Forum Dhammacitta

Topik Buddhisme => Diskusi Umum => Topic started by: Peacemind on 09 December 2010, 09:57:06 AM

Title: Ajaran Buddha: Buktikan dulu baru percaya. Benarkah?
Post by: Peacemind on 09 December 2010, 09:57:06 AM
Berbasis pada Kalama Sutta dan pernyataan 'ehipassiko', banyak penganut Buddhis biasanya tidak mau menerima atau percaya beberapa ajaran atau kepercayaan baik yang berasal dari luar maupun dari ajaran Buddha sendiri sebelum mereka mengalami dan membuktikkan kebenarannya. Pertanyaannya, apakah Sang Buddha mengajarkan kepada umatnya untuk membuktikkan semua ajaran beliau sebelum menempatkan kepercayaanya? Tidak bolehkah kita seorang Buddhis percaya terhadap beberapa ajaran Buddha yang belum kita realisasikan?
Title: Re: Ajaran Buddha: Buktikan dulu baru percaya. Benarkah?
Post by: Peacemind on 09 December 2010, 09:58:34 AM
Saya pribadi berpendapat bahwa ada beberapa ajaran Buddha yang harus dipercayai dulu sebelum dibuktikan.
Title: Re: Ajaran Buddha: Buktikan dulu baru percaya. Benarkah?
Post by: K.K. on 09 December 2010, 10:20:08 AM
Quote from: Peacemind on 09 December 2010, 09:57:06 AM
Berbasis pada Kalama Sutta dan pernyataan 'ehipassiko', banyak penganut Buddhis biasanya tidak mau menerima atau percaya beberapa ajaran atau kepercayaan baik yang berasal dari luar maupun dari ajaran Buddha sendiri sebelum mereka mengalami dan membuktikkan kebenarannya. Pertanyaannya, apakah Sang Buddha mengajarkan kepada umatnya untuk membuktikkan semua ajaran beliau sebelum menempatkan kepercayaanya? Tidak bolehkah kita seorang Buddhis percaya terhadap beberapa ajaran Buddha yang belum kita realisasikan?

Menurut saya, kata 'ehipassiko' itu merujuk pada kebenaran tentang dukkha, bukan pada segala fenomena secara keseluruhan. Kenyataan tentang ketidakpuasan adalah bisa dibuktikan oleh siapapun juga, bukan juga pada saat nanti atau di lain tempat (yang kita tidak tahu juga pastinya).

Mengenai kebenaran lain, semua kembali pada kemampuan setiap orang dalam membuktikan atau sebatas menangkap secara logika.

Title: Re: Ajaran Buddha: Buktikan dulu baru percaya. Benarkah?
Post by: adi lim on 09 December 2010, 11:22:29 AM
setuju dengan bro kainyn
nah kebanyakan orang2 yang suka menterjemahkan 'ehipasiko' ke semua masalah. :))

_/\_
Title: Re: Ajaran Buddha: Buktikan dulu baru percaya. Benarkah?
Post by: ryu on 09 December 2010, 11:55:58 AM
kalau berdasarkan kalama sutta jelas2 buda menerangkan pada suku kalama untuk memilih suatu ajaran atau pandangan bukan berdasarkan kata guru, spekulasi pribadi, bergantung pada yang kelihatan benar, kabar angin, tradisi dll
Title: Re: Ajaran Buddha: Buktikan dulu baru percaya. Benarkah?
Post by: Brado on 09 December 2010, 01:08:06 PM
Kalo tentang 31 alam kehidupan, tumimbal lahir gimana ? Bukankah juga harus dipercayai dahulu sebelum ada pembuktian ?
Title: Re: Ajaran Buddha: Buktikan dulu baru percaya. Benarkah?
Post by: Mr. Wei on 09 December 2010, 03:36:56 PM
Quote from: Brado on 09 December 2010, 01:08:06 PM
Kalo tentang 31 alam kehidupan, tumimbal lahir gimana ? Bukankah juga harus dipercayai dahulu sebelum ada pembuktian ?

Kalau ditanyakan kepada beberapa penceramah di vihara, pertanyaan seperti ini kerapkali dijawab dengan '31 alam kehidupan bisa dibuktikan kok, dengan hipnosis regresi, bisa ketauan kalau kelahiran kembali itu ada, dan ada alam kehidupan lain selain bumi.'

Menurut gw, pertanyaan tersebut sangat tidak menjawab. Lagipula jikalau benar ada kelahiran kembali, apakah benar ada 31 alam kehidupan, jangan2 cuma surga-bumi-neraka? :P
Title: Re: Ajaran Buddha: Buktikan dulu baru percaya. Benarkah?
Post by: K.K. on 09 December 2010, 03:52:29 PM
Quote from: Mr. Wei on 09 December 2010, 03:36:56 PM
Kalau ditanyakan kepada beberapa penceramah di vihara, pertanyaan seperti ini kerapkali dijawab dengan '31 alam kehidupan bisa dibuktikan kok, dengan hipnosis regresi, bisa ketauan kalau kelahiran kembali itu ada, dan ada alam kehidupan lain selain bumi.'

Menurut gw, pertanyaan tersebut sangat tidak menjawab. Lagipula jikalau benar ada kelahiran kembali, apakah benar ada 31 alam kehidupan, jangan2 cuma surga-bumi-neraka? :P
Hipnotis Regresi Kehidupan Lampau sendiri kebenarannya diragukan. Hipnotis memang berhubungan dengan bawah sadar, tetapi bukan berarti bawah sadar itu 'maha-tahu' dan pasti benar. Bahkan orang dalam keadaan terhipnotis, bisa dipengaruhi penilaiannya oleh orang yang mengajak komunikasi.


Title: Re: Ajaran Buddha: Buktikan dulu baru percaya. Benarkah?
Post by: seniya on 09 December 2010, 06:35:35 PM
Quote from: Peacemind on 09 December 2010, 09:58:34 AM
Saya pribadi berpendapat bahwa ada beberapa ajaran Buddha yang harus dipercayai dulu sebelum dibuktikan.

Menurut Sam. Peacemind, apakah ajaran Buddha yang harus dipercayai dulu sebelum dibuktikan? Mungkin bisa di-sharing ke kami semua. _/\_
Title: Re: Ajaran Buddha: Buktikan dulu baru percaya. Benarkah?
Post by: seniya on 09 December 2010, 06:40:30 PM
Tentang kebenaran ke-31 alam kehidupan dalam Buddhisme, Ven. Narada Mahathera menulis dalam "The Buddha and His Teaching" (ada terjemahan bahasa Indonesia-nya "Sang Buddha dan Ajaran-Nya") :

QuoteIt should be remarked that the Buddha did not attempt to expound any cosmological theory.

The essence of the Buddha's teaching is not affected by the existence or non-existence of these planes. No one is bound to believe anything if it does not appeal to his reason. Nor is it proper to reject anything because it cannot be conceived by one's limited knowledge.
Title: Re: Ajaran Buddha: Buktikan dulu baru percaya. Benarkah?
Post by: Mr. Wei on 09 December 2010, 08:50:54 PM
QuoteHipnotis Regresi Kehidupan Lampau sendiri kebenarannya diragukan. Hipnotis memang berhubungan dengan bawah sadar, tetapi bukan berarti bawah sadar itu 'maha-tahu' dan pasti benar. Bahkan orang dalam keadaan terhipnotis, bisa dipengaruhi penilaiannya oleh orang yang mengajak komunikasi.

Setahu saya bisa juga hanya imajinasi. Maka itu, pertanyaan kelahiran kembali yang dijawab dengan hipnosis regresi saya anggap tidak menjawab.
Title: Re: Ajaran Buddha: Buktikan dulu baru percaya. Benarkah?
Post by: Satria on 09 December 2010, 10:00:19 PM
sebenarnya, bagaimana terjemahan yang benar isi sutta kalama dalam bahasa indonesia  itu sih?

sedangkan menurut pemahaman saya disitu hanya dinyatakan semisal "tidak harus percaya sesuatu hanya karena sesuatu itu dikatakan oleh guru mu".

masalahnya, adakah orang yang mengartikan "tidak harus percaya" dengan "harus tidak percaya" ?

jika ada, maka saya pikir orang itu telah salah menerjemahkan. apalagi bila "tidak harus percaya" itu diartikan dengan "harus menyangkal".

mungkin kita belum mengalami Nibbana. tetapi kita harus menghormati para guru, para bikkhu, sang Budha dan ajarannya. karena menghormati sang Budha dan ajarannya, maka kita tidak menyangkal kebenaran nibbana tanpa dasar. dan kita memulai memahami ajaran sang Budha dari hal yang bisa dibuktikan, dan terus menerus menjalani proses pembuktian, sehingga kita melihat "kebolehjadian nibbana". dengan demikian kita tetap berdiri diatar pilar-pilar keyakinan yang kokoh, tidak atas dasar keyakinan buta dan juga tidak dengan penyangkalan buta.

Title: Re: Ajaran Buddha: Buktikan dulu baru percaya. Benarkah?
Post by: adi lim on 10 December 2010, 05:53:35 AM
yang paling gampang dulu aja, yakin kah kita dengan Sang Tiratana (Buddha Dhamma Sangha) ? ^:)^
pernahkan kita merenungkan Buddhanussati, Dhammanussati, Sanghanussati secara konsisten ? ^:)^

_/\_
Title: Re: Ajaran Buddha: Buktikan dulu baru percaya. Benarkah?
Post by: Edward on 10 December 2010, 07:08:16 AM
terlepas dri kalama sutta, saya pribadi lebih condong ke "bersikap netral sebelum ada bukti"
Dengan begitu, dalam melihat sesuatu, kita tidak tertutup persepsi "baik" atau persepsi "buruk", tapi hanya pada "kenyataan"
Tentu aja, easy to say but hard to do... ::)
Title: Re: Ajaran Buddha: Buktikan dulu baru percaya. Benarkah?
Post by: K.K. on 10 December 2010, 09:51:03 AM
Quote from: Mr. Wei on 09 December 2010, 08:50:54 PM
Setahu saya bisa juga hanya imajinasi. Maka itu, pertanyaan kelahiran kembali yang dijawab dengan hipnosis regresi saya anggap tidak menjawab.
Betul, bisa juga hanya semacam 'khayalan' yang tertanam di bawah sadar. Memang itu bukan jawaban dan bukti akan kehidupan lampau.
Title: Re: Ajaran Buddha: Buktikan dulu baru percaya. Benarkah?
Post by: Mr. Wei on 10 December 2010, 10:30:31 AM
Jadi kalau umat Buddha mengklaim kalau keyakinannya adalah keyakinan logis dan bisa dibuktikan, berarti kurang tepat donk? Karena umat Buddha sendiri belum bisa membuktikan 31 alam kehidupan.

Setelah diskusi sesaat dan membaca postingan bro Kainyn yang ini:
QuoteMenurut saya, kata 'ehipassiko' itu merujuk pada kebenaran tentang dukkha, bukan pada segala fenomena secara keseluruhan. Kenyataan tentang ketidakpuasan adalah bisa dibuktikan oleh siapapun juga, bukan juga pada saat nanti atau di lain tempat (yang kita tidak tahu juga pastinya).

Mengenai kebenaran lain, semua kembali pada kemampuan setiap orang dalam membuktikan atau sebatas menangkap secara logika.

Saya menangkap bahwa yang harus diehipassiko adalah mengenai perkembangan batin, bukan segala hal. Kebenaran dukkha, kebenaran lenyapnya dukkha, tidak adanya makhluk adikuasa, dan lain-lain yang berhubungan dengan perkembangan batin itulah yang harus kita datangi sendiri dan kita buktikan.

Sedangkan hal-hal yang tidak berhubungan dengan perkembangan batin, kayaknya gak selalu harus diehipassiko. Contohnya narkoba, mank harus coba makan dan teler dulu baru percaya kalau narkoba itu berbahaya? Contohnya bom, mank harus tunggu tuh benda meledak dulu baru percaya kalau itu bahan peledak? Atau orang tua, mank harus di tes DNA dulu baru percaya kalau saya adalah anak dari ibu saya?

Jadi ehipassiko hanya berlaku untuk hal-hal yang berhubungan dengan perkembangan batin, selebihnya tidak harus selalu di-ehipassiko.

Mengetahui adanya 31 alam kehidupan tidak membuat batin berkembang, kalau begitu rasanya tidak perlu dibuktikan.
Tapi apakah kelahiran kembali perlu dibuktikan? Apakah dengan mengetahui adanya kelahiran kembali, batin kita bisa berkembang?
Title: Re: Ajaran Buddha: Buktikan dulu baru percaya. Benarkah?
Post by: K.K. on 10 December 2010, 12:00:33 PM
Quote from: Mr. Wei on 10 December 2010, 10:30:31 AM
Jadi kalau umat Buddha mengklaim kalau keyakinannya adalah keyakinan logis dan bisa dibuktikan, berarti kurang tepat donk? Karena umat Buddha sendiri belum bisa membuktikan 31 alam kehidupan.
Sesuatu bisa dinilai logis atau tidak adalah tergantung batasan yang diberikan.
Misalnya kita bilang dalam batasan sehari-hari, adalah logis kalau saya bilang orang jatuh dari lantai 2 dan tulangnya bisa patah. Sementara kalau orang terjun bebas dari lantai 5 tanpa alat, mendarat di lantai keras, tapi tidak cedera, itu baru tidak logis. Jika batasannya diubah, misalnya kita bilang kejadiannya di bulan, atau yang jatuh itu Catwoman, maka bisa jadi logis.

Terlepas dari logis atau tidaknya, belum tentu harus dibuktikan. Jadi bisa saja belum terbuktikan, namun logis.


QuoteSetelah diskusi sesaat dan membaca postingan bro Kainyn yang ini:
Saya menangkap bahwa yang harus diehipassiko adalah mengenai perkembangan batin, bukan segala hal. Kebenaran dukkha, kebenaran lenyapnya dukkha, tidak adanya makhluk adikuasa, dan lain-lain yang berhubungan dengan perkembangan batin itulah yang harus kita datangi sendiri dan kita buktikan.

Sedangkan hal-hal yang tidak berhubungan dengan perkembangan batin, kayaknya gak selalu harus diehipassiko. Contohnya narkoba, mank harus coba makan dan teler dulu baru percaya kalau narkoba itu berbahaya? Contohnya bom, mank harus tunggu tuh benda meledak dulu baru percaya kalau itu bahan peledak? Atau orang tua, mank harus di tes DNA dulu baru percaya kalau saya adalah anak dari ibu saya?

Jadi ehipassiko hanya berlaku untuk hal-hal yang berhubungan dengan perkembangan batin, selebihnya tidak harus selalu di-ehipassiko.

Mengetahui adanya 31 alam kehidupan tidak membuat batin berkembang, kalau begitu rasanya tidak perlu dibuktikan.
Tapi apakah kelahiran kembali perlu dibuktikan? Apakah dengan mengetahui adanya kelahiran kembali, batin kita bisa berkembang?
Ya, tepat seperti itu maksud saya. Yang berkenaan dengan dukkha, siapapun bisa membuktikannya. Tapi seperti kata Bro adi lim, orang sering membawa-bawa ini ke keseluruhan Ajaran Buddha. Saya beberapa kali juga ditanya umat lain mengenai hal ini, karena ternyata ketika ditanya yang aneh2 seperti bukti karma/kehidupan lampau dan lain-lain, umat Buddhis juga tidak bisa memberikan bukti nyata. Saya katakan ke mereka, "memang tidak bisa kok, karena 'ehipassiko' adalah untuk perenungan Buddha-dhamma."

Mengenai Kalama Sutta, saya setuju dengan bro Satria & bro Edward bahwa bukan menyuruh kita tidak percaya, tapi jangan percaya sesuatu hanya karena tradisi, omongan tokoh, dsb. Kita disuruh menyelidiki, bukan disuruh percaya atau skeptis secara membuta.

Title: Re: Ajaran Buddha: Buktikan dulu baru percaya. Benarkah?
Post by: Mr. Wei on 10 December 2010, 02:48:10 PM
Berarti yakin secara buta maupun tidak yakin secara buta harus dihindari ya.
Sayangnya, umat Buddha karena saking 'cinta'nya dengan Kalama Sutta, jadi skeptis buta. Sedikit-sedikit, 'ah gak percaya', 'masa?', 'itu gak benar'. Padahal coba diselidiki saja belum :)
Title: Re: Ajaran Buddha: Buktikan dulu baru percaya. Benarkah?
Post by: Sukma Kemenyan on 10 December 2010, 04:35:42 PM
Sejak kapan ehipassiko menjadi bukti?
Ini translasi kepedean, yg sering menjadi bumerang.

Ehipassiko bagi gw translasinya... "Silahkan datang"
Kalo direlasikan sama kalama sutta, maka menjadi...

"Silahkan datang, lihat dan analisa"
Cocok? Telan!
Ga cocok? Buang!
Title: Re: Ajaran Buddha: Buktikan dulu baru percaya. Benarkah?
Post by: ryu on 10 December 2010, 06:30:27 PM
Ehipassiko = penerbit buku ;D =))
Title: Re: Ajaran Buddha: Buktikan dulu baru percaya. Benarkah?
Post by: dipasena on 10 December 2010, 07:13:13 PM
saya ada crita dikit, sy tertarik dengan buddhism karena ajaran nya yg lebih logis dr pd ajaran lain yg pernah sy pelajari (nasrani) dan yg paling buat sy tertarik ada lah konsep kamma/karma tentang "bertanggung jawab"

beberapa taon sy belajar dhamma, sampai ke satu hal, baru saja terjadi kasus ini kira2 1/2 minggu yg lalu, saya kehilangan 1 unit laptop yg ckup mahal karena penipuan oknum PNS, hal ini terjadi di kantor dinas tertentu...

pendek crita, setelah saya ditipu ada beberapa teman yg mempunyai kemampuan khusus, menawarkan bantuan... ada yg bs melihat masa lalu yaitu kronologis penipuan, barang dan dengan jelas melihat siapa sipelaku dan rekan2nya, ada juga (teman keturunan dayak) yg bs "mengerjai" si penipu bahkan kalo mau bs sampai mati, ada yg bs mengambil kan barang (dengan cara bantuan mahluk lain) tersebut dengan syarat belum berpindah tangan, ada yg bs melihat kehidupan lampau dan relasi nya dengan kamma/karma masa lampau...

dr semua bantuan, sy tertarik dengan teman yg bs melihat relasi yg sy alami dengan kamma/karma masa lampau, intinya sy pernah melakukan sesuatu yg merugikan orang lain sehingga sekarang sy mengalami penipuan... dan teman sy meminta sy untuk mengiklaskan aja barang tersebut, karena ga bakal kembali...

lalu teman sy yg bs mengambil barang tersebut menawarkan jasa jg, tp beberapa saat kemudian teman sy tersebut mengatakan, koq ada halangan besar sehingga ia susah untuk bs mengambil kembali barang tersebut, padahal biasanya klo ada orang yg kehilangan barang, ia bs dengan mudah mengambil kembali barang tersebut, tp khusus kasus sy ia mengatakan susah untuk mengambil kembali...

mungkin yg dimaksudkan adalah kamma/karma buruk sy terlalu besar sehingga menghalangi ia untuk mengambil barang tersebut. dr beberapa teman yg mempunyai kemampuan khusus tersebut ada titik temu nya, penjelasan mereka hampir mirip, walau tidak saling kenal satu sama lain bahkan ada yg beragama islam...

1 hal ini cukup menunjukan ke sy secara pribadi karena barusan terjadi, bahwa kamma/karma/hukum sebab akibat/hukum tabur tuai itu benar dan akibat nya cukup merugikan kita, kita harus bertanggung jawab dengan perbuatan kita sendiri... dan hal ini jg cocok dengan uraian dan ajaran buddha mengenai perbuatan/kamma/karma

belum lg tentang uraian di dalam sutta bahwa alam kehidupan lain itu ada/eksis, yaitu mahluk menderita seperti peta, asura, niraya, binatang... dan juga tentang abhinna yaitu kemampuan bathin untuk melihat kehidupan masa lampau, melihat mahluk halus, berkomunikasi dengan mahluk halus dan lainnya...

ini cuma sekedar sharing, ya sesuai dengan kata bos menyan...
"Silahkan datang dan lihat/analisa"
Cocok? Telan!
Ga cocok? Buang!

salam,
dhanuttono
Title: Re: Ajaran Buddha: Buktikan dulu baru percaya. Benarkah?
Post by: Terasi on 12 December 2010, 06:42:51 PM
Kalau lihat konteksnya, itu kan ajaran buat kaum Kalama, yang bukan murid sang Buddha.
Mereka nanyanya kan "mesti percaya siapa nih", sang Buddha menjawabnya juga tepat pada sasaran menjawab pertanyaan mereka.
Ini bukan mengenai ajaran Sang Buddha sendiri.

Konteks "buktikan dulu baru percaya" bukan untuk murid-murid sang Buddha. Kalau kita ingin belajar sesuatu, selalu ada hal-hal yang perlu dipercayai dulu walaupun belum bisa dibuktikan. Misalnya kita ingin belajar mendaki gunung, kalau gurunya bilang jangan pakai tali plastik, apakah kita akan coba dulu pakai tali plastik trus kalau talinya sudah putus kita baru percaya?

Dalam Buddhism, kita bisa anggap kamma & rebirth adalah "working hypothesis" agar kita bisa menjalani tahap-tahap pembelajaran. Selama belum mencapai tahap tertentu dimana kita bisa buktikan sendiri, kita memang harus percaya, paling tidak bukan dengan aktif menolak "hipotesis"-nya. Nanti kalau sudah membuktikan, "percaya" berubah jadi "tahu".

Tapi yang paling dasar saja, Four Noble Truth sudah bisa dibuktikan kan.
Title: Re: Ajaran Buddha: Buktikan dulu baru percaya. Benarkah?
Post by: Indra on 12 December 2010, 06:51:42 PM
Ironisnya, mrk yg tidak begitu saja mempercayai ajaran Sang Buddha tenyata malah memilih untuk percaya begitu saja pada Kalama Sutta yg juga merupakan ajaran Sang Buddha.
Title: Re: Ajaran Buddha: Buktikan dulu baru percaya. Benarkah?
Post by: Peacemind on 12 December 2010, 10:47:59 PM
Quote from: seniya on 09 December 2010, 06:35:35 PM
Menurut Sam. Peacemind, apakah ajaran Buddha yang harus dipercayai dulu sebelum dibuktikan? Mungkin bisa di-sharing ke kami semua. _/\_

Maaf baru nongol dan menjawab. Menurut saya, salah satu konsep dalam ajaran Buddha yang harus dipercayai dulu meskipun belum membuktikan adalah lenyapnya kekotoran batin secara total, atau escape dari penderitaan, atau dengan kata lain, nibbāna. Jika kita tidak mempercayai bahwa ada escape dari penderitaan, kita tidak akan terdorong untuk mempraktikkan Jalan untuk melenyapkan penderitaan. Oleh karenanya, dalam hal ini, kepercayaan atau keyakinan atau saddha sering disebut sebagai biji (bibit). Sebelum mendapatkan buah, seseorang harus menabur biji. Artinya, sebelum membuktikan kondisi lenyapnya penderitaan secara total, seseorang harus menanamkan kepercayaan bahwa ada sesuatu yang disebut lenyapnya penderitaan.

Mettacittena.
Title: Re: Ajaran Buddha: Buktikan dulu baru percaya. Benarkah?
Post by: morpheus on 12 December 2010, 11:46:45 PM
pertanyaan:
apakah kepercayaan itu perlu (dalam konteks dukkha dan lenyapnya dukkha)?
apakah yg percaya pada hukum karma / rebirth / 31 alam / nibbana / dewa yama / tilakkhana bisa menerima kematian orang yg dicintainya dengan lebih baik daripada yang tidak punya kepercayaan? apakah mereka suffered less ketimbang yg tidak punya kepercayaan?
bisakah kita praktik tanpa perlu percaya?
apakah praktik mereka yg percaya bakal lebih baik ketimbang yg tidak punya kepercayaan?

menurut saya, dalam konteks dukkha dan lenyapnya dukkha, kepercayaan tidak diperlukan (not necessary, artinya ok aja tapi gak harus) dan malahan bisa jadi bumerang karena sikap mental percaya berarti berdiam dalam kenyamanan dan tidak mempelajari (discover) sesuatu yg baru lagi, stop sampai di sini saja.
Title: Re: Ajaran Buddha: Buktikan dulu baru percaya. Benarkah?
Post by: Peacemind on 14 December 2010, 08:05:01 AM
Quote from: morpheus on 12 December 2010, 11:46:45 PM
pertanyaan:
apakah kepercayaan itu perlu (dalam konteks dukkha dan lenyapnya dukkha)?
apakah yg percaya pada hukum karma / rebirth / 31 alam / nibbana / dewa yama / tilakkhana bisa menerima kematian orang yg dicintainya dengan lebih baik daripada yang tidak punya kepercayaan? apakah mereka suffered less ketimbang yg tidak punya kepercayaan?
bisakah kita praktik tanpa perlu percaya?
apakah praktik mereka yg percaya bakal lebih baik ketimbang yg tidak punya kepercayaan?

menurut saya, dalam konteks dukkha dan lenyapnya dukkha, kepercayaan tidak diperlukan (not necessary, artinya ok aja tapi gak harus) dan malahan bisa jadi bumerang karena sikap mental percaya berarti berdiam dalam kenyamanan dan tidak mempelajari (discover) sesuatu yg baru lagi, stop sampai di sini saja.

Mungkin, anda bisa membaca Caṅkisutta dan Bodhirājakumrasutta. Pentingnya keyakinan sebelum seseorang melanjutkan ke praktik sesungguhnya dijelaskan di sana.
Title: Re: Ajaran Buddha: Buktikan dulu baru percaya. Benarkah?
Post by: Sumedho on 14 December 2010, 08:27:22 AM
Quote from: MN 95: Canki Sutta
http://dhammacitta.org/forum/index.php?topic=17773.msg293755#msg293755 (http://dhammacitta.org/forum/index.php?topic=17773.msg293755#msg293755)
...
20. "Ketika ia telah menyelidikinya dan telah melihat bahwa ia murni dari kondisi-kondisi yang berdasarkan pada kebodohan, kemudian ia berkeyakinan padanya; dengan penuh keyakinan ia mengunjunginya dan memberikan penghormatan kepadanya; setelah memberikan penghormatan, ia mendengarkan; ketika ia mendengarkan, ia mendengar Dhamma; setelah mendengar Dhamma, ia menghafalnya dan meneliti makna dari ajaran yang telah ia hafalkan; ketika ia meneliti makna maknanya, ia memperoleh penerimaan atas ajaran-ajran itu melalui perenungan; ketika ia memperoleh penerimaan melalui perenungan atas ajaran-ajaran itu, semangat muncul; ketika semangat muncul, ia mengerahkan tekadnya; setelah mengerahkan tekadnya, ia menyelidiki;  setelah menyelidiki, ia berusaha;  karena berusaha dengan tekun, ia dengan tubuhnya mencapai kebenaran tertinggi dan melihat dengan menembusnya dengan kebijaksanaan.  Dengan cara ini, Bhāradvāja, terjadi penemuan kebenaran; dengan cara ini seseorang menemukan kebenaran; dengan cara ini kami menjelaskan penemuan kebenaran. Tetapi masih belum kedatangan akhir pada kebenaran."
...

Quote from: MN 85: Bodhirajakumara Sutta
http://dhammacitta.org/forum/index.php?topic=17773.msg293420#msg293420 (http://dhammacitta.org/forum/index.php?topic=17773.msg293420#msg293420)

...

55. Ketika hal ini dikatakan, Pangeran Bodhi berkata kepada Sang Bhagavā: "Yang Mulia, ketika seorang bhikkhu menemukan Sang Tathāgata untuk mendisiplinkannya, berapa lamakah hingga dengan menembusnya untuk dirinya sendiri dengan pengetahuan langsung, ia di sini dan saat ini masuk dan berdiam dalam tujuan tertinggi kehidupan suci itu yang dicari oleh para anggota keluarga yang meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah."

"Sehubungan dengan hal itu, Pangeran, Aku akan mengajukan pertanyaan kepadamu sebagai jawaban. Jawablah dengan apa yang menurutmu benar. Bagaimana menurutmu, Pangeran? Apakah engkau mahir dalam seni menggunakan tongkat kendali ketika menunggang seekor gajah?"

"Benar, Yang Mulia."

56. "Bagaimana menurutmu, Pangeran? Misalkan seseorang datang ke sini dengan pikiran: 'Pangeran Bodhi mengetahui seni menggunakan tongkat kendali ketika menunggang seekor gajah; aku akan mempelajari seni itu darinya.' Jika ia tidak memiliki keyakinan, ia tidak dapat mencapai apa yang dapat dicapai oleh seseorang yang memiliki keyakinan; Jika ia memiliki penyakit, ia tidak dapat mencapai apa yang dapat dicapai oleh seseorang yang bebas dari penyakit; jika ia curang dan penuh tipuan, ia tidak dapat mencapai apa yang dapat dicapai oleh seseorang yang jujur dan tulus; jika ia malas, ia tidak dapat mencapai apa yang dapat dicapai oleh seseorang yang bersemangat; jika ia tidak bijaksana, ia tidak dapat mencapai apa yang dapat dicapai oleh seseorang yang bijaksana. Bagaimana menurutmu, Pangeran? Dapatkah orang itu mempelajari darimu seni menggunakan tongkat kendali ketika menunggang seekor gajah?"

"Yang Mulia, bahkan jika ia memiliki salah satu kekuarangan itu, maka ia tidak akan dapat mempelajarinya dariku, apa lagi lima?"

57. "Bagaimana menurutmu, Pangeran? Misalkan seseorang datang ke sini dengan pikiran: [95] 'Pangeran Bodhi mengetahui seni menggunakan tongkat kendali ketika menunggang seekor gajah; aku akan mempelajari seni itu darinya.' Jika ia memiliki keyakinan, ia dapat mencapai apa yang dapat dicapai oleh seseorang yang memiliki keyakinan; Jika ia bebas dari penyakit, ia dapat mencapai apa yang dapat dicapai oleh seseorang yang bebas dari penyakit; jika ia jujur dan tulus, ia tidak dapat mencapai apa yang dapat dicapai oleh seseorang yang jujur dan tulus; jika ia bersemangat, ia dapat mencapai apa yang dapat dicapai oleh seseorang yang bersemangat; jika ia  bijaksana, ia dapat mencapai apa yang dapat dicapai oleh seseorang yang bijaksana. Bagaimana menurutmu, Pangeran? Dapatkah orang itu mempelajari darimu seni menggunakan tongkat kendali ketika menunggang seekor gajah?"

"Yang Mulia, bahkan jika ia memiliki salah satu kualitas itu, maka ia akan dapat mempelajarinya dariku, apa lagi lima?"

58. "Demikian pula, Pangeran, terdapat lima faktor usaha. Apakah lima ini? Di sini seorang bhikkhu memiliki keyakinan, ia berkeyakinan pada pencerahan Sang Tathāgata sebagai berikut: 'Sang Bhagavā sempurna, tercerahkan sempurna, sempurna dalam pengetahuan dan perilaku sejati, mulia, pengenal segenap alam, pemimpin tanpa tandingan bagi orang-orang yang harus dijinakkan, guru para dewa dan manusia, tercerahkan, terberkahi.'

"Kemudian ia bebas dari penyakit dan kesusahan, memiliki pencernaan yang baik yang tidak terlalu dingin juga tidak terlalu panas melainkan menengah dan mampu menahankan tekanan usaha.

"Kemudian ia jujur dan tulus, dan memperlihatkan dirinya sebagaimana adanya kepada Guru dan teman-temannya dalam kehidupan suci.

"Kemudian ia bersemangat dalam meninggalkan kondisi-kondisi yang tidak bermanfaat dan dalam mengusahakan kondisi-kondisi yang bermanfaat, mantap, mengerahkan usahanya dengan keteguhan dan tekun dalam melatih kondisi-kondisi yang bermanfaat.

"Kemudian ia bijaksana; ia memiliki kebijaksanaan sehubungan dengan kemunculan  dan kelenyapan yang mulia dan menembus dan mengarah pada kehancuran penderitaan sepenuhnya. Ini adalah lima faktor usaha.

59. "Pangeran, ketika seorang bhikkhu yang memiliki kelima faktor usaha ini menemukan Sang Tathāgata untuk mendisiplinkannya, ia mungkin berdiam selama tujuh tahun hingga dengan menembusnya untuk dirinya sendiri dengan pengetahuan langsung, ia di sini dan saat ini masuk dan berdiam dalam tujuan tertinggi kehidupan suci itu yang dicari oleh para anggota keluarga yang meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah. [96]

"Jangankan tujuh tahun, Pangeran. ketika seorang bhikkhu yang memiliki kelima faktor usaha ini menemukan Sang Tathāgata untuk mendisiplinkannya, ia mungkin berdiam selama enam tahun ... lima tahun ... empat tahun ... tiga tahun ... dua tahun ... satu tahun ... Jangankan satu tahun, Pangeran, ... ia mungkin berdiam selama tujuh bulan ... enam bulan ... lima bulan ... empat bulan ... tiga bulan ... dua bulan ... satu bulan ... setengah bulan ... Jangankan setengah bulan, Pangeran, ... ia mungkin berdiam selama tujuh hari tujuh malam ... enam hari enam malam ... lima hari lima malam ... empat hari empat malam ... tiga hari tiga malam ... dua hari dua malam ... dan sehari semalam.

"Jangankan sehari semalam, Pangeran. ketika seorang bhikkhu yang memiliki kelima faktor usaha ini menemukan Sang Tathāgata untuk mendisiplinkannya, maka dengan diberikan instruksi pada malam hari, ia mungkin mencapai kemuliaan di pagi hari; dengan diberikan instruksi di pagi hari, ia mungkin mencapai kemuliaan di malam hari."

...[/quote
Title: Re: Ajaran Buddha: Buktikan dulu baru percaya. Benarkah?
Post by: Indra on 14 December 2010, 08:55:31 AM
dari Canki Sutta dan Bodhirajakumara sutta di atas, jelas bahwa minimum requirement adalah keyakinan pada Tiratana.
Title: Re: Ajaran Buddha: Buktikan dulu baru percaya. Benarkah?
Post by: bond on 14 December 2010, 08:55:54 AM
IMO,

Ada hal yang bisa dipercayai terlebih dahulu dan ada yang tidak. Dan bahkan boleh meragukan terlebih dahulu lalu berehipasiko. Dan menurut hemat saya hal-hal yang belum dibuktikan lebih baik bersikap netral daripada berandai-andai dari sesuatu yang kita yakini dan ternyata jauh dari realita.

Contoh : - 8 Jmb dan 4 Km bisa diterima dan dipercayai karena memang masuk akal . Setelah masuk akal baru memiliki keyakinan pasti ada cara, kemudian kita mulai mencarinya dengan berlatih.

Nah kemudian pertanyaannya apakah ada jalan lenyapnya dukkha. Kalau kita langsung percaya, ini bisa saja menjadi retorika saja. Tetapi bila hal itu masuk akal dan bertanya kembali bagaimana jalannya...dan kemudian menyelidiki dan ditahap2 awal ternyata ada hal-hal ditemukan dan sesuai maka muncul kepercayaan itu akan menjadi teguh dengan pengertian benar. Jika percaya sepenuhnya tanpa melakukan ehipasiko maka apa bedanya dengan agama tetangga.

Hampir semua murid Sang Buddha memulai dari keingintahuannya dan tidak didahului dengan percaya begitu saja. Oleh karena itu Buddha membabarkan Dhamma kepada mereka. Dan banyak yang mencapai pencerahan juga saat itu.

Contoh lainya : jika didalam sutta disebutkan berbagai 31 alam dan lain-lain. Tetapi kita sendiri belum melihatnya atau mengalaminya, bahkan ada makhluk aneh2 apakah kita percaya saja? kalau ya, tidak beda dengan agama tetangga. Mengapa? Jika disutta dikatakan ada makhluk ini dan itu. Tetapi kenyataan ada makhluk lain yang tidak tertulis tetapi kita mengalaminya dan orang yang tidak pernah mengalami hanya percaya saja pada apa yang dia baca dan ketika ada hal2 yang tidak pernah ia ketahui maka ia akan menolak begitu saja tetapi bila ia netral dan membiarkan sampai terbukti dengan sendirinya melalui latihan maka itu akan lebih baik.

Sehingga IMO kepercayaan yang muncul haruslah tidak berdiri sendiri tetapi ada faktor lainnya yakni Ehipasiko dan Dhamma Vicayo. Jika tidak, bisa-bisa hanya seperti burung beo ^-^.

Menyangkut Canki sutta dan bodhirajakumara sutta adalah contoh keyakinan yang baik karena ada Dhamma Vicayo tetapi pernahkah kita berpikir apa yang melatar belakangi orang itu yakin dan mendatangi Sang Buddha? Apakah keyakinan semata? yang pasti ada sesuatu yang dia temukan sebelumnya dan keunikan tersendiri dalam ajaran SB. Dan ketika orang itu mendatangi Sang Buddha tidak hanya faktor keyakinan tunggal saja sehingga keyakinan yang ada dibarengi pengertian benar, keingintahuan dan pembuktian lebih lanjut dan bukan sekedar yakin datang , ditanya kemudian menjawab sudah selesai.  ^-^

Dan dalam bodhiraja kumara sutta pun Sang Buddha masih memberikan pengertian lagi melalui pertanyaan2, hal ini tidak lain untuk menambah keyakinan dengan pengertian benar agar pangeran bodhi terhindar dari keyakinan membuta.

Pengalaman saya pribadi, sebelum meyakini ajaran Sang Buddha , saya melakukan penyelidikan terlebih dahulu sebelum menerima Triratna dan belajar meditasi. Setelah ada hal-hal yang sesuai yang menjawab satu pertanyaan saya. Maka langsung mendatangi seorang Bhante dengan penuh keyakinan dan melatih vipasana dan ternyata benar adanya.

Jadi kalau orang asal yakin tapi tidak ada faktor lainnya yang mendukung maka sama dengan keyakinan yang membabi buta.

Metta

Title: Re: Ajaran Buddha: Buktikan dulu baru percaya. Benarkah?
Post by: Iwan Senta on 14 December 2010, 10:02:07 AM
 [at]  Bond :

Ternyata "masuk akal" itu berbaring lurus dengan tingkat kesadaran seseorang.  ;D
Title: Re: Ajaran Buddha: Buktikan dulu baru percaya. Benarkah?
Post by: morpheus on 14 December 2010, 10:14:43 AM
Quote from: Peacemind on 14 December 2010, 08:05:01 AM
Mungkin, anda bisa membaca Caṅkisutta dan Bodhirājakumrasutta. Pentingnya keyakinan sebelum seseorang melanjutkan ke praktik sesungguhnya dijelaskan di sana.
Quote from: Indra on 14 December 2010, 08:55:31 AM
dari Canki Sutta dan Bodhirajakumara sutta di atas, jelas bahwa minimum requirement adalah keyakinan pada Tiratana.
saya pisahkan dulu kesimpang-siuran topik ini.

point pertama, jadi rata2 semuanya setuju bahwa kepercayaan intelektual seperti hukum karma, rebirth, alam2 gaib, dewa yama, dewa matahari, keajaiban2 itu tidak diperlukan dalam konteks dukkha dan lenyapnya dukkha? ataukah ini masih termasuk?
kalo ini termasuk dan dianggap diperlukan dalam praktek, apakah alasannya?

point kedua, pada hal2 yg doktrinal seperti dukkha, anicca, anatta, faktor2 pencerahan. menurut saya ini juga tidak diperlukan, alasannya adalah percaya itu baik secara intelek dan mental berarti berdiam dalam kenyamanan, sesuatu yang enak untuk dilekati, tidak perlu lagi ada penyelidikan (discovery), belajar udah selesai. dukkha dijadikan kepercayaan, selesai. tidak ada penyelidikan. anicca dijadikan nasehat untuk orang yg meninggal saja, cukup diterima, tidak perlu ditembusi. imo, lebih baik berangkat dari "tidak tahu", menyelidiki sendiri dan akhirnya menyimpulkan dan menembusi sendiri... daripada berangkat dari "percaya", nyaman trus selesai. tidak ada keperluan untuk percaya dan yakin pada suatu doktrin.
kalo ada pendapat hal2 doktrinal ini diperlukan dalam praktek, apa alasannya?

point ketiga, mengenai sutta di atas. saya setuju dengan samanera, dari penyelidikan minimal kita tahu pasti bahwa lenyapnya dukkha itu ada dan mungkin, dan itu yg diwakili oleh tiratana. menurut penafsiran saya, itulah yg dimaksud oleh sutta2 diatas. bukan kepercayaan pada point satu dan dua.

semoga ada diskusi dan pertukaran pemikiran.
Title: Re: Ajaran Buddha: Buktikan dulu baru percaya. Benarkah?
Post by: Dhamma Sukkha on 14 December 2010, 10:50:12 AM
Quote from: Peacemind on 09 December 2010, 09:57:06 AM
Berbasis pada Kalama Sutta dan pernyataan 'ehipassiko', banyak penganut Buddhis biasanya tidak mau menerima atau percaya beberapa ajaran atau kepercayaan baik yang berasal dari luar maupun dari ajaran Buddha sendiri sebelum mereka mengalami dan membuktikkan kebenarannya. Pertanyaannya, apakah Sang Buddha mengajarkan kepada umatnya untuk membuktikkan semua ajaran beliau sebelum menempatkan kepercayaanya? Tidak bolehkah kita seorang Buddhis percaya terhadap beberapa ajaran Buddha yang belum kita realisasikan?
Dhamma telah sempurna dibabarkan oleh Yang Terberkahi, berada sangat dekat, tak lapuk oleh waktu, mengundang para Bijaksana tuk membuktikan KEBENARAN DHAMMA, menuntun kedalam diri(menuntun ke kebahagiaan sejati), dapat diselami oleh batin yg bijaksana

klo menurut w, awal2nya kita harus timbulkan Saddha(kepercayaan) itu dulu, dgn adanya saddha, kita akan mempelajari dhamma ituu, dan setelah mempelajarinya, kita wujudkan dalam tindakan moral yg melaksanakan, setelah itu, baru kita dapat membuktikan kebenaran sejati dari DHAMMA itu sendiri... \;D/\;D/\;D/
Pariyyati = mempelajari
Patipatti = melaksanakan
Pativeddha = menggapai kebenaran sejati(kebahagiaan sejati)

metta cittena,
Citto \;D/\;D/\;D/ _/\_
Title: Re: Ajaran Buddha: Buktikan dulu baru percaya. Benarkah?
Post by: seniya on 14 December 2010, 01:02:10 PM
Mungkin harus dibedakan dulu antara "yakin" & "percaya",br kt bs melanjutkan diskusi ini.
Title: Re: Ajaran Buddha: Buktikan dulu baru percaya. Benarkah?
Post by: morpheus on 14 December 2010, 01:10:30 PM
Quote from: seniya on 14 December 2010, 01:02:10 PM
Mungkin harus dibedakan dulu antara "yakin" & "percaya",br kt bs melanjutkan diskusi ini.
judul topik ama post pertamanya mengenai kepercayaan, om.
Title: Re: Ajaran Buddha: Buktikan dulu baru percaya. Benarkah?
Post by: Dhamma Sukkha on 14 December 2010, 01:35:24 PM
Quote from: seniya on 14 December 2010, 01:02:10 PM
Mungkin harus dibedakan dulu antara "yakin" & "percaya",br kt bs melanjutkan diskusi ini.
percaya itu, menerima apa adanya suatu ajaran,

yakin itu, suatu ajaran yg diterima itu sudah dilaksanakan dgn disertai manfaat yg dipetik dari melaksanakan suatu ajaran... \;D/\;D/\;D/
Title: Re: Ajaran Buddha: Buktikan dulu baru percaya. Benarkah?
Post by: Balhamoth on 14 December 2010, 02:42:33 PM
mo nambahin..

Barusan ada kelas dhammaclass di surabaya oleh Ehiphassiko Foundation...

Aku baru sadar juga.. Kalama Sutta bukanlah melulu menekankan pada ehiphasikko, jika hanya menjelaskan ehiphasikko maka cerita kalama sutta tidak lengkap.
karena yang terpenting dalam kalama sutta adalah apa yang di ajarkan oleh sang Buddha ada dua:

tidak berbuat jahat..
tidak berniat jahat...

saat itu kondisi suku kalama lagi dirundung banyak orang yang mengaku buddha, ada 6 selain sang Buddha sendiri... sang Buddha mengetahui kalo ke enam pertapa ini pun mengaku sebagai Buddha, tidak hanya itu.. keenamnya mengakui ajaran mereka itu yang paling benar... nah dari ke enam pertapa ini pun mempunyai banyak pengikut.. hal ini berarti ke enam pertapa itu pun juga pintar2 bukannya orang gila yang mengaku Buddha... nah sang Buddha berpikir lalu membabarkanlah "jangan percaya bla,bla bla..." lalu ketika perhatian suku kalama melihat wah.. ini beda ini.. kayaknya dia bener juga.. lalu sang Buddha membabarkan tidak berbuat jahat dan tidak berniat jahat.. secara irngkasnya begitu...

_/\_
Title: Re: Ajaran Buddha: Buktikan dulu baru percaya. Benarkah?
Post by: bond on 14 December 2010, 03:17:46 PM
Quote from: Balhamoth on 14 December 2010, 02:42:33 PM
mo nambahin..

Barusan ada kelas dhammaclass di surabaya oleh Ehiphassiko Foundation...

Aku baru sadar juga.. Kalama Sutta bukanlah melulu menekankan pada ehiphasikko, jika hanya menjelaskan ehiphasikko maka cerita kalama sutta tidak lengkap.
karena yang terpenting dalam kalama sutta adalah apa yang di ajarkan oleh sang Buddha ada dua:

tidak berbuat jahat..
tidak berniat jahat...

saat itu kondisi suku kalama lagi dirundung banyak orang yang mengaku buddha, ada 6 selain sang Buddha sendiri... sang Buddha mengetahui kalo ke enam pertapa ini pun mengaku sebagai Buddha, tidak hanya itu.. keenamnya mengakui ajaran mereka itu yang paling benar... nah dari ke enam pertapa ini pun mempunyai banyak pengikut.. hal ini berarti ke enam pertapa itu pun juga pintar2 bukannya orang gila yang mengaku Buddha... nah sang Buddha berpikir lalu membabarkanlah "jangan percaya bla,bla bla..." lalu ketika perhatian suku kalama melihat wah.. ini beda ini.. kayaknya dia bener juga.. lalu sang Buddha membabarkan tidak berbuat jahat dan tidak berniat jahat.. secara irngkasnya begitu...

_/\_
Quote
Kalau lihat konteksnya, itu kan ajaran buat kaum Kalama, yang bukan murid sang Buddha.
Mereka nanyanya kan "mesti percaya siapa nih", sang Buddha menjawabnya juga tepat pada sasaran menjawab pertanyaan mereka.
Ini bukan mengenai ajaran Sang Buddha sendiri.

Konteks "buktikan dulu baru percaya" bukan untuk murid-murid sang Buddha. Kalau kita ingin belajar sesuatu, selalu ada hal-hal yang perlu dipercayai dulu walaupun belum bisa dibuktikan. Misalnya kita ingin belajar mendaki gunung, kalau gurunya bilang jangan pakai tali plastik, apakah kita akan coba dulu pakai tali plastik trus kalau talinya sudah putus kita baru percaya?

Dalam Buddhism, kita bisa anggap kamma & rebirth adalah "working hypothesis" agar kita bisa menjalani tahap-tahap pembelajaran. Selama belum mencapai tahap tertentu dimana kita bisa buktikan sendiri, kita memang harus percaya, paling tidak bukan dengan aktif menolak "hipotesis"-nya. Nanti kalau sudah membuktikan, "percaya" berubah jadi "tahu".

Tapi yang paling dasar saja, Four Noble Truth sudah bisa dibuktikan kan.

sekaligus  menanggapi dua quote

Memang tidak ehipasiko melulu tapi ada hal yang lain dan juga seperti yang bro sebutkan tetapi kalama sutta dapat dijadikan acuan. Tatkala 6 orang jaman dulu ngaku Buddha dan di jaman sekarang banyak aliran agama Buddha, nah untuk mengujinya tentu apa yang dinasehatkan sang Buddha kepada suku kalama. Jadi nasehat itu bukan hanya untuk suku kalama tetapi maknanya bersifat general, jika ditafsirkan hanya untuk suku kalama, maka semua isi sutta hanya relevan untuk orang pada masa Sang Buddha saja dan banyak juga nasehat Sang Buddha yang tidak untuk muridnya sendiri  dan para murid Buddha dulunya adalah bukan muridnya Buddha . ^-^

Dan pernyataan terakhir dari bro terasi mengatakan bahwa 4 Km saja sudah bisa dibuktikan. Nah bukti awal itulah yang paling penting dan paling mendasar, kalau tidak ada 4 KM apakah kalian percaya sama Sang Buddha ?  ^-^

Metta

Title: Re: Ajaran Buddha: Buktikan dulu baru percaya. Benarkah?
Post by: williamhalim on 14 December 2010, 03:35:57 PM
Quote from: Peacemind on 09 December 2010, 09:57:06 AM
Berbasis pada Kalama Sutta dan pernyataan 'ehipassiko', banyak penganut Buddhis biasanya tidak mau menerima atau percaya beberapa ajaran atau kepercayaan baik yang berasal dari luar maupun dari ajaran Buddha sendiri sebelum mereka mengalami dan membuktikkan kebenarannya. Pertanyaannya, apakah Sang Buddha mengajarkan kepada umatnya untuk membuktikkan semua ajaran beliau sebelum menempatkan kepercayaanya? Tidak bolehkah kita seorang Buddhis percaya terhadap beberapa ajaran Buddha yang belum kita realisasikan?

yg perlu diperhatikan dalam Kalama Sutta... Don't Believe...Just Because

Jangan semata2 percaya hanya karena dikatakan kitab, orang2, bla2...

Jadi bukannya disuruh jangan percaya, tapi "jangan maen percaya aja hanya karena ...."

Hanya karena... ini penting, tidak boleh tinggal dalam penulisannya.

::
Title: Re: Ajaran Buddha: Buktikan dulu baru percaya. Benarkah?
Post by: seniya on 14 December 2010, 08:39:11 PM
Quote from: morpheus on 14 December 2010, 01:10:30 PM
judul topik ama post pertamanya mengenai kepercayaan, om.

O ya, baru nyadar jika yang dibahas tentang "kepercayaan" bukan "keyakinan". Tetapi kayaknya dalam bahasa Pali, baik "kepercayaan" maupun "keyakinan" sama-sama disebut "saddha" kan?
Title: Re: Ajaran Buddha: Buktikan dulu baru percaya. Benarkah?
Post by: adi lim on 15 December 2010, 06:17:19 AM
Quote from: Iwan Senta on 14 December 2010, 10:02:07 AM
[at]  Bond :

Ternyata "masuk akal" itu berbaring lurus dengan tingkat kesadaran seseorang.  ;D

emank belajar  ilmu Fisika ! pakai kata 'logika dan berbading lurus' :)) :))
  _/\_
Title: Re: Ajaran Buddha: Buktikan dulu baru percaya. Benarkah?
Post by: fabian c on 15 December 2010, 07:18:56 AM
Teman-teman, menurut saya kata "ehipassiko" artinya bukan datang dan buktikan, tapi datang dan alami/lihat. "Ehi" berarti datang, "passiko" berarti lihat atau saksikan.

Kata ehipassiko ada dalam Dhammanussati (perenungan terhadap sifat-sifat Dhamma), sedangkan inti atau tujuan akhir dari Dhamma adalah Nibbana, yang hanya bisa dialami oleh kita masing-masing, tak mungkin kita membuktikan adanya Nibbana pada orang lain.
Sesuai dengan percakapan Y.A. Nagasena dengan raja Milinda dalam Milinda Panha, (intinya kurang lebih demikian)

Raja Milinda: Apakah Nibbana itu ada?
Bhikkhu Nagasena: Nibbana itu ada baginda.
Raja Milinda: coba buktikan.
Bhikkhu Nagasena: Apakah Himalaya ada baginda?
Raja Milinda: Ya Himalaya ada.
Bhikkhu Nagasena: kalau begitu coba buktikan.
Raja Milinda: wah tak mungkin saya membawa Himalaya kesini bhante sendiri yang harus kesana untuk membuktikan
Bhikkhu Nagasena: demikian juga dengan Nibbana Baginda, saya tak mungkin membawa Nibbana untuk diperlihatkan kepada Baginda, Baginda sendiri yang harus membuktikannya.

--------------

Dalam Kalama Sutta sebenarnya Sang Buddha hanya mengajarkan suku Kalama cara berpikir kritis yang lebih logis, karena semua pimpinan aliran kepercayaan pada waktu itu menjual kecap no 1. Sang Buddha menawarkan jalan keluar agar suku Kalama terbebas dari kebingungan. Menghadapi demikian banyak kecap no: 1.

Selain itu secara halus Sang Buddha juga memberikan undangan kepada suku Kalama untuk membuktikan sendiri apa yang di klaim ajaran-ajaran tersebut termasuk ajaran Beliau, sebelum memutuskan.

_/\_
Title: Re: Ajaran Buddha: Buktikan dulu baru percaya. Benarkah?
Post by: Iwan Senta on 15 December 2010, 09:04:56 AM
Quote from: adi lim on 15 December 2010, 06:17:19 AM
emank belajar  ilmu Fisika ! pakai kata 'logika dan berbading lurus' :)) :))
  _/\_

Itu buktinya matematika bukan cuma untuk berhitung bukan ? ^-^
Title: Re: Ajaran Buddha: Buktikan dulu baru percaya. Benarkah?
Post by: willian on 15 December 2010, 11:41:54 AM
Percaya si bole2 aja,
Tpi lbh baik dibuktikan trlbh dahuku si lbh bagus..