    3. Tejo - api
    4. Vayo - udara
MAKHLUK-MAKHLUK
    5. makhluk-makhluk biasa
    6. dewa-dewa
    7. Pajapati (makhluk yg berdiam di alam kehidupan "halus", dalam bahasa inggris "Fine-Material realms")
    8. Brahma ("Fine-Material")
    makhluk2 yg tidak mempunyai rupa:
        9. Subhakianaka - Para dewa dengan cahaya yg gemerlap
        10. Abhassara - Para dewa dengan keagungan yg memancar
        11. Vehappala - Para dewa dengan buah yg besar
        12. Abhibhu - Sang Penguasa
JHANA-JHANA
    13. landasan ruang tanpa batas
    14. landasan kesadaran yg tanpa batas
    15. landasan ketiadaan
    16. landasan "persepsi" dan "tanpa persepsi"
KHANDA
    17. dittham - dilihat
    18. sutam - didengar
    19. mutam - dirasakan
    20. vinnana - terkognisi
TAHAPAN
    21. ekatham - kesatuan
    22. nanattam - keragamana
    23. sabba - semuanya
            a. mata yg melihat bentuk
            b. telinga yg mendengar suara
            c. hidung yg mencium bau
            d. lidah yg mencicipi rasa
            e. tubuh yg merasakan sentuhan
            f. pikiran yg mengerti dhamma
    24. Nibbana
Ingat bahwa ke 24 obyek ini adalah pandangan yg SALAH.  Kelima bikkhu itu mengkonsepsikan ke 24 obyek diatas dengan cara yg sama.

(3) Note: Pikiran kita ini dibagi menjadi tiga tingkat. 
    1. Sanna - persepsi
    2. Vinnana - konsepsi atau bentuk2 pikiran
    3. Panna - Kebijaksanaan yg diperoleh dari konsepsi2, jd mungkin seperti semacam konklusi.

Jadi pertama2 kita ada object, misalnya tanah, lalu kita berpersepsi tentang tanah itu, lalu pikiran itu terus berbuah menimbulkan konsepsi ini itu yg akhirnya menjadi suatu konklusi.

Pada akhir khotbah Beliau, kelima bikkhu tsb. tidak puas dengan ajarannya karena mereka masih berpegangan kuat dgn kepercayaan mereka.  Ini adalah khotbah yg pertama, Sang Buddha memberikan khotbah (Dhammacakka Pavathana Sutta) lima kali lagi dan Khotbah Anattalakkhana Sutta dan pada akhirnya mereka mencapai kesempurnaan.

Disini dapat dilihat bahwa Buddha memberikan kotbah yang disesuaikan dengan pendengarnya, jadi tidak hanya 1 sutta saja, lalu semua orang bisa tercerahkan

semoga bisa bermanfaat dan mohon koreksi jika ada kesalahan  _/\_
Title: Re: Seberapa jauh Nibbana?
Post by: fabian c on 17 October 2008, 06:58:56 PM
Saudara Ilalang yang baik,

anda mengatakan,

Quote
Quote
Quote
Quotefrom: fabian c on Yesterday at 11:57:12 PM
Sekali lagi mohon disadari bahwa kata-kata bukanlah yang dikatakan. Orang harus harus luarbiasa sadar jika tidak mau tersesat dalam kata-kata ketika mendiskusikan pengalaman meditasi, sekalipun kata-kata itu dinyatakan dalam sutta-sutta atau kitab suci.
Apabila pengalaman meditasi yang saya lakukan sesuai dengan kitab suci, apakah saya harus mengungkapkan sesuatu yang berbeda dengan kitab suci..?

Tidak ada yang mengharuskan Anda begitu. Sebaliknya saya melihat Anda sulit untuk mengakui pengalaman meditasi yang Anda rasa tidak sesuai dengan sutta-sutta atau kitab suci. CMIIW.

Saudara Ilalang nampaknya anda hanya dipenuhi oleh asumsi negatif terhadap Tipitaka, yang anda ukur berdasarkan pengalaman anda sendiri... sangat disayangkan anda mengharapkan orang sependapat dengan anda...

Bahkan berasumsi pengalaman saya berbeda dengan Tipitaka...? bila belajar sesuai dengan Tipitaka apa yang anda harapkan...? berbeda dengan Tipitaka? Please....

Coba perhatikan dari awal saya bergabung dengan forum ini, amati semua tulisan saya, adakah saya pernah mengatakan pengalaman saya berbeda dengan tipitaka...? atau mengisyaratkan hal itu...?

Quote
QuoteDengan sangat menyesal harus saya katakan bahwa, mereka yang telah mengalami Nibbana akan mengalami proses tersebut (paticca samuppada), sedangkan yang tidak mengalami Nibbana maka ia tak akan melihat itu...
Tidak ada yang mengatakan bahwa orang yang mengalami Nibbana tidak mengalami/melihat Paticcasamupada.
Dan Anda belum menjawab pertanyaan saya:
Apa itu "mengalami Paticcasamupada"?

Sudah jelas anda belum pernah mengalami Paticcasamuppada ini saya quote kembali tulisan anda...

QuoteApa itu "mengalami Paticcasamupada"?
Dapatkah Anda melihat arus diri dalam sungai yang mengalir dari saat ke saat?
Dapatkah Anda memahami kematian dan kelahiran pada sehelai daun yang gugur?

Sekarang anda bertanya.. kelihatannya hanya ingin mencocok-cocokkan, jelas karena anda belum pernah mengalami kan...?

sekali lagi maaf, dengan jelas saya harus katakan bahwa Nibbana hanya dialami oleh seorang Ariya (he directly knows...) maaf kalau saya merusak mimpi indah anda...

Quote
QuoteTentu  Paticcca Samuppada dan empat kebenaran Ariya hanya merupakan teori bagi anda dan pembimbing anda, karena belum pernah mengalami. Tetapi bagi mereka yang pernah mengalami, itu bukan lagi teori ... tetapi itu adalah pembuktian yang sesungguhnya... dan itulah yang dimaksud dengan Ehipassiko....
Apa itu "mengalami Paticcasamupada"?
Silahkan Anda jelaskan berdasarkan pengalaman Anda.

Hal ini memang tak pernah saya singgung dalam tulisan-tulisan saya sebelumnya... (karena saya tidak mau nanti ditiru-tiru seperti tulisan saya mengenai khanika samadhi), coba tanyakan kepada pembimbing anda yang mengatakan bahwa pemeditator versi dia telah mengalami Nibbana... tanyakan pengalaman dia.... emas asli akan nampak jika di uji....

bahkan Empat Kebenaran Ariya saja belum pernah mengalami... malah mengatakan itu hanya sekedar teori.... Saudara Ilalang saya harus katakan seseorang yang pernah mencicipi Nibbana akan mengalami Empat Kebenaran Ariya juga...

Quote
QuoteKelihatannya saudara Ilalang, menghindar dari apa yang saya ungkapkan... apakah saudara Ilalang atau pembimbing saudara Ilalang pernah melihat rasa sakit tanpa merasa sakit...?
Anda tidak melihat jawaban saya, tidak mengerti, atau jawaban saya tidak sesuai dengan yang Anda harapkan?
Saya katakan jika fenomena-fenomena [salah satunya rasa sakit] diamati terus menerus secara intens, maka semuanya akan terlihat timbul dan lenyap dengan cepat; begitu cepat hingga semua seperti langsung lenyap begitu diamati. Ini saya alami dalam meditasi, dan tidak perlu dibesar-besarkan.

Inilah pengujian praktek yang sesungguhnya... bila seseorang pernah mengalami maka ia akan mengerti apa yang saya maksud... Saudara Ilalang, seseorang yang belum pernah mencicipi rasa mangga tak akan mengerti bila dikatakan mengenai mangga, walau ia berusaha mencari tahu mengenai rasa mangga dengan mengaduk-aduk perpustakaan maka ia tak akan mengerti rasa mangga, jawaban anda yang mengatakan rasa sakit timbul lenyap mencerminkan hal itu... anda belum pernah mengalami...

QuoteSaya katakan juga dalam meditasi vipassana saya tidak memusatkan perhatiannya pada satu obyek saja[/b], melainkan mengamati semua fenomena dari kelima arus diri. Dengan meningkatnya kesadaran, semua fenomena [termasuk rasa sakit] seolah-olah langsung lenyap begitu diamati. Dalam hal ini batin tidak terserap dalam fenomena rasa sakit, melainkan terus awas mengamati kelima fenomena arus yang muncul. Hal ini bisa dipahami  karena tidak ada pengamat sebagai subyek yang terpisah dari obyek pengamatannya.

Saudara Ilalang, anda hanya berteori, disini nampak anda tidak bisa melihat terpisahnya nama-rupa, sebenarnya disinilah kuncinya, oleh karena mengatakan bahwa subjek tidak terpisah dengan objek maka saya berani katakan terus terang dan terbuka di forum ini bahwa yang anda alami bukan Nibbana, anda tak pernah mengalami nibbana....

QuoteSaya tidak mengerti pertanyaan Anda soal "pembimbing" saya, dan apa kaitannya dalam diskusi ini? Tapi OK-lah saya jawab: "pembimbing-pembimbing" saya tidak pernah merasakan sakit apapun!  Anda tahu siapa "pembimbing-pembimbing" saya?
[Clue: saya sudah ungkapkan siapa itu "pembimbing-pembimbing" saya dalam posting sebelumnya] 

Ya maaf saya memang kurang tahu, mungkin Kho Ping Hoo ya...? sebab saya baca tulisan anda sebelumnya mengenai Kho Ping Hoo, saya juga pengagum kho Ping Hoo dengan semua dongengnya... bahkan sudah membaca semua semua bukunya beserta filosfi nya yang dijiplak dari filosofi orang lain, filosofi ditambahkan di belakang dengan tujuan menambah halaman.. belakangan sebelum meninggal ia masuk K*****n, maaf out of topic.

Quote
QuoteSayang sekali saudara Ilalang saya harus membuyarkan mimpi indah anda yang, menganggap bahwa Nibbana bisa dialami oleh setiap orang yang berlatih meditasi Vipassana dua tiga hari...entah siapa yang mengatakan kepada anda demikian. Percayalah siapapun yang mengatakan demikian kepada anda pasti ia hanya berteori... tidak lebih.
Tidak ada yang mengatakan hal-hal di atas dalam diskusi ini. Saya rasa itu cuma asumsi pribadi yang Anda kenakan kepada saya. Jika tidak ingin diskusi kehilangan arah atau berubah menjadi debat kusir, saran saya lepaskan asumsi-asumsi Anda, atau Anda klarifikasikan kepada saya secara terbuka, dengan demikian kita bisa berdiskusi dengan lebih sehat.

Maaf, mungkin dugaan saya salah.. bila demikian coba tolong di koreksi, berapa lama anda bermeditasi...?

Quote
Quote
Saudara Ilalang perlu berapa kalikah saya katakan bahwa Empat Kebenaran Ariya dan Paticcasamuppada adalah pengalaman langsung yang dialami oleh seorang meditator Vipassana? bukan membaca buku...?
Kita sedang mendiskusikan soal Meditasi Vipassana, bukan soal membuat roket.
Let's put it this way:
Bisakah Anda menerima kenyataan bahwa seorang meditator Vipassana bisa mengalami Empat Kebenaran Ariya dan Paticcasamuppada tanpa mengetahui teorinya lebih dahulu?

Pertanyaan anda menyimpang dari pernyataan saya, Seorang yang mengalami Nibbana juga akan mengalami Empat Kebenaran Ariya.. serta paticcasamuppada...Itu bukan hanya teori... Bila belum mengalami berarti belum pernah merasakan Nibbana... tak mungkin melihat/mengalami Paticcasamupada bila  belum pernah mengalami Nibbana. Saya bicara praktek bukan teori..

Anda mengklaim bahwa putthujana pernah mengalami Nibbana tentu anda bisa menerangkan pengalaman Nibbananya bagaimana...?

Quote
QuoteInilah sebabnya saya berani mengatakan bahwa anda "definitely" belum pernah merasakan Nibbana... demikian juga dengan pembimbing anda...
Seorang yang pernah mengalami Nibbana, mengalami empat Kebenaran Ariya dan juga mengalami Paticcasamuppada, itu pasti....
Saya tidak pernah mengatakan orang yg pernah mengalami Nibbana, tidak mengalami empat Kebenaran Ariya dan juga mengalami Paticcasamuppada.

Apakah anda maksudkan anda pernah mengalami Empat Kebenaran Ariya dan paticcasamuppada? tolong diperjelas....

QuoteSilahkan jawab pertanyaan saya:
Apa itu "mengalami Paticcasamupada"?

Anda punya pembimbing atau belajar sendiri..? bila anda punya pembimbing tanyakan kepada pembimbing anda. Hanya bila pembimbing anda menyatakan ia belum pernah mengalami baru bertanya kepada saya.

QuoteDapatkah Anda melihat arus diri dalam sungai yang mengalir dari saat ke saat?

Saya tidak melihat arus diri, yang saya lihat adalah kelima faktor batin yaitu:
jasmani, kesadaran, ingatan/persepsi, perasaan dan bentuk-bentuk pikiran terus berproses dan saling berinteraksi.

QuoteDapatkah Anda memahami kematian dan kelahiran pada sehelai daun yang gugur?

Maksud anda...? bila muncul dan layu, anak kecilpun bisa melihat itu...

Quote
Quote
((("Semoga kita semua terbebas dari pandangan salah, dan tidak pernah melihat gunung sebagai bukan gunung...)))
Apakah kita sudah melihat gunung sebagai gunung?

Saya selalu melihat gunung sebagai gunung, saya tak pernah melihat gunung sebagai mobil atau burung...

Quote
Bukan gunung sebagai teori?
saya melihat langsung gunung gede dan Pangrango, saya tidak berteori.

Quotegunung=Paticcasamupada

Aneh.. mendadak anda menyinggung Paticcasamuppada yang tak pernah anda alami..?

Besok-besok mungkin anda tulis anda pernah mengalami Paticcasamuppada?

Oh ya, terima kasih atas postingan saudara markos jadi bisa langsung di copy paste kan... _/\_

Assutava Putujjana (1)
Orang-orang yg tergolong dalam kategori ini dapat dikatakan sebagai berikut:

    1. Ariyanam Adassari
    Mereka tidak memiliki rasa hormat kepada manusia-manusia agung

menganggap para Arahat penghafal Tipitaka salah... bahkan menganggap para Arahat memanipulasi ajaran Sang Buddha...

    2. Ariyadhamnussa Akovido
    Mereka yang tidak terampil

mereka yang menganggap telah mengalami padahal belum mengalami.

    3. Ariyadhamme Avinita
    Mereka yang tidak disiplin di dalam dhamma

Mereka yang tidak mempraktikkan Dhamma dengan benar, tetapi beranggapan bahwa ia telah mengalami Dhamma.

    4. Pathavim Pathavito Sanjanati
    Mereka mempersepsikan tanah (Pathavi) sebagai tanah (2)

Mereka yang tenggelam dalam persepsi dan asumsi-asumsi yang tidak sejalan dengan Dhamma

    5. Pathavim Pathavito Sanjitva
    Mereka lalu mengkonsepsikan (3) [dirinya sebagai] tanah
    6. Pathavim Mannati
    Mereka lalu mengkognisikan [dirinya terpisah dari] tanah

Mereka juga menganggap telah mengalami dan menyelami Dhamma.

    7. Pathavim Meti Mannati
    Mereka mengkonsepsikan tanah sebagai "milikku"

Mereka (menganggap) Inilah Dhamma yang sesungguhnya dan melekat kepadanya, menganggap ini milikku....

    8. Pathavim Abhinandati
    Mereka bersuka cita di dalam konsepsi tanah

Mereka bersukacita dalam asumsi-asumsi tanpa mengetahui bahwa itu hanya asumsi...

(((semoga kita semua terbebas dari pandangan salah)))

Semoga saudara Ilalang berbahagia selalu..

Title: Re: Seberapa jauh Nibbana?
Post by: cham3leon on 18 October 2008, 12:27:49 AM
 _/\_
mohon penjelasan lebih lanjutt..mungkin dalam bentuk sharing pengalaman rekan ilalang..
atau mungkin pengertian nibbana rekan ilalang, berbeda dari rekan-rekan??

semoga saya bisa ikut tercerahkan... _/\_

Title: Re: Seberapa jauh Nibbana?
Post by: Adhitthana on 18 October 2008, 10:50:09 PM
Bukanlah pengertian Nibbana adalah tidak ada Dukkha dan tidak ada Sukha?

Mohon Pencerahan .... kalo salah  _/\_
Title: Re: Seberapa jauh Nibbana?
Post by: ilalang on 19 October 2008, 12:05:48 AM
Quote from: fabian c on 17 October 2008, 06:58:56 PM
Quote
Tidak ada yang mengharuskan Anda begitu. Sebaliknya saya melihat Anda sulit untuk mengakui pengalaman meditasi yang Anda rasa tidak sesuai dengan sutta-sutta atau kitab suci. CMIIW.

Saudara Ilalang nampaknya anda hanya dipenuhi oleh asumsi negatif terhadap Tipitaka, yang anda ukur berdasarkan pengalaman anda sendiri... sangat disayangkan anda mengharapkan orang sependapat dengan anda...

Bahkan berasumsi pengalaman saya berbeda dengan Tipitaka...? bila belajar sesuai dengan Tipitaka apa yang anda harapkan...? berbeda dengan Tipitaka? Please....

Coba perhatikan dari awal saya bergabung dengan forum ini, amati semua tulisan saya, adakah saya pernah mengatakan pengalaman saya berbeda dengan tipitaka...? atau mengisyaratkan hal itu...?

Maksud tulisan dalam huruf biru  diatas adalah:
"pengalaman meditasi  [orang lain]"; ...bukannya:
"pengalaman meditasi [Anda]"

Saya tidak pernah mempersoalkan pengalaman meditasi Anda, atau siapapun. Jadi harap jangan panik dulu. 
Kita sedang membahas meditasi orang lain, dalam hal ini meditasi saya bukan?  Anda yang menilai pengalaman meditasi saya, menilai tingkat-tingkat nyana, menguji dengan Paticcasamuppada, berapa lama saya meditasi, mengatakan saya bermimpi Nibbana, dst. Bahkan Mulapariyaya-Sutta digunakan untuk menghakimi orang lain. Untuk itukah Anda belajar Tipitaka? Maaf.

Saya sih tidak akan mengukur-ukur pengalaman meditasi orang seperti bayangan Anda. Sikap saya jelas. Tiap orang, Anda, rekan Markos, rekan Hendra, siapapun, akan memutuskan langkah dan jalannya masing-masing. Silahkan meneruskan sampai akhir. Jadi jangan khawatir saya akan men-judge macam pendeta keristen abad pertengahan di pengadilan inkuisisi.

Quote
Pertanyaan anda menyimpang dari pernyataan saya, Seorang yang mengalami Nibbana juga akan mengalami Empat Kebenaran Ariya.. serta paticcasamuppada... Itu bukan hanya teori... Bila belum mengalami berarti belum pernah merasakan Nibbana... tak mungkin melihat/mengalami Paticcasamupada bila  belum pernah mengalami Nibbana. Saya bicara praktek bukan teori..

Anda mengklaim bahwa putthujana pernah mengalami Nibbana tentu anda bisa menerangkan pengalaman Nibbananya bagaimana...?
Aneh, dimana saya bilang putthujana pernah mengalami Nibbana?
Yang didiskusikan adalah "mencicipi Nibbana", dan sudah saya jelaskan berkali-kali. Masalah Anda tidak bisa menerima istilah "mencicipi Nibbana", itu hak Anda. Bukan lantas memaksakan istilah "Nibbana" yang Anda anut kepada orang lain.

Quote
Apakah anda maksudkan anda pernah mengalami Empat Kebenaran Ariya dan paticcasamuppada? tolong diperjelas....
Kami belajar dari kearifan sungai dan hutan. Merekalah "pembimbing" kami. Di dalam belajar mengamati aliran sungai dan runtuhnya daun-daun, kami mungkin menemukan Kebenaran yang dirumuskan dalam kitab suci sebagai Empat Kebenaran Ariya dan Paticcasamuppada. 

Quote
Anda punya pembimbing atau belajar sendiri..? bila anda punya pembimbing tanyakan kepada pembimbing anda. Hanya bila pembimbing anda menyatakan ia belum pernah mengalami baru bertanya kepada saya.
Anda menggunakan parameter Anda sendiri untuk menilai orang lain, dan ketika diminta penjelasan mengenai parameter Anda, Anda menghindar dengan alasan takut ditiru-tiru, malah menanyakan soal pembimbing dsb. Terus terang saya kesulitan mengikuti arah diskusi Anda.


Quote
QuoteDapatkah Anda melihat arus diri dalam sungai yang mengalir dari saat ke saat?
Saya tidak melihat arus diri, yang saya lihat adalah kelima faktor batin yaitu:
jasmani, kesadaran, ingatan/persepsi, perasaan dan bentuk-bentuk pikiran terus berproses dan saling berinteraksi.
Anda menyebutnya proses, kami menyebutnya arus. Kami belajar dari arus sungai yang mengalir, berubah tanpa henti, tidak ada yang menetap. Kami memahami jika orang tidak ingin arus sungai mengalir seperti apa adanya, maka dia akan sangat menderita. Jika orang memahami dan menerima sifat sungai yang berubah terus menerus,  terlepas dari suka dan tidak suka, maka dia akan bebas. Mengetahui secara langsung keberadaan arus ini, kosong akan aku yang kekal, adalah menemukan kebebasan.

Quote
QuoteDapatkah Anda memahami kematian dan kelahiran pada sehelai daun yang gugur?
Maksud anda...? bila muncul dan layu, anak kecilpun bisa melihat itu...
Setiap saat hutan terus menerus memberikan ajarannya kepada kami. Daun berguguran dan kami menyapunya. Walaupun demikian, bahkan ketika sedang menyapu dan akhir dari jalan setapak telah dibersihkan, kami bisa melihat ke belakang, ke ujung jalan yang lain, dan menyaksikan daun-daun mulai berserakan menutupi jalan yang baru disapu tadi. Kehidupan kita bagaikan nafas, bagaikan daun yang tumbuh dan gugur. Jika orang bisa benar-benar memahami tentang daun yang berguguran, dia bisa menyapu jalan setiap hari dan menemukan kebebasan dalam dunia yang senantiasa berubah ini.

Bisakah kita memahami ini secara mendalam? Mengalami sendiri, melihat sendiri kebenaran yang begitu wajar dan sederhana. Dalam keheningan vipassana, selagi mengamati sungai yang mengalir dan helai daun yang berguguran...menyadari aku...yang adalah sungai itu dan daun itu...mengalir, lahir dan mati... menyadari bahwa akhir dari setiap hari adalah juga akhir dari diri kita setiap hari.

Quote
Oh ya, terima kasih atas postingan saudara markos jadi bisa langsung di copy paste kan... _/\_

Assutava Putujjana (1)
Orang-orang yg tergolong dalam kategori ini dapat dikatakan sebagai berikut:
1. Ariyanam Adassari

Dunia di dalam dan di sekeliling kita selalu berada dalam dualitas, tidak pernah satu sisi. Tidak pernah seorang itu sepenuhnya suci atau sesat. Saya adalah orang sesat dan Anda juga orang sesat.  Tetapi suatu hari orang sesat ini akan menjadi Brahma lagi, suatu hari akan mencapai 'nibbana', suatu hari akan menjadi seorang Buddha.

Kini "suatu hari" itu adalah khayalan; karena kita menderita khayalan bahwa waktu itu adalah sesuatu yang nyata. Dalam keheningan meditasi, sangat mungkin untuk menghalau waktu, untuk melihat dengan seketika, masa kini dan masa lalu.
Title: Re: Seberapa jauh Nibbana?
Post by: ilalang on 19 October 2008, 12:08:07 AM
Quote from: cham3leon on 18 October 2008, 12:27:49 AM
semoga saya bisa ikut tercerahkan... _/\_
Rekan cham3leon, adalah penting untuk sadar sepenuhnya agar jangan terpukau oleh kata-kata. Keterangan-keterangan bisa menyilaukan dan menghalangi kita melihat apa adanya. Dalam hal ini menyelidiki dan menemukan sendiri, mengamati kehidupan adalah hal yang sangat penting.
Title: EPILOGUE
Post by: ilalang on 19 October 2008, 12:18:36 AM
Kata-kata tidak dapat menyatakan ajaran dengan baik. Kata-kata mungkin indah atau buruk, pandai atau bodoh, tiap orang dapat menerima atau menolak kata-kata dari ajaran itu. Tapi tujuan ajaran bukanlah menjelaskan dunia kepada orang yang haus akan pengetahuan. Tujuannya sangat berbeda. Tujuannya adalah pembebasan dari penderitaan. Itulah yang Sang Buddha ajarkan. Bukan yang lain.

Dalam kata-kata, tiap kebenaran lawannya adalah kebenaran yang sama. Sesuatu yang direnungkan dan dinyatakan dalam kata-kata hanya satu sisi kebenaran saja. Ketika Buddha yang Mahasempurna mengajarkan tentang dunia, ia harus menyelam ke dalam lautan kata-kata, ke dalam "samsara" dan "nibbana", ke dalam khayalan dan kebenaran, ke dalam kebahagiaan dan penderitaan.

Satu hal yang sangat jelas, ajaran itu sendiri tidak berisi; petunjuk itu tidak berisi rahasia yang dialami Sang Buddha sendiri.  Kesatuan yang sempurna dari ajaran Sang Buddha mau tidak mau akan terpecah lagi ketika kata-kata menyentuh kebenaran terakhir, yang tidak pernah ada sebelumnya, tak dapat dipertunjukkan dan dibuktikan: Nibbana.


Hendaknya umat Buddha menggunakan ajaran Sang Guru sebagai petunjuk untuk berjuang dengan penuh kesungguhan mencapai Nibbana, bukan untuk berpuas diri dengan pengetahuan agama.
_/\_
Title: Re: Seberapa jauh Nibbana?
Post by: ryu on 19 October 2008, 04:36:07 PM
Quote from: ilalang on 19 October 2008, 12:18:36 AM
Kata-kata tidak dapat menyatakan ajaran dengan baik. Kata-kata mungkin indah atau buruk, pandai atau bodoh, tiap orang dapat menerima atau menolak kata-kata dari ajaran itu. Tapi tujuan ajaran bukanlah menjelaskan dunia kepada orang yang haus akan pengetahuan. Tujuannya sangat berbeda. Tujuannya adalah pembebasan dari penderitaan. Itulah yang Sang Buddha ajarkan. Bukan yang lain.

Dalam kata-kata, tiap kebenaran lawannya adalah kebenaran yang sama. Sesuatu yang direnungkan dan dinyatakan dalam kata-kata hanya satu sisi kebenaran saja. Ketika Buddha yang Mahasempurna mengajarkan tentang dunia, ia harus menyelam ke dalam lautan kata-kata, ke dalam "samsara" dan "nibbana", ke dalam khayalan dan kebenaran, ke dalam kebahagiaan dan penderitaan.

Satu hal yang sangat jelas, ajaran itu sendiri tidak berisi; petunjuk itu tidak berisi rahasia yang dialami Sang Buddha sendiri.  Kesatuan yang sempurna dari ajaran Sang Buddha mau tidak mau akan terpecah lagi ketika kata-kata menyentuh kebenaran terakhir, yang tidak pernah ada sebelumnya, tak dapat dipertunjukkan dan dibuktikan: Nibbana.


Hendaknya umat Buddha menggunakan ajaran Sang Guru sebagai petunjuk untuk berjuang dengan penuh kesungguhan mencapai Nibbana, bukan untuk berpuas diri dengan pengetahuan agama.
_/\_
Kalau boleh tahu ajaran sang guru sebagai petunjuk itu seperti apa yah yang bisa mencapai nibbana?
hmmm orang yang berpuas diri dengan pengetahuan agama contohnya seperti gimana yah?
Title: Re: Seberapa jauh Nibbana?
Post by: Hendra Susanto on 19 October 2008, 08:59:33 PM
wahh itu kata2 diatas comotan apa hasil pemikiran sendiri??? klo comotan tolong sumber, klo pemikiran sendiri... mao nanya klo engak melalui kata2, mesti pake teknik apa lagi untuk menyatakan ajaran itu baik???
Title: Re: Seberapa jauh Nibbana?
Post by: andry on 19 October 2008, 09:01:43 PM
semakin d cari
semakin jauhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhh (tuh liat brapa "h" nya... jauh banget kan.)
Title: Re: Seberapa jauh Nibbana?
Post by: markosprawira on 20 October 2008, 02:16:25 PM
Quote from: ilalang on 19 October 2008, 12:18:36 AM
Hendaknya umat Buddha menggunakan ajaran Sang Guru sebagai petunjuk untuk berjuang dengan penuh kesungguhan mencapai Nibbana, bukan untuk berpuas diri dengan pengetahuan agama. _/\_

Apakah boleh saya asumsikan bahwa hendaknya menggunakan ajaran Buddha secara keseluruhan, baik secara Sutta, Vinaya dan Abhidhamma, untuk mencapai Nibbana

jadi bukannya menggunakan sutta atau bagian tipitaka tertentu saja, yang sesuai dengan preferensi pribadi masing2....

cmiiw..........
_/\_
Title: Re: Seberapa jauh Nibbana?
Post by: fabian c on 20 October 2008, 11:51:00 PM

Saudara Ilalang yang baik,

terima kasih atas tangapan anda,

QuoteMaksud tulisan dalam huruf biru   diatas adalah:
"pengalaman meditasi [orang lain]"; ...bukannya:
"pengalaman meditasi [Anda]"

Oh begitu..., mungkin lain kali saudara sebaiknya memberi koma atau titik supaya orang mengerti maksud tulisan saudara.
Quote
Saya tidak pernah mempersoalkan pengalaman meditasi Anda, atau siapapun. Jadi harap jangan panik dulu.

Wah terus terang saudara ilalang, bila saudara mempersoalkan pengalaman meditasi sayapun saya tidak keberatan kok, karena anda berhak bertanya juga kan...?
Quote
Kita sedang membahas meditasi orang lain, dalam hal ini meditasi saya bukan?  Anda yang menilai pengalaman meditasi saya, menilai tingkat-tingkat nyana, menguji dengan Paticcasamuppada, berapa lama saya meditasi, mengatakan saya bermimpi Nibbana, dst. Bahkan Mulapariyaya-Sutta digunakan untuk menghakimi orang lain. Untuk itukah Anda belajar Tipitaka? Maaf.

Saya kira tidak demikian saudara Ilalang, sebaliknya saya rasa pernyataan anda yang memancing kontroversi, berikut saya quote kembali tulisan anda di thread ini reply #91 berikut,

QuoteMakhluk hidup dan para Buddha bukan hal berbeda. Bila kita selaras dengan kesadaran murni untuk sesaat, maka kita adalah Buddha untuk sesaat; dan bila kita selaras selaras dengan kesadaran murni dari saat ke saat, maka kita adalah Buddha-Buddha dari saat ke saat.

Bukankah saudara meng-klaim menjadi Buddha dari saat ke saat...? mahluk hidup mana yang anda maksud...?

Quote
Saya sih tidak akan mengukur-ukur pengalaman meditasi orang seperti bayangan Anda. Sikap saya jelas. Tiap orang, Anda, rekan Markos, rekan Hendra, siapapun, akan memutuskan langkah dan jalannya masing-masing. Silahkan meneruskan sampai akhir. Jadi jangan khawatir saya akan men-judge macam pendeta keristen abad pertengahan di pengadilan inkuisisi.

Sukurlah saudara Ilalang berpikir begitu, tetapi bila anda men-judge pun saya kira itu hak anda.

QuoteAneh, dimana saya bilang putthujana pernah mengalami Nibbana?
Yang didiskusikan adalah "mencicipi Nibbana", dan sudah saya jelaskan berkali-kali. Masalah Anda tidak bisa menerima istilah "mencicipi Nibbana", itu hak Anda. Bukan lantas memaksakan istilah "Nibbana" yang Anda anut kepada orang lain.

coba baca kembali tulisan saudara pada reply #91 karena Buddha = mengalami Nibbana, maka umat awam/mahluk hidup mengalami Nibbana.

tolong jelaskan apa maksud saudara mencicipi Nibbana, dan apa bedanya dengan mengalami Nibbana.
Quote
Kami belajar dari kearifan sungai dan hutan. Merekalah "pembimbing" kami. Di dalam
Quotebelajar mengamati aliran sungai dan runtuhnya daun-daun, kami mungkin menemukan Kebenaran yang dirumuskan dalam kitab suci sebagai Empat Kebenaran Ariya dan Paticcasamuppada.

Ooh... pembimbing saudara sungai dan hutan...?
Quote
Anda menggunakan parameter Anda sendiri untuk menilai orang lain, dan ketika diminta penjelasan mengenai parameter Anda, Anda menghindar dengan alasan takut ditiru-tiru, malah menanyakan soal pembimbing dsb. Terus terang saya kesulitan mengikuti arah diskusi Anda.

Ya memang saya keberatan untuk mengungkapkan versi saya karena saya tidak mau secara lancang melewati guru saudara, kecuali guru saudara menyatakan dia tidak tahu.... cukup jelaskah...?

QuoteAnda menyebutnya proses, kami menyebutnya arus. Kami belajar dari arus sungai yang mengalir, berubah tanpa henti, tidak ada yang menetap. Kami memahami jika orang tidak ingin arus sungai mengalir seperti apa adanya, maka dia akan sangat menderita. Jika orang memahami dan menerima sifat sungai yang berubah terus menerus,  terlepas dari suka dan tidak suka, maka dia akan bebas.

Ya saya telah mengerti perbedaannya, saya tidak belajar dari arus sungai yang mengalir, saya belajar dari Bhikkhu...

QuoteMengetahui secara langsung keberadaan arus ini, kosong akan aku yang kekal, adalah menemukan kebebasan.

maaf saya bingung mana yang benar jika dibandingkan dengan quote dari tulisan saudara sebelumnya

QuoteDapatkah Anda melihat arus diri dalam sungai yang mengalir dari saat ke saat?

QuoteSetiap saat hutan terus menerus memberikan ajarannya kepada kami. Daun berguguran dan kami menyapunya. Walaupun demikian, bahkan ketika sedang menyapu dan akhir dari jalan setapak telah dibersihkan, kami bisa melihat ke belakang, ke ujung jalan yang lain, dan menyaksikan daun-daun mulai berserakan menutupi jalan yang baru disapu tadi. Kehidupan kita bagaikan nafas, bagaikan daun yang tumbuh dan gugur. Jika orang bisa benar-benar memahami tentang daun yang berguguran, dia bisa menyapu jalan setiap hari dan menemukan kebebasan dalam dunia yang senantiasa berubah ini.

Saya harap saudara memaklumi jika saya menjadi bingung bila begini cara anda menemukan kebebasan... kalau boleh tahu kebebasan terhadap apa ya...?

QuoteBisakah kita memahami ini secara mendalam? Mengalami sendiri, melihat sendiri kebenaran yang begitu wajar dan sederhana. Dalam keheningan vipassana, selagi mengamati sungai yang mengalir dan helai daun yang berguguran...menyadari aku...yang adalah sungai itu dan daun itu...mengalir, lahir dan mati... menyadari bahwa akhir dari setiap hari adalah juga akhir dari diri kita setiap hari.

Maaf jika saya lebih bingung lagi melihat cara saudara ber-Vipassana... beginikah metode anda bermeditasi...?

QuoteDunia di dalam dan di sekeliling kita selalu berada dalam dualitas, tidak pernah satu sisi. Tidak pernah seorang itu sepenuhnya suci atau sesat. Saya adalah orang sesat dan Anda juga orang sesat.  Tetapi suatu hari orang sesat ini akan menjadi Brahma lagi, suatu hari akan mencapai 'nibbana', suatu hari akan menjadi seorang Buddha.

Menurut pernyataan saudara yang saya bold biru berarti para Arahat maupun Sang Buddha tidak pernah sepenuhnya suci...? benarkah begitu pendapat anda...?

Oh ya mengenai kesesatan, silahkan saudara ilalang ambil kembali tuduhan anda karena saya tidak merasa sesat...

QuoteKini "suatu hari" itu adalah khayalan; karena kita menderita khayalan bahwa waktu itu adalah sesuatu yang nyata. Dalam keheningan meditasi, sangat mungkin untuk menghalau waktu, untuk melihat dengan seketika, masa kini dan masa lalu.

Saya sih tak perlu menghalau waktu, kalau sedang fokus,  kita sendiri lupa waktu, tak perlu dihalau...

(((semoga kita semua berbahagia dan bebas penderitaan)))

sukhi hotu
Title: Re: Seberapa jauh Nibbana?
Post by: cham3leon on 22 October 2008, 04:12:32 PM
Dalam kata-kata, tiap kebenaran lawannya adalah kebenaran yang sama. Sesuatu yang direnungkan dan dinyatakan dalam kata-kata hanya satu sisi kebenaran saja. Ketika Buddha yang Mahasempurna mengajarkan tentang dunia, ia harus menyelam ke dalam lautan kata-kata, ke dalam "samsara" dan "nibbana", ke dalam khayalan dan kebenaran, ke dalam kebahagiaan dan penderitaan.

Saya berusaha menyelami kedalamnya....dengan pertanyaan ini semoga bisa terlihat sisi yang lainnya.

Sejauh ini dari yang saya baca (Abhidhamma), bahwa seseorang yang telah merealisaikan nibbana, ialah para arahat, yang telah terbebas dari kemelekatan akan wujud, kemelekatan akan bukan wujud, mementingkan diri sendiri, keresahan, dan kebodohan. (harap dikoreksi kalau ingatan saya salah...)

apakah pandangan mengenai nibbana yang rekan ilalang maksudkan sama dengan kondisi ini?

ataukah nibbana, yang rekan ilalang maksud ialah kondisi pencerahan yang dialami ketika seseorang merasa nyaman, dan merasa sejajar dengan alam, selaras dengan kesadaran murni? seperti inikah yang rekan ilalang maksud? bila iya, dapatkah kondisi ini dikatakan nibbana?

Terima kasih, saya hanya ingin mengetahui kebenaran lebih jauh.

_/\_
Title: Re: Seberapa jauh Nibbana?
Post by: kullatiro on 22 October 2008, 08:25:24 PM
seperti mutiara yang di buat kerang mutiara karena gangguan atau rasa sakit yang menyelubungi nya.

Mutiara mempunyai banyak lapisan lapisan sampai lapisan bagian akhir intinya, kita ini masih sangat sangat jauh sekali, apa yang kita rasakan dan ketahui saat ini mungkin adalah bagian lapisan terluar dari mutiara ini penuh kilau dan sangat indah sekali.