Sumber Copas dari:
http://bhagavant.com/home.php?link=naskah_dhamma_article&n_id=67
Namo Tassa Bhagavato Arahato Sammasambuddhasa
"Ada kemungkinan, bahwa di antara kalian ada yang berpikir:
`Berakhirlah kata-kata Sang Guru; kita tidak mempunyai seorang Guru lagi.
` Tetapi, Ananda, hendaknya tidak berpikir demikian. Sebab apa yang telah Aku ajarkan sebagai Dhamma dan Vinaya, Ananda, itulah kelak yang menjadi Guru-mu, ketika Aku pergi."
(Mahaparinibbana Sutta, Digha Nikaya 16)
Dewasa ini banyak di antara kita yang dibingungkan oleh kehadiran kelompok-kelompok yang mengajarkan suatu ajaran dengan mengatasnamakan Buddhisme. Banyak pertanyaan yang dilontarkan seperti : Apakah kelompok ini adalah salah satu aliran Buddhisme ? Apakah aliran ini
merupakan aliran sesat ? Apakah ajaran ini merupakan ajaran yang diajarkan oleh Sang Buddha ? Dan sebagainya.
Dari kebingungan tersebut timbul sebuah pertanyaan : Bagaimana kita membedakan mana yang merupakan ajaran yang diajarkan oleh Sang Buddha dengan yang bukan ? Apakah Sang Buddha pernah memberikan petunjuk untuk menangani masalah ini ? Jawabannya ya, Sang Buddha telah
memberikan petunjuk untuk menangani masalah ini.
Di bumi ini tidak ada Guru lain seperti Sang Buddha. Sang Buddha adalah Guru yang penuh dengan ketelitian, memiliki kecermatan, dan pandangan luas ke depan. Di saat-saat menjelang Parnibbana, sebelum Ia Parinibbana, Ia sudah mempersiapkan, dan memastikan secara benar
kesiapan, keutuhan apa yang telah Ia temukan dan ia rintis yaitu keberadaan Dhamma, Vinaya, dan Sangha. Beliau mengatakan bahwa yang menggantian Beliau setelah Ia tiada bukanlah salah satu siswa UtamaNya, bukan Y.A Maha Kasappa yang ahli dalam latihan, bukan Y.A
Upali yang ahli dalam Vinaya, dan bukan juga Ananda yang merupakan Bendahara Dhamma. Tetapi yang menggantikan Beliau sebagai Guru bagi para siswaNya adalah Dhamma (ajaran) dan Vinaya (tata tertib). Selain untuk menghindari perselisihan , hal ini ditetapkan juga untuk
menghindari pengkultusan individu di masa yang akan datang yang akan menimbulkan kemelekatan pada diri seseorang, dan ini akan mengganggu pencapaian seseorang.
Dengan demikian setelah Sang Buddha parinibbana sampai sekarang tidak ada pengganti diriNya selain Dhamma dan Vinaya.
Lebih jauh seseorang mungkin akan bertanya, "Bagaimana kita mengetahui dan memastikan bahwa Dhamma dan Vinaya yang kita pelajari sekarang adalah Dhamma dan Vinaya yang di ajarkan oleh Sang Buddha?" Pertanyaan kritis ini sangat penting karena akan menepis kepercayaan membuta terhadap suatu ajaran.
Jauh sebelum Sang Buddha Parinibbana, Ia juga telah memberikan batasan mengenai apa-apa saja yang termasuk dalam Dhamma dan Vinaya. Hal ini berguna untuk membedakan mana yang merupakan ajaran Sang Buddha dan mana yang bukan, yang mana Dhamma dan yang mana Vinaya.
Dalam Gotami Sutta (Anguttara Nikaya VIII. 53) , Sang Buddha menjelaskan kepada Y.A. Mahapajapati Gotami:
"Bila, Gotami, engkau mengetahui hal-hal secara pasti: `Hal-hal ini menuju pada nafsu, bukan pada tanpa-nafsu; pada kemelekatan, bukan pada tanpa-kemelekatan; pada pengumpulan, bukan pada pelepasan; pada memiliki banyak keinginan, bukan pada memiliki sedikit keinginan; pada
ketidakpuasan, bukan pada kepuasan; pada suka berkumpul, bukan pada kesendirian; pada kelambanan, bukan pada kebangkitan semangat; pada kehidupan yang mewah, bukan pada kesederhanaan` - tentang hal-hal ini engkau bisa merasa pasti: `Ini bukanlah Dhamma; ini bukanlah Vinaya; ini bukanlah Ajaran Sang Guru.`"
"Tetapi, Gotami, bila engkau mengetahui hal-hal secara pasti: `Hal-hal ini menuju pada tanpa-nafsu, bukan pada nafsu; pada tanpa-kemelekatan, bukan pada kemelekatan; pada pelepasan, bukan pada pengumpulan; pada memiliki sedikit keinginan, bukan pada memiliki banyak keinginan; pada kepuasan, bukan pada ketidakpuasan; pada kesendirian, bukan pada berkumpul; pada kebangkitan semangat, bukan pada kelambanan; pada kesederhanaan, bukan pada kehidupan mewah` - tentang hal-hal ini engkau bisa merasa pasti: `Ini adalah Dhamma; ini adalah Vinaya; ini
adalah Ajaran Sang Guru.`"
Begitu juga dalam SatthuSasana Sutta (Anguttara Nikaya VII. 80) , Sang Buddha menjelaskan kepada Y.A. Upali :
"Upali, jika engkau mengetahui tentang hal-hal tertentu: `Hal-hal ini tidak membawa menuju perubahan sepenuhnya, hilangnya nafsu, penghentian dan kedamaian, menuju pengetahuan langsung, pencerahan spiritual dan Nibbana` - dari ajaran-ajaran seperti itu engkau bisa
merasa yakin: Ini bukan Dhamma; ini bukan Vinaya; ini bukan Ajaran Sang Guru.`"
"Tetapi Upali, jika engkau mengetahui tentang hal-hal tertentu: `Hal-hal ini membawa menuju perubahan sepenuhnya, hilangnya nafsu, penghentian dan kedamaian, menuju pengetahuan langsung, pencerahan spiritual dan Nibbana` - dari hal-hal semacam itu engkau bisa merasa
yakin: Inilah Dhamma; inilah Vinaya; inilah Ajaran Sang Guru.`"
Dari petunjuk Sang Buddha berupa kriteria Dhamma dan Vinaya dalam Gotami Sutta maupun SatthuSasana Sutta kita bisa melihat, menganalisa, meneliti secara hati-hati terhadap berbagai macam ajaran yang kita temui dewasa ini, sehingga kita bisa menemukan mana yang bukan ajaran
Sang Buddha (yang menyimpang dari ajaran Sang Buddha), mana yang tidak. Misalnya ketika kita menemukan sebuah ajaran yang mengajarkan untuk membunuh dengan alasan tertentu, kita bisa menjadikan penjelasan Sang Budda mengenai apa itu Dhamma dan Vinaya sebagai panduan. Setelah kita menganalisanya, kita dapat mengetahui bahwa membunuh itu menuju
pada nafsu dan tidak menuju pada pelepasan, maka ajaran yang mengajarkan untuk membunuh tersebut bukan merupakan Dhamma dan Vinaya, bukan ajaran Sang Buddha. Dan kita perlu menghindarinya.
Dari apa yang disampaikan di atas, semoga kebingungan kita akan pembedaan antara mana yang merupakan ajaran Sang Guru Buddha atau bukan, yang merupakan Dhamma dan Vinaya atau bukan, serta yang merupakan aliran Buddhisme atau bukan, dapat kita ketahui dan pahami.
Semoga semua makhluk bebas dari penderitaan.
Disusun oleh: Bhagavant.com
			
			
			
				kalo talk show spektakuler fengshui dan keberhasilan bisnis itu mengarah pada nafsu atau tanpa nafsu, pelepasan atau pengumpulan, kesederhanaan atau kemewahan?
sorry, can't help it...
			
			
			
				Quote from: morpheus on 26 July 2010, 11:30:45 PM
kalo talk show spektakuler fengshui dan keberhasilan bisnis itu mengarah pada nafsu atau tanpa nafsu, pelepasan atau pengumpulan, kesederhanaan atau kemewahan?
sorry, can't help it...
yah begitulah kondisinya om. :(
			
 
			
			
				Quote from: Sunkmanitu Tanka Ob'waci on 26 July 2010, 11:34:56 PM
Quote from: morpheus on 26 July 2010, 11:30:45 PM
kalo talk show spektakuler fengshui dan keberhasilan bisnis itu mengarah pada nafsu atau tanpa nafsu, pelepasan atau pengumpulan, kesederhanaan atau kemewahan?
sorry, can't help it...
yah begitulah kondisinya om. :(
Contoh2 Dhamma dan Vinaya yang dikutip di atas khan memang dikhotbahkan Sang Buddha ke bhikkhu dan bhikkhuni. Tentu Sang Buddha tidak akan berbicara bisnis, melainkan praktik Dhamma demi lenyapnya kekotoran batin dan perealisasian nibbāna. Tapi Sang Buddha juga sering berkhotbah ke para umat awam bagaimana supaya mereka berkembang dalam ekonomi. Terkadang, kekayaan (dalam hal ini untuk umat awam) yang digunakan dengan baik juga akan membantunya dalam mengembangkan spiritual. 
			
 
			
			
				Quote from: Peacemind on 26 July 2010, 11:50:25 PM
Tapi Sang Buddha juga sering berkhotbah ke para umat awam bagaimana supaya mereka berkembang dalam ekonomi. 
saya kok meragukan, Sang Buddha, sang arahat yang tercerahkan mandiri, yang telah bangun, mengajarkan orang bagaimana mengembangkan ekonomi atau kekayaannya, apalagi menjelaskan fengshui atau vastu atau sebangsanya (ok.. ok.. dighajanu akan muncul, no further comment).
Quote from: Peacemind on 26 July 2010, 11:50:25 PM
Terkadang, kekayaan (dalam hal ini untuk umat awam) yang digunakan dengan baik juga akan membantunya dalam mengembangkan spiritual. 
saya pikir pengembangan spiritual terjadi saat ada perubahan ataupun transformasi batin, dari batin yang mengarah pada nafsu menuju padamnya nafsu, dari batin yang mengakumulasi ke batin yang melepas, dari batin yang melekat menuju ke tidak-melekat.
pengembangan spiritual tidak ada korelasinya dengan sedikit banyaknya kekayaan.
			
 
			
			
				Quote from: morpheus on 27 July 2010, 10:06:25 AM
Quote from: Peacemind on 26 July 2010, 11:50:25 PM
Tapi Sang Buddha juga sering berkhotbah ke para umat awam bagaimana supaya mereka berkembang dalam ekonomi. 
saya kok meragukan, Sang Buddha, sang arahat yang tercerahkan mandiri, yang telah bangun, mengajarkan orang bagaimana mengembangkan ekonomi atau kekayaannya, apalagi menjelaskan fengshui atau vastu atau sebangsanya (ok.. ok.. dighajanu akan muncul, no further comment).
Quote from: Peacemind on 26 July 2010, 11:50:25 PM
Terkadang, kekayaan (dalam hal ini untuk umat awam) yang digunakan dengan baik juga akan membantunya dalam mengembangkan spiritual. 
saya pikir pengembangan spiritual terjadi saat ada perubahan ataupun transformasi batin, dari batin yang mengarah pada nafsu menuju padamnya nafsu, dari batin yang mengakumulasi ke batin yang melepas, dari batin yang melekat menuju ke tidak-melekat.
pengembangan spiritual tidak ada korelasinya dengan sedikit banyaknya kekayaan.
bagaimana dengan sigalovada sutta ?
			
 
			
			
				Quote from: dewi_go on 26 July 2010, 07:10:56 PM
Dalam Gotami Sutta (Anguttara Nikaya VIII. 53) , Sang Buddha menjelaskan kepada Y.A. Mahapajapati Gotami:
"Bila, Gotami, engkau mengetahui hal-hal secara pasti: `Hal-hal ini menuju pada nafsu, bukan pada tanpa-nafsu; pada kemelekatan, bukan pada tanpa-kemelekatan; pada pengumpulan, bukan pada pelepasan; pada memiliki banyak keinginan, bukan pada memiliki sedikit keinginan; pada
ketidakpuasan, bukan pada kepuasan; pada suka berkumpul, bukan pada kesendirian; pada kelambanan, bukan pada kebangkitan semangat; pada kehidupan yang mewah, bukan pada kesederhanaan` - tentang hal-hal ini engkau bisa merasa pasti: `Ini bukanlah Dhamma; ini bukanlah Vinaya; ini bukanlah Ajaran Sang Guru.`"
tapi ada yang suka pake ROLEX dan ngaku2 the living buddha. :hammer:
			
 
			
			
				Quote from: tuwino gunawan on 27 July 2010, 10:13:23 AM
Quote from: dewi_go on 26 July 2010, 07:10:56 PM
Dalam Gotami Sutta (Anguttara Nikaya VIII. 53) , Sang Buddha menjelaskan kepada Y.A. Mahapajapati Gotami:
"Bila, Gotami, engkau mengetahui hal-hal secara pasti: `Hal-hal ini menuju pada nafsu, bukan pada tanpa-nafsu; pada kemelekatan, bukan pada tanpa-kemelekatan; pada pengumpulan, bukan pada pelepasan; pada memiliki banyak keinginan, bukan pada memiliki sedikit keinginan; pada
ketidakpuasan, bukan pada kepuasan; pada suka berkumpul, bukan pada kesendirian; pada kelambanan, bukan pada kebangkitan semangat; pada kehidupan yang mewah, bukan pada kesederhanaan` - tentang hal-hal ini engkau bisa merasa pasti: `Ini bukanlah Dhamma; ini bukanlah Vinaya; ini bukanlah Ajaran Sang Guru.`"
tapi ada yang suka pake ROLEX dan ngaku2 the living buddha. :hammer:
karena itu masuk aliran theravada maka bagi living buddha itu tidak berlaku =))
			
 
			
			
				Quote from: morpheus
saya kok meragukan, Sang Buddha, sang arahat yang tercerahkan mandiri, yang telah bangun, mengajarkan orang bagaimana mengembangkan ekonomi atau kekayaannya, apalagi menjelaskan fengshui atau vastu atau sebangsanya (ok.. ok.. dighajanu akan muncul, no further comment).
Setahu saya Sang Buddha tidak pernah mengajarkan fengshui, vastu, atau sebangsanya. Yang diajarkan adalah dukkha dan terhentinya dukkha. Kepada orang yang tidak tertarik pada jalan spiritual, maka Sang Buddha hanya akan mengajarkan moralitas. Di dalam moralitas, salah satu yang diajarkan Sang Buddha adalah anjuran untuk mengumpulkan kekayaan duniawi tanpa merugikan makhluk lain. Hanya itu saja.
Quote from: morpheus
saya pikir pengembangan spiritual terjadi saat ada perubahan ataupun transformasi batin, dari batin yang mengarah pada nafsu menuju padamnya nafsu, dari batin yang mengakumulasi ke batin yang melepas, dari batin yang melekat menuju ke tidak-melekat.
pengembangan spiritual tidak ada korelasinya dengan sedikit banyaknya kekayaan.
Sang Buddha tidak mengajarkan tips mengumpulkan kekayaan pada orang yang mencari akhir dukkha. Sang Buddha tidak mengajarkan tips mengakhiri dukkha pada umat awam yang tertarik pada kehidupan duniawi. 
			
 
			
			
				Quote from: morpheus on 27 July 2010, 10:06:25 AM
Quote from: Peacemind on 26 July 2010, 11:50:25 PM
Tapi Sang Buddha juga sering berkhotbah ke para umat awam bagaimana supaya mereka berkembang dalam ekonomi. 
saya kok meragukan, Sang Buddha, sang arahat yang tercerahkan mandiri, yang telah bangun, mengajarkan orang bagaimana mengembangkan ekonomi atau kekayaannya, apalagi menjelaskan fengshui atau vastu atau sebangsanya (ok.. ok.. dighajanu akan muncul, no further comment).
Kalau saya sih berpendapat bahwa Sang Buddha sering mengajarkan bagaimana umat awam bisa mengembangkan ekonomi mereka meningingat apa yang beliau sendiri katakan bahwa kemiskinan adalah penderitaan di dunia, juga karena apa yang Sang BUddha hadapi bukan hanya orang2 yang ingin bebas dari penderitaan. Namun demikian, dalam mengajarkan bagaimana mengembangkan ekonomi, Sang Buddha menunjukkan cara yang lebih nyata, masuk akal, dan bukan seperti semacam ramalan atau sperti fengshui atau vasthu. Bahklan kalau kita mengacu kepada Brahmajalasutta, mengajarkan fengshui atau vastu, bagi seorang bhikkhu termasuk tiracchanavijja. Sang Buddha mengajarkan cara mengembangkan ekonomi tanpa meninggalkan nilai2 moral manusia. Sebagai contoh, dalam Pattakammasutta, Anguttaranikaya, Sang Buddha mengatakan bahwa ada empat keinginan umum manusia. Salah satunya adalah kekayaan. Beliau, dalm sutta yang sama, menjelaskan bahwa empat keinginan manusia tersebut bisa terpenuhi dengan memiliki saddhā, sīla, cāga dan paññā. Empat hal ini, selain mendukung seseorang dalam upaya mendaptkan empat keinginan umum manusia, juga mendukung seseorang dalam penegembangan spiritual. 
Quote
Quote from: Peacemind on 26 July 2010, 11:50:25 PM
Terkadang, kekayaan (dalam hal ini untuk umat awam) yang digunakan dengan baik juga akan membantunya dalam mengembangkan spiritual. 
saya pikir pengembangan spiritual terjadi saat ada perubahan ataupun transformasi batin, dari batin yang mengarah pada nafsu menuju padamnya nafsu, dari batin yang mengakumulasi ke batin yang melepas, dari batin yang melekat menuju ke tidak-melekat.
pengembangan spiritual tidak ada korelasinya dengan sedikit banyaknya kekayaan.
Memang materi dan pikiran merupakan dua hal berbeda. Tapi keduanya bisa saling mempengaruhi. Melalui materi yang digunakan secara baik, seperti contoh, sebagai sarana untuk melatih melepas melalui dana atau cāga, tentu akan membantu seseorang untuk lebih mudah memiliki pikiran melepas, ketimbang seseorang yang tidak pernah berlatih berdana atau cāga. Memang cara ini tidak sesempurna ketika seseorang mempraktikkan sila, samādhi atau pañña, namun setidaknya berdana pun atau melatih pikiran kedermawanan melalui materi yang ada, setidaknya memberikan dukungan kepada seseorang untuk mudah melepas.....
Mettacittena.
			
 
			
			
				Quote from: ryu on 27 July 2010, 10:12:42 AM
bagaimana dengan sigalovada sutta ?
seperti yg udah saya bilang, dighajanu, sigalovada, etc pasti akan keluar  :))
no further comments  :whistle:
			
 
			
			
				Quote from: upasaka on 27 July 2010, 11:11:52 AM
Sang Buddha tidak mengajarkan tips mengumpulkan kekayaan pada orang yang mencari akhir dukkha. Sang Buddha tidak mengajarkan tips mengakhiri dukkha pada umat awam yang tertarik pada kehidupan duniawi. 
secara general setuju dengan anda, plus ada juga umat awam yang tertarik pada pengertian yang lebih dalam, dukkha dan akhir dukkha...
			
 
			
			
				Quote from: morpheus on 27 July 2010, 12:40:39 PM
Quote from: ryu on 27 July 2010, 10:12:42 AM
bagaimana dengan sigalovada sutta ?
seperti yg udah saya bilang, dighajanu, sigalovada, etc pasti akan keluar  :))
no further comments  :whistle:
ohh, yo wess, maklum aye kaga tau apa dighajanu :))
			
 
			
			
				Quote from: morpheus on 27 July 2010, 10:06:25 AM
saya kok meragukan, Sang Buddha, sang arahat yang tercerahkan mandiri, yang telah bangun, mengajarkan orang bagaimana mengembangkan ekonomi atau kekayaannya, apalagi menjelaskan fengshui atau vastu atau sebangsanya (ok.. ok.. dighajanu akan muncul, no further comment).
Kalo menurut Bro morpheus, bagaimanakah sikap Buddha jika ditanya tentang hal-hal duniawi? Apakah langsung dialihkan ke arah lenyapnya dukkha? 
Quotesaya pikir pengembangan spiritual terjadi saat ada perubahan ataupun transformasi batin, dari batin yang mengarah pada nafsu menuju padamnya nafsu, dari batin yang mengakumulasi ke batin yang melepas, dari batin yang melekat menuju ke tidak-melekat.
pengembangan spiritual tidak ada korelasinya dengan sedikit banyaknya kekayaan.
Ini saya sangat setuju. 
			
 
			
			
				Quote from: Kainyn_Kutho on 27 July 2010, 01:34:20 PM
Quote from: morpheus on 27 July 2010, 10:06:25 AM
saya pikir pengembangan spiritual terjadi saat ada perubahan ataupun transformasi batin, dari batin yang mengarah pada nafsu menuju padamnya nafsu, dari batin yang mengakumulasi ke batin yang melepas, dari batin yang melekat menuju ke tidak-melekat.
pengembangan spiritual tidak ada korelasinya dengan sedikit banyaknya kekayaan.
Ini saya sangat setuju. 
saya tidak setuju, baca CAKKAVATTI SIHANADA SUTTA
			
 
			
			
				Quote from: ryu on 27 July 2010, 02:00:27 PM
saya tidak setuju, baca CAKKAVATTI SIHANADA SUTTA
Jadi korelasinya bagaimana menurut Bro ryu? Berbanding lurus/terbalik? 
			
 
			
			
				Quote from: Kainyn_Kutho on 27 July 2010, 02:02:00 PM
Quote from: ryu on 27 July 2010, 02:00:27 PM
saya tidak setuju, baca CAKKAVATTI SIHANADA SUTTA
Jadi korelasinya bagaimana menurut Bro ryu? Berbanding lurus/terbalik? 
orang yang mempunyai kekayaan kesempatan untuk mengembangkan spiritualnya lebih besar daripada orang yang miskin, walaupun tidak menutup kemungkinan orang yang kaya tidak bisa memanfaatkan kekayaannya dengan benar, oleh karena itu buddha mengajarkan dengan bijaksana dalam sigalovada sutta.
			
 
			
			
				Quote from: ryu on 27 July 2010, 02:08:04 PM
Quote from: Kainyn_Kutho on 27 July 2010, 02:02:00 PM
Quote from: ryu on 27 July 2010, 02:00:27 PM
saya tidak setuju, baca CAKKAVATTI SIHANADA SUTTA
Jadi korelasinya bagaimana menurut Bro ryu? Berbanding lurus/terbalik? 
orang yang mempunyai kekayaan kesempatan untuk mengembangkan spiritualnya lebih besar daripada orang yang miskin, walaupun tidak menutup kemungkinan orang yang kaya tidak bisa memanfaatkan kekayaannya dengan benar, oleh karena itu buddha mengajarkan dengan bijaksana dalam sigalovada sutta.
Lalu menurut Bro ryu, mengapa beberapa orang memilih mengembangkan spiritual dengan jalan menjadi petapa yang notabene tidak memiliki kekayaan? 
			
 
			
			
				Quote from: Kainyn_Kutho on 27 July 2010, 01:34:20 PM
Kalo menurut Bro morpheus, bagaimanakah sikap Buddha jika ditanya tentang hal-hal duniawi? Apakah langsung dialihkan ke arah lenyapnya dukkha? 
mungkin tergantung kondisinya yah... pada salah satu kesempatan magandiya menawarkan untuk mengawinkan anaknya kepada Sang Buddha, tapi beliau menggunakan kesempatan itu untuk mengajarkan si brahmin ttg ajaran yang lebih dalam hingga dia tercerahkan...
http://www.accesstoinsight.org/tipitaka/kn/snp/snp.4.09.than.html
ngomongin Sang Buddha mungkin terlalu jauh. saat ajahn chah dimintain jimat, dimintain air suci dll, beliau selalu menggunakan kesempatan ini untuk mengajarkan Dhamma yang lebih tinggi dari sekadar pemuasan duniawi, kadang dengan cara2 yang ekstrim...
ini pendapat pribadi saya... no further comment...
			
 
			
			
				Quote from: Kainyn_Kutho on 27 July 2010, 02:09:11 PM
Quote from: ryu on 27 July 2010, 02:08:04 PM
Quote from: Kainyn_Kutho on 27 July 2010, 02:02:00 PM
Quote from: ryu on 27 July 2010, 02:00:27 PM
saya tidak setuju, baca CAKKAVATTI SIHANADA SUTTA
Jadi korelasinya bagaimana menurut Bro ryu? Berbanding lurus/terbalik? 
orang yang mempunyai kekayaan kesempatan untuk mengembangkan spiritualnya lebih besar daripada orang yang miskin, walaupun tidak menutup kemungkinan orang yang kaya tidak bisa memanfaatkan kekayaannya dengan benar, oleh karena itu buddha mengajarkan dengan bijaksana dalam sigalovada sutta.
Lalu menurut Bro ryu, mengapa beberapa orang memilih mengembangkan spiritual dengan jalan menjadi petapa yang notabene tidak memiliki kekayaan? 
pertama, dengan kekayaan seseorang bisa mencari guru yang bisa mengajarkannya dengan benar
kedua, dengan kekayaan mungkin orang itu bisa tenang meninggalkan keluarganya yang tidak ikut dengan dia menjalani pertapaan
ketiga, dengan kekayaan saya rasa itu meupakan timbunan hasil karma baik dia di masa lampau
			
 
			
			
				Quote from: ryu on 27 July 2010, 02:17:52 PM
pertama, dengan kekayaan seseorang bisa mencari guru yang bisa mengajarkannya dengan benar
Mungkin maksudnya memiliki kemampuan dan kesempatan seperti bisa mencari di luar negeri dan sebagainya, punya waktu luang tidak seharian dihabiskan untuk kerja paksa, saya setuju. 
Quotekedua, dengan kekayaan mungkin orang itu bisa tenang meninggalkan keluarganya yang tidak ikut dengan dia menjalani pertapaan
ketiga, dengan kekayaan saya rasa itu meupakan timbunan hasil karma baik dia di masa lampau
Keluarga yang ditinggalkan itu sifatnya kondisional. Jika keluarganya memang mandiri, kekayaan orang itu tidak memiliki arti apa-apa. Mengenai kamma, memang kebahagiaan adalah buah kamma baik masa lampau. 
Tetapi sebetulnya bukan itu yang saya tanyakan. Semula dikatakan kesempatan pengembangan spiritual bagi orang kaya lebih besar, lalu mengapa justru orang meninggalkan kekayaan (menjadi bhikkhu, misalnya) untuk mengembangkan kemampuan spiritualnya? 
			
 
			
			
				Quote from: Kainyn_Kutho on 27 July 2010, 02:38:23 PM
Quote from: ryu on 27 July 2010, 02:17:52 PM
pertama, dengan kekayaan seseorang bisa mencari guru yang bisa mengajarkannya dengan benar
Mungkin maksudnya memiliki kemampuan dan kesempatan seperti bisa mencari di luar negeri dan sebagainya, punya waktu luang tidak seharian dihabiskan untuk kerja paksa, saya setuju. 
Quotekedua, dengan kekayaan mungkin orang itu bisa tenang meninggalkan keluarganya yang tidak ikut dengan dia menjalani pertapaan
ketiga, dengan kekayaan saya rasa itu meupakan timbunan hasil karma baik dia di masa lampau
Keluarga yang ditinggalkan itu sifatnya kondisional. Jika keluarganya memang mandiri, kekayaan orang itu tidak memiliki arti apa-apa. Mengenai kamma, memang kebahagiaan adalah buah kamma baik masa lampau. 
Tetapi sebetulnya bukan itu yang saya tanyakan. Semula dikatakan kesempatan pengembangan spiritual bagi orang kaya lebih besar, lalu mengapa justru orang meninggalkan kekayaan (menjadi bhikkhu, misalnya) untuk mengembangkan kemampuan spiritualnya? 
ya mungkin itu disebut modal awal ;D seperti menyebrang di perlukan rakit, setelah sampai rakit itu di tinggalkan ;D
			
 
			
			
				Quote from: ryu on 27 July 2010, 03:03:47 PM
ya mungkin itu disebut modal awal ;D seperti menyebrang di perlukan rakit, setelah sampai rakit itu di tinggalkan ;D
Kalau begitu, bagaimana dengan Suppabuddha seorang miskin dan penderita lepra yang tanpa "modal awal" mencapai Sotapanna? Bagaimana dengan Pilotikatissa, seorang pengemis yang dibawa Ananda dan akhirnya mencapai Arahatta? 
			
 
			
			
				Quote from: ryu on 27 July 2010, 02:17:52 PM
Quote from: Kainyn_Kutho on 27 July 2010, 02:09:11 PM
Quote from: ryu on 27 July 2010, 02:08:04 PM
Quote from: Kainyn_Kutho on 27 July 2010, 02:02:00 PM
Quote from: ryu on 27 July 2010, 02:00:27 PM
saya tidak setuju, baca CAKKAVATTI SIHANADA SUTTA
Jadi korelasinya bagaimana menurut Bro ryu? Berbanding lurus/terbalik? 
orang yang mempunyai kekayaan kesempatan untuk mengembangkan spiritualnya lebih besar daripada orang yang miskin, walaupun tidak menutup kemungkinan orang yang kaya tidak bisa memanfaatkan kekayaannya dengan benar, oleh karena itu buddha mengajarkan dengan bijaksana dalam sigalovada sutta.
Lalu menurut Bro ryu, mengapa beberapa orang memilih mengembangkan spiritual dengan jalan menjadi petapa yang notabene tidak memiliki kekayaan? 
pertama, dengan kekayaan seseorang bisa mencari guru yang bisa mengajarkannya dengan benar
kedua, dengan kekayaan mungkin orang itu bisa tenang meninggalkan keluarganya yang tidak ikut dengan dia menjalani pertapaan
ketiga, dengan kekayaan saya rasa itu meupakan timbunan hasil karma baik dia di masa lampau
mencari guru yg baik adalah dengan usaha, bukan dengan kekayaan.
keluarga yg ditinggalkan terlindung oleh karmanya sendiri, walaupun kita mewariskan harta yg sangat banyak, itu tidak menjamin kemakmuran keluarga yg ditinggalkan.
jadi saya lebih setuju dengan Bro Kain di sini
			
 
			
			
				suppabuddha kan bareng ama bahiya dulunya, jadi modal awalnya gak keliatan.
			
			
			
				singkat kata mengamati ke dalam dan melepas / berhenti itu gratis...
			
			
			
				Quote from: Sunkmanitu Tanka Ob'waci on 27 July 2010, 03:18:16 PM
suppabuddha kan bareng ama bahiya dulunya, jadi modal awalnya gak keliatan.
Modal awal di sini 'kan maksudnya "kekayaan duniawi", bukan modal kamma baik dan parami. 
			
 
			
			
				Quote from: Kainyn_Kutho on 27 July 2010, 03:11:43 PM
Quote from: ryu on 27 July 2010, 03:03:47 PM
ya mungkin itu disebut modal awal ;D seperti menyebrang di perlukan rakit, setelah sampai rakit itu di tinggalkan ;D
Kalau begitu, bagaimana dengan Suppabuddha seorang miskin dan penderita lepra yang tanpa "modal awal" mencapai Sotapanna? Bagaimana dengan Pilotikatissa, seorang pengemis yang dibawa Ananda dan akhirnya mencapai Arahatta? 
memang ada hal2 seperti itu, tapi tetap ada korelasinya seseorang yang banyak kekayaan dengan pengembangan spiritual ;D
			
 
			
			
				Quote from: Indra on 27 July 2010, 03:16:27 PM
Quote from: ryu on 27 July 2010, 02:17:52 PM
Quote from: Kainyn_Kutho on 27 July 2010, 02:09:11 PM
Quote from: ryu on 27 July 2010, 02:08:04 PM
Quote from: Kainyn_Kutho on 27 July 2010, 02:02:00 PM
Quote from: ryu on 27 July 2010, 02:00:27 PM
saya tidak setuju, baca CAKKAVATTI SIHANADA SUTTA
Jadi korelasinya bagaimana menurut Bro ryu? Berbanding lurus/terbalik? 
orang yang mempunyai kekayaan kesempatan untuk mengembangkan spiritualnya lebih besar daripada orang yang miskin, walaupun tidak menutup kemungkinan orang yang kaya tidak bisa memanfaatkan kekayaannya dengan benar, oleh karena itu buddha mengajarkan dengan bijaksana dalam sigalovada sutta.
Lalu menurut Bro ryu, mengapa beberapa orang memilih mengembangkan spiritual dengan jalan menjadi petapa yang notabene tidak memiliki kekayaan? 
pertama, dengan kekayaan seseorang bisa mencari guru yang bisa mengajarkannya dengan benar
kedua, dengan kekayaan mungkin orang itu bisa tenang meninggalkan keluarganya yang tidak ikut dengan dia menjalani pertapaan
ketiga, dengan kekayaan saya rasa itu meupakan timbunan hasil karma baik dia di masa lampau
mencari guru yg baik adalah dengan usaha, bukan dengan kekayaan.
keluarga yg ditinggalkan terlindung oleh karmanya sendiri, walaupun kita mewariskan harta yg sangat banyak, itu tidak menjamin kemakmuran keluarga yg ditinggalkan.
jadi saya lebih setuju dengan Bro Kain di sini
walaupun terlindung oleh karmanya sendiri masa kalau miskin juga di tinggalkan?  memangnya pikiran bisa tenang meninggalkan keluarga yang miskin demi meninggalkan duniawi?
			
 
			
			
				Quote from: ryu on 27 July 2010, 03:42:51 PM
Quote from: Indra on 27 July 2010, 03:16:27 PM
Quote from: ryu on 27 July 2010, 02:17:52 PM
Quote from: Kainyn_Kutho on 27 July 2010, 02:09:11 PM
Quote from: ryu on 27 July 2010, 02:08:04 PM
Quote from: Kainyn_Kutho on 27 July 2010, 02:02:00 PM
Quote from: ryu on 27 July 2010, 02:00:27 PM
saya tidak setuju, baca CAKKAVATTI SIHANADA SUTTA
Jadi korelasinya bagaimana menurut Bro ryu? Berbanding lurus/terbalik? 
orang yang mempunyai kekayaan kesempatan untuk mengembangkan spiritualnya lebih besar daripada orang yang miskin, walaupun tidak menutup kemungkinan orang yang kaya tidak bisa memanfaatkan kekayaannya dengan benar, oleh karena itu buddha mengajarkan dengan bijaksana dalam sigalovada sutta.
Lalu menurut Bro ryu, mengapa beberapa orang memilih mengembangkan spiritual dengan jalan menjadi petapa yang notabene tidak memiliki kekayaan? 
pertama, dengan kekayaan seseorang bisa mencari guru yang bisa mengajarkannya dengan benar
kedua, dengan kekayaan mungkin orang itu bisa tenang meninggalkan keluarganya yang tidak ikut dengan dia menjalani pertapaan
ketiga, dengan kekayaan saya rasa itu meupakan timbunan hasil karma baik dia di masa lampau
mencari guru yg baik adalah dengan usaha, bukan dengan kekayaan.
keluarga yg ditinggalkan terlindung oleh karmanya sendiri, walaupun kita mewariskan harta yg sangat banyak, itu tidak menjamin kemakmuran keluarga yg ditinggalkan.
jadi saya lebih setuju dengan Bro Kain di sini
walaupun terlindung oleh karmanya sendiri masa kalau miskin juga di tinggalkan?  memangnya pikiran bisa tenang meninggalkan keluarga yang miskin demi meninggalkan duniawi?
kalo gue sih bisa, yg lain gak tau deh...
			
 
			
			
				Quote from: ryu on 27 July 2010, 03:27:04 PM
memang ada hal2 seperti itu, tapi tetap ada korelasinya seseorang yang banyak kekayaan dengan pengembangan spiritual ;D
Bisa mempengaruhi, tetapi tidak secara langsung. 
Kalau dibilang berkaitan langsung, maka berarti hanya orang-orang kaya yang berpotensi mengembangkan spiritualisme, padahal kenyataannya tidak demikian. 
Seperti saya pernah bilang bahwa kekayaan berkaitan langsung dengan daya beli. Namun kekayaan tidak berkaitan langsung dengan kerelaan dan kemelekatan seseorang. Baik orang kaya maupun orang miskin, bisa menjadi seorang kikir/dermawan. Bagaimana kekayaan/kemiskinan mempengaruhi pola pikir seseorang, itu sudah banyak sekali faktor. 
			
 
			
			
				Quote from: Indra on 27 July 2010, 03:44:30 PM
Quote from: ryu on 27 July 2010, 03:42:51 PM
Quote from: Indra on 27 July 2010, 03:16:27 PM
Quote from: ryu on 27 July 2010, 02:17:52 PM
Quote from: Kainyn_Kutho on 27 July 2010, 02:09:11 PM
Quote from: ryu on 27 July 2010, 02:08:04 PM
Quote from: Kainyn_Kutho on 27 July 2010, 02:02:00 PM
Quote from: ryu on 27 July 2010, 02:00:27 PM
saya tidak setuju, baca CAKKAVATTI SIHANADA SUTTA
Jadi korelasinya bagaimana menurut Bro ryu? Berbanding lurus/terbalik? 
orang yang mempunyai kekayaan kesempatan untuk mengembangkan spiritualnya lebih besar daripada orang yang miskin, walaupun tidak menutup kemungkinan orang yang kaya tidak bisa memanfaatkan kekayaannya dengan benar, oleh karena itu buddha mengajarkan dengan bijaksana dalam sigalovada sutta.
Lalu menurut Bro ryu, mengapa beberapa orang memilih mengembangkan spiritual dengan jalan menjadi petapa yang notabene tidak memiliki kekayaan? 
pertama, dengan kekayaan seseorang bisa mencari guru yang bisa mengajarkannya dengan benar
kedua, dengan kekayaan mungkin orang itu bisa tenang meninggalkan keluarganya yang tidak ikut dengan dia menjalani pertapaan
ketiga, dengan kekayaan saya rasa itu meupakan timbunan hasil karma baik dia di masa lampau
mencari guru yg baik adalah dengan usaha, bukan dengan kekayaan.
keluarga yg ditinggalkan terlindung oleh karmanya sendiri, walaupun kita mewariskan harta yg sangat banyak, itu tidak menjamin kemakmuran keluarga yg ditinggalkan.
jadi saya lebih setuju dengan Bro Kain di sini
walaupun terlindung oleh karmanya sendiri masa kalau miskin juga di tinggalkan?  memangnya pikiran bisa tenang meninggalkan keluarga yang miskin demi meninggalkan duniawi?
kalo gue sih bisa, yg lain gak tau deh...
TEGA BENER =)) =)) =))
ada yang mau ikutin? =)) =)) =))
			
 
			
			
				Quote from: Kainyn_Kutho on 27 July 2010, 03:47:14 PM
Quote from: ryu on 27 July 2010, 03:27:04 PM
memang ada hal2 seperti itu, tapi tetap ada korelasinya seseorang yang banyak kekayaan dengan pengembangan spiritual ;D
Bisa mempengaruhi, tetapi tidak secara langsung. Kalau dibilang berkaitan langsung, maka berarti hanya orang-orang kaya yang berpotensi mengembangkan spiritualisme, padahal kenyataannya tidak demikian. 
Seperti saya pernah bilang bahwa kekayaan berkaitan langsung dengan daya beli. Namun kekayaan tidak berkaitan langsung dengan kerelaan dan kemelekatan seseorang. Baik orang kaya maupun orang miskin, bisa menjadi seorang kikir/dermawan. Bagaimana kekayaan/kemiskinan mempengaruhi pola pikir seseorang, itu sudah banyak sekali faktor. 
betul tidak secara langsung masih banyak faktor, Buddha tidak mengatakan orang kaya baik atau buruk dari kekayaannya tetapi di lihat dari kelakuannya lah dia bisa dinilai baik atau buruk.
Buddha pun pernah berkata Aku tak mengatakan bahwa seorang lebih baik dikarenakan (sebagai) seorang dari golongan tinggi, juga Aku tak mengatakan bahwa ia lebih buruk dikarenakan (menjadi) seorang dari golongan tinggi; Aku tidak mengatakan bahwa ia lebih baik dikarenakan (menjadi) golongan lebih tinggi, juga Aku tak mengatakan bahwa ia lebih buruk dikarenakan (menjadi) seorang dari golongan lebih tinggi; Aku tak mengatakan bahwa ia lebih baik dikarenakan (memiliki) kekayaan berlimpah, juga Aku tak mengatakan bahwa ia lebih buruk dikarenakan (memiliki) kekayaan berlimpah. 
Dalam hal ini, Aku katakan, seseorang dari golongan tinggi mungkin menjadi pembunuh makhluk hidup, menjadi pengambil barang yang tidak diberikan, memiliki kelakuan seksual yang tak senonoh, menjadi pembohong, pemfitnah, pembicaraannya kasar, pembual, bernafsu serakah, berkeinginan buruk, dan memiliki pandangan salah.
Dikarenakan hal-hal tersebut, dan bukan dikarenakan menjadi seorang dari golongan tinggi, ia disebut buruk. Lalu, dalam hal ini, seseorang dari golongan tinggi mungkin menghindari diri dari membunuh makhluk hidup, tidak mengambil sesuatu yang tak diberikan, tidak berkelakuan seksual yang tak senonoh, tidak berbohong, tidak memfitnah, tidak berucap kasar, tidak membual, tidak bernafsu serakah, tidak berkeinginan buruk, dan tidak memiliki pandangan salah.
Dikarenakan hal-hal ini, Aku katakan, dan bukan dikarenakan (menjadi) seorang dari golongan tinggi, ia disebut baik.
			
 
			
			
				kayaknya asumsi "pengembangan batin berkorelasi dengan jumlah harta" itu berangkat dari pemikiran pencarian dhamma ataupun pengembangan batin itu berasal dari luar... kasarnya, asumsinya mo batin berkembang, cari guru hebat. mo batin berkembang, cari vihara adem. mo batin berkembang, banyak berdana - fangshen - nyumbang pindapatta. mo batin berkembang, cari buku2 keren. mo batin berkembang, ikutan retret di myanmar. mo batin berkembang, musti nyepi tinggalin anak bini.
padahal pengembangan batin itu semuanya dari dalam...
			
			
			
				Quote from: ryu on 27 July 2010, 03:55:45 PM
betul tidak secara langsung masih banyak faktor, Buddha tidak mengatakan orang kaya baik atau buruk dari kekayaannya tetapi di lihat dari kelakuannya lah dia bisa dinilai baik atau buruk.
Buddha pun pernah berkata Aku tak mengatakan bahwa seorang lebih baik dikarenakan (sebagai) seorang dari golongan tinggi, juga Aku tak mengatakan bahwa ia lebih buruk dikarenakan (menjadi) seorang dari golongan tinggi; Aku tidak mengatakan bahwa ia lebih baik dikarenakan (menjadi) golongan lebih tinggi, juga Aku tak mengatakan bahwa ia lebih buruk dikarenakan (menjadi) seorang dari golongan lebih tinggi; Aku tak mengatakan bahwa ia lebih baik dikarenakan (memiliki) kekayaan berlimpah, juga Aku tak mengatakan bahwa ia lebih buruk dikarenakan (memiliki) kekayaan berlimpah. 
Dalam hal ini, Aku katakan, seseorang dari golongan tinggi mungkin menjadi pembunuh makhluk hidup, menjadi pengambil barang yang tidak diberikan, memiliki kelakuan seksual yang tak senonoh, menjadi pembohong, pemfitnah, pembicaraannya kasar, pembual, bernafsu serakah, berkeinginan buruk, dan memiliki pandangan salah.
Dikarenakan hal-hal tersebut, dan bukan dikarenakan menjadi seorang dari golongan tinggi, ia disebut buruk. Lalu, dalam hal ini, seseorang dari golongan tinggi mungkin menghindari diri dari membunuh makhluk hidup, tidak mengambil sesuatu yang tak diberikan, tidak berkelakuan seksual yang tak senonoh, tidak berbohong, tidak memfitnah, tidak berucap kasar, tidak membual, tidak bernafsu serakah, tidak berkeinginan buruk, dan tidak memiliki pandangan salah.
Dikarenakan hal-hal ini, Aku katakan, dan bukan dikarenakan (menjadi) seorang dari golongan tinggi, ia disebut baik.
Demikianlah seseorang menjadi lebih baik atau lebih buruk, bukan karena kekayaannya. 
Buddha (setahu saya) memang tidak mengajarkan orang bagaimana mengembangkan kekayaan, karena memang Buddha bukan konsultan keuangan. Buddha hanya mengajarkan bagaimana mencari penghasilan dengan benar dan menggunakannya dengan bijaksana. Mata pencaharian adalah bagian penting dari hidup. Tanpa nafkah, orang tidak makan dan tanpa makan, orang tidak akan mencerna dhamma. Ini adalah realita. 
Dalam satu kisah dhammapada, suatu kali Buddha akan membabarkan dhamma di suatu desa karena melihat seseorang telah matang bathinnya. Pagi hari orang itu melihat kerbaunya hilang dan mencarinya ke hutan sampai siang. Buddha menunda khotbahnya sampai orang itu kembali ke desa. Dan setelah kembali, Buddha pun menunggu orang tersebut makan terlebih dahulu, karena jika mendengarkan dalam keadaan lapar, tidak akan mencerna perkataan Buddha dengan baik. Setelah itu, barulah diberikan khotbah yang mengakibatkan orang tersebut menembus Sotapatti-phala. 
Jadi apakah Buddha benar-benar hanya mengajarkan "dukkha dan terhentinya dukkha" mutlak, tidak ada ajaran apa-apa yang lain selain khotbah yang berhubungan langsung dengan dukkha? Saya rasa tidak. Intinya selalu berpusat pada terhentinya dukkha, namun Buddha pun mengajarkan bagaimana mengembangkan kualitas kehidupan yang menunjang pula berkembangnya bathin sehingga pada saatnya akan kondusif dalam memahami "dukkha dan terhentinya dukkha". 
			
 
			
			
				mungkin, kaya atau miskin hanyalah "akibat" bukan "sebab". Dan tidak berhubungan secara langsung dengan pengembangan batin.
			
			
			
				Quote from: morpheus on 27 July 2010, 04:00:54 PM
kayaknya asumsi "pengembangan batin berkorelasi dengan jumlah harta" itu berangkat dari pemikiran pencarian dhamma ataupun pengembangan batin itu berasal dari luar... kasarnya, asumsinya mo batin berkembang, cari guru hebat. mo batin berkembang, cari vihara adem. mo batin berkembang, banyak berdana - fangshen - nyumbang pindapatta. mo batin berkembang, cari buku2 keren. mo batin berkembang, ikutan retret di myanmar. mo batin berkembang, musti nyepi tinggalin anak bini.
padahal pengembangan batin itu semuanya dari dalam...
Tergantung kondisi di tiap orang juga, Bro...
Siddhattha Gotama, demi mengembangkan batin justru Beliau melakukan: "mencari guru hebat pada masa itu, cari tempat yang adem untuk bermeditasi, menyelematkan sekawanan domba yang hendak dikurbankan, hidup bertapa dengan petapa-petapa lain, meinggalkan anak-bini". Tapi ternyata Beliau berhasil.
Sang Buddha malah sering menganjurkan para bhikkhu untuk pergi berlatih di tempat yang sepi. Malah Beliau pernah menganjurkan Nanda (yang berstatus pengantin baru) untuk menjadi bhikkhu dan meninggalkan istrinya. Jadi menurut Bro bagaimana?
Saya harap Anda setuju dengan kesimpulan ini: 
"Tergantung motivasi setiap orang. Ada orang yang melakukan suatu tahapan latihan karena itu sebagai rakit. Ada orang yang melakukan suatu tahapan latihan sebagai hal yang dilekati."
			 
			
			
				Quote from: morpheus on 27 July 2010, 04:00:54 PM
kayaknya asumsi "pengembangan batin berkorelasi dengan jumlah harta" itu berangkat dari pemikiran pencarian dhamma ataupun pengembangan batin itu berasal dari luar... kasarnya, asumsinya mo batin berkembang, cari guru hebat. mo batin berkembang, cari vihara adem. mo batin berkembang, banyak berdana - fangshen - nyumbang pindapatta. mo batin berkembang, cari buku2 keren. mo batin berkembang, ikutan retret di myanmar. mo batin berkembang, musti nyepi tinggalin anak bini.
padahal pengembangan batin itu semuanya dari dalam...
Idealnya, dan pada akhirnya, semua memang berasal dari dalam. Tetapi pada realita, dalam lingkup puthujjana, tidaklah demikian. Itu sebabnya perlu adanya teman yang baik, tempat tinggal yang baik, kesempatan yang baik, yang dikatakan sebagai berkah utama. "Luar" dan "dalam" saling berinteraksi dan mempengaruhi bathin. 
			
 
			
			
				Quote from: Edward on 27 July 2010, 04:14:05 PM
mungkin, kaya atau miskin hanyalah "akibat" bukan "sebab". Dan tidak berhubungan secara langsung dengan pengembangan batin.
Berhubungan, namun tidak mutlak. 
Misalnya saja orang yang hidupnya super miskin, kemudian dapet "hoki" dan menjadi kaya. Adalah mungkin seseorang berpikir, "dulu saya super miskin, cari duit setengah mati, jadi sekarang harus menjaga agar jangan sampai kekayaan ini 'mengalir' ke luar." Tetapi ada juga orang yang berpikir, "dulu saya super miskin, mengetahui rasanya hidup susah, maka dengan kekayaan ini, saya akan gunakan agar orang lain tidak menderita hal yang sama dengan saya dulu." 
Kondisi sama, dapat kekayaan yang sama. Tetapi perkembangan bathinnya bisa beda. 
			
 
			
			
				Quote from: Kainyn_Kutho on 27 July 2010, 04:13:48 PM
Quote from: ryu on 27 July 2010, 03:55:45 PM
betul tidak secara langsung masih banyak faktor, Buddha tidak mengatakan orang kaya baik atau buruk dari kekayaannya tetapi di lihat dari kelakuannya lah dia bisa dinilai baik atau buruk.
Buddha pun pernah berkata Aku tak mengatakan bahwa seorang lebih baik dikarenakan (sebagai) seorang dari golongan tinggi, juga Aku tak mengatakan bahwa ia lebih buruk dikarenakan (menjadi) seorang dari golongan tinggi; Aku tidak mengatakan bahwa ia lebih baik dikarenakan (menjadi) golongan lebih tinggi, juga Aku tak mengatakan bahwa ia lebih buruk dikarenakan (menjadi) seorang dari golongan lebih tinggi; Aku tak mengatakan bahwa ia lebih baik dikarenakan (memiliki) kekayaan berlimpah, juga Aku tak mengatakan bahwa ia lebih buruk dikarenakan (memiliki) kekayaan berlimpah. 
Dalam hal ini, Aku katakan, seseorang dari golongan tinggi mungkin menjadi pembunuh makhluk hidup, menjadi pengambil barang yang tidak diberikan, memiliki kelakuan seksual yang tak senonoh, menjadi pembohong, pemfitnah, pembicaraannya kasar, pembual, bernafsu serakah, berkeinginan buruk, dan memiliki pandangan salah.
Dikarenakan hal-hal tersebut, dan bukan dikarenakan menjadi seorang dari golongan tinggi, ia disebut buruk. Lalu, dalam hal ini, seseorang dari golongan tinggi mungkin menghindari diri dari membunuh makhluk hidup, tidak mengambil sesuatu yang tak diberikan, tidak berkelakuan seksual yang tak senonoh, tidak berbohong, tidak memfitnah, tidak berucap kasar, tidak membual, tidak bernafsu serakah, tidak berkeinginan buruk, dan tidak memiliki pandangan salah.
Dikarenakan hal-hal ini, Aku katakan, dan bukan dikarenakan (menjadi) seorang dari golongan tinggi, ia disebut baik.
Demikianlah seseorang menjadi lebih baik atau lebih buruk, bukan karena kekayaannya. 
Buddha (setahu saya) memang tidak mengajarkan orang bagaimana mengembangkan kekayaan, karena memang Buddha bukan konsultan keuangan. Buddha hanya mengajarkan bagaimana mencari penghasilan dengan benar dan menggunakannya dengan bijaksana. Mata pencaharian adalah bagian penting dari hidup. Tanpa nafkah, orang tidak makan dan tanpa makan, orang tidak akan mencerna dhamma. Ini adalah realita. 
Dalam satu kisah dhammapada, suatu kali Buddha akan membabarkan dhamma di suatu desa karena melihat seseorang telah matang bathinnya. Pagi hari orang itu melihat kerbaunya hilang dan mencarinya ke hutan sampai siang. Buddha menunda khotbahnya sampai orang itu kembali ke desa. Dan setelah kembali, Buddha pun menunggu orang tersebut makan terlebih dahulu, karena jika mendengarkan dalam keadaan lapar, tidak akan mencerna perkataan Buddha dengan baik. Setelah itu, barulah diberikan khotbah yang mengakibatkan orang tersebut menembus Sotapatti-phala. 
Jadi apakah Buddha benar-benar hanya mengajarkan "dukkha dan terhentinya dukkha" mutlak, tidak ada ajaran apa-apa yang lain selain khotbah yang berhubungan langsung dengan dukkha? Saya rasa tidak. Intinya selalu berpusat pada terhentinya dukkha, namun Buddha pun mengajarkan bagaimana mengembangkan kualitas kehidupan yang menunjang pula berkembangnya bathin sehingga pada saatnya akan kondusif dalam memahami "dukkha dan terhentinya dukkha". 
ya setuju, intinya kekayaan bukanlah hal yang salah ;D
			
 
			
			
				Kekayaan itu ibarat api. Kalau mau digunakan untuk bakar rumah, juga bisa. Kalau mau digunakan untuk bakar singkong, juga bisa. Jika seseorang menggunakan kekayaan secara baik, kekayaan tersebut juga bisa menjadi sarana untuk berpraktik melepas, dermawan, mengikis keserakahan, pelit dan kikir. Jika seseorang tidak hati-hati, kekayaan tersebut justru akan semakin membuatnya terpuruk di dlm lingkaran tumimbal lahir. 
			
			
			
				Quote from: upasaka on 27 July 2010, 04:18:38 PM
Siddhattha Gotama, demi mengembangkan batin justru Beliau melakukan: "mencari guru hebat pada masa itu, cari tempat yang adem untuk bermeditasi, menyelematkan sekawanan domba yang hendak dikurbankan, hidup bertapa dengan petapa-petapa lain, meinggalkan anak-bini". Tapi ternyata Beliau berhasil.
imo, Beliau berhasil setelah menyadari ternyata semuanya ada di dalam, bukan di luar, bukan di guru2nya, bukan di hutan uruvela, melainkan kembali ke dalam seperti yang pernah dipraktikkannya sewaktu masih kecil pada perayaan panen sawah... yang dicari kemana2 ternyata sudah ada dari dulu...
justru ini menegaskan, jumlah harta gak berkorelasi dengan pengembangan batin...
Quote from: upasaka on 27 July 2010, 04:18:38 PM
Sang Buddha malah sering menganjurkan para bhikkhu untuk pergi berlatih di tempat yang sepi. Malah Beliau pernah menganjurkan Nanda (yang berstatus pengantin baru) untuk menjadi bhikkhu dan meninggalkan istrinya. Jadi menurut Bro bagaimana?
Saya harap Anda setuju dengan kesimpulan ini: "Tergantung motivasi setiap orang. Ada orang yang melakukan suatu tahapan latihan karena itu sebagai rakit. Ada orang yang melakukan suatu tahapan latihan sebagai hal yang dilekati."
setuju secara parsial. 
bang upa, saya gak mengecam pengembangan kekayaan, gak mengecam mencari tempat sepi untuk bertapa. point yang saya ingin fokuskan adalah pendapat yang menyatakan jumlah harta berkorelasi pengembangan spiritual. opini seperti ini mengandalkan sesuatu yang ada di luar sebagai alasan untuk tidak mengembangkan batin, padahal pengembangan batin itu dilakukan saat ini, apapun kondisinya, gak berkorelasi dengan jumlah harta. sikap mental seperti ini penting dalam pengembangan batin...
tidak perlu menunggu rakit ataupun sesuatu yang ada di luar. seperti yang disadari siddharta, semuanya sudah ada di sini, saat ini...
sampai di sini, saya pikir pengertian kita udah sejalan, hanya sudut pandang saja... thanks
			
 
			
			
				Quote from: Kainyn_Kutho on 27 July 2010, 04:19:16 PM
Idealnya, dan pada akhirnya, semua memang berasal dari dalam. Tetapi pada realita, dalam lingkup puthujjana, tidaklah demikian. Itu sebabnya perlu adanya teman yang baik, tempat tinggal yang baik, kesempatan yang baik, yang dikatakan sebagai berkah utama. "Luar" dan "dalam" saling berinteraksi dan mempengaruhi bathin. 
anda melihat dari sudut sebab-akibat dan sosial, saya melihat dari sudut meditatif...
secara general, pengertian kita sejalan... thanks.
			
 
			
			
				Quote from: morpheus on 28 July 2010, 08:42:51 AM
Quote from: Kainyn_Kutho on 27 July 2010, 04:19:16 PM
Idealnya, dan pada akhirnya, semua memang berasal dari dalam. Tetapi pada realita, dalam lingkup puthujjana, tidaklah demikian. Itu sebabnya perlu adanya teman yang baik, tempat tinggal yang baik, kesempatan yang baik, yang dikatakan sebagai berkah utama. "Luar" dan "dalam" saling berinteraksi dan mempengaruhi bathin. 
anda melihat dari sudut sebab-akibat dan sosial, saya melihat dari sudut meditatif...
secara general, pengertian kita sejalan... thanks.
Saya juga meninjau dari sudut meditatif, maka saya katakan memang benar, idealnya & pada akhirnya, semua bersumber dari dalam. Namun tidak setiap saat kita bisa berada pada keadaan meditatif tersebut. :) 
			
 
			
			
				Quote from: Kainyn_Kutho on 28 July 2010, 09:04:36 AM
Quote from: morpheus on 28 July 2010, 08:42:51 AM
Quote from: Kainyn_Kutho on 27 July 2010, 04:19:16 PM
Idealnya, dan pada akhirnya, semua memang berasal dari dalam. Tetapi pada realita, dalam lingkup puthujjana, tidaklah demikian. Itu sebabnya perlu adanya teman yang baik, tempat tinggal yang baik, kesempatan yang baik, yang dikatakan sebagai berkah utama. "Luar" dan "dalam" saling berinteraksi dan mempengaruhi bathin. 
anda melihat dari sudut sebab-akibat dan sosial, saya melihat dari sudut meditatif...
secara general, pengertian kita sejalan... thanks.
Saya juga meninjau dari sudut meditatif, maka saya katakan memang benar, idealnya & pada akhirnya, semua bersumber dari dalam. Namun tidak setiap saat kita bisa berada pada keadaan meditatif tersebut. :) 
setuju _/\_
			
 
			
			
				Quote from: morpheusimo, Beliau berhasil setelah menyadari ternyata semuanya ada di dalam, bukan di luar, bukan di guru2nya, bukan di hutan uruvela, melainkan kembali ke dalam seperti yang pernah dipraktikkannya sewaktu masih kecil pada perayaan panen sawah... yang dicari kemana2 ternyata sudah ada dari dulu...
justru ini menegaskan, jumlah harta gak berkorelasi dengan pengembangan batin...
Benar. Tapi apa yang pernah "dicari" Siddhattha Gotama pun sebenarnya bermanfaat dalam pengembangan batinnya. Belajar pada guru-guru, bermeditasi di Pohon Bodhi yang adem, turut serta mengembangkan moralitas, mendapat pengalaman dari hidup bersama petapa-petapa lain, dan tidak terikat oleh keluarga; ini semua yang membuat Siddhattha Gotama lebih kondusif untuk mengembangkan batin. Sisi eksternal yang baik bukan hal yang paling difokuskan. Namun sisi eksternal yang baik bisa membantu kita lebih fokus pada sisi internal.
Quote from: morpheussetuju secara parsial. 
bang upa, saya gak mengecam pengembangan kekayaan, gak mengecam mencari tempat sepi untuk bertapa. point yang saya ingin fokuskan adalah pendapat yang menyatakan jumlah harta berkorelasi pengembangan spiritual. opini seperti ini mengandalkan sesuatu yang ada di luar sebagai alasan untuk tidak mengembangkan batin, padahal pengembangan batin itu dilakukan saat ini, apapun kondisinya, gak berkorelasi dengan jumlah harta. sikap mental seperti ini penting dalam pengembangan batin...
tidak perlu menunggu rakit ataupun sesuatu yang ada di luar. seperti yang disadari siddharta, semuanya sudah ada di sini, saat ini...
sampai di sini, saya pikir pengertian kita udah sejalan, hanya sudut pandang saja... thanks
Selama seseorang masih punya kesadaran dan batin yang sehat, latihan memang bisa dilakukan di sini, saat ini. Saya paham maksud Bro morpheus, kok...
Jika kembali ke pembahasan sebelum ini, yang dibahas adalah apakah Sang Buddha juga mengajarkan "mengumpulkan kekayaan duniawi"? Apakah Bro morpheus punya tanggapan yang lebih spesifik?
			
 
			
			
				om kainyn, no further comment...
om upa, seperti yang sudah dibahas di atas, kalo anda berpatokan pada tipitaka pali, silakan baca dighajanu sutta... saya gak ada comment lebih lanjut.
			
			
			
				Quote from: morpheus on 28 July 2010, 01:16:45 PM
om upa, seperti yang sudah dibahas di atas, kalo anda berpatokan pada tipitaka pali, silakan baca dighajanu sutta... saya gak ada comment lebih lanjut.
OK, om. ;D Jadi maksudnya Dighajanu Sutta dan Sigalovada Sutta ini "meragukan" yah?