Kainyn_Kutho wrote:
vincentliong,
Quote from Vincent Liong:
Seperti misalnya kalau kita berkali-kali meminum segelas minuman yang 100% sama maka kita bisa memberikan 'pendapat'(judgement) yang berbeda setiap kali kita meminumnya tergantung situasi dan kondisi saat meminumnya. Sebuah Feel(data mentah) yang sama bisa memiliki bermacam-macam Judgement.
Quote from Vincent Liong:
Saya jadi bertanya; Apakah memang Pencipta sudah membuat 'blue print' yang standard dalam setiap manusia tentang ilmupengetahuan seperti misalnya psikologi dan filsafat.
Kainyn_Kutho wrote:
Jika "ya", maka 'blue print' itu jelas korup, karena kemampuan orang masing2 adalah berbeda, bahkan sejak lahir.
Jika "tidak", berarti memang semua "diciptakan" secara random (acak), bahkan sebuah proses pengolahan feel sendiri selalu berubah-rubah. Tidak perlu dipermasalahkan, kalau mau dipaksa menemukan 'blue print' dan 'proses feel yang bisa berubah', maka lebih mengacu pada sindrom kepribadian ganda (Multiple Personality Disorder) atau disonansi kognitif. (FYI, keduanya karena memang menekankan bahwa "ego/diri" itu ada)
Setau saya, status 'indigo' ini juga bisa berubah. Banyak anak2 'indigo' yang ketika beranjak dewasa, berubah menjadi 'tidak indigo'.
Menurut saya juga para 'indigo' ini bisa 'memalsukan' auranya sehingga tidak 'indigo' untuk menghindari pelabelan indigo itu. Jadi seharusnya tidak sebegitu hebohnya.
Vincent Liong wrote:
Saya tidak membahas hal di atas terbatas dalam konteks indigo tetapi dapat berlaku ke masyarakat awam juga. Blue print tidak bersifat kata-kata verbal, tetapi seperti alat ukur dengan posisi pada skala dan ada range tertentu. Seperti alat sampler tidak berisi kata-kata tetapi berisi perubahan-perubahan tiap satuan perjalanan waktu yang tidak dalam bentuk kata-kata.
Quote from Vincent Liong:
Jadi kalau manusia itu bisa mendapat kesempatan yang sama untuk memulai pemerosesan informasi/data-nya; ... Tentunya manusia itu akan mampu menceritakan perjalananan belajarnya yang seumur hidup dari awal hingga akhir yang hanya berbeda bahasa penceritaannya, contoh pengalaman dan sampai dimana dia seorang pencerita yang baik, isinya sama saja.
Kainyn_Kutho wrote:
Kesempatan bertemu dengan feel tidaklah pernah sama, misalnya seorang lahir di negara berperang, dan yang lahir di negara makmur.
Kesempatan memdapat feel tidaklah pernah sama, misalnya seorang buta tidak akan memperoleh feel visual.
Kesempatan memproses feel tidaklah pernah sama, misalnya seorang yang 'fals' dan seorang yang peka nada.
Setelah mendapat feel, reaksi setiap orang berbeda (seperti sudah anda tulis), terlebih lagi feel itu berubah dari waktu ke waktu. Contohnya, masih kecil melihat mainan dengan feel tertentu, ketika dewasa, feel itu berbeda. Jadi kalo mo dibilang ada 'blue print', maka 'blue print' ini untuk 'skema' apa?
Lalu, apakah jadinya kita hidup hanya untuk mengumpulkan dan memproses feel sebanyak2-nya untuk kemudian diceritakan?
Vincent Liong wrote:
Yang sama adalah: alat ukur dengan posisi pada skala dan ada range tertentu. Seperti alat sampler tidak berisi kata-kata tetapi berisi perubahan-perubahan tiap satuan perjalanan waktu yang tidak dalam bentuk kata-kata.
Yang berbeda adalah: bahasa, konteks, jenis, variasi, kasus, dlsb.
Mengumpulkan dan memproses feel, dlsb itu dalam perjalanan kehidupan sehari-hari entah untuk sekedar iseng, dipakai saat kerja cari nafkah, dlsb. Cerita untuk diceritakan adalah bentuk laporan tentang praktikum di dunia nyata kepada pembimbing/guru.
Dalam proses pengajaran kompatiologi ada pantangan utama yaitu: tidak mengajarkan kebenaran/ketidakbenaran versi si guru. Fungsi guru hanya sampai pada mengawasi, kalau orangnya sampai ke jalan yg salah tetapi masih mampu menolong dirinya sendiri maka tidak boleh ditolong, kalau terlalu berbahaya baru boleh ditolong. dalam kebanyakan aliran fungsi guru memberikan ajaran yang dianggap benar, di kompatiologi kalau muridnya punya ketergantungan terhadap ajaran guru maka gurunya akan bersikap jadi orang sangat bodoh karena tujuan utama mengajarkan independensi. Dalam kompatiologi guru samasekali tidak memberikan ajaran kecuali menyiapkan track melalui dekon-kompatiologi (makan dan minum) bukan ceramah.
Seperti sudah saya katakan:
"Di masa kini Ia yang Mengaku Nabi Asli itu telah merampas Hak manusia-manusia yang dijadikan pengikutnya, untuk bernubuat bagi diri sendiri; Setiap manusia berhak menjadi Nabi Palsu bagi Dirinya Sendiri, tidak untuk meninggikan diri dengan bernubuat bagi orang lain."
Kepada Yth: sdr Kainyn_Kutho dan teman-teman di Forum DhammaCitta.
Dari tanya jawab dengan sdr Kainyn_Kutho tsb di atas dan beberapa hari mengikuti Forum DhammaCitta ada beberapa hal yang saya kira perlu saya sampaikan. Pertama-tama mohon maaf kalau saya sebagai non-Budhist mencoba berbicara mengenai hal ini karena ada kemungkinan ada yang akan tersinggung, saya coba menjelaskan sebisa saya...
Saya meyakini (tidak tahu benar atau salah) bahwa dalam tiap kedatangan Nabi, Orang Suci, Titisan Dewa, atau mungkin juga Budha (mohon maaf saya menyebut Budha) adalah bagaimana menjadikan pengalaman yang sifatnya pengalaman orang pertama menjadi pengalaman warisan (orang ke- 2, 3, 4, dlsb...).
Keterbatasan karena menggunakan bahasa verbal dan keterbatasan kemampuan untuki membuat orang mengalami sendiri sebagai pengalaman orang pertama dari apa yang dialami oleh para Nabi, Orang Suci, Titisan Dewa, atau mungkin juga Budha (mohon maaf saya menyebut Budha) membuat ini menjadi kesulitan paling utama.
Metode mungkin bisa satu-satunya jalan yang mendekati, tetapi penggunaan kata-kata pada akhirnya juga menjadi batasan yang sekali lagi membuat metode gagal karena adanya asumsi. Pada pengembangan kompatiologi saya akhirnya setelah berpusing-pusing mencoba segala macam cara akhirnya menggunakan minuman, sebab pengalaman input indrawi lebih sulit dimanipulasi oleh sugesti dari pikiran dibanding pengalaman yang sifatnya sudah pikiran. Ada metode yang lain juga seperti misalnya meditasi, dlsb yang juga digunakan di orang Budhist dan aliran-aliran lainnya.
Semoga saudara-saudara dapat paham ucapan saya tsb di atas yang sudah saya bahas dalam pernyataan-pernyataan saya sebelumnya. Silahkan dibalas email ini bila perlu... semoga saudara-saudara tidak tersinggung...
Buddha bukan titisan dewa...bukan Nabi...
hanya seorang Manusia yg tersadarkan..
Quote from: El Sol on 29 June 2008, 09:05:39 PM
Buddha bukan titisan dewa...bukan Nabi...
hanya seorang Manusia yg tersadarkan..
Sebagai contoh: tulisan sdr El Sol tsb di atas masih terjebak dalam bahasa. Yang sama adalah feel, tetapi ketika feel telah terdistorsi batasan bahasa maka feel tsb tidak bisa dialami secara natural lagi. Pikiran mendominasi sehingga muncul autosugesti yang menutupi feel.
Ini pengaruh dari budaya lingkungan sekitar yang memang menggunakan sistem sekolah (mendengar dan menghafal), agama monotheis, dlsb yang sangat menekankan logika dan bahasa. Sehingga inti maksut dari ajaran bisa tersampaikan menjadi bentuk yang lain samasekali. Bisa saja nama dan bahasa tidak berubah tetapi isi bisa berubah.
Mohon maaf kalau ada kata-kata yang salah... saya hanya berusaha menjelaskan sebisa saya sebagai manusia dengan keterbatasan bahasa.
Maaf,
Setelah baca 3 ~ 4x, saya masih ga bisa nangkap maksud dan tujuan thread ini...
Bung vincent bisa langsung lompat ke Kesimpulan ?
Quote from: Kemenyan on 29 June 2008, 10:07:35 PM
Maaf,
Setelah baca 3 ~ 4x, saya masih ga bisa nangkap maksud dan tujuan thread ini...
Bung vincent bisa langsung lompat ke Kesimpulan ?
Tiap kedatangan Nabi, Orang Suci, Titisan Dewa, atau mungkin juga Budha (mohon maaf saya menyebut Budha) pada awalnya memang bisa mendekati menyampaikan cara, dlsb agar diharapkan para umatnya bisa mengalami apa yang ia alami sebagai pengalaman orang pertama bukan penjelasan orang pertama ke orang kedua.
The problem is budaya (bahasa, tekhnologi, sistem logika yang umum dipakai) pada akhirnya menyeragamkan berbagai agama, aliran, dlsb menjadi satu sistem believe yang sama dengan nama, bahasa, label yang tetap berbeda-beda. Bahasa menjadi alat bantu agar suatu believe terasa tidak hilang keasliannya meskipun banyak believe yg telah kehilangan intinya dan digantikan budaya yang samasekali beda dengan believe yg dibawa oleh Nabi, Orang Suci, Titisan Dewa, atau mungkin juga Budha (mohon maaf saya menyebut Budha) nya.
Sehingga pada akhirnya Budha (mohon maaf saya menyebut Budha) seperti Nabi, Orang Suci, Titisan Dewa, dlsb pun harus datang berulang kali untuk mengembalikan ke hal yang sama berulang-ulang kali.
Oleh karena itu di maillist ini saya secara sengaja menggunakan bahasa agama katholik untuk membahas hal yang bisa saja juga membawa hal yang memiliki aspek-aspek di luar agama ka****k termasuk ke-budhaan yang ada di diri kita masing-masing.
Siapakah diantara kita yang mampu melampaui bahasa? ke before word.
Ada seorang penjual jam tangan mengaku menjual jam tangan asli tetapi pada kenyataannya jam yang dijual palsu, maka ia telah menyesatkan banyak orang. Ada seorang penjual jam tangan yang berbeda yang mengaku menjual jam tangan palsu; bilamana jam tangan yang dijual palsu maka ia tidak menyesatkan orang karena telah mengaku palsu; tetapi bilamana jam tangan yang dijual asli orang yang jeli akan mendapatkan keuntungan darinya.
Apakah kita seorang yang mencari penjual jam tangan yang mengaku asli atau yang mengaku palsu dengan mendengar dan mengiyakan perkataannya atau mencoba menjadi orang yang jeli yang walaupun ada penjual jam tangan yang mengaku asli atau palsu tetap bisa menemukan sendiri jam tangan mana yang benar-benar asli. Maka dari itu kita yang harus belajar menjadi jeli tidak menunggu penjual jam tangan yang moga-moga saja jujur.
Still...
anda tidak melompat ke kesimpulan...
Anda masih berputar-putar didalam Bahasa...
Okay, Saya bisa memahami bahwa maksud perkataan anda,
Tiap-tiap dari mereka membawa ajarannya dalam bahasa yang berbeda...
Akan tetapi...
Baik dari bahasa, ajaran, metoda, pengertian...
Sudah jauh berbeda...
Lalu, kembali lagi ke pertanyaan sebelumnya...
Maksud dan Tujuan dari diskusi sebenarnya apa?
Quote from: vincentliong on 29 June 2008, 09:20:08 PM
Quote from: El Sol on 29 June 2008, 09:05:39 PM
Buddha bukan titisan dewa...bukan Nabi...
hanya seorang Manusia yg tersadarkan..
Sebagai contoh: tulisan sdr El Sol tsb di atas masih terjebak dalam bahasa. Yang sama adalah feel, tetapi ketika feel telah terdistorsi batasan bahasa maka feel tsb tidak bisa dialami secara natural lagi. Pikiran mendominasi sehingga muncul autosugesti yang menutupi feel.
Ini pengaruh dari budaya lingkungan sekitar yang memang menggunakan sistem sekolah (mendengar dan menghafal), agama monotheis, dlsb yang sangat menekankan logika dan bahasa. Sehingga inti maksut dari ajaran bisa tersampaikan menjadi bentuk yang lain samasekali. Bisa saja nama dan bahasa tidak berubah tetapi isi bisa berubah.
Mohon maaf kalau ada kata-kata yang salah... saya hanya berusaha menjelaskan sebisa saya sebagai manusia dengan keterbatasan bahasa.
eloe..kalo nulis..yg jelas..
jadi yg baca gampang ngerti..
contohi Sang Buddha, yg menjelaskan sesuatu jelas..tapi ber"isi" dan dalam...
Kelihatannya pembicaraan kita akhirnya tidak menentu. Sebetulnya saya juga kesulitan menyampaikan apa yang ingin saya sampaikan. Bagaimana kalau kita lupakan masalah indigo, nabi palsu, dlsb. Ijinkan saya bercerita apa yang terjadi pada perjalanan hidup saya paling awal.
Saya tinggal dalam keluarga yang berkecukupan, tidak miskin tidak kaya, saya selalu mendapatkan apa yang saya mau dan keberuntungan mendapatkan sekolah, teman, barang-barang dan segala yang terbaik yang memungkinkan.
Semenjak saya bersekolah saya mendapatkan kesempatan untuk mengamati hal-hal di luar rumah saya, terutama dalam perjalanan menuju dabn pulang sekolah, kejadian di sekolah sehingga menimbulkan suatu masukan baru yang tidak pernah saya tahu dan saya alami dalam hidup saya. Saya melihat gedung, orang bekerja, orang mengemis, dlsb yang sebagian sempat tercatat di buku saya yang pertama kali saya tulis jauh sebelum kompatiologi ini yaitu ketika saya masih SLTP.
Silahkan download:
http://antonwid.gilaupload.com/berlindung%20di%20bawah%20-%20payung%20belum%20diedit.rtf
Dari semua itu yang membentuk saya hari ini.
[at] atas
promosi lage? :hammer:
-_-"
_/\_ Sebenarnya awal pemikiran kamu terhadap Buddhisme juga sudah mulai salah arah. Dengan meng-link Buddhisme sejajar dengan pemahaman samawi dan melihat konteks budaya yang sedang terjadi. Bisa saya pastikan,anda hanya berkata dan melihat pada permukaan saja.
Sebuah psikologi Buddhist tercipta 2500 tahun yang lalu dengan analisa pemikiran. Banyak orang berkata seperti ini dan seperti itu,menafsirkan sana sini, namun Dhamma adalah sesuatu yang telah ada dan teratur.
Motivasi anda mungkin kita tidak pernah jelas disini,karena kamu tidak pernah menyebut alasan kamu terus-terusan mempromosikan tulisan kamu baik di forum ini maupun forum orang lain.
Kalau saya mau menjawab thread ini maka saya cuma bisa satu kata kepada kamu "Ntahlah"
Ntahlah karena kamu tidak bisa menyamakan persepsi terlebih dahulu disini atau memang psikologi kamu tidak mahir sampai semua orang disini serasa tidak comfort dengan pemikiran kamu. Ntahlah, salah siapa
1. Yang benar adalah Buddha, bukan Budha (ini sih isi di KTP).
2.
QuoteSebagai contoh: tulisan sdr El Sol tsb di atas masih terjebak dalam bahasa. Yang sama adalah feel, tetapi ketika feel telah terdistorsi batasan bahasa maka feel tsb tidak bisa dialami secara natural lagi. Pikiran mendominasi sehingga muncul autosugesti yang menutupi feel.
Ini pengaruh dari budaya lingkungan sekitar yang memang menggunakan sistem sekolah (mendengar dan menghafal), agama monotheis, dlsb yang sangat menekankan logika dan bahasa. Sehingga inti maksut dari ajaran bisa tersampaikan menjadi bentuk yang lain samasekali. Bisa saja nama dan bahasa tidak berubah tetapi isi bisa berubah.
Mohon maaf kalau ada kata-kata yang salah... saya hanya berusaha menjelaskan sebisa saya sebagai manusia dengan keterbatasan bahasa.
Bahasa adalah metode untuk menyampaikan ide dan gagasan, sudah berkembang sejak manusia ada. Keterbatasan bahasa sering dijadikan kambing hitam ketidaktahuan. Alasan keterbatasan biasanya digunakan oleh mereka yang kurang bisa berkomunikasi. Bagi saya tidak ada alasan suatu ide tidak bisa disampaikan secara utuh melalui ikon dan media komunikasi.
Perlu anda ketahui Buddha
tidak1. mengajarkan ide atau gagasan, melainkan sesuatu sebagai mana adanya. (komunikasinya sangat baik sekali).
2. tidak mengajarkan kepercayaan membuta, melainkan praktek dan membuktikan sendiri kebenaran (Ehipassiko).
3. mengajarkan Tuhan sebagai suatu pribadi yang terbatas dan tidak bisa disampaikan oleh moda komunikasi yang ada.
Lalu, pertanyaan saya untuk anda Vincent Liong, apakah ada hubungannya kompatiologi yang kata anda adalah dari nabi palsu (anda), dengan Buddhisme? Jangan bilang lagi dalam setiap pribadi ada benih Kebuddha-an, saya tidak menangkap hal itu dari pembicaraan anda selama ini.
Quote from: vincentliong on 29 June 2008, 10:41:44 PM
Quote from: Kemenyan on 29 June 2008, 10:07:35 PM
Maaf,
Setelah baca 3 ~ 4x, saya masih ga bisa nangkap maksud dan tujuan thread ini...
Bung vincent bisa langsung lompat ke Kesimpulan ?
Tiap kedatangan Nabi, Orang Suci, Titisan Dewa, atau mungkin juga Budha (mohon maaf saya menyebut Budha) pada awalnya memang bisa mendekati menyampaikan cara, dlsb agar diharapkan para umatnya bisa mengalami apa yang ia alami sebagai pengalaman orang pertama bukan penjelasan orang pertama ke orang kedua.
The problem is budaya (bahasa, tekhnologi, sistem logika yang umum dipakai) pada akhirnya menyeragamkan berbagai agama, aliran, dlsb menjadi satu sistem believe yang sama dengan nama, bahasa, label yang tetap berbeda-beda. Bahasa menjadi alat bantu agar suatu believe terasa tidak hilang keasliannya meskipun banyak believe yg telah kehilangan intinya dan digantikan budaya yang samasekali beda dengan believe yg dibawa oleh Nabi, Orang Suci, Titisan Dewa, atau mungkin juga Budha (mohon maaf saya menyebut Budha) nya.
Sehingga pada akhirnya Budha (mohon maaf saya menyebut Budha) seperti Nabi, Orang Suci, Titisan Dewa, dlsb pun harus datang berulang kali untuk mengembalikan ke hal yang sama berulang-ulang kali.
Oleh karena itu di maillist ini saya secara sengaja menggunakan bahasa agama katholik untuk membahas hal yang bisa saja juga membawa hal yang memiliki aspek-aspek di luar agama ka****k termasuk ke-budhaan yang ada di diri kita masing-masing.
Siapakah diantara kita yang mampu melampaui bahasa? ke before word.
Ada seorang penjual jam tangan mengaku menjual jam tangan asli tetapi pada kenyataannya jam yang dijual palsu, maka ia telah menyesatkan banyak orang. Ada seorang penjual jam tangan yang berbeda yang mengaku menjual jam tangan palsu; bilamana jam tangan yang dijual palsu maka ia tidak menyesatkan orang karena telah mengaku palsu; tetapi bilamana jam tangan yang dijual asli orang yang jeli akan mendapatkan keuntungan darinya.
Apakah kita seorang yang mencari penjual jam tangan yang mengaku asli atau yang mengaku palsu dengan mendengar dan mengiyakan perkataannya atau mencoba menjadi orang yang jeli yang walaupun ada penjual jam tangan yang mengaku asli atau palsu tetap bisa menemukan sendiri jam tangan mana yang benar-benar asli. Maka dari itu kita yang harus belajar menjadi jeli tidak menunggu penjual jam tangan yang moga-moga saja jujur.
Bagaimana bisa seseorang yang ingin membicarakan ttg BUAH MANGGA dengan membandingkannya dengan BUAH DURIAN ?? ??? :hammer:
Anda ingin membahas ttg Ajaran Buddha ato Ajaran ka****k??
Sama, ndak mudeng...
Asal buka mau jualan kipas angin di rumah ber-AC aja deh ;D
masih laku sih kipas angin di rumah be AC, soalnya hemat listrik, yang ga mudeng itu jualan Es krim di musim salju.
Quote from: nyanadhana on 30 June 2008, 09:30:35 AM
masih laku sih kipas angin di rumah be AC, soalnya hemat listrik, yang ga mudeng itu jualan Es krim di musim salju.
:))
vincentliong,
Quote from: vincentliong on 29 June 2008, 09:03:24 PM
Kepada Yth: sdr Kainyn_Kutho dan teman-teman di Forum DhammaCitta.
Dari tanya jawab dengan sdr Kainyn_Kutho tsb di atas dan beberapa hari mengikuti Forum DhammaCitta ada beberapa hal yang saya kira perlu saya sampaikan. Pertama-tama mohon maaf kalau saya sebagai non-Budhist mencoba berbicara mengenai hal ini karena ada kemungkinan ada yang akan tersinggung, saya coba menjelaskan sebisa saya...
Saya meyakini (tidak tahu benar atau salah) bahwa dalam tiap kedatangan Nabi, Orang Suci, Titisan Dewa, atau mungkin juga Budha (mohon maaf saya menyebut Budha) adalah bagaimana menjadikan pengalaman yang sifatnya pengalaman orang pertama menjadi pengalaman warisan (orang ke- 2, 3, 4, dlsb...).
Keterbatasan karena menggunakan bahasa verbal dan keterbatasan kemampuan untuki membuat orang mengalami sendiri sebagai pengalaman orang pertama dari apa yang dialami oleh para Nabi, Orang Suci, Titisan Dewa, atau mungkin juga Budha (mohon maaf saya menyebut Budha) membuat ini menjadi kesulitan paling utama.
Metode mungkin bisa satu-satunya jalan yang mendekati, tetapi penggunaan kata-kata pada akhirnya juga menjadi batasan yang sekali lagi membuat metode gagal karena adanya asumsi. Pada pengembangan kompatiologi saya akhirnya setelah berpusing-pusing mencoba segala macam cara akhirnya menggunakan minuman, sebab pengalaman input indrawi lebih sulit dimanipulasi oleh sugesti dari pikiran dibanding pengalaman yang sifatnya sudah pikiran. Ada metode yang lain juga seperti misalnya meditasi, dlsb yang juga digunakan di orang Budhist dan aliran-aliran lainnya.
Semoga saudara-saudara dapat paham ucapan saya tsb di atas yang sudah saya bahas dalam pernyataan-pernyataan saya sebelumnya. Silahkan dibalas email ini bila perlu... semoga saudara-saudara tidak tersinggung...
Saya juga bukan Buddhist kok. Terlebih lagi, kalau mau membahas, memang harus secara objektif terlepas siapa kita dan yang diajak bicara. Jadi kalau dengan saya, jangan sungkan2 :)
Mengenai pengalaman indrawi ini, justru karena memang tidak terpengaruh sugesti memang sifatnya kurang relatif. Tetapi jika konteksnya adalah 'blue print' dari si pencipta ini, maka tetap saja masih jauh sangat relatif dan objektif. Contohnya satu gelas air dan gula dalam komposisi yang persis sama. A minum dan mungkin mengatakan 'cukup manis', sedangkan B minum dan mengatakan 'kemanisan'. Nah, jadi 'blue print'-nya bagaimana? Lalu apakah relatifitas itu sengaja diciptakan untuk saling berbagi pengalaman yang berbeda?
Quote"Di masa kini Ia yang Mengaku Nabi Asli itu telah merampas Hak manusia-manusia yang dijadikan pengikutnya, untuk bernubuat bagi diri sendiri; Setiap manusia berhak menjadi Nabi Palsu bagi Dirinya Sendiri, tidak untuk meninggikan diri dengan bernubuat bagi orang lain."
Kalau ini, saya mengerti dan setengah setuju.
Setuju karena memang manusia boleh saja berpegangan pada kebijaksanaan dirinya sendiri.
Tidak setuju karena orang mau ngaku nabi asli juga haknya. Dia tidak merampas hak2 siapapun sampai orang2 yang menjadi pengikutnya dengan dasar iman buta, menyerahkan hak2nya dan membelenggu dirinya pada orang lain yang dianggap nabi itu.
Apa terlalu pintar menyampaikannya sehingga saya yang bodoh ini kaga ngari juga :))
saya udah baca soal buku kamu dibawah Payung....
do u feel like always insecure?
do u feel like nobody will be beside you?
do u feel lonley because u dont have any friend then ou start to find something to do?
do u feel unable to communicate and nobody trust you?
It;s because you...you....you....yang merasa diri kamu weird,freak,aneh,dijauhin semua orang sehingga menulis buku layaknya pesakitan.
[at] Vincent...
Terasa "it's all about ME". ME , ME , ME & ME....Problem klasik mengenai si 'aku'...
Kamu tidak indigo, kamu sama seperti semua orang lain yang berusaha mencari 'jati diri' dalam ke'aku'an...Hanya saja cara kamu yang berbeda, dengan pemikiran konsep yang berbeda..
Coba lepaskan semua konsep, lepaskan si pemikir ini, lepaskan si dualisme ini...Maka kamu akan BEBAS sepenuhnya....
saya ga perlu berkata apa-apa juga semua orang bisa membacanya
Thanks bro Edward lebih mempertegas lagi pernyataannya.
Di setiap titik selalu keluar "AKU" , tampaknya kita memahami bahwa kamu memang ingin dikenal oleh banyak orang tapi kamu tidak tahu titik komunikasi pembukannya seperti apa. sehingga itu membedakan diri kamu dari sedemikian banyaknya anak2 di luaran sana yang begitu ceria memandang hidupnya, naik sepeda rame-rame ama temen, main basket bareng temen-temen, i think you lost it seperti cerita dalam filem seorang anak dikurung dalam sebuah istana dengan pintu dan jendela tertutup.
Indigo dalam Buddhisme itu hanyalah sejentik pengetahuan yang bisa dimiliki. Indigo bukanlah barang special, bisa baca pikiran, saya yakin banyak orang yang bisa menembus power seperti itu. dan saya lihat kamu juga tidak nyaman akan kata indigo itu sendiri.
Well, permasalahan nya terletak pada kamu...kamu....kamu.....kapan akan melepas?
Kainyn_Kutho wrote:
Saya juga bukan Buddhist kok. Terlebih lagi, kalau mau membahas, memang harus secara objektif terlepas siapa kita dan yang diajak bicara. Jadi kalau dengan saya, jangan sungkan2 Smiley
Mengenai pengalaman indrawi ini, justru karena memang tidak terpengaruh sugesti memang sifatnya kurang relatif. Tetapi jika konteksnya adalah 'blue print' dari si pencipta ini, maka tetap saja masih jauh sangat relatif dan objektif. Contohnya satu gelas air dan gula dalam komposisi yang persis sama. A minum dan mungkin mengatakan 'cukup manis', sedangkan B minum dan mengatakan 'kemanisan'. Nah, jadi 'blue print'-nya bagaimana? Lalu apakah relatifitas itu sengaja diciptakan untuk saling berbagi pengalaman yang berbeda?
Vincent Liong answer:
Kalau dibatasi dengan kata gula itu manis, tentunya sudah terbatas pada manis atau tidak manis. Ketika "saya/aku"(bisa diri saya atau diri saya miliknya masing2 bisa siapa saja) meminum (mengalami) "saya/aku" entah berwujud fisik air, pengalaman, kondisi ruangan, pribadi orang lain, kondisi cuaca, dlsb.
Maka yang terjadi pertama-tama yang dia alami adalah "saya/aku"(bisa diri saya atau diri saya miliknya masing2 bisa siapa saja). Lalu keluar dari "saya/aku" yang hanya terdiri dari satu karakter yaitu "saya/aku" maka bertemu dengan berbagai "saya/aku" yang berbeda.
Dari tanpa pembanding lalu muncul variasi. Variasi terdiri dari kumpulan berbagai "saya/aku" yang berbeda dalam titik kordinatnya masing-masing.
Lalu apa blue print nya: Bahwa dalam speedometer sebuah mobil misalnya telah terbentuk range dari nol kilometer per jam sampai sekian kilometer per jam. Alat ukur pengukur isi tangki bensin (kosong-penuh) atau pengukur tekanan oli atau pengukur putaran mesin (x1000RPM), dlsb. Kesamaanya jarum pengukur bisa bergerak dari minimum sampai maksimum.
Tiap kondisi "saya/aku" saat ini entah "saya/aku"-nya dalam varian berwujud fisik air dengan komposisi tertentu, pengalaman tertentu, kondisi ruangan tertentu, pribadi orang lain tertentu, kondisi cuaca tertentu, konsep tertentu, dlsb ternyata memiliki asosiasi dalam jarum penunjuk alat ukur.
Misal: saya meminta seseorang meminum 10 jenis minuman berbeda secara bergantian, tiap sample pencicipan cukup 20ml. Tiap 1 macam sample diminum lalu diberi pertanyaan:
* Apakah rasa minuman tsb ? >> Kalau ini sifatnya sudah judgement sebab rasa itu suatu kesepakatan. Akan tetap ada kemiripan antara jawaban orang yang satu dengan yang lain.
* Apakah perasaan yang dialami ketika meminum minuman tsb? >> Kalau ini sifatnya semi judgement sebab sudah ada teori tentang perasaan yang secara sengaja atau tidak sengaja kita pelajari. Akan tetap ada kemiripan antara jawaban orang yang satu dengan yang lain.
Tetapi kalau pertanyaannya:
* Dari range kepala sampai kaki (minimum - maksimum) ceritakan apa pengalaman fisikal yang terjadi, jelaskan dengan bahasa sendiri untuk menggambarkan sensasi fisikal yang terjadi di tubuh dengan batasan dari kepala sampai kaki? >> Maka tiap orang akan menceritakan berbeda-beda, tetapi konsisten terhadap diri mereka masing-masing. Ada alat ukur alami yang individual "saya/aku" yang konsisten pola kegiatan pengukurannya hanya terhadap "saya/aku".
Biasanya ketika percobaan-percobaan ini dilakukan maka simbol-simbol yang mewakili berbagai "saya/aku" yang di luar diri kita memiliki pola kegiatan pengukurannya yang konsisten terhadap misalnya asosiasi dari kepala sampai kaki pada badan fisikal kita.
Untuk mendapatkan "saya/aku" yang lain harus dimulai dari "saya/aku" milik diri sendiri baru keluar dari ruang kenyamanan kita bertemu dengan banyak variasi "saya/aku" yang lain yang sejenis (dibandingkan dalam variasi yang sama).
NOTE: "saya/aku" / Ego yang dimaksut dalam tulisan ini memiliki pengertian yang sama dengan kata Ego yang digunakan oleh Sigmund Freud. Ego bukanlah "Egois" (keakuan).
QuoteVincent Liong answer:
Kalau dibatasi dengan kata gula itu manis, tentunya sudah terbatas pada manis atau tidak manis. Ketika "saya/aku"(bisa diri saya atau diri saya miliknya masing2 bisa siapa saja) meminum (mengalami) "saya/aku" entah berwujud fisik air, pengalaman, kondisi ruangan, pribadi orang lain, kondisi cuaca, dlsb.
Maka yang terjadi pertama-tama yang dia alami adalah "saya/aku"(bisa diri saya atau diri saya miliknya masing2 bisa siapa saja). Lalu keluar dari "saya/aku" yang hanya terdiri dari satu karakter yaitu "saya/aku" maka bertemu dengan berbagai "saya/aku" yang berbeda.
Dari tanpa pembanding lalu muncul variasi. Variasi terdiri dari kumpulan berbagai "saya/aku" yang berbeda dalam titik kordinatnya masing-masing.
Lalu apa blue print nya: bahwa dalam speedometer sebuah mobil (yang sifatnya dua dimensi) misalnya telah terbentuk range dari nol kilometer per jam sampai sekian kilometer per jam. Jika kita menyambungkan alat ukur speedometer ke pengukur isi tangki bensin (kosong-penuh) atau ke pengukur tekanan oli atau ke pengukur putaran mesin (x1000RPM), dlsb.
Tiap kondisi "saya/aku" saat ini entah "saya/aku"-nya dalam varian berwujud fisik air dengan komposisi tertentu, pengalaman tertentu, kondisi ruangan tertentu, pribadi orang lain tertentu, kondisi cuaca tertentu, konsep tertentu, dlsb ternyata memiliki asosiasi dalam jarum penunjuk alat ukur yang standart.
Misal: saya meminta seseorang meminum 10 jenis minuman berbeda secara bergantian, tiap sample pencicipan cukup 20ml. Tiap 1 macam sample diminum lalu diberi pertanyaan:
* Apakah rasa minuman tsb ? >> Kalau ini sifatnya sudah judgement sebab rasa itu suatu kesepakatan. Akan tetap ada kemiripan antara jawaban orang yang satu dengan yang lain.
* Apakah perasaan yang dialami ketika meminum minuman tsb? >> Kalau ini sifatnya semi judgement sebab sudah ada teori tentang perasaan yang secara sengaja atau tidak sengaja kita pelajari. Akan tetap ada kemiripan antara jawaban orang yang satu dengan yang lain.
Tetapi kalau pertanyaannya:
* Dari range kepala sampai kaki (minimum - maksimum) ceritakan apa pengalaman fisikal yang terjadi, jelaskan dengan bahasa sendiri untuk menggambarkan sensasi fisikal yang terjadi di tubuh dengan batasan dari kepala sampai kaki? >> Maka tiap orang akan menceritakan berbeda-beda, tetapi konsisten terhadap diri mereka masing-masing. Ada alat ukur alami yang individual "saya/aku" yang konsisten pola kegiatan pengukurannya hanya terhadap "saya/aku".
Biasanya ketika percobaan-percobaan ini dilakukan maka simbol-simbol yang mewakili berbagai "saya/aku" yang di luar diri kita memiliki pola kegiatan pengukurannya yang konsisten terhadap misalnya asosiasi dari kepala sampai kaki pada badan fisikal kita.
Untuk mendapatkan "saya/aku" yang lain harus dimulai dari "saya/aku" milik diri sendiri baru keluar dari ruang kenyamanan kita bertemu dengan banyak variasi "saya/aku" yang lain yang sejenis (dibandingkan dalam variasi yang sama).
Ya, saya setuju tentang varian dan pengalaman yang berbeda dilihat dari "saya/aku" yang juga berbeda dari waktu ke waktu, baik disengaja maupun tidak. Jadi maksudnya dengan belajar dari pengalaman yang berbeda itu, akhirnya bisa ditemukan "saya/aku" yang sejati?
Pengalaman Sebagai Pendekon-Kompatiologi...
PENDAHULUAN
Pendekon (Pen-Dekonstruksi) adalah sebutan bagi pengajar ilmu Kompatiologi. Ada dua macam tipe pendekon kompatiologi:
* Pendekon-Tandem yang sekedar sebagai asisten membantu pendekon independent dalam melakukan tugasnya menjual jasa dekon-kompatiologi kepada 'terdekon' (murid atau peserta dekon-kompatiologi) tanpa mendapatkan imbalan dan penggantian biaya akomodasi (transport dan uang makan).
* Pendekon-Independent yang menjual jasa dekon-kompatiologi dan bertanggungjawab pada program tersebut.
Fenomena yang menarik pada akhir-akhir ini adalah pertambahan jumlah pendekon-tandem yang amat pesat, dengan jumlah pendekon independent yang hampir tidak berubah dalam beberapa bulan terakhir, dan jumlah terdekon yang menurun karena adanya banyak gangguan; dari konflik dan konspirasi untuk menggulingkan kompatiologi. Kadang-kadang untuk mendekon seorang terdekon saja bisa datang antara lima sampai sepuluh sukarelawan pendekon-tandem yang bekerja tanpa mendapat upah atau penggantian biaya akomodasi, malah ada yang secara khusus menelepon pendekon independentnya untuk bertanya;"Kapan ada dekon lagi? Sudah rindu jadi pendekon-tandem."
Bayangkanlah... Seorang pendekon tandem rela naik taxi dari rumahnya ke mall tempat dilakukan dekon-kompatiologi, rela membayar biaya makannya sendiri dalam tiap acara dekon tersebut, tidak kenal pula siapa terdekon yang datang pada hari tersebut; ini semua dilakukan dengan inisiatif sendiri tanpa meminta uang pengganti pengeluaran-pengeluaran tersebut, beberapa yang bekerja sebagai karyawan mengambil cuti atau men-cancel segala kegiatannya hanya untuk datang ke acara dekon. Mulai dari yang tinggal di Jakarta, sampai yang tinggal dan bekerja di Bandung ;secara rutin pergi-pulang ke Jakarta sekedar untuk menjadi pendekon-tandem dengan biaya sendiri. Malah ada yang cukup ekstrim sampai secara rutin setiap minggu (selama beberapa minggu berturut-turut) menginap tiga hari di rumah Vincent Liong untuk menjadi pendekon dan menemani Vincent Liong jalan-jalan.
Tidak sedikit yang kalau ditanya, telah menjadi pendekon tandem sebanyak sepuluh sampai duapuluh kali dan tidak memulai menjadi pendekon independent yang dapat mencari nafkah dari kegiatan dekon kompatiologi yang biasanya dihargai antara Rp.300.000,- sampai Rp.500.000,- per peserta tanpa harus menyetor uang franchise ke pendiri kompatiologi Vincent Liong. Meski Vincent Liong menawarkan secara gratis solusi yang lebih murah bahkan bisa menghasilkan nafkah tambahan dengan menjadi pendekon, kok malah ngotot mau jadi pendekon-tandem saja.
Apa sich yang terjadi dengan mereka sehingga mereka tergila-gila untuk menjadi pendekon-tandem (asisten dari pendekon independent yang tidak mendapatkan gaji yang biaya pengganti akomodasi) ?
PERJALANAN KERJA PENDEKON TANDEM
Pendekon-Tandem memulai perjalanannya dengan datang tepat waktu di foodcourt di sebuah mall, dimana pendekon-independent dan kliennya telah menunggu. Baik pendekon independent dan pendekon tandem diwajibkan untuk datang tepat waktu.
Setelah semua 'peserta' telah datang (terdekon, pendekon-independent dan pendekon-tandem), biasanya pendekon-independent dan pendekon-tandem pergi ke supermarket untuk berbelanja minuman yang dibutuhkan untuk acara dekon hari tersebut, termasuk membeli gelas kosong plastik untuk satu kali pakai dan sedotan. Sesampainya di lorong bagian minuman di supermarket terdekat, pendekon-ndependent selaku penanggungjawab memberikan instruksi singkat sbb:
"Pilih minuman yang dibutuhkan sesuai dengan karakteristik individu terdekon. Hindari minuman yang: bersoda, beralkohol, berkafein tinggi (kecuali kopi) dan susu. Cara memilihnya, lihat minuman yang ada di rak minuman, pilih dan ambil yang menurut feeling anda diperlukan, jangan dilogikalan atau diteorikan. Pilih sejumlah yang menurut feeling anda mencukupi untuk digunakan sebagai sirkuit untuk mendekon si terdekon, biasanya antara 10 sampai 20 macam minuman. Saat memilih bila menurut anda kurang lengkap jumlah karakteristik miniman (jenis minuman) maka anda bisa tambah, tetapi bila cukup maka jangan ditambah lagi. Selamat memilih bahan minuman untuk membuat sirkuit yang digunakan dalam dekon."
Biasanya pendekon-independent lalu meninggalkan para pendekon-tandem tersebut dengan berjalan ke rak lain di supermarket tersebut, agar secara leluasa bisa memilih bahan-bahan yang dibutuhkan tanpa perasaan minder terhadap pendekon-independent. Setelah selesai maka pendekon-independent melihat minuman-minuman yang dipilih dan meminta pendekon-tandem mengganti dengan minuman yang lain bila dianggap beresiko terhadap kesehatan tubuh fisik peserta dekon. Pendekon-independent juga menentukan berapa jumlah botol minuman untuk setiap jenis minuman yang dipilih berdasarkan perkiraan berapa jumlah 'peserta' (terdekon, pendekon-independent dan pendekon-tandem) yang ikut di hari tersebut.
Yang menarik dalam tahap ini adalah ada suatu hukum keseimbangan (yin-yang) yang cukup bersifat pasti yang berlaku dalam hukum keseimbangan pada pemilihan dan penyusunan sirkuit berbagai jenis minuman dalam sebuah acara dekon-kompatiologi. Contoh: Ketika 'tadi siang' (Selasa, 11 September 2007) saya memimpin sebuah acara dekon, saya sempat menegur Mr.R salahsatu pendekon-tandem yang terlibat memilih jenis minuman yang akan digunakan dengan mengatakan;"Mengapa jenis minuman X yang digunakan adalah yang rasa orange, bukanlah lebih tepat menggunakan yang rasa lemon" Dalam dekon memang tidak ada ilmu pasti yang menjelaskan jenis minuman apa yang harus dipilih sebab tiap manusia mempunyai ilmu yang lebih canggih dan tepat yaitu felling yang ada hukum keseimbangannya yang bersifat pasti. Lalu Mr.R menjawab; "Awalnya saya memilih yang berwarna kuning (lemon) tetapi karena sudah banyak botol yang berwarna kuning jadi logika saya akhirnya memilih yang orange." Lalu saya menjawab;"Saya tidak mengatakan bahwa semua rasa harus lengkap; pilih yang perlu saja, kadang-kadang tidak selalu lengkap dan seimbang jumlah minuman yang dominant manis, asam, asin dan pahit. Ini tergantung karakteristik terdekon hari ini yang anda baca dengan feeling anda." Lalu Mr.R kembali mengganti botol minuman X yang rasa orange ke yang rasa lemon yang adalah sesuai feeling-nya. Hal ini bukan terbaca karena saya sakti.
Kegiatan berlanjut ke proses penyusunan sirkuit botol ketika sekembalinya ke meja makan di foodcourt, saat dimulainya dekon-kompatiologi dengan minuman botol; saya menyuruh para pendekon-tandem untuk bekerjasama menyusun sirkuit posisi botol di atas sebuah baki berbentuk persegi panjang. Yang menarik adalah selalu ada kesepakatan diam-diam yang abstrak, sulit dijelaskan; bila salahsatu pendekon-tandem menyusun sirkuit tidak sesuai dengan pola terdekon yang terbaca oleh feelingnya, maka pendekon-tandem yang lain akan merasa ada yang salah dan berkomentar, lalu membuat suatu koreksi sambil didiskusikan alasannya dengan pendekon-tandem dengan tercampuraduk antara logika formal dan felling tersebut.
Kesepakatan diam-diam itu bersifat absolut seperti kalau ada sekumpulan orang meminum segelas kopi dari gelas yang sama, pada kenyataannya rasa kopi yang dialami oleh tiap orang adalah sama tetapi cara menceritakan rasa tersebut selalu bersifat individual. Maka dari itu permasalahan dari proses penulisan teori (pencatatan atas pengalaman) adalah: Pembaca tidak mampu mengalami rasa yang sama dengan pengalaman tersebut; Karena yang bisa ditulis adalah sudutpandang akan rasa yang bersifat individual, yang ketika dibaca ulang akan menghasilkan perkiraan akan rasa yang hasilnya berbeda dari rasa yang dialami si pelaku.
Dekon-kompatiologi dengan menggunakan minuman botol, lalu berjalan seperti prosedur biasa dengan urutan:
1* Memetakan (Pengelompokan/klasifikasi jenis dan rasa minuman / menyusun sirkuit di atas baki dengan memposisikan botol-botol dalam barisan dua dimensi (panjang dan lebar), dilakukan oleh Pendekon- tandem atau independent.)
2* Mengenal (diikuti oleh pendekon maupun terdekon)
2.1* Merasakan masing-masing minuman dengan urutan tertentu.
2.2* Mendeskripsikan karakterisitk data (rasa pada sample pertama sampai ketiga dan mendeskripsikan efek ke tubuh setelah sample ketiga) yang timbul setelah minum, setiap selesai meminum sample masing-masing minuman. Harus dideskripsikan dengan sudutpandang versi masing-masing bukan disamaratakan.
> Ini dilakukan satu putaran saja.
Pada tahap ini, umum terjadi perasaan pusing dan agak mabuk pada perserta dekon-kompatiologi terutama pada terdekon. Pusing tersebut hampir sama dengan kondisi ketika seseorang sedang mabuk minuman beralkohol, perbedaannya; Kalau seseorang meminum minuman alkohol maka perasaan pusing dan mabuk terjadi akibat penurunan kemampuan otak untuk memproses data yang jumlah data-nya sama seperti pada kondisi normal. Kalau di dekon-kompatiologi perasaan pusing dan mabuk terjadi akibat pertambahan jumlah data yang diterima dalam waktu yang sama (jumlah data tidak seperti kondisi normal) sedangkan kemampuan otak untuk memproses data pada kondisi normal. Jadi kemiripan perasaan pusing dan agak mabuk seperti yang terjadi pada saat seseorang sedang mabuk minuman beralkohol terjadi karena kemampuan otak untuk memproses data tidak sebanding dengan jumlah data yang diterima.
3* Menerima (diikuti oleh pendekon maupun terdekon)
3.1* Melakukan kombinasi beberapa minuman dengan komposisi bebas.
3.2* Memprediksi karakterstik (efek ke tubuh dan efek ke perasaan yang dapat timbul setelah campuran tersebut di minum), prediksi dilakukan sebelum merasakan minuman hasil campuran tersebut.
3.3* Setelah minum hasil campuran dan merasakannya maka mendeskripsikan efek ke tubuh dan efek ke perasaan yang timbul. Harus dideskripsikan dengan sudutpandang versi masing-masing bukan disamaratakan.
3.4* Membandingkan hasil prediksi sebelum dengan fakta sesudah minum.
> Ini dilakukan dua putaran.
Pada pertengahan tahap ini, mayoritas peserta (terdekon dan pendekon) biasanya masuk pada kondisi agak fokus. Manusia, minuman, juga benda mati di sekitarnya terasa seperti individu-invidiu yang memberikan informasinya masing-masing secara agak fokus. Efek lain yang biasa terjadi pada tahap ini adalah hilangnya superego pada para peserta dekon-kompatiologi sehingga pembicaraan dan tingkah-laku yang muncul sangat jelas menunjukkan sifat asli masing-masing individu tanpa ditutup-tutupi, tidak dibuat-buat, tidak munafik, tidak gengsi dan jaga image; berprilaku apa adanya dan bersedia berkomunikasi satu sama lain tanpa ada jarak.
4* Menciptakan (diikuti oleh pendekon maupun terdekon)
4.1* Membuat perencanaan efek ke tubuh atau efek ke perasaan apa yang diharapkan muncul tanpa diketahui oleh peserta lain, ditulis di handphone masing-masing.
4.2* Membuat campuran minuman dengan bebas disesuaikan dengan harapan tersebut tanpa melihat ingredients masing-masing minuman.
4.3* Campuran minuman dibagikan dan di minum oleh masing-masing peserta.
4.4* Membuat deskripsi efek ke tubuh atau efek ke perasaan yang dirasakan. Harus dideskripsikan dengan sudutpandang versi masing-masing bukan disamaratakan.
4.5* Membuat perbandingan antara harapan dan fakta.
4.6* Membuat kesimpulan.
> Ini dilakukan satu putaran saja.
Hukum keseimbangan (yin-yang) yang cukup bersifat pasti ini tidak hanya sampai pada tahap pemilihan jenis minuman dan penyusunan sirkuit minuman tersebut. Biasanya sejak awal dekon-kompatiologi pendekon-tandem sudah mulai bisa mendiskusikan perkiraan grafik pola pergerakan mental terdekon selama proses dekon-kompatiologi tersebut secara cukup tepat. Sebagai ilmu yang teknis-mekanistik dan bukan sekedar mengkultuskan atau manut pada guru yang ditinggikan; proses kompatiologi memungkinkan terjadinya pergerakan grafik perubahan kondisi mental terdekon dan pendekon selama acara dekon-kompatiologi yang tidak dibatasi oleh rasa takut terhadap kekuasaan guru.
PENUTUP
Oleh karena itu dekon-kompatiologi yang selama ini dibahas oleh berbagai penulis kitab kompatiologi hanyalah setengah bagian dari ilmu kompatiologi. Pengalaman sebagai terdekon di acara dekon-kompatiologi membuat orang mampu membaca dan memetakan data. Lebih jauh lagi, pengalaman sebagai pendekon-tandem maupun pendekon-independent membuat orang mampu menguasai secara sadar dan cukup pasti hukum keseimbangan (yin-yang) yang secara alamiah sudah ada di setiap makhluk hidup sehingga secara teknis-mekanistik mampu menyetir dan memanipulasi (bukan dengan menanamkan sugesti) hubungan sebab-akibat yang ada di alam sekitarnya sebagai hukum yang alamiah karena mengalami pola hukum sebab akibatnya.
Mainan ini mainan yang tidak berkesudahan, seorang pendekon menghadapi terdekon seperti seorang penggemar permainan logika matematika (bukan matematika yang hanya mengerjakan soal berhitung ala pertukangan saja yang bisa digantikan oleh kalkulator) yang tidak ada habisnya mengubah hukum sebab-akibat alamiah yang bersifat pasti, dalam sebuah rumus yang satu yang bisa bertransformasi menjadi rumus yang lain.
Memang seorang pendekon berlatih pada susunan jenis minuman dan para individu terdekon; lebih jauh lagi permainan logika matematika sesungguhnya adalah asosiasi lain dari permainan rumus minuman dan eksperimen terhadap terdekon, yang menciptakan rumus-rumus bentuk lain, sesuai kebutuhan pada sutuasi dan kondisi yang costumize, sesuai kebutuhan sehari-hari (lingkungan kerja, pergaulan dan keluarga) masing-masing individu pendekon sendiri.
Kapan saja, dimana saja, apa saja bentuknya ; data dalam konteks yang satu bisa diasosiasikan ke konteks yang lain. Tidak ada ilmu yang bisa dipatentkan, hanya bentuk rumus yang satu yang bisa bertransformasi ke bentuk rumus yang lain. Sebab ilmu apapun hanyalah sebuah posisi yang satu terhadap posisi yang lain.
saya kecewa dengan sikap rekan-rekan Buddhist di forum ini, kalau ada orang non Buddhist join di milis, kenapa harus diserang?
bukankah ini suatu kesempatan untuk memberikan pengertian tentang agama Buddha?
[at]Sandal...
Anda kebanyakkan kecewanya drpd mendalami Buddhisme itu sendiri...
Disini forum apa ya?
Salam,
Riky
Aye bukan buddhist lho, kainyn juga bukan, sapa yah yang buddhist? :))
Quote from: Riky_dave on 30 June 2008, 08:37:59 PM
[at]Sandal...
Anda kebanyakkan kecewanya drpd mendalami Buddhisme itu sendiri...
Disini forum apa ya?
Salam,
Riky
NICE!!
;D
[at]Rumput yang bergoyang...
Ada yang merasa dibilang umat Buddhis?:)
Dhamma itu tidak pandang bulu....Dhamma itu tidak butuh sebuah "label" tentang sebuah "agama" maupun sebuah "buku" menuju "kebenaran tertinggi" karena Dhamma itu sendiri adalah Kebenaran....
Salam,
Riky
Quote from: SandalJepit on 30 June 2008, 08:30:45 PM
saya kecewa dengan sikap rekan-rekan Buddhist di forum ini, kalau ada orang non Buddhist join di milis, kenapa harus diserang?
bukankah ini suatu kesempatan untuk memberikan pengertian tentang agama Buddha?
Yah inilah fakta dunia, dimanapun tidak ada yg selalu memuaskan :). Mari kita mulai dari diri kita sendiri, jadi teladan gituh bahasa sononya. :D
Cape deh... ;D
To sandalJepit,
anda yang tidak mengerti pembicaraan kita itu seperti apa. setiap kali ada ajaran uka uka datang tentu analisa terhadap konsistensi Dhamma itu harus dipertanyakan. anda merasa kita menjelek-jelekkan mereka, padahal fakta dijalan merekalah yang dengan kasar mengata-ngatai kita. apakah kita harus kalem seperti lembu?
Vincent Liong di beberapa posting internet pernah menulis "Agama Buddha, Agama (deleted)", apakah kit aharus berpuisi ria memberikan jawaban,bukan demikian, IKT dan MLDD dengan sengaja memutar balikkan semua fakta Dhamma, anda juga merasa it's okay.
Saya mungkin kurang mengerti apa isi kepala kamu, namun setiap debat itu adalah melihat konsistensi lawan dalam mempertahankan pemikirannya,apa sih yang dia pikirkan sehingga dipegang teguh, namun sayang begitu ditambah Dhamma, konsistensi itu runtuh. tidak bisa berkata apa2 hanya bisa berpuisi ria.
Kalo kamu merasa kasihan dengan kita, saya lebih merasa terhina oleh pembelaan kamu terhadap mereka. terhina karena kamu berpartisipasi menginjak Dhamma, terhina oleh postingan kamu di beberapa tempat yang mengatakan rekan2 disini suka mengasari mereka yang baru datang. Malu kamu? saya pikir tidak. disini Forum Dhamma, saya pikir kamu hendaknya masuk ke Forum Gado-Gado Agama,disana anda bisa menambah micca ditthi lebih dalam lagi.
Terima Kasih.
vincentliong,
Terima kasih untuk penjelasannya. Terus terang saya tidak mengerti manfaat dari ter-dekon, bisa dijelaskan? Menurut saya, proses ini lebih menguntungkan para pen-dekon karena mereka bisa mempelajari karakteristik berbagai manusia secara cukup dekat (intim) dan gratis, yang sebetulnya jauh lebih mahal ketimbang naik taxi ke mall dan bayar makan sendiri. (maaf, ini hanya opini)
Hasil dari proses ini pun memang akan menghasilkan result yang mirip2, tergantung ter-dekon. Jika ter-dekon adalah orang yang memang ter-generalisasi dan mudah terbawa arus (trend), kemungkinan besar proses dan hasilnya seperti yang diharapkan (para pen-dekon). Yang berbeda adalah hanya feel dan experience, serta cara pengungkapan yang dilakukan oleh ter-dekon, yang kemudian dijadikan catatan oleh pen-dekon.
Saya sangat setuju bahwa ilmunya tidak akan bisa dipatenkan dan akan terus bertransformasi tanpa henti. Dan itu pula sebabnya saya tidak menemukan manfaat proses dekon ini, karena biarpun tiap hari dilakukan proses ini kepada 6 milyar orang di muka bumi, bahkan sampai 1000 tahun juga tidak akan ketemu rumusnya untuk memahami orang lain. Karena manusia bukanlah data, tetapi data dan variabel dalam varian ruang dan waktu.
Mantep om nyana, tambahin GERPNYA dahhh
Waks GRP gw kok kurang satu lagi? Sapa yah yang ngasih brp ke gw? Buat thread lagi gitu yah?
SandalJepit,
Quote from: SandalJepit on 30 June 2008, 08:30:45 PM
saya kecewa dengan sikap rekan-rekan Buddhist di forum ini, kalau ada orang non Buddhist join di milis, kenapa harus diserang?
bukankah ini suatu kesempatan untuk memberikan pengertian tentang agama Buddha?
Tidak perlu menjadi kecewa oleh sikap orang lain. Biarkan saja jika seseorang memberikan pengertian dhamma dengan cara yang menurut mereka benar, karena itu memang hak masing2 orang. Kamu silahkan memberikan pengertian dengan caramu sendiri.
Quote from: nyanadhana on 01 July 2008, 08:33:49 AM
To sandalJepit,
anda yang tidak mengerti pembicaraan kita itu seperti apa. setiap kali ada ajaran uka uka datang tentu analisa terhadap konsistensi Dhamma itu harus dipertanyakan. anda merasa kita menjelek-jelekkan mereka, padahal fakta dijalan merekalah yang dengan kasar mengata-ngatai kita. apakah kita harus kalem seperti lembu?
Vincent Liong di beberapa posting internet pernah menulis "Agama Buddha, Agama (deleted)", apakah kit aharus berpuisi ria memberikan jawaban,bukan demikian, IKT dan MLDD dengan sengaja memutar balikkan semua fakta Dhamma, anda juga merasa it's okay.
Saya mungkin kurang mengerti apa isi kepala kamu, namun setiap debat itu adalah melihat konsistensi lawan dalam mempertahankan pemikirannya,apa sih yang dia pikirkan sehingga dipegang teguh, namun sayang begitu ditambah Dhamma, konsistensi itu runtuh. tidak bisa berkata apa2 hanya bisa berpuisi ria.
Kalo kamu merasa kasihan dengan kita, saya lebih merasa terhina oleh pembelaan kamu terhadap mereka. terhina karena kamu berpartisipasi menginjak Dhamma, terhina oleh postingan kamu di beberapa tempat yang mengatakan rekan2 disini suka mengasari mereka yang baru datang. Malu kamu? saya pikir tidak. disini Forum Dhamma, saya pikir kamu hendaknya masuk ke Forum Gado-Gado Agama,disana anda bisa menambah micca ditthi lebih dalam lagi.
Terima Kasih.
Sdr Nyanadhana, anda menuduh saya mengatakan bahwa "Agama Buddha, Agama
(deleted)". Anda harus membuktikan ucapan anda telah melakukan adu domba atas nama agama. Anda harus memberikan bukti bahwa Vincent Liong telah menulis hal tsb di atas. Bila tidak tentunya anda harus membuat permohonan maaf kepada pihak saya dan para penganut umat Budhist di forum ini.
Beberapa waktu yang lalu di maillist vincentliong [at] yahoogroups.com seseorang yang mengaku umat Budhist memposting tulisan:
* Subject: "ISLAM AGAMA
(deleted)"
From: Ver Cillit <vercillit [at] yahoo.co.id>
e-link: http://groups.yahoo.com/group/vincentliong/message/24398
Isinya adalah pembahasan doktrin-doktrin keBuddhaan.
Lalu seorang dari falun dafa melanjutkan dengan judul yang sama yang berisi ajaran falun dafa.
* Subject: "ISLAM AGAMA
(deleted)"
From: "sunari" <sunari [at] ssp.co.id>
e-link: http://groups.yahoo.com/group/vincentliong/message/24415
Hal ini menyakiti perasaan beberapa umat muslim di vincentliong [at] yahoogroups.com. Kalau mau promosi agama mbok jangan pakai cara yang menjelek-jelekkan agama sendiri, atau mungkin saja yang posting sebenarnya malah non-budhist yang ingin menimbulkan kebencian terhadap Buddha. Tolong dibantu agar ada yang memeriksa kebenaran postingan tentang Buddha itu di maillist saya supaya tidak membuat jelek umat Buddha.
Ada beberapa umat muslim di vincentliong [at] yahoogroups.com yang terpancing dan sebagian lagi tidak terpancing samasekali. Muncul beberapa judul email baru membalas email tsb, misalnya: "kr****n, BUDHA, KONGHUCU, YAHUDI AGAMA
(deleted)"
Silahkan baca dari awal konflik tsb di e-link: http://groups.yahoo.com/group/vincentliong/msearch?query=ISLAM+AGAMA+
(deleted)&pos=10&cnt=10
Saya sendiri hanya 1x mengikuti diskusi tsb:
* Subject: Re: ISLAM AGAMA
(deleted) -- Masih Ada Langit Diatas Langit
From: vincentliong [at] yahoo.co.nz
DDT: Wed Jun 25, 2008 4:04 pm
e-link: http://groups.yahoo.com/group/vincentliong/message/24418
Vincent Liong wrote: Tulisan anda-anda di bawah ini mengenai Budha adalah hak anda, tetapi
saya heran mengapa judulnya tidak ada sangkut pautnya dengan Budha.
Sdr Nyanadhana, bicara Dhamma itu sangat amat gampang, mencantumkan, membahas ulang berbagai ucapan Buddha itu mudah tetapi memahami dan menjalaninya seperti yang pertama kali individu yang mengungkapkannya menjalaninya itu sangat amat sulit. Orang sering terjebak pada kebiasaan menyebut-nyebut isi suatu ajaran tetapi apakah mampu bertahan konsisten menjalaninya sering kali menjadi kontradiksi yang bisa diamati secara langsung.
Saya ingin mentanyakan kepada satu pertanyaan terutama kepada Sdr Nyanadhana dan boleh juga ikut dijawab oleh member forum yang lain;
"Kalau anda bertemu dengan Sidharta Gautama atau orang yang sejenis dengannya (menjalankan perjalanan pencarian yang serupa tapi tidak sama) di masa kini, bisa dalam pribadi siapa saja... Bagaimana anda akan memperlakukan Sidharta Gautama tersebut?"
Saya mentanyakan ini sebab anda suka berbicara seolah-olah anda mengerti Dhamma. Saya sendiri tidak mengaku mengerti.
Quote from: Kainyn_Kutho on 01 July 2008, 08:46:04 AM
vincentliong,
Terima kasih untuk penjelasannya. Terus terang saya tidak mengerti manfaat dari ter-dekon, bisa dijelaskan? Menurut saya, proses ini lebih menguntungkan para pen-dekon karena mereka bisa mempelajari karakteristik berbagai manusia secara cukup dekat (intim) dan gratis, yang sebetulnya jauh lebih mahal ketimbang naik taxi ke mall dan bayar makan sendiri. (maaf, ini hanya opini)
Hasil dari proses ini pun memang akan menghasilkan result yang mirip2, tergantung ter-dekon. Jika ter-dekon adalah orang yang memang ter-generalisasi dan mudah terbawa arus (trend), kemungkinan besar proses dan hasilnya seperti yang diharapkan (para pen-dekon). Yang berbeda adalah hanya feel dan experience, serta cara pengungkapan yang dilakukan oleh ter-dekon, yang kemudian dijadikan catatan oleh pen-dekon.
Saya sangat setuju bahwa ilmunya tidak akan bisa dipatenkan dan akan terus bertransformasi tanpa henti. Dan itu pula sebabnya saya tidak menemukan manfaat proses dekon ini, karena biarpun tiap hari dilakukan proses ini kepada 6 milyar orang di muka bumi, bahkan sampai 1000 tahun juga tidak akan ketemu rumusnya untuk memahami orang lain. Karena manusia bukanlah data, tetapi data dan variabel dalam varian ruang dan waktu.
Saya cukup sependapat...
Ter-Dekon mendapatkan manfaat yaitu kemampuan mengukur range, scale & posisioning suatu data terhadap variasi data yang lain secara PASIF. Data tidak diukur untuk mendapatkan kepastian, melainkan untuk mendapatkan kebenaran yang bersifat costumize (saat itu di tempat yang kondisi tertentu itu saja).
Pen-Dekon mendapatkan manfaat yaitu kemampuan "mengukur range, scale & posisioning suatu data terhadap variasi data yang lain secara pasif" (yang telah didapatkan ketika jadi Ter-Dekon sebelumnya) sekaligus kemampuan untuk mempengaruhi sebab-akibat secara AKTIF terhadap Ter-Dekon dan orang-orang di sekitarnya. Misalnya yang paling sederhana adalah bahwa susunan minuman mempengaruhi rancangan diri Ter-Dekon yang dihasilkan.
Mengalami menjadi berbagai ter-dekon dan banyak individu "saya/aku" yang lain menambah koleksi range variasi yang dimiliki seorang Pen-Dekon. Pen-Dekon kebanyakan tidak membuat pencatatan tentang Ter-Dekon. Berbagai "saya/aku" di dalam diri dan "saya/aku" di luar diri.
Dekon-Kompatiologi hanyalah simulasi yang lebih sederhana dibanding kenyataan sebenarnya yang terjadi di realita sehari-hari. Ada Ter-Dekon dan "Pen-Dekon"(mantan Ter-Dekon) yang punya kecenderungan bereksperimen di ranah pikiran seperti efek samping orang yang bermeditasi, ada yang punya kecenderungan bereksperimen di ranah realita sehari-hari dan ada yang keduanya. Tentunya individu yang bereksperimen di ranah realita sehari-hari akan tampak lebih ekstrim pergolakan hidupnya dibanding yang tampaknya diam di realita sehari-hari tetapi sibuk berproses di ranah pikiran.
"Sebuah dawai telah memiliki nada, jika dia tidak dipetik bukan berarti dia tak bernada, hanya kita tak dapat mendengar nadanya. Nada yang terdengar adalah hasil dari petikan, dan mempunyai kemungkinan tak ada batasnya.
...
Semenjak manusia sadar bahwa dia memiliki kesadaran diri, dan kesadaran diri adalah sesuatu yang pasti, maka manusia menganggap semua ilmu pengetahuan harus dibangun atas dasar kepastian. Sehingga semua pengetahuan yang didapat dari pengalaman dan dan ketidak pastian tidak dapat dipandang sebagai ilmu.
Tetapi jangan lupa kesadaran diri dan pengalaman tidaklah ada hubungannya. Pengalaman akan menghasilkan pemahaman yang berbeda bagi tiap individu. Jadi pengetahuan yang didapat dari pengalaman tidak dapat dengan begitu saja dikatakan benar atau salah dengan memakai metode kepastian.
...
Kini tiba pada pengertian baru, bahwa pengalaman tidak dapat menjadi tolok ukur, tetapi menghasilkan jangkauan variasi yang berskala. Ini sebenarnya sudah kita ketahui sejak dulu, tetapi tidak pernah kita sadari, seperti waktu, tidak kita sadari adalah suatu dimensi sampai Einstein mengenalkan pada kita bahwa waktu adalah dimensi. Setelah kita menyadari waktu adalah dimensi, banyak pengetahuan yang dahulu terasa benar, akhirnya kebenarannya hanya di dalam lingkup dan kondisi yang sangat sempit dan tertentu."
(Dikutip dari http://dhammacitta.org/forum/index.php/topic,3310.0.html SINOPSIS e-book "Kompatiologi logika komunikasi empati")
Yang bisa dipatenkan/dipastikan/distandarisasi hanyalah metode untuk membuat orang mendapatkan track memulai perjalanannya seperti yang diberlakukan kepada Ter-Dekon dan Pen-Dekon kompatiologi. Metode itu pun masih bisa dimodifikasi menurut budaya, tempat dan kondisi.
Murid saya "B.W." pernah tinggal di desa yang tidak memiliki supermarket dan mall, maka ia memilih duduk di teras sebuah gubuk di pinggir sawah dan mengadaptasi rumus/metodenya menggunakan beberapa macam permen dalam mengajarkan metode berpikir tsb kepada orang lain.
Ketika saya bertemu lagi dengannya malahan ia bercerita bahwa ia jualan berbagai layanan dengan label psikologi ke beberapa perusahaan karena ia punya lisence-nya, tetapi sebenarnya dia hanya mencari tahu dengan pemahaman kompatiologi yang dimilikinya apa kebutuhan perusahaan saat itu dan cari jalankeluar termurah untuk dapat membantu.
Mendidik dan sekedar menjual suatu layanan adalah tujuan yang berbeda:
* Saat mendidik kita harus membuat si murid paham benar mekanisme sebab-akibat suatu metode sehingga tidak terikat pada doktrin tertulis lagi, bisa mengadaptasikannya ke sutuasi dan kondisi yang dihadapi saat itu; maka dari itu saya dan para pengajar kompatiologi lainnya mendidik kompatiologi tetap dengan menggunakan "The Old Ways" yang merepotkan (Dekon-Kompatiologi dengan berbagai minuman tsb).
* Saat menjual suatu layanan yang dibutuhkan adalah mencari tahu dengan pemahaman kompatiologi yang dimilikinya apa kebutuhan perusahaan saat itu dan cari jalankeluar termurah untuk dapat membantu. Kadang-kadang kelihaian mencari jalan keluar yang tepat dan murah ini membuat orang dianggap sakti, cerdas, dlsb. Saat menjual suatu layanan memang tujuannya agar klien percaya kepada kita dan memilih membeli layanan kita dibanding penjual yang lain; tidak dalam tujuan untuk mendidik.
vincentliong,
Oooh, jadi ternyata untuk alat bantu memahami variable itu bagi diri sendiri dan orang lain yah?! Kalo itu sih, OK juga. Tadinya saya pikir motivasi bodoh lain yang menjanjikan kesuksesan atau kekayaan tanpa usaha atau belajar lebih jauh. ;D
OK deh, terima kasih untuk penjelasannya.
QuoteKini tiba pada pengertian baru, bahwa pengalaman tidak dapat menjadi tolok ukur, tetapi menghasilkan jangkauan variasi yang berskala.
Saya setuju pada point ini. Dengan memahami luasnya jangkauan (range) dari variable (diri sendiri dan orang lain) itu, maka kita memahami pengalaman nyata yang sepertinya bersifat mutlak pun, kadang bisa menipu.
Quote from: Kainyn_Kutho on 01 July 2008, 06:59:44 PM
vincentliong,
Oooh, jadi ternyata untuk alat bantu memahami variable itu bagi diri sendiri dan orang lain yah?! Kalo itu sih, OK juga. Tadinya saya pikir motivasi bodoh lain yang menjanjikan kesuksesan atau kekayaan tanpa usaha atau belajar lebih jauh. ;D
OK deh, terima kasih untuk penjelasannya.
QuoteKini tiba pada pengertian baru, bahwa pengalaman tidak dapat menjadi tolok ukur, tetapi menghasilkan jangkauan variasi yang berskala.
Saya setuju pada point ini. Dengan memahami luasnya jangkauan range dari variable (diri sendiri dan orang lain) itu, maka pengalaman nyata yang sepertinya bersifat mutlak pun, kadang bisa menipu.
Saya juga BT dengan berbagai acara motivasi entah hanya menggunakan label science, psikologi, agama, dlsb. Kebenaran Motivasi hanya jalan selama kondisi yang terjadi ideal, bila kondisi tidak ideal maka apa yang dibahas di motivasi tidak ada yang jalan sebab di dunia ini ada pilihan bebas.
Pada tahun 2002 bulan Januari saya diikutkan sebuah acara motivasi ke Kuala Lumpur Malaysia dengan trainner "T.D.W." (seorang trainner ternama yang saat ini menjadi bintang iklan televisi sebuah produk oli mesin) oleh ayah saya. Saya pergi sendirian tidak ada yang saya kenal, karena saya anak kecil sendirian maka saya diasuh berarai-ramai oleh para peserta yang lain. Salahsatunya sepasang suami isteri; suaminya orang Australia dan isterinya orang Indonesia.
Pada hari ke-2 di sana saya mengikuti satu sesi trainning dimana masing-masing peserta berkelompok bergantian untuk berdiri di atas tumpukan kursi setinggi 1,5 meter, menjatuhkan badan ke belakang dan ditangkap bersama-sama oleh tangan-tangan anggota kelompok yang lain. Kata trainnernya untuk meningkatkan trust. Ada beberapa puluh kelompok dalam satu ballrom hotel yang letaknya di jalan yang sama dengan Petronas Twin Tower. Dalam trainning ini orang yang kenal tidak boleh dalam satu kelompok.
Pada saat trainning berjalan tiba-tiba isterinya sahabat bule Ausi saya itu jatuh dari ketinggian 2 meter, kepala bagian belakangnya langsung kena lantai. Lalu kelompok tsb buyar. Para trainner berdatangan dan garuk-garuk kepala, lalu maju ke panggung melanjutkan trainning dengan semangat, lalu kembali lagi ke tubuh si ibu dan garuk-garuk kepala, alu maju ke panggung melanjutkan trainning dengan semangat.
Kondisi tidak se-ideal yang diharapkan, jadi apa yang harus dilakukan?
Sesuai dengan ajaran mereka tentang positif thingking bahwa segala hal yang negatif harus dibuang atau diabaikan, maka mereka mengangkat pot tanaman dan sekat setinggi 2 meter dari kayu untuk menutupi tubuh si ibu tsb, mirip dech dengan kuburan. Mereka tidak memberitahu suami bule si ibu dan peserta yang lain, katakan saja pingsan atau apa lah. Saya mencoba mencari suami bule si ibu sampai ketemu. Saya dan suami bule si ibu menunggu si ibu yang kepalanya baru terbentur lantai dari ketinggian 2 meter, si ibu pingsan, setelah sadar tidak mampu membau, dan selalu migran selama beberapa tahun.
Saya dan suami bule si ibu minta dipanggilkan ambulance. Dengan alasan bahwa macet, jauh, dlsb (padahal letak hotel di jalan yang sama dengan Petronas Twin Tower di tengah kota) maka 3.5 jam kemudian ambulance baru diperbolehkan masuk melalui dapur ballrom. Para trainner melarang ambulance masuk agar kondisi tetap ideal, mereka menunggu semua peserta kembali ke kamar masing-masing dan tidur.
Ketika saya mau ikut di ambulance ke rumahsakit, saya dilarang. saya diancam bahwa saya nga boleh cerita bahwa si ibu kepalanya terbentur lantai bagian belakang duluan dari ketinggian 2 meter. Saya anak kecil sendirian, maka saya diasuh berarai-ramai oleh para peserta yang lain kalau saya hilang maka situasi akan menjadi ganjil.
2 tahun semenjak kasus tsb saya masih membantu si ibu dan suami bulenya menuntut kasus tsb ke pengadilan, sampai hari ini nga dapat apa-apa. Saya juga tahu bahwa si trainner tidak berniat buruk. Seperti ilmunya mereka hanya tahu yang harus dilakukan selama keadaan masih ideal.
Waw...Perang sebentar lagi akan dimulai...
Moha dan avijja akan muncul.....:)
Semoga manusia tercerahkan dan lebih bijaksana lagi....
Saddhu....Saddhu....Saddhu...:)
Salam,
Riky
Beberapa kali dalam diskusi ini kata "Dhamma" itu keluar. Sampai sekarang saya tidak mengerti apa yang dimaksut dalam penggunakan kata "Dhamma" itu.
Quote from: Riky_dave on 30 June 2008, 09:33:16 PM
[at]Rumput yang bergoyang...
Ada yang merasa dibilang umat Buddhis?:)
Dhamma itu tidak pandang bulu....Dhamma itu tidak butuh sebuah "label" tentang sebuah "agama" maupun sebuah "buku" menuju "kebenaran tertinggi" karena Dhamma itu sendiri adalah Kebenaran....
Salam,
Riky
Jadi mohon dijelaskan apa itu sebenarnya "Dhamma" agar pembicaraan lebih nyambung.
Quote from: nyanadhana on 01 July 2008, 08:33:49 AM
To sandalJepit,
anda yang tidak mengerti pembicaraan kita itu seperti apa. setiap kali ada ajaran uka uka datang tentu analisa terhadap konsistensi Dhamma itu harus dipertanyakan. anda merasa kita menjelek-jelekkan mereka, padahal fakta dijalan merekalah yang dengan kasar mengata-ngatai kita. apakah kita harus kalem seperti lembu?
Vincent Liong di beberapa posting internet pernah menulis "Agama Buddha, Agama (deleted)", apakah kit aharus berpuisi ria memberikan jawaban,bukan demikian, IKT dan MLDD dengan sengaja memutar balikkan semua fakta Dhamma, anda juga merasa it's okay.
Saya mungkin kurang mengerti apa isi kepala kamu, namun setiap debat itu adalah melihat konsistensi lawan dalam mempertahankan pemikirannya,apa sih yang dia pikirkan sehingga dipegang teguh, namun sayang begitu ditambah Dhamma, konsistensi itu runtuh. tidak bisa berkata apa2 hanya bisa berpuisi ria.
Kalo kamu merasa kasihan dengan kita, saya lebih merasa terhina oleh pembelaan kamu terhadap mereka. terhina karena kamu berpartisipasi menginjak Dhamma, terhina oleh postingan kamu di beberapa tempat yang mengatakan rekan2 disini suka mengasari mereka yang baru datang. Malu kamu? saya pikir tidak. disini Forum Dhamma, saya pikir kamu hendaknya masuk ke Forum Gado-Gado Agama,disana anda bisa menambah micca ditthi lebih dalam lagi.
Terima Kasih.
Jadi apakah "Dhamma" yang dimaksut adalah semacam alat nge-test seseorang. Jadi bagaimana cara mengetest sesuatu tsb? Saya belum paham benar, sebab mengetest sesuatu menggunakan sesuatu yang mengetest dan yang di-test bisa menggunakan bahasa yang samasekali berbeda sehingga makin lama makin nga nyambung.
Kalau "Dhamma" yang dimaksut adalah semacam alat nge-test seseorang, lalu apakah alat test bisa diinjak?
Diskusi saya yang terakhir dengan Kainyn_Kutho agak nyambung.
Konsistensi saya adalah pada point tentang tekhik/metode dekon-kompatiologi.
Hal itu pun sulit sekali didiskusikan sebab mendiskusikan sesuatu dengan cara apapun tetap bukanlah sesuatu itu sendiri. Paling-paling asumsi-asumsi lagi jatuh-jatuhnya; asumsi before judgement, asumsi feel, judgement, generalisasi. Masalahnya ngomong perlu bahasa sekedar sesuatu itu sendiri tanpa kegiatan membahas sesuatu maka akan sulit sampai membawa ke sesuatu itu sendiri.
Mau konsisten di asumsi-asumsi atas sesuatu padahal asumsi itu satu diantara sekian banyak sudutpandang. Konsisten pada taraf asumsi-asumsi atas sesuatu hanya bisa jalan kalau yang dibahas adalah suatu doktrin yang tidak bisa diganggu gugat bukan suatu tekhnik/metode.
Jangan membuat pernyataan untuk melencengkan maksud saya.
Tujuan anda selalu jelas bukan untuk berdiskusi tapi UUD dan itu sudah dibuktikan oleh begitu banyak orang yang online, anda selalu mencari musuh dalam setiap berkata-kata. Pada beberapa poin investigasi, kebanyakan anda paling gemar mencari problem dengan orang yang mungkin tidak begitu sependapat. Untuk apa mencari musuh dengan ajaran yang kamu kembangkan?
vincentliong,
Karena sudah disinggung, jadi sekalian dibahas. :)
QuotePada hari ke-2 di sana saya mengikuti satu sesi trainning dimana masing-masing peserta berkelompok bergantian untuk berdiri di atas tumpukan kursi setinggi 1,5 meter, menjatuhkan badan ke belakang dan ditangkap bersama-sama oleh tangan-tangan anggota kelompok yang lain. Kata trainnernya untuk meningkatkan trust.
Saya juga pernah diceritakan mengenai sesi ini. Menurut saya, ini murni kebodohan. Apa dasarnya kita disuruh percaya pada orang yang baru kenal? Motivator2 jaman sekarang memang sering salah menggunakan (abuse) kata "positive thinking" dan membuat orang menjadi (over) Optimistic, serta menyudutkan orang yang mengutarakan kemungkinan buruk sebagai pessimist.
Dalam hidup ini, pada setiap pengambilan keputusan, selalu ada kemungkinan baik dan buruk, yang kemudian dijadikan perhitungan dan antisipasi.
Para over-optimist itu tidak punya kemampuan untuk melihat kemungkinan buruk, ataupun tidak punya keberanian untuk menerima bahwa kemungkinan buruk itu ada. Maka, ketika memang hal buruk yang terjadi, mereka akan berpaling mencari pelarian. Kita lihat:
Quotesaya diancam bahwa saya nga boleh cerita bahwa si ibu kepalanya terbentur lantai bagian belakang duluan dari ketinggian 2 meter. Saya anak kecil sendirian, maka saya diasuh berarai-ramai oleh para peserta yang lain kalau saya hilang maka situasi akan menjadi ganjil.
mereka lari dari tanggung jawab, bahkan lari dari metoda mereka sendiri. Mereka menekankan 'trust', tapi mereka tidak mempercayai (trust) anggota sesinya akan 'menjaga rahasia'. Bahkan mereka juga ber-negative thinking, takut orang melihat situasi menjadi ganjil (tidak positive thinking bahwa orang lain akan melihat itu sebagai baik2 saja). Saya katakan itu sungguh metoda yang tidak berguna dan tidak bertanggung jawab. Mungkin yang membaca bisa mempertimbangkan kembali jika diajak ke sesi motivasi macam itu.
QuoteJadi mohon dijelaskan apa itu sebenarnya "Dhamma" agar pembicaraan lebih nyambung.
Jika anda sudah mengerti apa "Dhamma" itu maka sudah sepantasnya saya bernamaskara didepan anda :)...Sayangnya "Dhamma" yang mungkin anda lihat sudah anda "kembangkan" menjadi "kebenaran sendiri" yang tertutup oleh pandang "salah".....
Semuanya hanyalah konsep...Jika saya menjelaskan Dhamma adalah A sampai Z apakah anda bisa memahaminya hanya dengan kemampuan intelektual anda?
Anda seperti menyuruh saya menjelaskan tentang rasa buah "apel" yang saya makan sedangkan anda tidak pernah memakannya...
Bagaimana saya menjelaskannya kenapa anda?Mungkin saya bisa menjelaskannya kepada anda,tapi apakah anda bisa mengerti?Rasa "apel" itu berada didalam lidah saya dan lidah saya bukan lidah anda...Apakah dengan "kata2" saya anda bisa mengetahui rasa "apel" didalam lidah saya?
Cthnya: Ketika anda benar2 berbahagia,saya ikut berbahagia dengan kebahagian anda..Tapi apakah saya benar2 berbahagia seperti anda?Bisakah anda menjelaskan Kebahagian anda dari A sampai Z?
Mungkin bisa,tapi apakah saya bisa berbahagia tepat persis seperti anda?Tidak mungkin bukan?Lantas bagaimana saya menjelaskan apa itu Dhamma kepada anda?
Salam,
Riky
Tarik ke MMD Om Riky, ;D
Quote from: nyanadhana on 02 July 2008, 08:21:15 AM
Jangan membuat pernyataan untuk melencengkan maksud saya.
Tujuan anda selalu jelas bukan untuk berdiskusi tapi UUD dan itu sudah dibuktikan oleh begitu banyak orang yang online, anda selalu mencari musuh dalam setiap berkata-kata. Pada beberapa poin investigasi, kebanyakan anda paling gemar mencari problem dengan orang yang mungkin tidak begitu sependapat. Untuk apa mencari musuh dengan ajaran yang kamu kembangkan?
Anda belum menjawab pertanyaan saya:
"Agama Buddha, Agama (deleted)"
Sdr Nyanadhana, anda menuduh saya mengatakan bahwa "Agama Buddha, Agama (deleted)". Anda harus membuktikan ucapan anda telah melakukan adu domba atas nama agama. Anda harus memberikan bukti bahwa Vincent Liong telah menulis hal tsb di atas. Bila tidak tentunya anda harus membuat permohonan maaf kepada pihak saya dan para penganut umat Budhist di forum ini.
[at]Vincent...
Saya tahu anda adalah orang yang pintar tapi anda belum cukup bijaksana...:)
Kenapa anda memperdebatkan hal yang tidak berguna itu?
Apakah jika benar dan saudara nyana memberikan pernyataan maaf itu bisa memuaskan anda?
"Seperti pohon tua yang rapuh,ketika ditancapkan sebuah paku dia akan menusuk jauh kedalam...Ketika paku itu dicabut bekas paku didalam pohon tua itu tetap tidak menghilang."
Kenapa anda memperdebatkan "paku" tersebut?Kenapa anda membuat "pohon" itu seperti adalah anda sendiri?Saya rasa anda tidak cukup bodoh untuk menganggap pohon itu adalah anda sendiri bukan?:)
Salam,
Riky
Quote from: Riky_dave on 02 July 2008, 12:40:27 PM
QuoteJadi mohon dijelaskan apa itu sebenarnya "Dhamma" agar pembicaraan lebih nyambung.
Jika anda sudah mengerti apa "Dhamma" itu maka sudah sepantasnya saya bernamaskara didepan anda :)...Sayangnya "Dhamma" yang mungkin anda lihat sudah anda "kembangkan" menjadi "kebenaran sendiri" yang tertutup oleh pandang "salah".....
Semuanya hanyalah konsep...Jika saya menjelaskan Dhamma adalah A sampai Z apakah anda bisa memahaminya hanya dengan kemampuan intelektual anda?
Anda seperti menyuruh saya menjelaskan tentang rasa buah "apel" yang saya makan sedangkan anda tidak pernah memakannya...
Bagaimana saya menjelaskannya kenapa anda?Mungkin saya bisa menjelaskannya kepada anda,tapi apakah anda bisa mengerti?Rasa "apel" itu berada didalam lidah saya dan lidah saya bukan lidah anda...Apakah dengan "kata2" saya anda bisa mengetahui rasa "apel" didalam lidah saya?
Cthnya: Ketika anda benar2 berbahagia,saya ikut berbahagia dengan kebahagian anda..Tapi apakah saya benar2 berbahagia seperti anda?Bisakah anda menjelaskan Kebahagian anda dari A sampai Z?Mungkin bisa,tapi apakah saya bisa berbahagia tepat persis seperti anda?Tidak mungkin bukan?Lantas bagaimana saya menjelaskan apa itu Dhamma kepada anda?
Salam,
Riky
Orang menjadi terbatasi karena memilih menjadi terbatasi; entah anda yang membatasi diri karena mengikat diri dengan definisi "Dhamma" menurut diri anda atau saya yang membatasi diri karena mengikat diri dengan kompatiologi menurut versi saya. Setiap metode memiliki perjalanannya masing-masing seperti orang mengikat diri kepada metode tersebut.
Yang berhak dan mampu memberi 'judge'(penilaian) atas sebuah ciptaan adalah penciptanya. Sedangkan pribadi lain yang tidak berhak hanya mampu berkomentar yang sifatnya separuh kebenaran.
Quote from: karuna_murti on 02 July 2008, 12:49:47 PM
Tarik ke MMD Om Riky, ;D
Sdr Karuna Murti
Kayaknya perlu bongkar-bongkar file yang lama. Diskusi mengenai MMD dengan Hudoyo di maillist Psikologi Transformatif sebelum teror yang diberlakukan kepada keluarga saya, sebelum Hudoyo akhirnya meninggalkan maillist tsb. Pemahaman yang digunakan adalah pemahaman masing-masing (saya dan Hudoyo) dalam taraf pemikiran saat itu. Silahkan klik:
http://groups.yahoo.com/group/psikologi_transformatif/msearch?query=Meditasi+Mengenal+Diri+hudoyo+vincent+liong&pos=40&cnt=10
Quote from: Riky_dave on 02 July 2008, 01:10:54 PM
[at]Vincent...
Saya tahu anda adalah orang yang pintar tapi anda belum cukup bijaksana...:)
Kenapa anda memperdebatkan hal yang tidak berguna itu?
Apakah jika benar dan saudara nyana memberikan pernyataan maaf itu bisa memuaskan anda?
"Seperti pohon tua yang rapuh,ketika ditancapkan sebuah paku dia akan menusuk jauh kedalam...Ketika paku itu dicabut bekas paku didalam pohon tua itu tetap tidak menghilang."
Kenapa anda memperdebatkan "paku" tersebut?Kenapa anda membuat "pohon" itu seperti adalah anda sendiri?Saya rasa anda tidak cukup bodoh untuk menganggap pohon itu adalah anda sendiri bukan?:)
Salam,
Riky
maksudnya, sedikitnya ada klarifikasi bahwa memang vincentliong tidak menjelekkan agama Buddha.
Bisa dipost om vincent? Menarik juga nih, cuma harus subscribe yahoo group dulu :(
Quote from: Riky_dave on 02 July 2008, 01:10:54 PM
[at]Vincent...
Saya tahu anda adalah orang yang pintar tapi anda belum cukup bijaksana...:)
Kenapa anda memperdebatkan hal yang tidak berguna itu?
Apakah jika benar dan saudara nyana memberikan pernyataan maaf itu bisa memuaskan anda?
"Seperti pohon tua yang rapuh,ketika ditancapkan sebuah paku dia akan menusuk jauh kedalam...Ketika paku itu dicabut bekas paku didalam pohon tua itu tetap tidak menghilang."
Kenapa anda memperdebatkan "paku" tersebut?Kenapa anda membuat "pohon" itu seperti adalah anda sendiri?Saya rasa anda tidak cukup bodoh untuk menganggap pohon itu adalah anda sendiri bukan?:)
Salam,
Riky
hehehehehehe
Quote from: Riky_dave on 02 July 2008, 01:10:54 PM
[at]Vincent...
Saya tahu anda adalah orang yang pintar tapi anda belum cukup bijaksana...:)
Kenapa anda memperdebatkan hal yang tidak berguna itu?
Apakah jika benar dan saudara nyana memberikan pernyataan maaf itu bisa memuaskan anda?
"Seperti pohon tua yang rapuh,ketika ditancapkan sebuah paku dia akan menusuk jauh kedalam...Ketika paku itu dicabut bekas paku didalam pohon tua itu tetap tidak menghilang."
Kenapa anda memperdebatkan "paku" tersebut?Kenapa anda membuat "pohon" itu seperti adalah anda sendiri?Saya rasa anda tidak cukup bodoh untuk menganggap pohon itu adalah anda sendiri bukan?:)
Salam,
Riky
Benar pendapat saudara Riky Dave.
Saya sadari bahwa dulu ketika saya belum menjadi dilabel Indigo hidup rasanya lebih ringan, setelah dilabel Indigo hidup menjadi lebih berat. Dulu ketika saya belum membuat Kompatiologi hidup rasanya lebih bebas, setelah dilabel Indigo hidup menjadi tidak bebas lagi. Dulu ketika saya belum menghadapi teror tahun lalu hidup rasanya lebih ringan, setelah menghadapi teror tahun lalu hidup menjadi lebih berat. Tidak ada yang salah dengan Indigo dan Kompatiologi. Saya membangun kompatiologi karena saat itu saya pikir saya akan bebas tetapi akhirnya saya tidak mendapatkan kebebasan itu.
Saya sadar bahwa saya di kondisi tersebut tetapi tidak ada yang salah juga kalau saya memilih untuk tetap di kondisi "deny" dan memilih terikat pada kutukan kebebasan tersebut untuk mencari jawaban-jawaban, solusi-solusi yang belum terjawab. Maskipun hal tersebut kadang-kadang dibayar dengan penderitaan.
Saya kutip dari salahsatu tulisan saya:
"""""""
Sejak Allah menciptakan manusia pertama yaitu; Adam dan Hawa, free choice telah diberikan. Adam dan Hawa telah memiliki pilihan untuk memakan buah yang boleh dimakan dan yang tidak boleh dimakan. Karena Allah maha pengasih maka berjuta-juta pohon di taman itu boleh dimakan, tetapi hanya satu pohon saja yang tidak boleh dimakan.
Lalu TUHAN Allah memberi perintah ini kepada manusia: "Semua pohon dalam taman ini boleh kaumakan buahnya dengan bebas, tetapi pohon pengetahuan tentang yang baik dan yang jahat itu, janganlah kaumakan buahnya, sebab pada hari engkau memakannya, pastilah engkau mati. (Kejadian 2: 16-17)
Kehendak bebas yang tadinya merupakan anugerah, tetapi setelah manusia diusir keluar maka kehendak bebas tadi menjadi kutukan bagi manusia. Pilihan bebas itu sebenarnya menjadi pilihan untuk memilih; yang tidak enak dan tidak enak. Banyak manusia yang tidak menyadari hal ini, sehingga banyak yang ingin memaksimalkan pilihan bebas ini dan tidak bisa membedakan; antara pilihan bebas dan kebebasan sehingga menjadikan orang berlomba-lomba mencari kebebasan dan menganggap kebebasan itu adalah tujuan utama hidupnya. Setelah ia mencapai kebebasan itu hatinya menjadi getir karena melihat bahwa kebebasan dan kehendak bebasnya telah mengutuk dia dan ia tidak bisa memilih pilihan lain selain yang tidak enak dan tidak enak.
Seperti anak-anak yang ingin segera dewasa sebenarnya ia mengira bahwa seorang yang dewasa itu memiliki kebebasan maksimal; tidak usah sekolah, boleh buat keputusan sendiri, boleh mengatur uang sendiri, boleh membeli barang yang diinginkan, boleh punya pacar, dlsb. Tetapi ketika mereka sudah dianggap dewasa, dia baru sadar bahwa masa anak-anaknya jauh lebih indah. Seperti orang yang belum menikah maka ingin menikah, karena ia pikir menikah itu bahagia. Tetapi setelah menikah memang betul ia baru tahu arti bahagia yaitu dulu waktu ia masih bujangan. Ternyata kalau kemampuan seseorang hanya sedikit, maka tuntutan pun hanya sedikit. Tetapi kalau kemampuan banyak maka seseorang akan mendapat tuntutan yang banyak. Saya bingung mengapa orang begitu ingin punya kemampuan yang banyak, memangnya mau bikin susah hidupnya sendiri.
Ketika masih anak-anak karakter seseorang cenderung lebih menonjol daripada kepribadiannya. Ketika menjadi dewasa maka semakin besar tuntutan agar seseorang memunculkan kepribadian yang baik bagi lingkungan sekitarnya, yang sering kali menekan karakternya. Ketika seseorang sadar kehilangan masa kanak-kanaknya yang indah, ia mengidam-idamkan bagaimana membuat kondisi dimana kemampuan banyak tetapi tuntutan sedikit.
...
Karakter sebagai kesatuan fungsional yang khas yang dipakai oleh seseorang untuk bereaksi terhadap semua rangsang (dari dalam dan dari luar) adalah naluri yang sifatnya spontan, yang apa adanya tidak dibuat-buat. Kepribadian apa yang ingin kita tampilkan kepada masyarakat tentang diri kita cenderung diproses dengan kegiatan berpikir dan berlogika yang memakan waktu lebih lama (tidak spontan).
Kegiatan berpikir dan berlogika seseorang terjadi bilamana jumlah data yang diproses jauh lebih sedikit dari kapasitas kemampuan pemerosesan data otak, ketika jumlah data yang diproses lebih banyak atau mendekati kapasitas maksimum kemampuan pemerosesan data otak, maka tidak sempat lagi dilakukan kegiatan berpikir dan berlogika yang memakan lebih banyak waktu, saat itu kegiatan yang terjadi cenderung bersifat spontan, naluri yang cenderung berdasarkan karakter manusia itu sendiri yang khas yang dipakai oleh seseorang untuk bereaksi terhadap semua rangsang (dari dalam dan dari luar).
...
Ada dua cara untuk membuat jumlah data yang diproses mendekati kapasitas maksimum kemampuan pemerosesan data otak; data yang diterima diperbanyak, atau kapasitas maksimum kemampuan pemerosesan data otak yang diperkecil.
""""""""
Zaman dahulu kala, ada seseorang yang berkesempatan mendapat kehidupan dimana pilihannya adalah enak dan enak, dia menyangkal pilihan enak dan enak tersebut lalu ia keluar dan menemukan bahwa; kehidupan selanjutnya adalah pilihan tidak enak dan tidak enak, dia menyangkal pilihan tidak enak dan tidak enak tersebut.
Dia tidak terima bahwa tidak ada pilihan enak dan tidak enak. yang ada hanyalah enak dan enak atau tidak enak dan tidak enak.
Maka dia berusaha membuat beberapa pilihan baru diluar pilihan yang telah ada tersebut.
Wuedaaaannn...
Riky makin maknyusss yah...
Salut....
QuoteSejak Allah menciptakan manusia pertama yaitu; Adam dan Hawa, free choice telah diberikan. Adam dan Hawa telah memiliki pilihan untuk memakan buah yang boleh dimakan dan yang tidak boleh dimakan. Karena Allah maha pengasih maka berjuta-juta pohon di taman itu boleh dimakan, tetapi hanya satu pohon saja yang tidak boleh dimakan.
Lalu TUHAN Allah memberi perintah ini kepada manusia: "Semua pohon dalam taman ini boleh kaumakan buahnya dengan bebas, tetapi pohon pengetahuan tentang yang baik dan yang jahat itu, janganlah kaumakan buahnya, sebab pada hari engkau memakannya, pastilah engkau mati. (Kejadian 2: 16-17)
Kalau mengenai doktrin ini, saya punya pertanyaan menarik. Apakah Allah mahatahu? Jika Ia mahatahu, seharusnya dia sudah tahu bahwa manusia akan melanggar perintah-Nya. Apakah untuk semacam ujian? Di sisi lain dikatakan bahwa "...Allah tidak akan mencobai manusia lebih dari batas kemampuan manusia itu sendiri...", jadi itu sama sekali tidak sejalan.
saya ga perlu mengklarifikasi apa-apa, zaman sudah canggih, nama anda tinggal dimasukkan dalam tulisan Vincent Liong di google juga ,mbah google yang telah memaparkan semua, atau ketika Vincent Liong dan Budha atau buddha..nanti juga akan keluar sendiri.
Anda berani mengancam saya untuk itu yah, saya akan ancam balik kamu untuk gw masukkan di pengadilan. Apa yang kamu perbuat sampai keluarga kamu diteror itu adalah karena kamu sendiri tidak bisa menjaga semua ucapan kamu ,sudah jelas internet adalah tempat orang membaca daris eluruh tempat tapi tetep aja mencari masalah.
Disini,mungkin kamu berpura-pura manis dan saya yang bermain setan disini. Tujuan kamu selalu berbentuk bombardir milis dengan ide kamu. Ga peduli diterima atau tidak diterima, apakah begini cara bertamu ke rumah seseorang dengan masuk, buang hajat, habis itu pergi,dan kalo pemilik marah2 barumulai dijelaskan tujuan nya apa.
Saya tidak peduli member disini akan mendukung kamu atau menyalahi kamu,karena dari awal saya sendiri yang sengaja bermain setan sama kamu. dan satu hal,nama anda ketika diketik di google pun akan keluar kata pencelaan,penipuan, pembohongan, bahkan oleh pihak temen-temen kampus kamu sendiri atau dosen-dosen di kampus kamu.
QuoteOrang menjadi terbatasi karena memilih menjadi terbatasi; entah anda yang membatasi diri karena mengikat diri dengan definisi "Dhamma" menurut diri anda atau saya yang membatasi diri karena mengikat diri dengan kompatiologi menurut versi saya. Setiap metode memiliki perjalanannya masing-masing seperti orang mengikat diri kepada metode tersebut.
Semuanya berasal dari
pikiran masing2...Anda tidak perlu mengkonsepsinya terhadap saya karena saya "anti" terhadap "konsep2"....Jadi sia2 saja lah anda mengkonsepkannya kepada saya:)
Saya sudah katakan anda cukup pintar tapi tidak cukup bijaksana...
Anda sedang bermain2 dengan api anda sendiri...
Yang pada suatu saat api itu yang akan menghanguskan anda...:)
Quote
Yang berhak dan mampu memberi 'judge'(penilaian) atas sebuah ciptaan adalah penciptanya. Sedangkan pribadi lain yang tidak berhak hanya mampu berkomentar yang sifatnya separuh kebenaran.
Tidak ada 1orang pun yang berhak menjudge siapapun....Hanya orang bodoh yang menjudge dirinya benar dan orang lain salah...Orang suci/bijaksana tidak lagi menjudge "benar" dan "salah"
:)
QuoteSaya sadari bahwa dulu ketika saya belum menjadi dilabel Indigo hidup rasanya lebih ringan, setelah dilabel Indigo hidup menjadi lebih berat. Dulu ketika saya belum membuat Kompatiologi hidup rasanya lebih bebas, setelah dilabel Indigo hidup menjadi tidak bebas lagi. Dulu ketika saya belum menghadapi teror tahun lalu hidup rasanya lebih ringan, setelah menghadapi teror tahun lalu hidup menjadi lebih berat. Tidak ada yang salah dengan Indigo dan Kompatiologi. Saya membangun kompatiologi karena saat itu saya pikir saya akan bebas tetapi akhirnya saya tidak mendapatkan kebebasan itu.
Anda terus membandingkan
"dulu" dan
"masa depan"...Anda bagaikan hidup didalam "mimpi" dan terus berharap2/berkhayal akan "masa depan"...Saya rasa jika tulisan anda untuk
menggungah rasa empati dan simpati saya,anda gagal total :)...
Manusia hidup itu bukan untuk dikasihani...
Anda berkata "Dulu sebelum dilabeli" "Setelah dilabeli"
Sekarang saya menanyakan kepada anda,
"Apa bedanya dulu dan setelah dilabeli?"Yang mengkonsepsikannya adalah
ANDA SENDIRI,yang
MERASA ADALAH ANDA SENDIRI....Bukan saya,bukan dia,bukan mereka bukan siapapun juga...Tapi
ANDA SENDIRI,ANDA SENDIRI yang merasa
TERBELENGGU oleh
LABEL INDIGO anda...Saya sudah bilang ANDA TIDAK CUKUP BIJAKSANA...Jika anda CUKUP BIJAKSANA dan MELEPASKAN LABEL itu dan tidak BERKOMAT KAMIT DISINI tentang HIDUP dan PERJUANGAN anda,tentang LABEL anda,MAKA saya MENJAMIN anda akan HIDUP tenang layaknya MANUSIA BIASA...
ANDA MENGANGGAP DIRI ANDA ISTIMEWA PADAHAL ANDA DAN SEMUA MAKHLUK DIBUMI INI ADALAH SAMA.....Salam,
Riky
Quote from: Riky_dave on 02 July 2008, 02:04:19 PM
QuoteOrang menjadi terbatasi karena memilih menjadi terbatasi; entah anda yang membatasi diri karena mengikat diri dengan definisi "Dhamma" menurut diri anda atau saya yang membatasi diri karena mengikat diri dengan kompatiologi menurut versi saya. Setiap metode memiliki perjalanannya masing-masing seperti orang mengikat diri kepada metode tersebut.
Semuanya berasal dari pikiran masing2...Anda tidak perlu mengkonsepsinya terhadap saya karena saya "anti" terhadap "konsep2"....Jadi sia2 saja lah anda mengkonsepkannya kepada saya:)
Saya sudah katakan anda cukup pintar tapi tidak cukup bijaksana...
Anda sedang bermain2 dengan api anda sendiri...
Yang pada suatu saat api itu yang akan menghanguskan anda...:)
Quote
Yang berhak dan mampu memberi 'judge'(penilaian) atas sebuah ciptaan adalah penciptanya. Sedangkan pribadi lain yang tidak berhak hanya mampu berkomentar yang sifatnya separuh kebenaran.
Tidak ada 1orang pun yang berhak menjudge siapapun....Hanya orang bodoh yang menjudge dirinya benar dan orang lain salah...Orang suci/bijaksana tidak lagi menjudge "benar" dan "salah"
:)
QuoteSaya sadari bahwa dulu ketika saya belum menjadi dilabel Indigo hidup rasanya lebih ringan, setelah dilabel Indigo hidup menjadi lebih berat. Dulu ketika saya belum membuat Kompatiologi hidup rasanya lebih bebas, setelah dilabel Indigo hidup menjadi tidak bebas lagi. Dulu ketika saya belum menghadapi teror tahun lalu hidup rasanya lebih ringan, setelah menghadapi teror tahun lalu hidup menjadi lebih berat. Tidak ada yang salah dengan Indigo dan Kompatiologi. Saya membangun kompatiologi karena saat itu saya pikir saya akan bebas tetapi akhirnya saya tidak mendapatkan kebebasan itu.
Anda terus membandingkan "dulu" dan "masa depan"...Anda bagaikan hidup didalam "mimpi" dan terus berharap2/berkhayal akan "masa depan"...Saya rasa jika tulisan anda untuk menggungah rasa empati dan simpati saya,anda gagal total :)...Manusia hidup itu bukan untuk dikasihani...
Anda berkata "Dulu sebelum dilabeli" "Setelah dilabeli"
Sekarang saya menanyakan kepada anda,"Apa bedanya dulu dan setelah dilabeli?"
Yang mengkonsepsikannya adalah ANDA SENDIRI,yang MERASA ADALAH ANDA SENDIRI....
Bukan saya,bukan dia,bukan mereka bukan siapapun juga...Tapi ANDA SENDIRI,ANDA SENDIRI yang merasa TERBELENGGU oleh LABEL INDIGO anda...Saya sudah bilang ANDA TIDAK CUKUP BIJAKSANA...Jika anda CUKUP BIJAKSANA dan MELEPASKAN LABEL itu dan tidak BERKOMAT KAMIT DISINI tentang HIDUP dan PERJUANGAN anda,tentang LABEL anda,MAKA saya MENJAMIN anda akan HIDUP tenang layaknya MANUSIA BIASA...ANDA MENGANGGAP DIRI ANDA ISTIMEWA PADAHAL ANDA DAN SEMUA MAKHLUK DIBUMI INI ADALAH SAMA.....
Salam,
Riky
Orang yang menanam biji salak, tidak akan menuai buah anggur , begitulah proses alami di semesta ini _/\_
Quote from: Kainyn_Kutho on 02 July 2008, 01:44:41 PM
QuoteSejak Allah menciptakan manusia pertama yaitu; Adam dan Hawa, free choice telah diberikan. Adam dan Hawa telah memiliki pilihan untuk memakan buah yang boleh dimakan dan yang tidak boleh dimakan. Karena Allah maha pengasih maka berjuta-juta pohon di taman itu boleh dimakan, tetapi hanya satu pohon saja yang tidak boleh dimakan.
Lalu TUHAN Allah memberi perintah ini kepada manusia: "Semua pohon dalam taman ini boleh kaumakan buahnya dengan bebas, tetapi pohon pengetahuan tentang yang baik dan yang jahat itu, janganlah kaumakan buahnya, sebab pada hari engkau memakannya, pastilah engkau mati. (Kejadian 2: 16-17)
Kalau mengenai doktrin ini, saya punya pertanyaan menarik. Apakah Allah mahatahu? Jika Ia mahatahu, seharusnya dia sudah tahu bahwa manusia akan melanggar perintah-Nya. Apakah untuk semacam ujian? Di sisi lain dikatakan bahwa "...Allah tidak akan mencobai manusia lebih dari batas kemampuan manusia itu sendiri...", jadi itu sama sekali tidak sejalan.
Sudah saya jawab di tulisan tsb;
"Ternyata kalau kemampuan seseorang hanya sedikit, maka tuntutan pun hanya sedikit. Tetapi kalau kemampuan banyak maka seseorang akan mendapat tuntutan yang banyak. Saya bingung mengapa orang begitu ingin punya kemampuan yang banyak, memangnya mau bikin susah hidupnya sendiri."
Quote from: nyanadhana on 02 July 2008, 01:48:08 PM
saya ga perlu mengklarifikasi apa-apa, zaman sudah canggih, nama anda tinggal dimasukkan dalam tulisan Vincent Liong di google juga ,mbah google yang telah memaparkan semua, atau ketika Vincent Liong dan Budha atau buddha..nanti juga akan keluar sendiri.
Anda berani mengancam saya untuk itu yah, saya akan ancam balik kamu untuk gw masukkan di pengadilan. Apa yang kamu perbuat sampai keluarga kamu diteror itu adalah karena kamu sendiri tidak bisa menjaga semua ucapan kamu ,sudah jelas internet adalah tempat orang membaca daris eluruh tempat tapi tetep aja mencari masalah.
Disini,mungkin kamu berpura-pura manis dan saya yang bermain setan disini. Tujuan kamu selalu berbentuk bombardir milis dengan ide kamu. Ga peduli diterima atau tidak diterima, apakah begini cara bertamu ke rumah seseorang dengan masuk, buang hajat, habis itu pergi,dan kalo pemilik marah2 barumulai dijelaskan tujuan nya apa.
Saya tidak peduli member disini akan mendukung kamu atau menyalahi kamu,karena dari awal saya sendiri yang sengaja bermain setan sama kamu. dan satu hal,nama anda ketika diketik di google pun akan keluar kata pencelaan,penipuan, pembohongan, bahkan oleh pihak temen-temen kampus kamu sendiri atau dosen-dosen di kampus kamu.
Memang di dalam society orang yang berfungsi sebagai evil memang diperlukan dan memang saya sudah merasakan posisi anda yang sebagai evil itu. Anda bermain sebagai evil sudah sangat bagus karena menggunakan semua cara-cara dari si evil telah anda gunakan. Saya memang dulu anak yang kurangajar yang buang hajat seenaknya lalu ditinggal pergi, tetapi buktinya dalam forum ini saya datang karena diundang dan tidak pergi begiru saja ketika biarpun ada evil yang marah-marah. Saya tidak berpura-pura manis, memang pada terakhir ini banyak hal yang mengakibatkan pemikiran baru yang mengubah sopan santun saya. Apakah manusia tidak boleh berubah? Jika ada seorang manusia berubah apakah perlu diungkit kesalahan yang lampau.
Biarpun dulu saya adalah anak yang kurangajatr samasekali saya tidak pernah mengatakan "Agama Buddha, Agama (deleted)".
vincentliong,
QuoteSudah saya jawab di tulisan tsb;
"Ternyata kalau kemampuan seseorang hanya sedikit, maka tuntutan pun hanya sedikit. Tetapi kalau kemampuan banyak maka seseorang akan mendapat tuntutan yang banyak. Saya bingung mengapa orang begitu ingin punya kemampuan yang banyak, memangnya mau bikin susah hidupnya sendiri."
kemampuan banyak ataupun sedikit, tidaklah mempengaruhi tuntutan. Contohnya, ada orang yang punya kemampuan dan bisa mendapatkan nafkah cukup, ada yang tidak punya kemampuan dan tidak bisa mendapatkan nafkah cukup. Tetapi siapapun dia, harus menerima tuntutan yang sama ketika harga2 naik, misalnya, yang tentu saja ada orang yang berkemampuan banyak bisa mengikuti, sedangkan yang berkemampuan sedikit, harus menderita.
Kita tidak bisa mengatakan, "jadi orang bodoh saja, nanti harga2 turun".
Nah, kemudian mengenai kehendak bebas, apakah hubungannya dengan kemampuan seseorang? Bukankah ada yang terlahir dengan IQ yang minim yang tidak bisa bebas memilih. Di lain pihak, ada yang terlahir jenius yang bisa memilih banyak hal. Jadi, apa yang menyebabkan Tuhan memberikan porsi kehendak bebas yang berbeda? Apakah berdasarkan kehendak bebas Tuhan atau bagaimana?
DD ku sayang....ingat lagu ini....jagalah hati (pikiran)... jangan kau nodai... ;D
Dosa Mula Citta agi menantimu.... ;D
Kata Bung Napi.... Waspada... waspadalah.... ;D
Motto Bung Medho.... Sati....Sati.... ;D
Maaf... kalo saya terlalu bawel.... _/\_
_/\_ :lotus:
sabar bang nyana...
saya lihat kata2 itu hanyalah caci maki balas membalas antar pemeluk agama yg menjadi member milisnya vincentliong, bukan tulisan bang vincent sendiri... faktanya begitu, tenangkan hati anda... lebih baik fokus ke topiknya, tul gak? ;D
Quote from: Kainyn_Kutho on 02 July 2008, 02:42:11 PM
vincentliong,
QuoteSudah saya jawab di tulisan tsb;
"Ternyata kalau kemampuan seseorang hanya sedikit, maka tuntutan pun hanya sedikit. Tetapi kalau kemampuan banyak maka seseorang akan mendapat tuntutan yang banyak. Saya bingung mengapa orang begitu ingin punya kemampuan yang banyak, memangnya mau bikin susah hidupnya sendiri."
kemampuan banyak ataupun sedikit, tidaklah mempengaruhi tuntutan. Contohnya, ada orang yang punya kemampuan dan bisa mendapatkan nafkah cukup, ada yang tidak punya kemampuan dan tidak bisa mendapatkan nafkah cukup. Tetapi siapapun dia, harus menerima tuntutan yang sama ketika harga2 naik, misalnya, yang tentu saja ada orang yang berkemampuan banyak bisa mengikuti, sedangkan yang berkemampuan sedikit, harus menderita.
Kita tidak bisa mengatakan, "jadi orang bodoh saja, nanti harga2 turun".
Nah, kemudian mengenai kehendak bebas, apakah hubungannya dengan kemampuan seseorang? Bukankah ada yang terlahir dengan IQ yang minim yang tidak bisa bebas memilih. Di lain pihak, ada yang terlahir jenius yang bisa memilih banyak hal. Jadi, apa yang menyebabkan Tuhan memberikan porsi kehendak bebas yang berbeda? Apakah berdasarkan kehendak bebas Tuhan atau bagaimana?
Dalam masalah nafkah ekonomi yang menentukan adalah keterampilan, kejujuran dan kepercayaan masyarakat terhadap dirinya. Bukan masalah kemampuan atau kepandaian.
Mengenai kehendak bebas memang tidak ada hubungannya. Kehendak bebas itu kesempatan untuk memilih bagi setiap orang. Selama orang masih mempunyai kesempatan memilih maka orang itu masih mempunyai kebebasan. Memang orang yang dengan IQ minim bukan mereka tidak memiliki pilihan tetapi semakin sedikit pilihannya. Kehidupan seseorang dengan IQ yang rendah akan lebih menyenangkan daripada orang yang jenius karena ia dituntut lebih sedikit oleh masyarakat.
Gapapa, memang aku lagi bermain setan sama si VL ini biar kebuka topengnya ntar, datang ke sini cuman buat cari dukungan.....well.setidaknya member disini bukan member buta yang gampang dihasut hasut. saya pikir manusia memang bisa berubah tapi sifat alami selalu akan ada dan hanya menunggu waktu kebangkitannya kembali.
Muka - muka manis bisa ditampilkan disini namun sebetulnya anda ingin meng enhance ilmu kompatiologi anda sehingga tampaknya agama Buddha juga mendukung cara pemikiran anda.
Thanks , Dhamma itu memang luas dan bisa dimiliki gratis oleh siapa saja tapi sekali lagi ketika usaha menyopet,mencoreng dan mensabotase, tidak akan saya ampuni.
QuoteDalam masalah nafkah ekonomi yang menentukan adalah keterampilan, kejujuran dan kepercayaan masyarakat terhadap dirinya. Bukan masalah kemampuan atau kepandaian.
Mengenai kehendak bebas memang tidak ada hubungannya. Kehendak bebas itu kesempatan untuk memilih bagi setiap orang. Selama orang masih mempunyai kesempatan memilih maka orang itu masih mempunyai kebebasan. Memang orang yang dengan IQ minim bukan mereka tidak memiliki pilihan tetapi semakin sedikit pilihannya. Kehidupan seseorang dengan IQ yang rendah akan lebih menyenangkan daripada orang yang jenius karena ia dituntut lebih sedikit oleh masyarakat.
Tentu saja keterampilan ini sangat bergantung pada kemampuan dan kepandaian, yang biasanya juga ditentukan oleh kelahiran seseorang.
Ya, saya memang tidak mengatakan tidak ada pilihan bagi orang ber-IQ minim, tetapi mereka memiliki (jauh) lebih sedikit pilihan, yang membuat saya bertanya-tanya kekokohan doktrin ini, jika disandingkan dengan kepercayaan Tuhan adalah Mahaadil.
Begitu pula (terlepas dari opini saya tentang yang mana lebih enak antara jenius dan idiot,) orang tidak bisa memilih terlahir menjadi jenius ataupun idiot. Di sini tidak ada kehendak bebas, yang ada adalah telah ditentukan oleh Tuhan.
Quote from: nyanadhana on 02 July 2008, 03:04:52 PM
Gapapa, memang aku lagi bermain setan sama si VL ini biar kebuka topengnya ntar, datang ke sini cuman buat cari dukungan.....well.setidaknya member disini bukan member buta yang gampang dihasut hasut. saya pikir manusia memang bisa berubah tapi sifat alami selalu akan ada dan hanya menunggu waktu kebangkitannya kembali.
Muka - muka manis bisa ditampilkan disini namun sebetulnya anda ingin meng enhance ilmu kompatiologi anda sehingga tampaknya agama Buddha juga mendukung cara pemikiran anda.
Thanks , Dhamma itu memang luas dan bisa dimiliki gratis oleh siapa saja tapi sekali lagi ketika usaha menyopet,mencoreng dan mensabotase, tidak akan saya ampuni.
OK Bos, my friend.
Quote from: Kainyn_Kutho on 02 July 2008, 03:08:11 PM
QuoteDalam masalah nafkah ekonomi yang menentukan adalah keterampilan, kejujuran dan kepercayaan masyarakat terhadap dirinya. Bukan masalah kemampuan atau kepandaian.
Mengenai kehendak bebas memang tidak ada hubungannya. Kehendak bebas itu kesempatan untuk memilih bagi setiap orang. Selama orang masih mempunyai kesempatan memilih maka orang itu masih mempunyai kebebasan. Memang orang yang dengan IQ minim bukan mereka tidak memiliki pilihan tetapi semakin sedikit pilihannya. Kehidupan seseorang dengan IQ yang rendah akan lebih menyenangkan daripada orang yang jenius karena ia dituntut lebih sedikit oleh masyarakat.
Tentu saja keterampilan ini sangat bergantung pada kemampuan dan kepandaian, yang biasanya juga ditentukan oleh kelahiran seseorang.
Ya, saya memang tidak mengatakan tidak ada pilihan bagi orang ber-IQ minim, tetapi mereka memiliki (jauh) lebih sedikit pilihan, yang membuat saya bertanya-tanya kekokohan doktrin ini, jika disandingkan dengan kepercayaan Tuhan adalah Mahaadil.
Begitu pula (terlepas dari opini saya tentang yang mana lebih enak antara jenius dan idiot,) orang tidak bisa memilih terlahir menjadi jenius ataupun idiot. Di sini tidak ada kehendak bebas, yang ada adalah telah ditentukan oleh Tuhan.
Bro Kainyn... Udah pernah nonton Film (kisah nyata)
"Beautiful Mind"?
Kalo udah nonton film itu... orang tidak akan memilih sebagai "jenius" lho....
_/\_ :lotus:
Sang Buddha jenius ngak? ^-^
Lily W,
Udah. Itu film yang sangat bagus. Tapi itu 'kan Schizophrenia, dan tidak ada sangkut pautnya dengan jenius atau tidak. :)
Memang nasibnya cukup tragis. Dalam kisah nyatanya, kalau tidak salah, istrinya tidak kembali (tidak semanis di film), tetapi memang teori matematikanya akhirnya diakui.
Bukankah Kejeniusannya itu yg mempengaruhi timbul penyakit itu? cmiiw
_/\_ :lotus:
Lily W,
Bukan. Schizophrenia juga bisa muncul pada orang biasa.
Sama seperti sebagian (sekitar 10%) orang Autis memiliki kemampuan luar biasa dalam bidang tertentu (istilahnya 'savant'), tetapi kemampuan itu tidak menyebabkan autisme dan autisme juga tidak selalu menyebabkan orang memiliki kemampuan itu. Dan 'savant' inipun bisa terjadi pada orang biasa yang tidak ada autisme.
Quote from: Kainyn_Kutho on 02 July 2008, 03:08:11 PM
QuoteDalam masalah nafkah ekonomi yang menentukan adalah keterampilan, kejujuran dan kepercayaan masyarakat terhadap dirinya. Bukan masalah kemampuan atau kepandaian.
Mengenai kehendak bebas memang tidak ada hubungannya. Kehendak bebas itu kesempatan untuk memilih bagi setiap orang. Selama orang masih mempunyai kesempatan memilih maka orang itu masih mempunyai kebebasan. Memang orang yang dengan IQ minim bukan mereka tidak memiliki pilihan tetapi semakin sedikit pilihannya. Kehidupan seseorang dengan IQ yang rendah akan lebih menyenangkan daripada orang yang jenius karena ia dituntut lebih sedikit oleh masyarakat.
Tentu saja keterampilan ini sangat bergantung pada kemampuan dan kepandaian, yang biasanya juga ditentukan oleh kelahiran seseorang.
Ya, saya memang tidak mengatakan tidak ada pilihan bagi orang ber-IQ minim, tetapi mereka memiliki (jauh) lebih sedikit pilihan, yang membuat saya bertanya-tanya kekokohan doktrin ini, jika disandingkan dengan kepercayaan Tuhan adalah Mahaadil.
Begitu pula (terlepas dari opini saya tentang yang mana lebih enak antara jenius dan idiot,) orang tidak bisa memilih terlahir menjadi jenius ataupun idiot. Di sini tidak ada kehendak bebas, yang ada adalah telah ditentukan oleh Tuhan.
Konsep keadilan adalah: Yang diberi banyak dituntut banyak, yang diberi sedikit dituntut sedikit. Sama rata itu konsep dari keadilan manusia yang tercemar oleh ide komunisme. Apakah presiden dan tukang kebun yang tuntutannya berbeda apakah adil jika disamakan upahnya.
Quote from: Kainyn_Kutho on 02 July 2008, 03:55:50 PM
Lily W,
Bukan. Schizophrenia juga bisa muncul pada orang biasa.
Sama seperti sebagian (sekitar 10%) orang Autis memiliki kemampuan luar biasa dalam bidang tertentu (istilahnya 'savant'), tetapi kemampuan itu tidak menyebabkan autisme dan autisme juga tidak selalu menyebabkan orang memiliki kemampuan itu. Dan 'savant' inipun bisa terjadi pada orang biasa yang tidak ada autisme.
OK.... saya udah mengerti...
Kata temanku...Schizophrenia itu juga bisa terjadi sama orang yang lagi mengkonsumsi narkoba.
Anumodana atas penjelasannya... _/\_
_/\_ :lotus:
QuoteKonsep keadilan adalah: Yang diberi banyak dituntut banyak, yang diberi sedikit dituntut sedikit. Sama rata itu konsep dari keadilan manusia yang tercemar oleh ide komunisme. Apakah presiden dan tukang kebun yang tuntutannya berbeda apakah adil jika disamakan upahnya.
Bukannya agama yang mencemarkan konsep keadilan yang logis?
Masalahnya ada orang yang mau jadi presiden, tetapi hanya mampu jadi tukang kebun.
Di lain pihak ada orang cuma mampu jadi tukang kebun, tapi bisa jadi presiden hanya karena kolusi.
Lagipula menjadi presiden dan tukang kebun adalah setelah dia memilih pekerjaan, tuntuan dan upahnya. Sedangkan keadilan yang saya tanyakan adalah yang tidak bisa dipilih, misalnya:
1. terlahir di negara perang, mengalami cacad sejak bayi karena bom
2. terlahir di negara damai, di keluarga orang kaya
Bagaimana perbedaan tuntutannya?
QuoteKata temanku...Schizophrenia itu juga bisa terjadi sama orang yang lagi mengkonsumsi narkoba.
Ya, halusinasinya macem2, sepertinya schizophrenia salah satunya.
Yang umum kita sebut sebagai 'gila' itu juga adalah schizophrenia, tetapi dalam skala keparahan yang berbeda saja.
_/\_
jadi inget film fight club-ny brad pitt
Quote from: Edward on 02 July 2008, 04:18:06 PM
jadi inget film fight club-ny brad pitt
Kalo itu, lebih ke MPD (Multiple Personality Disorder), sama seperti film Identity.
Quote from: Kainyn_Kutho on 02 July 2008, 04:09:27 PM
QuoteKonsep keadilan adalah: Yang diberi banyak dituntut banyak, yang diberi sedikit dituntut sedikit. Sama rata itu konsep dari keadilan manusia yang tercemar oleh ide komunisme. Apakah presiden dan tukang kebun yang tuntutannya berbeda apakah adil jika disamakan upahnya.
Bukannya agama yang mencemarkan konsep keadilan yang logis?
Masalahnya ada orang yang mau jadi presiden, tetapi hanya mampu jadi tukang kebun.
Di lain pihak ada orang cuma mampu jadi tukang kebun, tapi bisa jadi presiden hanya karena kolusi.
Lagipula menjadi presiden dan tukang kebun adalah setelah dia memilih pekerjaan, tuntuan dan upahnya. Sedangkan keadilan yang saya tanyakan adalah yang tidak bisa dipilih, misalnya:
1. terlahir di negara perang, mengalami cacad sejak bayi karena bom
2. terlahir di negara damai, di keluarga orang kaya
Bagaimana perbedaan tuntutannya?
Andaikan seorang tuan yang sangat kaya lalu pergi ke kebun raya bogor. Di depan sana ada 1000 pengemis berderet menunggu sedekah. Lalu tuan itu memberikan sedekah ke beberapa pengemis diantara 1000 pengemis. Biarpun tuan itu membawa uang yang lebih dari cukup untuk memberikan uang kepada 1000 pengemis itu, pasti ia tidak akan memberikan uang itu pada setiap pengemis. Tentu dia memiliki kebijaksanaan terhadap siapa pengemis yang akan diberi dan yang tidak perlu diberi.
Ketika tuan itu tiba memberi uang kepada seorang pengemis yang muda, pengemis yang muda itu berdiri dan berkata;"Mengapa tuan tidak memberikan uang itu ke pengemis yang duduk disamping saya?" Ada tiga kemungkinan yang tuan tsb akan lakukan:
1. Mungkin tuan tersebut tidak menghiraukan omongan anak muda ini dan melanjutkan membagi uang.
2. Bisa saja tidak jadi memberikan uang tsb kepada yang muda tadi, tetapi memberikannya kepada yang duduk disamping si pemuda itu.
3. Bisa saja tuan itu bertanya;"Apa hak kamu mempertanyakan kebijaksanaan saya, coba tanya ke pengemis tua yang buta itu, apakah saya tidak adil?"
4. Bisa saja tuan itu berkata;"Mengapa kamu sendiri yang sudah saya beri uang tidak rela membagikan uang yang sudah saya berikan kepada kamu kepada pengemis yang duduk disamping kamu yang tidak saya beri?"
Kita sebagai ciptaan tidak akan mampu mengerti kebijaksanaan dari sang pencipta. Tetapi yang kita tahu bahwa kalau kita diberi sesuatu yang lebih oleh pencipta maka tugas kita membagikan kepada yang kekurangan.
Jika kita mampu mengerti dengan otak kita yang kecil ini tentang kebijaksanaan dari sang pencipta, maka sang pencipta tidaklah lebih besar dari otak kita yang kecil ini.
QuoteAndaikan seorang tuan yang sangat kaya lalu pergi ke kebun raya bogor. Di depan sana ada 1000 pengemis berderet menunggu sedekah. Lalu tuan itu memberikan sedekah ke beberapa pengemis diantara 1000 pengemis. Biarpun tuan itu membawa uang yang lebih dari cukup untuk memberikan uang kepada 1000 pengemis itu, pasti ia tidak akan memberikan uang itu pada setiap pengemis. Tentu dia memiliki kebijaksanaan terhadap siapa pengemis yang akan diberi dan yang tidak perlu diberi.
Nah, itu dia dari awal saya katakan bahwa manusia tidak punya kehendak bebas. Yang berkehendak bebas adalah Tuhan dalam membagi-bagikan berkat (yang jikapun adil atau tidak adil, otak kecil kita tidak akan bisa mempertanyakan kebijaksanaan-Nya).
Kemudian lagi manusia mendapatkan kemampuan yang berbeda. Seperti dalam kisah tadi, si pengemis yang sudah 'dapat' jatah, bisa menggunakannya untuk diri sendiri atau diberikan kepada pengemis yang dianggap lebih membutuhkan. Tapi, pengemis yang tidak dapat 'jatah', kehendak bebasnya hanyalah untuk menggigit jari atau tidak menggigit jari.
Dan tentu saja dalam versi agama, itu disebut keadilan Tuhan yang tidak bisa dijangkau pikiran. Berbeda dengan paham komunisme.
QuoteTetapi yang kita tahu bahwa kalau kita diberi sesuatu yang lebih oleh pencipta maka tugas kita membagikan kepada yang kekurangan.
Lalu tugasnya yang kekurangan, ngapain? mengemis? ;D
QuoteJika kita mampu mengerti dengan otak kita yang kecil ini tentang kebijaksanaan dari sang pencipta, maka sang pencipta tidaklah lebih besar dari otak kita yang kecil ini.
Jka sang pencipta begitu bijaksana, tentu Dia tidak akan menyatakan keadilan dengan cara yang tidak bisa dimengerti ciptaan-Nya. ;D
[at] Vincent Liong:
Apakah anda 'yakin' akan adanya Sang Pencipta, yg Maha Kuasa, Maha Penyayang dan Maha Adil?
Diskusi yang hanya akan menambah "debu"....:)
Salam,
Riky
(https://forum.dhammacitta.org/proxy.php?request=http%3A%2F%2Fi277.photobucket.com%2Falbums%2Fkk51%2Fmushroom_kick%2Fmonkey38.gif&hash=fe793701faff5be686fd93d29790928f50ebc84a)
Quote from: willibordus on 02 July 2008, 06:36:53 PM
[at] Vincent Liong:
Apakah anda 'yakin' akan adanya Sang Pencipta, yg Maha Kuasa, Maha Penyayang dan Maha Adil?
Sekian tahun lamanya saya berusaha keras untuk menyangkal keberadaan Sang Pencipta, yg Maha Kuasa, Maha Penyayang dan Maha Adil, karena itulah saya berusaha mulai dari menulis, hingga akhirnya bikin kompatiologi yang berpusat pada "saya/aku" pada masing-masing pribadi.
Yang menjadi masalah, ternyata ada mekanisme dalam mental saya yang ternyata membutuhkan hal yang berusaha saya sangkal tsb.
1. Ada mekanisme pelepasan ketegangan "klimaks" itu sebabnya saya membutuhkan pilihan yang enak dan tidak enak bukan enak dan enak atau tidak enak dan tidak enak.
2. Seperti kata Karl Marx bahwa agama itu "candu masyarakat". Kok saya memerlukan yang namanya meyakini sesuatu, memiliki pengharapan terhadap sesuatu yang tidak kelihatan.
3. Kok ada yang namanya kasih yang kalau saya telah memilikinya baru saya bisa memancarkannya kepada orang lain, lalu kalau orang lain mendapatkannya kok kasih yang ada di dalam diri saya bisa berkembang. Jadi bisa seperti putaran yang makin lama makin membesar tak terbatas.
Ketika saya mau menulis tulisan mengenai Adam dan Hawa seperti biasa saya bertanya pada sahabat-sahabat saya yang ahli di bidangnya, salahsatunya bapak "J.S." yang ahli dalam agama ka****k, dia malah komentar ke saya bahwa; Apakah Adam dan Hawa itu benar-benar ada? Yang penting bagi dia bahwa keberadaan cerita Adam dan Hawa membantu kita memahami manusia seperti Yesus suka bicara perumpamaan-perumpamaan.
Seperti yang saya tulis di e-book Kompatiologi Logika Komunikasi Empati halaman 33 / Posisi Kompatiologi dalam ranah Sumberdaya Manusia;
"Pada awalnya saya sempat berpikir bahwa dekon-kompatiologi dapat mengakibatkan orang kehilangan agama, keyakinan, kepercayaan dan segala label-labelnya. Saya sempat kahwatir tentang masalah-masalah yang bisa saja timbul bila terjadi demikian. Ketika saya masuk ke pengamatan terhadap kondisi terdekon pasca dekon-kompatiologi, rupanya yang terjadi berbeda dengan yang saya perkirakan. Pasca dekon-kompatiologi, para terdekon justru berusaha mendalami agama, keyakinan & kepercayaan-nya sendiri-sendiri dengan lebih mendalam; tidak bisa dipengaruhi dan juga tidak ingin mempengaruhi orang lain dalam hal agama, keyakinan & kepercayaan tersebut; Sebab mereka menganggap agama, keyakinan & kepercayaan sebagai proses pendalaman identitas diri sendiri, seperti orang membutuhkan bahasa untuk berkomunikasi dan membutuhkan budaya untuk memiliki identitas dalam bermasyarakat."
Jadi buat saya meyakini apa yang disebut Sang Pencipta, yg Maha Kuasa, Maha Penyayang dan Maha Adil adalah bagian dari kebutuhan mental. Akhirnya saya nyerah juga dari penyangkalan saya...
...
Zaman dahulu kala, ada seseorang yang berkesempatan mendapat kehidupan dimana pilihannya adalah enak dan enak, dia menyangkal pilihan enak dan enak tersebut lalu ia keluar dan menemukan bahwa; kehidupan selanjutnya adalah pilihan tidak enak dan tidak enak, dia menyangkal pilihan tidak enak dan tidak enak tersebut.
Dia tidak terima bahwa tidak ada pilihan enak dan tidak enak. yang ada hanyalah enak dan enak atau tidak enak dan tidak enak.
Maka dia berusaha membuat beberapa pilihan baru diluar pilihan yang telah ada tersebut.
(NOTE: Siapakah dia? Inisialnya: "S.G." sudah bisa menebak khan... Lalu apakah pilihan-pilihan baru diluar pilihan yang telah ada tersebut?)
#-o #-o #-o
Pusing bro..Bahasamu terlalu sulit dimengerti...Intinya sulit ditangkap..Cma nangkap dikit2..
Begini Bro, yang mo saya tanyain, mengapa menurut bro si mental membutuhkan pegangan? Jadi si tuhan ini hanyalah produk yang diciptakan oleh mental untuk menyenangkan mental?
Jadi keinget cerita Final Fantasy X... ^-^ Faith ,menciptakan dunia khayalan yang akhirnya dunia khayalannya menjadi sangat nyata, dan menutupi kenyataan sebenarnya bahwa faith itu hanya tertidur dan bermimpi... ^-^
Ow iya, S.G itu siapa? Apa maksudnya enak atau enak, tidak enak atau tidak enak, dan enak atau tidak enak?
Hauhahahaha....ane main Final Fantasy X,sepertinya semua orang terjebak dalam pemikiran sebuah RPG mengenai Sin dan Faith. tuh game bisa menjawab kekonyolan seseorang dalam pola pikir,hauahauhauha.....Btw, si Tidus habis loncat trus ilang kemana yaph? suwe pas lagi nonton FMVnya tiba2 mati listrik zzzzt....jadi mesti main ulang gara-gara memory card ane jadi bermasalah... PLN oh PLN kezamnya dikau....
QuoteSekian tahun lamanya saya berusaha keras untuk menyangkal keberadaan Sang Pencipta, yg Maha Kuasa, Maha Penyayang dan Maha Adil, karena itulah saya berusaha mulai dari menulis, hingga akhirnya bikin kompatiologi yang berpusat pada "saya/aku" pada masing-masing pribadi.
Wah, ini mirip dengan saya, tapi di sisi satu lagi. Bertahun-tahun saya berusaha percaya keberadaan Sang Pencipta, Mahakuasa, Mahakasih dan Mahaadil sampai akhirnya saya menyerah karena untuk itu, saya harus membuang logika saya.
Quote
Zaman dahulu kala, ada seseorang yang berkesempatan mendapat kehidupan dimana pilihannya adalah enak dan enak, dia menyangkal pilihan enak dan enak tersebut lalu ia keluar dan menemukan bahwa; kehidupan selanjutnya adalah pilihan tidak enak dan tidak enak, dia menyangkal pilihan tidak enak dan tidak enak tersebut.
Dia tidak terima bahwa tidak ada pilihan enak dan tidak enak. yang ada hanyalah enak dan enak atau tidak enak dan tidak enak.
Maka dia berusaha membuat beberapa pilihan baru diluar pilihan yang telah ada tersebut.
Wah, kisahnya keliru tuh. Dia bukan memilih kehidupan "enak dan tidak enak", tetapi melihat bahwa segala sesuatu yang dibatasi oleh dualisme "enak", pasti akan menjadi "tidak enak", dan sebaliknya, karena terkena hukum perubahan. Maka dia mencari jalan di atas "enak dan tidak enak" dan di atas "bukan enak dan bukan juga tidak enak".
Quote from: Edward on 03 July 2008, 03:22:08 AM
#-o #-o #-o
Pusing bro..Bahasamu terlalu sulit dimengerti...Intinya sulit ditangkap..Cma nangkap dikit2..
Begini Bro, yang mo saya tanyain, mengapa menurut bro si mental membutuhkan pegangan? Jadi si tuhan ini hanyalah produk yang diciptakan oleh mental untuk menyenangkan mental?
Jadi keinget cerita Final Fantasy X... ^-^ Faith ,menciptakan dunia khayalan yang akhirnya dunia khayalannya menjadi sangat nyata, dan menutupi kenyataan sebenarnya bahwa faith itu hanya tertidur dan bermimpi... ^-^
Ow iya, S.G itu siapa? Apa maksudnya enak atau enak, tidak enak atau tidak enak, dan enak atau tidak enak?
Mekanisme mentalnya intinya 3: Iman Pengharapan dan Kasih.
"Maka dia berusaha membuat beberapa pilihan baru diluar pilihan yang telah ada tersebut."(yg dialami 'S.G.')
Pilihan barunya adalah "pengharapan" akan nirwana atau mungkin lepas dari siklus hidup dan mati (harap koreksi kalau saya salah). "Kasih" yang dipancarkannya kepada orang lain lalu diterima orang lain menimbulkan penambahan rasa bahagia pada diri sendiri sehingga terjadi siklus pertambahan rasa bahagia yang tidak ada habisnya. "Iman"-nya adalah tercapainya range/jangkauan pengalaman perasaan dari paling enak sampai paling tidak enak. Hal-hal ini dicapai dengan menyangkal banyak hal kecuali keberadaan diri sendiri dan meditasi.
Enak dan enak. Pembandingnya enak adalah enak, jadi sama saja tidak ada pembanding/variasi.
Tidak enak dan tidak enak. Pembandingnya tidak enak adalah tidak enak, jadi sama saja tidak ada pembanding/variasi.
Enak dan tidak enak. Pembandingnya enak adalah tidak enak, antara enak dan tidak enak terdapat suatu range (jangkauan) yang dicapai. Misalnya kalau dalam matematika saya menulis: 1 < 10 maka ada ruangan antara 1 dan 10 yang jangkauannya sebesar 9.
Misalnya seekor anjing memakan dog food yang sama setiap hari (tidak diberi makanan yang lain), lalu tiba-tiba tuannya menjatuhkan sebuah bakso ikan. Maka bakso ikan tsb memberikan pembanding antara dog food dan bakso ikan. Meskipun hanya sesekali pengalaman bakso ikan tsb ia alami tetapi sangat berarti karena memberikan range/jangkauan perbedaan antara pengalaman makan dog food dan makan bakso ikan.
"S.G." itu "S.B.". Selain cara yang ditempuh si "S.G." ada banyak pribadi lain yang menemukan caranya sendiri dalam mengakali problema "Mekanisme mentalnya intinya 3: Iman Pengharapan dan Kasih" dengan caranya masing-masing.
Pilihan cara yang 'saya' (Vincent Liong) pakai cenderung menggunakan minuman tidak menggunakan meditasi, sebab meminum minuman adalah pengalaman ke dalam diri beda dengan pendengaran, penciuman, pengelihatan, perabaan, dlsb yang sifatnya pengalaman ke luar diri. Intinya asal tercapai range/jangkauan/variasi pengalaman pribadi. Hasilnya mirip-mirip karena permasalahan yang ingin dijawab itu-itu saja, penjelasan dan sudutpandang dalam memperlakukan Iman Pengharapan dan Kasih bisa berbeda-beda.
Saya memilih cara ini karena sulit melakukan quality control dalam mengajarkan meditasi sebab siapa tahu isi hati setiap orang, siapa tahu dia mengartikan proses bimbingan secara benar atau salah. Pengalaman pengecapan masih lebih mudah dibuat quality control-nya karena pengalamannya adalah pengalaman fisikal, bukan pengalaman pikiran yang tidak memiliki ketetapan karena bisa berubah dan dimanipulasi oleh pribadi itu sendiri tanpa disadari.
"Iman Pengharapan dan Kasih"
(note: masing-masing dari anda juga bisa melakukan pencarian tentang rumus apa yang mau anda gunakan untuk mengakali permasalahan mental ini. tidak menjadi masalah cara mana yang anda pakai asal dirasa cocok bagi diri anda. Tidak setiap cara diperuntukkan untuk semua orang.)
Quote"S.G." itu "S.B.". Selain cara yang ditempuh si "S.G." ada banyak pribadi lain yang menemukan caranya sendiri dalam mengakali problema "Mekanisme mentalnya intinya 3: Iman Pengharapan dan Kasih" dengan caranya masing-masing.
Keliru lagi. S.G. ini tidak menggunakan iman. S.G. ini menggunakan pembuktian dan realisasi kebenaran apa adanya, bukan percaya akan sesuatu yang diyakini sebagai benar.
Kalau dibilang menggunakan "kasih", "kasih" yang seperti apa? Dalam ajaran anda saja, kasih itu dibagi menjadi 4 (Agape, Storge, Philia dan Eros), yang tiga di antaranya (kecuali Agape) itu dalam doktrin S.G. ini termasuk dalam piyappiya (kasih yang berupa kemelekatan). Agape ini dikatakan tidak bersyarat dan tidak terjelaskan, dan saya juga belum pernah menemukan contohnya. Dalam doktrin S.G. ini, kasih yang bukan piyappiya dibagi menjadi 3: metta, karunna dan mudita. Kesemuanya adalah tanpa syarat, tetapi karunna dan mudita adalah terkondisi oleh objek.
Kalau dibilang pengharapan, ini lebih tidak nyambung lagi. Ajaran S.G. ini tidak bertumpu pada pengharapan di masa depan (yang belum tentu datang), tetapi pada "hidup saat ini".
QuoteMisalnya seekor anjing memakan dog food yang sama setiap hari (tidak diberi makanan yang lain), lalu tiba-tiba tuannya menjatuhkan sebuah bakso ikan. Maka bakso ikan tsb memberikan pembanding antara dog food dan bakso ikan. Meskipun hanya sesekali pengalaman bakso ikan tsb ia alami tetapi sangat berarti karena memberikan range/jangkauan perbedaan antara pengalaman makan dog food dan makan bakso ikan.
Ini salah, dan sudah menyalahi kompatiologi sendiri. Anjing memakan dog food yang sama di pagi hari dan sore hari adalah sudah merupakan pembanding, sebab dimakan dalam waktu yang berbeda. Jadi itu adalah Subjektif (pada si anjing), bukan objektif pada makanan.
Jika dilihat dari psikologi kepribadian, seseorang yang memiliki sindrom bipolar (manic - depresif), memiliki range yang sangat-sangat jauh terhadap satu objek, bahkan tanpa pembanding dengan objek lainnya.
Jadi sebetulnya variasi feel (terutama terhadap yang sifatnya bergantung pada pikiran) yang paling dominan itu ada dalam "subjek", bukan pada "objek".
Quote from: Kainyn_Kutho on 03 July 2008, 09:06:27 AM
Quote"S.G." itu "S.B.". Selain cara yang ditempuh si "S.G." ada banyak pribadi lain yang menemukan caranya sendiri dalam mengakali problema "Mekanisme mentalnya intinya 3: Iman Pengharapan dan Kasih" dengan caranya masing-masing.
Keliru lagi. S.G. ini tidak menggunakan iman. S.G. ini menggunakan pembuktian dan realisasi kebenaran apa adanya, bukan percaya akan sesuatu yang diyakini sebagai benar.
Kalau dibilang menggunakan "kasih", "kasih" yang seperti apa? Dalam ajaran anda saja, kasih itu dibagi menjadi 4 (Agape, Storge, Philia dan Eros), yang tiga di antaranya (kecuali Agape) itu dalam doktrin S.G. ini termasuk dalam piyappiya (kasih yang berupa kemelekatan). Agape ini dikatakan tidak bersyarat dan tidak terjelaskan, dan saya juga belum pernah menemukan contohnya. Dalam doktrin S.G. ini, kasih yang bukan piyappiya dibagi menjadi 3: metta, karunna dan mudita. Kesemuanya adalah tanpa syarat, tetapi karunna dan mudita adalah terkondisi oleh objek.
Kalau dibilang pengharapan, ini lebih tidak nyambung lagi. Ajaran S.G. ini tidak bertumpu pada pengharapan di masa depan (yang belum tentu datang), tetapi pada "hidup saat ini".
QuoteMisalnya seekor anjing memakan dog food yang sama setiap hari (tidak diberi makanan yang lain), lalu tiba-tiba tuannya menjatuhkan sebuah bakso ikan. Maka bakso ikan tsb memberikan pembanding antara dog food dan bakso ikan. Meskipun hanya sesekali pengalaman bakso ikan tsb ia alami tetapi sangat berarti karena memberikan range/jangkauan perbedaan antara pengalaman makan dog food dan makan bakso ikan.
Ini salah, dan sudah menyalahi kompatiologi sendiri. Anjing memakan dog food yang sama di pagi hari dan sore hari adalah sudah merupakan pembanding, sebab dimakan dalam waktu yang berbeda. Jadi itu adalah Subjektif (pada si anjing), bukan objektif pada makanan.
Jika dilihat dari psikologi kepribadian, seseorang yang memiliki sindrom bipolar (manic - depresif), memiliki range yang sangat-sangat jauh terhadap satu objek, bahkan tanpa pembanding dengan objek lainnya.
Jadi sebetulnya variasi feel (terutama terhadap yang sifatnya bergantung pada pikiran) yang paling dominan itu ada dalam "subjek", bukan pada "objek".
Dalam kompatiologi yang berbeda menurut tempat dan waktu adalah judgement-nya bukan pengalaman itu sendiri. Pengalamannya sendiri tidak berubah. Silahkan dibaca kembali.
Tentang "S.G." yang saya bahas adalah pribadinya dalam berhubungan dengan pencarian jawaban soal mekanisme mental manusia yang paling dasar, bukan ajarannya yang dibuat setelah ia menemukan jawabannya. Sesuatu yang diyakini (meyakini kebenaran atas sesuatu yang tidak kelihatan) yang mengintepretasikan apapun, segala ajaran tetap bersifat pengharapan apapun ajaran itu.
Quote
Dalam kompatiologi yang berbeda menurut tempat dan waktu adalah judgement-nya bukan pengalaman itu sendiri. Pengalamannya sendiri tidak berubah. Silahkan dibaca kembali.
Jadi maksudnya orang minum sirup setelah makan pare dan minum sirup setelah makan kue, feel-nya tetap sama, hanya judgment-nya yang berbeda? Kalau begitu saya yang salah tangkap tentang kompatiologi.
QuoteTentang "S.G." yang saya bahas adalah pribadinya dalam berhubungan dengan pencarian jawaban soal mekanisme mental manusia yang paling dasar, bukan ajarannya yang dibuat setelah ia menemukan jawabannya.
OK, kalau begitu. :)
Quote from: Kainyn_Kutho on 03 July 2008, 09:16:51 AM
Quote
Dalam kompatiologi yang berbeda menurut tempat dan waktu adalah judgement-nya bukan pengalaman itu sendiri. Pengalamannya sendiri tidak berubah. Silahkan dibaca kembali.
Jadi maksudnya orang minum sirup setelah makan pare dan minum sirup setelah makan kue, feel-nya tetap sama, hanya judgment-nya yang berbeda? Kalau begitu saya yang salah tangkap tentang kompatiologi.
QuoteTentang "S.G." yang saya bahas adalah pribadinya dalam berhubungan dengan pencarian jawaban soal mekanisme mental manusia yang paling dasar, bukan ajarannya yang dibuat setelah ia menemukan jawabannya.
OK, kalau begitu. :)
Ada hal yang tidak tercapai kalau bermainnya hanya melalui pikiran yaitu: Feel fisikal. Ketika manusia sudah masuk pada budaya berpikir (intuisi) maka yang yang sifatnya lebih spontan yaitu naluri (insting) seperti hilang begitu saja. Baik dimulai dari insting atau intuisi urutan prosesnya tetap saja sama: "FEEL/insting -> JUDGEMENT/intuisi -> generalisasi" atau "JUDGEMENT/intuisi -> generalisasi"
Maka dari itu anda menyalahartikan penjelasan saya yang berkaitan dengan Judgement dan Feel.
Quoteby vincent liong
Tentang "S.G." yang saya bahas adalah pribadinya dalam berhubungan dengan pencarian jawaban soal mekanisme mental manusia yang paling dasar, bukan ajarannya yang dibuat setelah ia menemukan jawabannya. Sesuatu yang diyakini (meyakini kebenaran atas sesuatu yang tidak kelihatan) yang mengintepretasikan apapun, segala ajaran tetap bersifat pengharapan apapun ajaran itu.
Quote
Intinya Pilihan cara yang 'saya' (Vincent Liong) pakai cenderung menggunakan minuman tidak menggunakan meditasi, sebab meminum minuman adalah pengalaman ke dalam diri beda dengan pendengaran, penciuman, pengelihatan, perabaan, dlsb yang sifatnya pengalaman ke luar diri. asal tercapai range/jangkauan/variasi pengalaman pribadi. Hasilnya mirip-mirip karena permasalahan yang ingin dijawab itu-itu saja, penjelasan dan sudutpandang dalam memperlakukan Iman Pengharapan dan Kasih bisa berbeda-beda.
Menurut Anda segala ajaran bersifat pengharapan? Dalam ajaran Buddha inti ajarannya adalah melepas pengharapan, nah kesimpulan Anda berdasarkan pengalaman atau pemikiran?
(kalau ingin dijawab,jawablah dengan singkat)Apakah meditasi merupakan pengalaman diluar diri?
(jawab dengan singkat saja)range/jangkauan/variasi pengalaman pribadi apakah Anda melihatnya sepotong-potong atau Anda melihat keseluruhan proses awal pengalaman ,pertengahan pengalaman dan akhir pengalaman, dpatkah Anda menghitung Variasi nya dengan rinci atau menyebutkan detil tiap variasi pengalaman Anda?
vincentliong,
QuoteAda hal yang tidak tercapai kalau bermainnya hanya melalui pikiran yaitu: Feel fisikal. Ketika manusia sudah masuk pada budaya berpikir (intuisi) maka yang yang sifatnya lebih spontan yaitu naluri (insting) seperti hilang begitu saja. Baik dimulai dari insting atau intuisi urutan prosesnya tetap saja sama: "FEEL/insting -> JUDGEMENT/intuisi -> generalisasi" atau "JUDGEMENT/intuisi -> generalisasi"
Maka dari itu anda menyalahartikan penjelasan saya yang berkaitan dengan Judgement dan Feel.
Saya tambah tidak mengerti jadinya.
Jadi pada kasus minum sirup, yang mana feel, yang mana judgment? Yang dirujuk sebagai pengalaman (yang tidak berubah) itu yang mana?
TO: Kainyn_Kutho
Hal: Insting
Menurut manusia, manusia memiliki derajat yang lebih tinggi daripada binatang. Anggapan ini banyak diyakini baik oleh kaum ilmiahwan, agama, spiritual, dlsb.
dalam ilmupengetahuan
Ada sekelompok orang yang menganut bahwa kebenaran itu didapatkan dari suatu hal yang 'empiris' (yang mampu dilakukan berulang kali secara konsisten). Ini tidak jauh berbeda dengan bagaimana binatang mempelajari hal di sekitarnya yaitu dengan melihat apa yang biasanya terjadi secara empiris.
Lalu ada sekelompok orang yang menganut bahwa kebenaran itu didapatkan dari suatu hal yang logis, jadi cera kerjanya adalah dengan mengkaitkan antara logika satu dengan yang lain dari penemu-penemu empiris maupun dari asumsi berdasarkan logika yang jelas urutannya. Hal yang logis ini sering disebut ilmiah. Logika dan keilmiahan ditinggikan dan dianggap lebih penting dari empiris karena dianggap lebih dari binatang karena katanya manusia itu berpikir dan berlogika sedangkan binatang tidak.
Banyak hal yang empiris tidak dianggap ilmiah, banyak hal yang ilmiah dianggap tidak empiris.
dalam spiritual
Ada yang disebut Insting; insting sering dikait-kaitkan dengan binatang, misalnya bagaimana binatang yang tidak belajar ilmu pendidikan seksual kok bisa tahu bagaimana caranya berhubungan seksual, selalu ada pattern yang jelas dengan jenjang umur yang jelas dalam perkembangan seksual tsb. Bagaimana binatang yang tidak belajar ilmu kesehatan membiasakan diri berjemur di pagi hari. Intuisi adalah sesuatu yang sulit terjamah karena sifatnya yang spontan dan otomatis.
Lalu ada yang namanya intuisi; intuisi sering dianggap sebagai sesuatu yang memiliki derajat yang lebih tinggi daripada insting karena insting dimiliki binatang dan manusia sedangkan intuisi dianggap hanya dimiliki manusia. Intuisi bermain dengan logika, kadang-kadang orang mengaku mendapat intuisi dari Tuhan tetapi sulit diketahu apakah dia sedang berpikir dengan logika, mendapat pesan-pesan dari tuhan atau sedang bermain drama atau sedang berkhayal. Tentunya seperti logika ilmiah yang non empiris intuisi tidak membutuhkan bukti, hanya urutan cerita dengan logika yang runtut sudah cukup.
insting -> intuisi -> generalisasi
dalam penelitian kebanyakan data pada awalnya didapatkan dari peneliti-peneliti yang melakukan penelitian berbasis empiris. Permasalahannya penelitian empiris membutuhkan waktu yang lebih panjang dibanding penelitian logika ilmiah. Hidup manusia itu pendek sehingga sering kali satu peneliti berbasis eksperimen hanya sempat meneliti satu tema spesifik dalam hidupnya, itupun belum tentu selesai, kadang-kadang dilanjutkan penelitiannya oleh penerusnya (muridnya) selama beberapa generasi, disempurnakan secara bertahap.
data-data yang didapatkan peneliti-peneliti empiris biasanya digunakan oleh peneliti logika ilmiah untuk dikutip asumsi-asumsinya, dengan dibandingkan dengan data yang lain secara runtut, diurutkan logikanya untuk membuat asumsi-asumsi logika ilmiah yang belum tentu empiris. Tidak seperti peneliti empiris, biasanya peneliti logika ilmiah memiliki tatabahasa yang lebih baik, dan mampu menceritakan hal yang lebih luas (tidak spesifik) bidangnya karena tidak memerlukan waktu penelitian yang panjang.
Sdr. Kainyn_Kutho, saya pribadi adalah peneliti berbasis empiris yang lebih banyak bermain di ranah instingtif yaitu yang berkaitan dengan kompatiologi. Di forum ini saya banyak bicara dengan gaya agak intuisi & logika ilmiah sebenarnya bukan pijakan utama saya, tetapi saya mencoba berusaha agar mampu menjelaskan.
Semoga pembahasan mengenai intuisi ini sedikit membantu menjelaskan.
Quote from: bond on 03 July 2008, 10:29:31 AM
Quoteby vincent liong
Tentang "S.G." yang saya bahas adalah pribadinya dalam berhubungan dengan pencarian jawaban soal mekanisme mental manusia yang paling dasar, bukan ajarannya yang dibuat setelah ia menemukan jawabannya. Sesuatu yang diyakini (meyakini kebenaran atas sesuatu yang tidak kelihatan) yang mengintepretasikan apapun, segala ajaran tetap bersifat pengharapan apapun ajaran itu.
Quote
Intinya Pilihan cara yang 'saya' (Vincent Liong) pakai cenderung menggunakan minuman tidak menggunakan meditasi, sebab meminum minuman adalah pengalaman ke dalam diri beda dengan pendengaran, penciuman, pengelihatan, perabaan, dlsb yang sifatnya pengalaman ke luar diri. asal tercapai range/jangkauan/variasi pengalaman pribadi. Hasilnya mirip-mirip karena permasalahan yang ingin dijawab itu-itu saja, penjelasan dan sudutpandang dalam memperlakukan Iman Pengharapan dan Kasih bisa berbeda-beda.
Menurut Anda segala ajaran bersifat pengharapan? Dalam ajaran Buddha inti ajarannya adalah melepas pengharapan, nah kesimpulan Anda berdasarkan pengalaman atau pemikiran?(kalau ingin dijawab,jawablah dengan singkat)
Apakah meditasi merupakan pengalaman diluar diri?(jawab dengan singkat saja)
range/jangkauan/variasi pengalaman pribadi apakah Anda melihatnya sepotong-potong atau Anda melihat keseluruhan proses awal pengalaman ,pertengahan pengalaman dan akhir pengalaman, dpatkah Anda menghitung Variasi nya dengan rinci atau menyebutkan detil tiap variasi pengalaman Anda?
Apakah peryataan "Dalam ajaran Buddha inti ajarannya adalah melepas pengharapan" bukanlah sebuah pemikiran yang diwariskan dalam bentuk 'keyakinan'(sesuatu yang diyakini tanpa memerlukan bukti yang tampak)? Bisa saja pilihan yang dipilih adalah mengasumsikan bahwa secara logis dapat diterima akal sehat bahwa manusia bisa bisa melepas pengharapan. Dilemanya adalah sesuatu yang diwariskan dengan perkataan adalah bersifat pikiran; dalam berpikir sulit dibedakan antara berpikir, bermain logika, berkhayal, mendapat petunjuk dari hati rurani, mendapat petunjuk dari Tuhan yang esa, dlsb. Sesuatu yang tidak memiliki kepastain di ranah empiris/instingtif/fisikal masih berbentuk asumsi atau pengharapan.
Menurut saya meditasi adalah pengalaman di dalam diri yang masih terkait dengan 'pikiran' (non-fisikal/non-empiris/logika) yang masih memiliki resiko berubah dan dimanipulasi oleh pribadi itu sendiri tanpa disadari, yang masih sulit terbedakan dengan jelas apakah itu berpikir dengan logika, mendapat pesan-pesan dari tuhan atau sedang bermain drama atau sedang berkhayal. Saya tidak mengatakan cara meditasi salah tetapi tidak untuk semua orang, karena sulit melakukan quality control dalam mengajarkan meditasi sebab siapa tahu isi hati setiap orang, siapa tahu dia mengartikan proses bimbingan secara benar atau salah.
Logika ilmiah/intuisi sering bermain dengan penjelasan dan angka. Apakah kebenaran dapat diwakili oleh hal itu tanpa asumsi dan pengharapan agar sesuatu benar atau tidak benar. Dalam dekon-kompatiologi yang saya lakukan awalnya adalah tidak memberikan penjelasan dan asumsi-asumi, membiarkan mereka mengalami pengalamannya, kemudian suruh mereka menulis buku laporan versi mereka masing-masing. Dari situ baru kita ketahui efektifitas suatu metode dengan sudutpandang empiris.
E-Book Logika Komunikasi Empati adalah rangkuman dari beberapa buku laporan pascadekon-kompatiologi yang ditulis oleh para pengguna mantan kompatiologi tanpa mendapat bimbingan atau diedit oleh Vincent Liong, bahasa definisinya pun tidak seragam.
E-Book Logika Komunikasi Empati sebisa mungkin tidak memasukkan pemikiran (asumsi) Vincent Liong. Beberapa E-Book buku laporan pascadekon-kompatiologi yang ditulis oleh pengguna mantan kompatiologi yang dibuka untuk dibaca khalayak umum diantaranya:
* Kitab Angin (ditulis oleh Juswan Setyawan) & Kitab Tanah (ditulis oleh Cornelia Istiani) 229 halaman A4.
http://tech.groups.yahoo.com/group/Komunikasi_Empati/files/E-BOOK%20Wajib%20Komunikasi%20Empati/Ms.Word%20KitabAngin%2Bver5Sep06/
* Catatan Harian Seorang Pendekon Kompatiologi Andy Ferdiansyah 173 halaman A4.
http://tech.groups.yahoo.com/group/Komunikasi_Empati/files/CatatanHarianSeorangPendekon/
* Kitab Cahaya (ditulis oleh: M. Prabowo/ Dade) +/-30 halaman
http://tech.groups.yahoo.com/group/Komunikasi_Empati/files/KITAB%20CAHAYA/
, dlsb yang belum saya buka untuk dibaca khalayak umum.
DEKONSTRUKSI
Dikarenakan kitab-kitab lainnya tidak ada yang menjabarkan serta menerangkan secara detail tentang proses Dekonstruski dengan alasan-alasan tertentu, maka ijinkan saya mengambil ruang kosong ini. Disini saya akan mencoba menjabarkan satu per satu proses dekonstruksi atau DEKON. Dengan harapan agar masyarakat banyak tidak mengalami salah paham tentang proses ini atau mungkin takut untuk mengalami nya.
LATAR BELAKANG DEKONSTRUKSI
Dekonstruksi-kompatiologi atau yang biasa dikenal dengan nama "DEKON" merupakan sebuah tahap awal yang harus dilalui oleh siapa pun yang ingin mempelajari kompatiologi.
Proses dekon hanya wajib dilakukan 1 (satu) kali dengan sejumlah biaya tertentu yang telah disepakati bersama. Berdurasi berkisar antara 3-4 jam. Untuk pertemuan dekon selanjutnya sifatnya tidak wajib (optional), karena akan lebih pada pendalaman saja dan sharing antar sesama terdekon (orang yang sudah di dekon). Dan tentunya bagi terdekon yang ingin datang pada acara-acara dekon lainnya tidak akan dipungut biaya sedikitpun alias gratis. Bahkan mereka bisa datang berulang kali secara bebas. Unlimited visit. Karena memang dengan datang ke acara dekon berulang kali akan sangat mempercepat proses dari kecerdasan intuisi terdekon untuk bekerja secara maksimal.
Mengambil tempat di mall-mall terpilih yang memiliki konsep "open food court" serta dengan tingkat kebisingan tertentu, dan tidak lupa keharusan adanya toko buku plus supermaket yang cukup lengkap. Dekon menjadi semacam ritual unik yang agak nyeleneh dan sedikit membingungkan bagi mereka yang baru pertama kali mengikutinya. Namun justru disinilah letak kuncinya. Semakin ramai dan bising atau semakin banyak gangguan (noise) dalam proses dekon, maka tingkat keberhasilannya pun akan semakin tinggi. Belum lagi ditambah dengan rasa was-was atau malu akibat dari tatapan orang-orang sekitar food court yang mungkin juga ikut mengawasi dengan sejuta pertanyaan di kepala mereka masing-masing. Di perparah juga dengan perilaku pen-dekonnya sendiri yang juga ikut berperan dalam menciptakan gangguan-gangguna tambahan yang diperlihatkan dalam bentuk sikap dan kelakuan eksentrik mereka yang sangat ajaib dan jauh dari elegan, serius, apalagi berwibawa. Bahkan cenderung kepada sikap norak, belagu, sok tau, kurang ajar, konyol dan kadang-kadang jorok (ini biasanya vincent kayaknya ya...? ). Adapun beberapa contoh sikap-sikap konyol ini , antara lain : bersikap sembrono dengan tidak sengaja menjatuhkan makanan atau minuman, makan es krim belepotan, melepas sepatu alias bertelanjang kaki di tengah-tengah acara dekon dan kemudian mengangkat kaki untuk bersila diatas kursi, bersin dengan menggunakan tisu yang berisikan "kotoran hijau berlendir" namun kemudian tisu itu diletakkan di tengah-tengah meja dekon, Sengaja mengajak para calon terdekon untuk ber debat kusir mengenai hal-hal yang kurang penting atau masalah yang sebenarnya sudah diketahui jawabannya, dan terakhir yang paling sering adalah biasanya si pendekon asyik sendiri dengan dirinya, ketawa-ketawa sendiri atau becanda dengan pendekon lain yang terkesan seperti tidak memperdulikan perasaaan para calon terdekon yang sedang kebingungan.
Hal ini sebenarnya tidak selalu terjadi. Karena biasanya sikap para pendekon muncul menjadi sedemikian rupa sebagai respon intuitif mereka atas kepribadian asli dari orang yang akan di dekonnya. Apabila dengan kecerdasan intuisi dan hasil analisanya para pendekon menangkap sinyal bahwa orang yang akan di dekon memiliki watak keras,walaupun dalam penampilannya orang ini kelihatannya manis dan lembut, maka kemungkinan besar dari awal pertemuan si pendekon sudah akan bersikap jauh lebih keras atau minimal sama keras terhadap mereka, atau tergantung pada karakter pendekon itu sendiri yang berusaha menyesuaikan diri dengan calon terdekon dengan tujuan agar calon terdekon menunjukkan dirinya yang sebenarnya tanpa harus menggunakan topengnya terus. Jadi bagi anda yang belum di dekon dan sudah terlanjur membaca tulisan ini, ya sudahlah nanti pas di dekon mbok ya santai saja, gembira-gembira saja apapun yang terjadi. Anggap saja sedang main-main. "Do not take it too serious man...." yang jelas kalau situ nggak gigit, ya kita juga nggak makan situ kok J
Semua ini dilakukan bukan tanpa alasan. Mengenai suasana ramai atau bising, apabila dalam proses meditasi pasif (posisi duduk diam sendiri dalam suatu ruangan) atau latihan-latihan lainnya yang sebagian besar selalu menekankan pada proses konsentrasi dan proses untuk mencapai tingkat keheningan tertentu. Maka dalam proses dekon yang terjadi justru adalah kebalikannya. Para calon terdekon dipaksa atau mungkin akan terpaksa untuk menjadi amat sangat tidak serius dan tidak mungkin untuk berkonsentrasi terhadap apapun. Dalam proses ini akan terjadi semacam kemacetan rasio sementara pada diri terdekon. Dimana antara logika dan realita tentang konsep yang ideal akan diri mereka sendiri dan konsep di luar diri mereka, akan selalu dibenturkan pada saat proses dekon. Dan dari sinilah secara alamiah naluri dasar mereka atau kecerdasan intuisi tersebut muncul secara dominan ke permukaan. Dan hal ini akan mempengaruhi perangai serta kelakukan atau sikap mereka selama proses dekon. Respon intuitif ini alami terkadang muncul tanpa mereka sadari dalam aneka ragam sikap, ucapan atau tindakan yang bahkan bisa jauh lebih ajaib dari para ke ajaiban perilaku pen dekonnya sendiri saat itu. Dan tidak urung mengundang gelak tawa dari seluruh peserta dekon yang hadir saat itu. Beberapa contoh respon intuitif alami yang terjadi, antara lain : Yang tadinya pendiam tiba-tiba jadi cerewet banget, Yang tadinya kelihatan ceria tiba-tiba mukanya menjadi merah padam, Ada yang tiba-tiba menjadi gelisah, bahkan ada juga yang sampai sedih, kebanyakan yang sering terjadi adalah pusing dan ngantuk, walaupun pernah juga kejadian ada yang tertidur di tengah-tengah proses dekon, bahkan ada yang tiba-tiba tanpa alasan apa-apa pergi begitu saja dari arena dekon (???)
FUNGSI DEKON
Dekonstruksi, sesuai dengan namanya adalah ibarat merenovasi sebuah ruangan perkantoran tanpa merubah atau menghilangkan susunan ruang-ruang utama nya. Cukup dengan memindahkan atau mengatur kembali posisi partisi-partisi atau sekat-sekat yang membatasi ruang kerja antar tiap bagian, sehingga tercipta suasana yang lebih harmonis dan kinerja yang jauh lebih efektif dan efisien antar tiap bagian unit kerja atau divisi. Kalau mau diibaratkan, proses dekon bisa diumpamakan seperti proses Defragmenting ataupun instalasi operating system pada sebuah computer. Dimana yang ditanamkan adalah sebuah pola memori baru tanpa merubah keseluruhan isi memori tersebut. Sehingga bila yang tadinya windows 98, di upgrade jadi windows xp. Sedangkan software-software yang terdapat di dalamnya dapat dikembangkan sendiri oleh para terdekon setelah mereka betul-betul menguasai kompatiologi. Dimana tetap yang menjadi sasaran utama dari proses dekon ini adalah otak kanan si terdekon yang merupakan lokasi sumber kecerdasan intuisi berada.
Disamping itu sifat dari instalasi ini adalah "OPEN SOURCE". Sehingga ada kemungkinan suatu hari nanti akan bermunculan dekonstruksi kompatiologi-kompatiologi lain dalam wajah,nama, dan bentuk metode yang sudah jauh berbeda dengan yang ada saat ini.
Dan satu hal lagi, proses dekonstruksi itu sendiri bukan hanya terjadi pada saat proses dekon saja. Namun juga terjadi secara bertahap dan terus menerus dalam kehidupan sehari-hari si terdekon (Evolusi Adaptasi) sepanjang dia menerapkan segala kemampuan yang diperolehnya nanti di kehidupannya. Sehingga semakin lama ketajaman intuisinya akan semakin meningkat, seiring dengan kemampuan analisa untuk meng interpretasikan atau menterjemahkan intuisi tersebut dan strategi logika nya yang juga otomatis akan terus bertambah tanpa batas (unlimited power).
S.O.P DEKON (STANDARD OPERATING PROCEDURES)
Disini saya akan membedah proses dekon dengan sedikit lebih rinci namun tetap dalam bahasa yang sesederhana mungkin.
Adapun proses dekon ini secara garis besar, antara lain :
1. Makan bersama-relaksasi awal
Ini adalah proses awal. Dimana bagi para calon ter dekon dapat berfungsi sebagai relaksasi awal. Sedangkan kalau bagi para pendekon sendiri menjadi sarana untuk briefing sederhana sekaligus guna mendapatkan informasi secara intuitif mengenai karakter yang sebenarnya dari para calon terdekon. Yang nantinya informasi mengenai karakter atau personaliti calon terdekon akan berpengaruh sekali pada pemilihan komposisi minuman yang akan dibeli.
Namun terkadang proses menggali informasi karakter calon terdekon ini tidak semulus yang dibayangkan.. Karena banyak dari mereka yang datang dengan menggunakan "topeng". Sehingga hal ini memaksa para pendekon untuk menciptakan respon intuitif dalam bentuk ucapan atau perilaku-perilaku ajaib yang berfungsi untuk meng-gedor para calon terdekon supaya mereka dapat segera melepas topengnya tersebut. Atau setidaknya dapat terjadi suatu loncatan emosional entah itu sedikit marah, sinis, atau kebingungan yang makin menjadi dari para calon terdekon yang justru akan memudahkan para pendekon untuk menggali lebih dalam lagi tentang karakter dan permasalahan sebenarnya dari para calon terdekon. Lebih jelas lagi mengenai hal ini, baca "BAB : JURUS KOMPATI ATTACK ! "
2. Membeli aneka minuman
Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya, bahwa proses pemilihan komposisi minuman yang akan dibeli disesuaikan dengan karakter dari para calon terdekon. Namun tetap mengacu pada garis besar yang telah ditetapkan (Teh Hijau, Isotonik, Teh Hitam, dan lain lain). Sebagai contoh , bagi calon terdekon yang menurut pendekon masuk dalam klasifikasi, "Kelas Berat", maka komposisi minuman dengan range rasa yang sangat ekstrim akan menjadi pilihan utama. Dan biasanya dibeli dalam jumlah kerapatan variasi rasa yang lebih banyak.
Saya ambil contoh satu rasa, yaitu asam. Maka yang dibeli nantinya akan ada rasa Asem jawa, Asem soda, Asem anggur, Asem manis, Asam mint, Asam jahe, dan lain sebagainya. Sedangkan bagi mereka yang terdeteksi masuk dalam klasifikasi "Kelas Ringan". Biasanya pemilihan komposisi kerapatan minumannya tidak akan seberat itu. Bahkan beberapa kali dekon terakhir ini saya pribadi sempat menggunakan minuman dengan efek rasa "Pahit" . Dan ternyata cukup efektif juga.
Hanya saja dikarenakan proses dekon biasanya selalu dihadiri lebih dari 2 (dua) orang, para pendekon-pendekon masa kini rata-rata langsung saja meng kategorikan semua calon terdekonnya sebagai kelas berat. Berikut ini salah satu alasannya ; " Nggak repot, bisa langsung hajar, ngga perlu lama-lama mikir, dan yang penting biar pada cepet korslet nya...." (apa ya maksudnya ?)
Jumlah minuman yang dibeli tidak terbatas. Tapi biasanya berjumlah sekitar 14-16 jenis minuman yang sebagian besar didominasi oleh teh hijau. Karena disinyalir memiliki unsur lebih menyehatkan dan tidak terlalu menyiksa lambung. Bila dibandingkan dengan minuman sekelas susu dan minuman bersoda (maaf saya tidak bisa menyebut nama minumannya disini).
3. Permainan "Mabok Teh" dimulai :
a) Pendekon menyusun konfigurasi minuman
Disini konfigurasi minuman yang akan disusun pun juga akan disesuaikan dengan karakter global dari seluruh peserta dekon yang hadir.
b) Sesi-1 : Mengenal rasa (1x putaran)
Tiap peserta akan diajak untuk mencicipi minuman yang tersedia satu persatu secara urut sesuai konfigurasi yang telah disusun pendekon dan mereka diwajibkan untuk menyebutkan secara lisan dengan jujur apa saja rasa dari masing-masing minuman tersebut.
c) Sesi-2 : Menebak Rasa (2x putaran)
Sesi ini tiap peserta akan diminta untuk meracik campuran minuman yang tersedia secara acak dan dalam jumlah yang tidak dibatasi. Kemudian minuman tersebut dibagikan ke seluruh peserta dekon lainnya. Sebelum diminum tiap peserta harus menebak terlebih dahulu kemungkinan efek rasa yang akan muncul setelah diminum dan akan mempengaruhi bagian tubuh pada posisi yang mana dengan range dari ujung kepala hingga ujung kaki. Setelah diminum maka dibuktikan apakah tebakan mereka tepat atau meleset. Namun dalam proses ini benar atau salah bukanlah suatu tujuan. Sehingga sekalipun meleset dan memang biasanya begitu, pola akan logika dari proses sesi-2 akan terekam dalam memori terdekon.
d) Sesi-3 : Menciptakan ( 1 atau 2x putaran)
Sebelumnya calon terdekon harus terlebih dahulu menulis di kertas atau di Hp, efek apa yang akan timbul bagi orang yang meminum ramuan minuman mereka. Lalu kemudian mereka diminta untuk menganalisa dan berstrategi dalam mencampur minuman lagi yang kira-kira akan sesuai dengan apa yang telah mereka tuliskan. Baru kemudian minuman dibagikan dan langsung diminum oleh semua peserta. Setelah itu tiap peserta harus mencoba merasakan atau menebak apa sebenarnya niat yang telah ditulis oleh terdekon teman mereka tersebut. Disini pun juga berlaku hukum yang sama, tidak ada salah ataupun benar. Sehingga sekalipun meleset dan memang biasanya begitu, pola akan logika dari proses sesi-3 akan terekam dalam memori terdekon.
e) Sesi-4 : UJIAN – TEBAK BUKU
Ini adalah bagian yang paling menarik. Pada tahap ini para pendekon akan membawa para terdekon ke toko buku terdekat. Dimana para terdekon diwajibkan untuk menebak secara garis besar tentang isi atau cerita sebuah buku, tanpa mereka diperbolehkan untuk melihat bahkan menyentuh buku tersebut.
Untuk mempermudah, saya akan coba ilustrasikan dalam bentuk dialog yang biasa terjadi antara pendekon (P) dengan terdekon (T).
P "Oke...sekarang saya sedang memegang sebuah buku. Kamu harus bisa menebak apa isi buku ini secara garis besar. Kunci suksesnya hanya ada 3 (tiga), yaitu : Spontan, Asal tebak dan terakhir, Sok tahu (SAS). Pokoknya kamu jangan terlalu serius. Rileks aja. Anggap ini sebuah permainan. Dan lontarkan jawaban langsung detik itu juga setelah saya selesai bertanya. Jadi untuk sementara logika mu jangan dipakai dulu....Siap ??
T Baik...saya siap..
P Sekarang kamu coba ingat-ingat dulu seluruh rasa minuman yang tadi kamu minum. Mana kira-kira rasa dari minuman itu yang bisa mewakili isi buku ini...? satu rasa saja.....spontan....asal saja dulu...buat pancingan...
T Aaaa.......Aseem...
P Asem apa ?
T Asem agak pahit...tapi diujungnya sedikit manis.
P Ok...sekarang kalau dari sisi rasa emosional dengan range..sedih, marah, gembira, lucu, sayang, rindu, ....mana yang mewakili isi buku ini ? boleh lebih dari satu....inget , spontan....
T mmmm....sedih kayaknya...
P Sedih yang bagaimana ?
T Sedih yang tersiksa.....tertekan...kenangan pahit...
P Ada lagi ? satu kata-satu kata aja dulu...jangan langsung bikin kesimpulan.
T Ada senengnya pas di bagian akhir....kayak lega tapi tetap saja sedih deh yang dominan......
P OK....sekarang saya minta kamu sebutkan satu kata apa saja yang bisa mewakili isi buku ini. Satu kata saja....ayo..spontan...asal aja dulu...
T Sejarah...???
P Sejarah apa ?
T Apa ya ? duh..jadi malah mikir deh sekarang..
P Ok..forget it....sekarang sebutin satu kata aja lagi..apa aja...terserah kamu...yang penting spontan..
T Kecil........gelap.....susah.....kecil lagi...
P Sekarang baru kita coba rangkai, adapun data-data yang kamu dapat adalah : Asem pahit tapi diujungnya manis, Sedih tersiksa, Kenangan pahit, ada unsur senang di bagian akhir, ada unsur sejarah, Kecil, gelap, kecil lagi.....Nah, ini datanya sudah komplit. Tinggal sekarang kamu gabung deh tuh antara logika dan intuisi kamu. Coba kamu rangkai semua data-data tadi dan baru ambil kesimpulan kira-kira buku yang saya pegang ini bercerita tentang apa atau minimal ini buku apa ?
T Yang pasti itu novel ya...? isinya kayaknya cerita tentang kisah seseorang sewaktu dia masih kecil. Dimana dia banyak mengalami kesulitan dan trauma-trauma secara fisik dan psikis...eh, bener gak ya ?
P OK......THAT'S RIGHT ! buku ini judulnya "A CHILD CALLED IT"....Nih lihat......
Maka selesailah sudah tahap tebak buku dan prosesi dekon secara umum. Dalam tahap tebak buku, sepanjang pengalaman saya mendekon, belum pernah ada satu pun terdekon yang gagal menebak atau menguraikan unsur-unsur yang terkansung dalam isi buku tersebut satu-per satu. Kebanyakan justru kesulitan dalam membuat kesimpulannya atau pada proses merangkai datanya. Tapi ini biasa bagi yang baru pertama. Dengan semakin banyaknya jam terbang pemakaian intuisi di lapangan. Biasanya malah dalam sepersekian detik, data yang muncul sudah langsung bisa dalam bentuk kesimpulan. Sebagai tanda telah menyatunya kemabali antara logika dan intuisi yang semakin tajam.
4. Pindah Lokasi-evaluasi atau relaksasi akhir
Kali ini pendekon akan membawa terdekon ke lokasi yang jauh lebih tenang. Biasanya di kafe-kafe kecil yang sedikit pengunjungnya saat itu. Sebagai sarana untuk cooling down atau relaksasi akhir dengan sekedar minum kopi atau lainnya.
Dalam sesi ini pula dimanfaatkan sebagai sarana untuk evaluasi dan tanya jawab mengenai apa yang baru saja mereka alami. Dan di bagian akhir pertemuan para terdekon akan diminta untuk melakukan beberapa latihan-latihan sederhana setelah mereka pulang. Adapun latihan-latihan sederhana itu antara lain :
a) Jalan-jalan ke toko buku sambil bermain menebak isi buku sendirian dengan cara menyentuh buku tersebut tanpa melihatnya
b) Menganalisa karakter seseorang dengan cara atau metode yang sama dengan tebak buku. Tapi disini hanya diperbolehkan untuk melihat wajah orang yang ingin di analisa secara sekilas saja.
c) Merangsang intuisi untuk menjawab suatu permasalahan atau masalah orang lain (konselling) dengan menggunakan alat bantu. Misal, dengan kartu tarot, kartu remi, bahkan bisa dengan majalah, buku atau mungkin kitab suci (bila mau mencoba).
d) Bermain dengan range dan skala dalam mencari posisi penyakit di tubuh orang lain dengan mewakilkan range tubuh si sakit dari kepala hingga kaki ke telapak tangannnya saja.
e) Menebak karakter atau menjawab permasalahan orang lain hanya dengan menyentuh benda milik orang tersebut dan tanpa si terdekon mengetahui siapa pemilik benda itu sebenarnya.
f) Mencoba bermain dengan alam, misalnya hujan (lihat Bab ; Sharing After Dekon)
g) Menebak perasaan binatang peliharaan, misal ; anjing, kucing, gajah (?), dan lain lain.
h) Yang paling penting adalah menerapkan kecerdasan intuisi ini dalam pengambilan keputusan pada kehidupan sehari-hari. Dalam berumah tangga, dalam bisnis atau usaha, dan lain lain (akan dibahas pada bab-bab selanjutnya : Kompati for family, Kompati On Marketing, dan lain lain)
Demikianlah uraian sederhana saya mengenai proses Dekonstruksi atau dekon. Mudah-mudahan dapat menjawab pertanyaan dan keragu-raguan masyarakat selama ini. Dan Bagi anda yang merasa tertantang untuk di DEKON...So...jangan ragu-ragu, segera hubungi saya untuk menentukan hari dan waktu yang tepat !
Bersambung.....
Bekasi, 12 April 2007
Muhammad Prabowo (Dade)
Janji Dekon (Biaya Rp.300.000 per orang):
GSM : 0818 088 62 171
CDMA: 021-98805716
Email : cutedade [at] yahoo.com
KOMPATIOLOGI
LATAR BELAKANG KOMPATIOLOGI
Ini adalah sebuah nama "ilmu" baru yang belakangan mulai cukup "meresahkan" banyak orang di dunia cyber. Bagaimana tidak, penyebaran dan pengenalan ataupun promo tentang "ilmu" ini disebarkan secara bertubi tubi laksana bomb mail ke lebih dari 300 mailing list di yahoogroups. Dan pelaku utamanya justru tidak lain adalah si penemu ilmu itu sendiri. Vincent "Christian" Liong alias Vincent liong atau VCL. Yang kehadirannya selalu menjadi pro dan kontra. Terutama bagi mereka yang baru pertama kali mengenal sosok vincent.
Namun saya tidak bermaksud untuk membahas mengapa Vincent memperkenalkan kompatiologi dengan cara seperti itu. Yang pasti dia punya alasan sendiri. Dan pada kenyataanya saat ini khusus untuk daerah Jakarta saja minimal ada 25-30 orang yang datang untuk belajar kompatiologi setiap bulannya. Itu baru yang datang langsung dan bertemu dengan Vincent liong sendiri. Belum lagi yang datang belajar kepada team nya yang lain yang saat ini sudah tersebar di beberapa daerah di Indonesia. Dan angka ini masih akan terus bertambah pastinya. Untuk mengetahui siapa saja yang sudah resmi menjadi pengajar ataupun pendekon kompatiologi yang asli versi vincentliong, bisa langsung browse yahoogroups dan masuk ke mailing list "vincentliong" atau "komunikasi_empati".
Kompatiologi tidak memiliki struktural organisasi yang baku, apalagi hak paten, tidak di lisensi kan atau bahkan dibuat dengan bentuk franchise demi keuntungan yang berlebih bagi si empunya ilmu, lalu juga tidak bernaung di bawah institusi apapun dan dikembangkan dengan sistem cell atau sistem jaringan seperti layaknya sebuah sistem pemasaran jaringan (MLM). Sehingga setiap orang bisa menjadi pendekon atau pengajar asal sudah diuji dan disetujui oleh Vincent liong. Maka tak heran perkembangannya begitu pesat belakangan ini.
Menengok kepada latar belakang Vincent sewaktu kecil yang telah terlanjur di cap sebagai Indigo kid . Kehadiran kompatiologi ini sebenarnya adalah refleksi pemberontakan vincent atas perlakuan media dan lingkungan sekitar yang telah memposisikan dirinya dengan suatu label atau identitas yang harus di amini oleh siapa saja yang telah membaca atau mendengar informasi tentang vincentliong saat itu. Sehingga karena label atau cap tersebut tak urung membuat Vincent merasa diperlakukan seperti makhluk aneh yang harus dijaga dan dilestarikan seperti makhluk-makhluk yang hidup di ragunan sana. Beberapa ada yang menganggap dia sebagai utusan tuhan yang akan membawa perubahan dan memperlakukannya laksana orang suci yang di agung-agung kan. Dan beberapa ada yang menganggapnya tidak lebih dari anak kecil sok tau yang mengalami gangguan kejiwaan karena memiliki sikap dan tindakan yang tidak pernah terduga, sehingga memperlakukannya bagaikan seorang pesakitan. Ironis memang. Walaupun patut diakui bahwa benar adanya kalau ada yang mengatakan Vincent memiliki kemampuan-kemampuan khusus diatas orang rata-rata lainnya. Itu tidak bisa dibantah lagi. Yang pasti kesemua hal ini sangat menggangu Vincent dalam posisi nya untuk ber interaksi dan bergaul dengan teman-teman sebaya nya. Sehingga pada puncaknya Vincent merasa tertantang untuk men-duplikasikan dirinya ke banyak orang termasuk segala kemampuan khusus yang dimilikinya, seperti selorohnya , "Gampang, gue bikin banyak orang aneh dan gue jadi bosnya, jadi tidak aneh lagi" . (Kutipan dari pernyataan lisan Vincent Liong dalam talkshow bertema Indigo di program K!ck Andy
Show di Metro TV. Telah ditayangkan pada Kamis, 8 Maret 2007 jam 22.30 WIB dan tayang ulang pada Minggu, 11 Maret 2007 jam 15.05 WIB.)
Disebabkan karena beberapa hal tersebut diatas, termasuk kegelisahannya akan sistem pendidikan di tanah air yang belum mampu meng akomodir orang-orang seperti dia, maka mulailah Vincent kecil merintis embrio kompatiologi yang saat itu belum memiliki nama. Eksperimen ini dimulainya semenjak dari bangku SMP dengan beragam metode yang selalu berganti. Dan berkat kerja keras serta kemampuan analisanya yang sangat tajam maka lahirlah Kompatiologi dengan format dan prosedur pelaksanaan yang sudah disempurnakan sebagaimana yang akan saya jelaskan berikut ini.
ARTI DAN FUNGSI KOMPATIOLOGI
Kalau berdasarkan pengertian dari Vincent sendiri maka kompatiologi adalah sebuah singkatan dari : KOMUNIKASI + EMPATI + LOGI (Ilmu Pengetahuan atau Wacana) . Sehingga arti singkat dari Kompatiologi adalah "Ilmu pengetahuan tentang komunikasi empati".
Dalam ensiklopedi wikipedia < http://id.wikipedia.org/wiki/Komunikasi > diartikan bahwa Komunikasi adalah "suatu proses penyampaian pesan (ide, gagasan) dari satu pihak kepada pihak lain agar terjadi saling mempengaruhi diantara keduanya".
Sehingga bila ingin diperluas lagi, maka Kompatiologi adalah "Suatu bentuk pengetahuan yang mempelajari dan mengajarkan suatu proses penyampaian pesan (ide, gagasan) dari satu pihak kepada pihak lain agar terjadi saling mempengaruhi diantara keduanya dengan memanfaatkan kemampuan untuk ber-empati".
Tapi kalau melihat penjelasan dalam mailing list yahoogroups yang membahas kompatiologi <http://groups.yahoo.com/group/komunikasi_empati> , maka di halaman depannya akan terlihat dengan jelas arti dari Kompatiologi, yaitu : "Suatu ilmu komunikasi baru yang mengandalkan kecerdasan intuitif manusia yang memahami kondisi batin, keinginan, harapan dan aspirasi orang lain yang diajak berkomunikasi. Komunikasi menjadi efektif dengan friksi minimal".
Tidak menjadi penting mana dari kesekian arti kompatiologi tersebut yang benar. Yang pasti kompatiologi bukan suatu keilmuan yang mengajak praktisinya agar menjadi orang yang sakti mandraguna. Tidak pula suatu ilmu yang berusaha menyembuhkan kelemahan mental seseorang. Terlebih berusaha menanamkan suatu sugesti atas program tertentu ataupun keyakinan tertentu. Kompatiologi tidak lebih dari suatu usaha untuk memaksimalkan salah satu potensi dasar manusia yang terbesar dan telah dimiliki mereka sejak lahir, yaitu kecerdasan Intuisi (naluri, insting, firasat, feeling). Yang pada akhirnya akan digunakan dalam bentuk kemampuan untuk ber-empati dalam kehidupan. Karena potensi inilah yang paling mudah untuk dikembangkan dan ditingkatkan ketajamannya dibandingkan potensi manusia yang lainnya.
Sekalipun dalam kompatiologi mengandung unsur empati atau kemampuan untuk merasakan apa yang dirasakan oleh orang lain. Namun bukan berarti setiap orang yang telah ber empati akan selalu setuju atau sejalan dengan orang lain yang telah di rasakannya tersebut. Kompatiologi vincentliong tidak seperti itu.
Dalam prakteknya, fungsi utama pengajaran kompatiologi lebih banyak menekankan pada fungsi dan kemampuan praktisinya untuk senantiasa melakukan pemetaan, analisa dan strategi pada sistem pengambilan keputusan dalam diri si praktisi atas dasar input informasi yang telah di terimanya baik secara logika maupun intuisi. Hingga dengan demikian setiap orang yang mempelajari kompatiologi akan mampu terus menerus melakukan evolusi adaptasi guna perkembangan kualitas diri dan hidupnya pada segala situasi, keadaan, norma dan perubahan pada jaman apapun. Atau dengan kata lain, kemampuan untuk tetap bertahan (survive) di atas segala perubahan yang terjadi tanpa harus ikut tenggelam dalam arus perubahan tersebut dan tetap menjadi dirinya sendiri yang kokoh dan mandiri.
Namun bila ingin ditambahkan, maka berikut saya lampirkan jawaban vincentliong tentang fungsi dan kemampuan yang mungkin bisa didapat dari hasil mempelajari kompatiologi secara lebih luas lagi. (Diambil dari maling list : http://groups.yahoo.com/group/vincentliong ) :
1.Bisa Mentranslate Language (Range, Skala, dlsb) yang satu ke language yang lain.
2.Mampu Mengobati (Mampu mentranslate range makro satu badan dari kepala sampai kaki dengan skala tujuh cakra atau lima organ penting simbolisasi logika lima elemen, ke range mikro pergelangan tangan atau sebagian dari seluruh anggota tubuh yang lain.)
3.Mampu melihat makhluk lain (Mampu mentranslate bahasa range dan skala dari kondisi fisik (lembab, panas, gerah, dlsb) ke bahasa range dan skala kondisi metafisika (setan, jin, roh, dlsb).
4.Mampu beradaptasi dengan bijak tanpa mengikuti norma yang berlaku. (mampu melakukan analisa, untuk kemudian datanya digunakan membuat untuk norma at the present time yang sifatnya flexible untuk mampu terus beradaptasi) .
5.Kemampuan melakukan Kalibrasi Norma; misalnya melakukan pemetaan dengan berbagai pemposisian diri (subjective maupun objective secara pararel tetapi terpisah), lalu membuat norma at the present time di pemposisian diri tertentu untuk digunakan saat itu saja atau selama masih relevan.
Dan karena sifatnya pengukuran, maka orang tsb jadi tidak terikat / melekat lagi dengan data tertentu . Dengan kata lain hilangnya kemelekatan dari diri orang tersebut terhadap segala hal yang ada di luar dirinya.
KOMPATIOLOGI VS KEILMUAN LAIN
Pada dasarnya kompatiologi tidak pernah bermakud untuk membandingkan dirinya dengan keilmuan lain seperti misalnya, meditasi, komunikasi, psikologi, NLP, dan lain lain. Adapun kemunculan informasi di mailing list yahoogroups tentang perbedaan-perbedaan antara kompatiologi dengan keilmuan lain hanya bersifat subjective dengan tidak berusaha mengatakan bahwa kompatiologi lebih baik atau lebih benar dari keilmuan diluar kompatiologi. Semua hanya data-data sementara yang masih membutuhkan klarifikasi dari berbagai pihak yang merasa bersinggungan dengan perbedaan-perbedaan tersebut.
Ini dikarenakan kompatiologi sendiri tidak pernah menyeleksi siapa saja yang boleh atau tidak boleh untuk mempelajarinya. Dan tidak pula menginstruksikan praktisinya untuk keluar dari bidang keilmuan lain yang sudah diikuti oleh masing-masing praktisi sebelumnya. Siapa saja boleh mempelajari kompatiologi dengan tetap mempertahankan keilmuan yang telah dipelajari mereka sebelumnya. Bahkan bisa saja, suatu saat terjadi kalibrasi keilmuan dari hasil kombinasi keilmuan kompatiologi dengan keilmuan lain. Seperti yang sudah pernah disebutkan, bahwa kompatiologi dikembangkan dengan sistem open source.
Bersambung.....
Bekasi, 12 April 2007
Muhammad Prabowo (Dade)
Janji Dekon (Biaya Rp.300.000 per orang):
GSM : 0818 088 62 171
CDMA: 021-98805716
Email : cutedade [at] yahoo.com
Trims Bro Vincent atas jawaban yg tegas anda.
Sy perlu bertanya mengenai "keyakinan anda akan Tuhan yg Maha Kuasa dan Personal" tsb dikarenakan anda mendiskusikan 'keinginan bebas' di forum Buddhism. Seperti yg anda ketahui Buddhism tidak memusingkan akan adanya Tuhan yg Maha Kuasa tsb karena inti Ajaran Buddha adalah terbebasnya manusia dari ketidakpuasan dan penderitaan batin. Saya pribadi sebenarnya juga heran kenapa anda dengan mudahnya menyatakan 'kasih sayang' dan 'pilihan bebas' adalah 'pemberian Tuhan'.
Mengenai pernyataan anda bahwa SG 'menyangkal' berbagai pilihan, sy tidak mengerti kenapa anda berpendapat begitu. Yg saya tau adalah SG melihat hidup ini tidak memuaskan dan Beliau mencari penyebab ketidakpuasan ini dan jalan keluarnya.
Terakhir, bagaimana hubungan antara ilmu kompatiologi, tujuan hidup dan keyakinan agama (adanya Tuhan)? Sy jelaskan sedikit: umumnya keinginan setiap orang adalah bahagia dan mereka nencarinya melalui berbagai ajaran yg ditawarkan (agama), ada yg berhasil menemukannya, menerapkannya dan merasakan effectnya.
Trims
willi
::
vincentliong,
OK, terima kasih untuk penjelasannya.
QuoteAda yang disebut Insting; insting sering dikait-kaitkan dengan binatang, misalnya bagaimana binatang yang tidak belajar ilmu pendidikan seksual kok bisa tahu bagaimana caranya berhubungan seksual, selalu ada pattern yang jelas dengan jenjang umur yang jelas dalam perkembangan seksual tsb. Bagaimana binatang yang tidak belajar ilmu kesehatan membiasakan diri berjemur di pagi hari. Intuisi adalah sesuatu yang sulit terjamah karena sifatnya yang spontan dan otomatis.
Mungkin "intuisi" warna merah itu seharusnya "insting"?
QuoteLalu ada yang namanya intuisi; intuisi sering dianggap sebagai sesuatu yang memiliki derajat yang lebih tinggi daripada insting karena insting dimiliki binatang dan manusia sedangkan intuisi dianggap hanya dimiliki manusia. Intuisi bermain dengan logika, kadang-kadang orang mengaku mendapat intuisi dari Tuhan tetapi sulit diketahu apakah dia sedang berpikir dengan logika, mendapat pesan-pesan dari tuhan atau sedang bermain drama atau sedang berkhayal. Tentunya seperti logika ilmiah yang non empiris intuisi tidak membutuhkan bukti, hanya urutan cerita dengan logika yang runtut sudah cukup.
Menurut saya, kedua istilah tersebut tetap tidak valid, tidak merujuk pada hal yang khusus. Seperti insting, tidak dijelaskan apa itu insting, apakah benar insting yang membuat binatang bisa berjemur di waktu tepat. Apakah bukan karena indriah peka terhadap kadar kalor/radiasi pada hewan tersebut yang tidak dimiliki manusia (seperti sebelum dimengertinya ultrasonic orang menduga kelelawar terbang dengan insting), sehingga manusia dengan keterbatasannya menyebutnya insting?
Benarkah yang spontan dan otomatis itu selalu insting? Dalam seni bela diri, orang dibentuk untuk melakukan gerakan refleks (spontan dan otomatis) secara beraturan, yang juga berdasarkan logika. Apakah ini insting atau intuisi?
Sedangkan intuisi pun tidak jelas. Jika dikatakan "lebih tinggi dari insting karena ada pada manusia", itu 'kan pendapat si manusia sendiri. ;D Jika dikatakan karena ada unsur logika, namun juga logika (non empiris) tersebut tidak membutuhkan bukti (= tidak bisa dibuktikan). Apakah insting pada hewan selalu tidak berlogika? Lalu mengapa serangga yang pernah keracunan karena makan serangga lain dengan warna tertentu, akan menghindari makan serangga yang berwarna sama (walaupun serangga warna sama itu tidak beracun)? Saya pikir inipun merupakan logika.
Jadi tidak ada kepastian yang mana insting, yang mana intuisi, sehingga saya masih belum bisa menyimpulkan dalam kasus orang minum sirup itu, yang mana feel (insting) dan yang mana judgment (intuisi).
Quote from: willibordus on 04 July 2008, 07:24:20 AM
Trims Bro Vincent atas jawaban yg tegas anda.
Sy perlu bertanya mengenai "keyakinan anda akan Tuhan yg Maha Kuasa dan Personal" tsb dikarenakan anda mendiskusikan 'keinginan bebas' di forum Buddhism. Seperti yg anda ketahui Buddhism tidak memusingkan akan adanya Tuhan yg Maha Kuasa tsb karena inti Ajaran Buddha adalah terbebasnya manusia dari ketidakpuasan dan penderitaan batin. Saya pribadi sebenarnya juga heran kenapa anda dengan mudahnya menyatakan 'kasih sayang' dan 'pilihan bebas' adalah 'pemberian Tuhan'.
Mengenai pernyataan anda bahwa SG 'menyangkal' berbagai pilihan, sy tidak mengerti kenapa anda berpendapat begitu. Yg saya tau adalah SG melihat hidup ini tidak memuaskan dan Beliau mencari penyebab ketidakpuasan ini dan jalan keluarnya.
Terakhir, bagaimana hubungan antara ilmu kompatiologi, tujuan hidup dan keyakinan agama (adanya Tuhan)? Sy jelaskan sedikit: umumnya keinginan setiap orang adalah bahagia dan mereka nencarinya melalui berbagai ajaran yg ditawarkan (agama), ada yg berhasil menemukannya, menerapkannya dan merasakan effectnya.
Trims
willi
::
Saya kadang-kadang mabok sendiri bagaimana saya harus memaksakan diri membahas hal yang bukan keahlian saya dengan sudutpandang yang berbeda-beda yang disebabkan oleh sifat kompatiologi yang terlalu luas outcome penerapannya. Misalnya tahun 2007 awal kompatiologi dicoba diterapkan ke bidang intelejen oleh beberapa pribadi dan beberapa orang yang menggemari hal-hal kemiliteran, saat itu lima orang pengajar kompatiologi berkesempatan belajar menembak, sniper, dan penggunaan persenjataan lainnya. Pulang penerapan ke hal-hal yang sedikit berbau militer tersebut kami menghadapi penerapan yang bidangnya 180' beda lagi. Begitu banyak bidang baru yang kami harus pelajari tidak mendalam, yang mendalam hanya di kompatiologinya sendiri. Kalau kami mendalam ke bidang tertentu maka kami menjadi berpihak.
Masuk ke forum dhammacitta.org adalah pertama kali buat saya belajar bagaimana harus berbicara dengan umat non samawi terutama umat Buddha. Sebelumnya saya harus bisa menyesuaikan diri cara bicara dengan umat Islam, umat kr****n, umat ka****k, dlsb. Dulu saya punya guru di Bali yang pengikutnya banyak beragama Hindu tetapi saya belum mengerti benar cara ngomong dengan orang Hindu. Soal iman saya sendiri; hanya saya sendiri yang tahu apa yang saya imani, tidak untuk di share dengan orang lain.
Dalam kerangka pemikiran samawi sejak Adam dan Hawa pencipta memberikan anugerah berupa pilihan bebas kepada manusia (pencipta mendekati ciptaan). Dalam kerangka pemikiran non-samawi manusia yang berusaha mencari, mendekati kebenaran (ciptaan mendekati pencipta). Dalam pembahasan SG penggunaan kata 'menyangkal' karena saya bahas dalam konteks "anugerah pilihan bebas"(samawi). Anda menggunakan kata "SG melihat hidup ini tidak memuaskan dan Beliau mencari penyebab ketidakpuasan ini dan jalan keluarnya" dalam konteks non-samawi. Hal yang dibahas sebenarnya sama saja.
Agama memiliki doktrin, saya memiliki metode/tekhnik untuk membuat orang berjalan dalam track dalam perjalanan menemukan kebahagiaannya. Jadi kompatiologi tidak bentrok dengan agama karena kompatiologi tidak memiliki doktrin tertentu selain yang berhubungan dengan metode/tekhnik-nya. Jadi bisa tetap digunakan doktrin agama masing-masing pribadi tersebut.
ini menjelaskan bahwa kompatiologi sebenarnya tidak kompatibel dengan banyak hal. hanya beberapa scope saja.
Quote from: vincentliong on 04 July 2008, 09:42:32 AM
....
Dalam kerangka pemikiran samawi sejak Adam dan Hawa pencipta memberikan anugerah berupa pilihan bebas kepada manusia (pencipta mendekati ciptaan). Dalam kerangka pemikiran non-samawi manusia yang berusaha mencari, mendekati kebenaran (ciptaan mendekati pencipta). Dalam pembahasan SG penggunaan kata 'menyangkal' karena saya bahas dalam konteks "anugerah pilihan bebas"(samawi). Anda menggunakan kata "SG melihat hidup ini tidak memuaskan dan Beliau mencari penyebab ketidakpuasan ini dan jalan keluarnya" dalam konteks non-samawi. Hal yang dibahas sebenarnya sama saja.
Nah, disinilah letak kesulitannya Bro..Dengan sudut pandang yang berbeda akan menghasilkan output yang berbeda pula. Jika SG yang telah "padam" masih memiliki 'penyangkalan' maka beliau bukanlah seorang yang tercerahkan..Justru karena menerima, maka itu bisa melepas.
Agama memiliki doktrin, saya memiliki metode/tekhnik untuk membuat orang berjalan dalam track dalam perjalanan menemukan kebahagiaannya. Jadi kompatiologi tidak bentrok dengan agama karena kompatiologi tidak memiliki doktrin tertentu selain yang berhubungan dengan metode/tekhnik-nya. Jadi bisa tetap digunakan doktrin agama masing-masing pribadi tersebut.
Doktrin adalah sesuatu yang mutlak, tidak dapat disanggah walaupun tidak dapat ditelusuri kebenarannya..Dalam Buddhism, tidak ada doktrin, karena semua ajaran dapat ditelusuri, dicoba dan dibuktikan kebenarannya..
Quote from: nyanadhana on 04 July 2008, 09:51:23 AM
ini menjelaskan bahwa kompatiologi sebenarnya tidak kompatibel dengan banyak hal. hanya beberapa scope saja.
Metode/Tekhnik Kompatiologi tidak memiliki limitasi penerapan. Limitasi ada di pengajarnya untuk belajar mengkomunikasikan penjelasan tentang apa itu kompatiologi. Untuk mengajarkan Metode/Tekhnik kami tidak memiliki keterbatasan sebab orangnya sendiri yang mengadaptasikan ke penerapan, bukan pengajar kompatiologi. Pengajar tetap tidak menguasai bidang terapan masing-masing pengguna.
Edward,
QuoteDoktrin adalah sesuatu yang mutlak, tidak dapat disanggah walaupun tidak dapat ditelusuri kebenarannya..Dalam Buddhism, tidak ada doktrin, karena semua ajaran dapat ditelusuri, dicoba dan dibuktikan kebenarannya..
Doktrin atau sistematika ajaran yang khas selalu ada dalam tiap ajaran. Yang tidak ada dalam Buddhisme adalah dogma, sesuatu yang harus dipercaya tanpa bukti.
ow iya...maap2...Salah pengertian..Thax Bro Kainyn sudah mengoreksi...
Quote from: Edward on 04 July 2008, 10:17:38 AM
ow iya...maap2...Salah pengertian..Thax Bro Kainyn sudah mengoreksi...
Maksudnya "thanx"? ;D
sama2!
_/\_
Quote from: Edward on 04 July 2008, 10:17:38 AM
ow iya...maap2...Salah pengertian..Thax Bro Kainyn sudah mengoreksi...
Itu "a"-nya nyangkut, mo-nya tulis thx doank... :))
[at] Vincent,
Supaya anda tidak mabok, maka akan sy berikan sedikit gambaran apa yg Buddha ajarkan mengenai mental.
Menurut Buddhism:
Hidup ini adalah 'tidak memuaskan' karena 'keinginan kita yg terlalu kuat' terhadap segala sesuatu. Padahal sifat alami segala sesuatu di alam ini adalah 'selalu berubah'. Nah Buddhism mengajarkan, untuk keluar dari penderitaan tiap detik ini, yg dapat kita lakukan adalah memanage 'keinginan' kita tsb, krn tidaklah mungkin memanage faktor2 luar yg terlalu kompleks dan yg selalu berubah tsb, hal tsb tidaklah mungkin. Yg mungkin adalah memanage pikiran/keinginan kita agar dapat menyikapi segala kondisi dengan 'apa adanya' (kebijaksanaan).
Untuk bisa begitu, Buddhism mengajarkan juga mengenai 'pikiran' yg akan kita manage ini. Pikiran/batin, sifatnya selalu berubah, timbul dan lenyap dgn sangat cepatnya (milyaran kali perdetik). Pikiran yg timbul n lenyap dgn sangat cepatnya ini kemunculannya dikondisikan oleh input yg masuk melalui ke 6 indra kita. Tidak ada jiwa/roh, yg ada hanyalah batin/pikiran yg timbul n lenyap dgn sangat cepatnya ini. Respon yg kita berikan juga termasuk dlm kelompok batin/pikiran ini. Bila kita selalu memberikan respon yg negatif, maka batin kita akan terpoles menjadi negatif, demikian seterusnya tren batin kita akan cenderung negatif terus. Hasilnya, kita akan menderita terus krn kebiasaan kita sendiri sedikit demi sedikit tsb yg berakumulasi.
Jadi inti Ajaran Buddhism terletak pada 'Respon Batin' yg kita berikan thp segala sesuatu yg terjadi disekitar kita.
Untuk itu tentu pikiran kita harus 'Kuat' (berkonsentrasi). Buddhism memberikan latihan meditasi untuk menguatkan konsentrasi ini. Juga penjagaan kelakuan (sila/moral) agar mempermudah kita mengikis kebiasaan2 jelek kita yg telah terbentuk sejak lama. Untuk meningkatkan pemahaman kita akan sifat alami segala sesuatu di alam ini, Buddhism menganjurkan kita meningkatkan kebijaksanaan kita melalui pembacaan, diskusi, perenungan dan implementasi.
Lebih dari setengah kitab Tipitaka (total 84.000 bab) membahas trik mengenai 'pikiran' ini. Dan selama 2500 tahun ini, alhamdulilah, ke 84.000 bab ini cukup dapat membantu umat Buddhist dalam menghadapi masalah2 kesehariannya
Nah, Sdr Vincent setelah membaca sekilas mengenai apa itu Buddhism, kini anda tentu mengerti bahwa umat Buddha mempunyai metoda yg sgt lengkap untuk menghadapi kehidupan ini. Bisa anda renungkan sendiri apakah Kompatiologi masih dibutuhkan oleh umat Buddha?
::
willibordus wrote:
Hidup ini adalah 'tidak memuaskan' karena 'keinginan kita yg terlalu kuat' terhadap segala sesuatu. Padahal sifat alami segala sesuatu di alam ini adalah 'selalu berubah'. Nah Buddhism mengajarkan, untuk keluar dari penderitaan tiap detik ini, yg dapat kita lakukan adalah memanage 'keinginan' kita tsb, krn tidaklah mungkin memanage faktor2 luar yg terlalu kompleks dan yg selalu berubah tsb, hal tsb tidaklah mungkin. Yg mungkin adalah memanage pikiran/keinginan kita agar dapat menyikapi segala kondisi dengan 'apa adanya' (kebijaksanaan).
Vincent Liong wrote:
"Memanage keinginan" dan "Apa Adanya" adalah dua hal yang bertentangan. Dalam "memanage keinginan" ada usaha untuk dari kondisi tertentu menjadi kondisi tertentu "yang diyakini akan lebih baik". Sesuatu yang memiliki nilai usaha adalah hasil manipulasi oleh diri secara sengaja atas dorongan "yang diyakini akan lebih baik", lalu bagaimana bisa terjadi kondisi yang disebut "Apa Adanya" bila telah ada pengaruh dari pihak lain atau ajaran warisan bahwa ada "yang diyakini akan lebih baik", lebih bijaksana, dlsb?
willibordus wrote:
Untuk bisa begitu, Buddhism mengajarkan juga mengenai 'pikiran' yg akan kita manage ini. Pikiran/batin, sifatnya selalu berubah, timbul dan lenyap dgn sangat cepatnya (milyaran kali perdetik). Pikiran yg timbul n lenyap dgn sangat cepatnya ini kemunculannya dikondisikan oleh input yg masuk melalui ke 6 indra kita. Tidak ada jiwa/roh, yg ada hanyalah batin/pikiran yg timbul n lenyap dgn sangat cepatnya ini. Respon yg kita berikan juga termasuk dlm kelompok batin/pikiran ini. Bila kita selalu memberikan respon yg negatif, maka batin kita akan terpoles menjadi negatif, demikian seterusnya tren batin kita akan cenderung negatif terus. Hasilnya, kita akan menderita terus krn kebiasaan kita sendiri sedikit demi sedikit tsb yg berakumulasi.
Jadi inti Ajaran Buddhism terletak pada 'Respon Batin' yg kita berikan thp segala sesuatu yg terjadi disekitar kita.
Vincent Liong wrote:
Penjelasan di dua paragraph di atas memiliki kesamaan dengan ilmu-ilmu berbasis "motivasi/positif thinking" yang mengabaikan/menyangkal hal-hal yang dianggap negatif atau tidak disukai. Memang kalau bermain di pikiran ada batasan intepretasi negatif dan positif, ini yang menjadi kesulitan. Manusia memiliki kesukaan dan ketidaksukaan, maka biasanya lebih memilih yang disukai saja dengan alasan label pencerahan, konsentrasi, dlsb. Apakah Buddhist seperti yang diceritakan tsb di atas adalah positif thinking? Saya kira kok ngak gitu yach? Apakah saya yang salah atau ada di penjelasan ini yang telah terdistorsi dari non-buddhist?
willibordus wrote:
Untuk itu tentu pikiran kita harus 'Kuat' (berkonsentrasi). Buddhism memberikan latihan meditasi untuk menguatkan konsentrasi ini. Juga penjagaan kelakuan (sila/moral) agar mempermudah kita mengikis kebiasaan2 jelek kita yg telah terbentuk sejak lama. Untuk meningkatkan pemahaman kita akan sifat alami segala sesuatu di alam ini, Buddhism menganjurkan kita meningkatkan kebijaksanaan kita melalui pembacaan, diskusi, perenungan dan implementasi.
Lebih dari setengah kitab Tipitaka (total 84.000 bab) membahas trik mengenai 'pikiran' ini. Dan selama 2500 tahun ini, alhamdulilah, ke 84.000 bab ini cukup dapat membantu umat Buddhist dalam menghadapi masalah2 kesehariannya
Nah, Sdr Vincent setelah membaca sekilas mengenai apa itu Buddhism, kini anda tentu mengerti bahwa umat Buddha mempunyai metoda yg sgt lengkap untuk menghadapi kehidupan ini. Bisa anda renungkan sendiri apakah Kompatiologi masih dibutuhkan oleh umat Buddha?
Vincent Liong wrote:
Membicarakan pikiran adalah suatu hal yang sudah sangat terbatas karena sifat pikiran itu sudah penghakiman sepihak (judgement) berupa pendapat, sudutpandang, kepentingan, menguntungkan diri sendiri atau tidak, positif atau negatif untuk saya, dlsb. Permasalahannya selama hidup masih memiliki badan maka menyeleksi mana yang disukai atau tidak disukai, positif atau negatif; dengan pembelaan label-label pencerahan, konsentrasi, dlsb. Manusia melakukan apa yang menguntungkan dirinya. Permasalahannya ajaran mau tidak mau sudah bersifat pikiran karena ada sifatnya yaitu diajarkan. Tentunya yang sang budha alami bukan buah pikiran tetapi pengalaman, yang terpaksa diwariskan dalam bentuk pemikiran-pemikiran karena keterbatasan alat komunikasi manusia itu sendiri.
Kompatiologi (metode dekon-kompatiologi bukan pembahasan-pembahasan saya yang lain) digunakan untuk membawa ke sebelum penghakiman sepihak (judgement). Meskipun dalam pengiklanan mau tidak mau jadi seperti ajaran, tetapi dalam penerapan metode/tekhnik dekon-kompatiologi samasekali tidak ada ajaran yang diberikan, hanya pengalamanan makan dan minum saja. Ketika sesuatu sudah sampai pada pemikiran maka sifatnya menjadi benar salah, disukai dan tidak disukai. Ketika sesuatu baru sampai pada pengalaan indrawi maka sifatnya adalah suatu posisi diri data terhadap jangkauan variasi data sejenis. Ada berbagai jenis data dengan jangkauan variasinya masing-masing. Pada akhirnya data tersebut diproses dengan pikiran juga, tetapi proses berpikirnya dibiarkan apa adanya tidak dipengaruhi oleh ajaran dan manipulasi pengajar atau pengguna sendiri.
Pertama,
Mengenai 'manage keinginan' dan 'melihat n menerima apa adanya' menurut anda kedua hal ini bertentangan. Padahal tidak, kedua hal ini saling berkaitan erat. Memanage keinginan agar tidak terlalu melekat terhadap hasil berhubungan dengan kemampuan menerima apapun hasil sebagaimana adanya. Memang pada tahapan awal diperlukan usaha yg sangat kuat untuk bisa begini dikarenakan kebiasaan yg telah kita pupuk sejak lama. Seerti yg anda tulis, kita terbiasa mengharapkan yg 'disukai', kita belum terbiasa untuk menerima 'apa adanya'. Kita ambil contoh berdiskusi di forum ini, pada mulanya ketika pendapat kita ditentang, kita tidak menerima dan membalas dengan gencar akhirnya akan timbul debat panjang yg tidak berkesudahan, selama itu batin kita penuh emosi, kekesalan dan kemarahan. Batin kita bergejolak, batin yg bergejolak ini adalah 'ketidakpuasan'. Supaya tidak 'menderita' begini, kita seharusnya memanage batin agar tidak terlalu mengharapkan hasil (agar pendapat kita harus diterima) dan juga bisa melihat kenyataan apa adanya. Ini tentu tidak mudah, perlu USAHA. Namun bila dilatih terus menerus maka akan menjadi kebiasaan batin/pikiran yg baru.
Sy tambahkan satu lagi sifat pikiran, yakni: pikiran perlu dilatih sedikit demi sedikit, maka akan menjadi kebiasaan.
Kedua,
Anda telah salah menilai tulisan sy. Bisa anda baca ulang, sy tidak pernah sama sekali berpendapat bahwa kita harus positive thinking. 'Melihat dan menerima apa adanya' adalah 'Realistic thinking'. Metoda kompatiologi anda rupanya telah gagal dalam menyikapi tulisan sy. Anda tidak dapat melihat tulisan saya 'sebagaimana adanya'. Anda membaca tulisan sy disertai persepsi2 dan ditempeli label2: Buddhist dan Non Buddhist, Ajaran turun temurun, dsbnya. Sebenarnya kita mendiskusikan METODA, tanpa melihat ini adalah ajaran turun temurun atau si penulis adalah Buddhist / bukan.
Jadi, sy masih melihat Ajaran Buddha mudah dimengerti dan bermanfaat.
::
Willibordus wrote:
Pertama,
Mengenai 'manage keinginan' dan 'melihat n menerima apa adanya' menurut anda kedua hal ini bertentangan. Padahal tidak, kedua hal ini saling berkaitan erat. Memanage keinginan agar tidak terlalu melekat terhadap hasil berhubungan dengan kemampuan menerima apapun hasil sebagaimana adanya. Memang pada tahapan awal diperlukan usaha yg sangat kuat untuk bisa begini dikarenakan kebiasaan yg telah kita pupuk sejak lama. Seerti yg anda tulis, kita terbiasa mengharapkan yg 'disukai', kita belum terbiasa untuk menerima 'apa adanya'. Kita ambil contoh berdiskusi di forum ini, pada mulanya ketika pendapat kita ditentang, kita tidak menerima dan membalas dengan gencar akhirnya akan timbul debat panjang yg tidak berkesudahan, selama itu batin kita penuh emosi, kekesalan dan kemarahan. Batin kita bergejolak, batin yg bergejolak ini adalah 'ketidakpuasan'. Supaya tidak 'menderita' begini, kita seharusnya memanage batin agar tidak terlalu mengharapkan hasil (agar pendapat kita harus diterima) dan juga bisa melihat kenyataan apa adanya. Ini tentu tidak mudah, perlu USAHA. Namun bila dilatih terus menerus maka akan menjadi kebiasaan batin/pikiran yg baru.
Sy tambahkan satu lagi sifat pikiran, yakni: pikiran perlu dilatih sedikit demi sedikit, maka akan menjadi kebiasaan.
Vincent Liong answer:
Melatih pikiran dengan sengaja, yang terjadi adalah menggantikan pikiran yang satu dengan pikiran yang lain. Tetap tidak akan mampu mencapai 'melihat n menerima apa adanya' karena yang apa adanya tidak memiliki usaha apapun yang disengaja nama jenis usahanya.
Willibordus wrote:
Kedua,
Anda telah salah menilai tulisan sy. Bisa anda baca ulang, sy tidak pernah sama sekali berpendapat bahwa kita harus positive thinking. 'Melihat dan menerima apa adanya' adalah 'Realistic thinking'. Metoda kompatiologi anda rupanya telah gagal dalam menyikapi tulisan sy. Anda tidak dapat melihat tulisan saya 'sebagaimana adanya'. Anda membaca tulisan sy disertai persepsi2 dan ditempeli label2: Buddhist dan Non Buddhist, Ajaran turun temurun, dsbnya. Sebenarnya kita mendiskusikan METODA, tanpa melihat ini adalah ajaran turun temurun atau si penulis adalah Buddhist / bukan.
Jadi, sy masih melihat Ajaran Buddha mudah dimengerti dan bermanfaat.
Vincent Liong answer:
Tulisan membahas kompatiologi adalah tulisan bukan tekhnik/metode kompatiologi. Tulisan anda yang membahas Buddha adalah tulisan bukan tekhnik/metode yang digunakan di Buddha.
Sebenarnya saya sudah siapkan jawaban untuk pembahasan ini di e-link: http://dhammacitta.org/forum/index.php?topic=3541.0
Subject: Meditation (from From Wikipedia, the free encyclopedia)
Selamat membaca...
vincent liong seorng filsuf? setiap kata-kata yang ditlis sangat panjaaaang..
Quote from: JHONSON on 08 July 2008, 06:50:37 PM
vincent liong seorng filsuf? setiap kata-kata yang ditlis sangat panjaaaang..
Sejak tahun 2003 saya banyak bermain di dunia maillist terutama yahoogroups.com . Di forum orang biasa menulis pendek-pendek seperti balas-berbalas chatting, tetapi di maillist orang biasa menulis panjang dalam bentuk artikel. Sampai hari ini saya lebih terbiasa di maillist daripada di forum, kalau di forum saya hanya nulis kalau ada yang mengundang saja.
Meditation (from From Wikipedia, the free encyclopedia)
e-link: http://en.wikipedia.org/wiki/Meditation
" Meditation is discipline in which one attempts to get beyond the conditioned, "thinking" mind into a deeper state of relaxation or awareness. ..."
1a. "beyond - thinking" adalah/jelaskan:
1b. "conditioned thinking" adalah/jelaskan:
2. "deeper state of relaxation or awareness" adalah/jelaskan:
1a. "beyond - thinking"
input indrawi -> naluri/insting -> output spontan.
input indrawi -> thinking -> output tidak spontan.
input berupa pemikiran -> thinking -> output tidak spontan.
Bilamana suatu data telah bersifat thinking maka pengalaman indrawi akan. kalah/tertutupi oleh kegiatan berpikir (thinking) sehingga bersifat tidak spontan.
Kondisi beyond thinking hanya bisa terjadi bila samasekali belum berpikir (thinking).
Problemnya: penjelasan berupa ajaran lisan/tertulis diproses menggunakan kegiatan berpikir (thinking). Jadi bagaimana mengakali agar suatu kegiatan yang sudah memiliki ajaran (thinking) menjadi before/beyond thingking?
Ketika orang bertemu maka mengucapkan salam: "Apakabar?" dan jawaban yang standart "baik". "How are you ?" dijawab "I'am fine thank you.". Mengapa hal ini dilakukan? Jawab: untuk mencairkan suasana, untuk menghilangkan praduga/asumsi. Sama seperti apa rasa minuman ini? Jawab: Manis.
Jadi selama sebuah kegiatan meditasi mampu mencaikan suasana, mencairkan praduga, asumsi/penghakiman, dlsb maka memenuhi definisi meditasi menurut point "1a" tsb di atas.
1b. "conditioned thinking"
"conditioned thinking" adalah pikiran yang dikondisikan oleh pihak lain; ajaran lisan/tertulis adalah contoh "conditioned thinking".
Jadi bagaimana "mengajarkan suatu ajaran" (conditioned thinking) yang tidak "conditioned thinking"?
* Saat memperkenalkan suatu jenis produk meditasi, mau tidak mau ada ajaran yang diceritakan untuk menjelaskan apa sich produk meditasi tsb, apa gunanya, dlsb; jadi sangat mustahil mengajarkan meditasi tanpa melanggar point "beyond conditioned thinking" ini meskipun pada akhir sesi meditasi dan setelah mengalami meditasi maka hal ini harus terpenuhi sebagai hasil akhir.
* Jadi ada dua cara yang bertolakbelakang satu sama lain dalam mengajarkan suatu metode/tekhnik meditasi; pertama-tama melanggar point "beyond conditioned thinking" terlebih dahulu, sampai orangnya berminat dan memutuskan untuk mencoba, lalu setelah itu "conditioned thinking" harus dibunuh dengan metode/tekhnik yang melunturkan "conditioned thinking" tersebut kembali menjadi "beyond conditioned thinking".
* Bagaimana keterampilan seorang guru harus mampu menentukan kapan dia menjadi guru yang bersikap "conditioned thinking" dan kapan harus mampu menghancurkan/melunturkan "conditioned thinking" tersebut.
Seperti orang membuat batik tulis, setelah digambar dengan lilin, lalu dicelup ke dalam pewarna lalu lilinnya disingkirkan, fungsi lilin adalah agar pewarna mewarnai daerah yang diinginkan saja dan tidak mewarnai daerah yang tertutup lilin. Berbagai tindakan yang berlawanan dilakukan demi mencapai hasil yang diharapkan.
2. "deeper state of relaxation or awareness"
"deeper state of relaxation or awareness" adalah bahasa keren/indah untuk menjelaskan kondisi "beyond conditioned thinking" meskipun penjelasan yang digunakan oleh pengajar pada saat menerangkan produk meditasi kepada calon pengguna sudah bersifat "conditioned thinking" yang harus dilunturkan pada tahap praktikum metode/tekhnik meditasi.
* Apa sich arti orang sedang di kondisi "deeper state of relaxation"?
Jawab: belum/tidak sedang berpikir.
* Apa sich arti seseorang sedang di kondisi "aware"?
Jawab: Mengalami data secara utuh/lengkap, kondisi ini hanya bisa didapatkan saat seseorang belum berpikir yaitu saat seseorang mengalami pengalaan indrawi yang tidak terbatasi oleh kata-kata.
Prasyarat-prasyarat tersebut di atas adalah prasyarat suatu kegiatan/tekhnik/metode/ritual yang dinamakan "meditasi" memiliki standart yang memenuhi criteria untuk pantas disebut "meditasi". Bila hal-hal tsb di atas tidak terpenuhi maka meski namanya "meditasi", menggunakan berbagai atribut budaya yang berkesan pencerahan spiritual, sebenarnya hal tsb tidak pantas disebut "meditasi". Jadi keberhasilan "meditasi" sangat ditentukan oleh keterampilan guru dan efektifitas metode untuk menciptakan kondisi "meditasi".
Ada komentar?
jadi bro, kesimpulannya, anda mendukung meditasi atau tidak?
anda memiliki pengalaman dalam bermeditasi gak?
kamu tertarik ajaran sang Buddha gak??
bro, diliat dari tulisan lu, mungkin bisa jadi penulis untuk membuat
novel, artikel atau sebuah buku.
Quote from: Kainyn_Kutho on 04 July 2008, 10:04:45 AM
Edward,
QuoteDoktrin adalah sesuatu yang mutlak, tidak dapat disanggah walaupun tidak dapat ditelusuri kebenarannya..Dalam Buddhism, tidak ada doktrin, karena semua ajaran dapat ditelusuri, dicoba dan dibuktikan kebenarannya..
Doktrin atau sistematika ajaran yang khas selalu ada dalam tiap ajaran. Yang tidak ada dalam Buddhisme adalah dogma, sesuatu yang harus dipercaya tanpa bukti.
Bilamana dalam Buddhisme tidak ada "sesuatu yang harus dipercaya tanpa bukti" maka tentunya harus ada sikap skeptisme/tanpa prasangka baik maupun buruk dalam Buddhisme sendiri untuk mempertanyakan apa yang ada di dalam Buddhisme itu sendiri.
Diakui atau tidak yang namanya manusia itu tetap memiliki "sesuatu yang harus dipercaya tanpa bukti" , hal ini sudah ada pada mekanisme mental manusia itu sendiri. Kalau tidak maka tidak ada pembelaan terhadap sesuatu yang masing-masing dari kita "yakini" benar (yakin: mempercayai sesuatu yang tidak kelihatan dan tidak memerlukan bukti).
Mengatakan bahwa dalam Buddhism tidak memiliki dogma "sesuatu yang harus dipercaya tanpa bukti" adalah sombong sekali... Karena mengatakan bahwa "semua ajaran dapat ditelusuri, dicoba dan dibuktikan kebenarannya" adalah juga asumsi yang di-"yakin"-i tanpa keharusan untuk bersifat skeptis/tanpa prasangka baik maupun buruk untuk membuktikannya.
Pada akhirnya perjalanan setiap umat Buddhis bisa bersifat "sesuatu yang harus dipercaya tanpa bukti", bisa pula "semua ajaran dapat ditelusuri, dicoba dan dibuktikan kebenarannya" adalah tergantung diri masing-masing.
Quote from: JHONSON on 08 July 2008, 07:55:46 PM
jadi bro, kesimpulannya, anda mendukung meditasi atau tidak?
anda memiliki pengalaman dalam bermeditasi gak?
kamu tertarik ajaran sang Buddha gak??
bro, diliat dari tulisan lu, mungkin bisa jadi penulis untuk membuat
novel, artikel atau sebuah buku.
Masalahnya ketika menggunakan kata "meditasi" maka ada suatu paksaan tidak tertulis bahwa terikat pada salahsatu metode meditasi yang ada diantara banyak metode meditasi yang ada. Kalau di forum ini maka terikat ke kata "meditasi" yang terikat dengan metode meditasi umat Buddhist.
Siapa saja bisa mengatakan memiliki pengalaman dalam bermeditasi, permasalahannya; meditasi metode/tekhnik/aliran-nya siapa yang dimaksut dalam penggunakan kata "meditasi" tersebut.
"setiap manusia mempunyai benih keBuddhaan". Saya membahas hal-hal seperti meditasi, keBuddhaan, dlsb sebagai variasi pilihan metode/tekhnik di forum ini tidak mengikatkan diri dengan aliran tertentu karena "benih keBuddhaan" maupun meditasi bukan barang milik siapa-siapa.
Meditasi pada akhirnya adalah suatu kondisi. Cara mencapai kondisi tersebut bisa dipilih oleh masing-masing orang, yang penting tujuannya sampai pada kondisi tersebut, caranya bisa macam-macam tidak ada yang salah atau benar.
Apakah pilihan cara sudah dibatasi dalam diskusi ini? Atau hanya boleh menggunakan satu cara yang dianggap paling benar dan cara yang lain salah?
duh ribetnya, kenapa tidak bilang "meditasi tanpa metoda" ataupun "meditasi metoda A" saja?
Quote from: Sumedho on 08 July 2008, 09:15:53 PM
duh ribetnya, kenapa tidak bilang "meditasi tanpa metoda" ataupun "meditasi metoda A" saja?
Saya kira setiap meditasi metode apapun memiliki metodenya masing-masing, tidak ada meditasi tanpa metode. Setiap metode dibangun sesuai dengan kondisi situasi, latarbelakang, jaman, dlsb saat metode tsb dicetuskan. Misalnya, saya hidup tiap hari makan, tidur di rumah, jalan-jalan dan fitness ke mall. Maka metode yang saya gunakan saya sesuaikan dengan kondisi mall tempat saya jalan-jalan dan fitness. Ketika kondisi kehidupan sehari-hari berbeda, maka metode yang akan dibuat berbeda. Salahsatu murid saya yang tinggal jauh dari mall mengubah metode saya untuk disesuaikan karena saat itu ia tinggal di lingkungan desa yang banyak sawahnya, jadi disesuaikan dengan kondisi setempat.
QuoteMasalahnya ketika menggunakan kata "meditasi" maka ada suatu paksaan tidak tertulis bahwa terikat pada salahsatu metode meditasi yang ada diantara banyak metode meditasi yang ada. Kalau di forum ini maka terikat ke kata "meditasi" yang terikat dengan metode meditasi umat Buddhist.
Siapa saja bisa mengatakan memiliki pengalaman dalam bermeditasi, permasalahannya; meditasi metode/tekhnik/aliran-nya siapa yang dimaksut dalam penggunakan kata "meditasi" tersebut.
jadi kalau ngomong meditasi, kalau eksplisit, tidak ada masalah komunikasi kan?
vincentliong,
QuoteBilamana dalam Buddhisme tidak ada "sesuatu yang harus dipercaya tanpa bukti" maka tentunya harus ada sikap skeptisme/tanpa prasangka baik maupun buruk dalam Buddhisme sendiri untuk mempertanyakan apa yang ada di dalam Buddhisme itu sendiri.
Ya, memang dari Tipitaka Pali yang saya baca, memang sudah seharusnya orang bersikap skeptik dan menyelidiki kebenaran. Mungkin anda sudah sering dengar tentang kutipan Kalama Sutta:
"... Jangan begitu saja mengikuti tradisi lisan, ajaran turun-temurun, kata orang, koleksi kitab suci, penalaran logis, penalaran lewat kesimpulan, perenungan tentang alasan, penerimaan pandangan setelah mempertimbangkannya, pembicara yang kelihatannya meyakinkan, atau karena kalian berpikir, 'Petapa itu adalah guru kami.' Tetapi setelah kalian mengetahui sendiri, 'Hal-hal ini adalah tidak bermanfaat, hal-hal ini dapat dicela; hal-hal ini dihindari oleh para bijaksana; hal-hal ini, jika dilaksanakan dan dipraktekkan, menuju kerugian dan penderitaan', maka kalian harus meninggalkannya..."Di sini memang sudah jelas bahwa seseorang
memang harus meragukan ajaran Buddha dan menyelidiki kebenarannya, bukan asal percaya. Setidaknya itu yang ada dalam kitabnya, tapi saya tidak tahu bagaimana penerapannya oleh orang2 Buddhis sendiri, atau memang bisa juga saya yang salah tafsir.
QuoteDiakui atau tidak yang namanya manusia itu tetap memiliki "sesuatu yang harus dipercaya tanpa bukti" , hal ini sudah ada pada mekanisme mental manusia itu sendiri. Kalau tidak maka tidak ada pembelaan terhadap sesuatu yang masing-masing dari kita "yakini" benar (yakin: mempercayai sesuatu yang tidak kelihatan dan tidak memerlukan bukti).
Anda bicara secara general atau khusus? Kalau anda bilang secara general, memang betul. Tapi jika maksudnya adalah semua orang -tanpa terkecuali- harus memiliki mental demikian, maka sudah tentu wawasan anda tentang variasi manusia sangatlah kurang. Anda boleh research di komunitas ilmuwan di negara yang tidak memaksakan orang untuk memeluk agama, apakah mereka memerlukan suatu 'pegangan' yang tidak bisa dibuktikan. Bagus untuk menambah wawasan tentang variasi manusia.
QuoteMengatakan bahwa dalam Buddhism tidak memiliki dogma "sesuatu yang harus dipercaya tanpa bukti" adalah sombong sekali... Karena mengatakan bahwa "semua ajaran dapat ditelusuri, dicoba dan dibuktikan kebenarannya" adalah juga asumsi yang di-"yakin"-i tanpa keharusan untuk bersifat skeptis/tanpa prasangka baik maupun buruk untuk membuktikannya.
Meminjam ilmu anda, sombong atau tidak, tentunya hanya judgment anda sendiri. Untuk pribadi sangat bergantung pada dogma, memang sangat mungkin mengatakan itu sombong. Sama seperti anak SD yang sangat bergantung pada kalkulator untuk menghitung perkalian, mungkin akan memberi judgment "sombong" pada anak SMU yang tidak bergantung pada kalkulator. Boleh diterapkan dalam dekon selanjutnya untuk anda pelajari, tapi ter-dekon-nya jangan melulu "anak SD", nanti hasilnya kurang bervariasi.
Dalam Buddhisme, ajaran yang belum dapat ditelusuri atau dibuktikan kebenarannya, tidak perlu dijadikan prinsip kebenaran. Juga,
inti ajaran Buddha bahwa hidup ini adalah dukkha, dapat ditelusuri dan dibuktikan oleh setiap orang. Hal-hal lain seperti keberadaan 31 alam, kesaktian2 ataupun teori karma, tidak semua orang bisa membuktikannya. Bagi yang tidak bisa membuktikannya, tidak perlu mempercayainya.
QuotePada akhirnya perjalanan setiap umat Buddhis bisa bersifat "sesuatu yang harus dipercaya tanpa bukti", bisa pula "semua ajaran dapat ditelusuri, dicoba dan dibuktikan kebenarannya" adalah tergantung diri masing-masing.
Ya, makanya kembali pada masing2 pribadi, bagaimana mereka menafsirkan kitabnya, dan bagaimana seseorang menjalankan ajarannya.
QuoteQuote
Mengatakan bahwa dalam Buddhism tidak memiliki dogma "sesuatu yang harus dipercaya tanpa bukti" adalah sombong sekali... Karena mengatakan bahwa "semua ajaran dapat ditelusuri, dicoba dan dibuktikan kebenarannya" adalah juga asumsi yang di-"yakin"-i tanpa keharusan untuk bersifat skeptis/tanpa prasangka baik maupun buruk untuk membuktikannya.
Meminjam ilmu anda, sombong atau tidak, tentunya hanya judgment anda sendiri. Untuk pribadi sangat bergantung pada dogma, memang sangat mungkin mengatakan itu sombong. Sama seperti anak SD yang sangat bergantung pada kalkulator untuk menghitung perkalian, mungkin akan memberi judgment "sombong" pada anak SMU yang tidak bergantung pada kalkulator. Boleh diterapkan dalam dekon selanjutnya untuk anda pelajari, tapi ter-dekon-nya jangan melulu "anak SD", nanti hasilnya kurang bervariasi.
Dalam Buddhisme, ajaran yang belum dapat ditelusuri atau dibuktikan kebenarannya, tidak perlu dijadikan prinsip kebenaran. Juga, inti ajaran Buddha bahwa hidup ini adalah dukkha, dapat ditelusuri dan dibuktikan oleh setiap orang. Hal-hal lain seperti keberadaan 31 alam, kesaktian2 ataupun teori karma, tidak semua orang bisa membuktikannya. Bagi yang tidak bisa membuktikannya, tidak perlu mempercayainya.
dalam ajaran Buddha, tidak semua ajarannya bisa dibuktikan (31 alam, teori karma, reinkarnasi, dll) . Namun walaupun tidak bisa dibuktikan, apabila dipraktekkan akan memberikan manfaat. Apabila semua umat manusia bersikap skeptis: harus membuktikan dahulu baru percaya, menurut saya juga akan membuang-buang banyak waktu.
saya setuju kalau suatu ajaran belum berhasil dibuktikan tidak boleh dijadikan suatu kebenaran mutlak. namun suatu ajaran yang memberikan manfaat walaupun tidak bisa dibuktikan boleh dipraktekkan (walaupun bukan kebenaran mutlak).
SandalJepit,
Quotedalam ajaran Buddha, tidak semua ajarannya bisa dibuktikan (31 alam, teori karma, reinkarnasi, dll) . Namun walaupun tidak bisa dibuktikan, apabila dipraktekkan akan memberikan manfaat. Apabila semua umat manusia bersikap skeptis: harus membuktikan dahulu baru percaya, menurut saya juga akan membuang-buang banyak waktu.
saya setuju kalau suatu ajaran belum berhasil dibuktikan tidak boleh dijadikan suatu kebenaran mutlak. namun suatu ajaran yang memberikan manfaat walaupun tidak bisa dibuktikan boleh dipraktekkan (walaupun bukan kebenaran mutlak).
Ya, betul. Seperti teori kamma, kita tidak bisa membuktikan kebenarannya, tetapi dicoba praktekkan saja apa yang bisa didapat dari berbuat baik dan berbuat jahat, nanti tahu sendiri manfaatnya.
Untuk inti ajarannya, yaitu tentang dukkha, itu sudah pasti bisa dibuktikan oleh setiap orang.
Dan pembuktian teori2 lain tentang 31 alam, kamma, tumimbal lahir, tidak berpengaruh pada praktek seseorang dalam proses penghentian dukkha (e.g. orang melakukan meditasi melihat ke 'dalam', tidak perlu pembuktian teori kamma/31 alam/dsb). Konsep dan teori dari ajaran itu adalah untuk mengarahkan pikiran agar berpikir secara benar (e.g. melihat orang terlahir cantik atau buruk adalah buah dari kamma lampau, bukan ujicoba mahluk adikuasa yang berhasil atau gagal, sehingga tidak perlu ada rasa tidak puas atau iri hati).
Jadi sifat skeptik itu memang dianjurkan, tetapi ditujukan pada hal2 yang membawa manfaat, bukan pada hal yang hanya membawa pada spekulasi.
Sdr. SandalJepit dan Kainyn_Kutho, sepertinya lebih tepat menggunakan kata "Kritis" dibanding skeptis. Jadi nga berat sebelah antara sikap tidak percaya dan sikap mau membuktikan kebenarannya.
Quote from: Kainyn_Kutho on 10 July 2008, 11:14:44 AM
SandalJepit,
Quotedalam ajaran Buddha, tidak semua ajarannya bisa dibuktikan (31 alam, teori karma, reinkarnasi, dll) . Namun walaupun tidak bisa dibuktikan, apabila dipraktekkan akan memberikan manfaat. Apabila semua umat manusia bersikap skeptis: harus membuktikan dahulu baru percaya, menurut saya juga akan membuang-buang banyak waktu.
saya setuju kalau suatu ajaran belum berhasil dibuktikan tidak boleh dijadikan suatu kebenaran mutlak. namun suatu ajaran yang memberikan manfaat walaupun tidak bisa dibuktikan boleh dipraktekkan (walaupun bukan kebenaran mutlak).
Ya, betul. Seperti teori kamma, kita tidak bisa membuktikan kebenarannya, tetapi dicoba praktekkan saja apa yang bisa didapat dari berbuat baik dan berbuat jahat, nanti tahu sendiri manfaatnya.
Untuk inti ajarannya, yaitu tentang dukkha, itu sudah pasti bisa dibuktikan oleh setiap orang.
Dan pembuktian teori2 lain tentang 31 alam, kamma, tumimbal lahir, tidak berpengaruh pada praktek seseorang dalam proses penghentian dukkha (e.g. orang melakukan meditasi melihat ke 'dalam', tidak perlu pembuktian teori kamma/31 alam/dsb). Konsep dan teori dari ajaran itu adalah untuk mengarahkan pikiran agar berpikir secara benar (e.g. melihat orang terlahir cantik atau buruk adalah buah dari kamma lampau, bukan ujicoba mahluk adikuasa yang berhasil atau gagal, sehingga tidak perlu ada rasa tidak puas atau iri hati).
Jadi sifat skeptik itu memang dianjurkan, tetapi ditujukan pada hal2 yang membawa manfaat, bukan pada hal yang hanya membawa pada spekulasi.
Saya pernah membuat pernyataan awal saya ketika mulai berdiskusi di forum ini ;
Saya adalah Nabi Palsu bagi Diri Sendiri. (Nabi adalah sebutan untuk orang yang ber-nubuat) Saya sadar bahwa saya tidak berhak meninggikan diri di hadapan Pencipta dengan bernubuat bagi orang lain. Dengan menyadari dan mengakui bahwa diri saya hanyalah seorang nabi palsu, maka saya telah menggenapi apa yang tertulis di kitab suci bahwa akan datang nabi-nabi palsu.
Ketika hari ini datang seseorang mengaku sebagai Nabi Asli, merasa lebih pintar, lebih mengerti, lebih tinggi di hadapan Pencipta dan berusaha mengarahkan orang lain, meninggikan diri di hadapan Pencipta dengan bernubuat bagi orang lain;
Di masa kini Ia yang Mengaku Nabi Asli itu telah merampas Hak manusia-manusia yang dijadikan pengikutnya, untuk bernubuat bagi diri sendiri; Setiap manusia berhak menjadi Nabi Palsu bagi Dirinya Sendiri, tidak untuk meninggikan diri dengan bernubuat bagi orang lain.
Permasalahannya ketika sesuatu sudah diteorikan, maka hilanglah kelengkapan informasi yang ingin diwakilkan dengan dibuatnya teori tersebut.
Kalau pakai bahasa samawi-nya; Sebagai ciptaan kita tidak akan mampu memahami kebijaksanaan pencipta.
Kalau pakai bahasa kompatiologi; Ketika saya, dan beberapa orang lain minum dari segelas minuman yang sama, maka sangat mungkin akan ada yang berpendapat bahwa rasa minuman itu manis, asin, pahit, asam atau pedas; tetapi dijamin 100% bahwa informasi utuh (feel/data mentah) yang didapatkan tentang minuman tersebut 100% sama. Tiap orang yang minum dan memberikan pendapatnya tentang rasa minuman (Judgement) hanya mendapatkan satu sudutpandang diantara sekian banyak sudutpandang, yang bila dikumpulkan, akan tetap sulit memberikan kebenaran yang mendekati 100% perihal rasa minuman tersebut (Generalisasi). Sebaliknya, bilamana ditentukan satu sudutpandang yang dianggap benar; maka masing-masing orang yang berusaha mengerti kebenaran tentang rasa minuman tersebut akan menemukan imajinasi, perkiraan tentang minuman tersebut yang berbeda-beda, yang tidak sama dengan minuman tersebut.
(Dikutip dari e-book; Kompatiologi logika komunikasi empati / I. Sejarah kompatiologi / Ide Dasar Kompatiologi Menggunakan Minuman bukan Kata-Kata)
Inilah alasannya mengapa saya berusaha menghindari menggunakan ajaran. Tujuan "beyond the conditioned thinking" dan "conditioned thinking" adalah dua hal yang bertolakbelakang, bicara sebagai suatu ilmu, suatu gerakan, suatu aliran tentunya harus memilih.
Toh memilih "conditioned thinking" pun tetap akan "merasa" mengerti "beyond the conditioned thinking" dari luarnya saja. Toh memilih "beyond the conditioned thinking" pun tetap akan mendapatkan "conditioned thinking". Jadi tidak ada yang salah atau benar, tetapi pilihan mau lewat jalan yang mana harus jelas atau tidak kesampaian kedua-duanya. Seperti pernah saya bahas tentang proses yang dimulai dari "beyond the conditioned thinking" sebagai berikut... (eksistensialisme = eksis = diri sendiri)
Proses yang dialami penganut eksistensialisme diawali dengan mengalami pengalaman (informasi/data secara utuh, alami, apa adanya) dan belum diberi pendapat, komentar, justifikasi yang bersifat verbal/pasti. Seperti misalnya kalau kita meminum segelas minuman dan belum berpendapat atas minuman tsb. Tentunya pengalaman yang dialami akan bisa di-Judgement atau tidak. 'Pendapat atas suatu pengalaman' (Judgement) bisa berubah dari waktu-ke waktu. Seperti misalnya kalau kita berkali-kali meminum segelas minuman yang 100% sama maka kita bisa memberikan 'pendapat'(judgement) yang berbeda setiap kali kita meminumnya tergantung situasi dan kondisi saat meminumnya. Sebuah Feel(data mentah) yang sama bisa memiliki bermacam-macam Judgement. Sebuah sample pengalaman bisa dibandingkan dengan variasi pengalaman sejenis yang berbeda-beda range(jangkauan) dan pembandingnya. Banyak variasi Judgement yang muncul yang membuat pertumbuhan jangkauan kerangka logika Generalisasi yang dipahami oleh orang tersebut. Kecepatan pertumbuhan pemahaman ini berbeda-beda tergantung apakah orang tsb berpikir apa adanya dari pengalaman data mentah diri sendiri, atau sudah terpengaruh oleh berbagai Judgement dan Generalisasi dari orang lain.
Muncul fenomena dimana seseorang bisa belajar tidak dari membaca dan mendengar teori atau pendapat orang lain, melainkan dari pengalaman sehari-hari yang tampak sangat sepele. Fenomena menarik yang sering tampak pada mantan peserta dekon-kompatiologi yang tidak pernah membaca buku-buku filsafat dan psikologi; tiba-tiba saja bisa 'ber-nubuat'(menceritakan ide-idenya yang original) dalam bidang filsafat atau psikologi, yang kalau diurutkan maka akan tampak mirip urutannya dengan urutan daftar isi sejarah filsafat barat atau buku sejarah teori-teori psikologi, dari paling awal hingga paling akhir. Satu-satunya kekurangannya, mereka yang bernubuat ini samasekali tidak tahu nama tokoh-tokoh filsafat dan psikologi yang berhubungan dengan ide-ide yang mereka ceritakan, kadang-kadang mereka bersikap sok tahu seolah-olah ide itu temuan mereka sendiri.
Bilamana kondisi "meditasi" sudah dapat dicapai, maka teori dan ajaran yang didengar atau dibaca dari pribadi lain tidak diperlukan lagi keberadaannya, karena toh akan terpikirkan dengan sendirinya (otomatis) dengan bahasa dan pendefinisian yang lebih dimengerti oleh pribadi itu sendiri.
Ini pilihan jalan yang saya ambil, belum tentu dipilih semua orang.
vincentliong,
QuoteSdr. SandalJepit dan Kainyn_Kutho, sepertinya lebih tepat menggunakan kata "Kritis" dibanding skeptis. Jadi nga berat sebelah antara sikap tidak percaya dan sikap mau membuktikan kebenarannya.
Skeptis juga merujuk pada sikap meragukan dengan alasan logis dan bersifat sistematis. Jadi bagi saya, kedua kata itu bisa digunakan.
QuotePermasalahannya ketika sesuatu sudah diteorikan, maka hilanglah kelengkapan informasi yang ingin diwakilkan dengan dibuatnya teori tersebut.
Kalau pakai bahasa samawi-nya; Sebagai ciptaan kita tidak akan mampu memahami kebijaksanaan pencipta.
Saya tertarik dengan gaya bicara sebagian orang Samawi yang sering mengatakan bahwa "ciptaan tidak mampu memahami pencipta", terutama jika ada sesuatu yang tidak sesuai dengan kepercayaannya, dan suka menuduh orang lain "playing God".
Misalnya masalah cloning manusia, sebagian mengatakan itu berusaha "menjadi Tuhan". Dikatakan "ciptaan tidak mampu memahami pencipta", tapi kok ada ciptaan yang memahami bahwa pencipta itu membatasi pikiran ciptaan agar tidak bisa cloning? Tahu dari mana bahwa cloning itu sendiri adalah "batasan" dari Pencipta, sedangkan dikatakan "ciptaan tidak ada yang mampu memahami pencipta"?
Quote...Muncul fenomena dimana seseorang bisa belajar tidak dari membaca dan mendengar teori atau pendapat orang lain, melainkan dari pengalaman sehari-hari yang tampak sangat sepele...
Saya justru berpendapat sebaliknya. Seharusnya memang manusia belajar melalui pengalaman sehari-hari, dari yang sepele sampai yang signifikan. Belakangan, baru muncul fenomena di mana orang belajar harus dari satu institusi tertentu yang sudah digeneralisasi (seperti sekolah).
QuoteBilamana kondisi "meditasi" sudah dapat dicapai, maka teori dan ajaran yang didengar atau dibaca dari pribadi lain tidak diperlukan lagi keberadaannya, karena toh akan terpikirkan dengan sendirinya (otomatis) dengan bahasa dan pendefinisian yang lebih dimengerti oleh pribadi itu sendiri.
Ya, saya juga berpendapat begitu. Masalahnya adalah, kadang2 orang mengalami "delusi" tapi beranggapan sudah mencapai kondisi "meditasi". Untuk menghindari hal2 seperti itu, maka dilakukan diskusi ataupun sharing, bukan untuk menilai/menghakimi apakah itu "delusi" atau "meditasi" (,karena memang tidak mungkin dilakukan kecuali memiliki kesaktian membaca pikiran), tapi untuk menambah wawasan untuk kemudian direnungkan masing2.
Kainyn_Kutho wrote:
Saya tertarik dengan gaya bicara sebagian orang Samawi yang sering mengatakan bahwa "ciptaan tidak mampu memahami pencipta", terutama jika ada sesuatu yang tidak sesuai dengan kepercayaannya, dan suka menuduh orang lain "playing God".
Misalnya masalah cloning manusia, sebagian mengatakan itu berusaha "menjadi Tuhan". Dikatakan "ciptaan tidak mampu memahami pencipta", tapi kok ada ciptaan yang memahami bahwa pencipta itu membatasi pikiran ciptaan agar tidak bisa cloning? Tahu dari mana bahwa cloning itu sendiri adalah "batasan" dari Pencipta, sedangkan dikatakan "ciptaan tidak ada yang mampu memahami pencipta"?
Vincent Liong answer:
"Kalau pakai bahasa samawi-nya" dimaksutkan bahwa kalimat itu biasanya saya gunakan untuk menyindir orang samawi yang "playing as God". Tentang cloning batasan tersebut adalah asumsi manusia tentang pemikiran pencipta, saya setuju.