//honeypot demagogic

 Forum DhammaCitta. Forum Diskusi Buddhis Indonesia

Author Topic: Kekerasan dan justifikasinya di Mahavamsa  (Read 82027 times)

0 Members and 1 Guest are viewing this topic.

Offline K.K.

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 8.851
  • Reputasi: 268
Re: Kekerasan dan justifikasinya di Mahavamsa
« Reply #30 on: 17 September 2010, 01:13:57 PM »
Bukan bro, bahkan commentarypun bukan, hanya buku referensi biasa yang menceritakan perkembangan agama Buddha di Srilangka.
Oh, kalau begitu sepertinya memang tidak perlu dijadikan pedoman, lebih baik sebagai pengetahuan sejarah tambahan saja. :D

Offline morpheus

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 2.750
  • Reputasi: 110
  • Ragu pangkal cerah!
Re: Kekerasan dan justifikasinya di Mahavamsa
« Reply #31 on: 17 September 2010, 01:14:25 PM »
"Layaknya binatang" kedengarannya seperti menganjurkan perlakuan, sedangkan "dianggap tidak lebih dari binatang" hanya mengesankan penilaian... jadi maknanya berbeda....
saya bukan ahli bahasa. menurut saya, layaknya = tidak ubahnya = tidak lebih dari
sekali lagi pakai terjemahan yg anda suka. ini hal remeh sekali dibanding topik yg kita bahas.
* I'm trying to free your mind, Neo. But I can only show you the door. You're the one that has to walk through it
* Neo, sooner or later you're going to realize just as I did that there's a difference between knowing the path and walking the path

Offline morpheus

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 2.750
  • Reputasi: 110
  • Ragu pangkal cerah!
Re: Kekerasan dan justifikasinya di Mahavamsa
« Reply #32 on: 17 September 2010, 01:23:14 PM »
john bullit pemilik access to insight menggolongkan mahavamsa dan dipavamsa sebagai chronicles.
bagi srilankan, kedua kitab ini penting karena menceritakan ttg kunjungan buddha ke pulau srilanka, sejarah konsili pertama, kedua dan ketiga menurut theravada dan srilanka buddhism, mulai dari jaman raja asoka sampai "pembersihan dhamma dari ajaran sesat", membentuk theravada. para ahli kitab, mohon dikoreksi.

http://www.accesstoinsight.org/lib/authors/bullitt/fieldguide.html
* I'm trying to free your mind, Neo. But I can only show you the door. You're the one that has to walk through it
* Neo, sooner or later you're going to realize just as I did that there's a difference between knowing the path and walking the path

Offline pannadevi

  • Samaneri
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.960
  • Reputasi: 103
  • Gender: Female
Re: Kekerasan dan justifikasinya di Mahavamsa
« Reply #33 on: 17 September 2010, 07:11:55 PM »
Bro Upasaka yg baik,
TS hanya ingin menunjukkan bhw dlm Buddhism pun ada, karena di thread sebelah ada posting yg menyatakan tidak ada pertumpahan darah utk Buddhism. saya paham kok dg maksud TS. saya sih sepaham dg pernyataan bhw dlm Buddhism pun ada.

mettacittena,

Saya paham, Sam. Menurut saya, kita tidak perlu menutup mata bahwa sejarah panjang Buddhisme pun turut menuai pertumpahan darah oleh sejumlah kecil oknum. Tapi tetap saja Buddhisme tidak pernah mengundang "kekacauan" di dunia ini.

Demikian pula hal nya dengan paradigma masyarakat yang menggendong pemikiran bahwa negara Buddhis pasti masyarakatnya tidak mencelakakan makhluk lain. Itu juga keliru. Thailand misalnya, sebagai negara dengan penduduk mayoritas Buddhisme Theravada, namun tetap saja di sana banyak orang yang bermata-pencaharian dengan menjual daging, menjual senjata, racun, dan sebagainya. Biasanya, umat Buddha alergi terhadap pemandangan seperti ini.

iya bro, saya sepaham dg anda, maka nya saya kemukakan juga penembakan di Burma yg baru2 saja terjadi yaitu di th.2008, yg lebih tepat dibilang pembantaian karena tembak langsung anggota sangha dan didalam vihara lagi, korban meninggal mencapai 1.000 anggota sangha, karena dianggap melindungi pemberontak, padahal yg dilindungi adalah rakyat tidak berdosa...

sorry baru sy tanggapi kemarin baru puyeng ama hanzi (ujian buat karangan ttg my family ternyata susah ya)...

mettacittena,

Offline pannadevi

  • Samaneri
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.960
  • Reputasi: 103
  • Gender: Female
Re: Kekerasan dan justifikasinya di Mahavamsa
« Reply #34 on: 17 September 2010, 07:24:29 PM »
Ralat mengenai status 8 orang bhikkhu tersebut.

Di sana tidak dikatakan bahwa 8 orang tersebut adalah arahat. Apakah Ncek Morph menyadari atau tidak telah menambahkan subjektifitas opininya saya tidak tahu, tetapi yang jelas dari yang saya baca dikatakan adalah demikian:
Quote
The Mahavamsa states (25:104) that the arahants (i.e. the "worthy of reverence", people who have reached the stage before nirvana) in Piyangudipa, knowing Dutthagamani's remorse, sent a group of eight holy monks to comfort him;

Mahavamsa menyatakan (25:104) bahwa para arahant (yaitu "yang patut dihormati", orang-orang yang telah sampai pada tahapan di hadapan Nirvana) di Piyangudipa, mengetahui penyesalan Dutthagamani, mengirimkan sebuah kelompok 8 orang bhikkhu suci untuk menenangkannya;


Yang dikirimkan adalah 8 bhikkhu suci tetapi di sana tidak dikatakan seberapa sucinya kah 8 bhikkhu ini. Soal apa yang dikatakan mereka, ada perspektif lain yang dapat ditawarkan. Misalnya pada bagian footnote dikatakan:
Quote

Schmithausen has pointed out that it is possible that this adjustment of precepts for violence could have been influenced by certain Mahayana thoughts developed two centuries, earlier, where the transgression of the precepts including the killing of living beings is allowed in certain exceptional circumstances (see Lambert Schmithausen, "Aspects of the Buddhist Attitude towards War", in Violence Defined: Violence, Non-violence and the Rationalization of Violence in South Asian Cultural History, Jan E.M. Houben and Karel R. van Kooij eds, Leiden, Brill, 1999, pp.57-58).

Schmithausen telah menunjukkan bahwa kemungkinan penyesuaian sila kekejaman ini telah dipengaruhi oleh pemikiran2 Mahayana tertentu yang berkembang dua abad sebelumnya, di mana pelanggaran sila termasuk pembunuhan makhluk hidup dibenarkan dalam keadaan pengecualian tertentu (lihat Lambert Schmithausen, "Aspects of the Buddhist Attitude towards War", in Violence Defined: Violence, Non-violence and the Rationalization of Violence in South Asian Cultural History, Jan E.M. Houben and Karel R. van Kooij eds, Leiden, Brill, 1999, pp.57-58).

Selain itu ada fakta lain dalam footnote bahwa dalam narasi Tamil yang meng-highlight bahwa Raja Elara lah yang menantang duel. Jika benar demikian, maka ini akan masuk akal bahwa tindakan Raja Dutthagamani adalah sebuah tindakan self-defense. Apalagi setelah menang Raja Dutthagamani tidak melakukan penyerbuan ke India atau menyiksa dan membalas dendam terhadap suku Tamil yang tinggal di Sri Lanka. Ini terlihat dari:
Quote
He honours the fallen foe and immediately stops his campaign, as he had achieved its purpose, waging a purely defensive war. He does not cross over to India to chastize the Tamils and refrains from wrecking vengeance on Tamils who were living in Sri Lanka, side by side with Sinhalese as its inhabitants.

Dia menghormati lawan yang tewas dan segera menghentikan kampanyenya, sebagaimana dia telah mencapai tujuannya, menjalankan sebuah perang yang murni defensif. Dia tidak menyeberang ke India untuk menyiksa para Tamil dan menahan dari membalas dendam pada Tamil yang tinggal di Sri Lanka, berdampingan dengan Sinhalese sebagai penduduk aslinya.


Jika kita mengingat asas praduga tak bersalah dan berusaha netral serta tidak gegabah menilai.. Maka, bahkan tindakan para bhikkhu menenangkan Raja masih dapat dibenarkan mengingat sebuah penyesalan bagaimanapun mendalamnya tidak akan dapat mengembalikan nyawa-nyawa yang telah hilang dalam perang. Sedangkan pikiran yang penuh penyesalan hanya akan menambah kualitas perbuatan buruk yang telah dilakukan dan semakin mengondisikan kelahiran kembali di alam rendah, plus menghalangi sang Raja dari melihat hal-hal positif yang ada dan mengembangkan. Jika kita mengingat analogi dari Sang Buddha kembali, maka pembunuhan oleh Raja seperti menumpahkan 1 kilo garam dalam seember air. Yang perlu dilakukan oleh Raja hanyalah menambah volume dan memperbesar wadah air itu sebagaimana diingatkan oleh para bhikkhu "Tetapi untuk Anda, Anda akan membawa kemuliaan ajaran Sang Buddha dengan banyak cara; oleh karena itu, buanglah penyesalan dalam hati Anda."

Meski ucapan mereka harus diakui sedikit berlebihan dalam poin tertentu tetapi dapat dilihat sebagai sebuah skillful means dalam menenangkan batin sang Raja yang dapat ditolerir. Terlebih lagi sang Raja setelah mendapat nasehat demikian pun tidak lantas menjadi fanatik dan memberantas para Tamil yang berbeda keyakinan atau pun melakukan penyerbuan ke India. Karena itu ada kemungkinan para bhikkhu tersebut telah mempertimbangkan masak-masak bahwa yang ditenangkan oleh mereka adalah Raja yang bijaksana.

Selain itu tidak lepas pula dari kemungkinan bahwa penulis Mahavamsa telah menambahkan subjektifitas pemikiran dan perasaannya untuk mendramatisir cerita tersebut.

Mungkin yang tidak dapat dibenarkan adalah dengan gegabah menyatakan status para bhikkhu adalah suci. Selain itu pula fakta bahwa para bhikkhu menyertai Raja dalam perang, yang notabene merupakan Pacittiya dalam Vinaya.

Apa pun itu, Mahavamsa merupakan karya belakangan yang nyata-nyata bukan langsung berasal dari Buddha sehingga Mahavamsa bukanlah sebuah acuan mutlak dan wajib dalam standar Theravada karena itu tidak dapat dikatakan bahwa kekerasan mendapat tempat dan justifikasi dalam Theravada pada khususnya atau sejarah Buddhisme pada umumnya.

Be happy,
_/\_

Nice post bro, anda benar bro Jerry yg baik, memang bhikkhu yg menasehati King Dutthugemunu (King Duttagamani lebih dikenal dg Dutthugemunu) bertujuan mengingatkan untuk tujuan awal beliau yaitu menjaga Buddhism agar tetap terlindungi, agar dhamma tetap berkembang di Srilanka, karena Tamil non-Buddhist (saya belum cek ke bukunya utk melampirkan quotation, sory masih puyeng ujian). tapi saya ingat krn ada mata kuliah ini, kaitannya karena mata kuliah "perkembangan Pali Literature" jadi membahas Mahavamsa.

Tentang duel yang benar adalah King Dutthugemunu yg menantang karena beliau tidak mau ada pertumpahan darah dari rakyat kedua belah pihak, cukup salah satu dari mereka berdua saja, yang kalah berarti yg mati.

Cara beliau ini amat dipuji rakyat dan diangkat sebagai "Pahlawan terhebat dari Srilanka" karena baru beliaulah yg berhasil menyatukan Srilanka menjadi utuh kesatuan. dan Presiden yang sekarang Mahinda Rajapaksa juga sering dianggap sebagai inkarnasi beliau karena berhasil menyatukan kembali Srilanka menjadi utuh kesatuan yg sebelumnya selama 30 thn telah pecah menjadi tinggal 70%, sedang yg 30% di klaim sbg Kekuasaan Tamil.

mettacittena,

Offline Jerry

  • Sebelumnya xuvie
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.212
  • Reputasi: 124
  • Gender: Male
  • Suffering is optional.. Pain is inevitable..
Re: Kekerasan dan justifikasinya di Mahavamsa
« Reply #35 on: 17 September 2010, 07:27:39 PM »
Yang dikirimkan adalah 8 bhikkhu suci tetapi di sana tidak dikatakan seberapa sucinya kah 8 bhikkhu ini.
kelompok arahat mengutus 8 orang dari mereka. arahat juga bukan?
apapun tingkat mereka, tidak suci pun, bukan bhikkhu pun, tidak menjustify kutipan di atas.
Dari mana dikatakan kelompok arahat mengutus 8 orang dari mereka? Cuma dikatakan mengutus 8 holy monks dan sejauh saya baca tidak ditandaskan "dari mereka".

Selain itu ada fakta lain dalam footnote bahwa dalam narasi Tamil yang meng-highlight bahwa Raja Elara lah yang menantang duel. Jika benar demikian, maka ini akan masuk akal bahwa tindakan Raja Dutthagamani adalah sebuah tindakan self-defense.
lah wong yang disesalkan dan dihibur oleh para arahat itu tewasnya korban2 kafir yang gak seiman kok... yang diitung cuman satu setengah nyawa, sisanya gak dianggep. korbannya bukan cuman elara yang kalah duel.
Memang ada perang, saya tidak menyangkal itu. Tetapi kronologis ceritanya yang terjadi kemudian ada tantangan duel (tidak jelas siapa nantang siapa) yang diakhiri dengan terbunuhnya Elara oleh Dutthagamani dan perang pun berakhir. Tidak ada justifikasi perang dalam Buddhisme. Sedangkan soal ucapan para bhikkhu itu, selain kemungkinan politisasi agama untuk menjustifikasi perang sebagaimana dikatakan Ncek Morph, saya telah mengungkapkan ada beberapa kemungkinan lain:
1. Sebuah skillful means untuk menghapus penyesalan Raja Duthugemunu, pada kenyataannya toh ucapan tersebut tidak membuat Raja Duthugemunu menjadi fanatik dan merasa perang yg dia lakukan benar.
2. Kemungkinan penulis kitab telah dipengaruhi subjektifitas dalam mendramatisir hikayat tersebut.

Jika kita mengingat asas praduga tak bersalah dan berusaha netral serta tidak gegabah menilai.. Maka, bahkan tindakan para bhikkhu menenangkan Raja masih dapat dibenarkan mengingat sebuah penyesalan bagaimanapun mendalamnya tidak akan dapat mengembalikan nyawa-nyawa yang telah hilang dalam perang. Sedangkan pikiran yang penuh penyesalan hanya akan menambah kualitas perbuatan buruk yang telah dilakukan dan semakin mengondisikan kelahiran kembali di alam rendah, plus menghalangi sang Raja dari melihat hal-hal positif yang ada dan mengembangkan. Jika kita mengingat analogi dari Sang Buddha kembali, maka pembunuhan oleh Raja seperti menumpahkan 1 kilo garam dalam seember air. Yang perlu dilakukan oleh Raja hanyalah menambah volume dan memperbesar wadah air itu sebagaimana diingatkan oleh para bhikkhu "Tetapi untuk Anda, Anda akan membawa kemuliaan ajaran Sang Buddha dengan banyak cara; oleh karena itu, buanglah penyesalan dalam hati Anda."

Meski ucapan mereka harus diakui sedikit berlebihan dalam poin tertentu tetapi dapat dilihat sebagai sebuah skillful means dalam menenangkan batin sang Raja yang dapat ditolerir. Terlebih lagi sang Raja setelah mendapat nasehat demikian pun tidak lantas menjadi fanatik dan memberantas para Tamil yang berbeda keyakinan atau pun melakukan penyerbuan ke India. Karena itu ada kemungkinan para bhikkhu tersebut telah mempertimbangkan masak-masak bahwa yang ditenangkan oleh mereka adalah Raja yang bijaksana.

Selain itu tidak lepas pula dari kemungkinan bahwa penulis Mahavamsa telah menambahkan subjektifitas pemikiran dan perasaannya untuk mendramatisir cerita tersebut.

Mungkin yang tidak dapat dibenarkan adalah dengan gegabah menyatakan status para bhikkhu adalah suci. Selain itu pula fakta bahwa para bhikkhu menyertai Raja dalam perang, yang notabene merupakan Pacittiya dalam Vinaya.

Apa pun itu, Mahavamsa merupakan karya belakangan yang nyata-nyata bukan langsung berasal dari Buddha sehingga Mahavamsa bukanlah sebuah acuan mutlak dan wajib dalam standar Theravada karena itu tidak dapat dikatakan bahwa kekerasan mendapat tempat dan justifikasi dalam Theravada pada khususnya atau sejarah Buddhisme pada umumnya.
tidak gegabah? sedikit berlebihan?
mmm... membaca tulisan di atas saya jadi inget anggota dpr hehehehe... joke.

tampaknya kacamata dan perspektif kita berbeda di sini.
bagi saya jelas kutipan di atas merupakan politisasi agama untuk membenarkan peperangan.

Sepertinya tidak berlebihan. Kenapa saya katakan agar tidak gegabah? Karena bagi saya naskah Mahavamsa merupakan bagian dari sejarah masa lalu yang tidak dapat benar-benar diketahui kebenarannya, bagaimana pun kita berusaha. Misalnya saja tentang duel, siapa yang menantang siapa? Menurut Mahavamsa Raja Duthugemunu yang menantang, sedangkan menurut naratif kaum Tamil, Raja Elara lah yang menantang. Siapa yang benar? Kita tidak akan tahu kecuali ada Doraemon, bukannya Doraemorph. ;D [joke]
Oleh karenanya dalam menilai, agar tidak terpengaruh subjektifitas perasaan n pemikiran maka saya mengusulkan pendekatan "presume innocent until proven guilty." Berbeda dengan Ncek Morph yang menggunakan "presume guilty until proven innocent." Jika pendekatannya seperti Ncek Morph demikian, maka Mahavamsa pasti sudah terbukti salah!! Karena ketidakbersalahannya tidak akan pernah diketahui.

Apa pun itu, saya rasa kita setuju bahwa dalam Buddhisme (menurut Sang Buddha bukan murid-muridnya) tidak ada tempat bagi politisasi agama dalam menjustifikasi perang.

_/\_
appamadena sampadetha

Offline pannadevi

  • Samaneri
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.960
  • Reputasi: 103
  • Gender: Female
Re: Kekerasan dan justifikasinya di Mahavamsa
« Reply #36 on: 17 September 2010, 07:29:52 PM »
Bro Morpheus yang baik, menurut yang saya baca tidak seburuk itu, kalau tidak salah dikatakan bahwa para Arahat bermaksud berkata bahwa yang dibunuh oleh raja Duthagamini tidak bermoral dan jahat, sehingga nilainya sebanding dengan binatang.

Memang dalam ajaran Sang Buddha seseorang dinilai berdasarkan moralitasnya, perbuatan yang dilakukan terhadap orang bermoralitas rendah berbuah lebih kecil/ringan dibandingkan perbuatan yang dilakukan terhadap orang yang moralitasnya tinggi, oleh karena itu membunuh penjahat tak bermoral akibatnya lebih ringan dibandingkan dengan membunuh orang yang bermoral.

Para Arahat menghibur raja Duthagamini sesudah perang usai. Tetapi para Arahat tidak mendorong/mendukung/menganjurkan peperangan tersebut.
om fabian, kita berbeda persepsi di sini. quotation di atas bisa anda baca lagi untuk menguatkan memori, tak ada yang saya kurangi atau tambahi.

menurut saya, kata2 tersebut mendukung peperangan dan pembunuhan kafir yg dikatakan layaknya binatang.
bukan kata2 yg keluar dari orang yang pantas untuk dihormati, apalagi arahat.

bayangkan kalo kata2 itu dipercayai oleh pembacanya, umat buddha yang lugu, sehingga mereka menganggap nyawa orang2 yang gak seiman itu gak perlu dihargai, layaknya binatang... mungkinkah ini yang terjadi akhir2 ini di srilanka?


sorry bro, saya akan bandingkan dg pali nya dulu, tapi jgn hari ini.

bro Fabian yg baik, saya rasa ada sedikit rancu terjemahan, sebaiknya saya bandingkan dulu dg palinya, tapi jangan hari ini ya, sy msh ujian. karena sering diketemukan terjemahan menggunakan kata2 yg kurang tepat.

mettacittena,

Offline pannadevi

  • Samaneri
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.960
  • Reputasi: 103
  • Gender: Female
Re: Kekerasan dan justifikasinya di Mahavamsa
« Reply #37 on: 17 September 2010, 07:40:58 PM »
Quote
"From this deed arises no hindrance in thy way to heaven. Only one
   and a half human beings have been slain here by thee, O lord of men.
   The one had come unto the (three) refuges, the other had taken on
   himself the five precepts. Unbelievers and men of evil life were the
   rest, not more to be esteemed than beasts. But as for thee, thou
   wilt bring glory to the doctrine of the Buddha in manifold ways;
   therefore cast away care from thy heart, O ruler of men!" Thus
   exhorted by them the great king took comfort. (Mahavamsa 25:109-112)


wah!!!

Di sini disebutkan satu setengah manusia. Satu adalah Buddhis (telah mengambil 3 perlindungan). Satu lagi adalah yang menjalankan 5 sila, tetapi dianggap hanya bernilai setengah. Setahu saya, Buddha mengatakan orang dinilai hanya dari 2 hal: Sila & Kebijaksanaan, bukannya agamanya. Jadi ini sudah jelas tidak sesuai dengan Ajaran Buddha.

Karena manusia dinilai dari sila dan kebijaksanaan, maka memang benar tanpa sila dan kebijaksanaan, manusia tidak ada bedanya dengan binatang, bahkan kadang binatang bisa lebih baik dalam hal sila. Tapi yang sangat menyesatkan di sini adalah menyamakan antara "unbelievers" dengan "men of evil". Seseorang bisa saja tidak percaya, tetapi bukan berarti ia seorang yang melakukan kejahatan.

BTW, kalau tidak salah mahavamsa tidak termasuk Kanon Pali, bukan?

Bukan bro, bahkan commentarypun bukan, hanya buku referensi biasa yang menceritakan perkembangan agama Buddha di Srilangka.

Bro Kainyn dan Bro Fabian yang baik,
mohon anda berdua membaca Konsili Agung keIV yg dilaksanakan di Burma, disana diputuskan Mahavamsa adalah Anya (sub-subcommentary). sehingga dlm CSCD anda dpt menemukan Mahavamsa dan Visuddhimagga dlm kelompok Anya, silahkan cek link ini http://www.tipitaka.org/romn/ kemudian masuk ke vamsaganthasangaho maka anda dapat menemukan mahavamsa dlm bhs pali.

mettacittena,

Offline Jerry

  • Sebelumnya xuvie
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.212
  • Reputasi: 124
  • Gender: Male
  • Suffering is optional.. Pain is inevitable..
Re: Kekerasan dan justifikasinya di Mahavamsa
« Reply #38 on: 17 September 2010, 07:51:17 PM »
Nice post bro, anda benar bro Jerry yg baik, memang bhikkhu yg menasehati King Dutthugemunu (King Duttagamani lebih dikenal dg Dutthugemunu) bertujuan mengingatkan untuk tujuan awal beliau yaitu menjaga Buddhism agar tetap terlindungi, agar dhamma tetap berkembang di Srilanka, karena Tamil non-Buddhist (saya belum cek ke bukunya utk melampirkan quotation, sory masih puyeng ujian). tapi saya ingat krn ada mata kuliah ini, kaitannya karena mata kuliah "perkembangan Pali Literature" jadi membahas Mahavamsa.
Thanks infonya Neri. Kan Raja Elara bagian dari dinasti kerajaan Chola, yang "konon" menyebabkan punahnya Sangha Bhikkhuni Theravada. Meski Raja Elara pada saat itu memerintah secara bijak, tetapi tidak diketahui bagaimana perlakuan terhadap Buddhis setelah pemerintahannya berganti. Terlebih lagi Raja Elara lah yang pertama-tama menyerbu dari India Selatan menuju ke Sri Lanka dan menaklukkan Raja Asela dari kerajaan Rajarata. Karena itu ada kemungkinan timbul kekhawatiran bahwa Buddhisme akan punah di kemudian hari sehingga peperangan Dutugemunu terhadap Elara tampaknya memang bersifat defensif. Terlebih lagi jika kita kaitkan dengan pendapat Neri bahwa: "bhikkhu yg menasehati King Dutugemunu bertujuan mengingatkan untuk tujuan awal beliau yaitu menjaga Buddhism agar tetap terlindungi, agar dhamma tetap berkembang di Srilanka."

Tentang duel yang benar adalah King Dutthugemunu yg menantang karena beliau tidak mau ada pertumpahan darah dari rakyat kedua belah pihak, cukup salah satu dari mereka berdua saja, yang kalah berarti yg mati.

Cara beliau ini amat dipuji rakyat dan diangkat sebagai "Pahlawan terhebat dari Srilanka" karena baru beliaulah yg berhasil menyatukan Srilanka menjadi utuh kesatuan. dan Presiden yang sekarang Mahinda Rajapaksa juga sering dianggap sebagai inkarnasi beliau karena berhasil menyatukan kembali Srilanka menjadi utuh kesatuan yg sebelumnya selama 30 thn telah pecah menjadi tinggal 70%, sedang yg 30% di klaim sbg Kekuasaan Tamil.

mettacittena,
Menurut yang saya baca, dalam peperangan itu sebelum berhadapan satu lawan satu dengan Raja Elara, dalam perang antara Dutugemunu dengan Elara telah berlangsung bertahun-tahun. Tidaklah mungkin dalam perang bertahun-tahun itu tidak ada korban jatuh, pasti ada. Tetapi kemudian kedua raja sepakat untuk menyelesaikan dalam duel satu lawan satu di atas gajah. Sifat ksatria dari kedua raja itu yang patut diacungi jempol.

be happy
_/\_
appamadena sampadetha

Offline Jerry

  • Sebelumnya xuvie
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.212
  • Reputasi: 124
  • Gender: Male
  • Suffering is optional.. Pain is inevitable..
Re: Kekerasan dan justifikasinya di Mahavamsa
« Reply #39 on: 17 September 2010, 08:08:58 PM »
Bro Morpheus yang baik, menurut yang saya baca tidak seburuk itu, kalau tidak salah dikatakan bahwa para Arahat bermaksud berkata bahwa yang dibunuh oleh raja Duthagamini tidak bermoral dan jahat, sehingga nilainya sebanding dengan binatang.

Memang dalam ajaran Sang Buddha seseorang dinilai berdasarkan moralitasnya, perbuatan yang dilakukan terhadap orang bermoralitas rendah berbuah lebih kecil/ringan dibandingkan perbuatan yang dilakukan terhadap orang yang moralitasnya tinggi, oleh karena itu membunuh penjahat tak bermoral akibatnya lebih ringan dibandingkan dengan membunuh orang yang bermoral.

Para Arahat menghibur raja Duthagamini sesudah perang usai. Tetapi para Arahat tidak mendorong/mendukung/menganjurkan peperangan tersebut.
om fabian, kita berbeda persepsi di sini. quotation di atas bisa anda baca lagi untuk menguatkan memori, tak ada yang saya kurangi atau tambahi.

menurut saya, kata2 tersebut mendukung peperangan dan pembunuhan kafir yg dikatakan layaknya binatang.
bukan kata2 yg keluar dari orang yang pantas untuk dihormati, apalagi arahat.

bayangkan kalo kata2 itu dipercayai oleh pembacanya, umat buddha yang lugu, sehingga mereka menganggap nyawa orang2 yang gak seiman itu gak perlu dihargai, layaknya binatang... mungkinkah ini yang terjadi akhir2 ini di srilanka?

Saya yakin hal ini akan sulit mendapat tempat dalam Buddhisme, Om Morph. Meski bagi sebagian buddhis dapat dibenarkan, tetapi dalam sumber mata air termurni Buddhisme - ucapan Sang Buddha dalam Nikaya Pali - sendiri tidak termuat atau mendukung hal demikian. Jangan lupa perang terus berkelanjutan juga bukan karena kedua belah pihak saja, tetapi juga dari luar - terutama para pedagang senjata, misionaris dan pihak2 yang berkepentingan.

Mohon klarifikasi apakah serangkaian keajaiban di atas "utusan 8 arahat, turun dari alam brahma terlahir menjadi manusia, bumi bergoncang, para brahma bersorak, raja naga dst" itu terdapat dalam cerita Raja Dutthagamani juga?
pesan itu saya tujukan secara umum, pada kitab atau buku apapun yang kita baca.
teliti saja lah...
Setuju, tentu saja pendekatan awalnya asas praduga tak bersalah di dalam menyelidiki Tipitaka. Dalam Milinda Panha ada 5 kriteria:
   1. Membandingkannya dengan teks yang dikutip;
   2. Melalui 'selera', yaitu: apakah sesuai dengan teks-teks lain?;
   3. Apakah sesuai dengan ajaran para guru?;
   4. Setelah menimbang pendapatnya sendiri, yaitu apakah sesuai dengan pengalamanku sendiri?;
   5. Dengan gabungan semua cara itu.
Jadi bukan asal comot dan terburu-buru menyatakan ada justifikasi terhadap peperangan dalam Buddhisme dan mencurigai bahwa hal ini pula yang mendalangi kejadian akhir2 ini di srilanka. Harus diselidiki dikupas tuntas bersama secara hati-hati sebelumnya. Itulah gunaya forum ini. Jika kemudian terbukti memang benar, maka kebenaran itu harus diakui. Tetapi jika tidak benar, maka ketidakbenaran itu harus ditolak.

_/\_
appamadena sampadetha

Offline Kelana

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 2.225
  • Reputasi: 142
Re: Kekerasan dan justifikasinya di Mahavamsa
« Reply #40 on: 17 September 2010, 08:09:47 PM »
Esteemed:

Google translator:
not more to be esteemed than beasts
tidak lebih akan dihargai daripada binatang

Oxford Dictionary:
esteem
•n. respect and admiration.
•v.
1 (usu. be esteemed) respect and admire.
2 formal consider; deem.
– ORIGIN ME: from OFr. estime (n.), estimer (v.), from L. aestimare ‘to estimate’.

Merriam webster
Definition of ESTEEM
1
archaic : worth, value
2
archaic : opinion, judgment
3
: the regard in which one is held; especially : high regard <the esteem we all feel for her>

Jadi:
not more to be esteemed than beasts
berarti: tidak lebih tinggi/terhormat dari binatang
Bukan berarti:  layaknya binatang
GKBU
 
_/\_ suvatthi hotu


- finire -

Offline Jerry

  • Sebelumnya xuvie
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.212
  • Reputasi: 124
  • Gender: Male
  • Suffering is optional.. Pain is inevitable..
Re: Kekerasan dan justifikasinya di Mahavamsa
« Reply #41 on: 17 September 2010, 08:23:57 PM »
Bro Morpheus yang baik, penerjemahan the unbelievers sebagai kafir memperlihatkan seolah-olah ajaran Buddhis cara berpikirnya sama dengan agama berdasarkan akar budaya timur tengah. Kata kafir (infidel) menurut saya berbeda dengan "the unbelievers". The unbelievers secara harfiah berarti orang-orang yang tak memiliki keyakinan disebabkan pandangan salah (miccha ditthi).

Sedangkan kafir berarti tidak memiliki keyakinan, atau bahkan menentang keberadaan Tuhan yang memang pantas dibunuh.

Saya rasa tak ada umat Buddha yang telah mengenal Dhamma menganggap mahluk hidup apapun juga pantas untuk dibunuh.

Jadi penerjemahan kafir saya kira tak tepat untuk menerjemahkan kata "un-believers"

Selain itu kata-kata "not more to be esteemed than beasts" tidak tepat diterjemahkan dengan kata "tidak perlu dihargai, layaknya binatang", karena bila diterjemahkan demikian terjadi pemelintiran arti, seolah-olah umat Buddha tak menghargai mahluk lain, yang tentu saja bertentangan dengan sifat luhur Brahmavihara (Metta, Karuna, Mudita Bhavana).

Menurut saya para Arahat mengaitkan perbuatan raja Duthagamini dengan Vipaka, karena disebutkan raja takut tidak bisa masuk sorga, sehingga para Bhikkhu tersebut mengatakan bahwa kamma vipakanya sebanding dengan membunuh binatang.
Terjemahan lebih tepat pernyataan bhikkhu tersebut adalah demikian "dianggap ( to be esteemed) tidak lebih (not more) daripada binatang (than beasts)"

Bedakan dengan terjemahan "tak perlu dihargai".
saya setuju dengan pengertian anda.
pemakaian "kafir" dan "layaknya binatang" untuk menggampangkan pembaca mengerti saja.
"layaknya binatang" vs "dianggap tidak lebih daripada binatang" tidak mengubah maknanya kan?
ini hal yang remeh. silakan pakai terjemahan yang anda suka.


Bro Morpheus yang baik, justru disitulah letaknya, penerjemahan yang tidak akurat bisa mengubah arti, sehingga nampak melebih-lebihkan (exaggeration).

"Layaknya binatang" kedengarannya seperti menganjurkan perlakuan, sedangkan "dianggap tidak lebih dari binatang" hanya mengesankan penilaian... jadi maknanya berbeda....

 _/\_
Mengapa sebelumnya saya katakan bahwa ada kemungkinan ucapan para bhikkhu itu adalah sebuah skillful means? Karena secara umum ucapan mereka bisa terdengar kasar, namun bisa mengandung penafsiran dan pengertian lain.
"Dianggap tidak lebih dari binatang" secara umum akan terdengar kasar dan berbahaya. Tetapi jika diselidiki lebih lanjut menurut Tipitaka, bagaimana pandangan Buddhisme terhadap binatang? Kenyataannya ada banyak khotbah dan pernyataan Sang Buddha untuk menghargai semua makhluk termasuk pula binatang. Misalnya dalam Dhammapada ayat 129:
"Semua makhluk hidup takut dipukul. Semua makhluk hidup takut dibunuh. Menempatkan diri seseorang dalam posisi orang lain, maka janganlah seseorang membunuh atau menyebabkan yang lain membunuh."

Penafsirannya dan korelasinya terhadap ucapan para bhikkhu di atas adalah: Jika nyawa para binatang (sebagaimana semua makhluk lainnya) dihargai, maka ketika dikatakan bahwa para non-believers "dianggap tidak lebih dari binatang" berarti bisa pula diartikan sama berharganya dengan nyawa binatang, yang berarti pula sama berharganya dengan nyawa semua makhluk lain. Language is tricky. ;)

_/\_
appamadena sampadetha

Offline pannadevi

  • Samaneri
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.960
  • Reputasi: 103
  • Gender: Female
Re: Kekerasan dan justifikasinya di Mahavamsa
« Reply #42 on: 17 September 2010, 09:54:19 PM »
Esteemed:

Google translator:
not more to be esteemed than beasts
tidak lebih akan dihargai daripada binatang

Oxford Dictionary:
esteem
•n. respect and admiration.
•v.
1 (usu. be esteemed) respect and admire.
2 formal consider; deem.
– ORIGIN ME: from OFr. estime (n.), estimer (v.), from L. aestimare ‘to estimate’.

Merriam webster
Definition of ESTEEM
1
archaic : worth, value
2
archaic : opinion, judgment
3
: the regard in which one is held; especially : high regard <the esteem we all feel for her>

Jadi:
not more to be esteemed than beasts
berarti: tidak lebih tinggi/terhormat dari binatang
Bukan berarti:  layaknya binatang


thanks bro Kelana yg baik,
anda telah mengambil acuan yang benar, memang klo ditinjau dari dictionary seperti itu artinya, tapi yg saya maksudkan disini adalah penerjemah asing sering rancu menerjemahkan pali kedlm bhs inggris, contoh aja Stupa yang memang seharusnya diartikan aja sbg Stupa, toh itu memang istilah baku, tapi jadi memorium, lantas di bhs indonesiakan jadi nisan, terkesan kuburan (utk orang umum bukan utk orang suci). ini hanya sekedar contoh aja, nah yg saya maksud sy harus baca palinya dulu, apa memang benar dikatakan "tidak lebih berharga dari binatang", musti cek dulu.

mettacittena,

Offline pannadevi

  • Samaneri
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.960
  • Reputasi: 103
  • Gender: Female
Re: Kekerasan dan justifikasinya di Mahavamsa
« Reply #43 on: 17 September 2010, 10:05:41 PM »
Nice post bro, anda benar bro Jerry yg baik, memang bhikkhu yg menasehati King Dutthugemunu (King Duttagamani lebih dikenal dg Dutthugemunu) bertujuan mengingatkan untuk tujuan awal beliau yaitu menjaga Buddhism agar tetap terlindungi, agar dhamma tetap berkembang di Srilanka, karena Tamil non-Buddhist (saya belum cek ke bukunya utk melampirkan quotation, sory masih puyeng ujian). tapi saya ingat krn ada mata kuliah ini, kaitannya karena mata kuliah "perkembangan Pali Literature" jadi membahas Mahavamsa.
Thanks infonya Neri. Kan Raja Elara bagian dari dinasti kerajaan Chola, yang "konon" menyebabkan punahnya Sangha Bhikkhuni Theravada. Meski Raja Elara pada saat itu memerintah secara bijak, tetapi tidak diketahui bagaimana perlakuan terhadap Buddhis setelah pemerintahannya berganti. Terlebih lagi Raja Elara lah yang pertama-tama menyerbu dari India Selatan menuju ke Sri Lanka dan menaklukkan Raja Asela dari kerajaan Rajarata. Karena itu ada kemungkinan timbul kekhawatiran bahwa Buddhisme akan punah di kemudian hari sehingga peperangan Dutugemunu terhadap Elara tampaknya memang bersifat defensif. Terlebih lagi jika kita kaitkan dengan pendapat Neri bahwa: "bhikkhu yg menasehati King Dutugemunu bertujuan mengingatkan untuk tujuan awal beliau yaitu menjaga Buddhism agar tetap terlindungi, agar dhamma tetap berkembang di Srilanka."

Tentang duel yang benar adalah King Dutthugemunu yg menantang karena beliau tidak mau ada pertumpahan darah dari rakyat kedua belah pihak, cukup salah satu dari mereka berdua saja, yang kalah berarti yg mati.

Cara beliau ini amat dipuji rakyat dan diangkat sebagai "Pahlawan terhebat dari Srilanka" karena baru beliaulah yg berhasil menyatukan Srilanka menjadi utuh kesatuan. dan Presiden yang sekarang Mahinda Rajapaksa juga sering dianggap sebagai inkarnasi beliau karena berhasil menyatukan kembali Srilanka menjadi utuh kesatuan yg sebelumnya selama 30 thn telah pecah menjadi tinggal 70%, sedang yg 30% di klaim sbg Kekuasaan Tamil.

mettacittena,
Menurut yang saya baca, dalam peperangan itu sebelum berhadapan satu lawan satu dengan Raja Elara, dalam perang antara Dutugemunu dengan Elara telah berlangsung bertahun-tahun. Tidaklah mungkin dalam perang bertahun-tahun itu tidak ada korban jatuh, pasti ada. Tetapi kemudian kedua raja sepakat untuk menyelesaikan dalam duel satu lawan satu di atas gajah. Sifat ksatria dari kedua raja itu yang patut diacungi jempol.

be happy
_/\_

bro Jerry yg baik,
setahu saya bukan terjadi perang terus2an, justru saat itu Tamil berkuasa, lalu King Dutthugemunu ingin melawan tapi dicegah ayahnya sehingga ayahnya dikirimin (maaf!) peralatan wanita, utk mengejek ayahnya yang seperti banci. lalu beliau meninggalkan istana dan menyusun kekuatan, selama beliau merantau menyusun kekuatan itulah beliau selalu berkonsultasi dg anggota sangha.(sebenarnya beliau hubungannya dg anggota sangha udah dekat sejak muda, wkt kanak2 berantem dg kakaknya Saddhatissa, yg kelak menjadi raja menggantikan beliau krn meninggal, sehingga kakaknya sembunyi dibawah bed Bhikkhu itupun juga dinasehati oleh anggota sangha dan beliau berbaikan kembali dg kakaknya)

sebagai info selama Tamil berkuasa, mereka amat menyiksa kaum rakyat Sinhala, salah satunya pembangunan Stupa terbesar (dan sungguh2 terbesar diatas gunung batu tapi tidak selesai) dengan menggunakan para narapidana tanpa makan minum sehingga korban meninggal berguguran. padahal narapidana banyak yg asal tuduh agar bisa dimasukkan dlm penjara sehingga dikirim utk tenaga kerja paksa.

samalah dengan bangsa Indonesia waktu dijajah, pasti rakyat Indonesia menderita, jadi tujuan untuk memulihkan negara kembali kepangkuan rakyat Indonesia merupakan tujuan mulia, nah ini sama, tujuan mereka utk mengembalikan Srilanka menjadi tanah air mereka kembali, dan yang paling penting adalah untuk melindungi agar dhamma tetap berkembang di Srilanka. bisa dibayangkan jika Tamil yg berkuasa dpt menghancurkan Buddhism di Srilanka. (terbukti dg pemusnahan bhikkhuni Theravada).

mettacittena,
« Last Edit: 17 September 2010, 10:15:01 PM by pannadevi »

Offline Jerry

  • Sebelumnya xuvie
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.212
  • Reputasi: 124
  • Gender: Male
  • Suffering is optional.. Pain is inevitable..
Re: Kekerasan dan justifikasinya di Mahavamsa
« Reply #44 on: 17 September 2010, 10:16:29 PM »
Namaste Neri,

Thanks atas infonya Neri, saya mah cuman baca-baca dari internet. Sedangkan Neri telah tinggal cukup lama di sana dan memiliki akses langsung untuk mempelajari secara komprehensif dari sumber-sumber langsung berkaitan dengan itu. Karenanya informasi dari Samaneri sangat penting melengkapi pengetahuan kita-kita yang ada di sini mengenai perang antara Dutugemunu dan Elara. Dengan demikian, sementara saya sampai pada kesimpulan bahwa meski kata-kata yang diucapkan para bhikkhu cenderung ditafsirkan kasar, tetapi perang Dutugemunu merupakan sebuah perang bersifat defensif, bukannya perang yang dibenarkan.

be happy
_/\_
appamadena sampadetha

 

anything