tergelitik oleh pernyataan yang mengatakan tidak ada kekerasan dalam sejarah buddhisme, saya googling dikit dan ketemu cerita di mahavamsa mengenai peperangan seorang raja sinhala dutthagamani (buddhis) dan tamil elara (hindu):
QuoteWhen the king Dutthagamani had had a relic put into his spear he
marched to Tissamaharama, and having shown favour to the brotherhood
he said: "I will go on to the land on the further side of river to
bring glory to the doctrine. Give us, that we may treat them with
honour, bhikkhus who shall go on with Us, since the sight of the
bhikkhus is blessing and protection for us." (Mahavamsa 25.1-4)
"Raja Dutthagamani menaruh relik pada tombaknya, ia
berbaris menuju Tissamaharama, dan setelah menjamu Sangha ia
berkata, "Saya akan berangkat menuju seberang sungai
untuk membawa kejayaan ajaran. Berikan kepada kami, supaya
kami bisa menghormati mereka, bhikkhu-bhikkhu yang akan berjalan
bersama kami, karena melihat para bhikkhu itu merupakan berkah
dan perlindungan bagi kami." (Mahavamsa 25.1-4)
dalam duel, elara dibunuh dutthagamani. diceritakan sebenernya elara adalah raja yang cukup baik dan lurus, sehingga dutthagamani menghargainya dengan mengkremasi dan membangun monumen.
namun dutthagamani masih larut dalam penyesalannya atas peperangan tadi, sehingga dalam mahavamsa diceritakan para bhikkhu suci mengutus 8 orang arahat menemui sang raja:
Quote"From this deed arises no hindrance in thy way to heaven. Only one
and a half human beings have been slain here by thee, O lord of men.
The one had come unto the (three) refuges, the other had taken on
himself the five precepts. Unbelievers and men of evil life were the
rest, not more to be esteemed than beasts. But as for thee, thou
wilt bring glory to the doctrine of the Buddha in manifold ways;
therefore cast away care from thy heart, O ruler of men!" Thus
exhorted by them the great king took comfort. (Mahavamsa 25:109-112)
"Dari perbuatan ini tidak ada hambatan untuk masuk sorga. Hanya
satu dan setengah orang telah Anda bunuh di sini, wahai Penguasa
manusia. Yang seorang telah menganut (tiga) perlindungan, dan yang
lain telah menganut kelima sila. Selebihnya adalah orang-orang kafir dan
orang-orang yang hidupnya jahat, tidak perlu dihargai, layaknya
binatang. Tetapi untuk Anda, Anda akan membawa kemuliaan ajaran Sang
Buddha dengan banyak cara; oleh karena itu, buanglah penyesalan
dalam hati Anda, O Penguasa manusia!" Demikianlah, setelah
mendapat khotbah dari mereka, raja besar itu bersenang hati."
(Mahavamsa 25:109-112)
wah!!!
Bro Morpheus yg baik,
Anda benar sekali, telah terjadi pertumpahan darah, saya juga telah membaca kisah ini. Ada yg perlu diperhatikan dalam pertikaian ini, BUKAN pertempuran, tapi sungguh2 duel antara 2 orang gentlemen, yaitu King Dutthugemunu (Dutthagamani lebih dikenal dg nama Dutthugemunu) dan King Elara, karena King Elara ini adalah Tamil bukan Sinhala, sehingga king Dutthugemunu ingin menyatukan negaranya hanya untuk Sinhala dan Buddhism (Tamil non-Buddhist). Tujuan beliau mulia karena jika Tamil yg berkuasa maka Buddhism akan mengalami kehancuran, jadi demi mempertahankan Buddhism satu2 jalan adalah dengan cara mengalahkan King Elara. setelah duel dimenangkan beliau, untuk menghormati King Elara maka dilakukan pemakaman megah layaknya menghormati Raja yang Agung (kematian yg gagah berani) dan didirikan monumen, dan Raja mengumandangkan kepada seluruh rakyat agar tidak membunyikan drum (sejenis tambur utk tabuh2an), serta bunyi2an yang lain, ketika melintasi area ini, hingga detik ini masih berlaku.
demikian sedikit tambahan info dari saya. nice post sayang ga bisa kasih GRP.
mettacittena,
Pertumpahan darah antara Thailand dan Kamboja untuk merebutkan Angkor Wat juga termasuk kok. Tapi seperti yang saya nyatakan di thread sebelah, jumlah kekerasan / pertumpahan darah yang mengatas-namakan Buddhisme sangat kecil.
Quote from: morpheus on 16 September 2010, 10:55:20 AM
tergelitik oleh pernyataan yang mengatakan tidak ada kekerasan dalam sejarah buddhisme, saya googling dikit dan ketemu cerita di mahavamsa mengenai peperangan seorang raja sinhala dutthagamani (buddhis) dan tamil elara (hindu):
QuoteWhen the king Dutthagamani had had a relic put into his spear he
marched to Tissamaharama, and having shown favour to the brotherhood
he said: "I will go on to the land on the further side of river to
bring glory to the doctrine. Give us, that we may treat them with
honour, bhikkhus who shall go on with Us, since the sight of the
bhikkhus is blessing and protection for us." (Mahavamsa 25.1-4)
"Raja Dutthagamani menaruh relik pada tombaknya, ia
berbaris menuju Tissamaharama, dan setelah menjamu Sangha ia
berkata, "Saya akan berangkat menuju seberang sungai
untuk membawa kejayaan ajaran. Berikan kepada kami, supaya
kami bisa menghormati mereka, bhikkhu-bhikkhu yang akan berjalan
bersama kami, karena melihat para bhikkhu itu merupakan berkah
dan perlindungan bagi kami." (Mahavamsa 25.1-4)
dalam duel, elara dibunuh dutthagamani. diceritakan sebenernya elara adalah raja yang cukup baik dan lurus, sehingga dutthagamani menghargainya dengan mengkremasi dan membangun monumen.
namun dutthagamani masih larut dalam penyesalannya atas peperangan tadi, sehingga dalam mahavamsa diceritakan para bhikkhu suci mengutus 8 orang arahat menemui sang raja:
Quote"From this deed arises no hindrance in thy way to heaven. Only one
and a half human beings have been slain here by thee, O lord of men.
The one had come unto the (three) refuges, the other had taken on
himself the five precepts. Unbelievers and men of evil life were the
rest, not more to be esteemed than beasts. But as for thee, thou
wilt bring glory to the doctrine of the Buddha in manifold ways;
therefore cast away care from thy heart, O ruler of men!" Thus
exhorted by them the great king took comfort. (Mahavamsa 25:109-112)
"Dari perbuatan ini tidak ada hambatan untuk masuk sorga. Hanya
satu dan setengah orang telah Anda bunuh di sini, wahai Penguasa
manusia. Yang seorang telah menganut (tiga) perlindungan, dan yang
lain telah menganut kelima sila. Selebihnya adalah orang-orang kafir dan
orang-orang yang hidupnya jahat, tidak perlu dihargai, layaknya
binatang. Tetapi untuk Anda, Anda akan membawa kemuliaan ajaran Sang
Buddha dengan banyak cara; oleh karena itu, buanglah penyesalan
dalam hati Anda, O Penguasa manusia!" Demikianlah, setelah
mendapat khotbah dari mereka, raja besar itu bersenang hati."
(Mahavamsa 25:109-112)
wah!!!
Quote from: upasaka on 16 September 2010, 11:23:21 AM
Pertumpahan darah antara Thailand dan Kamboja untuk merubutkan Angkor Wat juga termasuk kok. Tapi seperti yang saya nyatakan di thread sebelah, jumlah kekerasan / pertumpahan darah yang mengatas-namakan Buddhisme sangat kecil.
Bro Upasaka yg baik,
TS hanya ingin menunjukkan bhw dlm Buddhism pun ada, karena di thread sebelah ada posting yg menyatakan tidak ada pertumpahan darah utk Buddhism. saya paham kok dg maksud TS. saya sih sepaham dg pernyataan bhw dlm Buddhism pun ada.
mettacittena,
Quote from: upasaka on 16 September 2010, 11:23:21 AM
Pertumpahan darah antara Thailand dan Kamboja untuk merebutkan Angkor Wat juga termasuk kok. Tapi seperti yang saya nyatakan di thread sebelah, jumlah kekerasan / pertumpahan darah yang mengatas-namakan Buddhisme sangat kecil.
Mungkin dari posting Bro fabian di thread sebelah.
Saya juga tidak setuju karena pernah baca bahwa Buddhist juga ada berperang dan menumpahkan darah dengan alasan agama, walaupun memang tidak banyak.
Quote from: pannadevi on 16 September 2010, 11:38:31 AM
Bro Upasaka yg baik,
TS hanya ingin menunjukkan bhw dlm Buddhism pun ada, karena di thread sebelah ada posting yg menyatakan tidak ada pertumpahan darah utk Buddhism. saya paham kok dg maksud TS. saya sih sepaham dg pernyataan bhw dlm Buddhism pun ada.
mettacittena,
Saya paham, Sam. Menurut saya, kita tidak perlu menutup mata bahwa sejarah panjang Buddhisme pun turut menuai pertumpahan darah oleh sejumlah kecil oknum. Tapi tetap saja Buddhisme tidak pernah mengundang "kekacauan" di dunia ini.
Demikian pula hal nya dengan paradigma masyarakat yang menggendong pemikiran bahwa negara Buddhis pasti masyarakatnya tidak mencelakakan makhluk lain. Itu juga keliru. Thailand misalnya, sebagai negara dengan penduduk mayoritas Buddhisme Theravada, namun tetap saja di sana banyak orang yang bermata-pencaharian dengan menjual daging, menjual senjata, racun, dan sebagainya. Biasanya, umat Buddha alergi terhadap pemandangan seperti ini.
Quote from: Kainyn_Kutho on 16 September 2010, 11:52:36 AM
Mungkin dari posting Bro fabian di thread sebelah.
Saya juga tidak setuju karena pernah baca bahwa Buddhist juga ada berperang dan menumpahkan darah dengan alasan agama, walaupun memang tidak banyak.
Iya, saya tahu... Maaf kalau ada yang salah paham dengan postingan saya di atas. Postingan saya di atas hanya sekadar sharing. Saya tahu Bro morpheus bukan bermaksud "menyentil" pendapat saya kok. ;)
Quote from: pannadevi on 16 September 2010, 11:11:37 AM
Bro Morpheus yg baik,
Anda benar sekali, telah terjadi pertumpahan darah, saya juga telah membaca kisah ini. Ada yg perlu diperhatikan dalam pertikaian ini, BUKAN pertempuran, tapi sungguh2 duel antara 2 orang gentlemen, yaitu King Dutthugemunu (Dutthagamani lebih dikenal dg nama Dutthugemunu) dan King Elara, karena King Elara ini adalah Tamil bukan Sinhala, sehingga king Dutthugemunu ingin menyatukan negaranya hanya untuk Sinhala dan Buddhism (Tamil non-Buddhist). Tujuan beliau mulia karena jika Tamil yg berkuasa maka Buddhism akan mengalami kehancuran, jadi demi mempertahankan Buddhism satu2 jalan adalah dengan cara mengalahkan King Elara. setelah duel dimenangkan beliau, untuk menghormati King Elara maka dilakukan pemakaman megah layaknya menghormati Raja yang Agung (kematian yg gagah berani) dan didirikan monumen, dan Raja mengumandangkan kepada seluruh rakyat agar tidak membunyikan drum (sejenis tambur utk tabuh2an), serta bunyi2an yang lain, ketika melintasi area ini, hingga detik ini masih berlaku.
makasih tambahannya, bu panna (samaneri?)...
dari kutipannya, sepertinya itu beneran peperangan, bukan hanya duel, karena disebutkan "kejayaan ajaran", korban orang2 kafir, dsb.
jadi penyesalan sang raja di sini mungkin seperti penyesalan raja asoka melihat korban yang sedemikian banyak, namun akhirnya diceriakan kembali oleh bhikkhu2 "arahat" tadi.
Menarik, tapi saya mencoba untuk menggunakan cara berpikir yang lain.
Dalam sejarahnya agama merupakan dan memiliki basis kekuatan tersendiri. Ada pepatah politikus mengatakan, Ia yang menggenggam basis kekuatan ini (agama) maka akan menguasai "dunia". Dan penguasa yang cerdik akan memanfaatkan kekuatan ini untuk mempertahankan kedudukannya atau negaranya. Singkatnya: politisasi agama.
Semua agama termasuk Buddhisme tidak luput dari politisasi.
Mahavamsa tidak lain adalah kompilasi kisah sejarah Sri Lanka yang di dalamnya terdapat kisah-kisah penguasa Sri Lanka dan juga mengenai Buddhisme yang tidak lepas dari sejarah Sri Lanka termasuk kekuasaan para raja.
Kisah Raja Sinhala Dutthagamani dalam Mahavamsa, menurut saya, lebih cenderung merupakan politisasi agama. Permintaan restu kepada sangha dengan alasan membela ajaran, dapat dilihat sebagai usaha mendapatkan kekuatan dari basis agama. Belajar dari Revolusi Safran di Birma, kita bisa lihat bagaimana sangha bisa menggerakkan massa yang besar.
Walaupun akhirnya diselesaikan dengan 1 lawan 1, kisah Raja Sinhala lebih cenderung berbau perseteruan politik dan etnis, Sinhala dan Tamil daripada agama.
Saya pernah membaca sebuah artikel, (lupa judulnya) mungkin bisa dicari di google, Buddhisme juga penah dijadikan alat politik untuk mengusir bangsa asing dari Jepang.
tepat sekali!
agama gampang sekali dipakai alat politik dan kekuasaan.
singkatnya jangan mudah terpesona membaca ttg utusan 8 arahat, turun dari alam brahma terlahir menjadi manusia, bumi bergoncang, para brahma bersorak, raja naga dan kejadian2 ajaib lainnya yg tertera di kitab2, terutama yg belakangan. mungkin itu hanya alat legitimasi dan justifikasi kekuasaan ataupun organisasi belaka. teliti isinya dengan seksama...
Quote from: morpheus on 16 September 2010, 10:55:20 AM
tergelitik oleh pernyataan yang mengatakan tidak ada kekerasan dalam sejarah buddhisme, saya googling dikit dan ketemu cerita di mahavamsa mengenai peperangan seorang raja sinhala dutthagamani (buddhis) dan tamil elara (hindu):
QuoteWhen the king Dutthagamani had had a relic put into his spear he
marched to Tissamaharama, and having shown favour to the brotherhood
he said: "I will go on to the land on the further side of river to
bring glory to the doctrine. Give us, that we may treat them with
honour, bhikkhus who shall go on with Us, since the sight of the
bhikkhus is blessing and protection for us." (Mahavamsa 25.1-4)
"Raja Dutthagamani menaruh relik pada tombaknya, ia
berbaris menuju Tissamaharama, dan setelah menjamu Sangha ia
berkata, "Saya akan berangkat menuju seberang sungai
untuk membawa kejayaan ajaran. Berikan kepada kami, supaya
kami bisa menghormati mereka, bhikkhu-bhikkhu yang akan berjalan
bersama kami, karena melihat para bhikkhu itu merupakan berkah
dan perlindungan bagi kami." (Mahavamsa 25.1-4)
dalam duel, elara dibunuh dutthagamani. diceritakan sebenernya elara adalah raja yang cukup baik dan lurus, sehingga dutthagamani menghargainya dengan mengkremasi dan membangun monumen.
namun dutthagamani masih larut dalam penyesalannya atas peperangan tadi, sehingga dalam mahavamsa diceritakan para bhikkhu suci mengutus 8 orang arahat menemui sang raja:
Quote"From this deed arises no hindrance in thy way to heaven. Only one
and a half human beings have been slain here by thee, O lord of men.
The one had come unto the (three) refuges, the other had taken on
himself the five precepts. Unbelievers and men of evil life were the
rest, not more to be esteemed than beasts. But as for thee, thou
wilt bring glory to the doctrine of the Buddha in manifold ways;
therefore cast away care from thy heart, O ruler of men!" Thus
exhorted by them the great king took comfort. (Mahavamsa 25:109-112)
"Dari perbuatan ini tidak ada hambatan untuk masuk sorga. Hanya
satu dan setengah orang telah Anda bunuh di sini, wahai Penguasa
manusia. Yang seorang telah menganut (tiga) perlindungan, dan yang
lain telah menganut kelima sila. Selebihnya adalah orang-orang kafir dan
orang-orang yang hidupnya jahat, tidak perlu dihargai, layaknya
binatang. Tetapi untuk Anda, Anda akan membawa kemuliaan ajaran Sang
Buddha dengan banyak cara; oleh karena itu, buanglah penyesalan
dalam hati Anda, O Penguasa manusia!" Demikianlah, setelah
mendapat khotbah dari mereka, raja besar itu bersenang hati."
(Mahavamsa 25:109-112)
wah!!!
Baik sekali bro Morpheus memuat mengenai kisah ini, dulu saya juga pernah berdiskusi dengan seorang scholar dari Sri lanka mengenai hal ini. Bila membaca sepintas nampaknya ini adalah pertumpahan darah demi penyebaran agama, tapi saya rasa tidak demikian berdasarkan dua hal:
1. Pada kasus-kasus peperangan agama yang saya pelajari para pemimpin agamanya (spiritual leadernya) ikut mendukung peperangan. Tidak demikian pada kasus raja Duthagamani.
2. Kitab sucinya juga mendukung penyebaran faham dengan perang/kekerasan, hal ini sama sekali tak ditemui di Tipitaka.
Jadi yang dilakukan oleh raja Duthagamani adalah murni berdasarkan politik. Saya yakin para pemimpin spiritual Buddhis tak akan ada yang setuju meletakkan relik peninggalan Arahat di senjata.
Menurut Vinaya, para Bhikkhu memegang senjata atau melihat persiapan perang saja tidak boleh. Apakah pantas meletakkan di senjata, relik seorang yang telah meninggalkan senjata?
Di jaman raja Duthagamani saya rasa tidak semua Bhikkhu adalah Ariya sehingga mungkin saja keluar pernyataan yang tidak sesuai dengan pengertian orang jaman sekarang, walaupun memang benar, berbuat jahat atau berbuat baik kepada orang yang berbeda silanya akan menghasilkan kamma vipaka yang berbeda pula.
_/\_
Quote from: fabian c on 16 September 2010, 04:48:45 PM
1. Pada kasus-kasus peperangan agama yang saya pelajari para pemimpin agamanya (spiritual leadernya) ikut mendukung peperangan. Tidak demikian pada kasus raja Duthagamani.
diquotation atas, katanya malahan 8 orang arahat menceriakan kembali sang raja yang menyesal dan menghibur dengan kata2 "orang-orang kafir / tidak seiman dan orang-orang yang hidupnya jahat, tidak perlu dihargai, layaknya binatang."
Quote from: fabian c on 16 September 2010, 04:48:45 PM
2. Kitab sucinya juga mendukung penyebaran faham dengan perang/kekerasan, hal ini sama sekali tak ditemui di Tipitaka.
di sini saya tidak mengutik2 tipitaka ataupun ajaran Sang Buddha yang suci dan tercerahkan sempurna.
saya hanya menginformasikan bahwa dalam sejarah
agama buddha di srilanka terdapat kisah mahavamsa tersebut.
Quote from: fabian c on 16 September 2010, 04:48:45 PM
Di jaman raja Duthagamani saya rasa tidak semua Bhikkhu adalah Ariya sehingga mungkin saja keluar pernyataan yang tidak sesuai dengan pengertian orang jaman sekarang, walaupun memang benar, berbuat jahat atau berbuat baik kepada orang yang berbeda silanya akan menghasilkan kamma vipaka yang berbeda pula.
menurut mahavamsa, 8 orang utusan itu adalah arahat. cmiiw.
Belum termasuk intrik para Lama dari Tibetan dalam penghancuran kuil Shaolin lagi tuh.. Plus warrior monks di Jepang.
Quote from: morpheus on 16 September 2010, 04:35:55 PM
tepat sekali!
agama gampang sekali dipakai alat politik dan kekuasaan.
singkatnya jangan mudah terpesona membaca ttg utusan 8 arahat, turun dari alam brahma terlahir menjadi manusia, bumi bergoncang, para brahma bersorak, raja naga dan kejadian2 ajaib lainnya yg tertera di kitab2, terutama yg belakangan. mungkin itu hanya alat legitimasi dan justifikasi kekuasaan ataupun organisasi belaka. teliti isinya dengan seksama...
Ncek Morph yang baik,
Mohon klarifikasi apakah serangkaian keajaiban di atas "utusan 8 arahat, turun dari alam brahma terlahir menjadi manusia, bumi bergoncang, para brahma bersorak, raja naga dst" itu terdapat dalam cerita Raja Dutthagamani juga?
_/\_
Quote from: morpheus on 16 September 2010, 05:01:22 PM
Quote from: fabian c on 16 September 2010, 04:48:45 PM
1. Pada kasus-kasus peperangan agama yang saya pelajari para pemimpin agamanya (spiritual leadernya) ikut mendukung peperangan. Tidak demikian pada kasus raja Duthagamani.
diquotation atas, katanya malahan 8 orang arahat menceriakan kembali sang raja yang menyesal dan menghibur dengan kata2 "orang-orang kafir / tidak seiman dan orang-orang yang hidupnya jahat, tidak perlu dihargai, layaknya binatang."
Bro Morpheus yang baik, menurut yang saya baca tidak seburuk itu, kalau tidak salah dikatakan bahwa para Arahat bermaksud berkata bahwa yang dibunuh oleh raja Duthagamini tidak bermoral dan jahat, sehingga nilainya sebanding dengan binatang.
Memang dalam ajaran Sang Buddha seseorang dinilai berdasarkan moralitasnya, perbuatan yang dilakukan terhadap orang bermoralitas rendah berbuah lebih kecil/ringan dibandingkan perbuatan yang dilakukan terhadap orang yang moralitasnya tinggi, oleh karena itu membunuh penjahat tak bermoral akibatnya lebih ringan dibandingkan dengan membunuh orang yang bermoral.
Para Arahat menghibur raja Duthagamini
sesudah perang usai. Tetapi para Arahat tidak mendorong/mendukung/menganjurkan peperangan tersebut.
QuoteQuote from: fabian c on 16 September 2010, 04:48:45 PM
2. Kitab sucinya juga mendukung penyebaran faham dengan perang/kekerasan, hal ini sama sekali tak ditemui di Tipitaka.
di sini saya tidak mengutik2 tipitaka ataupun ajaran Sang Buddha yang suci dan tercerahkan sempurna.
saya hanya menginformasikan bahwa dalam sejarah agama buddha di srilanka terdapat kisah mahavamsa tersebut.
Ya memang benar, ada kejadian politisasi Buddhism di Srilanka, sesuai dengan Mahavamsa.
QuoteQuote from: fabian c on 16 September 2010, 04:48:45 PM
Di jaman raja Duthagamani saya rasa tidak semua Bhikkhu adalah Ariya sehingga mungkin saja keluar pernyataan yang tidak sesuai dengan pengertian orang jaman sekarang, walaupun memang benar, berbuat jahat atau berbuat baik kepada orang yang berbeda silanya akan menghasilkan kamma vipaka yang berbeda pula.
menurut mahavamsa, 8 orang utusan itu adalah arahat. cmiiw.
Oh ya bila demikian berarti saya salah, mereka Arahat bukan puthujana, sudah agak lupa, sebab sudah lama sekali membaca buku tersebut.
_/\_
upaya kausalya =))
Ralat mengenai status 8 orang bhikkhu tersebut.
Di sana tidak dikatakan bahwa 8 orang tersebut adalah arahat. Apakah Ncek Morph menyadari atau tidak telah menambahkan subjektifitas opininya saya tidak tahu, tetapi yang jelas dari yang saya baca dikatakan adalah demikian:
QuoteThe Mahavamsa states (25:104) that the arahants (i.e. the "worthy of reverence", people who have reached the stage before nirvana) in Piyangudipa, knowing Dutthagamani's remorse, sent a group of eight holy monks to comfort him;
Mahavamsa menyatakan (25:104) bahwa para arahant (yaitu "yang patut dihormati", orang-orang yang telah sampai pada tahapan di hadapan Nirvana) di Piyangudipa, mengetahui penyesalan Dutthagamani, mengirimkan sebuah kelompok 8 orang bhikkhu suci untuk menenangkannya;
Yang dikirimkan adalah 8 bhikkhu suci tetapi di sana tidak dikatakan seberapa sucinya kah 8 bhikkhu ini. Soal apa yang dikatakan mereka, ada perspektif lain yang dapat ditawarkan. Misalnya pada bagian footnote dikatakan:
Quote
Schmithausen has pointed out that it is possible that this adjustment of precepts for violence could have been influenced by certain Mahayana thoughts developed two centuries, earlier, where the transgression of the precepts including the killing of living beings is allowed in certain exceptional circumstances (see Lambert Schmithausen, "Aspects of the Buddhist Attitude towards War", in Violence Defined: Violence, Non-violence and the Rationalization of Violence in South Asian Cultural History, Jan E.M. Houben and Karel R. van Kooij eds, Leiden, Brill, 1999, pp.57-58).
Schmithausen telah menunjukkan bahwa kemungkinan penyesuaian sila kekejaman ini telah dipengaruhi oleh pemikiran2 Mahayana tertentu yang berkembang dua abad sebelumnya, di mana pelanggaran sila termasuk pembunuhan makhluk hidup dibenarkan dalam keadaan pengecualian tertentu (lihat Lambert Schmithausen, "Aspects of the Buddhist Attitude towards War", in Violence Defined: Violence, Non-violence and the Rationalization of Violence in South Asian Cultural History, Jan E.M. Houben and Karel R. van Kooij eds, Leiden, Brill, 1999, pp.57-58).
Selain itu ada fakta lain dalam footnote bahwa dalam narasi Tamil yang meng-highlight bahwa Raja Elara lah yang menantang duel. Jika benar demikian, maka ini akan masuk akal bahwa tindakan Raja Dutthagamani adalah sebuah tindakan self-defense. Apalagi setelah menang Raja Dutthagamani tidak melakukan penyerbuan ke India atau menyiksa dan membalas dendam terhadap suku Tamil yang tinggal di Sri Lanka. Ini terlihat dari:
QuoteHe honours the fallen foe and immediately stops his campaign, as he had achieved its purpose, waging a purely defensive war. He does not cross over to India to chastize the Tamils and refrains from wrecking vengeance on Tamils who were living in Sri Lanka, side by side with Sinhalese as its inhabitants.
Dia menghormati lawan yang tewas dan segera menghentikan kampanyenya, sebagaimana dia telah mencapai tujuannya, menjalankan sebuah perang yang murni defensif. Dia tidak menyeberang ke India untuk menyiksa para Tamil dan menahan dari membalas dendam pada Tamil yang tinggal di Sri Lanka, berdampingan dengan Sinhalese sebagai penduduk aslinya.
Jika kita mengingat asas praduga tak bersalah dan berusaha netral serta tidak gegabah menilai.. Maka, bahkan tindakan para bhikkhu menenangkan Raja masih dapat dibenarkan mengingat sebuah penyesalan bagaimanapun mendalamnya tidak akan dapat mengembalikan nyawa-nyawa yang telah hilang dalam perang. Sedangkan pikiran yang penuh penyesalan hanya akan menambah kualitas perbuatan buruk yang telah dilakukan dan semakin mengondisikan kelahiran kembali di alam rendah, plus menghalangi sang Raja dari melihat hal-hal positif yang ada dan mengembangkan. Jika kita mengingat analogi dari Sang Buddha kembali, maka pembunuhan oleh Raja seperti menumpahkan 1 kilo garam dalam seember air. Yang perlu dilakukan oleh Raja hanyalah menambah volume dan memperbesar wadah air itu sebagaimana diingatkan oleh para bhikkhu "Tetapi untuk Anda, Anda akan membawa kemuliaan ajaran Sang Buddha dengan banyak cara; oleh karena itu, buanglah penyesalan dalam hati Anda."
Meski ucapan mereka harus diakui sedikit berlebihan dalam poin tertentu tetapi dapat dilihat sebagai sebuah skillful means dalam menenangkan batin sang Raja yang dapat ditolerir. Terlebih lagi sang Raja setelah mendapat nasehat demikian pun tidak lantas menjadi fanatik dan memberantas para Tamil yang berbeda keyakinan atau pun melakukan penyerbuan ke India. Karena itu ada kemungkinan para bhikkhu tersebut telah mempertimbangkan masak-masak bahwa yang ditenangkan oleh mereka adalah Raja yang bijaksana.
Selain itu tidak lepas pula dari kemungkinan bahwa penulis Mahavamsa telah menambahkan subjektifitas pemikiran dan perasaannya untuk mendramatisir cerita tersebut.
Mungkin yang tidak dapat dibenarkan adalah dengan gegabah menyatakan status para bhikkhu adalah suci. Selain itu pula fakta bahwa para bhikkhu menyertai Raja dalam perang, yang notabene merupakan Pacittiya dalam Vinaya.
Apa pun itu, Mahavamsa merupakan karya belakangan yang nyata-nyata bukan langsung berasal dari Buddha sehingga Mahavamsa bukanlah sebuah acuan mutlak dan wajib dalam standar Theravada karena itu tidak dapat dikatakan bahwa kekerasan mendapat tempat dan justifikasi dalam Theravada pada khususnya atau sejarah Buddhisme pada umumnya.
Be happy,
_/\_
Quote from: Jerry on 16 September 2010, 07:54:45 PM
Mohon klarifikasi apakah serangkaian keajaiban di atas "utusan 8 arahat, turun dari alam brahma terlahir menjadi manusia, bumi bergoncang, para brahma bersorak, raja naga dst" itu terdapat dalam cerita Raja Dutthagamani juga?
pesan itu saya tujukan secara umum, pada kitab atau buku apapun yang kita baca.
teliti saja lah...
Quote from: fabian c on 16 September 2010, 08:24:05 PM
Bro Morpheus yang baik, menurut yang saya baca tidak seburuk itu, kalau tidak salah dikatakan bahwa para Arahat bermaksud berkata bahwa yang dibunuh oleh raja Duthagamini tidak bermoral dan jahat, sehingga nilainya sebanding dengan binatang.
Memang dalam ajaran Sang Buddha seseorang dinilai berdasarkan moralitasnya, perbuatan yang dilakukan terhadap orang bermoralitas rendah berbuah lebih kecil/ringan dibandingkan perbuatan yang dilakukan terhadap orang yang moralitasnya tinggi, oleh karena itu membunuh penjahat tak bermoral akibatnya lebih ringan dibandingkan dengan membunuh orang yang bermoral.
Para Arahat menghibur raja Duthagamini sesudah perang usai. Tetapi para Arahat tidak mendorong/mendukung/menganjurkan peperangan tersebut.
om fabian, kita berbeda persepsi di sini. quotation di atas bisa anda baca lagi untuk menguatkan memori, tak ada yang saya kurangi atau tambahi.
menurut saya, kata2 tersebut mendukung peperangan dan pembunuhan kafir yg dikatakan layaknya binatang.
bukan kata2 yg keluar dari orang yang pantas untuk dihormati, apalagi arahat.
bayangkan kalo kata2 itu dipercayai oleh pembacanya, umat buddha yang lugu, sehingga mereka menganggap nyawa orang2 yang gak seiman itu gak perlu dihargai, layaknya binatang... mungkinkah ini yang terjadi akhir2 ini di srilanka?
Quote from: Jerry on 17 September 2010, 01:07:51 AM
Yang dikirimkan adalah 8 bhikkhu suci tetapi di sana tidak dikatakan seberapa sucinya kah 8 bhikkhu ini.
kelompok arahat mengutus 8 orang dari mereka. arahat juga bukan?
apapun tingkat mereka, tidak suci pun, bukan bhikkhu pun, tidak menjustify kutipan di atas.
Quote from: Jerry on 17 September 2010, 01:07:51 AM
Selain itu ada fakta lain dalam footnote bahwa dalam narasi Tamil yang meng-highlight bahwa Raja Elara lah yang menantang duel. Jika benar demikian, maka ini akan masuk akal bahwa tindakan Raja Dutthagamani adalah sebuah tindakan self-defense.
lah wong yang disesalkan dan dihibur oleh para arahat itu tewasnya korban2 kafir yang gak seiman kok... yang diitung cuman satu setengah nyawa, sisanya gak dianggep. korbannya bukan cuman elara yang kalah duel.
Quote from: Jerry on 17 September 2010, 01:07:51 AM
Jika kita mengingat asas praduga tak bersalah dan berusaha netral serta tidak gegabah menilai.. Maka, bahkan tindakan para bhikkhu menenangkan Raja masih dapat dibenarkan mengingat sebuah penyesalan bagaimanapun mendalamnya tidak akan dapat mengembalikan nyawa-nyawa yang telah hilang dalam perang. Sedangkan pikiran yang penuh penyesalan hanya akan menambah kualitas perbuatan buruk yang telah dilakukan dan semakin mengondisikan kelahiran kembali di alam rendah, plus menghalangi sang Raja dari melihat hal-hal positif yang ada dan mengembangkan. Jika kita mengingat analogi dari Sang Buddha kembali, maka pembunuhan oleh Raja seperti menumpahkan 1 kilo garam dalam seember air. Yang perlu dilakukan oleh Raja hanyalah menambah volume dan memperbesar wadah air itu sebagaimana diingatkan oleh para bhikkhu "Tetapi untuk Anda, Anda akan membawa kemuliaan ajaran Sang Buddha dengan banyak cara; oleh karena itu, buanglah penyesalan dalam hati Anda."
Meski ucapan mereka harus diakui sedikit berlebihan dalam poin tertentu tetapi dapat dilihat sebagai sebuah skillful means dalam menenangkan batin sang Raja yang dapat ditolerir. Terlebih lagi sang Raja setelah mendapat nasehat demikian pun tidak lantas menjadi fanatik dan memberantas para Tamil yang berbeda keyakinan atau pun melakukan penyerbuan ke India. Karena itu ada kemungkinan para bhikkhu tersebut telah mempertimbangkan masak-masak bahwa yang ditenangkan oleh mereka adalah Raja yang bijaksana.
Selain itu tidak lepas pula dari kemungkinan bahwa penulis Mahavamsa telah menambahkan subjektifitas pemikiran dan perasaannya untuk mendramatisir cerita tersebut.
Mungkin yang tidak dapat dibenarkan adalah dengan gegabah menyatakan status para bhikkhu adalah suci. Selain itu pula fakta bahwa para bhikkhu menyertai Raja dalam perang, yang notabene merupakan Pacittiya dalam Vinaya.
Apa pun itu, Mahavamsa merupakan karya belakangan yang nyata-nyata bukan langsung berasal dari Buddha sehingga Mahavamsa bukanlah sebuah acuan mutlak dan wajib dalam standar Theravada karena itu tidak dapat dikatakan bahwa kekerasan mendapat tempat dan justifikasi dalam Theravada pada khususnya atau sejarah Buddhisme pada umumnya.
tidak gegabah? sedikit berlebihan?
mmm... membaca tulisan di atas saya jadi inget anggota dpr hehehehe... joke.
tampaknya kacamata dan perspektif kita berbeda di sini.
bagi saya jelas kutipan di atas merupakan politisasi agama untuk membenarkan peperangan.
Quote from: morpheus on 17 September 2010, 04:16:08 AM
Quote from: fabian c on 16 September 2010, 08:24:05 PM
Bro Morpheus yang baik, menurut yang saya baca tidak seburuk itu, kalau tidak salah dikatakan bahwa para Arahat bermaksud berkata bahwa yang dibunuh oleh raja Duthagamini tidak bermoral dan jahat, sehingga nilainya sebanding dengan binatang.
Memang dalam ajaran Sang Buddha seseorang dinilai berdasarkan moralitasnya, perbuatan yang dilakukan terhadap orang bermoralitas rendah berbuah lebih kecil/ringan dibandingkan perbuatan yang dilakukan terhadap orang yang moralitasnya tinggi, oleh karena itu membunuh penjahat tak bermoral akibatnya lebih ringan dibandingkan dengan membunuh orang yang bermoral.
Para Arahat menghibur raja Duthagamini sesudah perang usai. Tetapi para Arahat tidak mendorong/mendukung/menganjurkan peperangan tersebut.
om fabian, kita berbeda persepsi di sini. quotation di atas bisa anda baca lagi untuk menguatkan memori, tak ada yang saya kurangi atau tambahi.
menurut saya, kata2 tersebut mendukung peperangan dan pembunuhan kafir yg dikatakan layaknya binatang.
bukan kata2 yg keluar dari orang yang pantas untuk dihormati, apalagi arahat.
bayangkan kalo kata2 itu dipercayai oleh pembacanya, umat buddha yang lugu, sehingga mereka menganggap nyawa orang2 yang gak seiman itu gak perlu dihargai, layaknya binatang... mungkinkah ini yang terjadi akhir2 ini di srilanka?
Bro Morpheus yang baik, penerjemahan the unbelievers sebagai kafir memperlihatkan seolah-olah ajaran Buddhis cara berpikirnya sama dengan agama berdasarkan akar budaya timur tengah. Kata kafir (
infidel) menurut saya berbeda dengan "
the unbelievers". The
unbelievers secara harfiah berarti orang-orang yang tak memiliki keyakinan disebabkan pandangan salah (
miccha ditthi).
Sedangkan kafir berarti tidak memiliki keyakinan, atau bahkan menentang keberadaan Tuhan yang memang pantas dibunuh.
Saya rasa tak ada umat Buddha yang telah mengenal Dhamma menganggap mahluk hidup apapun juga pantas untuk dibunuh.
Jadi penerjemahan kafir saya kira tak tepat untuk menerjemahkan kata "
un-believers"
Selain itu kata-kata "
not more to be esteemed than beasts" tidak tepat diterjemahkan dengan kata "tidak perlu dihargai, layaknya binatang", karena bila diterjemahkan demikian terjadi pemelintiran arti, seolah-olah umat Buddha tak menghargai mahluk lain, yang tentu saja bertentangan dengan sifat luhur Brahmavihara (Metta, Karuna, Mudita Bhavana).
Menurut saya para Arahat mengaitkan perbuatan raja Duthagamini dengan Vipaka, karena disebutkan raja takut tidak bisa masuk sorga, sehingga para Bhikkhu tersebut mengatakan bahwa kamma vipakanya sebanding dengan membunuh binatang.
Terjemahan lebih tepat pernyataan bhikkhu tersebut adalah demikian "dianggap (
to be esteemed) tidak lebih (
not more) daripada binatang (
than beasts)"
Bedakan dengan terjemahan "tak perlu dihargai".
_/\_
yang perlu digarisbawahi adalah, buddha dengan jelas menentang kekerasan dan peperangan, apabila ada sesuatu yang mengaitkan ajaran buddha dengan peperangan adalah hal yang aneh, yang patut disalahkan adalah individunya bukan ajarannya, bedakan dengan ajaran lain yang pemimpinnya lah yang mengajarkan kekerasan.
Quote from: morpheus on 17 September 2010, 04:16:08 AM
Quote from: fabian c on 16 September 2010, 08:24:05 PM
Bro Morpheus yang baik, menurut yang saya baca tidak seburuk itu, kalau tidak salah dikatakan bahwa para Arahat bermaksud berkata bahwa yang dibunuh oleh raja Duthagamini tidak bermoral dan jahat, sehingga nilainya sebanding dengan binatang.
Memang dalam ajaran Sang Buddha seseorang dinilai berdasarkan moralitasnya, perbuatan yang dilakukan terhadap orang bermoralitas rendah berbuah lebih kecil/ringan dibandingkan perbuatan yang dilakukan terhadap orang yang moralitasnya tinggi, oleh karena itu membunuh penjahat tak bermoral akibatnya lebih ringan dibandingkan dengan membunuh orang yang bermoral.
Para Arahat menghibur raja Duthagamini sesudah perang usai. Tetapi para Arahat tidak mendorong/mendukung/menganjurkan peperangan tersebut.
om fabian, kita berbeda persepsi di sini. quotation di atas bisa anda baca lagi untuk menguatkan memori, tak ada yang saya kurangi atau tambahi.
menurut saya, kata2 tersebut mendukung peperangan dan pembunuhan kafir yg dikatakan layaknya binatang.
bukan kata2 yg keluar dari orang yang pantas untuk dihormati, apalagi arahat.
bayangkan kalo kata2 itu dipercayai oleh pembacanya, umat buddha yang lugu, sehingga mereka menganggap nyawa orang2 yang gak seiman itu gak perlu dihargai, layaknya binatang... mungkinkah ini yang terjadi akhir2 ini di srilanka?
Bro Morpheus yang baik, bila anda mengikuti sejarah perang Srilangka anda akan mengerti bahwa perang di Srilanka adalah bagai buah simalakama. Saya ingat Sebelum Tamil Eelam dibasmi tuntas, pernah Tamil Eelam terkepung di Semenanjung Jaffna dalam keadaan terjepit dan hanya tinggal dihancurkan, tapi tentara Srilangka memberi pengampunan membebaskan kepungan.
Sesudah itu Tamil Eelam tidak menghentikan perlawanan dengan pengampunan nyawa mereka dan terus melakukan terror. Sehingga pasukan Srilangka sekali lagi harus angkat senjata berperang melawan mereka. Pada saat-saat terakhir menjelang kehancuran mereka, pasukan Tamil Eelam menyandera ratusan ribu rakyat sipil sebagai tameng mereka (
human shield).
Saya bukan mau membenarkan penumpasan Tamil Eelam, tapi kalau perang tersebut terus dibiarkan berlarut-larut maka akan jauh lebih banyak lagi korban yang berjatuhan.
Etnis Tamil dan Sinhala memang sudah bermusuhan selama lebih dari seribu tahun sebelum jaman raja Duthagamini.
_/\_
yah, tamil elam yang mempopulerkan gerakan bunuh diri, melatih para teroris di berbagai tempat, bahkan ada kaitannya dengan tragedi wtc yang mengakibatkan war on terror yang berkepanjangan...
Quote from: fabian c on 17 September 2010, 07:20:19 AM
Bro Morpheus yang baik, penerjemahan the unbelievers sebagai kafir memperlihatkan seolah-olah ajaran Buddhis cara berpikirnya sama dengan agama berdasarkan akar budaya timur tengah. Kata kafir (infidel) menurut saya berbeda dengan "the unbelievers". The unbelievers secara harfiah berarti orang-orang yang tak memiliki keyakinan disebabkan pandangan salah (miccha ditthi).
Sedangkan kafir berarti tidak memiliki keyakinan, atau bahkan menentang keberadaan Tuhan yang memang pantas dibunuh.
Saya rasa tak ada umat Buddha yang telah mengenal Dhamma menganggap mahluk hidup apapun juga pantas untuk dibunuh.
Jadi penerjemahan kafir saya kira tak tepat untuk menerjemahkan kata "un-believers"
Selain itu kata-kata "not more to be esteemed than beasts" tidak tepat diterjemahkan dengan kata "tidak perlu dihargai, layaknya binatang", karena bila diterjemahkan demikian terjadi pemelintiran arti, seolah-olah umat Buddha tak menghargai mahluk lain, yang tentu saja bertentangan dengan sifat luhur Brahmavihara (Metta, Karuna, Mudita Bhavana).
Menurut saya para Arahat mengaitkan perbuatan raja Duthagamini dengan Vipaka, karena disebutkan raja takut tidak bisa masuk sorga, sehingga para Bhikkhu tersebut mengatakan bahwa kamma vipakanya sebanding dengan membunuh binatang.
Terjemahan lebih tepat pernyataan bhikkhu tersebut adalah demikian "dianggap ( to be esteemed) tidak lebih (not more) daripada binatang (than beasts)"
Bedakan dengan terjemahan "tak perlu dihargai".
saya setuju dengan pengertian anda.
pemakaian "kafir" dan "layaknya binatang" untuk menggampangkan pembaca mengerti saja.
"layaknya binatang" vs "dianggap tidak lebih daripada binatang" tidak mengubah maknanya kan?
ini hal yang remeh. silakan pakai terjemahan yang anda suka.
Quote from: fabian c on 17 September 2010, 07:42:59 AM
Bro Morpheus yang baik, bila anda mengikuti sejarah perang Srilangka anda akan mengerti bahwa perang di Srilanka adalah bagai buah simalakama. Saya ingat Sebelum Tamil Eelam dibasmi tuntas, pernah Tamil Eelam terkepung di Semenanjung Jaffna dalam keadaan terjepit dan hanya tinggal dihancurkan, tapi tentara Srilangka memberi pengampunan membebaskan kepungan.
Sesudah itu Tamil Eelam tidak menghentikan perlawanan dengan pengampunan nyawa mereka dan terus melakukan terror. Sehingga pasukan Srilangka sekali lagi harus angkat senjata berperang melawan mereka. Pada saat-saat terakhir menjelang kehancuran mereka, pasukan Tamil Eelam menyandera ratusan ribu rakyat sipil sebagai tameng mereka (human shield).
Saya bukan mau membenarkan penumpasan Tamil Eelam, tapi kalau perang tersebut terus dibiarkan berlarut-larut maka akan jauh lebih banyak lagi korban yang berjatuhan.
Etnis Tamil dan Sinhala memang sudah bermusuhan selama lebih dari seribu tahun sebelum jaman raja Duthagamini.
Quote from: Sunkmanitu Tanka Ob'waci on 17 September 2010, 08:13:54 AM
yah, tamil elam yang mempopulerkan gerakan bunuh diri, melatih para teroris di berbagai tempat, bahkan ada kaitannya dengan tragedi wtc yang mengakibatkan war on terror yang berkepanjangan...
sebuah kitab yg dipercayai dan ditinggikan oleh umat telah menuliskan pernyataan yang mengandung kekerasan kepada orang yang tidak seagama, sangatlah berbahaya... ini bisa kita lihat di agama2 lain dan bukan tidak mungkin sekelumit bab ini menanamkan pemikiran bahwa kekerasan pada umat tidak seagama sebagai hal yang wajar dan dibenarkan...
setuju dengan anda berdua bahwa masalah peperangan ini rumit, namun pembantaian manusia tetaplah salah.
saya teringat cerita ajahm brahm mengenai cara pemerintah thai memerangi komunis di masa silam. di saat komunis sudah terjepit dan tidak bisa bergerak lagi, pemerintah menawarkan pengampunan tidak bersyarat. mereka yang ingin berhenti perang, bisa meletakkan senjata, keluar dari medan perang, tidak dicatat, benar2 diampuni dan kembali membaur ke masyarakat dan bersama2 membangun thailand. perang ini selesai dengan sedikit sekali korban...
menurut saya, cara ini lebih buddhistik...
Quote from: morpheus on 17 September 2010, 08:57:56 AM
Quote from: fabian c on 17 September 2010, 07:20:19 AM
Bro Morpheus yang baik, penerjemahan the unbelievers sebagai kafir memperlihatkan seolah-olah ajaran Buddhis cara berpikirnya sama dengan agama berdasarkan akar budaya timur tengah. Kata kafir (infidel) menurut saya berbeda dengan "the unbelievers". The unbelievers secara harfiah berarti orang-orang yang tak memiliki keyakinan disebabkan pandangan salah (miccha ditthi).
Sedangkan kafir berarti tidak memiliki keyakinan, atau bahkan menentang keberadaan Tuhan yang memang pantas dibunuh.
Saya rasa tak ada umat Buddha yang telah mengenal Dhamma menganggap mahluk hidup apapun juga pantas untuk dibunuh.
Jadi penerjemahan kafir saya kira tak tepat untuk menerjemahkan kata "un-believers"
Selain itu kata-kata "not more to be esteemed than beasts" tidak tepat diterjemahkan dengan kata "tidak perlu dihargai, layaknya binatang", karena bila diterjemahkan demikian terjadi pemelintiran arti, seolah-olah umat Buddha tak menghargai mahluk lain, yang tentu saja bertentangan dengan sifat luhur Brahmavihara (Metta, Karuna, Mudita Bhavana).
Menurut saya para Arahat mengaitkan perbuatan raja Duthagamini dengan Vipaka, karena disebutkan raja takut tidak bisa masuk sorga, sehingga para Bhikkhu tersebut mengatakan bahwa kamma vipakanya sebanding dengan membunuh binatang.
Terjemahan lebih tepat pernyataan bhikkhu tersebut adalah demikian "dianggap ( to be esteemed) tidak lebih (not more) daripada binatang (than beasts)"
Bedakan dengan terjemahan "tak perlu dihargai".
saya setuju dengan pengertian anda.
pemakaian "kafir" dan "layaknya binatang" untuk menggampangkan pembaca mengerti saja.
"layaknya binatang" vs "dianggap tidak lebih daripada binatang" tidak mengubah maknanya kan?
ini hal yang remeh. silakan pakai terjemahan yang anda suka.
Bro Morpheus yang baik, justru disitulah letaknya, penerjemahan yang tidak akurat bisa mengubah arti, sehingga nampak melebih-lebihkan (
exaggeration).
"Layaknya binatang" kedengarannya seperti menganjurkan perlakuan, sedangkan "dianggap tidak lebih dari binatang" hanya mengesankan penilaian... jadi maknanya berbeda....
_/\_
Quote from: morpheus on 17 September 2010, 09:08:09 AM
Quote from: fabian c on 17 September 2010, 07:42:59 AM
Bro Morpheus yang baik, bila anda mengikuti sejarah perang Srilangka anda akan mengerti bahwa perang di Srilanka adalah bagai buah simalakama. Saya ingat Sebelum Tamil Eelam dibasmi tuntas, pernah Tamil Eelam terkepung di Semenanjung Jaffna dalam keadaan terjepit dan hanya tinggal dihancurkan, tapi tentara Srilangka memberi pengampunan membebaskan kepungan.
Sesudah itu Tamil Eelam tidak menghentikan perlawanan dengan pengampunan nyawa mereka dan terus melakukan terror. Sehingga pasukan Srilangka sekali lagi harus angkat senjata berperang melawan mereka. Pada saat-saat terakhir menjelang kehancuran mereka, pasukan Tamil Eelam menyandera ratusan ribu rakyat sipil sebagai tameng mereka (human shield).
Saya bukan mau membenarkan penumpasan Tamil Eelam, tapi kalau perang tersebut terus dibiarkan berlarut-larut maka akan jauh lebih banyak lagi korban yang berjatuhan.
Etnis Tamil dan Sinhala memang sudah bermusuhan selama lebih dari seribu tahun sebelum jaman raja Duthagamini.
Quote from: Sunkmanitu Tanka Ob'waci on 17 September 2010, 08:13:54 AM
yah, tamil elam yang mempopulerkan gerakan bunuh diri, melatih para teroris di berbagai tempat, bahkan ada kaitannya dengan tragedi wtc yang mengakibatkan war on terror yang berkepanjangan...
sebuah kitab yg dipercayai dan ditinggikan oleh umat telah menuliskan pernyataan yang mengandung kekerasan kepada orang yang tidak seagama, sangatlah berbahaya... ini bisa kita lihat di agama2 lain dan bukan tidak mungkin sekelumit bab ini menanamkan pemikiran bahwa kekerasan pada umat tidak seagama sebagai hal yang wajar dan dibenarkan...
setuju dengan anda berdua bahwa masalah peperangan ini rumit, namun pembantaian manusia tetaplah salah.
saya teringat cerita ajahm brahm mengenai cara pemerintah thai memerangi komunis di masa silam. di saat komunis sudah terjepit dan tidak bisa bergerak lagi, pemerintah menawarkan pengampunan tidak bersyarat. mereka yang ingin berhenti perang, bisa meletakkan senjata, keluar dari medan perang, tidak dicatat, benar2 diampuni dan kembali membaur ke masyarakat dan bersama2 membangun thailand. perang ini selesai dengan sedikit sekali korban...
menurut saya, cara ini lebih buddhistik...
Bro Morpheus yang baik, mudah-mudahan bro bukan maksudkan mahavamsa, karena mahavamsa & dipavamsa setahu saya bukan termasuk commentary, oleh karena itu tidak ditinggikan.
Saya juga setuju sekali dengan cara yang dilakukan oleh pemerintah Thailand, tetapi di Srilangka cara-cara seperti yang dilakukan pemerintah Thailand telah diterapkan beberapa kali, tetapi pemberontak Tamil Eelam kembali berkumpul dan bergerilya men-terror rakyat di pedesaan utara Srilangka. Oleh karena itu nampaknya penumpasan adalah jalan terakhir yang ditempuh pemerintah Srilangka.
_/\_
Quote from: morpheus on 16 September 2010, 10:55:20 AM
Quote"From this deed arises no hindrance in thy way to heaven. Only one
and a half human beings have been slain here by thee, O lord of men.
The one had come unto the (three) refuges, the other had taken on
himself the five precepts. Unbelievers and men of evil life were the
rest, not more to be esteemed than beasts. But as for thee, thou
wilt bring glory to the doctrine of the Buddha in manifold ways;
therefore cast away care from thy heart, O ruler of men!" Thus
exhorted by them the great king took comfort. (Mahavamsa 25:109-112)
wah!!!
Di sini disebutkan satu setengah manusia. Satu adalah Buddhis (telah mengambil 3 perlindungan). Satu lagi adalah yang menjalankan 5 sila, tetapi dianggap hanya bernilai setengah. Setahu saya, Buddha mengatakan orang dinilai hanya dari 2 hal: Sila & Kebijaksanaan, bukannya agamanya. Jadi ini sudah jelas tidak sesuai dengan Ajaran Buddha.
Karena manusia dinilai dari sila dan kebijaksanaan, maka memang benar
tanpa sila dan kebijaksanaan, manusia tidak ada bedanya dengan binatang, bahkan kadang binatang bisa lebih baik dalam hal sila. Tapi yang sangat menyesatkan di sini adalah menyamakan antara "unbelievers" dengan "men of evil". Seseorang bisa saja tidak percaya, tetapi bukan berarti ia seorang yang melakukan kejahatan.
BTW, kalau tidak salah mahavamsa tidak termasuk Kanon Pali, bukan?
Quote from: Kainyn_Kutho on 17 September 2010, 01:01:14 PM
Quote from: morpheus on 16 September 2010, 10:55:20 AM
Quote"From this deed arises no hindrance in thy way to heaven. Only one
and a half human beings have been slain here by thee, O lord of men.
The one had come unto the (three) refuges, the other had taken on
himself the five precepts. Unbelievers and men of evil life were the
rest, not more to be esteemed than beasts. But as for thee, thou
wilt bring glory to the doctrine of the Buddha in manifold ways;
therefore cast away care from thy heart, O ruler of men!" Thus
exhorted by them the great king took comfort. (Mahavamsa 25:109-112)
wah!!!
Di sini disebutkan satu setengah manusia. Satu adalah Buddhis (telah mengambil 3 perlindungan). Satu lagi adalah yang menjalankan 5 sila, tetapi dianggap hanya bernilai setengah. Setahu saya, Buddha mengatakan orang dinilai hanya dari 2 hal: Sila & Kebijaksanaan, bukannya agamanya. Jadi ini sudah jelas tidak sesuai dengan Ajaran Buddha.
Karena manusia dinilai dari sila dan kebijaksanaan, maka memang benar tanpa sila dan kebijaksanaan, manusia tidak ada bedanya dengan binatang, bahkan kadang binatang bisa lebih baik dalam hal sila. Tapi yang sangat menyesatkan di sini adalah menyamakan antara "unbelievers" dengan "men of evil". Seseorang bisa saja tidak percaya, tetapi bukan berarti ia seorang yang melakukan kejahatan.
BTW, kalau tidak salah mahavamsa tidak termasuk Kanon Pali, bukan?
Bukan bro, bahkan commentarypun bukan, hanya buku referensi biasa yang menceritakan perkembangan agama Buddha di Srilangka.
Quote from: fabian c on 17 September 2010, 01:06:04 PM
Bukan bro, bahkan commentarypun bukan, hanya buku referensi biasa yang menceritakan perkembangan agama Buddha di Srilangka.
Oh, kalau begitu sepertinya memang tidak perlu dijadikan pedoman, lebih baik sebagai pengetahuan sejarah tambahan saja. :D
Quote from: fabian c on 17 September 2010, 12:45:44 PM
"Layaknya binatang" kedengarannya seperti menganjurkan perlakuan, sedangkan "dianggap tidak lebih dari binatang" hanya mengesankan penilaian... jadi maknanya berbeda....
saya bukan ahli bahasa. menurut saya, layaknya = tidak ubahnya = tidak lebih dari
sekali lagi pakai terjemahan yg anda suka. ini hal remeh sekali dibanding topik yg kita bahas.
john bullit pemilik access to insight menggolongkan mahavamsa dan dipavamsa sebagai chronicles.
bagi srilankan, kedua kitab ini penting karena menceritakan ttg kunjungan buddha ke pulau srilanka, sejarah konsili pertama, kedua dan ketiga menurut theravada dan srilanka buddhism, mulai dari jaman raja asoka sampai "pembersihan dhamma dari ajaran sesat", membentuk theravada. para ahli kitab, mohon dikoreksi.
http://www.accesstoinsight.org/lib/authors/bullitt/fieldguide.html
Quote from: upasaka on 16 September 2010, 11:56:20 AM
Quote from: pannadevi on 16 September 2010, 11:38:31 AM
Bro Upasaka yg baik,
TS hanya ingin menunjukkan bhw dlm Buddhism pun ada, karena di thread sebelah ada posting yg menyatakan tidak ada pertumpahan darah utk Buddhism. saya paham kok dg maksud TS. saya sih sepaham dg pernyataan bhw dlm Buddhism pun ada.
mettacittena,
Saya paham, Sam. Menurut saya, kita tidak perlu menutup mata bahwa sejarah panjang Buddhisme pun turut menuai pertumpahan darah oleh sejumlah kecil oknum. Tapi tetap saja Buddhisme tidak pernah mengundang "kekacauan" di dunia ini.
Demikian pula hal nya dengan paradigma masyarakat yang menggendong pemikiran bahwa negara Buddhis pasti masyarakatnya tidak mencelakakan makhluk lain. Itu juga keliru. Thailand misalnya, sebagai negara dengan penduduk mayoritas Buddhisme Theravada, namun tetap saja di sana banyak orang yang bermata-pencaharian dengan menjual daging, menjual senjata, racun, dan sebagainya. Biasanya, umat Buddha alergi terhadap pemandangan seperti ini.
iya bro, saya sepaham dg anda, maka nya saya kemukakan juga penembakan di Burma yg baru2 saja terjadi yaitu di th.2008, yg lebih tepat dibilang pembantaian karena tembak langsung anggota sangha dan didalam vihara lagi, korban meninggal mencapai 1.000 anggota sangha, karena dianggap melindungi pemberontak, padahal yg dilindungi adalah rakyat tidak berdosa...
sorry baru sy tanggapi kemarin baru puyeng ama hanzi (ujian buat karangan ttg my family ternyata susah ya)...
mettacittena,
Quote from: Jerry on 17 September 2010, 01:07:51 AM
Ralat mengenai status 8 orang bhikkhu tersebut.
Di sana tidak dikatakan bahwa 8 orang tersebut adalah arahat. Apakah Ncek Morph menyadari atau tidak telah menambahkan subjektifitas opininya saya tidak tahu, tetapi yang jelas dari yang saya baca dikatakan adalah demikian:
QuoteThe Mahavamsa states (25:104) that the arahants (i.e. the "worthy of reverence", people who have reached the stage before nirvana) in Piyangudipa, knowing Dutthagamani's remorse, sent a group of eight holy monks to comfort him;
Mahavamsa menyatakan (25:104) bahwa para arahant (yaitu "yang patut dihormati", orang-orang yang telah sampai pada tahapan di hadapan Nirvana) di Piyangudipa, mengetahui penyesalan Dutthagamani, mengirimkan sebuah kelompok 8 orang bhikkhu suci untuk menenangkannya;
Yang dikirimkan adalah 8 bhikkhu suci tetapi di sana tidak dikatakan seberapa sucinya kah 8 bhikkhu ini. Soal apa yang dikatakan mereka, ada perspektif lain yang dapat ditawarkan. Misalnya pada bagian footnote dikatakan:
Quote
Schmithausen has pointed out that it is possible that this adjustment of precepts for violence could have been influenced by certain Mahayana thoughts developed two centuries, earlier, where the transgression of the precepts including the killing of living beings is allowed in certain exceptional circumstances (see Lambert Schmithausen, "Aspects of the Buddhist Attitude towards War", in Violence Defined: Violence, Non-violence and the Rationalization of Violence in South Asian Cultural History, Jan E.M. Houben and Karel R. van Kooij eds, Leiden, Brill, 1999, pp.57-58).
Schmithausen telah menunjukkan bahwa kemungkinan penyesuaian sila kekejaman ini telah dipengaruhi oleh pemikiran2 Mahayana tertentu yang berkembang dua abad sebelumnya, di mana pelanggaran sila termasuk pembunuhan makhluk hidup dibenarkan dalam keadaan pengecualian tertentu (lihat Lambert Schmithausen, "Aspects of the Buddhist Attitude towards War", in Violence Defined: Violence, Non-violence and the Rationalization of Violence in South Asian Cultural History, Jan E.M. Houben and Karel R. van Kooij eds, Leiden, Brill, 1999, pp.57-58).
Selain itu ada fakta lain dalam footnote bahwa dalam narasi Tamil yang meng-highlight bahwa Raja Elara lah yang menantang duel. Jika benar demikian, maka ini akan masuk akal bahwa tindakan Raja Dutthagamani adalah sebuah tindakan self-defense. Apalagi setelah menang Raja Dutthagamani tidak melakukan penyerbuan ke India atau menyiksa dan membalas dendam terhadap suku Tamil yang tinggal di Sri Lanka. Ini terlihat dari:
QuoteHe honours the fallen foe and immediately stops his campaign, as he had achieved its purpose, waging a purely defensive war. He does not cross over to India to chastize the Tamils and refrains from wrecking vengeance on Tamils who were living in Sri Lanka, side by side with Sinhalese as its inhabitants.
Dia menghormati lawan yang tewas dan segera menghentikan kampanyenya, sebagaimana dia telah mencapai tujuannya, menjalankan sebuah perang yang murni defensif. Dia tidak menyeberang ke India untuk menyiksa para Tamil dan menahan dari membalas dendam pada Tamil yang tinggal di Sri Lanka, berdampingan dengan Sinhalese sebagai penduduk aslinya.
Jika kita mengingat asas praduga tak bersalah dan berusaha netral serta tidak gegabah menilai.. Maka, bahkan tindakan para bhikkhu menenangkan Raja masih dapat dibenarkan mengingat sebuah penyesalan bagaimanapun mendalamnya tidak akan dapat mengembalikan nyawa-nyawa yang telah hilang dalam perang. Sedangkan pikiran yang penuh penyesalan hanya akan menambah kualitas perbuatan buruk yang telah dilakukan dan semakin mengondisikan kelahiran kembali di alam rendah, plus menghalangi sang Raja dari melihat hal-hal positif yang ada dan mengembangkan. Jika kita mengingat analogi dari Sang Buddha kembali, maka pembunuhan oleh Raja seperti menumpahkan 1 kilo garam dalam seember air. Yang perlu dilakukan oleh Raja hanyalah menambah volume dan memperbesar wadah air itu sebagaimana diingatkan oleh para bhikkhu "Tetapi untuk Anda, Anda akan membawa kemuliaan ajaran Sang Buddha dengan banyak cara; oleh karena itu, buanglah penyesalan dalam hati Anda."
Meski ucapan mereka harus diakui sedikit berlebihan dalam poin tertentu tetapi dapat dilihat sebagai sebuah skillful means dalam menenangkan batin sang Raja yang dapat ditolerir. Terlebih lagi sang Raja setelah mendapat nasehat demikian pun tidak lantas menjadi fanatik dan memberantas para Tamil yang berbeda keyakinan atau pun melakukan penyerbuan ke India. Karena itu ada kemungkinan para bhikkhu tersebut telah mempertimbangkan masak-masak bahwa yang ditenangkan oleh mereka adalah Raja yang bijaksana.
Selain itu tidak lepas pula dari kemungkinan bahwa penulis Mahavamsa telah menambahkan subjektifitas pemikiran dan perasaannya untuk mendramatisir cerita tersebut.
Mungkin yang tidak dapat dibenarkan adalah dengan gegabah menyatakan status para bhikkhu adalah suci. Selain itu pula fakta bahwa para bhikkhu menyertai Raja dalam perang, yang notabene merupakan Pacittiya dalam Vinaya.
Apa pun itu, Mahavamsa merupakan karya belakangan yang nyata-nyata bukan langsung berasal dari Buddha sehingga Mahavamsa bukanlah sebuah acuan mutlak dan wajib dalam standar Theravada karena itu tidak dapat dikatakan bahwa kekerasan mendapat tempat dan justifikasi dalam Theravada pada khususnya atau sejarah Buddhisme pada umumnya.
Be happy,
_/\_
Nice post bro, anda benar bro Jerry yg baik, memang bhikkhu yg menasehati King Dutthugemunu (King Duttagamani lebih dikenal dg Dutthugemunu) bertujuan mengingatkan untuk tujuan awal beliau yaitu menjaga Buddhism agar tetap terlindungi, agar dhamma tetap berkembang di Srilanka, karena Tamil non-Buddhist (saya belum cek ke bukunya utk melampirkan quotation, sory masih puyeng ujian). tapi saya ingat krn ada mata kuliah ini, kaitannya karena mata kuliah "perkembangan Pali Literature" jadi membahas Mahavamsa.
Tentang duel yang benar adalah King Dutthugemunu yg menantang karena beliau tidak mau ada pertumpahan darah dari rakyat kedua belah pihak, cukup salah satu dari mereka berdua saja, yang kalah berarti yg mati.
Cara beliau ini amat dipuji rakyat dan diangkat sebagai "Pahlawan terhebat dari Srilanka" karena baru beliaulah yg berhasil menyatukan Srilanka menjadi utuh kesatuan. dan Presiden yang sekarang Mahinda Rajapaksa juga sering dianggap sebagai inkarnasi beliau karena berhasil menyatukan kembali Srilanka menjadi utuh kesatuan yg sebelumnya selama 30 thn telah pecah menjadi tinggal 70%, sedang yg 30% di klaim sbg Kekuasaan Tamil.
mettacittena,
Quote from: morpheus on 17 September 2010, 04:34:48 AM
Quote from: Jerry on 17 September 2010, 01:07:51 AM
Yang dikirimkan adalah 8 bhikkhu suci tetapi di sana tidak dikatakan seberapa sucinya kah 8 bhikkhu ini.
kelompok arahat mengutus 8 orang dari mereka. arahat juga bukan?
apapun tingkat mereka, tidak suci pun, bukan bhikkhu pun, tidak menjustify kutipan di atas.
Dari mana dikatakan kelompok arahat mengutus 8 orang dari mereka? Cuma dikatakan mengutus 8 holy monks dan sejauh saya baca tidak ditandaskan "dari mereka".
Quote from: morpheus on 17 September 2010, 04:34:48 AM
Quote from: Jerry on 17 September 2010, 01:07:51 AM
Selain itu ada fakta lain dalam footnote bahwa dalam narasi Tamil yang meng-highlight bahwa Raja Elara lah yang menantang duel. Jika benar demikian, maka ini akan masuk akal bahwa tindakan Raja Dutthagamani adalah sebuah tindakan self-defense.
lah wong yang disesalkan dan dihibur oleh para arahat itu tewasnya korban2 kafir yang gak seiman kok... yang diitung cuman satu setengah nyawa, sisanya gak dianggep. korbannya bukan cuman elara yang kalah duel.
Memang ada perang, saya tidak menyangkal itu. Tetapi kronologis ceritanya yang terjadi kemudian ada tantangan duel (tidak jelas siapa nantang siapa) yang diakhiri dengan terbunuhnya Elara oleh Dutthagamani dan perang pun berakhir. Tidak ada justifikasi perang dalam Buddhisme. Sedangkan soal ucapan para bhikkhu itu, selain kemungkinan politisasi agama untuk menjustifikasi perang sebagaimana dikatakan Ncek Morph, saya telah mengungkapkan ada beberapa kemungkinan lain:
1. Sebuah skillful means untuk menghapus penyesalan Raja Duthugemunu, pada kenyataannya toh ucapan tersebut tidak membuat Raja Duthugemunu menjadi fanatik dan merasa perang yg dia lakukan benar.
2. Kemungkinan penulis kitab telah dipengaruhi subjektifitas dalam mendramatisir hikayat tersebut.
Quote from: morpheus on 17 September 2010, 04:34:48 AM
Quote from: Jerry on 17 September 2010, 01:07:51 AM
Jika kita mengingat asas praduga tak bersalah dan berusaha netral serta tidak gegabah menilai.. Maka, bahkan tindakan para bhikkhu menenangkan Raja masih dapat dibenarkan mengingat sebuah penyesalan bagaimanapun mendalamnya tidak akan dapat mengembalikan nyawa-nyawa yang telah hilang dalam perang. Sedangkan pikiran yang penuh penyesalan hanya akan menambah kualitas perbuatan buruk yang telah dilakukan dan semakin mengondisikan kelahiran kembali di alam rendah, plus menghalangi sang Raja dari melihat hal-hal positif yang ada dan mengembangkan. Jika kita mengingat analogi dari Sang Buddha kembali, maka pembunuhan oleh Raja seperti menumpahkan 1 kilo garam dalam seember air. Yang perlu dilakukan oleh Raja hanyalah menambah volume dan memperbesar wadah air itu sebagaimana diingatkan oleh para bhikkhu "Tetapi untuk Anda, Anda akan membawa kemuliaan ajaran Sang Buddha dengan banyak cara; oleh karena itu, buanglah penyesalan dalam hati Anda."
Meski ucapan mereka harus diakui sedikit berlebihan dalam poin tertentu tetapi dapat dilihat sebagai sebuah skillful means dalam menenangkan batin sang Raja yang dapat ditolerir. Terlebih lagi sang Raja setelah mendapat nasehat demikian pun tidak lantas menjadi fanatik dan memberantas para Tamil yang berbeda keyakinan atau pun melakukan penyerbuan ke India. Karena itu ada kemungkinan para bhikkhu tersebut telah mempertimbangkan masak-masak bahwa yang ditenangkan oleh mereka adalah Raja yang bijaksana.
Selain itu tidak lepas pula dari kemungkinan bahwa penulis Mahavamsa telah menambahkan subjektifitas pemikiran dan perasaannya untuk mendramatisir cerita tersebut.
Mungkin yang tidak dapat dibenarkan adalah dengan gegabah menyatakan status para bhikkhu adalah suci. Selain itu pula fakta bahwa para bhikkhu menyertai Raja dalam perang, yang notabene merupakan Pacittiya dalam Vinaya.
Apa pun itu, Mahavamsa merupakan karya belakangan yang nyata-nyata bukan langsung berasal dari Buddha sehingga Mahavamsa bukanlah sebuah acuan mutlak dan wajib dalam standar Theravada karena itu tidak dapat dikatakan bahwa kekerasan mendapat tempat dan justifikasi dalam Theravada pada khususnya atau sejarah Buddhisme pada umumnya.
tidak gegabah? sedikit berlebihan?
mmm... membaca tulisan di atas saya jadi inget anggota dpr hehehehe... joke.
tampaknya kacamata dan perspektif kita berbeda di sini.
bagi saya jelas kutipan di atas merupakan politisasi agama untuk membenarkan peperangan.
Sepertinya tidak berlebihan. Kenapa saya katakan agar tidak gegabah? Karena bagi saya naskah Mahavamsa merupakan bagian dari sejarah masa lalu yang tidak dapat benar-benar diketahui kebenarannya, bagaimana pun kita berusaha. Misalnya saja tentang duel, siapa yang menantang siapa? Menurut Mahavamsa Raja Duthugemunu yang menantang, sedangkan menurut naratif kaum Tamil, Raja Elara lah yang menantang. Siapa yang benar? Kita tidak akan tahu kecuali ada Doraemon, bukannya Doraemorph. ;D [joke]
Oleh karenanya dalam menilai, agar tidak terpengaruh subjektifitas perasaan n pemikiran maka saya mengusulkan pendekatan "presume innocent until proven guilty." Berbeda dengan Ncek Morph yang menggunakan "presume guilty until proven innocent." Jika pendekatannya seperti Ncek Morph demikian, maka Mahavamsa pasti sudah terbukti salah!! Karena ketidakbersalahannya tidak akan pernah diketahui.
Apa pun itu, saya rasa kita setuju bahwa dalam Buddhisme (menurut Sang Buddha bukan murid-muridnya) tidak ada tempat bagi politisasi agama dalam menjustifikasi perang.
_/\_
Quote from: morpheus on 17 September 2010, 04:16:08 AM
Quote from: fabian c on 16 September 2010, 08:24:05 PM
Bro Morpheus yang baik, menurut yang saya baca tidak seburuk itu, kalau tidak salah dikatakan bahwa para Arahat bermaksud berkata bahwa yang dibunuh oleh raja Duthagamini tidak bermoral dan jahat, sehingga nilainya sebanding dengan binatang.
Memang dalam ajaran Sang Buddha seseorang dinilai berdasarkan moralitasnya, perbuatan yang dilakukan terhadap orang bermoralitas rendah berbuah lebih kecil/ringan dibandingkan perbuatan yang dilakukan terhadap orang yang moralitasnya tinggi, oleh karena itu membunuh penjahat tak bermoral akibatnya lebih ringan dibandingkan dengan membunuh orang yang bermoral.
Para Arahat menghibur raja Duthagamini sesudah perang usai. Tetapi para Arahat tidak mendorong/mendukung/menganjurkan peperangan tersebut.
om fabian, kita berbeda persepsi di sini. quotation di atas bisa anda baca lagi untuk menguatkan memori, tak ada yang saya kurangi atau tambahi.
menurut saya, kata2 tersebut mendukung peperangan dan pembunuhan kafir yg dikatakan layaknya binatang.
bukan kata2 yg keluar dari orang yang pantas untuk dihormati, apalagi arahat.
bayangkan kalo kata2 itu dipercayai oleh pembacanya, umat buddha yang lugu, sehingga mereka menganggap nyawa orang2 yang gak seiman itu gak perlu dihargai, layaknya binatang... mungkinkah ini yang terjadi akhir2 ini di srilanka?
sorry bro, saya akan bandingkan dg pali nya dulu, tapi jgn hari ini.
bro Fabian yg baik, saya rasa ada sedikit rancu terjemahan, sebaiknya saya bandingkan dulu dg palinya, tapi jangan hari ini ya, sy msh ujian. karena sering diketemukan terjemahan menggunakan kata2 yg kurang tepat.
mettacittena,
Quote from: fabian c on 17 September 2010, 01:06:04 PM
Quote from: Kainyn_Kutho on 17 September 2010, 01:01:14 PM
Quote from: morpheus on 16 September 2010, 10:55:20 AM
Quote"From this deed arises no hindrance in thy way to heaven. Only one
and a half human beings have been slain here by thee, O lord of men.
The one had come unto the (three) refuges, the other had taken on
himself the five precepts. Unbelievers and men of evil life were the
rest, not more to be esteemed than beasts. But as for thee, thou
wilt bring glory to the doctrine of the Buddha in manifold ways;
therefore cast away care from thy heart, O ruler of men!" Thus
exhorted by them the great king took comfort. (Mahavamsa 25:109-112)
wah!!!
Di sini disebutkan satu setengah manusia. Satu adalah Buddhis (telah mengambil 3 perlindungan). Satu lagi adalah yang menjalankan 5 sila, tetapi dianggap hanya bernilai setengah. Setahu saya, Buddha mengatakan orang dinilai hanya dari 2 hal: Sila & Kebijaksanaan, bukannya agamanya. Jadi ini sudah jelas tidak sesuai dengan Ajaran Buddha.
Karena manusia dinilai dari sila dan kebijaksanaan, maka memang benar tanpa sila dan kebijaksanaan, manusia tidak ada bedanya dengan binatang, bahkan kadang binatang bisa lebih baik dalam hal sila. Tapi yang sangat menyesatkan di sini adalah menyamakan antara "unbelievers" dengan "men of evil". Seseorang bisa saja tidak percaya, tetapi bukan berarti ia seorang yang melakukan kejahatan.
BTW, kalau tidak salah mahavamsa tidak termasuk Kanon Pali, bukan?
Bukan bro, bahkan commentarypun bukan, hanya buku referensi biasa yang menceritakan perkembangan agama Buddha di Srilangka.
Bro Kainyn dan Bro Fabian yang baik,
mohon anda berdua membaca Konsili Agung keIV yg dilaksanakan di Burma, disana diputuskan Mahavamsa adalah Anya (sub-subcommentary). sehingga dlm CSCD anda dpt menemukan Mahavamsa dan Visuddhimagga dlm kelompok Anya, silahkan cek link ini http://www.tipitaka.org/romn/ kemudian masuk ke vamsaganthasangaho maka anda dapat menemukan mahavamsa dlm bhs pali.
mettacittena,
Quote from: pannadevi on 17 September 2010, 07:24:29 PM
Nice post bro, anda benar bro Jerry yg baik, memang bhikkhu yg menasehati King Dutthugemunu (King Duttagamani lebih dikenal dg Dutthugemunu) bertujuan mengingatkan untuk tujuan awal beliau yaitu menjaga Buddhism agar tetap terlindungi, agar dhamma tetap berkembang di Srilanka, karena Tamil non-Buddhist (saya belum cek ke bukunya utk melampirkan quotation, sory masih puyeng ujian). tapi saya ingat krn ada mata kuliah ini, kaitannya karena mata kuliah "perkembangan Pali Literature" jadi membahas Mahavamsa.
Thanks infonya Neri. Kan Raja Elara bagian dari dinasti kerajaan Chola, yang "konon" menyebabkan punahnya Sangha Bhikkhuni Theravada. Meski Raja Elara pada saat itu memerintah secara bijak, tetapi tidak diketahui bagaimana perlakuan terhadap Buddhis setelah pemerintahannya berganti. Terlebih lagi Raja Elara lah yang pertama-tama menyerbu dari India Selatan menuju ke Sri Lanka dan menaklukkan Raja Asela dari kerajaan Rajarata. Karena itu ada kemungkinan timbul kekhawatiran bahwa Buddhisme akan punah di kemudian hari sehingga peperangan Dutugemunu terhadap Elara tampaknya memang bersifat defensif. Terlebih lagi jika kita kaitkan dengan pendapat Neri bahwa: "bhikkhu yg menasehati King Dutugemunu bertujuan mengingatkan untuk tujuan awal beliau yaitu menjaga Buddhism agar tetap terlindungi, agar dhamma tetap berkembang di Srilanka."
Quote from: pannadevi on 17 September 2010, 07:24:29 PM
Tentang duel yang benar adalah King Dutthugemunu yg menantang karena beliau tidak mau ada pertumpahan darah dari rakyat kedua belah pihak, cukup salah satu dari mereka berdua saja, yang kalah berarti yg mati.
Cara beliau ini amat dipuji rakyat dan diangkat sebagai "Pahlawan terhebat dari Srilanka" karena baru beliaulah yg berhasil menyatukan Srilanka menjadi utuh kesatuan. dan Presiden yang sekarang Mahinda Rajapaksa juga sering dianggap sebagai inkarnasi beliau karena berhasil menyatukan kembali Srilanka menjadi utuh kesatuan yg sebelumnya selama 30 thn telah pecah menjadi tinggal 70%, sedang yg 30% di klaim sbg Kekuasaan Tamil.
mettacittena,
Menurut yang saya baca, dalam peperangan itu sebelum berhadapan satu lawan satu dengan Raja Elara, dalam perang antara Dutugemunu dengan Elara telah berlangsung bertahun-tahun. Tidaklah mungkin dalam perang bertahun-tahun itu tidak ada korban jatuh, pasti ada. Tetapi kemudian kedua raja sepakat untuk menyelesaikan dalam duel satu lawan satu di atas gajah. Sifat ksatria dari kedua raja itu yang patut diacungi jempol.
be happy
_/\_
Quote from: morpheus on 17 September 2010, 04:16:08 AM
Quote from: fabian c on 16 September 2010, 08:24:05 PM
Bro Morpheus yang baik, menurut yang saya baca tidak seburuk itu, kalau tidak salah dikatakan bahwa para Arahat bermaksud berkata bahwa yang dibunuh oleh raja Duthagamini tidak bermoral dan jahat, sehingga nilainya sebanding dengan binatang.
Memang dalam ajaran Sang Buddha seseorang dinilai berdasarkan moralitasnya, perbuatan yang dilakukan terhadap orang bermoralitas rendah berbuah lebih kecil/ringan dibandingkan perbuatan yang dilakukan terhadap orang yang moralitasnya tinggi, oleh karena itu membunuh penjahat tak bermoral akibatnya lebih ringan dibandingkan dengan membunuh orang yang bermoral.
Para Arahat menghibur raja Duthagamini sesudah perang usai. Tetapi para Arahat tidak mendorong/mendukung/menganjurkan peperangan tersebut.
om fabian, kita berbeda persepsi di sini. quotation di atas bisa anda baca lagi untuk menguatkan memori, tak ada yang saya kurangi atau tambahi.
menurut saya, kata2 tersebut mendukung peperangan dan pembunuhan kafir yg dikatakan layaknya binatang.
bukan kata2 yg keluar dari orang yang pantas untuk dihormati, apalagi arahat.
bayangkan kalo kata2 itu dipercayai oleh pembacanya, umat buddha yang lugu, sehingga mereka menganggap nyawa orang2 yang gak seiman itu gak perlu dihargai, layaknya binatang... mungkinkah ini yang terjadi akhir2 ini di srilanka?
Saya yakin hal ini akan sulit mendapat tempat dalam Buddhisme, Om Morph. Meski bagi sebagian buddhis dapat dibenarkan, tetapi dalam sumber mata air termurni Buddhisme - ucapan Sang Buddha dalam Nikaya Pali - sendiri tidak termuat atau mendukung hal demikian. Jangan lupa perang terus berkelanjutan juga bukan karena kedua belah pihak saja, tetapi juga dari luar - terutama para pedagang senjata, misionaris dan pihak2 yang berkepentingan.
Quote from: morpheus on 17 September 2010, 04:01:58 AM
Quote from: Jerry on 16 September 2010, 07:54:45 PM
Mohon klarifikasi apakah serangkaian keajaiban di atas "utusan 8 arahat, turun dari alam brahma terlahir menjadi manusia, bumi bergoncang, para brahma bersorak, raja naga dst" itu terdapat dalam cerita Raja Dutthagamani juga?
pesan itu saya tujukan secara umum, pada kitab atau buku apapun yang kita baca.
teliti saja lah...
Setuju, tentu saja pendekatan awalnya asas praduga tak bersalah di dalam menyelidiki Tipitaka. Dalam Milinda Panha ada 5 kriteria:
1. Membandingkannya dengan teks yang dikutip;
2. Melalui 'selera', yaitu: apakah sesuai dengan teks-teks lain?;
3. Apakah sesuai dengan ajaran para guru?;
4. Setelah menimbang pendapatnya sendiri, yaitu apakah sesuai dengan pengalamanku sendiri?;
5. Dengan gabungan semua cara itu.
Jadi bukan asal comot dan terburu-buru menyatakan ada justifikasi terhadap peperangan dalam Buddhisme dan mencurigai bahwa hal ini pula yang mendalangi kejadian akhir2 ini di srilanka. Harus diselidiki dikupas tuntas bersama secara hati-hati sebelumnya. Itulah gunaya forum ini. Jika kemudian terbukti memang benar, maka kebenaran itu harus diakui. Tetapi jika tidak benar, maka ketidakbenaran itu harus ditolak.
_/\_
Esteemed:
Google translator:
not more to be esteemed than beasts
tidak lebih akan dihargai daripada binatang
Oxford Dictionary:
esteem
•n. respect and admiration.
•v.
1 (usu. be esteemed) respect and admire.
2 formal consider; deem.
– ORIGIN ME: from OFr. estime (n.), estimer (v.), from L. aestimare 'to estimate'.
Merriam webster
Definition of ESTEEM
1
archaic : worth, value
2
archaic : opinion, judgment
3
: the regard in which one is held; especially : high regard <the esteem we all feel for her>
Jadi:
not more to be esteemed than beasts
berarti: tidak lebih tinggi/terhormat dari binatang
Bukan berarti: layaknya binatang
Quote from: fabian c on 17 September 2010, 12:45:44 PM
Quote from: morpheus on 17 September 2010, 08:57:56 AM
Quote from: fabian c on 17 September 2010, 07:20:19 AM
Bro Morpheus yang baik, penerjemahan the unbelievers sebagai kafir memperlihatkan seolah-olah ajaran Buddhis cara berpikirnya sama dengan agama berdasarkan akar budaya timur tengah. Kata kafir (infidel) menurut saya berbeda dengan "the unbelievers". The unbelievers secara harfiah berarti orang-orang yang tak memiliki keyakinan disebabkan pandangan salah (miccha ditthi).
Sedangkan kafir berarti tidak memiliki keyakinan, atau bahkan menentang keberadaan Tuhan yang memang pantas dibunuh.
Saya rasa tak ada umat Buddha yang telah mengenal Dhamma menganggap mahluk hidup apapun juga pantas untuk dibunuh.
Jadi penerjemahan kafir saya kira tak tepat untuk menerjemahkan kata "un-believers"
Selain itu kata-kata "not more to be esteemed than beasts" tidak tepat diterjemahkan dengan kata "tidak perlu dihargai, layaknya binatang", karena bila diterjemahkan demikian terjadi pemelintiran arti, seolah-olah umat Buddha tak menghargai mahluk lain, yang tentu saja bertentangan dengan sifat luhur Brahmavihara (Metta, Karuna, Mudita Bhavana).
Menurut saya para Arahat mengaitkan perbuatan raja Duthagamini dengan Vipaka, karena disebutkan raja takut tidak bisa masuk sorga, sehingga para Bhikkhu tersebut mengatakan bahwa kamma vipakanya sebanding dengan membunuh binatang.
Terjemahan lebih tepat pernyataan bhikkhu tersebut adalah demikian "dianggap ( to be esteemed) tidak lebih (not more) daripada binatang (than beasts)"
Bedakan dengan terjemahan "tak perlu dihargai".
saya setuju dengan pengertian anda.
pemakaian "kafir" dan "layaknya binatang" untuk menggampangkan pembaca mengerti saja.
"layaknya binatang" vs "dianggap tidak lebih daripada binatang" tidak mengubah maknanya kan?
ini hal yang remeh. silakan pakai terjemahan yang anda suka.
Bro Morpheus yang baik, justru disitulah letaknya, penerjemahan yang tidak akurat bisa mengubah arti, sehingga nampak melebih-lebihkan (exaggeration).
"Layaknya binatang" kedengarannya seperti menganjurkan perlakuan, sedangkan "dianggap tidak lebih dari binatang" hanya mengesankan penilaian... jadi maknanya berbeda....
_/\_
Mengapa sebelumnya saya katakan bahwa ada kemungkinan ucapan para bhikkhu itu adalah sebuah skillful means? Karena secara umum ucapan mereka bisa terdengar kasar, namun bisa mengandung penafsiran dan pengertian lain.
"Dianggap tidak lebih dari binatang" secara umum akan terdengar kasar dan berbahaya. Tetapi jika diselidiki lebih lanjut menurut Tipitaka, bagaimana pandangan Buddhisme terhadap binatang? Kenyataannya ada banyak khotbah dan pernyataan Sang Buddha untuk menghargai semua makhluk termasuk pula binatang. Misalnya dalam Dhammapada ayat 129:
"Semua makhluk hidup takut dipukul. Semua makhluk hidup takut dibunuh. Menempatkan diri seseorang dalam posisi orang lain, maka janganlah seseorang membunuh atau menyebabkan yang lain membunuh."
Penafsirannya dan korelasinya terhadap ucapan para bhikkhu di atas adalah: Jika nyawa para binatang (sebagaimana semua makhluk lainnya) dihargai, maka ketika dikatakan bahwa para non-believers "dianggap tidak lebih dari binatang" berarti bisa pula diartikan sama berharganya dengan nyawa binatang, yang berarti pula sama berharganya dengan nyawa semua makhluk lain. Language is tricky. ;)
_/\_
Quote from: Kelana on 17 September 2010, 08:09:47 PM
Esteemed:
Google translator:
not more to be esteemed than beasts
tidak lebih akan dihargai daripada binatang
Oxford Dictionary:
esteem
•n. respect and admiration.
•v.
1 (usu. be esteemed) respect and admire.
2 formal consider; deem.
– ORIGIN ME: from OFr. estime (n.), estimer (v.), from L. aestimare 'to estimate'.
Merriam webster
Definition of ESTEEM
1
archaic : worth, value
2
archaic : opinion, judgment
3
: the regard in which one is held; especially : high regard <the esteem we all feel for her>
Jadi:
not more to be esteemed than beasts
berarti: tidak lebih tinggi/terhormat dari binatang
Bukan berarti: layaknya binatang
thanks bro Kelana yg baik,
anda telah mengambil acuan yang benar, memang klo ditinjau dari dictionary seperti itu artinya, tapi yg saya maksudkan disini adalah penerjemah asing sering rancu menerjemahkan pali kedlm bhs inggris, contoh aja Stupa yang memang seharusnya diartikan aja sbg Stupa, toh itu memang istilah baku, tapi jadi memorium, lantas di bhs indonesiakan jadi nisan, terkesan kuburan (utk orang umum bukan utk orang suci). ini hanya sekedar contoh aja, nah yg saya maksud sy harus baca palinya dulu, apa memang benar dikatakan "tidak lebih berharga dari binatang", musti cek dulu.
mettacittena,
Quote from: Jerry on 17 September 2010, 07:51:17 PM
Quote from: pannadevi on 17 September 2010, 07:24:29 PM
Nice post bro, anda benar bro Jerry yg baik, memang bhikkhu yg menasehati King Dutthugemunu (King Duttagamani lebih dikenal dg Dutthugemunu) bertujuan mengingatkan untuk tujuan awal beliau yaitu menjaga Buddhism agar tetap terlindungi, agar dhamma tetap berkembang di Srilanka, karena Tamil non-Buddhist (saya belum cek ke bukunya utk melampirkan quotation, sory masih puyeng ujian). tapi saya ingat krn ada mata kuliah ini, kaitannya karena mata kuliah "perkembangan Pali Literature" jadi membahas Mahavamsa.
Thanks infonya Neri. Kan Raja Elara bagian dari dinasti kerajaan Chola, yang "konon" menyebabkan punahnya Sangha Bhikkhuni Theravada. Meski Raja Elara pada saat itu memerintah secara bijak, tetapi tidak diketahui bagaimana perlakuan terhadap Buddhis setelah pemerintahannya berganti. Terlebih lagi Raja Elara lah yang pertama-tama menyerbu dari India Selatan menuju ke Sri Lanka dan menaklukkan Raja Asela dari kerajaan Rajarata. Karena itu ada kemungkinan timbul kekhawatiran bahwa Buddhisme akan punah di kemudian hari sehingga peperangan Dutugemunu terhadap Elara tampaknya memang bersifat defensif. Terlebih lagi jika kita kaitkan dengan pendapat Neri bahwa: "bhikkhu yg menasehati King Dutugemunu bertujuan mengingatkan untuk tujuan awal beliau yaitu menjaga Buddhism agar tetap terlindungi, agar dhamma tetap berkembang di Srilanka."
Quote from: pannadevi on 17 September 2010, 07:24:29 PM
Tentang duel yang benar adalah King Dutthugemunu yg menantang karena beliau tidak mau ada pertumpahan darah dari rakyat kedua belah pihak, cukup salah satu dari mereka berdua saja, yang kalah berarti yg mati.
Cara beliau ini amat dipuji rakyat dan diangkat sebagai "Pahlawan terhebat dari Srilanka" karena baru beliaulah yg berhasil menyatukan Srilanka menjadi utuh kesatuan. dan Presiden yang sekarang Mahinda Rajapaksa juga sering dianggap sebagai inkarnasi beliau karena berhasil menyatukan kembali Srilanka menjadi utuh kesatuan yg sebelumnya selama 30 thn telah pecah menjadi tinggal 70%, sedang yg 30% di klaim sbg Kekuasaan Tamil.
mettacittena,
Menurut yang saya baca, dalam peperangan itu sebelum berhadapan satu lawan satu dengan Raja Elara, dalam perang antara Dutugemunu dengan Elara telah berlangsung bertahun-tahun. Tidaklah mungkin dalam perang bertahun-tahun itu tidak ada korban jatuh, pasti ada. Tetapi kemudian kedua raja sepakat untuk menyelesaikan dalam duel satu lawan satu di atas gajah. Sifat ksatria dari kedua raja itu yang patut diacungi jempol.
be happy
_/\_
bro Jerry yg baik,
setahu saya bukan terjadi perang terus2an, justru saat itu Tamil berkuasa, lalu King Dutthugemunu ingin melawan tapi dicegah ayahnya sehingga ayahnya dikirimin (maaf!) peralatan wanita, utk mengejek ayahnya yang seperti banci. lalu beliau meninggalkan istana dan menyusun kekuatan, selama beliau merantau menyusun kekuatan itulah beliau selalu berkonsultasi dg anggota sangha.(sebenarnya beliau hubungannya dg anggota sangha udah dekat sejak muda, wkt kanak2 berantem dg kakaknya Saddhatissa, yg kelak menjadi raja menggantikan beliau krn meninggal, sehingga kakaknya sembunyi dibawah bed Bhikkhu itupun juga dinasehati oleh anggota sangha dan beliau berbaikan kembali dg kakaknya)
sebagai info selama Tamil berkuasa, mereka amat menyiksa kaum rakyat Sinhala, salah satunya pembangunan Stupa terbesar (dan sungguh2 terbesar diatas gunung batu tapi tidak selesai) dengan menggunakan para narapidana tanpa makan minum sehingga korban meninggal berguguran. padahal narapidana banyak yg asal tuduh agar bisa dimasukkan dlm penjara sehingga dikirim utk tenaga kerja paksa.
samalah dengan bangsa Indonesia waktu dijajah, pasti rakyat Indonesia menderita, jadi tujuan untuk memulihkan negara kembali kepangkuan rakyat Indonesia merupakan tujuan mulia, nah ini sama, tujuan mereka utk mengembalikan Srilanka menjadi tanah air mereka kembali, dan yang paling penting adalah untuk melindungi agar dhamma tetap berkembang di Srilanka. bisa dibayangkan jika Tamil yg berkuasa dpt menghancurkan Buddhism di Srilanka. (terbukti dg pemusnahan bhikkhuni Theravada).
mettacittena,
Namaste Neri,
Thanks atas infonya Neri, saya mah cuman baca-baca dari internet. Sedangkan Neri telah tinggal cukup lama di sana dan memiliki akses langsung untuk mempelajari secara komprehensif dari sumber-sumber langsung berkaitan dengan itu. Karenanya informasi dari Samaneri sangat penting melengkapi pengetahuan kita-kita yang ada di sini mengenai perang antara Dutugemunu dan Elara. Dengan demikian, sementara saya sampai pada kesimpulan bahwa meski kata-kata yang diucapkan para bhikkhu cenderung ditafsirkan kasar, tetapi perang Dutugemunu merupakan sebuah perang bersifat defensif, bukannya perang yang dibenarkan.
be happy
_/\_
Quote from: pannadevi on 17 September 2010, 09:54:19 PM
thanks bro Kelana yg baik,
anda telah mengambil acuan yang benar, memang klo ditinjau dari dictionary seperti itu artinya, tapi yg saya maksudkan disini adalah penerjemah asing sering rancu menerjemahkan pali kedlm bhs inggris, contoh aja Stupa yang memang seharusnya diartikan aja sbg Stupa, toh itu memang istilah baku, tapi jadi memorium, lantas di bhs indonesiakan jadi nisan, terkesan kuburan (utk orang umum bukan utk orang suci). ini hanya sekedar contoh aja, nah yg saya maksud sy harus baca palinya dulu, apa memang benar dikatakan "tidak lebih berharga dari binatang", musti cek dulu.
mettacittena,
Saya rasa itu ide yang bagus Neri, jika Neri punya sumber Palinya mohon dicek. Saya hanya menanggapi terjemahan dari Inggris ke Indonesia saja.
Quote from: Kelana on 17 September 2010, 10:25:14 PM
Quote from: pannadevi on 17 September 2010, 09:54:19 PM
thanks bro Kelana yg baik,
anda telah mengambil acuan yang benar, memang klo ditinjau dari dictionary seperti itu artinya, tapi yg saya maksudkan disini adalah penerjemah asing sering rancu menerjemahkan pali kedlm bhs inggris, contoh aja Stupa yang memang seharusnya diartikan aja sbg Stupa, toh itu memang istilah baku, tapi jadi memorium, lantas di bhs indonesiakan jadi nisan, terkesan kuburan (utk orang umum bukan utk orang suci). ini hanya sekedar contoh aja, nah yg saya maksud sy harus baca palinya dulu, apa memang benar dikatakan "tidak lebih berharga dari binatang", musti cek dulu.
mettacittena,
Saya rasa itu ide yang bagus Neri, jika Neri punya sumber Palinya mohon dicek. Saya hanya menanggapi terjemahan dari Inggris ke Indonesia saja.
saya sependapat dg anda bro, maka dari itu kita musti hati2....tapi jangan hari ini lo...
saya mo off dlu sekarang....(baru ujian nih, maaf ya)
mettacittena,
pembahasan yang menarik.
Rasanya dalam sejarah peradaban manusia klo sama steril dari perang, rasanya ga mungkin. Apalagi jumlah umat awam jelas lebih banyak daripada yang sudah mencapai tataran kesucian. Dalam keadaan tertentu kadang2 harus pakai kekerasan. Toh, tetap saja kekerasan yang mengatasnamakan Buddhist lebih sedikit dibanding pihak yang berperang atas nama ajaran2 lainnya.
Quote from: pannadevi on 17 September 2010, 07:24:29 PM
Cara beliau ini amat dipuji rakyat dan diangkat sebagai "Pahlawan terhebat dari Srilanka" karena baru beliaulah yg berhasil menyatukan Srilanka menjadi utuh kesatuan. dan Presiden yang sekarang Mahinda Rajapaksa juga sering dianggap sebagai inkarnasi beliau karena berhasil menyatukan kembali Srilanka menjadi utuh kesatuan yg sebelumnya selama 30 thn telah pecah menjadi tinggal 70%, sedang yg 30% di klaim sbg Kekuasaan Tamil.
dalam catatan sejarah, pertama2 kita harus melihat pihak mana yang membuat catatan. kata pepatah "kalah jadi penghianat, menang jadi pahlawan". seperti halnya catatan sejarah orde baru, tentu di mana2 suhartolah pahlawannya...
demikian juga untuk srilanka, kita harus mendengarkan cerita dari dua belah pihak. saya tidak mengatakan keterangan anda salah. hanya saja cerita dari teman saya yang tamil bertolak belakang. menurut mereka, tamil sudah tinggal di srilanka beribu2 tahun. tanah itu juga milik mereka. entah mana yang bener...
mengenai presiden yg sekarang, politik tidaklah selalu jernih dan bersih. apa yang terjadi sesungguhnya dalam perang, kita tidaklah tahu. dalam intrik peperangan dan perebutan kekuasaan itu sendiri, presiden ini akhirnya berebut kekuasaan dengan jendral fonseka. jendral inilah yang sebenarnya mengalahkan dan menghabisi tamil di srilanka. dalam perebutan kekuasaan, presiden ini lebih lihay dan jendral ini kalah lalu dipenjarakan. tentu saja pers pro-presiden langsung mengangkat sang presiden menjadi pahlawan...
sekadar pengimbang informasi, gak tau mana yang bener...
Quote from: Jerry on 17 September 2010, 07:27:39 PM
Dari mana dikatakan kelompok arahat mengutus 8 orang dari mereka? Cuma dikatakan mengutus 8 holy monks dan sejauh saya baca tidak ditandaskan "dari mereka".
seluruh skolar (buddhis lho!) yang saya baca mengatakan mereka adalah arahat.
mari kita baca terjemahan Wilhelm Geiger yang merupakan terjemahan yang selalu dipakai untuk mahavamsa:
Sitting then on the terrace of the royal palace, adorned, lighted with fragrant lamps and filled with many a perfume, magnificent with nymphs in the guise of dancing-girls, while he rested on his soft and fair couch, covered with costly draperies, he, looking back upon his glorious victory, great though it was, knew no joy, remembering that thereby was wrought the destruction of millions (of beings).
When the arahants in Piyangudipa knew his thought they sent eight arahants to comfort the king. And they, coming in the middle watch of the night, alighted at the palace-gate. Making known that they were come thither through the air they mounted to the terrace of the palace.
The great king greeted them, and when he had invited them to be seated and had done them reverence in many ways he asked the reason of their coming. `We are sent by the brotherhood at Piyangudipa to comfort thee, O lord of men.'
And thereon the king said again to them: `How shall there be any comfort for me, O venerable sirs, since by me was caused the slaughter of a great host numbering millions?'
`From this deed arises no hindrance in thy way to heaven. Only one and a half human beings have been slain here by thee, O lord of men. The one had come unto the (three) refuges, the other had taken on himself the five precepts Unbelievers and men of evil life were the rest, not more to be esteemed than beasts. But as for thee, thou wilt bring glory to the doctrine of the Buddha in manifold ways; therefore cast away care from thy heart, O ruler of men!'
semoga jelas...
Quote from: Jerry on 17 September 2010, 07:27:39 PM
Oleh karenanya dalam menilai, agar tidak terpengaruh subjektifitas perasaan n pemikiran maka saya mengusulkan pendekatan "presume innocent until proven guilty." Berbeda dengan Ncek Morph yang menggunakan "presume guilty until proven innocent." Jika pendekatannya seperti Ncek Morph demikian, maka Mahavamsa pasti sudah terbukti salah!! Karena ketidakbersalahannya tidak akan pernah diketahui.
Apa pun itu, saya rasa kita setuju bahwa dalam Buddhisme (menurut Sang Buddha bukan murid-muridnya) tidak ada tempat bagi politisasi agama dalam menjustifikasi perang.
aiyoh, bang jerry, bang jerry... yang anda bahasakan sebagai praduga tak bersalah itu tidak lain adalah pendekatan iman / kepercayaan. kenapa anda tidak memakai praduga tidak bersalah terhadap kepercayaan agama lain seperti tuhan, dll? karena anda seorang buddhis kan?
seperti halnya arahat atau bukan arahat tadi. iman anda condong mencari pembelaan dan percaya mereka bukanlah arahat dan condong tidak mempercayai morpheus... bukankah begitu? kenapa anda tidak memakai praduga gak bersalah juga terhadap morpheus? karena yang saya katakan tidak sesuai dengan iman anda kan?
pendekatan yang lebih objektif adalah melihat fakta dan buktinya, baru menilai...
Quote from: Jerry on 17 September 2010, 08:08:58 PM
Saya yakin hal ini akan sulit mendapat tempat dalam Buddhisme, Om Morph. Meski bagi sebagian buddhis dapat dibenarkan, tetapi dalam sumber mata air termurni Buddhisme - ucapan Sang Buddha dalam Nikaya Pali - sendiri tidak termuat atau mendukung hal demikian. Jangan lupa perang terus berkelanjutan juga bukan karena kedua belah pihak saja, tetapi juga dari luar - terutama para pedagang senjata, misionaris dan pihak2 yang berkepentingan.
saya tahu dan setuju itu, bang jerry.
Sang Buddha yang suci dan tercerahkan sempurna tidak mungkin menganjurkan dan mendukung pembunuhan seperti ini.
tapi bagaimanapun kitab ini mendapat tempat yang terhormat di kalangan srilankan. bukan tidak mungkin bisa dijadikan acuan untuk memerangi orang yang tidak seiman.
Quote from: Kelana on 17 September 2010, 08:09:47 PM
Jadi:
not more to be esteemed than beasts
berarti: tidak lebih tinggi/terhormat dari binatang
Bukan berarti: layaknya binatang
menurut saya, sama saja.
dalam menterjemahkan teks asing, kita bisa saja menterjemahkan kata demi kata, namun hasil terjemahannya menjadi sangat kaku dan tidak enak dibaca. terjemahan bisa memakai kata2 lain yang sejalan agar terjemahannya menjadi lebih luwes.
teks mahavamsa ini sendiri berasal dari bahasa pali (cmiiw) dan diterjemahkan ke jerman trus inggris. saya rasa palinya juga bukan kata per kata dari "not more to be esteemed than beasts".
maknanya kurang lebih bisa dimengerti pembaca. itu udah cukup.
Quote from: Jerry on 17 September 2010, 08:23:57 PM
Mengapa sebelumnya saya katakan bahwa ada kemungkinan ucapan para bhikkhu itu adalah sebuah skillful means? Karena secara umum ucapan mereka bisa terdengar kasar, namun bisa mengandung penafsiran dan pengertian lain.
"Dianggap tidak lebih dari binatang" secara umum akan terdengar kasar dan berbahaya. Tetapi jika diselidiki lebih lanjut menurut Tipitaka, bagaimana pandangan Buddhisme terhadap binatang? Kenyataannya ada banyak khotbah dan pernyataan Sang Buddha untuk menghargai semua makhluk termasuk pula binatang. Misalnya dalam Dhammapada ayat 129:
"Semua makhluk hidup takut dipukul. Semua makhluk hidup takut dibunuh. Menempatkan diri seseorang dalam posisi orang lain, maka janganlah seseorang membunuh atau menyebabkan yang lain membunuh."
Penafsirannya dan korelasinya terhadap ucapan para bhikkhu di atas adalah: Jika nyawa para binatang (sebagaimana semua makhluk lainnya) dihargai, maka ketika dikatakan bahwa para non-believers "dianggap tidak lebih dari binatang" berarti bisa pula diartikan sama berharganya dengan nyawa binatang, yang berarti pula sama berharganya dengan nyawa semua makhluk lain. Language is tricky. ;)
mari kita baca lagi ayat di atas (kita pake terjemahan yg disuka aja deh, walaupun jadinya agak aneh):
"Dari perbuatan ini tidak ada hambatan untuk masuk sorga. Hanya
satu dan setengah orang telah Anda bunuh di sini, wahai Penguasa
manusia. Yang seorang telah menganut (tiga) perlindungan, dan yang
lain telah menganut kelima sila. Selebihnya adalah orang-orang tidak seagama dan
orang-orang yang hidupnya jahat, tidak perlu dihargai, tidak lebih tinggi/terhormat
dari binatang. Tetapi untuk Anda, Anda akan membawa kemuliaan ajaran Sang
Buddha dengan banyak cara; oleh karena itu, buanglah penyesalan
dalam hati Anda, O Penguasa manusia!" Demikianlah, setelah
mendapat khotbah dari mereka, raja besar itu bersenang hati."
konteksnya sangat jelas di paragraf di atas. terdapat perbandingan di sana antara "orang" dengan "binatang".
apabila anda masih mikir ini tidak kasar, tidak merendahkan dan tidak menjustify kekerasan terhadap non-buddhis, saya tidak bisa berkata apa2 lagi...
sebenernya makna TS membuat thread ini ingin menunjukan bahwa umat buddha bisa saja mengambil atau mencontoh perbuatan kekerasan dalam sejarah ajaran buddha, hal ini suda pernah di bahas dan ada umat lain yang menganggap seseorang yang seing membunuh pun bisa mencapai kesucian ( lihat sini (http://dhammacitta.org/forum/index.php?topic=17352.msg278438) )
intinya umat buddha sudah di persenjatai dengan JMB8 untuk menyaring ajaran2 baik dari ajaran Buddha juga dari ajaran lain sehingga meminimalisir bahkan tidak melakukan kesalahan2 yang bisa di perbuat oleh nya.
Quote from: morpheus on 18 September 2010, 04:42:48 AM
Quote from: Kelana on 17 September 2010, 08:09:47 PM
Jadi:
not more to be esteemed than beasts
berarti: tidak lebih tinggi/terhormat dari binatang
Bukan berarti: layaknya binatang
menurut saya, sama saja.
dalam menterjemahkan teks asing, kita bisa saja menterjemahkan kata demi kata, namun hasil terjemahannya menjadi sangat kaku dan tidak enak dibaca. terjemahan bisa memakai kata2 lain yang sejalan agar terjemahannya menjadi lebih luwes.
Saya rasa berbeda, apalagi di awali dengan "tidak perlu dihargai" . Pengertiannya menjadi berbeda.
Kalimat A:tidak perlu dihargai, layaknya binatang.
Jika "layak" diterjemahkan menurut KBBI:
Tidak perlu dihargawi , sewajarnya/sepatutnya binatang,
Ini bermakna orang tersebut tidak perlu dihargai sama seperti binatang yang tidak perlu dihargai.
Kalimat B:tidak lebih tinggi/terhormat/berharga dari binatang
Pada kalimat ini, orang tersebut masih memiliki nilai/harga walau sama dengan nilai/harga dari binatang.
Quoteteks mahavamsa ini sendiri berasal dari bahasa pali (cmiiw) dan diterjemahkan ke jerman trus inggris. saya rasa palinya juga bukan kata per kata dari "not more to be esteemed than beasts".
maknanya kurang lebih bisa dimengerti pembaca. itu udah cukup.
Ya ini berarti kita seharusnya menunggu dulu sumber aslinya sebelum menerjemahkan dan membuat topik ini dan menyimpulkan.
Quote from: ryu on 18 September 2010, 07:48:43 AM
sebenernya makna TS membuat thread ini ingin menunjukan bahwa umat buddha bisa saja mengambil atau mencontoh perbuatan kekerasan dalam sejarah ajaran buddha, hal ini suda pernah di bahas dan ada umat lain yang menganggap seseorang yang seing membunuh pun bisa mencapai kesucian ( lihat sini (http://dhammacitta.org/forum/index.php?topic=17352.msg278438) )
intinya umat buddha sudah di persenjatai dengan JMB8 untuk menyaring ajaran2 baik dari ajaran Buddha juga dari ajaran lain sehingga meminimalisir bahkan tidak melakukan kesalahan2 yang bisa di perbuat oleh nya.
Sepemahaman saya, (CMIIW) Mr. Ryu, Seperti yang TS sampaikan ia tergelitik oleh pernyataan yang mengatakan tidak ada kekerasan dalam sejarah buddhisme, ia mengacu pada pernyataan Pak Fabian yang mengatakan: "tak pernah setetes darahpun ditumpahkan demi perkembangan agama Buddha" di topik Akhirnya Quran di bakar.
Pemahaman saya, Pak Fab tidak mengacu pada sejarah Buddhisme secara menyeluruh, tetapi pada perkembangan atau cara menyebarluaskan ajarannya. Jika alasan topik ini adalah pernyataan Pak Fab tersebut, sepertinya topik ini tidak nyambung. Tapi kalau lepas dari pernyataan tersebut ya nyambung-nyambung saja, karena sejarahnya memang demikian.
Quote from: Kelana on 18 September 2010, 09:08:23 AM
Quote from: ryu on 18 September 2010, 07:48:43 AM
sebenernya makna TS membuat thread ini ingin menunjukan bahwa umat buddha bisa saja mengambil atau mencontoh perbuatan kekerasan dalam sejarah ajaran buddha, hal ini suda pernah di bahas dan ada umat lain yang menganggap seseorang yang seing membunuh pun bisa mencapai kesucian ( lihat sini (http://dhammacitta.org/forum/index.php?topic=17352.msg278438) )
intinya umat buddha sudah di persenjatai dengan JMB8 untuk menyaring ajaran2 baik dari ajaran Buddha juga dari ajaran lain sehingga meminimalisir bahkan tidak melakukan kesalahan2 yang bisa di perbuat oleh nya.
Sepemahaman saya, (CMIIW) Mr. Ryu, Seperti yang TS sampaikan ia tergelitik oleh pernyataan yang mengatakan tidak ada kekerasan dalam sejarah buddhisme, ia mengacu pada pernyataan Pak Fabian yang mengatakan: "tak pernah setetes darahpun ditumpahkan demi perkembangan agama Buddha" di topik Akhirnya Quran di bakar.
Pemahaman saya, Pak Fab tidak mengacu pada sejarah Buddhisme secara menyeluruh, tetapi pada perkembangan atau cara menyebarluaskan ajarannya. Jika alasan topik ini adalah pernyataan Pak Fab tersebut, sepertinya topik ini tidak nyambung. Tapi kalau lepas dari pernyataan tersebut ya nyambung-nyambung saja, karena sejarahnya memang demikian.
Bro Kelana yang baik,
Saya rasa memang topik ini tidak nyambung, karena saya bukan mengatakan tak ada kekerasan, karena memukul seseorang sudah merupakan bentuk kekerasan.
ini saya kutipkan kembali pernyataan saya di thread sebelah:
Quotetapi umat Buddha bangga karena tak pernah setetes darahpun ditumpahkan demi perkembangan agama Buddha, agama Buddha bersih dari noda-noda demikian.
Selain itu perkataan para Bhikkhu terhadap raja Duthagamini merupakan bentuk nasehat untuk mengurangi perasaan bersalahnya, dan dilakukan setelah
perang usaiPernyataan yang saya ungkapkan tentu beda dengan kasus raja Duthagamini, karena alasannya:
Quote1. Pada kasus-kasus peperangan agama yang saya pelajari para pemimpin agamanya (spiritual leadernya) ikut mendukung peperangan. Tidak demikian pada kasus raja Duthagamani.
2. Kitab sucinya juga mendukung penyebaran faham dengan perang/kekerasan, hal ini sama sekali tak ditemui di Tipitaka.
Saya tak pernah mendengar ada kasus seorang Bhikkhu menjadi penasehat perang di medan perang, atau menganjurkan perang untuk menyebarkan ajaran.
_/\_
Quote from: fabian c on 18 September 2010, 09:23:47 PM
Saya tak pernah mendengar ada kasus seorang Bhikkhu menjadi penasehat perang di medan perang, atau menganjurkan perang untuk menyebarkan ajaran.
_/\_
Buddhists at War
Buddhist scholars say there is no justification for war in Buddhist teaching. Yet Buddhism has not always separated itself from war. There is historic documentation that in 621 CE monks from the Shaolin Temple of China fought in a battle that helped establish the Tang Dynasty. In centuries past, the heads of Tibetan Buddhist schools formed strategic alliances with Mongol warlords and reaped benefits from the warlords' victories.
The links between Zen Buddhism and samurai warrior culture were partly responsible for the shocking collusion of Zen and Japanese militarism in the 1930s and 1940s. For several years a virulent jingoism seized Japanese Zen, and teachings were twisted and corrupted to excuse killing. Zen institutions not only supported Japanese military aggression but raised money to manufacture war planes and weapons.
Observed from a distance of time and culture, these actions and ideas are inexcusable corruptions of dharma, and any "just war" theory that arose from them were the products of delusion. This episode serves as a lesson to us not to be swept up in the passions of the cultures we live in. Of course, in volatile times that is easier said than done.
In recent years Buddhist monks have been leaders of political and social activism in Asia. The Saffron Revolution in Burma and the March 2008 demonstrations in Tibet are the most prominent examples. Most of these monks are committed to nonviolence, although there are always exceptions. More troubling are the monks of Sri Lanka who lead the Jathika Hela Urumaya, "National Heritage Party," a strongly nationalist group that advocates a military solution to Sri Lanka's ongoing civil war.
http://buddhism.about.com/od/basicbuddhistteachings/a/war.htm
Quote from: Kelana on 18 September 2010, 09:08:23 AM
Quote from: ryu on 18 September 2010, 07:48:43 AM
sebenernya makna TS membuat thread ini ingin menunjukan bahwa umat buddha bisa saja mengambil atau mencontoh perbuatan kekerasan dalam sejarah ajaran buddha, hal ini suda pernah di bahas dan ada umat lain yang menganggap seseorang yang seing membunuh pun bisa mencapai kesucian ( lihat sini (http://dhammacitta.org/forum/index.php?topic=17352.msg278438) )
intinya umat buddha sudah di persenjatai dengan JMB8 untuk menyaring ajaran2 baik dari ajaran Buddha juga dari ajaran lain sehingga meminimalisir bahkan tidak melakukan kesalahan2 yang bisa di perbuat oleh nya.
Sepemahaman saya, (CMIIW) Mr. Ryu, Seperti yang TS sampaikan ia tergelitik oleh pernyataan yang mengatakan tidak ada kekerasan dalam sejarah buddhisme, ia mengacu pada pernyataan Pak Fabian yang mengatakan: "tak pernah setetes darahpun ditumpahkan demi perkembangan agama Buddha" di topik Akhirnya Quran di bakar.
Pemahaman saya, Pak Fab tidak mengacu pada sejarah Buddhisme secara menyeluruh, tetapi pada perkembangan atau cara menyebarluaskan ajarannya. Jika alasan topik ini adalah pernyataan Pak Fab tersebut, sepertinya topik ini tidak nyambung. Tapi kalau lepas dari pernyataan tersebut ya nyambung-nyambung saja, karena sejarahnya memang demikian.
ya sepertinya ada salah paham.
Quote from: ryu on 18 September 2010, 10:00:31 PM
Quote from: fabian c on 18 September 2010, 09:23:47 PM
Saya tak pernah mendengar ada kasus seorang Bhikkhu menjadi penasehat perang di medan perang, atau menganjurkan perang untuk menyebarkan ajaran.
_/\_
Buddhists at War
Buddhist scholars say there is no justification for war in Buddhist teaching. Yet Buddhism has not always separated itself from war. There is historic documentation that in 621 CE monks from the Shaolin Temple of China fought in a battle that helped establish the Tang Dynasty. In centuries past, the heads of Tibetan Buddhist schools formed strategic alliances with Mongol warlords and reaped benefits from the warlords' victories.
The links between Zen Buddhism and samurai warrior culture were partly responsible for the shocking collusion of Zen and Japanese militarism in the 1930s and 1940s. For several years a virulent jingoism seized Japanese Zen, and teachings were twisted and corrupted to excuse killing. Zen institutions not only supported Japanese military aggression but raised money to manufacture war planes and weapons.
Observed from a distance of time and culture, these actions and ideas are inexcusable corruptions of dharma, and any "just war" theory that arose from them were the products of delusion. This episode serves as a lesson to us not to be swept up in the passions of the cultures we live in. Of course, in volatile times that is easier said than done.
In recent years Buddhist monks have been leaders of political and social activism in Asia. The Saffron Revolution in Burma and the March 2008 demonstrations in Tibet are the most prominent examples. Most of these monks are committed to nonviolence, although there are always exceptions. More troubling are the monks of Sri Lanka who lead the Jathika Hela Urumaya, "National Heritage Party," a strongly nationalist group that advocates a military solution to Sri Lanka's ongoing civil war.
http://buddhism.about.com/od/basicbuddhistteachings/a/war.htm
Ya...ya... maaf saya lupa... komentar saya hanya saya tujukan bagi tradisi Theravada.... karena sejarah tradisi Mahayana saya kurang paham.
Kekerasan dan intoleransi juga pernah terjadi dengan pembakaran mesjid di Yangon, walaupun rumor mengatakan bahwa yang melakukannya termasuk tentara berpakaian Bhikkhu. Tapi kalau tak salah tak ada pembunuhan.
Kasus-kasus Srilangka maupun Myanmar menurut saya bukan merupakan aksi misionaris yang bertujuan mengembangkan agama. Mohon dikoreksi bila salah.
_/\_
Quote from: morpheus on 18 September 2010, 04:32:00 AM
[spoiler]Quote from: Jerry on 17 September 2010, 07:27:39 PM
Dari mana dikatakan kelompok arahat mengutus 8 orang dari mereka? Cuma dikatakan mengutus 8 holy monks dan sejauh saya baca tidak ditandaskan "dari mereka".
seluruh skolar (buddhis lho!) yang saya baca mengatakan mereka adalah arahat.
mari kita baca terjemahan Wilhelm Geiger yang merupakan terjemahan yang selalu dipakai untuk mahavamsa:
Sitting then on the terrace of the royal palace, adorned, lighted with fragrant lamps and filled with many a perfume, magnificent with nymphs in the guise of dancing-girls, while he rested on his soft and fair couch, covered with costly draperies, he, looking back upon his glorious victory, great though it was, knew no joy, remembering that thereby was wrought the destruction of millions (of beings).
When the arahants in Piyangudipa knew his thought they sent eight arahants to comfort the king. And they, coming in the middle watch of the night, alighted at the palace-gate. Making known that they were come thither through the air they mounted to the terrace of the palace.
The great king greeted them, and when he had invited them to be seated and had done them reverence in many ways he asked the reason of their coming. `We are sent by the brotherhood at Piyangudipa to comfort thee, O lord of men.'
And thereon the king said again to them: `How shall there be any comfort for me, O venerable sirs, since by me was caused the slaughter of a great host numbering millions?'
`From this deed arises no hindrance in thy way to heaven. Only one and a half human beings have been slain here by thee, O lord of men. The one had come unto the (three) refuges, the other had taken on himself the five precepts Unbelievers and men of evil life were the rest, not more to be esteemed than beasts. But as for thee, thou wilt bring glory to the doctrine of the Buddha in manifold ways; therefore cast away care from thy heart, O ruler of men!'
semoga jelas... [/spoiler]
Sebelumnya saya ada mengatakan kemungkinan tentang penulis kitab yang telah bersikap subjektif. Contoh dari yang saya maksudkan di atas, misalnya: bahwa belum tentu mereka arahanta, tetapi itu ditambahkan demi mendramatisir ceritanya.
Quote from: morpheus on 18 September 2010, 04:32:00 AM
[spoiler]Quote from: Jerry on 17 September 2010, 07:27:39 PM
Oleh karenanya dalam menilai, agar tidak terpengaruh subjektifitas perasaan n pemikiran maka saya mengusulkan pendekatan "presume innocent until proven guilty." Berbeda dengan Ncek Morph yang menggunakan "presume guilty until proven innocent." Jika pendekatannya seperti Ncek Morph demikian, maka Mahavamsa pasti sudah terbukti salah!! Karena ketidakbersalahannya tidak akan pernah diketahui.
Apa pun itu, saya rasa kita setuju bahwa dalam Buddhisme (menurut Sang Buddha bukan murid-muridnya) tidak ada tempat bagi politisasi agama dalam menjustifikasi perang.
aiyoh, bang jerry, bang jerry... yang anda bahasakan sebagai praduga tak bersalah itu tidak lain adalah pendekatan iman / kepercayaan. kenapa anda tidak memakai praduga tidak bersalah terhadap kepercayaan agama lain seperti tuhan, dll? karena anda seorang buddhis kan?
seperti halnya arahat atau bukan arahat tadi. iman anda condong mencari pembelaan dan percaya mereka bukanlah arahat dan condong tidak mempercayai morpheus... bukankah begitu? kenapa anda tidak memakai praduga gak bersalah juga terhadap morpheus? karena yang saya katakan tidak sesuai dengan iman anda kan?
pendekatan yang lebih objektif adalah melihat fakta dan buktinya, baru menilai... [/spoiler]
Haiya.. Ncek Morph kan ngga tau bagaimana pencarian saya dalam mengenal Buddhism. Saya pernah memakai asas praduga tak bersalah koq terhadap ajaran lain seperti Tuhan, bahkan waktu kecil saya pernah koq percaya Tuhan ada. Bahkan sekarang pun saya bukan tipe atheis dan radikal yang akan menentang setiap orang yang percaya terhadap Tuhan.
Ketika saya menolak pendapat Ncek Morph, saya melakukan bukan karena "asas praduga bersalah" terhadap Morpheus melainkan menurut saya tidak mungkin kita dapat mengetahui kebenaran dari sejarah 2000 tahun lalu tersebut selain hanya saduran cerita yang isinya: "konon menurut ini, konon menurut itu, konon mereka arahat dan konon mereka berkata demikian" Dan sama pula ketika ada yang bilang ini itu berdasarkan "konon" itu, menurut saya pendapat demikian tidak memiliki dasar yang kuat karena hanya sebuah tudingan yang dibangun di atas "ke-konon-an". Itu lah yang saya tolak, bukannya menolak pribadi dari Ncek Morph. Sah-sah saja dong saya meragukan kualitas kearahatan mereka, meragukan mereka ada mengucapkan demikian dan meragukan pendapat tertentu?
Soal iman, saya tidak beriman pada Mahavamsa, Saya beriman pada Sang Buddha dan ajarannya. Tetapi tujuan saya nimbrung hanya untuk menawarkan perspektif lain, jika ada yang setuju dengan saya silakan. Jika tidak juga tidak apa-apa. :)
Faktanya: Elara tewas terbunuh Dutugemunu. Dan Dutugemunu tidak menindaklanjuti ucapan "konon" Arahat itu.
Buktinya: Dutugemunu tidak menyiksa para Tamil yang tinggal di Sri Lanka, pun tidak menyerbu ke India yang seharusnya adalah para non-believer dan tidak lebih berharga dari binatang.
Penilaian: ucapan para "konon" Arahat boleh diragukan. Demikian pula kualitas kearahatan mereka.
Semoga fakta, bukti dan penilaian menurut saya cukup memuaskan Ncek Morph. :)
Quote from: morpheus on 18 September 2010, 04:37:43 AM
[spoiler]Quote from: Jerry on 17 September 2010, 08:08:58 PM
Saya yakin hal ini akan sulit mendapat tempat dalam Buddhisme, Om Morph. Meski bagi sebagian buddhis dapat dibenarkan, tetapi dalam sumber mata air termurni Buddhisme - ucapan Sang Buddha dalam Nikaya Pali - sendiri tidak termuat atau mendukung hal demikian. Jangan lupa perang terus berkelanjutan juga bukan karena kedua belah pihak saja, tetapi juga dari luar - terutama para pedagang senjata, misionaris dan pihak2 yang berkepentingan.
saya tahu dan setuju itu, bang jerry.
Sang Buddha yang suci dan tercerahkan sempurna tidak mungkin menganjurkan dan mendukung pembunuhan seperti ini.
tapi bagaimanapun kitab ini mendapat tempat yang terhormat di kalangan srilankan. bukan tidak mungkin bisa dijadikan acuan untuk memerangi orang yang tidak seiman. [/spoiler]
Kitab ini mendapat tempat terhormat di kalangan Sinhalese, tetapi tidak berarti kalimat dari para "konon" arahat itu juga mendapat tempat terhormat. Ketika menolak ucapan mereka, bukan berarti pula orang HARUS menolak keseluruhan kitab itu. Semoga dimengerti.
Dan seperti saya telah kutipkan sebelumnya ada 5 kriteria, jika mereka ragu terhadap ucapan para "konon" arahat itu, mereka dapat mempertimbangkan:
1. Membandingkannya dengan teks yang dikutip;
2. Melalui 'selera', yaitu: apakah sesuai dengan teks-teks lain?;
3. Apakah sesuai dengan ajaran para guru?;
4. Setelah menimbang pendapatnya sendiri, yaitu apakah sesuai dengan pengalamanku sendiri?;
5. Dengan gabungan semua cara itu.
Dengan demikian, ucapan para "konon" arahat itu tidak akan sampai menjadi acuan untuk memerangi kaum non-believer.
Quote from: morpheus on 18 September 2010, 04:58:17 AM
[spoiler]Quote from: Jerry on 17 September 2010, 08:23:57 PM
Mengapa sebelumnya saya katakan bahwa ada kemungkinan ucapan para bhikkhu itu adalah sebuah skillful means? Karena secara umum ucapan mereka bisa terdengar kasar, namun bisa mengandung penafsiran dan pengertian lain.
"Dianggap tidak lebih dari binatang" secara umum akan terdengar kasar dan berbahaya. Tetapi jika diselidiki lebih lanjut menurut Tipitaka, bagaimana pandangan Buddhisme terhadap binatang? Kenyataannya ada banyak khotbah dan pernyataan Sang Buddha untuk menghargai semua makhluk termasuk pula binatang. Misalnya dalam Dhammapada ayat 129:
"Semua makhluk hidup takut dipukul. Semua makhluk hidup takut dibunuh. Menempatkan diri seseorang dalam posisi orang lain, maka janganlah seseorang membunuh atau menyebabkan yang lain membunuh."
Penafsirannya dan korelasinya terhadap ucapan para bhikkhu di atas adalah: Jika nyawa para binatang (sebagaimana semua makhluk lainnya) dihargai, maka ketika dikatakan bahwa para non-believers "dianggap tidak lebih dari binatang" berarti bisa pula diartikan sama berharganya dengan nyawa binatang, yang berarti pula sama berharganya dengan nyawa semua makhluk lain. Language is tricky. ;)
mari kita baca lagi ayat di atas (kita pake terjemahan yg disuka aja deh, walaupun jadinya agak aneh):
"Dari perbuatan ini tidak ada hambatan untuk masuk sorga. Hanya
satu dan setengah orang telah Anda bunuh di sini, wahai Penguasa
manusia. Yang seorang telah menganut (tiga) perlindungan, dan yang
lain telah menganut kelima sila. Selebihnya adalah orang-orang tidak seagama dan
orang-orang yang hidupnya jahat, tidak perlu dihargai, tidak lebih tinggi/terhormat
dari binatang. Tetapi untuk Anda, Anda akan membawa kemuliaan ajaran Sang
Buddha dengan banyak cara; oleh karena itu, buanglah penyesalan
dalam hati Anda, O Penguasa manusia!" Demikianlah, setelah
mendapat khotbah dari mereka, raja besar itu bersenang hati."
konteksnya sangat jelas di paragraf di atas. terdapat perbandingan di sana antara "orang" dengan "binatang".
apabila anda masih mikir ini tidak kasar, tidak merendahkan dan tidak menjustify kekerasan terhadap non-buddhis, saya tidak bisa berkata apa2 lagi... [/spoiler]
Untuk mempersingkat waktu, saya iya aja deh, Ncek.. :)
be happy,
_/\_
Maafkan saya yang agak lama utk menyampaikan arti palinya, karena listrik padam seharian, sore baru nyala padahal sudah dekat waktunya puja bakti sore, jadi baru bisa ketik sore dan malam ini baru jadi, untuk memenuhi janji saya yang kemarin, walau kelihatannya udah sangat larut malam, tapi beda waktu dengan sini (srilanka), jadi saya tetap posting untuk memenuhi janji.
Saya belum menguasai sekali Pali, disini ada banyak member ahli Pali, menjadikan saya jadi malu, tetapi untuk membuat diskusi kemarin sedikit ada tambahan pandangan jadi saya lampirkan terjemahan versi saya, ini saya terjemahkan dulu kata demi kata, sehingga pembaca mendapat gambaran, selanjutnya saya terjemahkan sendiri menurut pandangan saya, tetapi bukan merupakan terjemahan sempurna, sekali lagi saya tekankan ini bukan terjemahan yang sempurna karena saya bukan ahli pali, versi saya yang masih jauh dari sempurna :
Versi Wilhelm Geiger (hampir semua buku2 pali adalah terjemahan beliau)
Quote
When the king Dutthagamani had had a relic put into his spear he
marched to Tissamaharama, and having shown favour to the brotherhood
he said: "I will go on to the land on the further side of river to
bring glory to the doctrine. Give us, that we may treat them with
honour, bhikkhus who shall go on with Us, since the sight of the
bhikkhus is blessing and protection for us." (Mahavamsa 25.1-4)
pengartian kata demi kata :
Quote
1.Duṭṭhagāmaṇirājā'tha (and/and also/and then/now King Duṭṭhagāmaṇi) , katvāna (will do) janasaṅgahaṃ (sangha's members);
Kunte (at scepter lance) dhātuṃ (relic) nidhāpetvā (having keeping), sayoggabalavāhano (with/possessed of/having, wagon/carriage, carrying/drawing). [having kept relic at the scepter lance King Duṭṭhagāmaṇi then will carrying sangha's members]
2.Gantvā (having gone) tissamahārāmaṃ (the great park Tissa/The Great Tissa's arama), vanditvā (having worship) saṅghamabravi (to say/to tell to the sangha);
''Pāragaṅgaṃ (beyond/over/across the river) gamissāmi (I will go), jotetuṃ (to make clear/to shine/to luminous) sāsanaṃ (teaching, message) ahaṃ (I).
[having gone to Tissamahārāma (this ancient place until now still preserve), worshipped and tell to the sangha : I will go to across the river to make luminous sāsana (we can using the term sāsana)]
3.Sakkātuṃ (to honour, to treat with respect, to receive hospitably) bhikkhavo (bhikkhu) detha (shall we give), amhehi (on us) sahagāmino (with leading to);
Maṅgalañceva (happiness) rakkhā ca (and protection), bhikkhūnaṃ (Bhikkhus) dassanaṃ (looking, seeing) hino (poor, low).
[To honour bhikkhu shall we give, on us (poor one/low one) with seeing Bhikkhus leading to happiness and protection]
4.Adāsi (give) daṇḍakammatthaṃ (to cut/split/work into something), saṅgho (multitude, an assemblage) pañcasataṃ yatī (500 monks);
Bhikkhusaṅghatamādāya (taking up community of bhikkhus), tato (from this, thence, thereupon, further, afterwards) nikkhamma (to retire from the world, to give up evil desire) bhūpati (king).
[Further King split an assemblage 500 monks taking up community of bhikkhus who one given up evil desire]
[having kept relic at the scepter lance King Duṭṭhagāmaṇi then will carrying sangha's members went to Tissamahārāma (this ancient place until now still preserve), worshipped and tell to the sangha : I will go to across the river to make luminous sāsana (we can using the term sāsana), to honour bhikkhu shall we give, on us (poor one/low one) with seeing Bhikkhus leading to happiness and protection. Further King split an assemblage 500 monks taking up community of bhikkhus who one given up evil desire]
[setelah meletakkan relic di ujung tongkat kerajaan (Kunte jaya disini sebenarnya adalah tongkat kerajaan), King Duṭṭhagāmaṇi ingin membawa anggota Sangha bersamanya, selanjutnya pergi ke Vihara Tissamahārāma (Vihara kuno ini hingga saat ini masih terpelihara) setelah bernamaskara kemudian berkata kepada sangha : "Saya akan menyeberangi sungai untuk Kejayaan Sāsana, Kami harus menghormati para Bhikkhu, bagi kami yang rendah ini dengan melihat para Bhikkhu telah membawa kebahagiaan dan perlindungan". Selanjutnya raja membawa sejumlah 500 bhikkhu dari komunitas bhikkhu yang telah bebas dari nafsu2 jahat]
Versi Wilhelm Geiger :
Quote
"From this deed arises no hindrance in thy way to heaven. Only one
and a half human beings have been slain here by thee, O lord of men.
The one had come unto the (three) refuges, the other had taken on
himself the five precepts. Unbelievers and men of evil life were the
rest, not more to be esteemed than beasts. But as for thee, thou
wilt bring glory to the doctrine of the Buddha in manifold ways;
therefore cast away care from thy heart, O ruler of men!" Thus
exhorted by them the great king took comfort. (Mahavamsa 25:109-112)
menerjemahkan kata demi kata :
Quote
109. ''Saggamaggantarāyo (between/inside the way to heaven) ca (and), natthi (is not) te (they) tena (there) kammunā (through deeds regarded as a hindrance);
Dīyaḍḍha (1½) manujā (human being) ce'ttha (if here), ghātitā (to kill, to slay) manujādhipa (lord of men, a king).
[there the way to heaven and is not through this deeds regarded as a hindrance lord of men (a king) is 1½ human being if here to kill]
110. Saraṇesu (on refuge/on protection) ṭhito (one who stays/stood) eko (one), pañcasīlepi (also in 5 precepts) cā'paro (and another/other);
Micchādiṭṭhi (wrong view) ca (and) dussīlo (immorally), sesā (remain) pasusamāmatā (considered like beasts).
[one who stays (stood) on refuge (taking refuge to Buddha.Dhamma,Sangha) and also 5 precepts, and other remain considered like beasts had wrong view and immorally]
Versi Wilhelm Geiger :
Quote
"Dari perbuatan ini tidak ada hambatan untuk masuk sorga. Hanya
satu dan setengah orang telah Anda bunuh di sini, wahai Penguasa
manusia. Yang seorang telah menganut (tiga) perlindungan, dan yang
lain telah menganut kelima sila. Selebihnya adalah orang-orang kafir dan
orang-orang yang hidupnya jahat, tidak perlu dihargai, layaknya
binatang. Tetapi untuk Anda, Anda akan membawa kemuliaan ajaran Sang
Buddha dengan banyak cara; oleh karena itu, buanglah penyesalan
dalam hati Anda, O Penguasa manusia!" Demikianlah, setelah
mendapat khotbah dari mereka, raja besar itu bersenang hati."
(Mahavamsa 25:109-112)
[there the way to heaven and is not through this deeds regarded as a hindrance lord of men (a king) is 1½ human being if here to kill, one who stays (stood) on refuge (taking refuge to Buddha.Dhamma,Sangha) and also 5 precepts, and other remain considered like beasts had wrong view and immorally]
[Ada jalan ke surga dan bukan dari kamma ini yg dianggap sebagai rintangan wahai raja yang merupakan 1½ manusia karena membunuh, raja merupakan ½manusia ketika mengambil perlindungan Buddha,Dhamma,Sangha dan 1manusia ketika menjalankan Lima Sila sedangkan yang lain sepanjang hidupnya (sesā : remain, sepanjang hidup) memiliki pandangan salah dan tidak bermoral seperti layaknya binatang].
Jadi yang disebut like beast disini adalah hidup orang tsb tidak bermoral dan memiliki pandangan salah, bukan nyawa dia yg setara binatang (Micchādiṭṭhi ca dussīlo sesā pasusamāmatā). Arti kata pasusamāmatā memang seperti layaknya binatang, tapi mohon lihat kalimat utuh, bhw sepanjang hidupnya mereka adalah orang2 yg tidak bermoral dan memiliki pandangan salah yang seperti layaknya binatang, jadi bukan nyawa dia yang setara binatang tapi kehidupan dia yg setara binatang krn tidak bermoral.
Bagi yang mempertanyakan mengapa membawa Kunte (Tongkat Kerajaan : nama asli memang Kunte Jaya/tongkat kejayaan kerajaan), karena dijaman dahulu siapapun Raja di seluruh dunia bila pergi berperang maka membawa "Tongkat Kejayaan Kerajaan". Sedang yang ingin membaca kelanjutan cerita silahkan membaca versi asli palinya maka akan menemukan kata "asina" ini artinya pedang/sword, jadi Raja menggunakan asina/sword dlm berperang bukan Kunte (Kunte Jaya).
Selanjutnya saya tidak mengikuti dulu kelanjutan diskusi ini karena sudah tidak ada cukup waktu santai (ujian full 2 minggu).
mettacittena,
ada sedikit tambahan, saya ada sempat baca salah satu posting TS yg menyatakan jangan hanya sepihak saja, ttp harus adil melihat dua sisi, oke bisa saya terima, kita memang tidak boleh menjudge hanya dari satu sisi, tapi sory besok aja ya diskusinya klo ujian udah selesai bro.
hanya mo nitip sedikit pesan : "kita tentu ingat dg lagu anak2 nenek moyangku orang pelaut (nenek khan ga mungkin melaut), kita telah terkenal ribuan tahun menjelajahi samudera hingga Madagaskarpun pernah menjadi milik Indonesia di Jaman Mojopahit, bahkan negara Burma maupun Campa (Thai), nah berarti kitapun bisa mengklaim itu tanah air kita, begitukah?"
karena Tamil pun mengklaim Srilanka adalah tanah airnya, jadi kitapun bisa mengklaim Madagaskar tanah air kita. tapi sorry bro.... lanjut besok setelah selesai ujian.
mettacittena,
Namaste Neri,
Thanks Neri.. Kita tertolong banget dengan adanya Neri yang bisa menerjemahkan dari source asli sehingga membantu dalam menerangi kabut ketidaktahuan saya dan yang lain di sini. Jadi usaha Neri sudah sangat sangat membantu, mohon jangan mengecilkan diri sendiri di sini. Compare to us, kita ini ga ada apa-apanya dibanding Neri. Thanks sekali lagi.
Jadi maksud Neri bukan nyawa orangnya yang seperti binatang melainkan perilakunya yang tak bermoral (tanpa sila) dan pandangan salah (tanpa kebijaksanaan) itu lah yang menjadikan mereka seperti hewan ya.. Ini senada dengan yang Bro Kain kutipkan: "Karena manusia dinilai dari sila dan kebijaksanaan, maka memang benar tanpa sila dan kebijaksanaan, manusia tidak ada bedanya dengan binatang." Tidak jauh berbeda dari satu sutta dalam Digha Nikaya mengenai kualitas seorang brahmana.
be happy
_/\_
sorry kalo threadnya terbengkalai. baru ada waktu buat baca dan nulis.
saya balas cepat saja di bawah.
kelana:
soal kata demi kata, menurut saya hal yang remeh. tidak lebih tinggi dari binatang, ya artinya sama sejajar dengan binatang, layaknya binatang. saya gak balas lagi soal ini. saya udah bilang ke om fabian, pake terjemahan yg anda suka. main ideanya ya tetep sama.
kelana + fabian + ryu:
inspirasinya dari post anda, berlanjut ke google tapi bukan berarti thread ini untuk menanggapi pernyataan anda, makanya saya gak kutip.
ide thread ini dari awal sampai akhirnya relevan dengan judul thread. tidak ada salah paham.
jerry:
saya gak tau mo reply apa. iya juga deh, om. saya masih gak tau kesimpulan tulisan anda yg banyak itu apa. isinya bolak balik. menurut anda, arahat atau bukan?
Quote from: pannadevi on 19 September 2010, 12:30:23 AM
Versi Wilhelm Geiger :
Quote
"Dari perbuatan ini tidak ada hambatan untuk masuk sorga. Hanya
satu dan setengah orang telah Anda bunuh di sini, wahai Penguasa
manusia. Yang seorang telah menganut (tiga) perlindungan, dan yang
lain telah menganut kelima sila. Selebihnya adalah orang-orang kafir dan
orang-orang yang hidupnya jahat, tidak perlu dihargai, layaknya
binatang. Tetapi untuk Anda, Anda akan membawa kemuliaan ajaran Sang
Buddha dengan banyak cara; oleh karena itu, buanglah penyesalan
dalam hati Anda, O Penguasa manusia!" Demikianlah, setelah
mendapat khotbah dari mereka, raja besar itu bersenang hati."
(Mahavamsa 25:109-112)
[there the way to heaven and is not through this deeds regarded as a hindrance lord of men (a king) is 1½ human being if here to kill, one who stays (stood) on refuge (taking refuge to Buddha.Dhamma,Sangha) and also 5 precepts, and other remain considered like beasts had wrong view and immorally]
[Ada jalan ke surga dan bukan dari kamma ini yg dianggap sebagai rintangan wahai raja yang merupakan 1½ manusia karena membunuh, raja merupakan ½manusia ketika mengambil perlindungan Buddha,Dhamma,Sangha dan 1manusia ketika menjalankan Lima Sila sedangkan yang lain sepanjang hidupnya (sesā : remain, sepanjang hidup) memiliki pandangan salah dan tidak bermoral seperti layaknya binatang].
Jadi yang disebut like beast disini adalah hidup orang tsb tidak bermoral dan memiliki pandangan salah, bukan nyawa dia yg setara binatang (Micchādiṭṭhi ca dussīlo sesā pasusamāmatā). Arti kata pasusamāmatā memang seperti layaknya binatang, tapi mohon lihat kalimat utuh, bhw sepanjang hidupnya mereka adalah orang2 yg tidak bermoral dan memiliki pandangan salah yang seperti layaknya binatang, jadi bukan nyawa dia yang setara binatang tapi kehidupan dia yg setara binatang krn tidak bermoral.
Bagi yang mempertanyakan mengapa membawa Kunte (Tongkat Kerajaan : nama asli memang Kunte Jaya/tongkat kejayaan kerajaan), karena dijaman dahulu siapapun Raja di seluruh dunia bila pergi berperang maka membawa "Tongkat Kejayaan Kerajaan". Sedang yang ingin membaca kelanjutan cerita silahkan membaca versi asli palinya maka akan menemukan kata "asina" ini artinya pedang/sword, jadi Raja menggunakan asina/sword dlm berperang bukan Kunte (Kunte Jaya).
makasih buat samaneri yg udah capek2 menyempatkan diri menerjemahkan palinya... maaf kalo merepotkan.
maaf, kalo saya menilai terjemahan kata per kata plus keseluruhan inggris berbeda dengan kesimpulan anda.
dalam terjemahan anda, saya melihat:
* ternyata benar, inggrisnya geiger bukan kata per kata dari pali. samaneri sendiri melihat dari kamus menterjemahkan dengan kata "considered like beasts".
* wrong view di sini mengacu pada orang yg sesat, tidak belajar agama buddha. dengan kata lain, non-buddhis
* immoral di sini mengacu pada orang yg tidak menerima pancasila. dengan kata lain: non-buddhis
* "remain" di sana mengacu pada "sisanya" atau "yg lain2" di luar satu setengah manusia tadi
cmiiw.
saya melihat main idea terjemahan anda dan terjemahan geiger sama saja.
ada perbandingan antara satu setengah "manusia" dan remain non-buddhist yg considered like beasts.
tetap ada ide pembedaan derajad buddhis dan non-buddhis serta kematian non-buddhis yg tidak perlu disesalkan.
jerry dan samaneri, tampaknya kita bakal berkutat di perbedaan pendapat ini-ini saja.
Quote from: pannadevi on 19 September 2010, 12:55:29 AM
ada sedikit tambahan, saya ada sempat baca salah satu posting TS yg menyatakan jangan hanya sepihak saja, ttp harus adil melihat dua sisi, oke bisa saya terima, kita memang tidak boleh menjudge hanya dari satu sisi, tapi sory besok aja ya diskusinya klo ujian udah selesai bro.
hanya mo nitip sedikit pesan : "kita tentu ingat dg lagu anak2 nenek moyangku orang pelaut (nenek khan ga mungkin melaut), kita telah terkenal ribuan tahun menjelajahi samudera hingga Madagaskarpun pernah menjadi milik Indonesia di Jaman Mojopahit, bahkan negara Burma maupun Campa (Thai), nah berarti kitapun bisa mengklaim itu tanah air kita, begitukah?"
karena Tamil pun mengklaim Srilanka adalah tanah airnya, jadi kitapun bisa mengklaim Madagaskar tanah air kita. tapi sorry bro.... lanjut besok setelah selesai ujian.
samaneri, sekadar menegaskan. srilanka bukan tanah air saya dan saya bukan etnis tamil. sengketa sinhala dan tamil bukan urusan saya.
saya gak tau cerita pihak mana yang benar. terus terang saja, saya tidak mau mempercayai salah satu kubu, karena saya yakin persoalannya rumit, balas membalas dan kedua2nya punya salah.
saya merasa perbandingan anda kurang tepat. menurut info yg saya terima, tamil sudah tinggal di tanah itu udah beribu2 tahun hingga sekarang. "bermukim" tidak sama dengan "menjelajahi". mungkin saja ada nenek moyang kita yang menetap di madagaskar dan menjadikan itu tanah air mereka. sah2 saja.
idealnya sih, sengketa tanah ini terjadi di mana2 dan sangat indah kalo bisa diselesaikan dengan berbagi... tapi kenyataannya manusia memilih untuk menumpahkan darah...
Quote from: morpheus on 19 September 2010, 04:57:44 AM
Quote from: pannadevi on 19 September 2010, 12:30:23 AM
Versi Wilhelm Geiger :
Quote
"Dari perbuatan ini tidak ada hambatan untuk masuk sorga. Hanya
satu dan setengah orang telah Anda bunuh di sini, wahai Penguasa
manusia. Yang seorang telah menganut (tiga) perlindungan, dan yang
lain telah menganut kelima sila. Selebihnya adalah orang-orang kafir dan
orang-orang yang hidupnya jahat, tidak perlu dihargai, layaknya
binatang. Tetapi untuk Anda, Anda akan membawa kemuliaan ajaran Sang
Buddha dengan banyak cara; oleh karena itu, buanglah penyesalan
dalam hati Anda, O Penguasa manusia!" Demikianlah, setelah
mendapat khotbah dari mereka, raja besar itu bersenang hati."
(Mahavamsa 25:109-112)
[there the way to heaven and is not through this deeds regarded as a hindrance lord of men (a king) is 1½ human being if here to kill, one who stays (stood) on refuge (taking refuge to Buddha.Dhamma,Sangha) and also 5 precepts, and other remain considered like beasts had wrong view and immorally]
[Ada jalan ke surga dan bukan dari kamma ini yg dianggap sebagai rintangan wahai raja yang merupakan 1½ manusia karena membunuh, raja merupakan ½manusia ketika mengambil perlindungan Buddha,Dhamma,Sangha dan 1manusia ketika menjalankan Lima Sila sedangkan yang lain sepanjang hidupnya (sesā : remain, sepanjang hidup) memiliki pandangan salah dan tidak bermoral seperti layaknya binatang].
Jadi yang disebut like beast disini adalah hidup orang tsb tidak bermoral dan memiliki pandangan salah, bukan nyawa dia yg setara binatang (Micchādiṭṭhi ca dussīlo sesā pasusamāmatā). Arti kata pasusamāmatā memang seperti layaknya binatang, tapi mohon lihat kalimat utuh, bhw sepanjang hidupnya mereka adalah orang2 yg tidak bermoral dan memiliki pandangan salah yang seperti layaknya binatang, jadi bukan nyawa dia yang setara binatang tapi kehidupan dia yg setara binatang krn tidak bermoral.
Bagi yang mempertanyakan mengapa membawa Kunte (Tongkat Kerajaan : nama asli memang Kunte Jaya/tongkat kejayaan kerajaan), karena dijaman dahulu siapapun Raja di seluruh dunia bila pergi berperang maka membawa "Tongkat Kejayaan Kerajaan". Sedang yang ingin membaca kelanjutan cerita silahkan membaca versi asli palinya maka akan menemukan kata "asina" ini artinya pedang/sword, jadi Raja menggunakan asina/sword dlm berperang bukan Kunte (Kunte Jaya).
makasih buat samaneri yg udah capek2 menyempatkan diri menerjemahkan palinya... maaf kalo merepotkan.
maaf, kalo saya menilai terjemahan kata per kata plus keseluruhan inggris berbeda dengan kesimpulan anda.
dalam terjemahan anda, saya melihat:
* ternyata benar, inggrisnya geiger bukan kata per kata dari pali. samaneri sendiri melihat dari kamus menterjemahkan dengan kata "considered like beasts".
* wrong view di sini mengacu pada orang yg sesat, tidak belajar agama buddha. dengan kata lain, non-buddhis
* immoral di sini mengacu pada orang yg tidak menerima pancasila. dengan kata lain: non-buddhis
* "remain" di sana mengacu pada "sisanya" atau "yg lain2" di luar satu setengah manusia tadi
cmiiw.
saya melihat main idea terjemahan anda dan terjemahan geiger sama saja.
ada perbandingan antara satu setengah "manusia" dan remain non-buddhist yg considered like beasts.
tetap ada ide pembedaan derajad buddhis dan non-buddhis serta kematian non-buddhis yg tidak perlu disesalkan.
jerry dan samaneri, tampaknya kita bakal berkutat di perbedaan pendapat ini-ini saja.
Bro Morpheus yang baik, Seseorang mungkin berlindung pada Tiratana jadi umat Buddha, tetapi bukan berarti ia terbebas dari pandangan salah dan memiliki pandangan benar. Banyak contohnya.
Seseorang mungkin menerima Pancasila tetapi belum tentu menjalankannya, juga mungkin saja seseorang tidak menerima Pancasila, tetapi hidupnya selaras dengan Pancasila. Jadi immoral bisa non-Buddhist dan bisa juga Buddhist. Banyak contohnya.
_/\_
Quote from: fabian c on 18 September 2010, 10:28:32 PM
Quote from: ryu on 18 September 2010, 10:00:31 PM
Quote from: fabian c on 18 September 2010, 09:23:47 PM
Saya tak pernah mendengar ada kasus seorang Bhikkhu menjadi penasehat perang di medan perang, atau menganjurkan perang untuk menyebarkan ajaran.
_/\_
Buddhists at War
Buddhist scholars say there is no justification for war in Buddhist teaching. Yet Buddhism has not always separated itself from war. There is historic documentation that in 621 CE monks from the Shaolin Temple of China fought in a battle that helped establish the Tang Dynasty. In centuries past, the heads of Tibetan Buddhist schools formed strategic alliances with Mongol warlords and reaped benefits from the warlords' victories.
The links between Zen Buddhism and samurai warrior culture were partly responsible for the shocking collusion of Zen and Japanese militarism in the 1930s and 1940s. For several years a virulent jingoism seized Japanese Zen, and teachings were twisted and corrupted to excuse killing. Zen institutions not only supported Japanese military aggression but raised money to manufacture war planes and weapons.
Observed from a distance of time and culture, these actions and ideas are inexcusable corruptions of dharma, and any "just war" theory that arose from them were the products of delusion. This episode serves as a lesson to us not to be swept up in the passions of the cultures we live in. Of course, in volatile times that is easier said than done.
In recent years Buddhist monks have been leaders of political and social activism in Asia. The Saffron Revolution in Burma and the March 2008 demonstrations in Tibet are the most prominent examples. Most of these monks are committed to nonviolence, although there are always exceptions. More troubling are the monks of Sri Lanka who lead the Jathika Hela Urumaya, "National Heritage Party," a strongly nationalist group that advocates a military solution to Sri Lanka's ongoing civil war.
http://buddhism.about.com/od/basicbuddhistteachings/a/war.htm
Ya...ya... maaf saya lupa... komentar saya hanya saya tujukan bagi tradisi Theravada.... karena sejarah tradisi Mahayana saya kurang paham.
Kekerasan dan intoleransi juga pernah terjadi dengan pembakaran mesjid di Yangon, walaupun rumor mengatakan bahwa yang melakukannya termasuk tentara berpakaian Bhikkhu. Tapi kalau tak salah tak ada pembunuhan.
Kasus-kasus Srilangka maupun Myanmar menurut saya bukan merupakan aksi misionaris yang bertujuan mengembangkan agama. Mohon dikoreksi bila salah.
_/\_
kalau mengenai perbudakan di tibet bagaimana?
lupa lagi dulu pernah di post sama truth lover kalau gak salah ;D
Quote from: morpheus on 19 September 2010, 04:33:11 AM
kelana:
soal kata demi kata, menurut saya hal yang remeh. tidak lebih tinggi dari binatang, ya artinya sama sejajar dengan binatang, layaknya binatang. saya gak balas lagi soal ini. saya udah bilang ke om fabian, pake terjemahan yg anda suka. main ideanya ya tetep sama.
Ya sudah terserah Sdr. Morp saja. Tapi bagi saya tetap berbeda tingkat pengertiannya karena didahului dengan kalimat: "tidak perlu dihargai" dan sudah saya sampaikan alasannya. Jadi tugas saya sudah selesai.
Quotekelana + fabian + ryu:
inspirasinya dari post anda, berlanjut ke google tapi bukan berarti thread ini untuk menanggapi pernyataan anda, makanya saya gak kutip.
ide thread ini dari awal sampai akhirnya relevan dengan judul thread. tidak ada salah paham.
Iya saya tahu, karena judul topiknya saja sudah berbeda. Oleh karenanya saya sampaikan kepada Sdr. Ryu: "Jika alasan topik ini adalah pernyataan Pak Fab tersebut, sepertinya topik ini tidak nyambung. Tapi kalau lepas dari pernyataan tersebut ya nyambung-nyambung saja, karena sejarahnya memang demikian."
Dan tetap pada pendapat saya, ini hanyalah masalah politisasi agama.
Topik ini bukan masalah propaganda (penyebaran ajaran) Buddhisme ini perlu saya tegaskan agar pembaca yang awam tidak salah memahami.
Semoga dapat dipahami.
Quote from: fabian c on 19 September 2010, 09:09:46 AM
Bro Morpheus yang baik, Seseorang mungkin berlindung pada Tiratana jadi umat Buddha, tetapi bukan berarti ia terbebas dari pandangan salah dan memiliki pandangan benar. Banyak contohnya.
Seseorang mungkin menerima Pancasila tetapi belum tentu menjalankannya, juga mungkin saja seseorang tidak menerima Pancasila, tetapi hidupnya selaras dengan Pancasila. Jadi immoral bisa non-Buddhist dan bisa juga Buddhist. Banyak contohnya.
om fabian, dalam pengertian yang sesungguhnya dan lebih mendalam, anda benar dan saya setuju dengan itu.
namun dalam konteks bacaan ini dan maksud penulis kitab, wrong view dan immoral di sini jelas adalah non-buddhis.
makanya disatu sisi ada yang dihargai satu setengah nyawa manusia. dilain sisi, sisanya, layaknya binatang. kalo nggak, darimana si pengucap tau dari ratusan atau ribuan nyawa yang melayang hanya satu setengah yg gak punya wrong view dan mana yang bermoral. tentu yg dimaksudkan adalah agamanya...
Quote from: morpheus on 19 September 2010, 01:03:05 PM
Quote from: fabian c on 19 September 2010, 09:09:46 AM
Bro Morpheus yang baik, Seseorang mungkin berlindung pada Tiratana jadi umat Buddha, tetapi bukan berarti ia terbebas dari pandangan salah dan memiliki pandangan benar. Banyak contohnya.
Seseorang mungkin menerima Pancasila tetapi belum tentu menjalankannya, juga mungkin saja seseorang tidak menerima Pancasila, tetapi hidupnya selaras dengan Pancasila. Jadi immoral bisa non-Buddhist dan bisa juga Buddhist. Banyak contohnya.
om fabian, dalam pengertian yang sesungguhnya dan lebih mendalam, anda benar dan saya setuju dengan itu.
namun dalam konteks bacaan ini dan maksud penulis kitab, wrong view dan immoral di sini jelas adalah non-buddhis.
makanya disatu sisi ada yang dihargai satu setengah nyawa manusia. dilain sisi, sisanya, layaknya binatang. kalo nggak, darimana si pengucap tau dari ratusan atau ribuan nyawa yang melayang hanya satu setengah yg gak punya wrong view dan mana yang bermoral. tentu yg dimaksudkan adalah agamanya...
Bro Morpheus yang baik, saya hanya menilai berpatokan pernyataan itu, tidak dikatakan Buddhist atau non-Buddhist. Agama Buddha tentunya pada waktu itu telah berkembang juga ke India selatan (dikalangan suku Tamil). Tapi di kalangan Hindu kalau tidak salah memang meyakini bahwa meninggal di medan perang akan masuk ke Surga.
Menurut Buddhis itu adalah pandangan salah, terlepas apapun agamanya.
_/\_
[at] Ncek Morph
Saya masih meragukan kearahatannya, mungkin perlu lebih banyak lagi sumber untuk menyelidiki kearahatan para bhikkhu tersebut. Jadi sementara, bukan jawaban IYA atau BUKAN yang dapat saya berikan.
Quote from: fabian c on 19 September 2010, 03:50:46 PM
Bro Morpheus yang baik, saya hanya menilai berpatokan pernyataan itu, tidak dikatakan Buddhist atau non-Buddhist. Agama Buddha tentunya pada waktu itu telah berkembang juga ke India selatan (dikalangan suku Tamil). Tapi di kalangan Hindu kalau tidak salah memang meyakini bahwa meninggal di medan perang akan masuk ke Surga.
Menurut Buddhis itu adalah pandangan salah, terlepas apapun agamanya.
topik pembicaraan thread ini adalah mahavamsa, khususnya ayat yg saya kutipkan.
apabila kita membaca kutipan di atas ataupun terjemahan samaneri, jelas sekali yg dikatakan layaknya binatang itu adalah non-buddhis yang tidak mengambil tiga perlindungan dan tidak mengambil 5 sila.
kalau om fabian masih berkeras tidak memakai konteks thread ini, saya tidak bisa bicara apa2 lagi... makasih diskusinya.
Quote from: Jerry on 19 September 2010, 08:06:32 PM
[at] Ncek Morph
Saya masih meragukan kearahatannya, mungkin perlu lebih banyak lagi sumber untuk menyelidiki kearahatan para bhikkhu tersebut. Jadi sementara, bukan jawaban IYA atau BUKAN yang dapat saya berikan.
ok, bang. tidak ada lagi yg mau saya sampaikan. makasih diskusinya.
Quote from: morpheus on 19 September 2010, 08:16:44 PM
Quote from: fabian c on 19 September 2010, 03:50:46 PM
Bro Morpheus yang baik, saya hanya menilai berpatokan pernyataan itu, tidak dikatakan Buddhist atau non-Buddhist. Agama Buddha tentunya pada waktu itu telah berkembang juga ke India selatan (dikalangan suku Tamil). Tapi di kalangan Hindu kalau tidak salah memang meyakini bahwa meninggal di medan perang akan masuk ke Surga.
Menurut Buddhis itu adalah pandangan salah, terlepas apapun agamanya.
topik pembicaraan thread ini adalah mahavamsa, khususnya ayat yg saya kutipkan.
apabila kita membaca kutipan di atas ataupun terjemahan samaneri, jelas sekali yg dikatakan layaknya binatang itu adalah non-buddhis yang tidak mengambil tiga perlindungan dan tidak mengambil 5 sila.
kalau om fabian masih berkeras tidak memakai konteks thread ini, saya tidak bisa bicara apa2 lagi... makasih diskusinya.
Bro Morpheus yang baik, sudut nilai pandang anda juga dapat diterima, cuma kita melihat dari sisi yang berbeda saja..
Terima kasih koreksinya, senang berdiskusi dengan anda.
_/\_
Quote from: morpheus on 19 September 2010, 08:18:55 PM
Quote from: Jerry on 19 September 2010, 08:06:32 PM
[at] Ncek Morph
Saya masih meragukan kearahatannya, mungkin perlu lebih banyak lagi sumber untuk menyelidiki kearahatan para bhikkhu tersebut. Jadi sementara, bukan jawaban IYA atau BUKAN yang dapat saya berikan.
ok, bang. tidak ada lagi yg mau saya sampaikan. makasih diskusinya.
Sama-sama Ncek.. Thanks diskusinya.
be happy
_/\_
mumpung relevan dengan topik hangat saat ini, sundul ah...
sepi :'(