Yang dikirimkan adalah 8 bhikkhu suci tetapi di sana tidak dikatakan seberapa sucinya kah 8 bhikkhu ini.
kelompok arahat mengutus 8 orang dari mereka. arahat juga bukan?
apapun tingkat mereka, tidak suci pun, bukan bhikkhu pun, tidak menjustify kutipan di atas.
Dari mana dikatakan kelompok arahat mengutus 8 orang dari mereka? Cuma dikatakan mengutus 8 holy monks dan sejauh saya baca tidak ditandaskan "dari mereka".
Selain itu ada fakta lain dalam footnote bahwa dalam narasi Tamil yang meng-highlight bahwa Raja Elara lah yang menantang duel. Jika benar demikian, maka ini akan masuk akal bahwa tindakan Raja Dutthagamani adalah sebuah tindakan self-defense.
lah wong yang disesalkan dan dihibur oleh para arahat itu tewasnya korban2 kafir yang gak seiman kok... yang diitung cuman satu setengah nyawa, sisanya gak dianggep. korbannya bukan cuman elara yang kalah duel.
Memang ada perang, saya tidak menyangkal itu. Tetapi kronologis ceritanya yang terjadi kemudian ada tantangan duel (tidak jelas siapa nantang siapa) yang diakhiri dengan terbunuhnya Elara oleh Dutthagamani dan perang pun berakhir. Tidak ada justifikasi perang dalam Buddhisme. Sedangkan soal ucapan para bhikkhu itu, selain kemungkinan politisasi agama untuk menjustifikasi perang sebagaimana dikatakan Ncek Morph, saya telah mengungkapkan ada beberapa kemungkinan lain:
1. Sebuah skillful means untuk menghapus penyesalan Raja Duthugemunu, pada kenyataannya toh ucapan tersebut tidak membuat Raja Duthugemunu menjadi fanatik dan merasa perang yg dia lakukan benar.
2. Kemungkinan penulis kitab telah dipengaruhi subjektifitas dalam mendramatisir hikayat tersebut.
Jika kita mengingat asas praduga tak bersalah dan berusaha netral serta tidak gegabah menilai.. Maka, bahkan tindakan para bhikkhu menenangkan Raja masih dapat dibenarkan mengingat sebuah penyesalan bagaimanapun mendalamnya tidak akan dapat mengembalikan nyawa-nyawa yang telah hilang dalam perang. Sedangkan pikiran yang penuh penyesalan hanya akan menambah kualitas perbuatan buruk yang telah dilakukan dan semakin mengondisikan kelahiran kembali di alam rendah, plus menghalangi sang Raja dari melihat hal-hal positif yang ada dan mengembangkan. Jika kita mengingat analogi dari Sang Buddha kembali, maka pembunuhan oleh Raja seperti menumpahkan 1 kilo garam dalam seember air. Yang perlu dilakukan oleh Raja hanyalah menambah volume dan memperbesar wadah air itu sebagaimana diingatkan oleh para bhikkhu "Tetapi untuk Anda, Anda akan membawa kemuliaan ajaran Sang Buddha dengan banyak cara; oleh karena itu, buanglah penyesalan dalam hati Anda."
Meski ucapan mereka harus diakui sedikit berlebihan dalam poin tertentu tetapi dapat dilihat sebagai sebuah skillful means dalam menenangkan batin sang Raja yang dapat ditolerir. Terlebih lagi sang Raja setelah mendapat nasehat demikian pun tidak lantas menjadi fanatik dan memberantas para Tamil yang berbeda keyakinan atau pun melakukan penyerbuan ke India. Karena itu ada kemungkinan para bhikkhu tersebut telah mempertimbangkan masak-masak bahwa yang ditenangkan oleh mereka adalah Raja yang bijaksana.
Selain itu tidak lepas pula dari kemungkinan bahwa penulis Mahavamsa telah menambahkan subjektifitas pemikiran dan perasaannya untuk mendramatisir cerita tersebut.
Mungkin yang tidak dapat dibenarkan adalah dengan gegabah menyatakan status para bhikkhu adalah suci. Selain itu pula fakta bahwa para bhikkhu menyertai Raja dalam perang, yang notabene merupakan Pacittiya dalam Vinaya.
Apa pun itu, Mahavamsa merupakan karya belakangan yang nyata-nyata bukan langsung berasal dari Buddha sehingga Mahavamsa bukanlah sebuah acuan mutlak dan wajib dalam standar Theravada karena itu tidak dapat dikatakan bahwa kekerasan mendapat tempat dan justifikasi dalam Theravada pada khususnya atau sejarah Buddhisme pada umumnya.
tidak gegabah? sedikit berlebihan?
mmm... membaca tulisan di atas saya jadi inget anggota dpr hehehehe... joke.
tampaknya kacamata dan perspektif kita berbeda di sini.
bagi saya jelas kutipan di atas merupakan politisasi agama untuk membenarkan peperangan.
Sepertinya tidak berlebihan. Kenapa saya katakan agar tidak gegabah? Karena bagi saya naskah Mahavamsa merupakan bagian dari sejarah masa lalu yang tidak dapat benar-benar diketahui kebenarannya, bagaimana pun kita berusaha. Misalnya saja tentang duel, siapa yang menantang siapa? Menurut Mahavamsa Raja Duthugemunu yang menantang, sedangkan menurut naratif kaum Tamil, Raja Elara lah yang menantang. Siapa yang benar? Kita tidak akan tahu kecuali ada Doraemon, bukannya Doraemorph.
[joke]
Oleh karenanya dalam menilai, agar tidak terpengaruh subjektifitas perasaan n pemikiran maka saya mengusulkan pendekatan "presume innocent until proven guilty." Berbeda dengan Ncek Morph yang menggunakan "presume guilty until proven innocent." Jika pendekatannya seperti Ncek Morph demikian, maka Mahavamsa pasti sudah terbukti salah!! Karena ketidakbersalahannya tidak akan pernah diketahui.
Apa pun itu, saya rasa kita setuju bahwa dalam Buddhisme (menurut Sang Buddha bukan murid-muridnya) tidak ada tempat bagi politisasi agama dalam menjustifikasi perang.