Forum Dhammacitta

Topik Buddhisme => Diskusi Umum => Topic started by: Peacemind on 13 April 2010, 02:48:47 PM

Title: Kebenaran adalah satu atau banyak!
Post by: Peacemind on 13 April 2010, 02:48:47 PM
         Suttanipaya syair 890 menyebutkan kebenaran adalah satu dan tidak ada yang kedua (ekañhi saccaṃ na dutīyamatthi). Namun demikian, Khotbah2 Sang Buddha menyatakan adanya empat kebenaran mulia (cattaro ariyasaccaṃ), sementara Abhidhamma mengatakan adanya empat kebenaran tertinggi lainnya  (catudhā paramattho) yakni citta, cetasika, rūpa dan Nibbāna. Pertanyaannya, bagaimana pernyataan2 di atas berbeda antara satu dengan lainnya. Padahal, yang menjadi unik dalam ajaran Buddha adalah bahwa keseluruhan ajaran beliau memiliki koneksi antara satu dengan lainnya.

       Bagaimana pendapat teman-teman di sini untuk menanggapi kasus di atas?
Title: Re: Kebenaran adalah satu atau banyak!
Post by: hatRed on 13 April 2010, 02:51:46 PM
gak tau suttanya sih,

namun menurut i, sih masing2 mempunyai konteks yang berbeda
Title: Re: Kebenaran adalah satu atau banyak!
Post by: dilbert on 13 April 2010, 05:12:07 PM
Hanya ada satu jalan...
Title: Re: Kebenaran adalah satu atau banyak!
Post by: Indra on 13 April 2010, 05:22:37 PM
1+1=2
1+1=3
1+1=4
1+1=5
----------

dari 4 pernyataan di atas, hanya ada 1 yg benar, tidak mungkin ada 2 atau 4

Lahir adalah Dukkha,
Lahir adalah bahagia
Lahir adalah netral
------------------------------
dari 3 pernyataan di atas juga hanya ada 1 yg benar
Title: Re: Kebenaran adalah satu atau banyak!
Post by: g.citra on 13 April 2010, 06:05:10 PM
Quote from: Peacemind on 13 April 2010, 02:48:47 PM
         Suttanipaya syair 890 menyebutkan kebenaran adalah satu dan tidak ada yang kedua (ekañhi saccaṃ na dutīyamatthi). Namun demikian, Khotbah2 Sang Buddha menyatakan adanya empat kebenaran mulia (cattaro ariyasaccaṃ), sementara Abhidhamma mengatakan adanya empat kebenaran tertinggi lainnya  (catudhā paramattho) yakni citta, cetasika, rūpa dan Nibbāna. Pertanyaannya, bagaimana pernyataan2 di atas berbeda antara satu dengan lainnya. Padahal, yang menjadi unik dalam ajaran Buddha adalah bahwa keseluruhan ajaran beliau memiliki koneksi antara satu dengan lainnya.

       Bagaimana pendapat teman-teman di sini untuk menanggapi kasus di atas?

cattaro ariyasaccaṃ membahas tentang 'akibat' dari keberadaan yang nyata, sedangkan catudhā paramattho membahas tentang keberadaan itu sendiri ...

Saya melihat, keduanya saling berhubungan, karena pengaruh dari keberadaan, akan terbentuk kondisi-kondisi dari keberadaan (yang bersifat anicca, dukkha, anatta) ...

salam,
Title: Re: Kebenaran adalah satu atau banyak!
Post by: seniya on 13 April 2010, 07:17:40 PM
Quote from: Peacemind on 13 April 2010, 02:48:47 PM
         Suttanipaya syair 890 menyebutkan kebenaran adalah satu dan tidak ada yang kedua (ekañhi saccaṃ na dutīyamatthi). Namun demikian, Khotbah2 Sang Buddha menyatakan adanya empat kebenaran mulia (cattaro ariyasaccaṃ), sementara Abhidhamma mengatakan adanya empat kebenaran tertinggi lainnya  (catudhā paramattho) yakni citta, cetasika, rūpa dan Nibbāna. Pertanyaannya, bagaimana pernyataan2 di atas berbeda antara satu dengan lainnya. Padahal, yang menjadi unik dalam ajaran Buddha adalah bahwa keseluruhan ajaran beliau memiliki koneksi antara satu dengan lainnya.

       Bagaimana pendapat teman-teman di sini untuk menanggapi kasus di atas?

Menurut saya, kebenaran itu memang hanya satu, tetapi kebenaran yang satu itu meliput banyak aspek. Misalnya dalam aspek kondisi kehidupan ini berlaku kebenaran tiga karakteriktik umum (tilakkhana), jika aspek dukkha yang diperhatikan maka berlaku kebenaran dari empat kebenaran mulia (cattaro ariyasaccani). Dalam aspek kebenaran mutlak (paramatha sacca) maka yang berlaku adalah empat kebenaran tertinggi yang dibahas dalam Abhidhamma. Namun semua kebenaran ini adalah satu (yaitu Dhamma), namun berwajah banyak karena kebenaran itu meliputi berbagai aspek kehidupan.

Seperti halnya hukum alam yang berlaku di alam semesta hanya ada satu. Namun di bidang tertentu kebenaran hukum fisika tertentu-lah yang berlaku. Misalnya hukum gravitasi yang mempengaruhi gaya tarik-menarik antara partikel bermassa berlaku secara nyata pada skala besar (dalam ukuran massa planet-planet, bintang, tata surya, galaksi, dst), tetapi pada skala kecil (dalam ukuran atomik dan subatomik) gaya gravitasi hampir tidak ada artinya walaupun tetap berlaku.
Title: Re: Kebenaran adalah satu atau banyak!
Post by: Jerry on 13 April 2010, 07:23:50 PM
Quote from: Peacemind on 13 April 2010, 02:48:47 PM
         Suttanipaya syair 890 menyebutkan kebenaran adalah satu dan tidak ada yang kedua (ekañhi saccaṃ na dutīyamatthi). Namun demikian, Khotbah2 Sang Buddha menyatakan adanya empat kebenaran mulia (cattaro ariyasaccaṃ), sementara Abhidhamma mengatakan adanya empat kebenaran tertinggi lainnya  (catudhā paramattho) yakni citta, cetasika, rūpa dan Nibbāna. Pertanyaannya, bagaimana pernyataan2 di atas berbeda antara satu dengan lainnya. Padahal, yang menjadi unik dalam ajaran Buddha adalah bahwa keseluruhan ajaran beliau memiliki koneksi antara satu dengan lainnya.

       Bagaimana pendapat teman-teman di sini untuk menanggapi kasus di atas?
Saya melihat bahwa empat kebenaran tertinggi yang dinyatakan dalam Abhidhamma pada dasarnya masih dicakupi oleh empat kebenaran mulia yang diajarkan Sang Buddha.
Citta, cetasika, rupa dan Nibbana itu sendiri merupakan bagian dari empat kebenaran mulia di mana citta, cetasika, rupa dapat dimasukkan dalam kategori "Kebenaran mulia mengenai penderitaan" (Dukkha ariya sacca). Dikatakan oleh Sang Buddha, "Apakah penderitaan itu? Lahir, sakit, tua, mati, kekecewaan, ratap tangis, kesakitan, kesedihan, keputusasaan, berpisah dari yang disenangi, berkumpul dengan yang tidak disenangi, tidak mendapatkan yang diinginkan adalah penderitaan. Singkatnya, kelima kelompok kemelekatan adalah penderitaan." Citta, cetasika, rupa itu sendiri merupakan bagian dari lima kelompok kemelekatan (pancupadanakkhandha).
Sedangkan untuk Nibbana, Nibbana merupakan inti dari "Kebenaran mulia mengenai akhir dari penderitaan" (Dukkha nirodha ariya sacca).

In short: Tertinggi belum tentu mulia. Mulia sudah tentu tertinggi. ;)

_/\_
Title: Re: Kebenaran adalah satu atau banyak!
Post by: adi lim on 13 April 2010, 08:43:33 PM
^^
setuju bro Jerry
Title: Re: Kebenaran adalah satu atau banyak!
Post by: Sunce™ on 14 April 2010, 03:53:06 AM
kebenaran itu satu.
Title: Re: Kebenaran adalah satu atau banyak!
Post by: seniya on 14 April 2010, 09:46:29 AM
Waduh,saya gak terpikir tentang kesunyataan mulia pertama bahwa pancakkhanda = dukkha & kesunyataan mulia ketiga bahwa akhir dukkha = Nibbana. Sungguh jawaban yg mencerahkan dari sdr. Jerry.

Anumodana _/\_
Title: Re: Kebenaran adalah satu atau banyak!
Post by: Jerry on 14 April 2010, 10:01:42 AM
Koreksi yah bro.. Pancakkhandha tidak sama dengan dukkha. Kemelekatan pada pancakkhandha itulah dukkha. Karena itu dikatakan oleh Sang Buddha sebagai pancupadanakkhandha atau lima agregat kemelekatan.

_/\_
Title: Re: Kebenaran adalah satu atau banyak!
Post by: marcedes on 14 April 2010, 10:30:52 AM
mungkin pada saat buddha mengatakan kebenaran adalah satu/mutlak disebut pada paramatha sacca..

sedangkan 4 kebenaran mulia yg di katakan itu...adalah sebuah kebenaran dalam sebuah kelompok disebut paramatha sacca...
jadi ayat pertama yg dimaksud kebenaran adalah satu menuju pada paramatha sacca...
Title: Re: Kebenaran adalah satu atau banyak!
Post by: seniya on 14 April 2010, 11:03:26 AM
 [at] jerry:

Apakah pancupadanakkhanda = kemelekatan pada pancakkhanda? Mohon penjelasannya _/\_
Title: Re: Kebenaran adalah satu atau banyak!
Post by: Sumedho on 14 April 2010, 11:12:10 AM
"Now this, monks, is the Noble Truth of dukkha: Birth is dukkha, aging is dukkha, death is dukkha; sorrow, lamentation, pain, grief, & despair are dukkha; association with the unbeloved is dukkha; separation from the loved is dukkha; not getting what is wanted is dukkha. In short, the five clinging-aggregates are dukkha."

— SN 56.11
Title: Re: Kebenaran adalah satu atau banyak!
Post by: Jerry on 14 April 2010, 11:32:44 AM
Quote from: seniya on 14 April 2010, 11:03:26 AM
[at] jerry:

Apakah pancupadanakkhanda = kemelekatan pada pancakkhanda? Mohon penjelasannya _/\_
panca = lima.
upadana = kemelekatan.
khanda = agregat, kelompok.

Kemelekatan pada rupa fisik, kemelekatan pada perasaan, kemelekatan pada pencerapan, kemelekatan pada bentuk-bentuk pikiran, kemelekatan pada kesadaran. Itulah kemelekatan pada pancakkhandha.

Karena semua yang terjadi dalam kalimat di atas: "Birth is dukkha, aging is dukkha, death is dukkha; sorrow, lamentation, pain, grief, & despair are dukkha; association with the unbeloved is dukkha; separation from the loved is dukkha; not getting what is wanted is dukkha" tidak terlepas dari lima agregat (pancakkhandha) ini. Tidak ada yang di luar pancakkhandha.
Title: Re: Kebenaran adalah satu atau banyak!
Post by: seniya on 14 April 2010, 11:38:50 AM
Thx atas penjelasan,rekan2 se-Dhamma sekalian.
_/\_
Title: Re: Kebenaran adalah satu atau banyak!
Post by: Peacemind on 14 April 2010, 11:44:32 AM
Quote from: Jerry on 13 April 2010, 07:23:50 PM
Quote from: Peacemind on 13 April 2010, 02:48:47 PM
         Suttanipaya syair 890 menyebutkan kebenaran adalah satu dan tidak ada yang kedua (ekañhi saccaṃ na dutīyamatthi). Namun demikian, Khotbah2 Sang Buddha menyatakan adanya empat kebenaran mulia (cattaro ariyasaccaṃ), sementara Abhidhamma mengatakan adanya empat kebenaran tertinggi lainnya  (catudhā paramattho) yakni citta, cetasika, rūpa dan Nibbāna. Pertanyaannya, bagaimana pernyataan2 di atas berbeda antara satu dengan lainnya. Padahal, yang menjadi unik dalam ajaran Buddha adalah bahwa keseluruhan ajaran beliau memiliki koneksi antara satu dengan lainnya.

       Bagaimana pendapat teman-teman di sini untuk menanggapi kasus di atas?
Saya melihat bahwa empat kebenaran tertinggi yang dinyatakan dalam Abhidhamma pada dasarnya masih dicakupi oleh empat kebenaran mulia yang diajarkan Sang Buddha.
Citta, cetasika, rupa dan Nibbana itu sendiri merupakan bagian dari empat kebenaran mulia di mana citta, cetasika, rupa dapat dimasukkan dalam kategori "Kebenaran mulia mengenai penderitaan" (Dukkha ariya sacca). Dikatakan oleh Sang Buddha, "Apakah penderitaan itu? Lahir, sakit, tua, mati, kekecewaan, ratap tangis, kesakitan, kesedihan, keputusasaan, berpisah dari yang disenangi, berkumpul dengan yang tidak disenangi, tidak mendapatkan yang diinginkan adalah penderitaan. Singkatnya, kelima kelompok kemelekatan adalah penderitaan." Citta, cetasika, rupa itu sendiri merupakan bagian dari lima kelompok kemelekatan (pancupadanakkhandha).
Sedangkan untuk Nibbana, Nibbana merupakan inti dari "Kebenaran mulia mengenai akhir dari penderitaan" (Dukkha nirodha ariya sacca).

In short: Tertinggi belum tentu mulia. Mulia sudah tentu tertinggi. ;)

_/\_

Penjelasan yang sangat baik. Tapi belum dijelaskan tentang koneksinya dengan kebenaran adalah satu. Bisa dijelaskan? Thanks.

Title: Re: Kebenaran adalah satu atau banyak!
Post by: ryu on 14 April 2010, 11:55:32 AM
mungkin konteksnya kebenaran yang dimaksud kebenaran yang apa adanya, contoh pemahaman nibbana ya memang satu bukan yang lain, kalau yang lain ada menyebut nibbana dilihat apa kebenaran nibbana ajartan buddha dengan ajaran lain sama atau beda, itu bisa kita aplikasikan ke yang lain.
Title: Re: Kebenaran adalah satu atau banyak!
Post by: Jerry on 14 April 2010, 12:34:07 PM
Quote from: Peacemind on 14 April 2010, 11:44:32 AM
Quote from: Jerry on 13 April 2010, 07:23:50 PM
Quote from: Peacemind on 13 April 2010, 02:48:47 PM
         Suttanipaya syair 890 menyebutkan kebenaran adalah satu dan tidak ada yang kedua (ekañhi saccaṃ na dutīyamatthi). Namun demikian, Khotbah2 Sang Buddha menyatakan adanya empat kebenaran mulia (cattaro ariyasaccaṃ), sementara Abhidhamma mengatakan adanya empat kebenaran tertinggi lainnya  (catudhā paramattho) yakni citta, cetasika, rūpa dan Nibbāna. Pertanyaannya, bagaimana pernyataan2 di atas berbeda antara satu dengan lainnya. Padahal, yang menjadi unik dalam ajaran Buddha adalah bahwa keseluruhan ajaran beliau memiliki koneksi antara satu dengan lainnya.

       Bagaimana pendapat teman-teman di sini untuk menanggapi kasus di atas?
Saya melihat bahwa empat kebenaran tertinggi yang dinyatakan dalam Abhidhamma pada dasarnya masih dicakupi oleh empat kebenaran mulia yang diajarkan Sang Buddha.
Citta, cetasika, rupa dan Nibbana itu sendiri merupakan bagian dari empat kebenaran mulia di mana citta, cetasika, rupa dapat dimasukkan dalam kategori "Kebenaran mulia mengenai penderitaan" (Dukkha ariya sacca). Dikatakan oleh Sang Buddha, "Apakah penderitaan itu? Lahir, sakit, tua, mati, kekecewaan, ratap tangis, kesakitan, kesedihan, keputusasaan, berpisah dari yang disenangi, berkumpul dengan yang tidak disenangi, tidak mendapatkan yang diinginkan adalah penderitaan. Singkatnya, kelima kelompok kemelekatan adalah penderitaan." Citta, cetasika, rupa itu sendiri merupakan bagian dari lima kelompok kemelekatan (pancupadanakkhandha).
Sedangkan untuk Nibbana, Nibbana merupakan inti dari "Kebenaran mulia mengenai akhir dari penderitaan" (Dukkha nirodha ariya sacca).

In short: Tertinggi belum tentu mulia. Mulia sudah tentu tertinggi. ;)

_/\_

Penjelasan yang sangat baik. Tapi belum dijelaskan tentang koneksinya dengan kebenaran adalah satu. Bisa dijelaskan? Thanks.


Sebelumnya, dalam Suttanipata 890 adakah Sang Buddha menjelaskan me-refer kepada apakah ungkapan "ekañhi saccaṃ na dutīyamatthi" itu?
Title: Re: Kebenaran adalah satu atau banyak!
Post by: ryu on 14 April 2010, 01:49:48 PM
apakah dalam sutta ini?

CULAVIYUHA SUTTA
Penanya: Beberapa orang yang mengukuhi pandangan mereka sendiri saja, akan masuk ke dalam pertikaian dengan orang-orang lain. Masing-masing menyatakan bahwa hanya dia sendirilah satu-satunya pakar dan menyatakan: 'Orang yang memahami ini berarti mengetahui Kebenaran; siapa yang menolak ini berarti tidak sempurna.'

Maka, setelah masuk ke dalam perdebatan, mereka berselisih paham [di antara mereka sendiri]. Mereka mengatakan, 'Orang itu tolol, bukan pakar.' Karena semuanya ahli berbicara, pernyataan manakah yang benar?

Sang Buddha: Jika orang yang tidak memiliki toleransi terhadap pandangan orang lain adalah orang tolol, orang yang dungu dan bodoh, maka mereka semua adalah orang-orang tolol yang tidak memiliki pemahaman, karena semuanya hanya mengukuhi pandangan-pandangan mereka [sendiri] saja.

Jika karena pandangan maka orang bisa menjadi suci, murni dalam kebijaksanaan, ahli dan pandai -- berarti tidak ada satu pun di antara mereka yang lebih rendah kebijaksanaannya, karena mereka semuanya telah sama-sama sampai pada pandangan-pandangan [dogmatis].

Aku tidak mengatakan bahwa apa pun yang disarankan oleh setiap orang tolol merupakan kebenaran. Merekalah yang membenarkan pandangan-pandangan mereka sendiri. Karena itu, mereka memutuskan bahwa orang lain adalah tolol.

Sang Buddha: Kebenaran memang hanya satu dan mereka yang mengetahui kebenaran itu tidak memperdebatkannya. Tidak ada [pandangan] kedua. Karena dicetuskannya berbagai pandangan yang berbeda, maka para pertapa tidak mengatakan satu pandangan dan mereka tidak mengatakan hal yang sama.

Penanya: Mengapa mereka yang berselisih dan mengemukakan diri sebagai pakar menyatakan 'kebenaran-kebenaran' yang amat berbeda-beda? Apakah pada realitasnya memang ada kebenaran-kebenaran yang berbeda-beda atau apakah mereka hanya mengikuti penalaran mereka sendiri saja?

Sang Buddha: Tidak ada banyak kebenaran yang berbeda-beda di dunia ini kecuali kebenaran yang dinalarkan oleh persepsi [yang salah]. Karena memiliki pandangan dengan cara berpikir yang menyesatkan, mereka menyatakan dualisme -- 'Ini salah dan itu benar.'

Orang tolol bergantung pada apa yang dilihat, didengar, atau dikognisi, juga pada peraturan atau ritual serta memandang rendah orang-orang lain dan mengatakan 'Orang itu tolol, orang yang tidak sempurna.' Dia menentukan penilaiannya sendiri dan merasa bahagia dengan penilaian itu.

Hanya karena dia menganggap yang lain tolol sehingga dia menyebut dirinya ahli, orang yang menyebut dirinya ahli ini menghina dirinya sendiri dan menghina orang lain.

Orang yang dipenuhi pandangan-pandangan yang kaku dan mati, yang dibuai kesombongan dan kecongkakan, yang menganggap dirinya 'sempurna', akan terpaku di dalam opininya sendiri karena dia memegang erat-erat pandangannya sendiri.

Jika orang menjadi rendah karena kata-kata orang lain, maka dia menjadi orang yang rendah kebijaksanaannya bila bersama orang itu. Dan jika dengan usaha sendiri orang menjadi terampil dan bijaksana, maka tak seorang pun di antara pertapa itu yang merupakan orang tolol.

'Mereka yang menyatakan pandangan doktrin yang berbeda dari ini berarti telah salah memahami.' Demikianlah para orang bida'ah, (yang memiliki kepercayaan yang berbeda dengan kepercayaan umum) mencetuskan banyak pandangan yang berbeda karena mereka melekat pada pandangan-pandangan mereka sendiri.

Mereka yang melekat pada pandangan-pandangan mereka [sendiri] bertahan bahwa pada diri merekalah terdapat kemurnian [pandangan], dan mereka menyangkal kemurnian [pandangan] di dalam doktrin lain. Demikianlah para orang bida'ah melekat secara mendalam pada pandangan mereka sendiri.

Para orang bida'ah yang kukuh bertahan bahwa pandangan mereka sendirilah yang benar, orang lain mana yang akan disebutnya orang tolol? Dia yang menyebut orang lain 'orang tolol' dan 'pemegang doktrin yang tidak murni' benar-benar akan mengundang perselisihan.

Karena berdiri kaku di atas pandangannya sendiri dan bergantung pada kriterianya sendiri, dia memasuki perselisihan di dunia. Dengan berhenti dari segala teori, orang bijaksana tidak memasuki perselisihan di dunia.
Title: Re: Kebenaran adalah satu atau banyak!
Post by: tesla on 14 April 2010, 01:52:23 PM
kebenaran cuma 1, disini & sekarang.
yg banyak itu cara mendeskripsikan.
Title: Re: Kebenaran adalah satu atau banyak!
Post by: Peacemind on 14 April 2010, 02:23:53 PM
Quote from: Jerry on 14 April 2010, 12:34:07 PM
Sebelumnya, dalam Suttanipata 890 adakah Sang Buddha menjelaskan me-refer kepada apakah ungkapan "ekañhi saccaṃ na dutīyamatthi" itu?

Lebih jelasnya apa yang dimaksud Sang Buddha tentang kebenaran hanya satu, anda bisa lihat Cūḷaviyūhasutta yang dikutip oleh Saudara Ryu. Syair yang dimaksud adalah:

"Kebenaran memang hanya satu dan mereka yang mengetahui kebenaran itu tidak memperdebatkannya. Tidak ada [pandangan] kedua. Karena dicetuskannya berbagai pandangan yang berbeda, maka para pertapa tidak mengatakan satu pandangan dan mereka tidak mengatakan hal yang sama."

Namun coba bandingkan dengan terjemahan Inggris dari Prof. Jayawickrama (The most seniour and leading Pali teacher in Sri Lanka):

"Truth is but one, there is no second regarding which the knowing folk shall not dispute; they themselves acclaim diverse truths: therefore recluses do not say one thing (uniformly)".
Title: Re: Kebenaran adalah satu atau banyak!
Post by: Jerry on 14 April 2010, 03:19:33 PM
Quote from: Peacemind on 14 April 2010, 02:23:53 PM
Quote from: Jerry on 14 April 2010, 12:34:07 PM
Sebelumnya, dalam Suttanipata 890 adakah Sang Buddha menjelaskan me-refer kepada apakah ungkapan "ekañhi saccaṃ na dutīyamatthi" itu?

Lebih jelasnya apa yang dimaksud Sang Buddha tentang kebenaran hanya satu, anda bisa lihat Cūḷaviyūhasutta yang dikutip oleh Saudara Ryu. Syair yang dimaksud adalah:

"Kebenaran memang hanya satu dan mereka yang mengetahui kebenaran itu tidak memperdebatkannya. Tidak ada [pandangan] kedua. Karena dicetuskannya berbagai pandangan yang berbeda, maka para pertapa tidak mengatakan satu pandangan dan mereka tidak mengatakan hal yang sama."

Namun coba bandingkan dengan terjemahan Inggris dari Prof. Jayawickrama (The most seniour and leading Pali teacher in Sri Lanka):

"Truth is but one, there is no second regarding which the knowing folk shall not dispute; they themselves acclaim diverse truths: therefore recluses do not say one thing (uniformly)".
Kira2 apa perbedaannya menurut Samanera ya? tentang kalimat I dari kutipan Cek Ryu dan kalimat II dari Prof. Jayawickrama?
Title: Re: Kebenaran adalah satu atau banyak!
Post by: Nevada on 14 April 2010, 03:35:14 PM
Quote from: Peacemind on 13 April 2010, 02:48:47 PM
         Suttanipaya syair 890 menyebutkan kebenaran adalah satu dan tidak ada yang kedua (ekañhi saccaṃ na dutīyamatthi). Namun demikian, Khotbah2 Sang Buddha menyatakan adanya empat kebenaran mulia (cattaro ariyasaccaṃ), sementara Abhidhamma mengatakan adanya empat kebenaran tertinggi lainnya  (catudhā paramattho) yakni citta, cetasika, rūpa dan Nibbāna. Pertanyaannya, bagaimana pernyataan2 di atas berbeda antara satu dengan lainnya. Padahal, yang menjadi unik dalam ajaran Buddha adalah bahwa keseluruhan ajaran beliau memiliki koneksi antara satu dengan lainnya.

       Bagaimana pendapat teman-teman di sini untuk menanggapi kasus di atas?

Kebenaran hanya ada satu, yaitu "segala sesuatu timbul karena suatu sebab, dan ada cara untuk menghentikan penyebab selanjutnya". Kebenaran ini dapat diurai menjadi 4 Kebenaran Mulia, yaitu kebenaran tentang dukkha, kebenaran tentang asal mula dukkha, kebenaran tentang akhir dukkha dan kebenaran tentang jalan menuju terhentinya dukkha. Segala sesuatu yang timbul dikarenakan oleh suatu sebab adalah citta, cetasika dan rupa; sedangkan terhentinya sebab selanjutnya adalah Nibbana.

Jadi Kebenaran hanya ada satu; namun diuraikan secara terampil oleh Sang Buddha pada masing-masing konteks yang berbeda.
Title: Re: Kebenaran adalah satu atau banyak!
Post by: fabian c on 14 April 2010, 03:42:20 PM
Quote from: upasaka on 14 April 2010, 03:35:14 PM
Quote from: Peacemind on 13 April 2010, 02:48:47 PM
         Suttanipaya syair 890 menyebutkan kebenaran adalah satu dan tidak ada yang kedua (ekañhi saccaṃ na dutīyamatthi). Namun demikian, Khotbah2 Sang Buddha menyatakan adanya empat kebenaran mulia (cattaro ariyasaccaṃ), sementara Abhidhamma mengatakan adanya empat kebenaran tertinggi lainnya  (catudhā paramattho) yakni citta, cetasika, rūpa dan Nibbāna. Pertanyaannya, bagaimana pernyataan2 di atas berbeda antara satu dengan lainnya. Padahal, yang menjadi unik dalam ajaran Buddha adalah bahwa keseluruhan ajaran beliau memiliki koneksi antara satu dengan lainnya.

       Bagaimana pendapat teman-teman di sini untuk menanggapi kasus di atas?

Kebenaran hanya ada satu, yaitu "segala sesuatu timbul karena suatu sebab, dan ada cara untuk menghentikan penyebab selanjutnya". Kebenaran ini dapat diurai menjadi 4 Kebenaran Mulia, yaitu kebenaran tentang dukkha, kebenaran tentang asal mula dukkha, kebenaran tentang akhir dukkha dan kebenaran tentang jalan menuju terhentinya dukkha. Segala sesuatu yang timbul dikarenakan oleh suatu sebab adalah citta, cetasika dan rupa; sedangkan terhentinya sebab selanjutnya adalah Nibbana.

Jadi Kebenaran hanya ada satu; namun diuraikan secara terampil oleh Sang Buddha pada masing-masing konteks yang berbeda.

Itulah satu-satunya kebenaran mengenai hakekat sebenarnya kehidupan dan jalan akhirnya....

_/\_
Title: Re: Kebenaran adalah satu atau banyak!
Post by: Peacemind on 14 April 2010, 03:46:23 PM
Quote from: Jerry on 14 April 2010, 03:19:33 PM
Quote from: Peacemind on 14 April 2010, 02:23:53 PM
Quote from: Jerry on 14 April 2010, 12:34:07 PM
Sebelumnya, dalam Suttanipata 890 adakah Sang Buddha menjelaskan me-refer kepada apakah ungkapan "ekañhi saccaṃ na dutīyamatthi" itu?

Lebih jelasnya apa yang dimaksud Sang Buddha tentang kebenaran hanya satu, anda bisa lihat Cūḷaviyūhasutta yang dikutip oleh Saudara Ryu. Syair yang dimaksud adalah:

"Kebenaran memang hanya satu dan mereka yang mengetahui kebenaran itu tidak memperdebatkannya. Tidak ada [pandangan] kedua. Karena dicetuskannya berbagai pandangan yang berbeda, maka para pertapa tidak mengatakan satu pandangan dan mereka tidak mengatakan hal yang sama."

Namun coba bandingkan dengan terjemahan Inggris dari Prof. Jayawickrama (The most seniour and leading Pali teacher in Sri Lanka):

"Truth is but one, there is no second regarding which the knowing folk shall not dispute; they themselves acclaim diverse truths: therefore recluses do not say one thing (uniformly)".
Kira2 apa perbedaannya menurut Samanera ya? tentang kalimat I dari kutipan Cek Ryu dan kalimat II dari Prof. Jayawickrama?

Sebenarnya pada intinya tidak ada perbedaan sih. Cuma yang diterjemahkan ke bahasa Indonesia, ada kalimat tambahan, "mereka tidak mengatakan hal yang sama" yang mana merupakan pengulangan dari kalimat "para pertapa tidak mengatakan pandangan yang sama / recluses do not say one thing / na ekaṃ samaṇa vadanti".
Title: Re: Kebenaran adalah satu atau banyak!
Post by: Peacemind on 14 April 2010, 03:52:47 PM
Quote from: upasaka on 14 April 2010, 03:35:14 PM
Quote from: Peacemind on 13 April 2010, 02:48:47 PM
         Suttanipaya syair 890 menyebutkan kebenaran adalah satu dan tidak ada yang kedua (ekañhi saccaṃ na dutīyamatthi). Namun demikian, Khotbah2 Sang Buddha menyatakan adanya empat kebenaran mulia (cattaro ariyasaccaṃ), sementara Abhidhamma mengatakan adanya empat kebenaran tertinggi lainnya  (catudhā paramattho) yakni citta, cetasika, rūpa dan Nibbāna. Pertanyaannya, bagaimana pernyataan2 di atas berbeda antara satu dengan lainnya. Padahal, yang menjadi unik dalam ajaran Buddha adalah bahwa keseluruhan ajaran beliau memiliki koneksi antara satu dengan lainnya.

       Bagaimana pendapat teman-teman di sini untuk menanggapi kasus di atas?

Kebenaran hanya ada satu, yaitu "segala sesuatu timbul karena suatu sebab, dan ada cara untuk menghentikan penyebab selanjutnya". Kebenaran ini dapat diurai menjadi 4 Kebenaran Mulia, yaitu kebenaran tentang dukkha, kebenaran tentang asal mula dukkha, kebenaran tentang akhir dukkha dan kebenaran tentang jalan menuju terhentinya dukkha. Segala sesuatu yang timbul dikarenakan oleh suatu sebab adalah citta, cetasika dan rupa; sedangkan terhentinya sebab selanjutnya adalah Nibbana.

Jadi Kebenaran hanya ada satu; namun diuraikan secara terampil oleh Sang Buddha pada masing-masing konteks yang berbeda.

Penjelasan yang luar biasa. Namun saya melihat penjelasan mengenai kebenaran hanya ada satu hanya mencakup tentang tentang kebenaran dukkha, sebab dukkha dan jalan untuk melenyapkan dukkha saja. Segala sesuatu timbul karena sebab: 'segala sesuatu = dukkha, karena sebab = dukkhasamudaya. Sementara itu, kalimat, 'ada cara untuk menghentikan penyebab selanjutnya' merupakan kata lain sebagai dukkhanirodhagaminipatipada / jalan untuk melenyapkan dukkha. Dalam penjelasan ini, dukkhanirodha / lenyapnya dukkha / nibbāna tidak disebutkan.
Title: Re: Kebenaran adalah satu atau banyak!
Post by: Jerry on 14 April 2010, 04:11:52 PM
Quote from: Peacemind on 14 April 2010, 11:44:32 AM
Quote from: Jerry on 13 April 2010, 07:23:50 PM
Quote from: Peacemind on 13 April 2010, 02:48:47 PM
         Suttanipaya syair 890 menyebutkan kebenaran adalah satu dan tidak ada yang kedua (ekañhi saccaṃ na dutīyamatthi). Namun demikian, Khotbah2 Sang Buddha menyatakan adanya empat kebenaran mulia (cattaro ariyasaccaṃ), sementara Abhidhamma mengatakan adanya empat kebenaran tertinggi lainnya  (catudhā paramattho) yakni citta, cetasika, rūpa dan Nibbāna. Pertanyaannya, bagaimana pernyataan2 di atas berbeda antara satu dengan lainnya. Padahal, yang menjadi unik dalam ajaran Buddha adalah bahwa keseluruhan ajaran beliau memiliki koneksi antara satu dengan lainnya.

       Bagaimana pendapat teman-teman di sini untuk menanggapi kasus di atas?
Saya melihat bahwa empat kebenaran tertinggi yang dinyatakan dalam Abhidhamma pada dasarnya masih dicakupi oleh empat kebenaran mulia yang diajarkan Sang Buddha.
Citta, cetasika, rupa dan Nibbana itu sendiri merupakan bagian dari empat kebenaran mulia di mana citta, cetasika, rupa dapat dimasukkan dalam kategori "Kebenaran mulia mengenai penderitaan" (Dukkha ariya sacca). Dikatakan oleh Sang Buddha, "Apakah penderitaan itu? Lahir, sakit, tua, mati, kekecewaan, ratap tangis, kesakitan, kesedihan, keputusasaan, berpisah dari yang disenangi, berkumpul dengan yang tidak disenangi, tidak mendapatkan yang diinginkan adalah penderitaan. Singkatnya, kelima kelompok kemelekatan adalah penderitaan." Citta, cetasika, rupa itu sendiri merupakan bagian dari lima kelompok kemelekatan (pancupadanakkhandha).
Sedangkan untuk Nibbana, Nibbana merupakan inti dari "Kebenaran mulia mengenai akhir dari penderitaan" (Dukkha nirodha ariya sacca).

In short: Tertinggi belum tentu mulia. Mulia sudah tentu tertinggi. ;)

_/\_

Penjelasan yang sangat baik. Tapi belum dijelaskan tentang koneksinya dengan kebenaran adalah satu. Bisa dijelaskan? Thanks.
Kalau begitu, kembali ke topik.. Menurut saya, kebenaran hanya ada satu. Tapi berdasarkan kondisi ada 2: Kondisi duniawi (lokiya) dan adiduniawi (lokuttara). Kebenaran dalam kondisi duniawi adalah dukkha sedangkan kebenaran dalam kondisi adiduniawi adalah nibbana. Tidak mungkin bagi kita untuk mengatakan bahwa salah 1 dari ke-2 kebenaran di atas tidaklah eksis: apakah Nibbana salah dan Dukkha-lah yang benar? Atau apakah Nibbana benar dan Dukkha-lah yang salah? Dalam kaitannya dengan 4KT Abhidhamma: Citta, cetasika, rupa termasuk dalam kebenaran kondisi duniawi sedangkan Nibbana termasuk dalam kebenaran kondisi adiduniawi. Yang 1 merupakan awal, sedangkan yang lain merupakan akhir. Yang 1 dicirikan oleh tanha, yang lain dicirikan oleh tiadanya tanha. Yang mana pun tidak dapat eksis bersama-sama. Saat yang 1 ada, maka yang lain tidak ada. Karena itu dikatakan Kebenaran hanya ada satu. Ke-2 kebenaran ini disatukan dalam harmoni dan dijabarkan dalam 4KM. 4KM lah wajah kebenaran yang sesungguhnya menurut Sang Buddha.
Title: Re: Kebenaran adalah satu atau banyak!
Post by: seniya on 14 April 2010, 09:12:41 PM
Quote from: Peacemind on 14 April 2010, 03:52:47 PM
Quote from: upasaka on 14 April 2010, 03:35:14 PM
Kebenaran hanya ada satu, yaitu "segala sesuatu timbul karena suatu sebab, dan ada cara untuk menghentikan penyebab selanjutnya". Kebenaran ini dapat diurai menjadi 4 Kebenaran Mulia, yaitu kebenaran tentang dukkha, kebenaran tentang asal mula dukkha, kebenaran tentang akhir dukkha dan kebenaran tentang jalan menuju terhentinya dukkha. Segala sesuatu yang timbul dikarenakan oleh suatu sebab adalah citta, cetasika dan rupa; sedangkan terhentinya sebab selanjutnya adalah Nibbana.

Jadi Kebenaran hanya ada satu; namun diuraikan secara terampil oleh Sang Buddha pada masing-masing konteks yang berbeda.

Penjelasan yang luar biasa. Namun saya melihat penjelasan mengenai kebenaran hanya ada satu hanya mencakup tentang tentang kebenaran dukkha, sebab dukkha dan jalan untuk melenyapkan dukkha saja. Segala sesuatu timbul karena sebab: 'segala sesuatu = dukkha, karena sebab = dukkhasamudaya. Sementara itu, kalimat, 'ada cara untuk menghentikan penyebab selanjutnya' merupakan kata lain sebagai dukkhanirodhagaminipatipada / jalan untuk melenyapkan dukkha. Dalam penjelasan ini, dukkhanirodha / lenyapnya dukkha / nibbāna tidak disebutkan.

Mungkin kebenaran yang dimaksud adalah seperti yang terkandung pada syair yang diajarkan YA Assaji kepada Upatissa (Sariputta):

Quote
Segala fenomena muncul dari sebab
Sebab tersebut dan penghentiannya
Inilah ajaran Sang Tathagata
Sang Pertapa Agung

Ditambah dengan rumusan umum hukum sebab akibat yang saling bergantungan berikut:

Quote
Dengan adanya ini, maka terjadilah itu.
Dengan timbulnya ini, maka timbulah itu.
Dengan tidak adanya ini, maka tidak adalah itu.
Dengan terhentinya ini, maka terhentilah juga itu.

Keduanya mengandung makna yang sama: Kebenaran yang diajarkan Sang Buddha adalah sebab , akibat dan penghentiannya. Disini sebab = sebab dukkha, akibat = dukkha, penghentian = pelenyapan dukkha (Nibbana). Tentu saja secara tersirat penghentian ini juga mencakup jalan menuju penghentian tersebut karena penghentian (dengan melenyapkan sebab) merupakan aspek teoritis yang memerlukan jalan menuju penghentian tersebut (bagaimana melenyapkan sebab) sebagai prakteknya.
Title: Re: Kebenaran adalah satu atau banyak!
Post by: hendrako on 15 April 2010, 12:25:51 AM
Ikutan beropini:

Kebenaran itu cuman satu, yaitu sifat ke-benar-an-nya.
Segala sesuatu (yang jumlahnya tak terbayangkan) memancarkan kebenaran, yaitu sebagaimana adanya = benar.

4KM, walaupun ada angka 4 sebenarnya cuman 1 kebenaran, yaitu sifatnya yang benar.
Bukan jumlah ayatnya dihitung sebagai beberapa kebenaran, namun sifatnya dari masing2 ayat adalah Benar.

4KM adalah rumusan yang ditemukan oleh Buddha yang dipilah dari segala sesuatu yang bersifat benar yang apabila dipahami akan membawa pada ke-Benar-an.

Tentang citta, cetasika, rupa, dan Nibbana, saya memandangnya sebagai manifestasi lain dari 4KM, yaitu rupa=dukkha, cetasika=sumber dukkha, Nibbana=padamnya dukkha, dan citta=jalan menuju padamnya dukkha.

Pada suatu hari Sang Buddha berada di hutan Simsapa di Kosambi (dekat Allahabad). Beliau kemudian mengambil segenggam daun di tangan-Nya dan bertanya kepada para bhikkhu:
"Coba katakan, O bhikkhu. Mana yang lebih banyak, daun yang ada di genggaman-Ku ataukah daun yang ada di hutan ini?"

"Tentu saja daun yang ada di hutan ini lebih banyak daripada daun yang ada di dalam genggaman tangan Bhante."

"Begitulah juga, O bhikkhu, dari apa yang Aku tahu hanya sebagian kecil saja yang telah Aku ajarkan kepadamu dan bagian yang terbesar lagi tidak Aku ajarkan. Mengapa Aku berbuat demikian? Oleh karena hal-hal itu tidak berguna ... tidak akan membawamu ke Nibbana. Oleh karena itulah Aku tidak ajarkan hal-hal yang demikian itu kepadamu." (Samyutta Nikaya XXII 94)



Title: Re: Kebenaran adalah satu atau banyak!
Post by: ronin on 15 April 2010, 05:50:12 AM
kalau menurut saya..kebenaran cuma ada 1 yaitu nibana..Sang Buddha menjelaskan segala sesuatu pasti disesuaikan dgn kondisi dr batin penerima khotbah..thx
Title: Re: Kebenaran adalah satu atau banyak!
Post by: sukuhong on 15 April 2010, 06:07:58 AM
Kebenaran adalah satu.
dari awal sampai ujung2 nya yang dimaksud semua adalah NIBBANA
kam sia
Title: Re: Kebenaran adalah satu atau banyak!
Post by: Jerry on 15 April 2010, 12:19:30 PM
Dikatakan "Nibbanam paramam sukham", nibbana adalah kebahagiaan tertinggi. Jika nibbana identik dengan kebahagiaan (sukha) dan samsara identik dengan penderitaan (dukkha). Sedangkan kebenaran hanya 1 yaitu Nibbana, bagaimana dengan dukkha? Apakah dukkha itu bukan sebuah kebenaran?
Title: Re: Kebenaran adalah satu atau banyak!
Post by: seniya on 15 April 2010, 12:43:33 PM
Dalam konsep Mahayana, Nirvana (Nibbana) tidak berbeda dengan samsara. Maka jika Nirvana adalah kebenaran,tentu samsara (dukkha) juga adalah kebenaran yang sama.
Title: Re: Kebenaran adalah satu atau banyak!
Post by: seniya on 15 April 2010, 12:43:57 PM
Dalam konsep Mahayana, Nirvana (Nibbana) tidak berbeda dengan samsara. Maka jika Nirvana adalah kebenaran,tentu samsara (dukkha) juga adalah kebenaran yang sama.
Title: Re: Kebenaran adalah satu atau banyak!
Post by: Nevada on 15 April 2010, 01:23:00 PM
Quote from: Peacemind on 14 April 2010, 03:52:47 PM
Penjelasan yang luar biasa. Namun saya melihat penjelasan mengenai kebenaran hanya ada satu hanya mencakup tentang tentang kebenaran dukkha, sebab dukkha dan jalan untuk melenyapkan dukkha saja. Segala sesuatu timbul karena sebab: 'segala sesuatu = dukkha, karena sebab = dukkhasamudaya. Sementara itu, kalimat, 'ada cara untuk menghentikan penyebab selanjutnya' merupakan kata lain sebagai dukkhanirodhagaminipatipada / jalan untuk melenyapkan dukkha. Dalam penjelasan ini, dukkhanirodha / lenyapnya dukkha / nibbāna tidak disebutkan.

Pendapat Anda benar. Namun saya ingin menambahkan, bahwa...

Jika dikatakan "ada cara atau jalan untuk menghentikan penyebab selanjutnya", itu artinya "ada cara atau jalan untuk mencapai pembebasan (Nibbana)". Jika cara atau jalan ini merupakan salah satu Kebenaran, maka buah dari jalan ini pun merupakan Kebenaran. Jadi Nibbana merupakan Kebenaran juga, walaupun dinyatakan secara tersirat di syair itu.
Title: Re: Kebenaran adalah satu atau banyak!
Post by: Peacemind on 15 April 2010, 07:36:52 PM
Quote from: upasaka on 15 April 2010, 01:23:00 PM
Quote from: Peacemind on 14 April 2010, 03:52:47 PM
Penjelasan yang luar biasa. Namun saya melihat penjelasan mengenai kebenaran hanya ada satu hanya mencakup tentang tentang kebenaran dukkha, sebab dukkha dan jalan untuk melenyapkan dukkha saja. Segala sesuatu timbul karena sebab: 'segala sesuatu = dukkha, karena sebab = dukkhasamudaya. Sementara itu, kalimat, 'ada cara untuk menghentikan penyebab selanjutnya' merupakan kata lain sebagai dukkhanirodhagaminipatipada / jalan untuk melenyapkan dukkha. Dalam penjelasan ini, dukkhanirodha / lenyapnya dukkha / nibbāna tidak disebutkan.

Pendapat Anda benar. Namun saya ingin menambahkan, bahwa...

Jika dikatakan "ada cara atau jalan untuk menghentikan penyebab selanjutnya", itu artinya "ada cara atau jalan untuk mencapai pembebasan (Nibbana)". Jika cara atau jalan ini merupakan salah satu Kebenaran, maka buah dari jalan ini pun merupakan Kebenaran. Jadi Nibbana merupakan Kebenaran juga, walaupun dinyatakan secara tersirat di syair itu.

Hmm... it makes sense. Setuju!

Btw, sebagai informasi saja, menurut kitab komentar, empat paramatthadhamma dalam Abhidhamma yang disebut di awal thread ini  terutama dalam hal ini citta, cetasika dan rūpa dikatakan sebagai kebenaran tertinggi karena mereka hanya menunjukkan hakekat sesungguhnya fenomena  tanpa adanya embel-embel 'diri / aku'. Ini juga bisa diartikan bahwa ketika seseorang melihat fenomena batin dan jasmani sebagai mana adanya tanpa campur tangan, bahwa mereka "milikku, aku dan diriku", di sana yang memanifestasikan sifat alamnya adalah hanya citta, cetasika dan rupa. Oleh karena itu, tiga hal ini pun dikatakan sebagai kebenaran tertinggi.

Kebetulan sekitar 2 bulan yang lalu saya pernah bertanya ke seorang ahli Abhidhamma Nina Van Gorkom tentang mengapa citta, cetasika dan rūpa juga merupakan kebenaran tertinggi. Ia menjawab karena ketiga hal ini sudah tidak bisa dibagi lagi.

Ada pendapat?
Title: Re: Kebenaran adalah satu atau banyak!
Post by: Peacemind on 15 April 2010, 07:42:59 PM
Quote from: seniya on 15 April 2010, 12:43:57 PM
Dalam konsep Mahayana, Nirvana (Nibbana) tidak berbeda dengan samsara. Maka jika Nirvana adalah kebenaran,tentu samsara (dukkha) juga adalah kebenaran yang sama.

Bhikshu Nagarjuna mengatakan nirvana dan samsara sama atas dasar karena keduanya adalah sunyata / kosong. Tapi  apakah jika alam samsara yang masih ada LMD bisa disamakan sebagai nibbāna yang bebas dari LMD? Tampaknya harus tetap dibedakan. :D
Title: Re:Kebenaran adalah satu atau banyak!
Post by: Kelana on 15 April 2010, 09:41:06 PM
Saya sependapat dengan Sdr. Tesla dan Sdr. Upasaka. Singkatnya, kebenaran itu hanya satu, namun cara mempresentasikannya yang bermacam-macam.
Title: Re: Kebenaran adalah satu atau banyak!
Post by: seniya on 15 April 2010, 10:16:09 PM
Quote from: Peacemind on 15 April 2010, 07:42:59 PM
Quote from: seniya on 15 April 2010, 12:43:57 PM
Dalam konsep Mahayana, Nirvana (Nibbana) tidak berbeda dengan samsara. Maka jika Nirvana adalah kebenaran,tentu samsara (dukkha) juga adalah kebenaran yang sama.

Bhikshu Nagarjuna mengatakan nirvana dan samsara sama atas dasar karena keduanya adalah sunyata / kosong. Tapi  apakah jika alam samsara yang masih ada LMD bisa disamakan sebagai nibbāna yang bebas dari LMD? Tampaknya harus tetap dibedakan. :D

Bukankah adalah suatu kebenaran tertinggi bahwa semua dharma adalah kosong/sunyata,termasuk samsara,pancaskandha,maupun Nirvana?
Title: Re: Kebenaran adalah satu atau banyak!
Post by: hendrako on 15 April 2010, 10:54:43 PM
Quote from: seniya on 15 April 2010, 10:16:09 PM
Quote from: Peacemind on 15 April 2010, 07:42:59 PM
Quote from: seniya on 15 April 2010, 12:43:57 PM
Dalam konsep Mahayana, Nirvana (Nibbana) tidak berbeda dengan samsara. Maka jika Nirvana adalah kebenaran,tentu samsara (dukkha) juga adalah kebenaran yang sama.

Bhikshu Nagarjuna mengatakan nirvana dan samsara sama atas dasar karena keduanya adalah sunyata / kosong. Tapi  apakah jika alam samsara yang masih ada LMD bisa disamakan sebagai nibbāna yang bebas dari LMD? Tampaknya harus tetap dibedakan. :D

Bukankah adalah suatu kebenaran tertinggi bahwa semua dharma adalah kosong/sunyata,termasuk samsara,pancaskandha,maupun Nirvana?

                 ~o)
           .................

   .....Manteb, Bro/Sis.....
            (grp send)

               _/\_
Title: Re: Kebenaran adalah satu atau banyak!
Post by: fabian c on 16 April 2010, 07:45:59 AM
Quote from: seniya on 15 April 2010, 10:16:09 PM
Quote from: Peacemind on 15 April 2010, 07:42:59 PM
Quote from: seniya on 15 April 2010, 12:43:57 PM
Dalam konsep Mahayana, Nirvana (Nibbana) tidak berbeda dengan samsara. Maka jika Nirvana adalah kebenaran,tentu samsara (dukkha) juga adalah kebenaran yang sama.

Bhikshu Nagarjuna mengatakan nirvana dan samsara sama atas dasar karena keduanya adalah sunyata / kosong. Tapi  apakah jika alam samsara yang masih ada LMD bisa disamakan sebagai nibbāna yang bebas dari LMD? Tampaknya harus tetap dibedakan. :D

Bukankah adalah suatu kebenaran tertinggi bahwa semua dharma adalah kosong/sunyata,termasuk samsara,pancaskandha,maupun Nirvana?

Bro Seniya yang baik, konsep kekosongan terhadap segala sesuatu berasal dari konsep maya. Sebenarnya ada perbedaan sedikit antara konsep Mahayana dengan Theravada mengenai hal ini. Pokok pemikiran Theravada berdasarkan Tipitaka tidak terlibat pada pemahaman kosong atau isi.

Selalu hanya dikatakan bahwa segala sesuatu akan berubah (anicca). Segala sesuatu ada pada waktu dia muncul, dan lenyap pada waktu dia berhenti. Segala sesuatu muncul dari suatu sebab, dan akan lenyap kembali.

Pernah ada suatu diskusi demikian, ada pendapat yang mengatakan seperti bro seniya, kita semua pada dasarnya tidak ada dan kosong, berarti si A kosong (tidak ada) dan si B juga kosong (tidak ada). Bila kedua-duanya kosong (tidak ada) maka bila si A membunuh si B seharusnya tidak berbuah kamma kan? Karena sebenarnya Si B tidak ada, berarti sebenarnya tidak ada yang dibunuh, jadi karena tak ada yang dibunuh berarti tak ada kamma vipaka.

Demikian juga dengan si A, karena si A pada dasarnya tidak ada maka sebenarnya tidak ada yang membunuh, ya kan...? Karena tidak ada yang membunuh, berarti sebenarnya tak ada pembunuhan, ya kan?

Demikian seterusnya, dan hal ini juga berlaku untuk hal-hal yang lain, misalnya mencuri, berdana dll.

Ini hanya sekedar bahan pemikiran untuk kita semua.

_/\_
Title: Re: Kebenaran adalah satu atau banyak!
Post by: seniya on 16 April 2010, 09:07:17 AM
 [at] hendrako:
Thx,bro. Tp aku msh bro kok,gak jd sis. Wkwkwkwk....

[at] fabian:
Sungguh beruntung saya dapat berdiskusi dg anda. Secara pribadi saya menyukai tulisan anda tentang kosmologi Buddhis,apalagi saya memang tertarik dg hal2 berbau astronomi.

Menurut pemahaman saya (krn basic saya juga di Theravada),sunyata bukan berarti kosong/hampa atau tidak ada isinya,namun sunyata bermakna bahwa segala sesuatu hanyalah perpaduan unsur2 di mana tidak terdapat unsur substansial yg dapat berdiri sendiri & dikatakan sbg intinya (anatta). Mungkin ada perbedaan antara konsep anatta & sunyata yg tdk saya ketahui,namun secara mendasar keduanya sama memandang semua dharma adalah tanpa eksistensi sesuatu yg substansial.

Soal tanggung jawab moral tetap ada walaupun tidak ada substansi utama. Dlm Milinda Panha dikatakan bahwa melalui nama rupa ini suatu perbuatan/kamma dilakukan,karena kamma tsb nama rupa baru pada kehidupan mendatang terbentuk. Walaupun tidak ada sesuatu yg berpindah dari satu kehidupan ke kehidupan mendatang,namun kamma menghubungkan keduanya,karenanya nama rupa baru tetap bertanggung jawab atas perbuatan nama rupa sebelumnya. CMIIW (Penjelasannya singkat saja karena sepertinya sudah OOT)
Title: Re: Kebenaran adalah satu atau banyak!
Post by: wen78 on 16 April 2010, 09:09:24 AM
 [at] fabian

untuk "kosong" dan "isi", rasanya paling tepat penganalogiannya menggunakan kedewasaan.

kita anggap kedewasaan adalah sebuah nirvana. dari kecil hingga dewasa belajar dan melatih untuk menjadi dewasa.
ketika kecil, kedewasaan adalah sesuatu yg "isi", ketika sudah menjadi dewasa, kedewasaan menjadi seolah2 sesuatu yg "kosong".
sewaktu kecil mengidam2kan sebuah kedewasaan, dan setelah mencapainya dan org lain menyebut "kamu sudah dewasa ya...".
kedewasaan sudah menjadi satu dengan diri yg menjadikan seolah2 kedewasaan itu tidak ada karena kedewasaan itu adalah bagian dari diri, tetapi kedewasaan ini tetap ada karena diri telah menjadi dewasa.

mungkin ini yg dimaksudkan oleh bro seniya, bahwa sebenarnya semuanya adalah "kosong".
"kosong" tapi "isi".
Title: Re: Kebenaran adalah satu atau banyak!
Post by: ryu on 16 April 2010, 09:13:15 AM
kosong adalah kosong, isi adalah isi itu adalah yang benar
kalau kosong adalah isi dan isi adalah kosong sepertinya menunjukan pada dualitas.
Title: Re: Kebenaran adalah satu atau banyak!
Post by: wen78 on 16 April 2010, 09:16:40 AM
^

apakah bro ryu sudah dewasa? apakah kedewasaan bro ryu adalah sesuatu yg dualitas? :)

jika merasa blm dewasa, gak usah di bahas lagi :P
Title: Re: Kebenaran adalah satu atau banyak!
Post by: Nevada on 16 April 2010, 10:14:53 AM
Quote from: Peacemind on 15 April 2010, 07:36:52 PM
Hmm... it makes sense. Setuju!

Btw, sebagai informasi saja, menurut kitab komentar, empat paramatthadhamma dalam Abhidhamma yang disebut di awal thread ini  terutama dalam hal ini citta, cetasika dan rūpa dikatakan sebagai kebenaran tertinggi karena mereka hanya menunjukkan hakekat sesungguhnya fenomena  tanpa adanya embel-embel 'diri / aku'. Ini juga bisa diartikan bahwa ketika seseorang melihat fenomena batin dan jasmani sebagai mana adanya tanpa campur tangan, bahwa mereka "milikku, aku dan diriku", di sana yang memanifestasikan sifat alamnya adalah hanya citta, cetasika dan rupa. Oleh karena itu, tiga hal ini pun dikatakan sebagai kebenaran tertinggi.

Kebetulan sekitar 2 bulan yang lalu saya pernah bertanya ke seorang ahli Abhidhamma Nina Van Gorkom tentang mengapa citta, cetasika dan rūpa juga merupakan kebenaran tertinggi. Ia menjawab karena ketiga hal ini sudah tidak bisa dibagi lagi.

Ada pendapat?

Menarik juga...

Saya pikir citta, cetasika dan rupa memang merupakan kebenaran tertinggi. Sebab apa yang kita sebut sebagai makhluk (manussa) ini hanyalah terdiri dari citta-cetasika (batin) dan rupa (fisik jasmani). Bagi seseorang yang belum menembus kebenaran, dirinya masih terkungkung dalam konsep bahwa ada "aku", "diriku", dan "milikku". Karena konsepsi ini ada, maka seseorang masih akan menggenggam bahwa "aku" ada di dalam, di luar, ataupun berada di citta, cetasika, maupun di rupa. Demikian pula seseorang masih menggenggam bahwa "diriku" dan "milikku" ada di dalam, di luar, ataupun berada di citta, cetasika, maupun di rupa.

Bagi seseorang yang masih menggenggam konsepsi ini, ia tidak akan bisa melihat kebenaran sesungguhnya bahwa tidak ada yang layak disebut sebagai "aku", "diriku", maupun "milikku". Ia belum bisa melihat dengan jelas apa itu citta, cetasika dan rupa. Diperlukan kebijaksanaan (panna) untuk bisa melihat ketiga hal ini, sebab "fungsi" dari kebijaksanaan adalah memilah. Setelah kebijaksanaan memilah, seseorang hanya akan melihat citta, cetasika dan rupa; tidak ada "aku", "diriku" dan "milikku".

Citta, cetasika dan rupa sudah tidak bisa dibagi lagi. Tapi ketiga hal ini tidak layak pula untuk disebut sebagai substansi inti dari makhluk (manussa). Sebab seperti yang sudah kita singgung sebelumnya; bahwa citta, cetasika dan rupa merupakan segala sesuatu yang timbul karena sebab.

Bagaimana pendapat Anda?
Title: Re: Kebenaran adalah satu atau banyak!
Post by: ryu on 16 April 2010, 11:12:43 AM
Quote from: wen78 on 16 April 2010, 09:16:40 AM
^

apakah bro ryu sudah dewasa? apakah kedewasaan bro ryu adalah sesuatu yg dualitas? :)

jika merasa blm dewasa, gak usah di bahas lagi :P
memangnya dalam sabda buddha ada dikatakan kedewasaan dalam perumpamaan isi adalah kosong?
Title: Re: Kebenaran adalah satu atau banyak!
Post by: fabian c on 16 April 2010, 01:31:10 PM
Quote from: seniya on 16 April 2010, 09:07:17 AM
[at] hendrako:
Thx,bro. Tp aku msh bro kok,gak jd sis. Wkwkwkwk....

[at] fabian:
Sungguh beruntung saya dapat berdiskusi dg anda. Secara pribadi saya menyukai tulisan anda tentang kosmologi Buddhis,apalagi saya memang tertarik dg hal2 berbau astronomi.

Menurut pemahaman saya (krn basic saya juga di Theravada),sunyata bukan berarti kosong/hampa atau tidak ada isinya,namun sunyata bermakna bahwa segala sesuatu hanyalah perpaduan unsur2 di mana tidak terdapat unsur substansial yg dapat berdiri sendiri & dikatakan sbg intinya (anatta). Mungkin ada perbedaan antara konsep anatta & sunyata yg tdk saya ketahui,namun secara mendasar keduanya sama memandang semua dharma adalah tanpa eksistensi sesuatu yg substansial.
Bro Seniya yang baik, terima kasih bro menyukai buku Kosmologi tsb.
Kembali ke topik, memang kelihatannya sepintas lalu ada kemiripan antara konsep kosong tsb dengan konsep anatta. Konsep anatta tidak bersasosiasi dengan kekosongan tetapi lebih berasosiasi dengan konsep anicca. Jadi dalam hal ini disebut anatta bukan karena tak ada substansi/kosong, tetapi karena tak ada individu mahluk yang memiliki substansi/roh (atta).

Bagaimana dengan kursi, meja, batu dll apakah memiliki substansi? Tentu saja ada dan kita tak dapat mengatakan meja itu kosong, tetapi dapatkah dikatakan meja atau kursi itui memiliki roh/atta? tentu tidak.

dalam hal tertentu pancakhandha pada mahluk bisa berdiri sendiri, tetapi mengalami perubahan, contohnya: bila Arahat Parinibbana, kelompok pancakhandhanya yang langsung berhenti adalah batin, tetapi jasmani tetap belum berhenti dan mampu berdiri sendiri, tetapi mengalami perubahan.

Bila pancakhandha dikatakan berhenti seluruhnya pada Arahat, itu adalah kemelekatan Mereka yang telah berhenti.
pengertian yang dikatakan tak dapat berdiri sendiri juga adalah kemelekatannya, bila salah satu objek kemelekatan (objek khandha) berhenti, maka objek kemelekatan yang berkaitan juga akan berhenti dan dengan demikian semua objek kemelekatan akan berhenti karena saling berkaitan.

Jadi dibedakan bro, pada Arahat jasmani tidak berhenti tetapi kemelekatan pada jasmani telah berhenti.

Banyak orang yang salah mengerti mengenai pancakhandha itu sendiri, dari jaman dahulu banyak orang yang salah kaprah menganggap bahwa pancakhandha adalah komponen dari mahluk hidup, ini ada benarnya, tetapi kurang tepat, pancakhandha yang sebenarnya adalah merupakan objek kemelekatan kita.

Jadi anatta bukan berarti kosong, tetapi memang karena sifat segala yang terbentuk (ada) akan lenyap kembali (tiada), ini adalah konsep anicca. Disebut anatta karena segala sesuatu yang timbul tersebut akan lenyap kembali, tak ada substansi atta.

QuoteSoal tanggung jawab moral tetap ada walaupun tidak ada substansi utama. Dlm Milinda Panha dikatakan bahwa melalui nama rupa ini suatu perbuatan/kamma dilakukan,karena kamma tsb nama rupa baru pada kehidupan mendatang terbentuk. Walaupun tidak ada sesuatu yg berpindah dari satu kehidupan ke kehidupan mendatang,namun kamma menghubungkan keduanya,karenanya nama rupa baru tetap bertanggung jawab atas perbuatan nama rupa sebelumnya. CMIIW (Penjelasannya singkat saja karena sepertinya sudah OOT)

Ya saya setuju mengenai hal ini, tetapi khusus mengenai tanggung jawab, saya lebih suka menggunakan istilah konsekuensi, lebih sejalan dengan isi Dhammapada, yaitu konsekuensi akan terus mengikuti, bagai jejak roda pedati yang mengikuti jejak kaki lembu yang menariknya (Dhammapada).

Semoga keterangan saya dapat dimengerti bro Seniya.

_/\_
Title: Re: Kebenaran adalah satu atau banyak!
Post by: Peacemind on 16 April 2010, 04:07:38 PM
Quote from: upasaka on 16 April 2010, 10:14:53 AM
Quote from: Peacemind on 15 April 2010, 07:36:52 PM
Hmm... it makes sense. Setuju!

Btw, sebagai informasi saja, menurut kitab komentar, empat paramatthadhamma dalam Abhidhamma yang disebut di awal thread ini  terutama dalam hal ini citta, cetasika dan rūpa dikatakan sebagai kebenaran tertinggi karena mereka hanya menunjukkan hakekat sesungguhnya fenomena  tanpa adanya embel-embel 'diri / aku'. Ini juga bisa diartikan bahwa ketika seseorang melihat fenomena batin dan jasmani sebagai mana adanya tanpa campur tangan, bahwa mereka "milikku, aku dan diriku", di sana yang memanifestasikan sifat alamnya adalah hanya citta, cetasika dan rupa. Oleh karena itu, tiga hal ini pun dikatakan sebagai kebenaran tertinggi.

Kebetulan sekitar 2 bulan yang lalu saya pernah bertanya ke seorang ahli Abhidhamma Nina Van Gorkom tentang mengapa citta, cetasika dan rūpa juga merupakan kebenaran tertinggi. Ia menjawab karena ketiga hal ini sudah tidak bisa dibagi lagi.

Ada pendapat?

Menarik juga...

Saya pikir citta, cetasika dan rupa memang merupakan kebenaran tertinggi. Sebab apa yang kita sebut sebagai makhluk (manussa) ini hanyalah terdiri dari citta-cetasika (batin) dan rupa (fisik jasmani). Bagi seseorang yang belum menembus kebenaran, dirinya masih terkungkung dalam konsep bahwa ada "aku", "diriku", dan "milikku". Karena konsepsi ini ada, maka seseorang masih akan menggenggam bahwa "aku" ada di dalam, di luar, ataupun berada di citta, cetasika, maupun di rupa. Demikian pula seseorang masih menggenggam bahwa "diriku" dan "milikku" ada di dalam, di luar, ataupun berada di citta, cetasika, maupun di rupa.

Bagi seseorang yang masih menggenggam konsepsi ini, ia tidak akan bisa melihat kebenaran sesungguhnya bahwa tidak ada yang layak disebut sebagai "aku", "diriku", maupun "milikku". Ia belum bisa melihat dengan jelas apa itu citta, cetasika dan rupa. Diperlukan kebijaksanaan (panna) untuk bisa melihat ketiga hal ini, sebab "fungsi" dari kebijaksanaan adalah memilah. Setelah kebijaksanaan memilah, seseorang hanya akan melihat citta, cetasika dan rupa; tidak ada "aku", "diriku" dan "milikku".

Citta, cetasika dan rupa sudah tidak bisa dibagi lagi. Tapi ketiga hal ini tidak layak pula untuk disebut sebagai substansi inti dari makhluk (manussa). Sebab seperti yang sudah kita singgung sebelumnya; bahwa citta, cetasika dan rupa merupakan segala sesuatu yang timbul karena sebab.

Bagaimana pendapat Anda?

Yap, setuju sekali. Sebagai tambahan saja, dalam kitab komentar, dalam mendefinisikan beberapa fenomena seperti citta, cetasika, dll, para komentator menggunakan tiga cara yakni (1) kattusadhana - definisi yang menunjukkan adanya agen, (2) definisi yang menunjukkan fenomena sebagai instrumen, (3) bhavasadhana -definisi yang menunjukkan sifat fenomena sesungguhnya fenomena. Sebagai contoh adalah definisi citta sebagai berikut:

1. kattusadhana = cinteti'ti cittaṃ - pikiran disebut demikian karena ia berpikir. Dalam hal ini, citta memiliki agen.
2. karadasadhana = cinteti'ti tena cittaṃ - pikiran disebut demikian karena dengan pikiran seseorang berpikir. Di sini pikiran menjadi sebuah instrumen di mana seseorang berpikir.
3. bhavasadhana = cintanamattaṃ eva cittaṃ - sekedar pikiran itulah yang disebut pikiran / mere thingking itself is mind. Dalama definisi ini, pikiran didefinisikan sebagai sekedar / hanya pikiran tanpa campur tangan adanya "aku, diri atau pemilik'.

Dari ketiga definisi di atas, dua definisi pertama digunakan hanya untuk mempermudah komunikasi, namun tidak menunjukkan sifat sebenarnya citta. Oleh karenanya, dua definisi ini disebut sebagai samuttisacca. Sementara itu, definisi pertama dianggap sebagai sifat sesungguhnya citta karena dalam definisi ini tidak ada diri, aku atau milik. Yang ada hanya citta dan tidak lebih dari itu. Definisi ini juga dikategorikan sebagai paramattasacca. Berbasis pada definisi ini pula, jika fenomena mengacu kepada 'sekedar fenomena' tanpa embel-embel aku, diri atau milik, maka bisa dikatakan bahwa sekedar fenomena2 ini dianggap sebagai kebenaran tertinggi setidaknya dlm 'sankhara world'. Hal ini juga sangat berkaitan dengan khotbah dalam Bahiyasutta yakni ketika seseorang melihat, ini 'hanya sekedar melihat', dst. Ketika seseorang melihat yang ada hanya sekedar melihat tanpa adanya embel-embel aku, diri atau milik, di sana yang ada hanya sekedar fenomena yang muncul dan lenyap. Demikianlah, hanya sekedar citta, cetasika dan rupa tanpa embel-embel 'aku, diri atau milik' disebut sebagai kebenaran tertinggi setidaknya dalam kategori sankhara world.

Citta, cetasika dan rupa tidak bisa dibagi lagi dalam arti bahwa mereka telah menunjukkan sifat sejatinya fenomena. Namun seperti yang telah diketahui bersama, mereka pun masih berada dalam lingkup muncul, bertahan sebentar dan lenyap (uppada, ṭhiti, bhaṅga).
Title: Re: Kebenaran adalah satu atau banyak!
Post by: seniya on 16 April 2010, 08:08:45 PM
Quote from: fabian c on 16 April 2010, 01:31:10 PM
Quote from: seniya on 16 April 2010, 09:07:17 AM
[at] hendrako:
Thx,bro. Tp aku msh bro kok,gak jd sis. Wkwkwkwk....

[at] fabian:
Sungguh beruntung saya dapat berdiskusi dg anda. Secara pribadi saya menyukai tulisan anda tentang kosmologi Buddhis,apalagi saya memang tertarik dg hal2 berbau astronomi.

Menurut pemahaman saya (krn basic saya juga di Theravada),sunyata bukan berarti kosong/hampa atau tidak ada isinya,namun sunyata bermakna bahwa segala sesuatu hanyalah perpaduan unsur2 di mana tidak terdapat unsur substansial yg dapat berdiri sendiri & dikatakan sbg intinya (anatta). Mungkin ada perbedaan antara konsep anatta & sunyata yg tdk saya ketahui,namun secara mendasar keduanya sama memandang semua dharma adalah tanpa eksistensi sesuatu yg substansial.
Bro Seniya yang baik, terima kasih bro menyukai buku Kosmologi tsb.
Kembali ke topik, memang kelihatannya sepintas lalu ada kemiripan antara konsep kosong tsb dengan konsep anatta. Konsep anatta tidak bersasosiasi dengan kekosongan tetapi lebih berasosiasi dengan konsep anicca. Jadi dalam hal ini disebut anatta bukan karena tak ada substansi/kosong, tetapi karena tak ada individu mahluk yang memiliki substansi/roh (atta).

Bagaimana dengan kursi, meja, batu dll apakah memiliki substansi? Tentu saja ada dan kita tak dapat mengatakan meja itu kosong, tetapi dapatkah dikatakan meja atau kursi itui memiliki roh/atta? tentu tidak.

dalam hal tertentu pancakhandha pada mahluk bisa berdiri sendiri, tetapi mengalami perubahan, contohnya: bila Arahat Parinibbana, kelompok pancakhandhanya yang langsung berhenti adalah batin, tetapi jasmani tetap belum berhenti dan mampu berdiri sendiri, tetapi mengalami perubahan.

Bila pancakhandha dikatakan berhenti seluruhnya pada Arahat, itu adalah kemelekatan Mereka yang telah berhenti.
pengertian yang dikatakan tak dapat berdiri sendiri juga adalah kemelekatannya, bila salah satu objek kemelekatan (objek khandha) berhenti, maka objek kemelekatan yang berkaitan juga akan berhenti dan dengan demikian semua objek kemelekatan akan berhenti karena saling berkaitan.

Jadi dibedakan bro, pada Arahat jasmani tidak berhenti tetapi kemelekatan pada jasmani telah berhenti.

Banyak orang yang salah mengerti mengenai pancakhandha itu sendiri, dari jaman dahulu banyak orang yang salah kaprah menganggap bahwa pancakhandha adalah komponen dari mahluk hidup, ini ada benarnya, tetapi kurang tepat, pancakhandha yang sebenarnya adalah merupakan objek kemelekatan kita.

Jadi anatta bukan berarti kosong, tetapi memang karena sifat segala yang terbentuk (ada) akan lenyap kembali (tiada), ini adalah konsep anicca. Disebut anatta karena segala sesuatu yang timbul tersebut akan lenyap kembali, tak ada substansi atta.

QuoteSoal tanggung jawab moral tetap ada walaupun tidak ada substansi utama. Dlm Milinda Panha dikatakan bahwa melalui nama rupa ini suatu perbuatan/kamma dilakukan,karena kamma tsb nama rupa baru pada kehidupan mendatang terbentuk. Walaupun tidak ada sesuatu yg berpindah dari satu kehidupan ke kehidupan mendatang,namun kamma menghubungkan keduanya,karenanya nama rupa baru tetap bertanggung jawab atas perbuatan nama rupa sebelumnya. CMIIW (Penjelasannya singkat saja karena sepertinya sudah OOT)

Ya saya setuju mengenai hal ini, tetapi khusus mengenai tanggung jawab, saya lebih suka menggunakan istilah konsekuensi, lebih sejalan dengan isi Dhammapada, yaitu konsekuensi akan terus mengikuti, bagai jejak roda pedati yang mengikuti jejak kaki lembu yang menariknya (Dhammapada).

Semoga keterangan saya dapat dimengerti bro Seniya.

_/\_

Thx atas penjelasannya tentang anatta, namun konsep sunyata juga sangat mirip dengan konsep anatta yang dijelaskan sbb:

QuoteEmptiness

The reality of Sunyata, being one of the most profound truths in Buddhism, is often misunderstood. It is, at best, though not ideally, translated as "Emptiness". The following is an introduction to the concept of Emptiness.

Examples of Emptiness

An analogy to explain Sunyata is a river. A river does not truly exist on its own as it consists of many streams of water coming and going, which make up its "substance". Each of these streams is just as unsubstantial, each consisting of smaller streams of changing elements within it. There is thus no substantial or "real" river—there is only the flowing. We say that the river is empty of a
fixed nature—exhibiting Emptiness. Everything in the universe (all physical and mental phenomena)
exhibits characteristics of Emptiness.

Another example is a waterfall. A waterfall seen from a distance appears as a shiny solid sheet in one piece. But upon closer inspection, we see clearly that the "piece" is a continuous flowing stream of water. There is essentially no fixed "waterfall"—there is only water falling.

The Two Sides of Emptiness

Here is a maxim to help remember the subtle concept of Sunyata:

Sunyata affirms the existence of existence;
Sunyata negates the self-nature of existence.


This means the truth of Emptiness does not deny the existence of each and every thing, but it denies the existence of a fixed unchanging self-nature behind each and every thing.

Using a river again as an example, we can say that a river (made of many small streams) exists dependently or conditionally on the streams—this illustrates the first aspect of the above maxim. Because the river flows on and on and hence keeps changing, we say that the river does not exist independently or unconditionally, as it has no unchanging identity or self—this illustrates the second aspect of the maxim.

Sumber: buku Be A Lamp Upon Yourself

Sepertinya konsep kekosongan ini dikembangkan konsep kekosongan yang ditemukan dalam kanon Pali juga, seperti Sunna Sutta berikut:

Quote
Suñña Sutta: Empty
[/b]

translated from the Pali by Thanissaro Bhikkhu

Then Ven. Ananda went to the Blessed One and on arrival, having bowed down to him, sat to one side. As he was sitting there he said to the Blessed One, "It is said that the world is empty, the world is empty, lord. In what respect is it said that the world is empty?"

"Insofar as it is empty of a self or of anything pertaining to a self: Thus it is said, Ananda, that the world is empty. And what is empty of a self or of anything pertaining to a self? The eye is empty of a self or of anything pertaining to a self. Forms... Eye-consciousness... Eye-contact is empty of a self or of anything pertaining to a self.

"The ear is empty...

"The nose is empty...

"The tongue is empty...

"The body is empty...

"The intellect is empty of a self or of anything pertaining to a self. Ideas... Intellect-consciousness... Intellect-contact is empty of a self or of anything pertaining to a self. Thus it is said that the world is empty."

Sumber: http://www.accesstoinsight.org/tipitaka/sn/sn35/sn35.085.than.html (http://www.accesstoinsight.org/tipitaka/sn/sn35/sn35.085.than.html)

Quote from: ryu on 16 April 2010, 09:13:15 AM
kosong adalah kosong, isi adalah isi itu adalah yang benar
kalau kosong adalah isi dan isi adalah kosong sepertinya menunjukan pada dualitas.

Sedikit koreksi saja, bukan "kosong adalah isi dan isi adalah kosong" seperti yang dipopulerkan dalam film Kera Sakti, namun yang benar adalah:

Quote
IHA SARIPUTRA RUPAM SUNYATA
SUNYATAIVA RUPAM
RUPANNA PRITHAG SUNYATA
SUNYATAYA NA PRITHAG RUPAM
YA RUPAM SA SUNYATA
YA SUNYATA TAD RUPAM
EVAM EVA VEDANA SAJNA SAMSKHARA VIJNANA

Wahai Sariputra, jasmani (rupa) itu tak lain adalah kosong,
Dan kekosongan itu tak lain dari rupa;
Rupa persisnya adalah kekosongan,
Dan kekosongan persisnya adalah rupa
;
Demikian pula dengan perasaan (vedana), pencerapan (sajna), bentuk pikiran (samskhara), dan kesadaran (vijnana).

IHA SARIPUTRA SARVADHARMA SUNYATA LAKSHANA
ANUTPANNA ANIRUDHA
AMALA NA AVIMALA
NONA NA PARIPURNAH

Wahai Sariputra, semua dharma ditandai dengan kekosongan;
Tidak lahir tidak juga musnah,
Tidak murni tidak juga tercemar,
Tidak bertambah tidak juga berkurang.

Sumber: Prajna Paramita Sutra

Yang kalimat kedua yang di-bold itulah yang saya maksud kebenaran tertinggi bahwa "semua dharma adalah kosong".
Title: Re: Kebenaran adalah satu atau banyak!
Post by: Peacemind on 16 April 2010, 08:20:55 PM
Quote from: Peacemind on 16 April 2010, 04:07:38 PM
Quote from: upasaka on 16 April 2010, 10:14:53 AM
Quote from: Peacemind on 15 April 2010, 07:36:52 PM
Hmm... it makes sense. Setuju!

Btw, sebagai informasi saja, menurut kitab komentar, empat paramatthadhamma dalam Abhidhamma yang disebut di awal thread ini  terutama dalam hal ini citta, cetasika dan rūpa dikatakan sebagai kebenaran tertinggi karena mereka hanya menunjukkan hakekat sesungguhnya fenomena  tanpa adanya embel-embel 'diri / aku'. Ini juga bisa diartikan bahwa ketika seseorang melihat fenomena batin dan jasmani sebagai mana adanya tanpa campur tangan, bahwa mereka "milikku, aku dan diriku", di sana yang memanifestasikan sifat alamnya adalah hanya citta, cetasika dan rupa. Oleh karena itu, tiga hal ini pun dikatakan sebagai kebenaran tertinggi.

Kebetulan sekitar 2 bulan yang lalu saya pernah bertanya ke seorang ahli Abhidhamma Nina Van Gorkom tentang mengapa citta, cetasika dan rūpa juga merupakan kebenaran tertinggi. Ia menjawab karena ketiga hal ini sudah tidak bisa dibagi lagi.

Ada pendapat?

Menarik juga...

Saya pikir citta, cetasika dan rupa memang merupakan kebenaran tertinggi. Sebab apa yang kita sebut sebagai makhluk (manussa) ini hanyalah terdiri dari citta-cetasika (batin) dan rupa (fisik jasmani). Bagi seseorang yang belum menembus kebenaran, dirinya masih terkungkung dalam konsep bahwa ada "aku", "diriku", dan "milikku". Karena konsepsi ini ada, maka seseorang masih akan menggenggam bahwa "aku" ada di dalam, di luar, ataupun berada di citta, cetasika, maupun di rupa. Demikian pula seseorang masih menggenggam bahwa "diriku" dan "milikku" ada di dalam, di luar, ataupun berada di citta, cetasika, maupun di rupa.

Bagi seseorang yang masih menggenggam konsepsi ini, ia tidak akan bisa melihat kebenaran sesungguhnya bahwa tidak ada yang layak disebut sebagai "aku", "diriku", maupun "milikku". Ia belum bisa melihat dengan jelas apa itu citta, cetasika dan rupa. Diperlukan kebijaksanaan (panna) untuk bisa melihat ketiga hal ini, sebab "fungsi" dari kebijaksanaan adalah memilah. Setelah kebijaksanaan memilah, seseorang hanya akan melihat citta, cetasika dan rupa; tidak ada "aku", "diriku" dan "milikku".

Citta, cetasika dan rupa sudah tidak bisa dibagi lagi. Tapi ketiga hal ini tidak layak pula untuk disebut sebagai substansi inti dari makhluk (manussa). Sebab seperti yang sudah kita singgung sebelumnya; bahwa citta, cetasika dan rupa merupakan segala sesuatu yang timbul karena sebab.

Bagaimana pendapat Anda?

Yap, setuju sekali. Sebagai tambahan saja, dalam kitab komentar, dalam mendefinisikan beberapa fenomena seperti citta, cetasika, dll, para komentator menggunakan tiga cara yakni (1) kattusadhana - definisi yang menunjukkan adanya agen, (2) definisi yang menunjukkan fenomena sebagai instrumen, (3) bhavasadhana -definisi yang menunjukkan sifat fenomena sesungguhnya fenomena. Sebagai contoh adalah definisi citta sebagai berikut:

1. kattusadhana = cinteti'ti cittaṃ - pikiran disebut demikian karena ia berpikir. Dalam hal ini, citta memiliki agen.
2. karadasadhana = cinteti'ti tena cittaṃ - pikiran disebut demikian karena dengan pikiran seseorang berpikir. Di sini pikiran menjadi sebuah instrumen di mana seseorang berpikir.
3. bhavasadhana = cintanamattaṃ eva cittaṃ - sekedar pikiran itulah yang disebut pikiran / mere thingking itself is mind. Dalama definisi ini, pikiran didefinisikan sebagai sekedar / hanya pikiran tanpa campur tangan adanya "aku, diri atau pemilik'.

Dari ketiga definisi di atas, dua definisi pertama digunakan hanya untuk mempermudah komunikasi, namun tidak menunjukkan sifat sebenarnya citta. Oleh karenanya, dua definisi ini disebut sebagai samuttisacca. Sementara itu, definisi pertama dianggap sebagai sifat sesungguhnya citta karena dalam definisi ini tidak ada diri, aku atau milik. Yang ada hanya citta dan tidak lebih dari itu. Definisi ini juga dikategorikan sebagai paramattasacca. Berbasis pada definisi ini pula, jika fenomena mengacu kepada 'sekedar fenomena' tanpa embel-embel aku, diri atau milik, maka bisa dikatakan bahwa sekedar fenomena2 ini dianggap sebagai kebenaran tertinggi setidaknya dlm 'sankhara world'. Hal ini juga sangat berkaitan dengan khotbah dalam Bahiyasutta yakni ketika seseorang melihat, ini 'hanya sekedar melihat', dst. Ketika seseorang melihat yang ada hanya sekedar melihat tanpa adanya embel-embel aku, diri atau milik, di sana yang ada hanya sekedar fenomena yang muncul dan lenyap. Demikianlah, hanya sekedar citta, cetasika dan rupa tanpa embel-embel 'aku, diri atau milik' disebut sebagai kebenaran tertinggi setidaknya dalam kategori sankhara world.

Citta, cetasika dan rupa tidak bisa dibagi lagi dalam arti bahwa mereka telah menunjukkan sifat sejatinya fenomena. Namun seperti yang telah diketahui bersama, mereka pun masih berada dalam lingkup muncul, bertahan sebentar dan lenyap (uppada, ṭhiti, bhaṅga).

Yang di bold di atas yakni 'definisi pertama' harus diganti 'definisi ketiga' / bhavasadhana.
Title: Re: Kebenaran adalah satu atau banyak!
Post by: sobat-dharma on 16 April 2010, 08:25:12 PM
Quote from: Peacemind on 15 April 2010, 07:42:59 PM
Bhikshu Nagarjuna mengatakan nirvana dan samsara sama atas dasar karena keduanya adalah sunyata / kosong. Tapi  apakah jika alam samsara yang masih ada LMD bisa disamakan sebagai nibbāna yang bebas dari LMD? Tampaknya harus tetap dibedakan. :D

LMD hanyalah ilusi, sedangkan pada dasarnya hakikat Kebuddhaan sudah ada di dalam setiap makhluk. Karena itu yang membeda-bedakan antara nirvana dan samsara hanyalah batin yang ternoda. Jadi hanya dalam pandangan penuh ketidaktahuan, makhluk hidup menghasilkan dua, tiga, empat dan seterusnya.  Sedangkan kebenaran yang sejati tetap tunggal.

Ini sudut pandang Mahayana mengenai pada dasarnya yang tunggal adalah yang jamak dan yang jamak adalah yang tunggal.
Title: Re: Kebenaran adalah satu atau banyak!
Post by: fabian c on 16 April 2010, 11:36:25 PM
double post please remove...
Title: Re: Kebenaran adalah satu atau banyak!
Post by: fabian c on 16 April 2010, 11:46:01 PM
[spoiler]
Quote from: fabian c on 16 April 2010, 01:31:10 PM
Quote from: seniya on 16 April 2010, 09:07:17 AM
[at] hendrako:
Thx,bro. Tp aku msh bro kok,gak jd sis. Wkwkwkwk....

[at] fabian:
Sungguh beruntung saya dapat berdiskusi dg anda. Secara pribadi saya menyukai tulisan anda tentang kosmologi Buddhis,apalagi saya memang tertarik dg hal2 berbau astronomi.

Menurut pemahaman saya (krn basic saya juga di Theravada),sunyata bukan berarti kosong/hampa atau tidak ada isinya,namun sunyata bermakna bahwa segala sesuatu hanyalah perpaduan unsur2 di mana tidak terdapat unsur substansial yg dapat berdiri sendiri & dikatakan sbg intinya (anatta). Mungkin ada perbedaan antara konsep anatta & sunyata yg tdk saya ketahui,namun secara mendasar keduanya sama memandang semua dharma adalah tanpa eksistensi sesuatu yg substansial.
Bro Seniya yang baik, terima kasih bro menyukai buku Kosmologi tsb.
Kembali ke topik, memang kelihatannya sepintas lalu ada kemiripan antara konsep kosong tsb dengan konsep anatta. Konsep anatta tidak bersasosiasi dengan kekosongan tetapi lebih berasosiasi dengan konsep anicca. Jadi dalam hal ini disebut anatta bukan karena tak ada substansi/kosong, tetapi karena tak ada individu mahluk yang memiliki substansi/roh (atta).

Bagaimana dengan kursi, meja, batu dll apakah memiliki substansi? Tentu saja ada dan kita tak dapat mengatakan meja itu kosong, tetapi dapatkah dikatakan meja atau kursi itui memiliki roh/atta? tentu tidak.

dalam hal tertentu pancakhandha pada mahluk bisa berdiri sendiri, tetapi mengalami perubahan, contohnya: bila Arahat Parinibbana, kelompok pancakhandhanya yang langsung berhenti adalah batin, tetapi jasmani tetap belum berhenti dan mampu berdiri sendiri, tetapi mengalami perubahan.

Bila pancakhandha dikatakan berhenti seluruhnya pada Arahat, itu adalah kemelekatan Mereka yang telah berhenti.
pengertian yang dikatakan tak dapat berdiri sendiri juga adalah kemelekatannya, bila salah satu objek kemelekatan (objek khandha) berhenti, maka objek kemelekatan yang berkaitan juga akan berhenti dan dengan demikian semua objek kemelekatan akan berhenti karena saling berkaitan.

Jadi dibedakan bro, pada Arahat jasmani tidak berhenti tetapi kemelekatan pada jasmani telah berhenti.

Banyak orang yang salah mengerti mengenai pancakhandha itu sendiri, dari jaman dahulu banyak orang yang salah kaprah menganggap bahwa pancakhandha adalah komponen dari mahluk hidup, ini ada benarnya, tetapi kurang tepat, pancakhandha yang sebenarnya adalah merupakan objek kemelekatan kita.

Jadi anatta bukan berarti kosong, tetapi memang karena sifat segala yang terbentuk (ada) akan lenyap kembali (tiada), ini adalah konsep anicca. Disebut anatta karena segala sesuatu yang timbul tersebut akan lenyap kembali, tak ada substansi atta.

QuoteSoal tanggung jawab moral tetap ada walaupun tidak ada substansi utama. Dlm Milinda Panha dikatakan bahwa melalui nama rupa ini suatu perbuatan/kamma dilakukan,karena kamma tsb nama rupa baru pada kehidupan mendatang terbentuk. Walaupun tidak ada sesuatu yg berpindah dari satu kehidupan ke kehidupan mendatang,namun kamma menghubungkan keduanya,karenanya nama rupa baru tetap bertanggung jawab atas perbuatan nama rupa sebelumnya. CMIIW (Penjelasannya singkat saja karena sepertinya sudah OOT)

Ya saya setuju mengenai hal ini, tetapi khusus mengenai tanggung jawab, saya lebih suka menggunakan istilah konsekuensi, lebih sejalan dengan isi Dhammapada, yaitu konsekuensi akan terus mengikuti, bagai jejak roda pedati yang mengikuti jejak kaki lembu yang menariknya (Dhammapada).

Semoga keterangan saya dapat dimengerti bro Seniya.

_/\_
[/spoiler]

QuoteThx atas penjelasannya tentang anatta, namun konsep sunyata juga sangat mirip dengan konsep anatta yang dijelaskan sbb:

Emptiness

The reality of Sunyata, being one of the most profound truths in Buddhism, is often misunderstood. It is, at best, though not ideally, translated as "Emptiness". The following is an introduction to the concept of Emptiness.

Examples of Emptiness

An analogy to explain Sunyata is a river. A river does not truly exist on its own as it consists of many streams of water coming and going, which make up its "substance". Each of these streams is just as unsubstantial, each consisting of smaller streams of changing elements within it. There is thus no substantial or "real" river—there is only the flowing. We say that the river is empty of a
fixed nature—exhibiting Emptiness. Everything in the universe (all physical and mental phenomena)
exhibits characteristics of Emptiness.

Another example is a waterfall. A waterfall seen from a distance appears as a shiny solid sheet in one piece. But upon closer inspection, we see clearly that the "piece" is a continuous flowing stream of water. There is essentially no fixed "waterfall"—there is only water falling.

The Two Sides of Emptiness

Here is a maxim to help remember the subtle concept of Sunyata:

Sunyata affirms the existence of existence;
Sunyata negates the self-nature of existence.


This means the truth of Emptiness does not deny the existence of each and every thing, but it denies the existence of a fixed unchanging self-nature behind each and every thing.

Using a river again as an example, we can say that a river (made of many small streams) exists dependently or conditionally on the streams—this illustrates the first aspect of the above maxim. Because the river flows on and on and hence keeps changing, we say that the river does not exist independently or unconditionally, as it has no unchanging identity or self—this illustrates the second aspect of the maxim.

Sumber: buku Be A Lamp Upon Yourself

Bro Seniya yang baik, komentar bro Seniya tersebut bila dibahas akan terlalu melebar, mungkin kita perlu persempit pokok bahasannya. Semua fenomena hingga bagian yang terkecil memiliki sifat muncul dan lenyap kembali, ini disebut anicca. Tak ada segala sesuatu di dunia ini yang terus mengalir. Kesadaran yang nampaknya mengalir tak terputus sebenarnya pada kebenaran absolut, juga terputus-putus muncul dan lenyap kembali, jadi kesadaran juga anicca.

Nampaknya kita memandang dari sisi yang berbeda ya?

QuoteSepertinya konsep kekosongan ini dikembangkan konsep kekosongan yang ditemukan dalam kanon Pali juga, seperti Sunna Sutta berikut:

Quote
Suñña Sutta: Empty
[/b]

translated from the Pali by Thanissaro Bhikkhu

Then Ven. Ananda went to the Blessed One and on arrival, having bowed down to him, sat to one side. As he was sitting there he said to the Blessed One, "It is said that the world is empty, the world is empty, lord. In what respect is it said that the world is empty?"

"Insofar as it is empty of a self or of anything pertaining to a self: Thus it is said, Ananda, that the world is empty. And what is empty of a self or of anything pertaining to a self? The eye is empty of a self or of anything pertaining to a self. Forms... Eye-consciousness... Eye-contact is empty of a self or of anything pertaining to a self.

"The ear is empty...

"The nose is empty...

"The tongue is empty...

"The body is empty...

"The intellect is empty of a self or of anything pertaining to a self. Ideas... Intellect-consciousness... Intellect-contact is empty of a self or of anything pertaining to a self. Thus it is said that the world is empty."

Sumber: http://www.accesstoinsight.org/tipitaka/sn/sn35/sn35.085.than.html (http://www.accesstoinsight.org/tipitaka/sn/sn35/sn35.085.than.html)
Coba disimak dengan seksama sutta tersebut bro....
Semua hal yang dikatakan kosong (empty) adalah empty yang berhubungan dengan self (atta) jadi untuk lebih jelasnya dunia ini empty dari atta.
Arti dari atta sendiri adalah jiwa, roh, diri, dalam bahasa sanskrit disebut atman.
Tipitaka sangat konsekuen dalam hal ini, yaitu segala sesuatu di dunia ini kosong dari roh, jiwa atau diri

Mungkin contoh mengenai kursi dan meja bisa dipakai kembali.
Kursi ada, tetapi kursi kosong akan diri, jiwa, roh. Kursi kosong akan atta (empty of self).
Meja ada, tetapi meja kosong akan diri, jiwa, roh. Meja kosong akan atta (empty of self).
Anda ada, tetapi anda kosong akan diri, jiwa, roh. Anda kosong akan atta (empty of self).
Dunia ada, tetapi dunia kosong akan diri, jiwa, roh. Dunia kosong akan atta (empty of self).
Kesimpulannya meja kosong akan atta bukan berarti meja tak ada, bukan berarti meja tak memiliki substansi.

Quote
Quote from: ryu on 16 April 2010, 09:13:15 AM
kosong adalah kosong, isi adalah isi itu adalah yang benar
kalau kosong adalah isi dan isi adalah kosong sepertinya menunjukan pada dualitas.

Sedikit koreksi saja, bukan "kosong adalah isi dan isi adalah kosong" seperti yang dipopulerkan dalam film Kera Sakti, namun yang benar adalah:

Quote
IHA SARIPUTRA RUPAM SUNYATA
SUNYATAIVA RUPAM
RUPANNA PRITHAG SUNYATA
SUNYATAYA NA PRITHAG RUPAM
YA RUPAM SA SUNYATA
YA SUNYATA TAD RUPAM
EVAM EVA VEDANA SAJNA SAMSKHARA VIJNANA

Wahai Sariputra, jasmani (rupa) itu tak lain adalah kosong,
Dan kekosongan itu tak lain dari rupa;
Rupa persisnya adalah kekosongan,
Dan kekosongan persisnya adalah rupa
;
Demikian pula dengan perasaan (vedana), pencerapan (sajna), bentuk pikiran (samskhara), dan kesadaran (vijnana).

IHA SARIPUTRA SARVADHARMA SUNYATA LAKSHANA
ANUTPANNA ANIRUDHA
AMALA NA AVIMALA
NONA NA PARIPURNAH

Wahai Sariputra, semua dharma ditandai dengan kekosongan;
Tidak lahir tidak juga musnah,
Tidak murni tidak juga tercemar,
Tidak bertambah tidak juga berkurang.

Sumber: Prajna Paramita Sutra

Yang kalimat kedua yang di-bold itulah yang saya maksud kebenaran tertinggi bahwa "semua dharma adalah kosong".

Ada perbedaan besar terhadap cara memandang dunia dari segi kebenaran absolut menurut Mahayana dan menurut Theravada.
Mahayana selalu mengatakan kosong... sunya.... maya.....
Theravada selalu mengatakan anicca, dukkha dan anatta.

Semoga keterangan saya cukup jelas.

_/\_
Title: Re: Kebenaran adalah satu atau banyak!
Post by: wen78 on 17 April 2010, 12:20:23 AM
Quote from: ryu on 16 April 2010, 11:12:43 AM
memangnya dalam sabda buddha ada dikatakan kedewasaan dalam perumpamaan isi adalah kosong?

saya kurang tau ada apa gak ada, yg jelas perumpamaan ini adalah hasil dr pengalaman yg saya alami yg di koreksi dengan buku dan suta, dan hasil tukar pikiran dgn tmn2 saya.

untuk suta nya adalah Heart sutra, pernah di post oleh bro GandalfTheElder di http://dhammacitta.org/forum/index.php/topic,9103.msg204489.html#msg204489
Title: Re: Kebenaran adalah satu atau banyak!
Post by: ryu on 17 April 2010, 06:07:36 AM
Quote from: wen78 on 17 April 2010, 12:20:23 AM
Quote from: ryu on 16 April 2010, 11:12:43 AM
memangnya dalam sabda buddha ada dikatakan kedewasaan dalam perumpamaan isi adalah kosong?

saya kurang tau ada apa gak ada, yg jelas perumpamaan ini adalah hasil dr pengalaman yg saya alami yg di koreksi dengan buku dan suta, dan hasil tukar pikiran dgn tmn2 saya.

untuk suta nya adalah Heart sutra, pernah di post oleh bro GandalfTheElder di http://dhammacitta.org/forum/index.php/topic,9103.msg204489.html#msg204489
mendingan lihat penjelasan fabiah ah, lebih jelas :P
Title: Re: Kebenaran adalah satu atau banyak!
Post by: seniya on 17 April 2010, 08:27:07 AM
 [at] fabian:
Ok,cukup jelas atas penjelasan anda. Mgkn karena terlalu mencampuradukkan konsep anatta dg konsep sunyata,saya jd salah konsep atas keduanya (kalau tidak disebut pandangan salah). :)

_/\_
Title: Re: Kebenaran adalah satu atau banyak!
Post by: Nevada on 17 April 2010, 09:36:28 AM
Quote from: Peacemind on 16 April 2010, 04:07:38 PM
Yap, setuju sekali. Sebagai tambahan saja, dalam kitab komentar, dalam mendefinisikan beberapa fenomena seperti citta, cetasika, dll, para komentator menggunakan tiga cara yakni (1) kattusadhana - definisi yang menunjukkan adanya agen, (2) definisi yang menunjukkan fenomena sebagai instrumen, (3) bhavasadhana -definisi yang menunjukkan sifat fenomena sesungguhnya fenomena. Sebagai contoh adalah definisi citta sebagai berikut:

1. kattusadhana = cinteti'ti cittaṃ - pikiran disebut demikian karena ia berpikir. Dalam hal ini, citta memiliki agen.
2. karadasadhana = cinteti'ti tena cittaṃ - pikiran disebut demikian karena dengan pikiran seseorang berpikir. Di sini pikiran menjadi sebuah instrumen di mana seseorang berpikir.
3. bhavasadhana = cintanamattaṃ eva cittaṃ - sekedar pikiran itulah yang disebut pikiran / mere thingking itself is mind. Dalama definisi ini, pikiran didefinisikan sebagai sekedar / hanya pikiran tanpa campur tangan adanya "aku, diri atau pemilik'.

Dari ketiga definisi di atas, dua definisi pertama digunakan hanya untuk mempermudah komunikasi, namun tidak menunjukkan sifat sebenarnya citta. Oleh karenanya, dua definisi ini disebut sebagai samuttisacca. Sementara itu, definisi pertama dianggap sebagai sifat sesungguhnya citta karena dalam definisi ini tidak ada diri, aku atau milik. Yang ada hanya citta dan tidak lebih dari itu. Definisi ini juga dikategorikan sebagai paramattasacca. Berbasis pada definisi ini pula, jika fenomena mengacu kepada 'sekedar fenomena' tanpa embel-embel aku, diri atau milik, maka bisa dikatakan bahwa sekedar fenomena2 ini dianggap sebagai kebenaran tertinggi setidaknya dlm 'sankhara world'. Hal ini juga sangat berkaitan dengan khotbah dalam Bahiyasutta yakni ketika seseorang melihat, ini 'hanya sekedar melihat', dst. Ketika seseorang melihat yang ada hanya sekedar melihat tanpa adanya embel-embel aku, diri atau milik, di sana yang ada hanya sekedar fenomena yang muncul dan lenyap. Demikianlah, hanya sekedar citta, cetasika dan rupa tanpa embel-embel 'aku, diri atau milik' disebut sebagai kebenaran tertinggi setidaknya dalam kategori sankhara world.

Citta, cetasika dan rupa tidak bisa dibagi lagi dalam arti bahwa mereka telah menunjukkan sifat sejatinya fenomena. Namun seperti yang telah diketahui bersama, mereka pun masih berada dalam lingkup muncul, bertahan sebentar dan lenyap (uppada, ṭhiti, bhaṅga).

Baik sekali apa yang sudah Anda kemukakan itu...

Tapi saya ingin bertanya mengenai tulisan Anda yang saya cetak tebal di atas. Saya melihat bahwa tulisan cetak biru di atas sepertinya memiliki kontradiksi satu sama lain. Bisakah Anda memberi uraian yang lebih jelas?
Title: Re: Kebenaran adalah satu atau banyak!
Post by: Peacemind on 17 April 2010, 11:20:14 AM
Quote from: upasaka on 17 April 2010, 09:36:28 AM
Quote from: Peacemind on 16 April 2010, 04:07:38 PM
Yap, setuju sekali. Sebagai tambahan saja, dalam kitab komentar, dalam mendefinisikan beberapa fenomena seperti citta, cetasika, dll, para komentator menggunakan tiga cara yakni (1) kattusadhana - definisi yang menunjukkan adanya agen, (2) definisi yang menunjukkan fenomena sebagai instrumen, (3) bhavasadhana -definisi yang menunjukkan sifat fenomena sesungguhnya fenomena. Sebagai contoh adalah definisi citta sebagai berikut:

1. kattusadhana = cinteti'ti cittaṃ - pikiran disebut demikian karena ia berpikir. Dalam hal ini, citta memiliki agen.
2. karadasadhana = cinteti'ti tena cittaṃ - pikiran disebut demikian karena dengan pikiran seseorang berpikir. Di sini pikiran menjadi sebuah instrumen di mana seseorang berpikir.
3. bhavasadhana = cintanamattaṃ eva cittaṃ - sekedar pikiran itulah yang disebut pikiran / mere thingking itself is mind. Dalama definisi ini, pikiran didefinisikan sebagai sekedar / hanya pikiran tanpa campur tangan adanya "aku, diri atau pemilik'.

Dari ketiga definisi di atas, dua definisi pertama digunakan hanya untuk mempermudah komunikasi, namun tidak menunjukkan sifat sebenarnya citta. Oleh karenanya, dua definisi ini disebut sebagai samuttisacca. Sementara itu, definisi pertama dianggap sebagai sifat sesungguhnya citta karena dalam definisi ini tidak ada diri, aku atau milik. Yang ada hanya citta dan tidak lebih dari itu. Definisi ini juga dikategorikan sebagai paramattasacca. Berbasis pada definisi ini pula, jika fenomena mengacu kepada 'sekedar fenomena' tanpa embel-embel aku, diri atau milik, maka bisa dikatakan bahwa sekedar fenomena2 ini dianggap sebagai kebenaran tertinggi setidaknya dlm 'sankhara world'. Hal ini juga sangat berkaitan dengan khotbah dalam Bahiyasutta yakni ketika seseorang melihat, ini 'hanya sekedar melihat', dst. Ketika seseorang melihat yang ada hanya sekedar melihat tanpa adanya embel-embel aku, diri atau milik, di sana yang ada hanya sekedar fenomena yang muncul dan lenyap. Demikianlah, hanya sekedar citta, cetasika dan rupa tanpa embel-embel 'aku, diri atau milik' disebut sebagai kebenaran tertinggi setidaknya dalam kategori sankhara world.

Citta, cetasika dan rupa tidak bisa dibagi lagi dalam arti bahwa mereka telah menunjukkan sifat sejatinya fenomena. Namun seperti yang telah diketahui bersama, mereka pun masih berada dalam lingkup muncul, bertahan sebentar dan lenyap (uppada, ṭhiti, bhaṅga).

Baik sekali apa yang sudah Anda kemukakan itu...

Tapi saya ingin bertanya mengenai tulisan Anda yang saya cetak tebal di atas. Saya melihat bahwa tulisan cetak biru di atas sepertinya memiliki kontradiksi satu sama lain. Bisakah Anda memberi uraian yang lebih jelas?

Di komen selanjutnya (lihat di atas), saya telah merevisi. Kata definisi pertama yang dicetak biru yang kedua itu harus diganti menjadi definisi ketiga. Be happy.
Title: Re: Kebenaran adalah satu atau banyak!
Post by: Nevada on 17 April 2010, 11:49:10 AM
Quote from: Peacemind on 17 April 2010, 11:20:14 AM
Di komen selanjutnya (lihat di atas), saya telah merevisi. Kata definisi pertama yang dicetak biru yang kedua itu harus diganti menjadi definisi ketiga. Be happy.

Ya, saya baru baca tadi... Terimakasih.
Title: Re: Kebenaran adalah satu atau banyak!
Post by: sobat-dharma on 17 April 2010, 04:42:45 PM
Quote from: upasaka on 16 April 2010, 10:14:53 AM

Citta, cetasika dan rupa sudah tidak bisa dibagi lagi. Tapi ketiga hal ini tidak layak pula untuk disebut sebagai substansi inti dari makhluk (manussa). Sebab seperti yang sudah kita singgung sebelumnya; bahwa citta, cetasika dan rupa merupakan segala sesuatu yang timbul karena sebab.

Bagaimana pendapat Anda?


Wah, diskusi yang menarik. Saya jadi terdorong untuk membaca-baca lagi. Inilah pendat saya:

Pertama, untuk memahami apa itu Paramattha Dhamma kita harus memahami juga lawannya: Paññati Dhamma. Paññati Dhamma, menurut bahan yang kubaca, adalah "sesuatu yang bukan ada dengan sendirinya atau jadi sendiri, tetapi sesuatu yang diberikan nama, untuk dijadikan panggilan sesuai dengan keinginan manusia." Jadi, kalau menurut definisi ini, Paññati Dhamma meliputi hampir semua yang dikenali oleh manusia melalui penamaan atau gagasan (kalau salah mohon dikoreksi). Dengan demikian, Paramattha Dhamma, kalau diartikan sebagai "Kenyataan Tertinggi"atau "Kebenaran Tertinggi", maka berarti sesuatu yang  yang ada sebelum dikenali atau diketahui dengan diberikannya nama, karena ia "berada pada dirinya sendiri." 

Ringkasnya, ia eksis sebelum dikenali atau bahkan ia lah yang menyebabkan "pengenalan" atau "pengetahuan" tersebut muncul. Jadi untuk mengenali Paramattha Dhamma, sebenarnya tidak bisa dilalui hanya dengan membaca atau membagi-baginya menjadi divisi-divisi sebagaimana yang tertuang dalam teks Abhidhammma. Teks Abhidhamma hanya membantu sebagai gerbang pengenalan tersebut, namun tidak membawa kita kepada Paramattha Dhamma: karena sebagai teks bagaimanapun ia hanyalah Paññati Dhamma. Hal ini dikarenakan Paramattha Dhamma sesungguhnya melampaui bahasa.

Kedua, berdasarkan pengertian pada poin yang pertama, "pengenalan" tersebut muncul dengan dua "mode". Paramattha Dhamma dibagi menjadi dua: Sankhata Dhamma (Bersyarat) dan Asankhata Dhamma (Tak Bersyarat). Yang Bersyarat terdiri dari tiga hal yaitu: Citta, Cetasika dan Rupa, sedangkan yang tidak bersyarat hanya satu, yaitu: Nibbana.

Apa yang disebut sebagai Sankhata Dhamma tidak lain adalah subyek yang mengetahui (yaitu Citta dan Cetasika) serta obyek yang diketahui (yaitu Rupa). Bila subyek dan obyek ini disebut sebagai Paramattha Dhamma, maka sebenarnya secara tidak langsung tersirat di sini adalah bahwa semua eksistensi dan esensi di dunia ini  lahir dari kehadiran subyek dan obyek dan interaksi antara keduanya. Dan pengenalan akan Citta, Cetasika dan Rupa (sebagai subyek dan obyek) hanya bisa dimungkinkan melalui pengamatan langsung terhadap mereka secara apa adanya, karena pada hakikatnya mereka adalah Paramattha Dhamma yang melampaui bahasa.

Dalam Mahayana, di antara ketiga Sankhata Dhamma, Citta-lah yang menjadi fokus perhatian. Seringkali dikatakan Citta yang menuntun segalanya, maka seringkali dikatakan bahwa dengan mengamati Citta maka kita akan mengenali hakikat seluruh Paramattha Dhamma.

Dalam hal ini, hakikat sejati Paramattha Dhamma adalah Asankhata. Meski demikian Asankhata Dhamma hanya mungkin dicapai jika kita menyadari Sankhata Dhamma, yang hanya mungkin dapat dikenali dengan benar jika melampaui bahasa dan pemikiran awam (yaitu melalui Panna atau Prajna). Asankhata Dhamma dan Sankhata Dhamma pada dasarnya adalah satu kesatuan, meskipun diberi julukan seolah-olah adalah dua hal yang berbeda. Mengapa demikian? Jika kita menganggap keduanya berbeda semata-mata mereka dibagi menjadi dua nama yang berbeda, maka kita kembali terjebak ke dalam  Paññati Dhamma, dan gagal mencapai Paramattha Dhamma.  Selain itu, hanya ketika kita tersadarkan pada kepalsuan Sankhata Dhamma maka kita akhirnya dapat menyadari Asankhata Dhamma; sebab karena adanya Avidya (Avijja) maka muncul pembedaan subyek dan obyek.

Ketiga, dengan demikian antara Nibbana (Asankhata Dhamma) dan Samsara (Sankhata Dhamma) pada hakikinya tidak berbeda. Sankhata Dhamma (Citta, Cetasika, Rupa) tidak lain hanyalah ilusi, karena itu ia bersifat timbul dan tenggelam serta berubah-ubah sifatnya. Sedangkan Nibbana sendiri dikatakan tidak dilahirkan, tidak musnah serta tidak berubah-ubah.Jika demikian, maka Nibbana tidak penah hilang ataupun muncul dan selalu eksis secara absolut sehingga ia selalu terdapat di dalam setiap makhluk sebagai hakikat Kebuddhaan; dan dikarenakan muncul dan tenggelam serta berubah-ubah, Samsara (atau Sankhata Dhamma) hanyalah ilusi yang tidak nyata. Oleh karena itu, meskipun dikatakan terdapat empat Paramattha Dhamma sebenarnya tak lain hanya satu kebenaran yang sejati. 

Demikianlah pendapat saya. Bila ada yang salah mohon dikoreksi. Bagaimana pendapat teman-teman?
Title: Re: Kebenaran adalah satu atau banyak!
Post by: Nevada on 19 April 2010, 11:03:29 AM
Quote from: sobat-dharma
Wah, diskusi yang menarik. Saya jadi terdorong untuk membaca-baca lagi. Inilah pendat saya:

Pertama, untuk memahami apa itu Paramattha Dhamma kita harus memahami juga lawannya: Paññati Dhamma. Paññati Dhamma, menurut bahan yang kubaca, adalah "sesuatu yang bukan ada dengan sendirinya atau jadi sendiri, tetapi sesuatu yang diberikan nama, untuk dijadikan panggilan sesuai dengan keinginan manusia." Jadi, kalau menurut definisi ini, Paññati Dhamma meliputi hampir semua yang dikenali oleh manusia melalui penamaan atau gagasan (kalau salah mohon dikoreksi). Dengan demikian, Paramattha Dhamma, kalau diartikan sebagai "Kenyataan Tertinggi"atau "Kebenaran Tertinggi", maka berarti sesuatu yang  yang ada sebelum dikenali atau diketahui dengan diberikannya nama, karena ia "berada pada dirinya sendiri." 

Ringkasnya, ia eksis sebelum dikenali atau bahkan ia lah yang menyebabkan "pengenalan" atau "pengetahuan" tersebut muncul. Jadi untuk mengenali Paramattha Dhamma, sebenarnya tidak bisa dilalui hanya dengan membaca atau membagi-baginya menjadi divisi-divisi sebagaimana yang tertuang dalam teks Abhidhammma. Teks Abhidhamma hanya membantu sebagai gerbang pengenalan tersebut, namun tidak membawa kita kepada Paramattha Dhamma: karena sebagai teks bagaimanapun ia hanyalah Paññati Dhamma. Hal ini dikarenakan Paramattha Dhamma sesungguhnya melampaui bahasa.

Halo, Bro sobat-dharma. Apa kabar?
Saya mau menanggapi pendapat Anda...

Menurut saya, Pannati Dhamma bukanlah lawan atau anonim dari Paramattha Dhamma. Pannati Dhamma adalah konsep untuk menyebut suatu Dhamma sebagai Paramattha Sacca (kebenaran sejati) atau Samutti Sacca (kebenaran relatif). Dengan kata lain, Pannati Dhamma merupakan "barometer" yang turut melengkapi Paramattha Dhamma sebagai bagian dari keseluruhan Dhamma yang begitu luas.

Saya juga sependapat bahwa apa yang tertulis di dalam teks Abhidhamma merupakan Pannati Dhamma. Sebab yang tertulis di dalam teks Abhidhamma adalah konsep-konsep untuk menyebut istilah-istilah Dhamma. Pannati Dhamma bukan berarti kebenaran relatif. Pannati Dhamma adalah konsep untuk menyebutkan Dhamma. Dengan kata lain, teks Abdhidhamma sesungguhnya (mungkin) memiliki Paramattha Sacca dan Samutti Sacca di dalamnya.
 

Quote from: sobat-dharmaKedua, berdasarkan pengertian pada poin yang pertama, "pengenalan" tersebut muncul dengan dua "mode". Paramattha Dhamma dibagi menjadi dua: Sankhata Dhamma (Bersyarat) dan Asankhata Dhamma (Tak Bersyarat). Yang Bersyarat terdiri dari tiga hal yaitu: Citta, Cetasika dan Rupa, sedangkan yang tidak bersyarat hanya satu, yaitu: Nibbana.

Apa yang disebut sebagai Sankhata Dhamma tidak lain adalah subyek yang mengetahui (yaitu Citta dan Cetasika) serta obyek yang diketahui (yaitu Rupa). Bila subyek dan obyek ini disebut sebagai Paramattha Dhamma, maka sebenarnya secara tidak langsung tersirat di sini adalah bahwa semua eksistensi dan esensi di dunia ini  lahir dari kehadiran subyek dan obyek dan interaksi antara keduanya. Dan pengenalan akan Citta, Cetasika dan Rupa (sebagai subyek dan obyek) hanya bisa dimungkinkan melalui pengamatan langsung terhadap mereka secara apa adanya, karena pada hakikatnya mereka adalah Paramattha Dhamma yang melampaui bahasa.

Apa yang disebut sebagai Sankhata Dhamma adalah kebenaran yang berkondisi, yaitu kebenaran yang bergantung pada beberapa sebab. Dalam hal ini, memang benar bahwa citta-cetasika-rupa merupakan Sankhata Dhamma.

Namun saya pikir, citta-cetasika tidak bisa dipatok langsung sebagai subjek yang mengetahui rupa sebagai objek yang diketahui, sebab objek yang diketahui tidak selalu merupakan rupa (fisik jasmani). Nibbana yang merupakan di luar dari nama dan rupa juga bisa menjadi "objek" yang diketahui. Kesadaran yang mengetahui ini dinamakan citta. Tapi bukan berarti interaksi antara subjek dan objek yang menciptakan eksistensi dan esensi dunia ini. Sebab citta-cetasika-rupa sendiri bisa "eksis" karena beberapa sebab. Jika kita menggenggam pandangan bahwa interaksi subjek-objek melahirkan semua eksistensi dan esensi, maka ini merupakan salah satu bentuk pandangan yang menjurus ke eternalisme; yaitu ada titik awal kelahiran dari segala sesuatu.

 
Quote from: sobat-dharmaDalam Mahayana, di antara ketiga Sankhata Dhamma, Citta-lah yang menjadi fokus perhatian. Seringkali dikatakan Citta yang menuntun segalanya, maka seringkali dikatakan bahwa dengan mengamati Citta maka kita akan mengenali hakikat seluruh Paramattha Dhamma.

Dalam hal ini, hakikat sejati Paramattha Dhamma adalah Asankhata. Meski demikian Asankhata Dhamma hanya mungkin dicapai jika kita menyadari Sankhata Dhamma, yang hanya mungkin dapat dikenali dengan benar jika melampaui bahasa dan pemikiran awam (yaitu melalui Panna atau Prajna). Asankhata Dhamma dan Sankhata Dhamma pada dasarnya adalah satu kesatuan, meskipun diberi julukan seolah-olah adalah dua hal yang berbeda. Mengapa demikian? Jika kita menganggap keduanya berbeda semata-mata mereka dibagi menjadi dua nama yang berbeda, maka kita kembali terjebak ke dalam  Paññati Dhamma, dan gagal mencapai Paramattha Dhamma.  Selain itu, hanya ketika kita tersadarkan pada kepalsuan Sankhata Dhamma maka kita akhirnya dapat menyadari Asankhata Dhamma; sebab karena adanya Avidya (Avijja) maka muncul pembedaan subyek dan obyek.

Dengan tanpa mengurangi rasa hormat kepada pandangan Anda, saya sendiri menilai bahwa sebaiknya kita jangan hanya menitik-beratkan fokus pada citta semata. Citta – yang agar lebih komprehensif, saya sebut dengan nama (batin) – maupun rupa (fisik jasmani) merupakan dua fenomena yang saling bekerja-sama dalam mengarungi kehidupan. Kombinasi keduanya menciptakan satu fenomena baru bernama "makhluk". Jika kita ingin menembus Kebenaran, maka yang perlu kita lakukan adalah menyelami hakikat seungguhnya dari nama dan rupa. Jika kita hanya fokus pada nama atau citta, maka lagi-lagi ini merupakan pandangan yang fokus pada eksistensi "tubuh halus".

Untuk bisa menembus Asankhatta Dhamma (Nibbana), kita harus menyelami Sankhata Dhamma. Ketika kita melihat sendiri apa yang merupakan Sankhata Dhamma (kebenaran yang berkondisi), maka di saat itu pula kita akan melihat apa yang merupakan Asankhata Dhamma (kebenaran tanpa berkondisi)... Ketika Anda melihat bahwa segala sesuatu timbul karena beberapa sebab, dan asal mula sebab itu juga sudah Anda ketahui; maka Anda juga akan melihat suatu cara untuk menghentikan penyebab itu, dan seperti apa kondisi tanpa penyebab itu.


Quote from: sobat-dharmaKetiga, dengan demikian antara Nibbana (Asankhata Dhamma) dan Samsara (Sankhata Dhamma) pada hakikinya tidak berbeda. Sankhata Dhamma (Citta, Cetasika, Rupa) tidak lain hanyalah ilusi, karena itu ia bersifat timbul dan tenggelam serta berubah-ubah sifatnya. Sedangkan Nibbana sendiri dikatakan tidak dilahirkan, tidak musnah serta tidak berubah-ubah.Jika demikian, maka Nibbana tidak penah hilang ataupun muncul dan selalu eksis secara absolut sehingga ia selalu terdapat di dalam setiap makhluk sebagai hakikat Kebuddhaan; dan dikarenakan muncul dan tenggelam serta berubah-ubah, Samsara (atau Sankhata Dhamma) hanyalah ilusi yang tidak nyata. Oleh karena itu, meskipun dikatakan terdapat empat Paramattha Dhamma sebenarnya tak lain hanya satu kebenaran yang sejati. 

Demikianlah pendapat saya. Bila ada yang salah mohon dikoreksi. Bagaimana pendapat teman-teman?

Menurut pemahaman saya, ilusi adalah sesuatu yang tidak nyata namun terbias sehingga seolah terlihat nyata. Berangkat dari pemahaman inilah, saya tidak sependapat untuk menyebut bahwa citta-cetasika-rupa merupakan ilusi. Jika citta-cetasika-rupa adalah ilusi, tentu tidak mungkin untuk menembus Kebenaran sedangkan "orang" yang ingin menembus Kebenaran adalah ilusi (tidak nyata). Jika citta-cetasika-rupa merupakan ilusi, tentunya segala pengalaman yang terjadi pada batin dan fisik jasmani seharusnya merupakan ilusi. Kalau begitu; lahir, tua, sakit, mati, kesedihan, kesenangan, ketakutan, dan kedamaian semua hanyalah ilusi. Dan jika semua ini hanyalah ilusi, oleh karena itu luka berdarah juga merupakan ilusi. Melahirkan anak juga merupakan ilusi. Dan bahkan ketikan saya di postingan ini juga merupakan ilusi.

Citta-cetasika-rupa memang selalu timbul dan tenggelam. Karena itulah ketiga hal ini disebut sebagai anicca (tidak kekal). Segala sesuatu yang tidak kekal akan membawa pada ketidak-puasan (dukkha). Sebagai sesuatu yang tidak kekal dan tidak memuaskan, maka tidak layak untuk disebut sebagai "aku", "diriku" ataupun "milikku". Tetapi ketiga hal ini bukanlah ilusi. Ketiga hal ini adalah nyata, namun tidak ada yang kekal; tidak memuaskan; dan bukan diri.

Nibbana tidak terlahirkan, sebab Nibbana tidak lahir dari berbagai sebab. Justru ketika semua penyebab telah berhenti, maka itulah Nibbana.

Nibbana tidak musnah lagi, sebab Nibbana tidak musnah karena berbagai sebab. Justru ketika semua penyebab telah berhenti, maka tidak akan ada penyebab lain yang bisa muncul lagi; dan itulah Nibbana.

Nibbana tidak berubah, sebab Nibbana tidak berproses dan bergantung pada beberapa sebab. Justru ketika semua penyebab telah berhenti, maka tidak ada proses yang terjadi lagi; dan itulah yang disebut sebagai Nibbana.

Nibbana adalah berhentinya segala penyebab; dalam konteks ini adalah berhentinya tanha (nafsu keinginan) dan upadana (kemelekatan). Berhentinya tanha dan upadana ini tidak ada di dalam diri setiap makhluk. Berhentinya tanha dan upadana ini merupakan Kebenaran, tetapi Kebenaran ini tidak ada di dalam diri setiap makhluk. Kebenaran ini bukan berada maupun bukan tidak berada. Kebenaran ini direalisasi ketika tanha dan upadana telah dilepaskan. Karena setiap makhluk yang belum merealisasi Kebenaran masih memiliki tanha dan upadana, maka tidak ada makhluk yang memiliki "benih kebuddha-an". Sebab tanha dan upadana sendiri adalah nyata, bukan ilusi. Oleh karena itu, jika setiap makhluk memiliki "benih kebuddha-an"; maka setiap makhluk juga seharusnya memiliki "benih keserakahan-kemelekatan".

Berangkat dari pemahaman ini, saya melihat bahwa Nibbana dan samsara adalah dua hal yang berbeda. Nibbana adalah terhentinya samsara, sedangkan samsara adalah roda kehidupan yang berulang. Roda kehidupan yang berulang ini memiliki karakteristik anicca, dukkha dan anatta. Oleh karena itu, jelas tidak mungkin jika "terhentinya samsara" sama dengan "berputarnya samsara".

Demikian pendapat saya.
Title: Re: Kebenaran adalah satu atau banyak!
Post by: adi lim on 19 April 2010, 02:23:09 PM
kalau konsep Mahayana untuk membahas tentang Abhidhamma dalam tradisi Theravada pastilah tidak ketemu. tidak bisa dipahami malah berlawanan hasilnya. Di Mahayana 'kosong dan isi' adalah sama !
kalau dibahas lagi lebih lanjut ada pihak yang membenarkan bahwa kemampuan umat biasa masih terbatas jadi tidak bisa memahami apa itu isi & kosong dalam Mahayana.

kalau semua kosong apalagi yang mau di pelajari dan dibahas ! bingung !.

lebih baik masing2 memahami konsep tersendiri.

kalau untuk perbandingan sih boleh2 saja. ^:)^

_/\_


Title: Re: Kebenaran adalah satu atau banyak!
Post by: markosprawira on 19 April 2010, 02:59:39 PM
sedikit mengutip dari http://dhammacitta.org/forum/index.php?topic=1299.0 :

QuoteMisalkan para pembaca dan penulis berdiri bersama di tepi sebuah sungai, mengamati airnya yang sedang mengalir. Air mengalir pada area yang hampir datar, sehingga alirannya itu sangat lambat.  Tanah pada area tersebut berwarna merah, menyebabkan air itu kemerahan. Sungai itu mengalir melalui banyak area yang populasinya padat di mana orang-orang telah lama membuang sesuatu yang tidak bermanfaat ke dalamnya,  di tambah kotoran industri yang terlimpah ke dalam aliran air itu oleh sejumlah besar pabrik-pabrik yang dibangun. Oleh karena itu,  air tersebut hampir tidak dihuni oleh sebagian besar binatang. Di dalamnya tidak banyak ikan, udang dan sebagainya. Dalam satu kata,  air yang kita perhatikan itu kemerahan, kotor, terpolusi, jarang penghuninya. Semua ciri-ciri itu secara bersamaan merupakan ciri-ciri khusus air itu. Beberapa ciri ini mungkin mirip dengan sungai lain, namun sejumlah total ciri-ciri ini unik bagi aliran air tersebut.

Sekarang kita diinformasikan bahwa  aliran air ini dinamakan sungai Ciliwung. Orang yang berbeda menggambarkannya dengan cara yang berbeda pula.  Beberapa orang mengatakan bahwa sungai Ciliwung kotor dan tidak memiliki banyak ikan. Beberapa lainnya mengatakan bahwa sungai Ciliwung mengalir sangat lambat.  Sedangkan yang lainnya mengatakan bahwa sungai Ciliwung berwarna kemerahan.

pannati dhamma adalah cara utk menggambarkan sungai ciliwung itu

paramattha dhamma adalah sungai ciliwung itu sendiri

atau contoh yg juga sudah cukup terkenal adalah mengenai gajah dan orang buta
pannati dhamma adalah cara setiap org buta utk menggambarkan gajah
paramattha dhamma adalah gajah itu sendiri

semoga bermanfaat  _/\_
Title: Re: Kebenaran adalah satu atau banyak!
Post by: sobat-dharma on 19 April 2010, 08:21:48 PM
Quote from: upasaka on 19 April 2010, 11:03:29 AM
Halo, Bro sobat-dharma. Apa kabar?
Saya mau menanggapi pendapat Anda...

Salam juga sdr.upasaka, senang bisa berdialog kembali dengan anda

Sebelumnya saya minta maaf terlebih dahulu, jika nanti tanggapan saya tidak optimal. Hal ini dikarenakan terbatasnya waktu dan padatnya aktivitas, saya tidak bisa menjawab dengan optimal. Mohon dimaklumi. Bila ada waktu yang lebih longgar, saya akan menulis dengan lebih lengkap sebagai jawaban atas persoalan ini. Trimakasih atas tanggapannya.

Quote from: upasaka on 19 April 2010, 11:03:29 AM
Menurut saya, Pannati Dhamma bukanlah lawan atau anonim dari Paramattha Dhamma. Pannati Dhamma adalah konsep untuk menyebut suatu Dhamma sebagai Paramattha Sacca (kebenaran sejati) atau Samutti Sacca (kebenaran relatif). Dengan kata lain, Pannati Dhamma merupakan "barometer" yang turut melengkapi Paramattha Dhamma sebagai bagian dari keseluruhan Dhamma yang begitu luas.

Ketika saya mengatakan Pannati Dhamma adalah konsep yang berlawanan dengan Paramattha Dhamma saya hanya membahasnya secara konseptual. Tentu saja saya sepakat dengan anda bahwa keduanya adalah Dhamma yang tunggal dalam kenyataannya. Meskipun apa yang bertentangan dari segi gagasan tidak selalu berarti terpisah sama sekali dalam kenyataannya. Misalnya, gelap dan terang adalah dua konsep yang berlawanan, namun kita tahu kedua adalah kondisi yang berada di satu alam semesta yang sama dan saling melengkapi satu sama lain.  Tapi kita pun semuanya tahu bahwa "munculnya terang berarti hilangnya gelap", begitu juga sebaliknya., atau "yang terang pastilah bukan yang gelap"dan sebaliknya, sehingga keduanya dapat diandaikan beroposisi secara konsep.

Cara penjelasan demikian tidak terhindarkan dalam bahasa konseptual. Bahkan anda pun menggunakan kata Paramattha Sacca (kebenaran sejati) dan Samutti Sacca (kebenaran relatif) yang sebenarnya diam-diam menyiratkan adanya konsep pertentangan yang "sejati" versus yang "relatif". Dalam hal ini saya tidak melihat adanya perbedaan pendapat yang esensial antara kita berdua.

Quote from: upasaka on 19 April 2010, 11:03:29 AM
Saya juga sependapat bahwa apa yang tertulis di dalam teks Abhidhamma merupakan Pannati Dhamma. Sebab yang tertulis di dalam teks Abhidhamma adalah konsep-konsep untuk menyebut istilah-istilah Dhamma. Pannati Dhamma bukan berarti kebenaran relatif. Pannati Dhamma adalah konsep untuk menyebutkan Dhamma. Dengan kata lain, teks Abdhidhamma sesungguhnya (mungkin) memiliki Paramattha Sacca dan Samutti Sacca di dalamnya.

Persoalan apakah di dalam teks Abhidhamma terkandung Paramattha Dhamma atau tidak. Nah, itu tergantung pada bagaimana kita mendeskripsikannya. Misalnya, sebuah teks (tulisan) tentu saja adalah bagian dari Paramattha Dhamma, karena ia adalah rupa (obyek) yang nantinya dapat ditangkap oleh indra. Sedangkan jika ada orang yang membaca teks tersebut, maka di situ terdapat citta yang mengetahui plus cetasika yang bersekutu dengan batinnya (subyek). Dan hal ini berlaku untuk teks apapun, tidak meski eksklusif untuk teks Abhidhamma, bahkan ketika seseorang membaca komik pun di situ hadir citta, cetasika dan rupa. Dalam hal ini teks Abhidhamma menunjuk pada Paramattha Dhamma itu, namun ia bukanlah Paramattha Dhmama itu sendiri. Dalam hal ini pun semestinya kita tidak terlalu berbeda pendapat.

Quote from: upasaka on 19 April 2010, 11:03:29 AM
Namun saya pikir, citta-cetasika tidak bisa dipatok langsung sebagai subjek yang mengetahui rupa sebagai objek yang diketahui, sebab objek yang diketahui tidak selalu merupakan rupa (fisik jasmani). Nibbana yang merupakan di luar dari nama dan rupa juga bisa menjadi "objek" yang diketahui. Kesadaran yang mengetahui ini dinamakan citta. Tapi bukan berarti interaksi antara subjek dan objek yang menciptakan eksistensi dan esensi dunia ini. Sebab citta-cetasika-rupa sendiri bisa "eksis" karena beberapa sebab. Jika kita menggenggam pandangan bahwa interaksi subjek-objek melahirkan semua eksistensi dan esensi, maka ini merupakan salah satu bentuk pandangan yang menjurus ke eternalisme; yaitu ada titik awal kelahiran dari segala sesuatu.

Ketika saya mengatakan "semua eksistensi dan esensi di dunia ini lahir dari kehadiran subyek dan obyek dan interaksi antara keduanya" yang saya maksudkan sebagai "dunia" adalah alam Samsara. Eksistensi adalah keberadaan dan kehadiran subyek dan obyek yang saling mengadakan satu sama lain: obyek hadir  dalam subyek dan subyek hadir di antara obyek-obyek, seolah keduanya terpisah, namun sebenarnya sulit dipisahkan secara mutlak. Sedangkan Esensi adalah pembedaan yang dibangun dalam bentuk gagasan-gagasan yang bersifat terpisah satu sama lain, terdeferensiasi dan terklasifikasi yang terwujudnya sangat terbantu oleh keberadaan bahasa

Singkatnya, menurut pengetahuan saya yang masih sangat minim, dasar dari munculnya Samsara adalah pemisahan antara subyek (Citta dan Cetasika) dan obyek (Rupa). Hilangnya pemisahan antara subyek dan obyek adalah jalan menuju padamnya dukkha. Dalam hal ini berarti bahwa ketika hakikat citta, cetasika dan rupa berhasil dibongkar, maka sebenarnya mereka adalah tunggal dan hal ini merupakan jalan menuju ke pengetahuan yang sejati. Sankhata Dhamma tidak lagi benar-benar berdaya mempengaruhi karena pada dasarnya hanyalah ilusi, maka tersingkaplah Asankhata Dhamma: Nibbana (Nirvana). 

Demikian penjelasan saya yang sangat ringkas, semoga dapat membantu anda memahami apa yang kumaksudkan. Sebaliknya saya ingin bertanya apakah yang anda maksudkan dengan kata:  "objek yang diketahui tidak selalu merupakan rupa (fisik jasmani)" dan apa hubungannya pernyataan ini dengan diskusi kita? Setahu saya dalam Abhidhamma, obyek-obyek indra (ruparammana, saddaramana, gandharammana, rasarammana) semuanya termasuk dalam kategori rupa.


Quote from: upasaka on 19 April 2010, 11:03:29 AM
Dengan tanpa mengurangi rasa hormat kepada pandangan Anda, saya sendiri menilai bahwa sebaiknya kita jangan hanya menitik-beratkan fokus pada citta semata. Citta – yang agar lebih komprehensif, saya sebut dengan nama (batin) – maupun rupa (fisik jasmani) merupakan dua fenomena yang saling bekerja-sama dalam mengarungi kehidupan. Kombinasi keduanya menciptakan satu fenomena baru bernama "makhluk". Jika kita ingin menembus Kebenaran, maka yang perlu kita lakukan adalah menyelami hakikat seungguhnya dari nama dan rupa. Jika kita hanya fokus pada nama atau citta, maka lagi-lagi ini merupakan pandangan yang fokus pada eksistensi "tubuh halus".

Mungkin anda salah tangkap maksud saya, tidak ada maksud saya mengatakan adanya "tubuh halus." Citta yang saya maksud di sini adalah "yang mengetahui", yaitu menangkap obyek dan mengenali obyek. Menitikberatkan pada Citta berarti menggunakannya sebagai pintu masuk dalam meditasi., sebagaimana Meditasi Empat Unsur menggunakan rupa sebagai titik tolak. Tidak ada persoalan esensial yang perlu dipermasalahkan di sini. Apa yang andamaksudkan di atas tidak berbeda dengan apa yang kumaksud.


Quote from: upasaka on 19 April 2010, 11:03:29 AM
Untuk bisa menembus Asankhatta Dhamma (Nibbana), kita harus menyelami Sankhata Dhamma. Ketika kita melihat sendiri apa yang merupakan Sankhata Dhamma (kebenaran yang berkondisi), maka di saat itu pula kita akan melihat apa yang merupakan Asankhata Dhamma (kebenaran tanpa berkondisi)... Ketika Anda melihat bahwa segala sesuatu timbul karena beberapa sebab, dan asal mula sebab itu juga sudah Anda ketahui; maka Anda juga akan melihat suatu cara untuk menghentikan penyebab itu, dan seperti apa kondisi tanpa penyebab itu.

Kata yang "Ketika... maka..."yang anda gunakan untuk menjelaskan bagaimana Asankhata Dhamma direalisasi seolah-olah mengandaikan bahwa "Ketika kita menyelami Sankhata Dhamma, maka kita merealisasi Asankhata Dhamma." Kata ini tidak salah namun berpotensi menimbulkan kerancuan  makna. Jika tidak hati-hati kita bisa terjebak pada pengertian bahwa penyebab munculnya Asankhata Dhamma adalah akibat penyelaman terhadap Sankhata Dhamma. Hal ini kemudian terjebak pada pandangan seolah-olah Asankhata Dhamma dihasilkan atau diakibatkan oleh suatu kondisi yaitu penyelaman terhadap Sankhata Dhamma, sehingga mengandaikan bahwa Sankhata Dhamma itu memiliki sebab.Padahal sudah jelas, Asankhata Dhamma itu tidak dilahirkan dan tidak musnah.

Quote from: upasaka on 19 April 2010, 11:03:29 AM
Menurut pemahaman saya, ilusi adalah sesuatu yang tidak nyata namun terbias sehingga seolah terlihat nyata. Berangkat dari pemahaman inilah, saya tidak sependapat untuk menyebut bahwa citta-cetasika-rupa merupakan ilusi. Jika citta-cetasika-rupa adalah ilusi, tentu tidak mungkin untuk menembus Kebenaran sedangkan "orang" yang ingin menembus Kebenaran adalah ilusi (tidak nyata). Jika citta-cetasika-rupa merupakan ilusi, tentunya segala pengalaman yang terjadi pada batin dan fisik jasmani seharusnya merupakan ilusi. Kalau begitu; lahir, tua, sakit, mati, kesedihan, kesenangan, ketakutan, dan kedamaian semua hanyalah ilusi. Dan jika semua ini hanyalah ilusi, oleh karena itu luka berdarah juga merupakan ilusi. Melahirkan anak juga merupakan ilusi. Dan bahkan ketikan saya di postingan ini juga merupakan ilusi.

Betul.Semuanya adalah ilusi ketika seseorang telah tersadarkan! Hanya ketika yang belum tercerahkan seperti kita ini semuanya adalah nyata.

Quote from: upasaka on 19 April 2010, 11:03:29 AM
Citta-cetasika-rupa memang selalu timbul dan tenggelam. Karena itulah ketiga hal ini disebut sebagai anicca (tidak kekal). Segala sesuatu yang tidak kekal akan membawa pada ketidak-puasan (dukkha). Sebagai sesuatu yang tidak kekal dan tidak memuaskan, maka tidak layak untuk disebut sebagai "aku", "diriku" ataupun "milikku". Tetapi ketiga hal ini bukanlah ilusi. Ketiga hal ini adalah nyata, namun tidak ada yang kekal; tidak memuaskan; dan bukan diri.

Kalau hal tersebut nyata (sejati) mengapa menghasilkan dukkha?

Quote from: upasaka on 19 April 2010, 11:03:29 AM
Nibbana tidak terlahirkan, sebab Nibbana tidak lahir dari berbagai sebab. Justru ketika semua penyebab telah berhenti, maka itulah Nibbana.

Kalau semua penyebab itu berhenti baru terdapat Nibbana, berarti Nibbana muncul setalah adalnya suatu sebab yaitu: "ketika semua sebab berhenti". Maka istilah ini masih mengandaikan Nibbana ada karena suatu sebab.


Quote from: upasaka on 19 April 2010, 11:03:29 AM
Nibbana tidak musnah lagi, sebab Nibbana tidak musnah karena berbagai sebab. Justru ketika semua penyebab telah berhenti, maka tidak akan ada penyebab lain yang bisa muncul lagi; dan itulah Nibbana.

Anda bahkan masih terikat pada kata "sebab"bahkan ketika untuk menjelaskan mengapa Nibbana tidak musnah.


Quote from: upasaka on 19 April 2010, 11:03:29 AM
Nibbana tidak berubah, sebab Nibbana tidak berproses dan bergantung pada beberapa sebab. Justru ketika semua penyebab telah berhenti, maka tidak ada proses yang terjadi lagi; dan itulah yang disebut sebagai Nibbana.

Karena pada dasarnya Nibbana tidak bersebab dan tidak musnah serta tidak berubah-ubah, maka tidak ada "sebab yang berhenti" dalam realisasi nibbana.

Quote from: upasaka on 19 April 2010, 11:03:29 AM
Nibbana adalah berhentinya segala penyebab; dalam konteks ini adalah berhentinya tanha (nafsu keinginan) dan upadana (kemelekatan). Berhentinya tanha dan upadana ini tidak ada di dalam diri setiap makhluk. Berhentinya tanha dan upadana ini merupakan Kebenaran, tetapi Kebenaran ini tidak ada di dalam diri setiap makhluk. Kebenaran ini bukan berada maupun bukan tidak berada. Kebenaran ini direalisasi ketika tanha dan upadana telah dilepaskan. Karena setiap makhluk yang belum merealisasi Kebenaran masih memiliki tanha dan upadana, maka tidak ada makhluk yang memiliki "benih kebuddha-an".

Benih Kebuddha adalah potensi setiap makhluk dalam mencapai Kebuddhaan. Kalau tidak ada benih Kebuddhaan bagaimana mungkin makhluk hidup mencapai Kebuddhaan. Karena Nibbana tidak bersebab, tidak musnah dan tidak berubah-ubah, maka sebenarnya ia merupakan potensi yang sudah menetap di dalam setiap makhluk hidup. Hanya saja ia tertutup kabut ilusi ketidaktahuan yang menyelubunginya, sehingga menyebabkan makhluk hidup mengira citta-cetasika-rupa sebagai sesuatu yang nyata, padahal mereka hanyalah ilusi.


Quote from: upasaka on 19 April 2010, 11:03:29 AM
Sebab tanha dan upadana sendiri adalah nyata, bukan ilusi. Oleh karena itu, jika setiap makhluk memiliki "benih kebuddha-an"; maka setiap makhluk juga seharusnya memiliki "benih keserakahan-kemelekatan".

Benih keserakahan-kemelekatan setiap makhluk hidup adalah ketidaktahuan (avidya atau avijja)

Quote from: upasaka on 19 April 2010, 11:03:29 AM
Berangkat dari pemahaman ini, saya melihat bahwa Nibbana dan samsara adalah dua hal yang berbeda. Nibbana adalah terhentinya samsara, sedangkan samsara adalah roda kehidupan yang berulang. Roda kehidupan yang berulang ini memiliki karakteristik anicca, dukkha dan anatta. Oleh karena itu, jelas tidak mungkin jika "terhentinya samsara" sama dengan "berputarnya samsara".

Jika anda melihat soal "terhenti"dan "berputar"adalah soal gerak seperti halnya gerak biasa, maka demikianlah adanya.  Tapi ingatlah, yang "terhenti"dan "berputar"adalah Samsara. Nibbana tidak bergerak seinci pun (ini metafor :) ). Oleh karena itu Nibbana (dalam hal ini yang kumaksudkan adalah Hakikat Kebuddhaan) senantiasa  "ada" sebagai potensi yang ada di dalam setiap makhluk, menunggu kita untuk menyadarinya...(Sekali lagi ini cuman metafor... Bahasa kita terlalu terbatas untuk menjelaskannya)

Title: Re: Kebenaran adalah satu atau banyak!
Post by: hendrako on 19 April 2010, 11:35:34 PM
Quote from: fabian c on 16 April 2010, 11:46:01 PM
[spoiler]
Quote from: fabian c on 16 April 2010, 01:31:10 PM
Quote from: seniya on 16 April 2010, 09:07:17 AM
[at] hendrako:
Thx,bro. Tp aku msh bro kok,gak jd sis. Wkwkwkwk....

[at] fabian:
Sungguh beruntung saya dapat berdiskusi dg anda. Secara pribadi saya menyukai tulisan anda tentang kosmologi Buddhis,apalagi saya memang tertarik dg hal2 berbau astronomi.

Menurut pemahaman saya (krn basic saya juga di Theravada),sunyata bukan berarti kosong/hampa atau tidak ada isinya,namun sunyata bermakna bahwa segala sesuatu hanyalah perpaduan unsur2 di mana tidak terdapat unsur substansial yg dapat berdiri sendiri & dikatakan sbg intinya (anatta). Mungkin ada perbedaan antara konsep anatta & sunyata yg tdk saya ketahui,namun secara mendasar keduanya sama memandang semua dharma adalah tanpa eksistensi sesuatu yg substansial.
Bro Seniya yang baik, terima kasih bro menyukai buku Kosmologi tsb.
Kembali ke topik, memang kelihatannya sepintas lalu ada kemiripan antara konsep kosong tsb dengan konsep anatta. Konsep anatta tidak bersasosiasi dengan kekosongan tetapi lebih berasosiasi dengan konsep anicca. Jadi dalam hal ini disebut anatta bukan karena tak ada substansi/kosong, tetapi karena tak ada individu mahluk yang memiliki substansi/roh (atta).

Bagaimana dengan kursi, meja, batu dll apakah memiliki substansi? Tentu saja ada dan kita tak dapat mengatakan meja itu kosong, tetapi dapatkah dikatakan meja atau kursi itui memiliki roh/atta? tentu tidak.

dalam hal tertentu pancakhandha pada mahluk bisa berdiri sendiri, tetapi mengalami perubahan, contohnya: bila Arahat Parinibbana, kelompok pancakhandhanya yang langsung berhenti adalah batin, tetapi jasmani tetap belum berhenti dan mampu berdiri sendiri, tetapi mengalami perubahan.

Bila pancakhandha dikatakan berhenti seluruhnya pada Arahat, itu adalah kemelekatan Mereka yang telah berhenti.
pengertian yang dikatakan tak dapat berdiri sendiri juga adalah kemelekatannya, bila salah satu objek kemelekatan (objek khandha) berhenti, maka objek kemelekatan yang berkaitan juga akan berhenti dan dengan demikian semua objek kemelekatan akan berhenti karena saling berkaitan.

Jadi dibedakan bro, pada Arahat jasmani tidak berhenti tetapi kemelekatan pada jasmani telah berhenti.

Banyak orang yang salah mengerti mengenai pancakhandha itu sendiri, dari jaman dahulu banyak orang yang salah kaprah menganggap bahwa pancakhandha adalah komponen dari mahluk hidup, ini ada benarnya, tetapi kurang tepat, pancakhandha yang sebenarnya adalah merupakan objek kemelekatan kita.

Jadi anatta bukan berarti kosong, tetapi memang karena sifat segala yang terbentuk (ada) akan lenyap kembali (tiada), ini adalah konsep anicca. Disebut anatta karena segala sesuatu yang timbul tersebut akan lenyap kembali, tak ada substansi atta.

QuoteSoal tanggung jawab moral tetap ada walaupun tidak ada substansi utama. Dlm Milinda Panha dikatakan bahwa melalui nama rupa ini suatu perbuatan/kamma dilakukan,karena kamma tsb nama rupa baru pada kehidupan mendatang terbentuk. Walaupun tidak ada sesuatu yg berpindah dari satu kehidupan ke kehidupan mendatang,namun kamma menghubungkan keduanya,karenanya nama rupa baru tetap bertanggung jawab atas perbuatan nama rupa sebelumnya. CMIIW (Penjelasannya singkat saja karena sepertinya sudah OOT)

Ya saya setuju mengenai hal ini, tetapi khusus mengenai tanggung jawab, saya lebih suka menggunakan istilah konsekuensi, lebih sejalan dengan isi Dhammapada, yaitu konsekuensi akan terus mengikuti, bagai jejak roda pedati yang mengikuti jejak kaki lembu yang menariknya (Dhammapada).

Semoga keterangan saya dapat dimengerti bro Seniya.

_/\_
[/spoiler]

QuoteThx atas penjelasannya tentang anatta, namun konsep sunyata juga sangat mirip dengan konsep anatta yang dijelaskan sbb:

Emptiness

The reality of Sunyata, being one of the most profound truths in Buddhism, is often misunderstood. It is, at best, though not ideally, translated as "Emptiness". The following is an introduction to the concept of Emptiness.

Examples of Emptiness

An analogy to explain Sunyata is a river. A river does not truly exist on its own as it consists of many streams of water coming and going, which make up its "substance". Each of these streams is just as unsubstantial, each consisting of smaller streams of changing elements within it. There is thus no substantial or "real" river—there is only the flowing. We say that the river is empty of a
fixed nature—exhibiting Emptiness. Everything in the universe (all physical and mental phenomena)
exhibits characteristics of Emptiness.

Another example is a waterfall. A waterfall seen from a distance appears as a shiny solid sheet in one piece. But upon closer inspection, we see clearly that the "piece" is a continuous flowing stream of water. There is essentially no fixed "waterfall"—there is only water falling.

The Two Sides of Emptiness

Here is a maxim to help remember the subtle concept of Sunyata:

Sunyata affirms the existence of existence;
Sunyata negates the self-nature of existence.


This means the truth of Emptiness does not deny the existence of each and every thing, but it denies the existence of a fixed unchanging self-nature behind each and every thing.

Using a river again as an example, we can say that a river (made of many small streams) exists dependently or conditionally on the streams—this illustrates the first aspect of the above maxim. Because the river flows on and on and hence keeps changing, we say that the river does not exist independently or unconditionally, as it has no unchanging identity or self—this illustrates the second aspect of the maxim.

Sumber: buku Be A Lamp Upon Yourself

Bro Seniya yang baik, komentar bro Seniya tersebut bila dibahas akan terlalu melebar, mungkin kita perlu persempit pokok bahasannya. Semua fenomena hingga bagian yang terkecil memiliki sifat muncul dan lenyap kembali, ini disebut anicca. Tak ada segala sesuatu di dunia ini yang terus mengalir. Kesadaran yang nampaknya mengalir tak terputus sebenarnya pada kebenaran absolut, juga terputus-putus muncul dan lenyap kembali, jadi kesadaran juga anicca.

Nampaknya kita memandang dari sisi yang berbeda ya?

QuoteSepertinya konsep kekosongan ini dikembangkan konsep kekosongan yang ditemukan dalam kanon Pali juga, seperti Sunna Sutta berikut:

Quote
Suñña Sutta: Empty
[/b]

translated from the Pali by Thanissaro Bhikkhu

Then Ven. Ananda went to the Blessed One and on arrival, having bowed down to him, sat to one side. As he was sitting there he said to the Blessed One, "It is said that the world is empty, the world is empty, lord. In what respect is it said that the world is empty?"

"Insofar as it is empty of a self or of anything pertaining to a self: Thus it is said, Ananda, that the world is empty. And what is empty of a self or of anything pertaining to a self? The eye is empty of a self or of anything pertaining to a self. Forms... Eye-consciousness... Eye-contact is empty of a self or of anything pertaining to a self.

"The ear is empty...

"The nose is empty...

"The tongue is empty...

"The body is empty...

"The intellect is empty of a self or of anything pertaining to a self. Ideas... Intellect-consciousness... Intellect-contact is empty of a self or of anything pertaining to a self. Thus it is said that the world is empty."

Sumber: http://www.accesstoinsight.org/tipitaka/sn/sn35/sn35.085.than.html (http://www.accesstoinsight.org/tipitaka/sn/sn35/sn35.085.than.html)
Coba disimak dengan seksama sutta tersebut bro....
Semua hal yang dikatakan kosong (empty) adalah empty yang berhubungan dengan self (atta) jadi untuk lebih jelasnya dunia ini empty dari atta.
Arti dari atta sendiri adalah jiwa, roh, diri, dalam bahasa sanskrit disebut atman.
Tipitaka sangat konsekuen dalam hal ini, yaitu segala sesuatu di dunia ini kosong dari roh, jiwa atau diri

Mungkin contoh mengenai kursi dan meja bisa dipakai kembali.
Kursi ada, tetapi kursi kosong akan diri, jiwa, roh. Kursi kosong akan atta (empty of self).
Meja ada, tetapi meja kosong akan diri, jiwa, roh. Meja kosong akan atta (empty of self).
Anda ada, tetapi anda kosong akan diri, jiwa, roh. Anda kosong akan atta (empty of self).
Dunia ada, tetapi dunia kosong akan diri, jiwa, roh. Dunia kosong akan atta (empty of self).
Kesimpulannya meja kosong akan atta bukan berarti meja tak ada, bukan berarti meja tak memiliki substansi.

Quote
Quote from: ryu on 16 April 2010, 09:13:15 AM
kosong adalah kosong, isi adalah isi itu adalah yang benar
kalau kosong adalah isi dan isi adalah kosong sepertinya menunjukan pada dualitas.

Sedikit koreksi saja, bukan "kosong adalah isi dan isi adalah kosong" seperti yang dipopulerkan dalam film Kera Sakti, namun yang benar adalah:

Quote
IHA SARIPUTRA RUPAM SUNYATA
SUNYATAIVA RUPAM
RUPANNA PRITHAG SUNYATA
SUNYATAYA NA PRITHAG RUPAM
YA RUPAM SA SUNYATA
YA SUNYATA TAD RUPAM
EVAM EVA VEDANA SAJNA SAMSKHARA VIJNANA

Wahai Sariputra, jasmani (rupa) itu tak lain adalah kosong,
Dan kekosongan itu tak lain dari rupa;
Rupa persisnya adalah kekosongan,
Dan kekosongan persisnya adalah rupa
;
Demikian pula dengan perasaan (vedana), pencerapan (sajna), bentuk pikiran (samskhara), dan kesadaran (vijnana).

IHA SARIPUTRA SARVADHARMA SUNYATA LAKSHANA
ANUTPANNA ANIRUDHA
AMALA NA AVIMALA
NONA NA PARIPURNAH

Wahai Sariputra, semua dharma ditandai dengan kekosongan;
Tidak lahir tidak juga musnah,
Tidak murni tidak juga tercemar,
Tidak bertambah tidak juga berkurang.

Sumber: Prajna Paramita Sutra

Yang kalimat kedua yang di-bold itulah yang saya maksud kebenaran tertinggi bahwa "semua dharma adalah kosong".

Ada perbedaan besar terhadap cara memandang dunia dari segi kebenaran absolut menurut Mahayana dan menurut Theravada.
Mahayana selalu mengatakan kosong... sunya.... maya.....
Theravada selalu mengatakan anicca, dukkha dan anatta.

Semoga keterangan saya cukup jelas.

_/\_

Hmm..... mengikuti thread ini, saya kok malah semakin merasa bahwa konsep Mahayana (untuk topik ini) benar2 bukan hal yang bertentangan.......

Konvensi..........
Segala sesuatu yg bernama adalah merupakan konvensi.
Ia hanyalah suatu kesepakatan.

Contohnya:

Uang,
Kertas bergambar tertentu dan disepakati sebagai uang.
Apabila tidak disepakati, apakah kertas tersebut dapat disebut uang? atau paling tidak masih bisa disebut uang-uangan. Uang sebenarnya hanya konsep. Kertas tersebut apabila kita bawa ke suatu pulau terpencil tanpa ada kontak dengan daerah lain.... uang tersebut kembali ke hakikat aslinya.....kertas bergambar....... Atau bahkan angka dengan banyak nol pada rekening kita. Hanya merupakan konsep. Ia menjadi berarti karena kesepakatan. Tanpa kesepakatan tidak ada apa-apa...... hanya sebagaimana adanya.

Contoh lain:
Sertifikat tanah,
Setifikat sebenarnya hanyalah persetujuan / kesepakatan bahwa seseorang dianggap berhak untuk sebidang tanah tertentu. Sekali lagi...kesepakatan... apabila ada yang tidak sepakat maka akan menjadi masalah...sengketa misalnya.......
Namun pada hakikatnya tidak ada seorangpun yang benar2 memiliki tanah...........

Kembali pada contoh dari bro Fabian, yaitu kursi

Kursi pada hakikatnya tidak ada. Kursi hanyalah sebuah konsep yg dilekatkan pada suatu benda tertentu, dalam hal ini untuk duduk, demi kegunaan komunikasi dan kegunaan praktis. Sebenarnya yang ada hanyalah sebagaimana adanya. beberapa bilah dan kayu papan dirangkai sedemikian rupa dengan 4 kaki dan sandaran kemudian disepakati dengan nama..... kursi.....konsep....kesepakatan belaka.....yang ada hanyalah sebagaimana adanya........

Walaupun kursi sebenarnya tidak ada, konsep ini tetap sangat berguna yaitu untuk berkomunikasi dan kegunaan praktis. Tanpa sebutan kursi kita tidak dapat berkomunikasi.

Setelah mengetahui kursi sebagai kesepakatan. Kursi timbul dari permainan persepsi, dan apabila kita melekati konsep tersebut maka kursi terasa menjadi benar2 ada, dan pada akhir dapat berkembang menjadi .... kursi-Ku, kursi-Mu, kursi-Nya.........

Walau kursi pada hakikatnya tidak ada, demi kegunaan praktis kita tetap harus merawatnya agar dapat terus digunakan, bahkan pada akhirnya, kursi sebagai konvensi pun tidak kekal. Pada saatnya, beberapa bagian menjadi patah dan benda tersebut berubah bentuknya sehingga tidak dapat disebut sebagai kursi lagi, konsep sebagai kursinya sudah hilang....mungkin masih bisa disebut sebagai ...mantan kursi.....kembali pada unsur pembentuknya.....kayu (misalnya)...yang merupakan konvensi lainnya lagi.......tanpa substansi apa-apa........

Kita pun juga merupakan konvensi, dari lahir kita diberi nama hingga sekarang, dewasa, nama kita tetap sama, padahal sebenarnya bayi dan orang dewasa benar2 berbeda, bahkan setiap saat lahir dan batin kita berubah tanpa kecuali..........
Aku dan Kursi sama2 merupakan konsep dan konvensi, sama2 atta.

Walaupun pada hakikatnya tidak ada, konvensi benar2 berguna dalam kehidupan bermasyarakat. Kehidupan bermasyarakat adalah hutan belantara konvensi yang padat bagaikan hutan perawan. Jadi konvensi harus bisa digunakan dengan bijaksana dan bijaksana bahwa segala sesuatu hanyalah merupakan konvensi.
Title: Re: Kebenaran adalah satu atau banyak!
Post by: hendrako on 20 April 2010, 12:26:31 AM
Quote yang dibawah ini keren (bagi saya pribadi) namun separo yang diatasnya yg tidak saya quote....terlalu berat bagi saya.......ga mudeng ama istilah2na..... :o
(grp send 2 both of u)

Quote from: sobat-dharma on 19 April 2010, 08:21:48 PM

Quote from: upasaka on 19 April 2010, 11:03:29 AM
Menurut pemahaman saya, ilusi adalah sesuatu yang tidak nyata namun terbias sehingga seolah terlihat nyata. Berangkat dari pemahaman inilah, saya tidak sependapat untuk menyebut bahwa citta-cetasika-rupa merupakan ilusi. Jika citta-cetasika-rupa adalah ilusi, tentu tidak mungkin untuk menembus Kebenaran sedangkan "orang" yang ingin menembus Kebenaran adalah ilusi (tidak nyata). Jika citta-cetasika-rupa merupakan ilusi, tentunya segala pengalaman yang terjadi pada batin dan fisik jasmani seharusnya merupakan ilusi. Kalau begitu; lahir, tua, sakit, mati, kesedihan, kesenangan, ketakutan, dan kedamaian semua hanyalah ilusi. Dan jika semua ini hanyalah ilusi, oleh karena itu luka berdarah juga merupakan ilusi. Melahirkan anak juga merupakan ilusi. Dan bahkan ketikan saya di postingan ini juga merupakan ilusi.

Betul.Semuanya adalah ilusi ketika seseorang telah tersadarkan! Hanya ketika yang belum tercerahkan seperti kita ini semuanya adalah nyata.

Quote from: upasaka on 19 April 2010, 11:03:29 AM
Citta-cetasika-rupa memang selalu timbul dan tenggelam. Karena itulah ketiga hal ini disebut sebagai anicca (tidak kekal). Segala sesuatu yang tidak kekal akan membawa pada ketidak-puasan (dukkha). Sebagai sesuatu yang tidak kekal dan tidak memuaskan, maka tidak layak untuk disebut sebagai "aku", "diriku" ataupun "milikku". Tetapi ketiga hal ini bukanlah ilusi. Ketiga hal ini adalah nyata, namun tidak ada yang kekal; tidak memuaskan; dan bukan diri.

Kalau hal tersebut nyata (sejati) mengapa menghasilkan dukkha?

Quote from: upasaka on 19 April 2010, 11:03:29 AM
Nibbana tidak terlahirkan, sebab Nibbana tidak lahir dari berbagai sebab. Justru ketika semua penyebab telah berhenti, maka itulah Nibbana.

Kalau semua penyebab itu berhenti baru terdapat Nibbana, berarti Nibbana muncul setalah adalnya suatu sebab yaitu: "ketika semua sebab berhenti". Maka istilah ini masih mengandaikan Nibbana ada karena suatu sebab.


Quote from: upasaka on 19 April 2010, 11:03:29 AM
Nibbana tidak musnah lagi, sebab Nibbana tidak musnah karena berbagai sebab. Justru ketika semua penyebab telah berhenti, maka tidak akan ada penyebab lain yang bisa muncul lagi; dan itulah Nibbana.

Anda bahkan masih terikat pada kata "sebab"bahkan ketika untuk menjelaskan mengapa Nibbana tidak musnah.


Quote from: upasaka on 19 April 2010, 11:03:29 AM
Nibbana tidak berubah, sebab Nibbana tidak berproses dan bergantung pada beberapa sebab. Justru ketika semua penyebab telah berhenti, maka tidak ada proses yang terjadi lagi; dan itulah yang disebut sebagai Nibbana.

Karena pada dasarnya Nibbana tidak bersebab dan tidak musnah serta tidak berubah-ubah, maka tidak ada "sebab yang berhenti" dalam realisasi nibbana.

Quote from: upasaka on 19 April 2010, 11:03:29 AM
Nibbana adalah berhentinya segala penyebab; dalam konteks ini adalah berhentinya tanha (nafsu keinginan) dan upadana (kemelekatan). Berhentinya tanha dan upadana ini tidak ada di dalam diri setiap makhluk. Berhentinya tanha dan upadana ini merupakan Kebenaran, tetapi Kebenaran ini tidak ada di dalam diri setiap makhluk. Kebenaran ini bukan berada maupun bukan tidak berada. Kebenaran ini direalisasi ketika tanha dan upadana telah dilepaskan. Karena setiap makhluk yang belum merealisasi Kebenaran masih memiliki tanha dan upadana, maka tidak ada makhluk yang memiliki "benih kebuddha-an".

Benih Kebuddha adalah potensi setiap makhluk dalam mencapai Kebuddhaan. Kalau tidak ada benih Kebuddhaan bagaimana mungkin makhluk hidup mencapai Kebuddhaan. Karena Nibbana tidak bersebab, tidak musnah dan tidak berubah-ubah, maka sebenarnya ia merupakan potensi yang sudah menetap di dalam setiap makhluk hidup. Hanya saja ia tertutup kabut ilusi ketidaktahuan yang menyelubunginya, sehingga menyebabkan makhluk hidup mengira citta-cetasika-rupa sebagai sesuatu yang nyata, padahal mereka hanyalah ilusi.


Quote from: upasaka on 19 April 2010, 11:03:29 AM
Sebab tanha dan upadana sendiri adalah nyata, bukan ilusi. Oleh karena itu, jika setiap makhluk memiliki "benih kebuddha-an"; maka setiap makhluk juga seharusnya memiliki "benih keserakahan-kemelekatan".

Benih keserakahan-kemelekatan setiap makhluk hidup adalah ketidaktahuan (avidya atau avijja)

Quote from: upasaka on 19 April 2010, 11:03:29 AM
Berangkat dari pemahaman ini, saya melihat bahwa Nibbana dan samsara adalah dua hal yang berbeda. Nibbana adalah terhentinya samsara, sedangkan samsara adalah roda kehidupan yang berulang. Roda kehidupan yang berulang ini memiliki karakteristik anicca, dukkha dan anatta. Oleh karena itu, jelas tidak mungkin jika "terhentinya samsara" sama dengan "berputarnya samsara".

Jika anda melihat soal "terhenti"dan "berputar"adalah soal gerak seperti halnya gerak biasa, maka demikianlah adanya.  Tapi ingatlah, yang "terhenti"dan "berputar"adalah Samsara. Nibbana tidak bergerak seinci pun (ini metafor :) ). Oleh karena itu Nibbana (dalam hal ini yang kumaksudkan adalah Hakikat Kebuddhaan) senantiasa  "ada" sebagai potensi yang ada di dalam setiap makhluk, menunggu kita untuk menyadarinya...(Sekali lagi ini cuman metafor... Bahasa kita terlalu terbatas untuk menjelaskannya)



Saya setuju dengan sebutan "benih ke-Buddha-an". Harus dibuktikan dengan latihan.........
Menurut opini saya...batin yang mengetahui, yang sadar, citta, itulah benih ke-Buddha-an. Selama masih tertutup debu maka benih tersebut tidak dapat berkembang.

Kembali ke soal kebenaran. Ambillah contoh Abhidhamma. Dan katakanlah Abhidhamma benar2 merupakan penjelasan yang rinci tentang kebenaran, tetap saja bukan kebenaran. Selama masih berupa kata2, itu tetap hanyalah merupakan kata-kata, konvensi, bukan kebenaran yg sesungguhnya.

Tentang rupa, cetasika, Nibbana, dan citta disebut sebagai kebenaran tertinggi adalah karena 4 hal tersebut adalah manifestasi dari 4 kebenaran / kesunyataan Mulia.
Rupa adalah Dukkha, rupa dalam hal ini adalah wakil dari bhava, dan keberadaan di alam samsara.
Cetasika adalah sebab dukkha, gampangnya..... cetana/kehendak termasuk dalam bagian ini.
Nibbana adalah lenyapnya dukkha,..........
Citta adalah jalan menuju lenyapnya dukkha, inilah "benih ke-Buddha-an", yang mengetahui, yang sadar...........

Mungkin opini saya diatas terkesan maksa, namun itulah interkoneksitas menurut pandangan saya. Contoh interkoneksitas lain adalah antara sila, samadhi, panna, yang dapat direlasikan dengan Buddha, Dhamma, dan Sangha:
Buddha   =  samadhi  =  kesadaran/konsentrasi
Dhamma =  panna     =  kebijaksanaan
Sangha   =  sila          = kesucian

Title: Re: Kebenaran adalah satu atau banyak!
Post by: fabian c on 20 April 2010, 01:13:50 PM
Quote
Quote from: fabian c on 16 April 2010, 11:46:01 PM
[spoiler]
Quote from: fabian c on 16 April 2010, 01:31:10 PM
Quote from: seniya on 16 April 2010, 09:07:17 AM
[at] hendrako:
Thx,bro. Tp aku msh bro kok,gak jd sis. Wkwkwkwk....

[at] fabian:
Sungguh beruntung saya dapat berdiskusi dg anda. Secara pribadi saya menyukai tulisan anda tentang kosmologi Buddhis,apalagi saya memang tertarik dg hal2 berbau astronomi.

Menurut pemahaman saya (krn basic saya juga di Theravada),sunyata bukan berarti kosong/hampa atau tidak ada isinya,namun sunyata bermakna bahwa segala sesuatu hanyalah perpaduan unsur2 di mana tidak terdapat unsur substansial yg dapat berdiri sendiri & dikatakan sbg intinya (anatta). Mungkin ada perbedaan antara konsep anatta & sunyata yg tdk saya ketahui,namun secara mendasar keduanya sama memandang semua dharma adalah tanpa eksistensi sesuatu yg substansial.
Bro Seniya yang baik, terima kasih bro menyukai buku Kosmologi tsb.
Kembali ke topik, memang kelihatannya sepintas lalu ada kemiripan antara konsep kosong tsb dengan konsep anatta. Konsep anatta tidak bersasosiasi dengan kekosongan tetapi lebih berasosiasi dengan konsep anicca. Jadi dalam hal ini disebut anatta bukan karena tak ada substansi/kosong, tetapi karena tak ada individu mahluk yang memiliki substansi/roh (atta).

Bagaimana dengan kursi, meja, batu dll apakah memiliki substansi? Tentu saja ada dan kita tak dapat mengatakan meja itu kosong, tetapi dapatkah dikatakan meja atau kursi itui memiliki roh/atta? tentu tidak.

dalam hal tertentu pancakhandha pada mahluk bisa berdiri sendiri, tetapi mengalami perubahan, contohnya: bila Arahat Parinibbana, kelompok pancakhandhanya yang langsung berhenti adalah batin, tetapi jasmani tetap belum berhenti dan mampu berdiri sendiri, tetapi mengalami perubahan.

Bila pancakhandha dikatakan berhenti seluruhnya pada Arahat, itu adalah kemelekatan Mereka yang telah berhenti.
pengertian yang dikatakan tak dapat berdiri sendiri juga adalah kemelekatannya, bila salah satu objek kemelekatan (objek khandha) berhenti, maka objek kemelekatan yang berkaitan juga akan berhenti dan dengan demikian semua objek kemelekatan akan berhenti karena saling berkaitan.

Jadi dibedakan bro, pada Arahat jasmani tidak berhenti tetapi kemelekatan pada jasmani telah berhenti.

Banyak orang yang salah mengerti mengenai pancakhandha itu sendiri, dari jaman dahulu banyak orang yang salah kaprah menganggap bahwa pancakhandha adalah komponen dari mahluk hidup, ini ada benarnya, tetapi kurang tepat, pancakhandha yang sebenarnya adalah merupakan objek kemelekatan kita.

Jadi anatta bukan berarti kosong, tetapi memang karena sifat segala yang terbentuk (ada) akan lenyap kembali (tiada), ini adalah konsep anicca. Disebut anatta karena segala sesuatu yang timbul tersebut akan lenyap kembali, tak ada substansi atta.

QuoteSoal tanggung jawab moral tetap ada walaupun tidak ada substansi utama. Dlm Milinda Panha dikatakan bahwa melalui nama rupa ini suatu perbuatan/kamma dilakukan,karena kamma tsb nama rupa baru pada kehidupan mendatang terbentuk. Walaupun tidak ada sesuatu yg berpindah dari satu kehidupan ke kehidupan mendatang,namun kamma menghubungkan keduanya,karenanya nama rupa baru tetap bertanggung jawab atas perbuatan nama rupa sebelumnya. CMIIW (Penjelasannya singkat saja karena sepertinya sudah OOT)

Ya saya setuju mengenai hal ini, tetapi khusus mengenai tanggung jawab, saya lebih suka menggunakan istilah konsekuensi, lebih sejalan dengan isi Dhammapada, yaitu konsekuensi akan terus mengikuti, bagai jejak roda pedati yang mengikuti jejak kaki lembu yang menariknya (Dhammapada).

Semoga keterangan saya dapat dimengerti bro Seniya.

_/\_
[/spoiler]

QuoteThx atas penjelasannya tentang anatta, namun konsep sunyata juga sangat mirip dengan konsep anatta yang dijelaskan sbb:

Emptiness

The reality of Sunyata, being one of the most profound truths in Buddhism, is often misunderstood. It is, at best, though not ideally, translated as "Emptiness". The following is an introduction to the concept of Emptiness.

Examples of Emptiness

An analogy to explain Sunyata is a river. A river does not truly exist on its own as it consists of many streams of water coming and going, which make up its "substance". Each of these streams is just as unsubstantial, each consisting of smaller streams of changing elements within it. There is thus no substantial or "real" river—there is only the flowing. We say that the river is empty of a
fixed nature—exhibiting Emptiness. Everything in the universe (all physical and mental phenomena)
exhibits characteristics of Emptiness.

Another example is a waterfall. A waterfall seen from a distance appears as a shiny solid sheet in one piece. But upon closer inspection, we see clearly that the "piece" is a continuous flowing stream of water. There is essentially no fixed "waterfall"—there is only water falling.

The Two Sides of Emptiness

Here is a maxim to help remember the subtle concept of Sunyata:

Sunyata affirms the existence of existence;
Sunyata negates the self-nature of existence.


This means the truth of Emptiness does not deny the existence of each and every thing, but it denies the existence of a fixed unchanging self-nature behind each and every thing.

Using a river again as an example, we can say that a river (made of many small streams) exists dependently or conditionally on the streams—this illustrates the first aspect of the above maxim. Because the river flows on and on and hence keeps changing, we say that the river does not exist independently or unconditionally, as it has no unchanging identity or self—this illustrates the second aspect of the maxim.

Sumber: buku Be A Lamp Upon Yourself

Bro Seniya yang baik, komentar bro Seniya tersebut bila dibahas akan terlalu melebar, mungkin kita perlu persempit pokok bahasannya. Semua fenomena hingga bagian yang terkecil memiliki sifat muncul dan lenyap kembali, ini disebut anicca. Tak ada segala sesuatu di dunia ini yang terus mengalir. Kesadaran yang nampaknya mengalir tak terputus sebenarnya pada kebenaran absolut, juga terputus-putus muncul dan lenyap kembali, jadi kesadaran juga anicca.

Nampaknya kita memandang dari sisi yang berbeda ya?

QuoteSepertinya konsep kekosongan ini dikembangkan konsep kekosongan yang ditemukan dalam kanon Pali juga, seperti Sunna Sutta berikut:

Quote
Suñña Sutta: Empty
[/b]

translated from the Pali by Thanissaro Bhikkhu

Then Ven. Ananda went to the Blessed One and on arrival, having bowed down to him, sat to one side. As he was sitting there he said to the Blessed One, "It is said that the world is empty, the world is empty, lord. In what respect is it said that the world is empty?"

"Insofar as it is empty of a self or of anything pertaining to a self: Thus it is said, Ananda, that the world is empty. And what is empty of a self or of anything pertaining to a self? The eye is empty of a self or of anything pertaining to a self. Forms... Eye-consciousness... Eye-contact is empty of a self or of anything pertaining to a self.

"The ear is empty...

"The nose is empty...

"The tongue is empty...

"The body is empty...

"The intellect is empty of a self or of anything pertaining to a self. Ideas... Intellect-consciousness... Intellect-contact is empty of a self or of anything pertaining to a self. Thus it is said that the world is empty."

Sumber: http://www.accesstoinsight.org/tipitaka/sn/sn35/sn35.085.than.html (http://www.accesstoinsight.org/tipitaka/sn/sn35/sn35.085.than.html)
Coba disimak dengan seksama sutta tersebut bro....
Semua hal yang dikatakan kosong (empty) adalah empty yang berhubungan dengan self (atta) jadi untuk lebih jelasnya dunia ini empty dari atta.
Arti dari atta sendiri adalah jiwa, roh, diri, dalam bahasa sanskrit disebut atman.
Tipitaka sangat konsekuen dalam hal ini, yaitu segala sesuatu di dunia ini kosong dari roh, jiwa atau diri

Mungkin contoh mengenai kursi dan meja bisa dipakai kembali.
Kursi ada, tetapi kursi kosong akan diri, jiwa, roh. Kursi kosong akan atta (empty of self).
Meja ada, tetapi meja kosong akan diri, jiwa, roh. Meja kosong akan atta (empty of self).
Anda ada, tetapi anda kosong akan diri, jiwa, roh. Anda kosong akan atta (empty of self).
Dunia ada, tetapi dunia kosong akan diri, jiwa, roh. Dunia kosong akan atta (empty of self).
Kesimpulannya meja kosong akan atta bukan berarti meja tak ada, bukan berarti meja tak memiliki substansi.

Quote
Quote from: ryu on 16 April 2010, 09:13:15 AM
kosong adalah kosong, isi adalah isi itu adalah yang benar
kalau kosong adalah isi dan isi adalah kosong sepertinya menunjukan pada dualitas.

Sedikit koreksi saja, bukan "kosong adalah isi dan isi adalah kosong" seperti yang dipopulerkan dalam film Kera Sakti, namun yang benar adalah:

Quote
IHA SARIPUTRA RUPAM SUNYATA
SUNYATAIVA RUPAM
RUPANNA PRITHAG SUNYATA
SUNYATAYA NA PRITHAG RUPAM
YA RUPAM SA SUNYATA
YA SUNYATA TAD RUPAM
EVAM EVA VEDANA SAJNA SAMSKHARA VIJNANA

Wahai Sariputra, jasmani (rupa) itu tak lain adalah kosong,
Dan kekosongan itu tak lain dari rupa;
Rupa persisnya adalah kekosongan,
Dan kekosongan persisnya adalah rupa
;
Demikian pula dengan perasaan (vedana), pencerapan (sajna), bentuk pikiran (samskhara), dan kesadaran (vijnana).

IHA SARIPUTRA SARVADHARMA SUNYATA LAKSHANA
ANUTPANNA ANIRUDHA
AMALA NA AVIMALA
NONA NA PARIPURNAH

Wahai Sariputra, semua dharma ditandai dengan kekosongan;
Tidak lahir tidak juga musnah,
Tidak murni tidak juga tercemar,
Tidak bertambah tidak juga berkurang.

Sumber: Prajna Paramita Sutra

Yang kalimat kedua yang di-bold itulah yang saya maksud kebenaran tertinggi bahwa "semua dharma adalah kosong".

Ada perbedaan besar terhadap cara memandang dunia dari segi kebenaran absolut menurut Mahayana dan menurut Theravada.
Mahayana selalu mengatakan kosong... sunya.... maya.....
Theravada selalu mengatakan anicca, dukkha dan anatta.

Semoga keterangan saya cukup jelas.

_/\_

Hmm..... mengikuti thread ini, saya kok malah semakin merasa bahwa konsep Mahayana (untuk topik ini) benar2 bukan hal yang bertentangan.......

Konvensi..........
Segala sesuatu yg bernama adalah merupakan konvensi.
Ia hanyalah suatu kesepakatan.

Contohnya:

Uang,
Kertas bergambar tertentu dan disepakati sebagai uang.
Apabila tidak disepakati, apakah kertas tersebut dapat disebut uang? atau paling tidak masih bisa disebut uang-uangan. Uang sebenarnya hanya konsep. Kertas tersebut apabila kita bawa ke suatu pulau terpencil tanpa ada kontak dengan daerah lain.... uang tersebut kembali ke hakikat aslinya.....kertas bergambar....... Atau bahkan angka dengan banyak nol pada rekening kita. Hanya merupakan konsep. Ia menjadi berarti karena kesepakatan. Tanpa kesepakatan tidak ada apa-apa...... hanya sebagaimana adanya.

Contoh lain:
Sertifikat tanah,
Setifikat sebenarnya hanyalah persetujuan / kesepakatan bahwa seseorang dianggap berhak untuk sebidang tanah tertentu. Sekali lagi...kesepakatan... apabila ada yang tidak sepakat maka akan menjadi masalah...sengketa misalnya.......
Namun pada hakikatnya tidak ada seorangpun yang benar2 memiliki tanah...........
Bro Hendrako yang baik, ada dua cara memandang disini, yaitu yang satu beranggapan manusia, kursi, hewan, dunia ada (tetapi selalu berubah). Yang lain beranggapan manusia, kursi, hewan, dunia tidak ada. (kosong)

QuoteKembali pada contoh dari bro Fabian, yaitu kursi

Kursi pada hakikatnya tidak ada. Kursi hanyalah sebuah konsep yg dilekatkan pada suatu benda tertentu, dalam hal ini untuk duduk, demi kegunaan komunikasi dan kegunaan praktis. Sebenarnya yang ada hanyalah sebagaimana adanya. beberapa bilah dan kayu papan dirangkai sedemikian rupa dengan 4 kaki dan sandaran kemudian disepakati dengan nama..... kursi.....konsep....kesepakatan belaka.....yang ada hanyalah sebagaimana adanya........

Walaupun kursi sebenarnya tidak ada, konsep ini tetap sangat berguna yaitu untuk berkomunikasi dan kegunaan praktis. Tanpa sebutan kursi kita tidak dapat berkomunikasi.

Mungkin bro terlewat membacanya, saya tidak mengatakan kursi tak ada, saya mengatakan kursi ada. Coba baca lagi yang diwarnai biru.
Ada perbedaan dengan cara pandang yang dikemukakan bro Seniya. Bro Seniya mengatakan segala sesuatu di dunia pada dasarnya kosong (tak ada), semua adalah ilusi (maya).
Berdasarkan pandangan saya kursi ada, tetapi kursi mengalami perubahan (anicca) dan tak memiliki jiwa, nyawa, roh.... demikian juga meja, manusia, dunia....

QuoteSetelah mengetahui kursi sebagai kesepakatan. Kursi timbul dari permainan persepsi, dan apabila kita melekati konsep tersebut maka kursi terasa menjadi benar2 ada, dan pada akhir dapat berkembang menjadi .... kursi-Ku, kursi-Mu, kursi-Nya.........
Kursi adalah kursi bro, ia ada.... dan ia nyata.... kecuali kursi imajiner... Entah kita berpersepsi atau tak berpersepsi, kursi yang ada tetap ada bro, ia hanya mengalami perubahan (anicca).

QuoteWalau kursi pada hakikatnya tidak ada, demi kegunaan praktis kita tetap harus merawatnya agar dapat terus digunakan, bahkan pada akhirnya, kursi sebagai konvensi pun tidak kekal. Pada saatnya, beberapa bagian menjadi patah dan benda tersebut berubah bentuknya sehingga tidak dapat disebut sebagai kursi lagi, konsep sebagai kursinya sudah hilang....mungkin masih bisa disebut sebagai ...mantan kursi.....kembali pada unsur pembentuknya.....kayu (misalnya)...yang merupakan konvensi lainnya lagi.......tanpa substansi apa-apa........
Inilah yang dinamakan anicca bro, namanya bisa berubah menjadi apapun tetapi substansinya tetap ada bro...

QuoteKita pun juga merupakan konvensi, dari lahir kita diberi nama hingga sekarang, dewasa, nama kita tetap sama, padahal sebenarnya bayi dan orang dewasa benar2 berbeda, bahkan setiap saat lahir dan batin kita berubah tanpa kecuali..........
Aku dan Kursi sama2 merupakan konsep dan konvensi, sama2 atta.
Aku dan kursi sama-sama anatta bro... (an : tidak ; atta : roh, jiwa, nyawa)

QuoteWalaupun pada hakikatnya tidak ada, konvensi benar2 berguna dalam kehidupan bermasyarakat. Kehidupan bermasyarakat adalah hutan belantara konvensi yang padat bagaikan hutan perawan. Jadi konvensi harus bisa digunakan dengan bijaksana dan bijaksana bahwa segala sesuatu hanyalah merupakan konvensi.
hakikatnya ada, tetapi berubah bro.... ini yang disebut anicca...

Semoga menjadi jelas.

_/\_
Title: Re: Kebenaran adalah satu atau banyak!
Post by: El Sol on 20 April 2010, 01:16:55 PM
Quote from: Peacemind on 13 April 2010, 02:48:47 PM
         Suttanipaya syair 890 menyebutkan kebenaran adalah satu dan tidak ada yang kedua (ekañhi saccaṃ na dutīyamatthi). Namun demikian, Khotbah2 Sang Buddha menyatakan adanya empat kebenaran mulia (cattaro ariyasaccaṃ), sementara Abhidhamma mengatakan adanya empat kebenaran tertinggi lainnya  (catudhā paramattho) yakni citta, cetasika, rūpa dan Nibbāna. Pertanyaannya, bagaimana pernyataan2 di atas berbeda antara satu dengan lainnya. Padahal, yang menjadi unik dalam ajaran Buddha adalah bahwa keseluruhan ajaran beliau memiliki koneksi antara satu dengan lainnya.

       Bagaimana pendapat teman-teman di sini untuk menanggapi kasus di atas?

cuma 1 kata...

UPEKKHA....:D
Title: Re: Kebenaran adalah satu atau banyak!
Post by: fabian c on 20 April 2010, 01:39:42 PM
Quote from: sobat-dharma on 19 April 2010, 08:21:48 PM
Ketika saya mengatakan "semua eksistensi dan esensi di dunia ini lahir dari kehadiran subyek dan obyek dan interaksi antara keduanya" yang saya maksudkan sebagai "dunia" adalah alam Samsara. Eksistensi adalah keberadaan dan kehadiran subyek dan obyek yang saling mengadakan satu sama lain: obyek hadir  dalam subyek dan subyek hadir di antara obyek-obyek, seolah keduanya terpisah, namun sebenarnya sulit dipisahkan secara mutlak. Sedangkan Esensi adalah pembedaan yang dibangun dalam bentuk gagasan-gagasan yang bersifat terpisah satu sama lain, terdeferensiasi dan terklasifikasi yang terwujudnya sangat terbantu oleh keberadaan bahasa

Singkatnya, menurut pengetahuan saya yang masih sangat minim, dasar dari munculnya Samsara adalah pemisahan antara subyek (Citta dan Cetasika) dan obyek (Rupa). Hilangnya pemisahan antara subyek dan obyek adalah jalan menuju padamnya dukkha. Dalam hal ini berarti bahwa ketika hakikat citta, cetasika dan rupa berhasil dibongkar, maka sebenarnya mereka adalah tunggal dan hal ini merupakan jalan menuju ke pengetahuan yang sejati. Sankhata Dhamma tidak lagi benar-benar berdaya mempengaruhi karena pada dasarnya hanyalah ilusi, maka tersingkaplah Asankhata Dhamma: Nibbana (Nirvana). 

Demikian penjelasan saya yang sangat ringkas, semoga dapat membantu anda memahami apa yang kumaksudkan. Sebaliknya saya ingin bertanya apakah yang anda maksudkan dengan kata:  "objek yang diketahui tidak selalu merupakan rupa (fisik jasmani)" dan apa hubungannya pernyataan ini dengan diskusi kita? Setahu saya dalam Abhidhamma, obyek-obyek indra (ruparammana, saddaramana, gandharammana, rasarammana) semuanya termasuk dalam kategori rupa.

Maaf ikut komentar sedikit bro Sobat Dharma yang baik. Menurut yang saya ketahui malah sebaliknya, bersatunya antara subjek dan objek menjadi timbul kemelekatan (upadana), dengan timbulnya upadana, menyebabkan timbul kondisi-kondisi. Kitas ambil contoh, umpamanya subjek menyatu dengan bentuk-bentuk pikirannya sendiri, maka hal ini akan menyebabkan subjek terlibat dan terseret pada bentuk-bentuk pikiran tersebut. Demikian juga bila menyatu dengan perasaan, jasmani dll

Bila subjek dan objek terpisah maka kondisi-kondisi akan lenyap karena subjek tidak lagi terpengaruh atau terseret oleh segala sesuatu yang dialaminya.

Perumpamaannya adalah demikian: umpamanya bro Sobat Dharma tinggal di suatu rumah yang indah, bro Sobat Dharma selalu bermain-main di dalam rumah tersebut, tak pernah  keluar pintu. Apakah mungkin bro Sobat Dharma bisa mengetahui bagaimana sifat alami rumah itu yang sesungguhnya? Tidak mungkin kan? Kecuali bro Sobat Dharma keluar rumah.

Demikian juga dengan bentuk-bentuk batin dan jasmani tidak akan bisa diketahui sifat alami yang sesunguhnya, bila kita terus melekat dan tak dapat melepaskan diri darinya.
Untuk bisa melihat sifat alami yang sesungguhnya kita harus bisa melepaskan ikatan dengannya.

Hanya sekedar masukan.

_/\_
Title: Re: Kebenaran adalah satu atau banyak!
Post by: sobat-dharma on 20 April 2010, 05:03:07 PM
Sdr.Fabian, terimakasih atas masukannya. Saya sungguh menikmati indahnya perumpamaan yang anda buat tentang rumah. Memberikan wawasan baru :)

Namun saya perlu mengkoreksi beberapa salah paham anda mengenai kata-kata saya.

Yang kumaksudkan dengan "pemisahan antara subyek dan obyek" adalah ketika subyek dianggap sebagai substansi yang mandiri terpisah dengan obyek, begitu juga dengan obyek dianggap terpisah dari subyek: seolah-olah di antara keduanya berdiri semacam garis pemisah ilusif. Akibatnya muncul pandangan bahwa yang di luar subyek adalah obyek, sedangkan yang di luar obyek adalah subyek.  Maka dunia di luar subyek kemudian dianggap dunia "obyektif", "nyata", "terjadi", sedangkan dunia di luar obyek disebut sebagai "subyektif", "tidak nyata", "khayalan." Padahal baik subyek maupun obyek keduanya adalah ilusi.

Dalam bahasa sebuah syair, "obyek ada karena subyek, sedangkan subyek ada karena obyek." Keduanya saling mengadakan dan tidak nyata. Begitu obyek padam, subyek pun lenyap, sehingga tidak mungkin lagi ada obyek.

Apa yang kumaksudkan dengan ketika "pemisahan subyek dan obyek", bukan berarti "subyek tidak melekat pada obyek", namun merupakan suatu kesadaran mengenai adanya substansi subyek dan substansi obyek yang seolah-olah berdiri sendiri dan terpisah satu sama lain. Dalam kasus ini, kegandrungan akan suatu obyek yang kemudian menjadi kemelekatan justru terjadi ketika subyek menyadari (dengan penuh khayal) kehadiran suatu obyek yang berada di luar dirinya yang harus ia miliki dan kuasai: hal ini tidak mungkin terjadi jika tiada subyek dan obyek sebagai substansi yang berdiri sendiri-sendiri.
Title: Re: Kebenaran adalah satu atau banyak!
Post by: hendrako on 20 April 2010, 07:23:32 PM
Quote from: fabian c on 20 April 2010, 01:13:50 PM
Quote
Quote from: fabian c on 16 April 2010, 11:46:01 PM
[spoiler]
Quote from: fabian c on 16 April 2010, 01:31:10 PM
Quote from: seniya on 16 April 2010, 09:07:17 AM
[at] hendrako:
Thx,bro. Tp aku msh bro kok,gak jd sis. Wkwkwkwk....

[at] fabian:
Sungguh beruntung saya dapat berdiskusi dg anda. Secara pribadi saya menyukai tulisan anda tentang kosmologi Buddhis,apalagi saya memang tertarik dg hal2 berbau astronomi.

Menurut pemahaman saya (krn basic saya juga di Theravada),sunyata bukan berarti kosong/hampa atau tidak ada isinya,namun sunyata bermakna bahwa segala sesuatu hanyalah perpaduan unsur2 di mana tidak terdapat unsur substansial yg dapat berdiri sendiri & dikatakan sbg intinya (anatta). Mungkin ada perbedaan antara konsep anatta & sunyata yg tdk saya ketahui,namun secara mendasar keduanya sama memandang semua dharma adalah tanpa eksistensi sesuatu yg substansial.
Bro Seniya yang baik, terima kasih bro menyukai buku Kosmologi tsb.
Kembali ke topik, memang kelihatannya sepintas lalu ada kemiripan antara konsep kosong tsb dengan konsep anatta. Konsep anatta tidak bersasosiasi dengan kekosongan tetapi lebih berasosiasi dengan konsep anicca. Jadi dalam hal ini disebut anatta bukan karena tak ada substansi/kosong, tetapi karena tak ada individu mahluk yang memiliki substansi/roh (atta).

Bagaimana dengan kursi, meja, batu dll apakah memiliki substansi? Tentu saja ada dan kita tak dapat mengatakan meja itu kosong, tetapi dapatkah dikatakan meja atau kursi itui memiliki roh/atta? tentu tidak.

dalam hal tertentu pancakhandha pada mahluk bisa berdiri sendiri, tetapi mengalami perubahan, contohnya: bila Arahat Parinibbana, kelompok pancakhandhanya yang langsung berhenti adalah batin, tetapi jasmani tetap belum berhenti dan mampu berdiri sendiri, tetapi mengalami perubahan.

Bila pancakhandha dikatakan berhenti seluruhnya pada Arahat, itu adalah kemelekatan Mereka yang telah berhenti.
pengertian yang dikatakan tak dapat berdiri sendiri juga adalah kemelekatannya, bila salah satu objek kemelekatan (objek khandha) berhenti, maka objek kemelekatan yang berkaitan juga akan berhenti dan dengan demikian semua objek kemelekatan akan berhenti karena saling berkaitan.

Jadi dibedakan bro, pada Arahat jasmani tidak berhenti tetapi kemelekatan pada jasmani telah berhenti.

Banyak orang yang salah mengerti mengenai pancakhandha itu sendiri, dari jaman dahulu banyak orang yang salah kaprah menganggap bahwa pancakhandha adalah komponen dari mahluk hidup, ini ada benarnya, tetapi kurang tepat, pancakhandha yang sebenarnya adalah merupakan objek kemelekatan kita.

Jadi anatta bukan berarti kosong, tetapi memang karena sifat segala yang terbentuk (ada) akan lenyap kembali (tiada), ini adalah konsep anicca. Disebut anatta karena segala sesuatu yang timbul tersebut akan lenyap kembali, tak ada substansi atta.

QuoteSoal tanggung jawab moral tetap ada walaupun tidak ada substansi utama. Dlm Milinda Panha dikatakan bahwa melalui nama rupa ini suatu perbuatan/kamma dilakukan,karena kamma tsb nama rupa baru pada kehidupan mendatang terbentuk. Walaupun tidak ada sesuatu yg berpindah dari satu kehidupan ke kehidupan mendatang,namun kamma menghubungkan keduanya,karenanya nama rupa baru tetap bertanggung jawab atas perbuatan nama rupa sebelumnya. CMIIW (Penjelasannya singkat saja karena sepertinya sudah OOT)

Ya saya setuju mengenai hal ini, tetapi khusus mengenai tanggung jawab, saya lebih suka menggunakan istilah konsekuensi, lebih sejalan dengan isi Dhammapada, yaitu konsekuensi akan terus mengikuti, bagai jejak roda pedati yang mengikuti jejak kaki lembu yang menariknya (Dhammapada).

Semoga keterangan saya dapat dimengerti bro Seniya.

_/\_
[/spoiler]

QuoteThx atas penjelasannya tentang anatta, namun konsep sunyata juga sangat mirip dengan konsep anatta yang dijelaskan sbb:

Emptiness

The reality of Sunyata, being one of the most profound truths in Buddhism, is often misunderstood. It is, at best, though not ideally, translated as "Emptiness". The following is an introduction to the concept of Emptiness.

Examples of Emptiness

An analogy to explain Sunyata is a river. A river does not truly exist on its own as it consists of many streams of water coming and going, which make up its "substance". Each of these streams is just as unsubstantial, each consisting of smaller streams of changing elements within it. There is thus no substantial or "real" river—there is only the flowing. We say that the river is empty of a
fixed nature—exhibiting Emptiness. Everything in the universe (all physical and mental phenomena)
exhibits characteristics of Emptiness.

Another example is a waterfall. A waterfall seen from a distance appears as a shiny solid sheet in one piece. But upon closer inspection, we see clearly that the "piece" is a continuous flowing stream of water. There is essentially no fixed "waterfall"—there is only water falling.

The Two Sides of Emptiness

Here is a maxim to help remember the subtle concept of Sunyata:

Sunyata affirms the existence of existence;
Sunyata negates the self-nature of existence.


This means the truth of Emptiness does not deny the existence of each and every thing, but it denies the existence of a fixed unchanging self-nature behind each and every thing.

Using a river again as an example, we can say that a river (made of many small streams) exists dependently or conditionally on the streams—this illustrates the first aspect of the above maxim. Because the river flows on and on and hence keeps changing, we say that the river does not exist independently or unconditionally, as it has no unchanging identity or self—this illustrates the second aspect of the maxim.

Sumber: buku Be A Lamp Upon Yourself

Bro Seniya yang baik, komentar bro Seniya tersebut bila dibahas akan terlalu melebar, mungkin kita perlu persempit pokok bahasannya. Semua fenomena hingga bagian yang terkecil memiliki sifat muncul dan lenyap kembali, ini disebut anicca. Tak ada segala sesuatu di dunia ini yang terus mengalir. Kesadaran yang nampaknya mengalir tak terputus sebenarnya pada kebenaran absolut, juga terputus-putus muncul dan lenyap kembali, jadi kesadaran juga anicca.

Nampaknya kita memandang dari sisi yang berbeda ya?

QuoteSepertinya konsep kekosongan ini dikembangkan konsep kekosongan yang ditemukan dalam kanon Pali juga, seperti Sunna Sutta berikut:

Quote
Suñña Sutta: Empty
[/b]

translated from the Pali by Thanissaro Bhikkhu

Then Ven. Ananda went to the Blessed One and on arrival, having bowed down to him, sat to one side. As he was sitting there he said to the Blessed One, "It is said that the world is empty, the world is empty, lord. In what respect is it said that the world is empty?"

"Insofar as it is empty of a self or of anything pertaining to a self: Thus it is said, Ananda, that the world is empty. And what is empty of a self or of anything pertaining to a self? The eye is empty of a self or of anything pertaining to a self. Forms... Eye-consciousness... Eye-contact is empty of a self or of anything pertaining to a self.

"The ear is empty...

"The nose is empty...

"The tongue is empty...

"The body is empty...

"The intellect is empty of a self or of anything pertaining to a self. Ideas... Intellect-consciousness... Intellect-contact is empty of a self or of anything pertaining to a self. Thus it is said that the world is empty."

Sumber: http://www.accesstoinsight.org/tipitaka/sn/sn35/sn35.085.than.html (http://www.accesstoinsight.org/tipitaka/sn/sn35/sn35.085.than.html)
Coba disimak dengan seksama sutta tersebut bro....
Semua hal yang dikatakan kosong (empty) adalah empty yang berhubungan dengan self (atta) jadi untuk lebih jelasnya dunia ini empty dari atta.
Arti dari atta sendiri adalah jiwa, roh, diri, dalam bahasa sanskrit disebut atman.
Tipitaka sangat konsekuen dalam hal ini, yaitu segala sesuatu di dunia ini kosong dari roh, jiwa atau diri

Mungkin contoh mengenai kursi dan meja bisa dipakai kembali.
Kursi ada, tetapi kursi kosong akan diri, jiwa, roh. Kursi kosong akan atta (empty of self).
Meja ada, tetapi meja kosong akan diri, jiwa, roh. Meja kosong akan atta (empty of self).
Anda ada, tetapi anda kosong akan diri, jiwa, roh. Anda kosong akan atta (empty of self).
Dunia ada, tetapi dunia kosong akan diri, jiwa, roh. Dunia kosong akan atta (empty of self).
Kesimpulannya meja kosong akan atta bukan berarti meja tak ada, bukan berarti meja tak memiliki substansi.

Quote
Quote from: ryu on 16 April 2010, 09:13:15 AM
kosong adalah kosong, isi adalah isi itu adalah yang benar
kalau kosong adalah isi dan isi adalah kosong sepertinya menunjukan pada dualitas.

Sedikit koreksi saja, bukan "kosong adalah isi dan isi adalah kosong" seperti yang dipopulerkan dalam film Kera Sakti, namun yang benar adalah:

Quote
IHA SARIPUTRA RUPAM SUNYATA
SUNYATAIVA RUPAM
RUPANNA PRITHAG SUNYATA
SUNYATAYA NA PRITHAG RUPAM
YA RUPAM SA SUNYATA
YA SUNYATA TAD RUPAM
EVAM EVA VEDANA SAJNA SAMSKHARA VIJNANA

Wahai Sariputra, jasmani (rupa) itu tak lain adalah kosong,
Dan kekosongan itu tak lain dari rupa;
Rupa persisnya adalah kekosongan,
Dan kekosongan persisnya adalah rupa
;
Demikian pula dengan perasaan (vedana), pencerapan (sajna), bentuk pikiran (samskhara), dan kesadaran (vijnana).

IHA SARIPUTRA SARVADHARMA SUNYATA LAKSHANA
ANUTPANNA ANIRUDHA
AMALA NA AVIMALA
NONA NA PARIPURNAH

Wahai Sariputra, semua dharma ditandai dengan kekosongan;
Tidak lahir tidak juga musnah,
Tidak murni tidak juga tercemar,
Tidak bertambah tidak juga berkurang.

Sumber: Prajna Paramita Sutra

Yang kalimat kedua yang di-bold itulah yang saya maksud kebenaran tertinggi bahwa "semua dharma adalah kosong".

Ada perbedaan besar terhadap cara memandang dunia dari segi kebenaran absolut menurut Mahayana dan menurut Theravada.
Mahayana selalu mengatakan kosong... sunya.... maya.....
Theravada selalu mengatakan anicca, dukkha dan anatta.

Semoga keterangan saya cukup jelas.

_/\_

Hmm..... mengikuti thread ini, saya kok malah semakin merasa bahwa konsep Mahayana (untuk topik ini) benar2 bukan hal yang bertentangan.......

Konvensi..........
Segala sesuatu yg bernama adalah merupakan konvensi.
Ia hanyalah suatu kesepakatan.

Contohnya:

Uang,
Kertas bergambar tertentu dan disepakati sebagai uang.
Apabila tidak disepakati, apakah kertas tersebut dapat disebut uang? atau paling tidak masih bisa disebut uang-uangan. Uang sebenarnya hanya konsep. Kertas tersebut apabila kita bawa ke suatu pulau terpencil tanpa ada kontak dengan daerah lain.... uang tersebut kembali ke hakikat aslinya.....kertas bergambar....... Atau bahkan angka dengan banyak nol pada rekening kita. Hanya merupakan konsep. Ia menjadi berarti karena kesepakatan. Tanpa kesepakatan tidak ada apa-apa...... hanya sebagaimana adanya.

Contoh lain:
Sertifikat tanah,
Setifikat sebenarnya hanyalah persetujuan / kesepakatan bahwa seseorang dianggap berhak untuk sebidang tanah tertentu. Sekali lagi...kesepakatan... apabila ada yang tidak sepakat maka akan menjadi masalah...sengketa misalnya.......
Namun pada hakikatnya tidak ada seorangpun yang benar2 memiliki tanah...........
Bro Hendrako yang baik, ada dua cara memandang disini, yaitu yang satu beranggapan manusia, kursi, hewan, dunia ada (tetapi selalu berubah). Yang lain beranggapan manusia, kursi, hewan, dunia tidak ada. (kosong)

QuoteKembali pada contoh dari bro Fabian, yaitu kursi

Kursi pada hakikatnya tidak ada. Kursi hanyalah sebuah konsep yg dilekatkan pada suatu benda tertentu, dalam hal ini untuk duduk, demi kegunaan komunikasi dan kegunaan praktis. Sebenarnya yang ada hanyalah sebagaimana adanya. beberapa bilah dan kayu papan dirangkai sedemikian rupa dengan 4 kaki dan sandaran kemudian disepakati dengan nama..... kursi.....konsep....kesepakatan belaka.....yang ada hanyalah sebagaimana adanya........

Walaupun kursi sebenarnya tidak ada, konsep ini tetap sangat berguna yaitu untuk berkomunikasi dan kegunaan praktis. Tanpa sebutan kursi kita tidak dapat berkomunikasi.

Mungkin bro terlewat membacanya, saya tidak mengatakan kursi tak ada, saya mengatakan kursi ada. Coba baca lagi yang diwarnai biru.
Ada perbedaan dengan cara pandang yang dikemukakan bro Seniya. Bro Seniya mengatakan segala sesuatu di dunia pada dasarnya kosong (tak ada), semua adalah ilusi (maya).
Berdasarkan pandangan saya kursi ada, tetapi kursi mengalami perubahan (anicca) dan tak memiliki jiwa, nyawa, roh.... demikian juga meja, manusia, dunia....

QuoteSetelah mengetahui kursi sebagai kesepakatan. Kursi timbul dari permainan persepsi, dan apabila kita melekati konsep tersebut maka kursi terasa menjadi benar2 ada, dan pada akhir dapat berkembang menjadi .... kursi-Ku, kursi-Mu, kursi-Nya.........
Kursi adalah kursi bro, ia ada.... dan ia nyata.... kecuali kursi imajiner... Entah kita berpersepsi atau tak berpersepsi, kursi yang ada tetap ada bro, ia hanya mengalami perubahan (anicca).

QuoteWalau kursi pada hakikatnya tidak ada, demi kegunaan praktis kita tetap harus merawatnya agar dapat terus digunakan, bahkan pada akhirnya, kursi sebagai konvensi pun tidak kekal. Pada saatnya, beberapa bagian menjadi patah dan benda tersebut berubah bentuknya sehingga tidak dapat disebut sebagai kursi lagi, konsep sebagai kursinya sudah hilang....mungkin masih bisa disebut sebagai ...mantan kursi.....kembali pada unsur pembentuknya.....kayu (misalnya)...yang merupakan konvensi lainnya lagi.......tanpa substansi apa-apa........
Inilah yang dinamakan anicca bro, namanya bisa berubah menjadi apapun tetapi substansinya tetap ada bro...

QuoteKita pun juga merupakan konvensi, dari lahir kita diberi nama hingga sekarang, dewasa, nama kita tetap sama, padahal sebenarnya bayi dan orang dewasa benar2 berbeda, bahkan setiap saat lahir dan batin kita berubah tanpa kecuali..........
Aku dan Kursi sama2 merupakan konsep dan konvensi, sama2 atta.
Aku dan kursi sama-sama anatta bro... (an : tidak ; atta : roh, jiwa, nyawa)

QuoteWalaupun pada hakikatnya tidak ada, konvensi benar2 berguna dalam kehidupan bermasyarakat. Kehidupan bermasyarakat adalah hutan belantara konvensi yang padat bagaikan hutan perawan. Jadi konvensi harus bisa digunakan dengan bijaksana dan bijaksana bahwa segala sesuatu hanyalah merupakan konvensi.
hakikatnya ada, tetapi berubah bro.... ini yang disebut anicca...

Semoga menjadi jelas.

_/\_

Bagai saluran radio yang berbeda, kita mendengar stasiun yang berbeda pula.

Saya mengetahui bahwa anda menyebut kursi pada hakikatnya ada, oleh karena itulah saya menyatakan yg sebaliknya yaitu kursi pada hakikatnya tidak ada.

Maksud saya dengan mengatakan Aku dan kursi adalah atta adalah, pada saat kita melekat dengan konsep kursi, pada saat itulah kursi menjadi atta. Pada saat kita melihat kursi sebagaimana adanya, kursi itu tidak ada, yang ada hanyalah perpaduan unsur2. Yang kita sebut kursi adalah konsep, ilusi, konvensi, persetujuan belaka, yang pada hakikatnya tidak ada.

Segala sesuatu yang diberi nama, kursi contohnya, menjadi ada hanya karena disepakati demikian, konvensi.... diluar itu kursi tidak ada, gunung, laut, sungai, anjing, semuanya tidak ada. Semua sebutan tersebut hanya konsep, sekali lagi...konvensi belaka... yg walaupun pada hakikatnya tidak ada konvensi ini berguna untuk berkomunikasi, tanpa konvensi kita tidak dapat berkata apa-apa.

Hakikat = atta.
Tanpa hakikat = anatta

Btw, apa yang anda maksud dengan hakikat sebuah kursi?
Title: Re: Kebenaran adalah satu atau banyak!
Post by: fabian c on 20 April 2010, 09:22:47 PM
Quote from: sobat-dharma on 20 April 2010, 05:03:07 PM
Sdr.Fabian, terimakasih atas masukannya. Saya sungguh menikmati indahnya perumpamaan yang anda buat tentang rumah. Memberikan wawasan baru :)

Namun saya perlu mengkoreksi beberapa salah paham anda mengenai kata-kata saya.

Yang kumaksudkan dengan "pemisahan antara subyek dan obyek" adalah ketika subyek dianggap sebagai substansi yang mandiri terpisah dengan obyek, begitu juga dengan obyek dianggap terpisah dari subyek: seolah-olah di antara keduanya berdiri semacam garis pemisah ilusif. Akibatnya muncul pandangan bahwa yang di luar subyek adalah obyek, sedangkan yang di luar obyek adalah subyek.  Maka dunia di luar subyek kemudian dianggap dunia "obyektif", "nyata", "terjadi", sedangkan dunia di luar obyek disebut sebagai "subyektif", "tidak nyata", "khayalan." Padahal baik subyek maupun obyek keduanya adalah ilusi.

Bro Sobat Dharma yang baik, maafkan mungkin saya memang kurang menangkap maksud bro Dharma, terutama mengenai garis pemisah ilusif, seperti apakah itu?

QuoteDalam bahasa sebuah syair, "obyek ada karena subyek, sedangkan subyek ada karena obyek." Keduanya saling mengadakan dan tidak nyata. Begitu obyek padam, subyek pun lenyap, sehingga tidak mungkin lagi ada obyek.

Yang ini juga saya kurang mengerti, bukankah objek dan subjek dapat berdiri sendiri-sendiri?

QuoteApa yang kumaksudkan dengan ketika "pemisahan subyek dan obyek", bukan berarti "subyek tidak melekat pada obyek", namun merupakan suatu kesadaran mengenai adanya substansi subyek dan substansi obyek yang seolah-olah berdiri sendiri dan terpisah satu sama lain. Dalam kasus ini, kegandrungan akan suatu obyek yang kemudian menjadi kemelekatan justru terjadi ketika subyek menyadari (dengan penuh khayal) kehadiran suatu obyek yang berada di luar dirinya yang harus ia miliki dan kuasai: hal ini tidak mungkin terjadi jika tiada subyek dan obyek sebagai substansi yang berdiri sendiri-sendiri.
Sepanjang yang saya ketahui kemelekatan bukan hanya terhadap objek yang berada di luar, kemelekatan juga terhadap segala sesuatu yang ada di dalam diri kita. Umpamanya apakah kita mau mendonorkan jantung atau mata kita, tentu tidak kan? Bila ada suatu perasaan bahagia muncul, tentu akan menyebabkan kita melekat. Selain itu ada berbagai kemelekatan terhadap pancakhandha lainnya.

hanya sekedar pendapat, maaf kalau ada yang tidak berkenan.

_/\_
Title: Re: Kebenaran adalah satu atau banyak!
Post by: fabian c on 20 April 2010, 09:46:40 PM
Quote from: hendrako on 20 April 2010, 07:23:32 PM
Bagai saluran radio yang berbeda, kita mendengar stasiun yang berbeda pula.

Saya mengetahui bahwa anda menyebut kursi pada hakikatnya ada, oleh karena itulah saya menyatakan yg sebaliknya yaitu kursi pada hakikatnya tidak ada.

Maksud saya dengan mengatakan Aku dan kursi adalah atta adalah, pada saat kita melekat dengan konsep kursi, pada saat itulah kursi menjadi atta. Pada saat kita melihat kursi sebagaimana adanya, kursi itu tidak ada, yang ada hanyalah perpaduan unsur2. Yang kita sebut kursi adalah konsep, ilusi, konvensi, persetujuan belaka, yang pada hakikatnya tidak ada.

Bro hendrako yang baik, dari apa yang saya ketahui yang dimaksud atta adalah jiwa atau roh, dalam bahasa sanskritnya disebut atman. Menurut pendapat saya kursi tetap tak akan memiliki jiwa atau roh (anatta) baik kita melekatinya atau tidak akan sama saja.

Kursi memang  benar merupakan perpaduan unsur-unsur yang kita sebut kursi adalah persetujuan (konvensi) belaka. Saya setuju pendapat bro Hendrako bahwa kursi bila terpisah-pisah namanya bukan kursi. Tetapi bagian-bagian kursi yang terpisah tersebut walau dibagi-bagi menurut unsur-unsurnya hingga sekecil partikel atom juga tetap ada, tetapi mengalami perubahan karena tidak kekal.

QuoteSegala sesuatu yang diberi nama, kursi contohnya, menjadi ada hanya karena disepakati demikian, konvensi.... diluar itu kursi tidak ada, gunung, laut, sungai, anjing, semuanya tidak ada. Semua sebutan tersebut hanya konsep, sekali lagi...konvensi belaka... yg walaupun pada hakikatnya tidak ada konvensi ini berguna untuk berkomunikasi, tanpa konvensi kita tidak dapat berkata apa-apa.
Segala sesuatu memang dinamakan demikian bila bersatu menjadi satu kesatuan misalnya kursi gunung, laut dsbnya, Sebenarnya ini adalah penamaan. Semua ini bila dianalisa hingga komponen yang terkecil tetap ada tetapi dengan nama yang berbeda, umpamanya dalam Abhidhamma dikatakan semua rupa terdiri atas kelompok-kelompok unsur yang disebut rupa-kalapa (partikel subatomik yang ukurannya lebih kecil daripada atom). Tetapi materi yang sangat kecil inipun tidak dikatakan kosong, hanya penamaannya yang berubah sesuai dengan konvensi.

QuoteHakikat = atta.
Tanpa hakikat = anatta

Btw, apa yang anda maksud dengan hakikat sebuah kursi?
Mungkin pengertian saya dengan bro hendrako agak berbeda dalam menanggapi apa yang dimaksud dengan atta, seperti yang sudah saya tulis diatas, arti dari atta (atman dalam bahasa sanskritnya) yang saya ketahui adalah berarti jiwa atau roh.

Bila salah mohon dikoreksi

_/\_
Title: Re: Kebenaran adalah satu atau banyak!
Post by: sobat-dharma on 20 April 2010, 10:28:24 PM
Sdr.Fabian, mohon maaf sekali saya tidak akan sempat menjelaskan semua hal ini dengan terperinci. Izinkanlah lain kali, jika saya memiliki waktu lebih longgar, baru akan kujelaskan. Untuk uraian hal tersebut akan lebih mudah jika seandainya kita bisa bercakap-cakap langsung, bukan dengan cara menulisnya. Namun, untuk kali ini saya akan menjawab sebagian saja pertanyaan dari anda.

Quote from: fabian c on 20 April 2010, 09:22:47 PM
Sepanjang yang saya ketahui kemelekatan bukan hanya terhadap objek yang berada di luar, kemelekatan juga terhadap segala sesuatu yang ada di dalam diri kita. Umpamanya apakah kita mau mendonorkan jantung atau mata kita, tentu tidak kan? Bila ada suatu perasaan bahagia muncul, tentu akan menyebabkan kita melekat. Selain itu ada berbagai kemelekatan terhadap pancakhandha lainnya.


Jika anda menyinggung tubuh, maka sebenarnya tubuh juga adalah bagian dari rupa (obyek). Jantung dan mata dalam hal ini adalah bagian dari rupa. Dalam Abhidhamma, rupa ada 28, termasuk di dalamnya adalah semuanya yang mengandung keempat unsur (tanah, api, air, angin). Sudah jelas seluruh tubuh kita dapat dibagi-bagi ke dalam empat unsur tersebut.

Soal kemelekatan pada pancaskandha (pancakandha), saya tunda dulu penjelasannya. Jadinya nanti akan terlalu panjang lebar. Sekalian jika ada lagi yang bertanya,  akan sekaligus kujawab. Agar tidak bolak-balik menjelaskannya.

Title: Re: Kebenaran adalah satu atau banyak!
Post by: Nevada on 21 April 2010, 11:34:00 AM
Quote from: sobat-dharmaSalam juga sdr.upasaka, senang bisa berdialog kembali dengan anda

Sebelumnya saya minta maaf terlebih dahulu, jika nanti tanggapan saya tidak optimal. Hal ini dikarenakan terbatasnya waktu dan padatnya aktivitas, saya tidak bisa menjawab dengan optimal. Mohon dimaklumi. Bila ada waktu yang lebih longgar, saya akan menulis dengan lebih lengkap sebagai jawaban atas persoalan ini. Trimakasih atas tanggapannya.

Tidak apa-apa. Saya juga terkadang membalas postingan agak lama...


Quote from: sobat-dharmaKetika saya mengatakan Pannati Dhamma adalah konsep yang berlawanan dengan Paramattha Dhamma saya hanya membahasnya secara konseptual. Tentu saja saya sepakat dengan anda bahwa keduanya adalah Dhamma yang tunggal dalam kenyataannya. Meskipun apa yang bertentangan dari segi gagasan tidak selalu berarti terpisah sama sekali dalam kenyataannya. Misalnya, gelap dan terang adalah dua konsep yang berlawanan, namun kita tahu kedua adalah kondisi yang berada di satu alam semesta yang sama dan saling melengkapi satu sama lain.  Tapi kita pun semuanya tahu bahwa "munculnya terang berarti hilangnya gelap", begitu juga sebaliknya., atau "yang terang pastilah bukan yang gelap"dan sebaliknya, sehingga keduanya dapat diandaikan beroposisi secara konsep.

Cara penjelasan demikian tidak terhindarkan dalam bahasa konseptual. Bahkan anda pun menggunakan kata Paramattha Sacca (kebenaran sejati) dan Samutti Sacca (kebenaran relatif) yang sebenarnya diam-diam menyiratkan adanya konsep pertentangan yang "sejati" versus yang "relatif". Dalam hal ini saya tidak melihat adanya perbedaan pendapat yang esensial antara kita berdua.

Bukan demikian yang saya maksud... Yang saya maksud adalah Paramattha Dhamma adalah kebenaran yang sesungguhnya. Sedangkan Pannati Dhamma adalah cara atau konsep untuk menyebut kebenaran itu. Seperti yang sudah dijelaskan oleh Bro Markosprawira, misalnya  Paramattha Dhamma adalah Sungai Ciliwung. Sedangkan Pannati Dhamma misalnya cara atau konsep untuk menyebut aliran air di daerah yang datar dan lambat itu. Karena itulah Paramattha Dhamma dan Pannati Dhamma tidak bisa disebut berlawanan.

Paramattha Sacca dan Samutti Sacca juga bukan dua hal yang bertentangan. Samutti Sacca adalah kebenaran yang relatif, sebab bergantung pada beberapa faktor. Sedangkan Paramattha Sacca adalah kebenaran sejati, berlaku untuk siapa pun, dimana pun dan kapan pun.

Quote from: sobat-dharmaPersoalan apakah di dalam teks Abhidhamma terkandung Paramattha Dhamma atau tidak. Nah, itu tergantung pada bagaimana kita mendeskripsikannya. Misalnya, sebuah teks (tulisan) tentu saja adalah bagian dari Paramattha Dhamma, karena ia adalah rupa (obyek) yang nantinya dapat ditangkap oleh indra. Sedangkan jika ada orang yang membaca teks tersebut, maka di situ terdapat citta yang mengetahui plus cetasika yang bersekutu dengan batinnya (subyek). Dan hal ini berlaku untuk teks apapun, tidak meski eksklusif untuk teks Abhidhamma, bahkan ketika seseorang membaca komik pun di situ hadir citta, cetasika dan rupa. Dalam hal ini teks Abhidhamma menunjuk pada Paramattha Dhamma itu, namun ia bukanlah Paramattha Dhmama itu sendiri. Dalam hal ini pun semestinya kita tidak terlalu berbeda pendapat.

Anda salah mengerti lagi... Paramattha Dhamma adalah kebenaran yang sesungguhnya. Contoh Paramattha Dhamma adalah nama (batin) dan rupa (fisik jasmani). Dan saya perlu tambahkan di sini, contoh Pannati Dhamma adalah konsep atau cara untuk menjelaskan nama dan rupa; misalnya nama dan rupa terdiri dari pancakhandha.

Sedangkan Paramattha Sacca adalah kebenaran sejati yang berlaku bagi siapa pun, dimana pun, dan kapan pun; misalnya adalah "anicca, dukkha dan anatta". Dan saya perlu tambahkan di sini, contoh Samutti Sacca adalah "seks di luar nikah itu haram". Bisakah Anda lihat perbedaannya?

Yang saya nyatakan bahwa Teks Abhidhamma (mungkin) mengandung Paramattha Sacca dan Samutti Sacca di dalamnya adalah demikian. Yang jelas, Teks Abhidhamma menguraikan detil gejolak batiniah yang secara tersirat akan memberi konklusi bahwa semua fenomena adalah aniica, dukkha dan anatta. Nah ini merupakan Paramattha Sacca yang terkandung dalam Teks Abhidhamma. Demikian pula Teks Abhidhamma mengandung Samutti Sacca, misalnya di Kitab Kathavatthu yang mencantumkan poin-poin kontroversial di seputar Buddhasasana.

Sebuah teks atau tulisan bukanlah Paramattha Dhamma. Anda harus jelas membedakan apa yang merupakan kebenaran sesungguhnya, dan apa yang merupakan konsep untuk menyebut suatu kebenaran... Teks atau tulisan merupakan suatu materi, dan materi ini merupakan kebenaran. Tapi materi ini bukan berarti teks atau tulisan. Sebab teks atau tulisan adalah cara atau konsep yang dipakai untuk menyebut materi ini.

Teks atau tulisan memang dapat ditangkap oleh indria penglihatan. Tapi teks atau tulisan bukanlah rupa. Rupa adalah fisik jasmani. Sedangkan teks atau tulisan adalah objek indria mata. Ketika indira mata mengadakan kontak dengan objek, maka itulah phasa. Ketika terjadi kontak, maka akan timbul perasaan. Di titik perasaan (vedana) inilah yang menentukan apakah seseorang memiliki kusala citta atau akusala citta; maupun sobhana cetasika atau asobhana cetasika. Demikian pula ketika membaca teks atau tulisan lainnya. Jika ingin mengetahui penjelasan lebih lanjut mengenai gejolak citta-cetasika saat membaca suatu teks, kita bisa bertanya pada Bro Markos. Namun yang jelas, saya kurang setuju untuk menyebut teks atau tulisan sebagai rupa (fisik jasmani).


Quote from: sobat-dharmaKetika saya mengatakan "semua eksistensi dan esensi di dunia ini lahir dari kehadiran subyek dan obyek dan interaksi antara keduanya" yang saya maksudkan sebagai "dunia" adalah alam Samsara. Eksistensi adalah keberadaan dan kehadiran subyek dan obyek yang saling mengadakan satu sama lain: obyek hadir  dalam subyek dan subyek hadir di antara obyek-obyek, seolah keduanya terpisah, namun sebenarnya sulit dipisahkan secara mutlak. Sedangkan Esensi adalah pembedaan yang dibangun dalam bentuk gagasan-gagasan yang bersifat terpisah satu sama lain, terdeferensiasi dan terklasifikasi yang terwujudnya sangat terbantu oleh keberadaan bahasa

Singkatnya, menurut pengetahuan saya yang masih sangat minim, dasar dari munculnya Samsara adalah pemisahan antara subyek (Citta dan Cetasika) dan obyek (Rupa). Hilangnya pemisahan antara subyek dan obyek adalah jalan menuju padamnya dukkha. Dalam hal ini berarti bahwa ketika hakikat citta, cetasika dan rupa berhasil dibongkar, maka sebenarnya mereka adalah tunggal dan hal ini merupakan jalan menuju ke pengetahuan yang sejati. Sankhata Dhamma tidak lagi benar-benar berdaya mempengaruhi karena pada dasarnya hanyalah ilusi, maka tersingkaplah Asankhata Dhamma: Nibbana (Nirvana). 

Demikian penjelasan saya yang sangat ringkas, semoga dapat membantu anda memahami apa yang kumaksudkan. Sebaliknya saya ingin bertanya apakah yang anda maksudkan dengan kata:  "objek yang diketahui tidak selalu merupakan rupa (fisik jasmani)" dan apa hubungannya pernyataan ini dengan diskusi kita? Setahu saya dalam Abhidhamma, obyek-obyek indra (ruparammana, saddaramana, gandharammana, rasarammana) semuanya termasuk dalam kategori rupa.

Perlu kita ketahui, bahwa interaksi antara subjek dan objek (dalam hal ini adalah indria dengan objek) dapat terjadi karena adanya kontak. Kontak dapat terjadi karena didukung oleh beberapa sebab. Oleh karena itu, apa yang Anda anggap sebenarnya subjek tidak berbeda dengan objek pun ternyata dapat berinteraksi ketika ada kontak. Lalu dimana posisi kontak bagi pandangan Anda? Indria bukanlah sama dengan objek indria. Objek indria bukanlah sama dengan indria. Indria bukanlah sama dengan kesadaran indria. Kesadaran indria juga bukanlah sama dengan objek indria. Misalkan ada seekor sapi putih dan seekor sapi hitam yang diikatkan dengan sebuah tali pada lehernya masing-masing. Menurut Anda, apakah kedua sapi itu sama?

Menurut saya tidak demikian... Ada kerancuan dalam komentar Anda: Jika Anda mengatakan bahwa "samsara muncul ketika ada pemisahan subjek dengan objek", maka sejak kapan ada pemisahan subjek dan objek? Anda mengatakan bahwa samsara itu muncul ketika pemisahan subjek dan objek terjadi. Maka secara implisit Anda menyatakan bahwa ada asal mula dari samsara => prima causa. Ini adalah pandangan eternalisme.

Ketika Anda mengatakan bahwa "hilangnya pemisahan subjek dan objek adalah akhir dukkha", maka ini merupakan pandangan yang memegang konsepsi bahwa aku adalah satu, dan satu adalah aku. Padahal untuk mengetahui wujud sejati kehidupan, saya pikir yang perlu kita lakukan adalah memahami bahwa "inilah anicca, inilah dukkha, inilah anatta"; "inilah rupa, inilah vedana, inilah sanna, inilah vinnana, inilah sankhara"; "inilah dukkha, inilah sebab dukkha, inilah terhentinya dukkha, dan inilah jalan menuju terhentinya dukkha". Justru ketika memegang pandangan bahwa citta-cetasika-rupa adalah satu (sama), maka ini merupakan pandangan yang mengakui bahwa ada atta (atman). Ini menurut saya yah...

Maksud saya, objek yang diketahui tidak selalu merupakan rupa (fisik jasmani). Sebab citta (kesadaran yang mengetahui) juga bisa mengetahui Nibbana.


Quote from: sobat-dharmaMungkin anda salah tangkap maksud saya, tidak ada maksud saya mengatakan adanya "tubuh halus." Citta yang saya maksud di sini adalah "yang mengetahui", yaitu menangkap obyek dan mengenali obyek. Menitikberatkan pada Citta berarti menggunakannya sebagai pintu masuk dalam meditasi., sebagaimana Meditasi Empat Unsur menggunakan rupa sebagai titik tolak. Tidak ada persoalan esensial yang perlu dipermasalahkan di sini. Apa yang andamaksudkan di atas tidak berbeda dengan apa yang kumaksud.

Yang saya maksud dengan "tubuh halus" adalah batin. Kalau memang tidak berbeda dengan yang Anda maksud, it's okay. :)


Quote from: sobat-dharmaKata yang "Ketika... maka..."yang anda gunakan untuk menjelaskan bagaimana Asankhata Dhamma direalisasi seolah-olah mengandaikan bahwa "Ketika kita menyelami Sankhata Dhamma, maka kita merealisasi Asankhata Dhamma." Kata ini tidak salah namun berpotensi menimbulkan kerancuan  makna. Jika tidak hati-hati kita bisa terjebak pada pengertian bahwa penyebab munculnya Asankhata Dhamma adalah akibat penyelaman terhadap Sankhata Dhamma. Hal ini kemudian terjebak pada pandangan seolah-olah Asankhata Dhamma dihasilkan atau diakibatkan oleh suatu kondisi yaitu penyelaman terhadap Sankhata Dhamma, sehingga mengandaikan bahwa Sankhata Dhamma itu memiliki sebab.Padahal sudah jelas, Asankhata Dhamma itu tidak dilahirkan dan tidak musnah.

Betul, bisa saja orang lain justru menangkap pemahaman yang seperti itu... Karena itu perlu saya tambahkan bahwa perealisasian Sankhata Dhamma akan bersamaan dengan perealisasian Asankhata Dhamma. Kita tidak bisa melihat apa itu Asankhata Dhamma. Tapi kita bisa melihat Sankhata Dhamma. Karena itu kita bisa merealisasikan Sankhata Dhamma... Dan ketika kita bisa melihat apa itu Sankhata Dhamma, dengan sendirinya akan timbul nana dan panna yang mengantarkan kita pada perealisasian Asankhata Dhamma.

Asankhata Dhamma dalam hal ini adalah Nibbana. Nibbana bukanlah akibat dari perealisasian Sankhata Dhamma. Sebab perealisasian kedua hal ini adalah bersamaan. Contoh analoginya adalah "ketika Anda memahami bagaimana korek api itu menyala, maka Anda akan paham bagaimana korek api itu padam".


Quote from: sobat-dharmaBetul.Semuanya adalah ilusi ketika seseorang telah tersadarkan! Hanya ketika yang belum tercerahkan seperti kita ini semuanya adalah nyata.

Ilusi adalah sesuatu yang tidak nyata namun terbiaskan sehingga seolah menjadi nyata. Sedangkan delusi adalah sesuatu yang nyata namun terbiaskan sehingga seolah menjadi tidak nyata.

Jika menurut Anda kehidupan dan dunia ini adalah ilusi, apa yang membuat Anda terkena ilusi ini? Siapa yang membuat ilusi ini? Apa penyebab munculnya ilusi ini? Dan Bagaimana mungkin anicca, dukkha dan anatta juga merupakan ilusi sedangkan mereka sungguh nyata dan dapat dibuktikan?

Dan bagaimana bisa tersadarkan sedangkan Anda sendiri hanyalah sekumpulan ilusi?


Quote from: sobat-dharmaKalau hal tersebut nyata (sejati) mengapa menghasilkan dukkha?

Rupanya Anda menganggap bahwa apa yang nyata merupakan sejati... Sekadar perbandingan pembendaharaan kata dari saya:
- "nyata" adalah sesuatu yang benar ada dan benar terjadi, dan bukanlah rekayasa
- "sejati" adalah sesuatu yang bersifat kompeten dan kredibel, sesuatu yang bersifat apa adanya, sesuatu yang bersifat tetap (permanen)

Citta-cetasika-rupa dan segala sesuatu yang bersyarat akan menghasilkan dukkha, sebab mereka timbul karena beberapa sebab. Karena timbul dari beberapa sebab, makanya segala sesuatu tidak kekal. Karena tidak kekal, maka segala sesuatu tidak ada yang memuaskan.

Jika dibalik lagi pertanyaannya adalah "kenapa segala sesuatu itu timbul karena beberapa sebab?" Jika ditanya demikian, maka jawaban yang baik adalah "karena segala sesuatu adalah saling mengondisikan". Tidak ada sebab pertama.

Pertanyaan saya untuk Anda: "Jika hal-hal tersebut adalah ilusi, mengapa ada kebenaran sejati? Bagaimana caranya melenyapkan ilusi dengam menggunakan ilusi?"


Quote from: sobat-dharmaKalau semua penyebab itu berhenti baru terdapat Nibbana, berarti Nibbana muncul setalah adalnya suatu sebab yaitu: "ketika semua sebab berhenti". Maka istilah ini masih mengandaikan Nibbana ada karena suatu sebab.

Nah, ini adalah permainan kata-kata Anda sendiri... :)

"Semua sebab itu berhenti" bukanlah merupakan penyebab yang lain, sebab tidak ada penyebab lain yang memunculkan "semua sebab itu berhenti".


Quote from: sobat-dharmaAnda bahkan masih terikat pada kata "sebab"bahkan ketika untuk menjelaskan mengapa Nibbana tidak musnah.

Tentu saja saya masih memakai terminologi "sebab". Sebab segala sesuatu bisa ada, berproses dan musnah karena sebab. Memangnya apa sebab Anda tidak lagi terikat pada kata sebab?


Quote from: sobat-dharmaKarena pada dasarnya Nibbana tidak bersebab dan tidak musnah serta tidak berubah-ubah, maka tidak ada "sebab yang berhenti" dalam realisasi nibbana.

Jika tidak ada "sebab yang berhenti" dalam perealisasian Nibbana, lantas apa yang terjadi dalam perealisasian Nibbana? Jika segala sesuatu muncul karena sebab, segala sesuatu yang muncul adalah dukkha, maka akhir dari dukkha seharusnya adalah berhentinya sebab. Akhir dari dukkha tentu adalah Nibbana.

Jika Anda menyatakan bahwa Nibbana bukan direalisasi dengan cara menghentikan penyebab, maka saya pikir Anda tidak setuju dengan "Kebenaran Mulia Ketiga: Terhentinya Dukkha (Dukkhanirodha)".


Quote from: sobat-dharmaBenih Kebuddha adalah potensi setiap makhluk dalam mencapai Kebuddhaan. Kalau tidak ada benih Kebuddhaan bagaimana mungkin makhluk hidup mencapai Kebuddhaan. Karena Nibbana tidak bersebab, tidak musnah dan tidak berubah-ubah, maka sebenarnya ia merupakan potensi yang sudah menetap di dalam setiap makhluk hidup. Hanya saja ia tertutup kabut ilusi ketidaktahuan yang menyelubunginya, sehingga menyebabkan makhluk hidup mengira citta-cetasika-rupa sebagai sesuatu yang nyata, padahal mereka hanyalah ilusi.

Ini mirip dengan kata-kata motivator bahwa "semua orang memiliki benih kesuksesan". Padahal ada beberapa orang yang memang sama sekali tidak punya peluang untuk sukses. Bagaimanapun juga, saya menerima pendapat Anda tentang "benih Kebuddha-an" sebagai kata-kata motivasi. :)

Menurut Anda, citta-cetasika-rupa merupakan ilusi. Darimana munculnya Buddha itu? Saya pikir itu juga muncul dari ilusi... Apakah Anda setuju?


Quote from: sobat-dharmaBenih keserakahan-kemelekatan setiap makhluk hidup adalah ketidaktahuan (avidya atau avijja)

Benar, saya sependapat dengan Anda. Lalu jika dikatakan ada "benih Kebuddha-an", apakah setiap makhluk hidup sudah memiliki "vidya" atau "vijja"?


Quote from: sobat-dharmaJika anda melihat soal "terhenti"dan "berputar"adalah soal gerak seperti halnya gerak biasa, maka demikianlah adanya.  Tapi ingatlah, yang "terhenti"dan "berputar"adalah Samsara. Nibbana tidak bergerak seinci pun (ini metafor :) ). Oleh karena itu Nibbana (dalam hal ini yang kumaksudkan adalah Hakikat Kebuddhaan) senantiasa  "ada" sebagai potensi yang ada di dalam setiap makhluk, menunggu kita untuk menyadarinya...(Sekali lagi ini cuman metafor... Bahasa kita terlalu terbatas untuk menjelaskannya)

Memang demikianlah bahwa samsara akan terus berputar selama masih ada avijja. Ketika avijja lenyap, maka itulah terhentinya samsara. Terhentinya samsara inilah Nibbana. Contoh analoginya adalah: "Ketika Anda terus berlari, maka itu adalah samsara; akan membuat Anda letih. Ketika Anda tidak lagi berlari, maka itu adalah terhentinya samsara; yakni Nibbana."

Jadi Nibbana adalah istilah lain untuk "terhentinya samsara". Yang sampai saya tidak mengerti adalah bagaimana Anda berpandangan bahwa "terhentinya samsara" dan "berputarnya samsara" adalah sama? Apakah "terus berlari" dan "tidak berlari" adalah sama?


Title: Re: Kebenaran adalah satu atau banyak!
Post by: adi lim on 22 April 2010, 08:17:52 PM
QuoteQuote from: sobat-dharma
Jika anda melihat soal "terhenti"dan "berputar"adalah soal gerak seperti halnya gerak biasa, maka demikianlah adanya.  Tapi ingatlah, yang "terhenti"dan "berputar"adalah Samsara. Nibbana tidak bergerak seinci pun (ini metafor  ). Oleh karena itu Nibbana (dalam hal ini yang kumaksudkan adalah Hakikat Kebuddhaan) senantiasa  "ada" sebagai potensi yang ada di dalam setiap makhluk, menunggu kita untuk menyadarinya...(Sekali lagi ini cuman metafor... Bahasa kita terlalu terbatas untuk menjelaskannya)

Memang demikianlah bahwa samsara akan terus berputar selama masih ada avijja. Ketika avijja lenyap, maka itulah terhentinya samsara. Terhentinya samsara inilah Nibbana. Contoh analoginya adalah: "Ketika Anda terus berlari, maka itu adalah samsara; akan membuat Anda letih. Ketika Anda tidak lagi berlari, maka itu adalah terhentinya samsara; yakni Nibbana."

Bro Upasaka :
Jadi Nibbana adalah istilah lain untuk "terhentinya samsara". Yang sampai saya tidak mengerti adalah bagaimana Anda berpandangan bahwa "terhentinya samsara" dan "berputarnya samsara" adalah sama? Apakah "terus berlari" dan "tidak berlari" adalah sama?


berlari itu capek, cepat lelah, nafas ngos-ngosan !
tidak berlari itu bisa duduk, diam, rileks, bisa meditasi, nafas tidak ngos-ngosan :))
_/\_
Title: Re: Kebenaran adalah satu atau banyak!
Post by: Nevada on 22 April 2010, 10:36:05 PM
Quote from: adi lim on 22 April 2010, 08:17:52 PM
Bro Upasaka :
Jadi Nibbana adalah istilah lain untuk "terhentinya samsara". Yang sampai saya tidak mengerti adalah bagaimana Anda berpandangan bahwa "terhentinya samsara" dan "berputarnya samsara" adalah sama? Apakah "terus berlari" dan "tidak berlari" adalah sama?


berlari itu capek, cepat lelah, nafas ngos-ngosan !
tidak berlari itu bisa duduk, diam, rileks, bisa meditasi, nafas tidak ngos-ngosan :))
_/\_

Benar, Bro. Kurang lebih memang seperti itu... Saya punya contoh kalimat perbandingan lain mengenai samsara dan Nibbana ini...

- Samsara = memiliki nafsu keinginan
- Nibbana = tidak memiliki nafsu keinginan

Apakah "memiliki nafsu keinginan" sama dengan "tidak memiliki nafsu keinginan"?
Pertanyaan di atas hanya pertanyaan retorik, jadi tidak perlu dijawab. :)
Title: Re: Kebenaran adalah satu atau banyak!
Post by: sobat-dharma on 23 April 2010, 01:22:24 AM
Mencermati beberapa tanggapan yang muncul terhadap pendapat saya, dapat disimpulkan jika saya meneruskan pola diskusi yang berlangsung seperti hal tersebut maka akan berdampak terhadap kurang berfaedahnya dialog yang kita lakukan, apalagi ditambah dengan adanya sentimen antar aliran yang bisa memperkeruh. Oleh karena itu, saya memutuskan untuk tidak memberikan jawaban-jawaban yang bersifat reaktif semata, namun mencoba menjelaskan pendapat-pendapat saya dengan lebih terperinci, meskipun hal ini berarti membutuhkan waktu dan tenaga yang lebih panjang untuk menguraikan semuanya, yang berarti tidak bisa menjawab tuntas dengan sekali postingan. Karenanya, mohon sebelum saya selesai menguraikan seluruh pendapat saya tidak diinterupsi dulu, agar pemahaman yang terbentuk lebih lengkap. Terimakasih

Sebagai pembuka, saya akan memulai dengan kutipan berikut ini:

Quote from: upasaka on 21 April 2010, 11:34:00 AM
Seperti yang sudah dijelaskan oleh Bro Markosprawira, misalnya  Paramattha Dhamma adalah Sungai Ciliwung. Sedangkan Pannati Dhamma misalnya cara atau konsep untuk menyebut aliran air di daerah yang datar dan lambat itu.

Tentu saja saya hampir sepakat  sepenuhnya dengan contoh yang dibwat oleh sdr. Markosprawira. Namun, sayangnya hal ini seringkali di sederhanakan dengan mudah. Nah dalam hal ini saya akan memulai penguraian saya dengan menjelaskan bahwa bagaimana hubungan antara konsep dan kondisi apa adanya tidak semudah yang kita bayingkan selama ini.

Misalkan kita rumuskan contoh tentang sungai ciliwung di atas dalam rumusan berikut:
Konsep: "sungai ciliwung" (selanjutnya disebut "A")
Kondisi apa adanya: "aliran air di daerah yang datar dan lambat itu." (selanjutnya disebut "B")

Selanjutnya mari kita uji pendapat ini.

Pada tataran tertentu bisa diterima A adalah konsep, sedangkan B adalah kondisi apa adanya. Mengapa A disebut sebagai konsep. Hal ini dikarenakan "Sungai Ciliwung" adalah sebuah label nama yang dipakai untuk menunjuk pada B. Maka benar jika A adalah konsep yang menunjuk pada B. Sedangkan B dalam hal ini adalah sesuatu yang ditunjuk oleh A, jadi asumsinya B adalah kondisi yang sebenarnya yang diwakili oleh A yang merupakan konsep semata.

Dalam hal ini, sudah pasti A adalah konsep semata. Persoalan ini sudah jelas dan tidak menyebabkan perbedaan pendapat antara kita.

Persoalan selanjutnya adalah apakah benar B adalah kondisi apa adanya? Jika demikian kita harus mengasumsikan terlebih dahulu bahwa B, yaitu pernyataan "aliran air di daerah yang datar dan lambat itu" mewakili keadaan sebenarnya.Benarkah demikian?

Pertama, jika B dibandingkan dengan A, maka mungkin dapat dikatakan pernyataan B lebih kongkrit dari A. Namun, apakah benar "lebih kongkrit" berarti langsung menunjukkan kondisi apa adanya. Pada nyatanya B bukanlah yang paling kongkrit, sebab B pun adalah sebuah pernyataan yang mewakili sesuatu yang dialami oleh si pengamat dengan inderanya. Yang kemudian dinyatakan dalam konsep B. Maka pengamatan dengan pengalaman indrawi yang tak disimpulkan dengan pikiran gagasan atau kata apapun sebenarnya adalah "yang apa adanya" (Ini kesimpulan sementara).

Kedua, melihat pada pandangan yang di atas, B pun sebenarnya adalah sekumpulan konsep yang terdiri dari sekumpulan kata yaitu "aliran", "air"., "di daerah", dst. B sendiri sebenarnya adalah konsep yang tersusun dari sejumlah kata-kata. Karena merupakan kumpulan dari gagasan-gagasan, maka B sebenarnya tidak jauh dari A. Jika A dikatakan sebagai gagasan karena ia menunjuk pada sesuatu yang di luar dirinya dan bukan obyek itu sendiri, maka B pun demikian. Jika terus menerus dilakukan cara yang sama untuk mendefinisikan satu gagasan dengan gagasan lain, maka sebenarnya kita terjebak pada rantai gagasan yang tak berujung yang saling menunjuk ke yang lain, namun tidak pernah menjadi dirinya sendiri.

Kata "itu" pada akhir kalimat, mungkin sebenarnya yang paling mendekati kondisi "apa adanya," karena mencerminkan secara tidak langsung antara si pengamat dengan yang diamati dengan kesimpulan yang paling minim. Namun kata "itu" pun sebenarnya hanya merupakan suatu gagasan untuk menunjuk sesuatu yang di amati, di sini telah terdapat gagasan mengenai jarak. Misalnya "itu" seringkali dibedakan dengan "ini", yang pertama mewakili jarak antara pengamat dan yang diamati  yang cenderung jauh, sedangkan yang terakhir mewakili jarak antara pengamat dan yang diamati yang cenderung dekat.

Dengan kata lain, ketika muncul sebersit kesimpulan dan penamaan saja di dalam kepala kita mengenai "sesuatu"maka di situ sebenarnya sudah terbit gagasan, yang berarti di sanalah kebenaran menjadi relatif, yang berarti bukan kondisi apa adanya.

Ketiga, tidak mudah mengandaikan suatu situasi yang bebas dari gagasan ataupun bahasa sama sekali. Hal ini dikarenakan tidak sedetik pun kita (yang masih awam) bisa bebas dari kemelekatan pada bahasa. Bahkan ketika kita melihat sesuatu pun dalam pikiran kita secara otomatis terbersit sebuah gagasan. Misalnya: "ini air", keybord" dll.  Bahkan ketika kita melamun pun kita menggunakan kata-kata untuk menggambarkan gagasan kita (misalnya "bosan ah..", "kurang ajar", "nggak enak" ) yang meski tidak diucapkan namun menjadi suara-suara batin yang memproduksi makna-makna di kepala kita.

Bahkan jika tersersit makna di kepala kita bahwa "ada sesuatu" , hal itu aja sudah mengandung gagasan di dalamnya, yang berarti bukan lagi sesuatu yang "apa adanya." Misalkan jika terjadi di tengah-tengah malam, pada seseorang yang melihat adanya benda berwarna putih-putih melambai-lambai di tengah-tengah kegelapan. Namun tentu saja gagasan "ada sesuatu" masih jauh lebih netral dibandingkan ketika orang tersebut mulai berpikir "ada benda putih yang bergerak"atau "ada kain putih yang berkibar-kibar." Pada kasus ini, semakin tegas daya pembedaan yang dimiliki seseorang akan sesuatu,  maka gagasan yang terbentuk semakin jelas pula, yang berarti semakin jauh pula dari kondisi awalnya, yaitu ketika daya pembedaannya bersifat masih kabur atau tidak tegas (yang bukan berarti tidak memiliki daya pembeda). Gagasan adanya "sesuatu"sifatnya lebih kabur dari "benda putih bergerak" yang sifat pembedanya lebih kabur daripada "ada kain putih berkibar-kibar."  Meski demikian, walau kabur, sebagai gagasan tetap terkandung daya pembeda di dalamnya. "Ada sesuatu" bisa dibedakan dengan "tidak ada sesuatupun" yang masing-masing adalah sebuah gagasan.

Ketika itu, saat terbersit satu saja gagasan dalam kepala kita, ia telah menjadi Pannati Dhamma, bukan Paramattha Dhamma. Bahkan ketika kita menggolongkan antara "Pannati Dhamma" dan "Paramattha Dhamma" sebenarnya kita sudah terjebak dalam Pannati Dhamma. Begitu juga ketika kita membeda-bedakan subyek dengan obyek, ada dengan tiada, sejati dengan palsu, dan sebagainya, mau tudak mau yang terjadi adalah kita mulai terjebak dalam dunia gagasan. 

Keempat, lantas bagaimana kita memahami kondisi "apa adanya." Ada sebagian orang mengira kondisi "apa adanya" sama dengan kondisi "obyektif materiil." Namun gagasan ini pantas dibantah karena jelas sangat dipengaruhi oleh konsep materialisme dan idealisme sebagaimana yang dikenal juga dalam dunia filsafat Barat. Meskipun, secara lebih luas, pandangan demikian bukan hanya dominasi dunia filsafat Barat, namun juga beredar di kalangan Buddhis tertentu dengan cara pemosisian yang kurang lebih serupa.

Dalam hal ini seringkali diandaikan bahwa apa yang disebut sebagai "apa adanya" adalah keadaan benda-benda jasmaniah secara utuh tanpa penafsiran subyek di dalamnya. Lantas diasumsikan terdapat dunia yang mandiri terpisah-pisah sendiri antara subyek dan obyek., di mana terdapat dunia obyek (dunia benda-benda) yang berdiri terpisah tanpa kehadiran subyek dan terdapat dunia subyek (dunia gagasan-gagasan) yang hanya diliputi oleh dua kemungkinan: sejalan dengan dunia obyek atau menyimpang darinya. Apabila sesuai dengan dunia obyek, maka dianggap "nyata-obyektif", sedangkan ketika tidak, dianggap sebagai  "imaji-subyektif." Konsekuensi dari pandangan ini adalah munculnya anggapan bahwa yang disebut sebagai "apa adanya"adalah dunia obyektif tanpa campur tangan interpretasi subyek. Sedangkan subyek dikatakan berada di jalan yang benar apabila ia sejalan dan tidak bertentangan dengan realitas dunia obyektif.

Beberapa pertanyaan yang muncul terhadap pandangan ini adalah, apakah benar terdapat sebuah dunia obyektif yang sama sekali terlepas dari gagasan subyektif? Kalaupun seandainya gagasan tersebut diterima, bahwa adanya dunia obyektif tanpa kehadiran subyek, apakah yang dimaksud sebagai "apa adanya" dalam Paramattha Dhamma sama dengan pengertian tersebut? Dari dua pertanyaan ini saya akan membahas lebih lanjut.Mohon-mohon teman-teman sabar menunggu saya mengupas persoalan ini secara terperinci dan komprehensif.

(Bersambung..)