News:

Semoga anda berbahagia _/\_

Main Menu

Ajaran Buddha: Buktikan dulu baru percaya. Benarkah?

Started by Peacemind, 09 December 2010, 09:57:06 AM

Previous topic - Next topic

0 Members and 1 Guest are viewing this topic.

Mr. Wei

Jadi kalau umat Buddha mengklaim kalau keyakinannya adalah keyakinan logis dan bisa dibuktikan, berarti kurang tepat donk? Karena umat Buddha sendiri belum bisa membuktikan 31 alam kehidupan.

Setelah diskusi sesaat dan membaca postingan bro Kainyn yang ini:
QuoteMenurut saya, kata 'ehipassiko' itu merujuk pada kebenaran tentang dukkha, bukan pada segala fenomena secara keseluruhan. Kenyataan tentang ketidakpuasan adalah bisa dibuktikan oleh siapapun juga, bukan juga pada saat nanti atau di lain tempat (yang kita tidak tahu juga pastinya).

Mengenai kebenaran lain, semua kembali pada kemampuan setiap orang dalam membuktikan atau sebatas menangkap secara logika.

Saya menangkap bahwa yang harus diehipassiko adalah mengenai perkembangan batin, bukan segala hal. Kebenaran dukkha, kebenaran lenyapnya dukkha, tidak adanya makhluk adikuasa, dan lain-lain yang berhubungan dengan perkembangan batin itulah yang harus kita datangi sendiri dan kita buktikan.

Sedangkan hal-hal yang tidak berhubungan dengan perkembangan batin, kayaknya gak selalu harus diehipassiko. Contohnya narkoba, mank harus coba makan dan teler dulu baru percaya kalau narkoba itu berbahaya? Contohnya bom, mank harus tunggu tuh benda meledak dulu baru percaya kalau itu bahan peledak? Atau orang tua, mank harus di tes DNA dulu baru percaya kalau saya adalah anak dari ibu saya?

Jadi ehipassiko hanya berlaku untuk hal-hal yang berhubungan dengan perkembangan batin, selebihnya tidak harus selalu di-ehipassiko.

Mengetahui adanya 31 alam kehidupan tidak membuat batin berkembang, kalau begitu rasanya tidak perlu dibuktikan.
Tapi apakah kelahiran kembali perlu dibuktikan? Apakah dengan mengetahui adanya kelahiran kembali, batin kita bisa berkembang?

K.K.

Quote from: Mr. Wei on 10 December 2010, 10:30:31 AM
Jadi kalau umat Buddha mengklaim kalau keyakinannya adalah keyakinan logis dan bisa dibuktikan, berarti kurang tepat donk? Karena umat Buddha sendiri belum bisa membuktikan 31 alam kehidupan.
Sesuatu bisa dinilai logis atau tidak adalah tergantung batasan yang diberikan.
Misalnya kita bilang dalam batasan sehari-hari, adalah logis kalau saya bilang orang jatuh dari lantai 2 dan tulangnya bisa patah. Sementara kalau orang terjun bebas dari lantai 5 tanpa alat, mendarat di lantai keras, tapi tidak cedera, itu baru tidak logis. Jika batasannya diubah, misalnya kita bilang kejadiannya di bulan, atau yang jatuh itu Catwoman, maka bisa jadi logis.

Terlepas dari logis atau tidaknya, belum tentu harus dibuktikan. Jadi bisa saja belum terbuktikan, namun logis.


QuoteSetelah diskusi sesaat dan membaca postingan bro Kainyn yang ini:
Saya menangkap bahwa yang harus diehipassiko adalah mengenai perkembangan batin, bukan segala hal. Kebenaran dukkha, kebenaran lenyapnya dukkha, tidak adanya makhluk adikuasa, dan lain-lain yang berhubungan dengan perkembangan batin itulah yang harus kita datangi sendiri dan kita buktikan.

Sedangkan hal-hal yang tidak berhubungan dengan perkembangan batin, kayaknya gak selalu harus diehipassiko. Contohnya narkoba, mank harus coba makan dan teler dulu baru percaya kalau narkoba itu berbahaya? Contohnya bom, mank harus tunggu tuh benda meledak dulu baru percaya kalau itu bahan peledak? Atau orang tua, mank harus di tes DNA dulu baru percaya kalau saya adalah anak dari ibu saya?

Jadi ehipassiko hanya berlaku untuk hal-hal yang berhubungan dengan perkembangan batin, selebihnya tidak harus selalu di-ehipassiko.

Mengetahui adanya 31 alam kehidupan tidak membuat batin berkembang, kalau begitu rasanya tidak perlu dibuktikan.
Tapi apakah kelahiran kembali perlu dibuktikan? Apakah dengan mengetahui adanya kelahiran kembali, batin kita bisa berkembang?
Ya, tepat seperti itu maksud saya. Yang berkenaan dengan dukkha, siapapun bisa membuktikannya. Tapi seperti kata Bro adi lim, orang sering membawa-bawa ini ke keseluruhan Ajaran Buddha. Saya beberapa kali juga ditanya umat lain mengenai hal ini, karena ternyata ketika ditanya yang aneh2 seperti bukti karma/kehidupan lampau dan lain-lain, umat Buddhis juga tidak bisa memberikan bukti nyata. Saya katakan ke mereka, "memang tidak bisa kok, karena 'ehipassiko' adalah untuk perenungan Buddha-dhamma."

Mengenai Kalama Sutta, saya setuju dengan bro Satria & bro Edward bahwa bukan menyuruh kita tidak percaya, tapi jangan percaya sesuatu hanya karena tradisi, omongan tokoh, dsb. Kita disuruh menyelidiki, bukan disuruh percaya atau skeptis secara membuta.


Mr. Wei

Berarti yakin secara buta maupun tidak yakin secara buta harus dihindari ya.
Sayangnya, umat Buddha karena saking 'cinta'nya dengan Kalama Sutta, jadi skeptis buta. Sedikit-sedikit, 'ah gak percaya', 'masa?', 'itu gak benar'. Padahal coba diselidiki saja belum :)

Sukma Kemenyan

#18
Sejak kapan ehipassiko menjadi bukti?
Ini translasi kepedean, yg sering menjadi bumerang.

Ehipassiko bagi gw translasinya... "Silahkan datang"
Kalo direlasikan sama kalama sutta, maka menjadi...

"Silahkan datang, lihat dan analisa"
Cocok? Telan!
Ga cocok? Buang!

ryu

Janganlah memperhatikan kesalahan dan hal-hal yang telah atau belum dikerjakan oleh diri sendiri. Tetapi, perhatikanlah apa yang telah dikerjakan dan apa yang belum dikerjakan oleh orang lain =))

dipasena

#20
saya ada crita dikit, sy tertarik dengan buddhism karena ajaran nya yg lebih logis dr pd ajaran lain yg pernah sy pelajari (nasrani) dan yg paling buat sy tertarik ada lah konsep kamma/karma tentang "bertanggung jawab"

beberapa taon sy belajar dhamma, sampai ke satu hal, baru saja terjadi kasus ini kira2 1/2 minggu yg lalu, saya kehilangan 1 unit laptop yg ckup mahal karena penipuan oknum PNS, hal ini terjadi di kantor dinas tertentu...

pendek crita, setelah saya ditipu ada beberapa teman yg mempunyai kemampuan khusus, menawarkan bantuan... ada yg bs melihat masa lalu yaitu kronologis penipuan, barang dan dengan jelas melihat siapa sipelaku dan rekan2nya, ada juga (teman keturunan dayak) yg bs "mengerjai" si penipu bahkan kalo mau bs sampai mati, ada yg bs mengambil kan barang (dengan cara bantuan mahluk lain) tersebut dengan syarat belum berpindah tangan, ada yg bs melihat kehidupan lampau dan relasi nya dengan kamma/karma masa lampau...

dr semua bantuan, sy tertarik dengan teman yg bs melihat relasi yg sy alami dengan kamma/karma masa lampau, intinya sy pernah melakukan sesuatu yg merugikan orang lain sehingga sekarang sy mengalami penipuan... dan teman sy meminta sy untuk mengiklaskan aja barang tersebut, karena ga bakal kembali...

lalu teman sy yg bs mengambil barang tersebut menawarkan jasa jg, tp beberapa saat kemudian teman sy tersebut mengatakan, koq ada halangan besar sehingga ia susah untuk bs mengambil kembali barang tersebut, padahal biasanya klo ada orang yg kehilangan barang, ia bs dengan mudah mengambil kembali barang tersebut, tp khusus kasus sy ia mengatakan susah untuk mengambil kembali...

mungkin yg dimaksudkan adalah kamma/karma buruk sy terlalu besar sehingga menghalangi ia untuk mengambil barang tersebut. dr beberapa teman yg mempunyai kemampuan khusus tersebut ada titik temu nya, penjelasan mereka hampir mirip, walau tidak saling kenal satu sama lain bahkan ada yg beragama islam...

1 hal ini cukup menunjukan ke sy secara pribadi karena barusan terjadi, bahwa kamma/karma/hukum sebab akibat/hukum tabur tuai itu benar dan akibat nya cukup merugikan kita, kita harus bertanggung jawab dengan perbuatan kita sendiri... dan hal ini jg cocok dengan uraian dan ajaran buddha mengenai perbuatan/kamma/karma

belum lg tentang uraian di dalam sutta bahwa alam kehidupan lain itu ada/eksis, yaitu mahluk menderita seperti peta, asura, niraya, binatang... dan juga tentang abhinna yaitu kemampuan bathin untuk melihat kehidupan masa lampau, melihat mahluk halus, berkomunikasi dengan mahluk halus dan lainnya...

ini cuma sekedar sharing, ya sesuai dengan kata bos menyan...
"Silahkan datang dan lihat/analisa"
Cocok? Telan!
Ga cocok? Buang!

salam,
dhanuttono

Terasi

Kalau lihat konteksnya, itu kan ajaran buat kaum Kalama, yang bukan murid sang Buddha.
Mereka nanyanya kan "mesti percaya siapa nih", sang Buddha menjawabnya juga tepat pada sasaran menjawab pertanyaan mereka.
Ini bukan mengenai ajaran Sang Buddha sendiri.

Konteks "buktikan dulu baru percaya" bukan untuk murid-murid sang Buddha. Kalau kita ingin belajar sesuatu, selalu ada hal-hal yang perlu dipercayai dulu walaupun belum bisa dibuktikan. Misalnya kita ingin belajar mendaki gunung, kalau gurunya bilang jangan pakai tali plastik, apakah kita akan coba dulu pakai tali plastik trus kalau talinya sudah putus kita baru percaya?

Dalam Buddhism, kita bisa anggap kamma & rebirth adalah "working hypothesis" agar kita bisa menjalani tahap-tahap pembelajaran. Selama belum mencapai tahap tertentu dimana kita bisa buktikan sendiri, kita memang harus percaya, paling tidak bukan dengan aktif menolak "hipotesis"-nya. Nanti kalau sudah membuktikan, "percaya" berubah jadi "tahu".

Tapi yang paling dasar saja, Four Noble Truth sudah bisa dibuktikan kan.

Indra

Ironisnya, mrk yg tidak begitu saja mempercayai ajaran Sang Buddha tenyata malah memilih untuk percaya begitu saja pada Kalama Sutta yg juga merupakan ajaran Sang Buddha.

Peacemind

Quote from: seniya on 09 December 2010, 06:35:35 PM
Menurut Sam. Peacemind, apakah ajaran Buddha yang harus dipercayai dulu sebelum dibuktikan? Mungkin bisa di-sharing ke kami semua. _/\_

Maaf baru nongol dan menjawab. Menurut saya, salah satu konsep dalam ajaran Buddha yang harus dipercayai dulu meskipun belum membuktikan adalah lenyapnya kekotoran batin secara total, atau escape dari penderitaan, atau dengan kata lain, nibbāna. Jika kita tidak mempercayai bahwa ada escape dari penderitaan, kita tidak akan terdorong untuk mempraktikkan Jalan untuk melenyapkan penderitaan. Oleh karenanya, dalam hal ini, kepercayaan atau keyakinan atau saddha sering disebut sebagai biji (bibit). Sebelum mendapatkan buah, seseorang harus menabur biji. Artinya, sebelum membuktikan kondisi lenyapnya penderitaan secara total, seseorang harus menanamkan kepercayaan bahwa ada sesuatu yang disebut lenyapnya penderitaan.

Mettacittena.

morpheus

pertanyaan:
apakah kepercayaan itu perlu (dalam konteks dukkha dan lenyapnya dukkha)?
apakah yg percaya pada hukum karma / rebirth / 31 alam / nibbana / dewa yama / tilakkhana bisa menerima kematian orang yg dicintainya dengan lebih baik daripada yang tidak punya kepercayaan? apakah mereka suffered less ketimbang yg tidak punya kepercayaan?
bisakah kita praktik tanpa perlu percaya?
apakah praktik mereka yg percaya bakal lebih baik ketimbang yg tidak punya kepercayaan?

menurut saya, dalam konteks dukkha dan lenyapnya dukkha, kepercayaan tidak diperlukan (not necessary, artinya ok aja tapi gak harus) dan malahan bisa jadi bumerang karena sikap mental percaya berarti berdiam dalam kenyamanan dan tidak mempelajari (discover) sesuatu yg baru lagi, stop sampai di sini saja.
* I'm trying to free your mind, Neo. But I can only show you the door. You're the one that has to walk through it
* Neo, sooner or later you're going to realize just as I did that there's a difference between knowing the path and walking the path

Peacemind

Quote from: morpheus on 12 December 2010, 11:46:45 PM
pertanyaan:
apakah kepercayaan itu perlu (dalam konteks dukkha dan lenyapnya dukkha)?
apakah yg percaya pada hukum karma / rebirth / 31 alam / nibbana / dewa yama / tilakkhana bisa menerima kematian orang yg dicintainya dengan lebih baik daripada yang tidak punya kepercayaan? apakah mereka suffered less ketimbang yg tidak punya kepercayaan?
bisakah kita praktik tanpa perlu percaya?
apakah praktik mereka yg percaya bakal lebih baik ketimbang yg tidak punya kepercayaan?

menurut saya, dalam konteks dukkha dan lenyapnya dukkha, kepercayaan tidak diperlukan (not necessary, artinya ok aja tapi gak harus) dan malahan bisa jadi bumerang karena sikap mental percaya berarti berdiam dalam kenyamanan dan tidak mempelajari (discover) sesuatu yg baru lagi, stop sampai di sini saja.

Mungkin, anda bisa membaca Caṅkisutta dan Bodhirājakumrasutta. Pentingnya keyakinan sebelum seseorang melanjutkan ke praktik sesungguhnya dijelaskan di sana.

Sumedho

Quote from: MN 95: Canki Sutta
http://dhammacitta.org/forum/index.php?topic=17773.msg293755#msg293755
...
20. "Ketika ia telah menyelidikinya dan telah melihat bahwa ia murni dari kondisi-kondisi yang berdasarkan pada kebodohan, kemudian ia berkeyakinan padanya; dengan penuh keyakinan ia mengunjunginya dan memberikan penghormatan kepadanya; setelah memberikan penghormatan, ia mendengarkan; ketika ia mendengarkan, ia mendengar Dhamma; setelah mendengar Dhamma, ia menghafalnya dan meneliti makna dari ajaran yang telah ia hafalkan; ketika ia meneliti makna maknanya, ia memperoleh penerimaan atas ajaran-ajran itu melalui perenungan; ketika ia memperoleh penerimaan melalui perenungan atas ajaran-ajaran itu, semangat muncul; ketika semangat muncul, ia mengerahkan tekadnya; setelah mengerahkan tekadnya, ia menyelidiki;  setelah menyelidiki, ia berusaha;  karena berusaha dengan tekun, ia dengan tubuhnya mencapai kebenaran tertinggi dan melihat dengan menembusnya dengan kebijaksanaan.  Dengan cara ini, Bhāradvāja, terjadi penemuan kebenaran; dengan cara ini seseorang menemukan kebenaran; dengan cara ini kami menjelaskan penemuan kebenaran. Tetapi masih belum kedatangan akhir pada kebenaran."
...

Quote from: MN 85: Bodhirajakumara Sutta
http://dhammacitta.org/forum/index.php?topic=17773.msg293420#msg293420

...

55. Ketika hal ini dikatakan, Pangeran Bodhi berkata kepada Sang Bhagavā: "Yang Mulia, ketika seorang bhikkhu menemukan Sang Tathāgata untuk mendisiplinkannya, berapa lamakah hingga dengan menembusnya untuk dirinya sendiri dengan pengetahuan langsung, ia di sini dan saat ini masuk dan berdiam dalam tujuan tertinggi kehidupan suci itu yang dicari oleh para anggota keluarga yang meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah."

"Sehubungan dengan hal itu, Pangeran, Aku akan mengajukan pertanyaan kepadamu sebagai jawaban. Jawablah dengan apa yang menurutmu benar. Bagaimana menurutmu, Pangeran? Apakah engkau mahir dalam seni menggunakan tongkat kendali ketika menunggang seekor gajah?"

"Benar, Yang Mulia."

56. "Bagaimana menurutmu, Pangeran? Misalkan seseorang datang ke sini dengan pikiran: 'Pangeran Bodhi mengetahui seni menggunakan tongkat kendali ketika menunggang seekor gajah; aku akan mempelajari seni itu darinya.' Jika ia tidak memiliki keyakinan, ia tidak dapat mencapai apa yang dapat dicapai oleh seseorang yang memiliki keyakinan; Jika ia memiliki penyakit, ia tidak dapat mencapai apa yang dapat dicapai oleh seseorang yang bebas dari penyakit; jika ia curang dan penuh tipuan, ia tidak dapat mencapai apa yang dapat dicapai oleh seseorang yang jujur dan tulus; jika ia malas, ia tidak dapat mencapai apa yang dapat dicapai oleh seseorang yang bersemangat; jika ia tidak bijaksana, ia tidak dapat mencapai apa yang dapat dicapai oleh seseorang yang bijaksana. Bagaimana menurutmu, Pangeran? Dapatkah orang itu mempelajari darimu seni menggunakan tongkat kendali ketika menunggang seekor gajah?"

"Yang Mulia, bahkan jika ia memiliki salah satu kekuarangan itu, maka ia tidak akan dapat mempelajarinya dariku, apa lagi lima?"

57. "Bagaimana menurutmu, Pangeran? Misalkan seseorang datang ke sini dengan pikiran: [95] 'Pangeran Bodhi mengetahui seni menggunakan tongkat kendali ketika menunggang seekor gajah; aku akan mempelajari seni itu darinya.' Jika ia memiliki keyakinan, ia dapat mencapai apa yang dapat dicapai oleh seseorang yang memiliki keyakinan; Jika ia bebas dari penyakit, ia dapat mencapai apa yang dapat dicapai oleh seseorang yang bebas dari penyakit; jika ia jujur dan tulus, ia tidak dapat mencapai apa yang dapat dicapai oleh seseorang yang jujur dan tulus; jika ia bersemangat, ia dapat mencapai apa yang dapat dicapai oleh seseorang yang bersemangat; jika ia  bijaksana, ia dapat mencapai apa yang dapat dicapai oleh seseorang yang bijaksana. Bagaimana menurutmu, Pangeran? Dapatkah orang itu mempelajari darimu seni menggunakan tongkat kendali ketika menunggang seekor gajah?"

"Yang Mulia, bahkan jika ia memiliki salah satu kualitas itu, maka ia akan dapat mempelajarinya dariku, apa lagi lima?"

58. "Demikian pula, Pangeran, terdapat lima faktor usaha. Apakah lima ini? Di sini seorang bhikkhu memiliki keyakinan, ia berkeyakinan pada pencerahan Sang Tathāgata sebagai berikut: 'Sang Bhagavā sempurna, tercerahkan sempurna, sempurna dalam pengetahuan dan perilaku sejati, mulia, pengenal segenap alam, pemimpin tanpa tandingan bagi orang-orang yang harus dijinakkan, guru para dewa dan manusia, tercerahkan, terberkahi.'

"Kemudian ia bebas dari penyakit dan kesusahan, memiliki pencernaan yang baik yang tidak terlalu dingin juga tidak terlalu panas melainkan menengah dan mampu menahankan tekanan usaha.

"Kemudian ia jujur dan tulus, dan memperlihatkan dirinya sebagaimana adanya kepada Guru dan teman-temannya dalam kehidupan suci.

"Kemudian ia bersemangat dalam meninggalkan kondisi-kondisi yang tidak bermanfaat dan dalam mengusahakan kondisi-kondisi yang bermanfaat, mantap, mengerahkan usahanya dengan keteguhan dan tekun dalam melatih kondisi-kondisi yang bermanfaat.

"Kemudian ia bijaksana; ia memiliki kebijaksanaan sehubungan dengan kemunculan  dan kelenyapan yang mulia dan menembus dan mengarah pada kehancuran penderitaan sepenuhnya. Ini adalah lima faktor usaha.

59. "Pangeran, ketika seorang bhikkhu yang memiliki kelima faktor usaha ini menemukan Sang Tathāgata untuk mendisiplinkannya, ia mungkin berdiam selama tujuh tahun hingga dengan menembusnya untuk dirinya sendiri dengan pengetahuan langsung, ia di sini dan saat ini masuk dan berdiam dalam tujuan tertinggi kehidupan suci itu yang dicari oleh para anggota keluarga yang meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah. [96]

"Jangankan tujuh tahun, Pangeran. ketika seorang bhikkhu yang memiliki kelima faktor usaha ini menemukan Sang Tathāgata untuk mendisiplinkannya, ia mungkin berdiam selama enam tahun ... lima tahun ... empat tahun ... tiga tahun ... dua tahun ... satu tahun ... Jangankan satu tahun, Pangeran, ... ia mungkin berdiam selama tujuh bulan ... enam bulan ... lima bulan ... empat bulan ... tiga bulan ... dua bulan ... satu bulan ... setengah bulan ... Jangankan setengah bulan, Pangeran, ... ia mungkin berdiam selama tujuh hari tujuh malam ... enam hari enam malam ... lima hari lima malam ... empat hari empat malam ... tiga hari tiga malam ... dua hari dua malam ... dan sehari semalam.

"Jangankan sehari semalam, Pangeran. ketika seorang bhikkhu yang memiliki kelima faktor usaha ini menemukan Sang Tathāgata untuk mendisiplinkannya, maka dengan diberikan instruksi pada malam hari, ia mungkin mencapai kemuliaan di pagi hari; dengan diberikan instruksi di pagi hari, ia mungkin mencapai kemuliaan di malam hari."

...[/quote
There is no place like 127.0.0.1

Indra

dari Canki Sutta dan Bodhirajakumara sutta di atas, jelas bahwa minimum requirement adalah keyakinan pada Tiratana.

bond

IMO,

Ada hal yang bisa dipercayai terlebih dahulu dan ada yang tidak. Dan bahkan boleh meragukan terlebih dahulu lalu berehipasiko. Dan menurut hemat saya hal-hal yang belum dibuktikan lebih baik bersikap netral daripada berandai-andai dari sesuatu yang kita yakini dan ternyata jauh dari realita.

Contoh : - 8 Jmb dan 4 Km bisa diterima dan dipercayai karena memang masuk akal . Setelah masuk akal baru memiliki keyakinan pasti ada cara, kemudian kita mulai mencarinya dengan berlatih.

Nah kemudian pertanyaannya apakah ada jalan lenyapnya dukkha. Kalau kita langsung percaya, ini bisa saja menjadi retorika saja. Tetapi bila hal itu masuk akal dan bertanya kembali bagaimana jalannya...dan kemudian menyelidiki dan ditahap2 awal ternyata ada hal-hal ditemukan dan sesuai maka muncul kepercayaan itu akan menjadi teguh dengan pengertian benar. Jika percaya sepenuhnya tanpa melakukan ehipasiko maka apa bedanya dengan agama tetangga.

Hampir semua murid Sang Buddha memulai dari keingintahuannya dan tidak didahului dengan percaya begitu saja. Oleh karena itu Buddha membabarkan Dhamma kepada mereka. Dan banyak yang mencapai pencerahan juga saat itu.

Contoh lainya : jika didalam sutta disebutkan berbagai 31 alam dan lain-lain. Tetapi kita sendiri belum melihatnya atau mengalaminya, bahkan ada makhluk aneh2 apakah kita percaya saja? kalau ya, tidak beda dengan agama tetangga. Mengapa? Jika disutta dikatakan ada makhluk ini dan itu. Tetapi kenyataan ada makhluk lain yang tidak tertulis tetapi kita mengalaminya dan orang yang tidak pernah mengalami hanya percaya saja pada apa yang dia baca dan ketika ada hal2 yang tidak pernah ia ketahui maka ia akan menolak begitu saja tetapi bila ia netral dan membiarkan sampai terbukti dengan sendirinya melalui latihan maka itu akan lebih baik.

Sehingga IMO kepercayaan yang muncul haruslah tidak berdiri sendiri tetapi ada faktor lainnya yakni Ehipasiko dan Dhamma Vicayo. Jika tidak, bisa-bisa hanya seperti burung beo ^-^.

Menyangkut Canki sutta dan bodhirajakumara sutta adalah contoh keyakinan yang baik karena ada Dhamma Vicayo tetapi pernahkah kita berpikir apa yang melatar belakangi orang itu yakin dan mendatangi Sang Buddha? Apakah keyakinan semata? yang pasti ada sesuatu yang dia temukan sebelumnya dan keunikan tersendiri dalam ajaran SB. Dan ketika orang itu mendatangi Sang Buddha tidak hanya faktor keyakinan tunggal saja sehingga keyakinan yang ada dibarengi pengertian benar, keingintahuan dan pembuktian lebih lanjut dan bukan sekedar yakin datang , ditanya kemudian menjawab sudah selesai.  ^-^

Dan dalam bodhiraja kumara sutta pun Sang Buddha masih memberikan pengertian lagi melalui pertanyaan2, hal ini tidak lain untuk menambah keyakinan dengan pengertian benar agar pangeran bodhi terhindar dari keyakinan membuta.

Pengalaman saya pribadi, sebelum meyakini ajaran Sang Buddha , saya melakukan penyelidikan terlebih dahulu sebelum menerima Triratna dan belajar meditasi. Setelah ada hal-hal yang sesuai yang menjawab satu pertanyaan saya. Maka langsung mendatangi seorang Bhante dengan penuh keyakinan dan melatih vipasana dan ternyata benar adanya.

Jadi kalau orang asal yakin tapi tidak ada faktor lainnya yang mendukung maka sama dengan keyakinan yang membabi buta.

Metta

Natthi me saranam annam, Buddho me saranam varam, Etena saccavajjena, Sotthi te hotu sabbada

Iwan Senta

 [at]  Bond :

Ternyata "masuk akal" itu berbaring lurus dengan tingkat kesadaran seseorang.  ;D