News:

Semoga anda berbahagia _/\_

Main Menu

[INFO] Puyer, Nasibmu di Mata 'Jas Putih'

Started by markosprawira, 13 February 2009, 12:36:19 PM

Previous topic - Next topic

0 Members and 1 Guest are viewing this topic.

markosprawira

Puyer, Nasibmu di Mata 'Jas Putih'

RACIKAN KHUSUS - Edisi Juni 2008 (Vol.7 No.11), oleh daniel

----------------------------------------------------------

Perang antara kelompok pro dan kontra puyer di kalangan dokter sampai saat ini terus berlanjut. Namun semua itu hendaknya berpulang pada kepentingan pasien.
Tak seperti biasanya, dalam beberapa bulan terakhir ini forum mailing list angkatan penulis penuh dengan puluhan message setiap hari. Salah satu pemicunya adalah message dari teman sejawat penulis, sebut saja dr Yuli, yang menyatakan, puyer itu racun! Spontan saja pernyataan itu memicu perdebatan teman-teman sejawat lainnya. Apa salahnya puyer? Bukankah praktik peresepan puyer sudah berlangsung lama?

Teman sejawat penulis itu tentu saja tidak serta merta menyalahkan puyer tanpa alasan. Beliau 'melemparkan' beberapa contoh peresepan obat yang ditulis oleh - meminjam istilahnya - 'dokter zaman sekarang'. Kasus pertama, seorang anak berusia 6 bulan menderita batuk pilek sejak 1 minggu. Karena tak kunjung sembuh, oleh ibunya dibawa ke dokter. Setelah diperiksa ini itu, ibunya diberi resep obat sebagai berikut: augmentin syrup 3x1 sendok teh/hari, bronchophyllin syrup 3x1/2 sendok teh/hari, dan racikan puyer (romilar 2 mg, trifed _ tablet, venterol 1 mg, ventolin 0,5 mg, xyzal 1/3 tablet) 3x1 bungkus/hari.

Kasus kedua, seorang dokter spesialis anak meresepkan obat kepada anak batuk pilek 1 minggu sebagai berikut: claneksi dry syrup 125 mg, transpulmin syrup, parasetamol syrup, dan racikan puyer (salbutamol 2 mg, mucopect 30 mg, kenacort, INH 300 mg, vitamin B 12,5 mg).

"Masa batuk pilek satu minggu anak 6 bulan dikasi obat asma, antibiotik, antialergi, antibatuk..crazy! (yang ada anaknya mati bukan karena batuk pilek tapi karena OBAT)," imbuhnya lagi.

Di Bangku Kuliah
Selama masa pendidikannya, seorang calon dokter diajarkan cara-cara meracik puyer. Di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, ilmu racik-meracik puyer diajarkan oleh Departemen Farmasi selama 2 minggu di semester 7-8 dan 3 minggu di semester 9-10 (berdasarkan kurikulum lama).

Meracik puyer layaknya memasak di dapur. Obat-obat yang diperlukan ditimbang sesuai keperluan. Lalu, digerus dan dicampur dalam mortir. Setelah itu, dibagi-bagi secara merata ke dalam beberapa kertas pembungkus. Tampak sederhana, bukan? Tapi di balik itu, tersimpan berbagai perdebatan mengenai layak tidak layak, rasional irrasional terhadap praktik puyer ini.

Bagi yang kontra beralasan, pertama, puyer tidak higienis. Saat menggerus, alur dan mortir yang digunakan sering tidak dalam keadaan bersih, bahkan bekas pakai dari racikan resep obat sebelumnya. Jadi bukan tidak mungkin puyer yang akan dibuat tercampur dengan sisa-sisa obat yang menempel pada dinding mortir dari resep sebelumnya.

Kedua, komposisi puyer tidak tercampur rata dalam tiap kertas pembungkus. Setelah obat digerus dan dicampur dalam mortir, obat dibagi-bagi dengan mata telanjang, tidak ditimbang. Jadi besar kemungkinan komposisi puyer berbeda antar kertas pembungkus.

Ketiga, peresepan puyer sangat irrasional. Ambil contoh kasus diatas. Dalam satu puyer terkandung 5-6 macam obat. Maka timbullah pertanyaan miris, bagaimana interaksi antar obat dalam satu puyer tersebut? Apakah obat yang semula berbentuk tablet mempunyai stabilitas yang sama setelah digerus menjadi bubuk? Lebih jauh lagi, bila pasien belakangan diketahui menderita efek samping, bagaimana cara kita melacak obat mana yang menimbulkan efek samping itu?

Mereka yang masih pro tidak mau kalah. Menurut mereka, tidak semua obat yang tersedia di pasaran mempunyai bentuk sediaan sirup atau drop. Kalaupun ada, harganya lebih mahal. Hal itu bisa digambarkan sebagai berikut, untuk mendapatkan parasetamol 500 mg, cukup menebus 1 butir tablet parasetamol 500 mg dengan harga Rp 200; bandingkan dengan membeli satu botol parasetamol sirup 100 mg/5 ml isi 60 ml seharga Rp 10.000 atau lebih tergantung merek, jadi untuk mendapatkan dosis 500 mg diperlukan 25 ml yaitu Rp 4000an. Jadi setelah dihitung-hitung, puyer masih ideal di negeri kita yang jumlah orang miskinnya cukup banyak.

Selain itu, dosis obat dapat disesuaikan dengan berat badan anak sehingga kejadian dosis berlebih dapat dicegah. Pemberiannya jauh lebih mudah, cukup sekali teguk setiap kali hendak minum. Bayangkan betapa susahnya bila harus memberikan anak beberapa macam obat dari botol-botol yang berbeda.

Salah Indikasi?
Permasalahan lain dari peresepan puyer adalah indikasi pemakaiannya. Puyer paling sering diberikan pada bayi dan anak dengan keluhan batuk pilek (common cold). Berbagai studi epidemiologi menunjukkan bahwa penyebab tersering dari common cold adalah virus, bukan bakteri. Pada kenyataannya, seperti kasus di atas, antibiotik sering diberikan. Bahkan dicampur pula dengan cough suppressant (dextrometorphan, kodein), dan dekongestan (efedrin).

American Academy of Pediatrics Committee on Drugs melalui publikasinya dalam Pediatrics 1997 menegaskan, belum ditemukannya studi sahih mengenai efektivitas dan keamanan dari kodein dan dextrometorphan. Selain itu, menekan batuk justru lebih berbahaya bagi pasien karena batuk adalah mekanisme normal tubuh untuk mengeluarkan benda asing. Batuk karena infeksi virus biasanya tidak akan bertahan lama, dan dapat diobati dengan minum banyak cairan. Lagi-lagi perihal peresepan antibiotik, cough suppressant, dan dekongestan pun menuai banyak perdebatan di kalangan "jas putih".

Praktik di Lapangan
Sudah sering kita ketahui bahwa ilmu kedokteran itu tidak saklek. Apa yang dibaca di jurnal atau textbook belum tentu sama dengan apa yang ditemukan di lapangan. Begitu juga dengan praktik puyer ini. Mereka yang pro puyer beralibi bahwa anak yang diberi puyer lebih cepat sembuh daripada yang tidak diberi. Selain itu, studi epidemiologi mengenai etiologi common cold lebih banyak berasal dari luar negeri. Belum ada studi di Indonesia. Jadi mungkin saja di Indonesia etiologi common cold disebabkan oleh bakteri. Buktinya, anak batuk pilek yang diberi antibiotik lebih tokcer. Begitu pendapat dr Yohanes yang berpraktik di daerah Bekasi.

Sementara itu, dr Sukapdji yang berpraktik di daerah Senen, mengomentari perihal penambahan cough suppressant dan dekongestan. Menurutnya, meskipun secara penelitian belum diketahui efektivitasnya, tapi pemberian cough suppressant dan dekongestan tetap dirasa perlu. Cough suppressant dan dekongestan diyakininya dapat mengurangi gejala batuk pilek anak, sekaligus juga mengurangi kepanikan orang tua si anak. "Mana ada sih orang tua yang tega melihat anaknya terus batuk dan meler," selorohnya.

Di pihak lain, kelompok yang kontra puyer mengaku tidak mudah memberi edukasi kepada keluarga si anak. Dr Wepe, misalnya," Saya juga nggak setuju yang namanya puyer.. tapi kalau melihat dari fakta kehidupan sehari-hari susah banget mengubah persepsi masyarakat. Selama saya jaga klinik, kebanyakan orang tua yang membawa anaknya berobat, dengan suara yang lantang dan jelas langsung meminta saya meresepkan anaknya obat puyer, dengan alasan lebih manjur. Lalu, ketika saya menerangkan panjang lebar mengenai puyer kepada mereka, alhasil mereka hanya bengong. Dan sepengamatan saya, mereka tidak balik lagi ke saya atau pindah ke hari yang lain. Pernah juga sewaktu jaga klinik di daerah Manggarai, saya menerangkan tentang puyer, risk and benefit-nya beserta fakta bahwa puyer hanya ada di Indonesia. Satu-satunya tanggapan mereka adalah 'Wah dokter ternyata keren juga, pernah keluar negeri ya dok?!!!!"

Rintangan tak hanya dari keluarga si anak tetapi terkadang juga kepentingan klinik atau rumah sakit tempat dokter tersebut berpraktik. Hal itu sempat dialami dr Kusumastuti. "Yang saya lihat selama ini, kalau pasien itu diedukasi lama, pasti mereka sudah merasa resah dan gelisah menunggu saya selesai menjelaskan. Belum lagi kalau di tempat kerja kita menghendaki kita memberikan obat yang banyak biar pasiennya merasa cepat sembuh. Saya sering dimarahi oleh perawat karena tidak memberikan antibiotik. Kata mereka (perawat-red) kalau saya tidak meresepkan antibiotik, mereka yang akan dimarahi (oleh pemilik klinik). Ketika saya menjelaskan alasannya, mereka tetep merasa mereka benar, karena semua dokter yang ada di klinik itu selalu memberikan antibiotik. Ketika saya ajukan bukti penelitian, mereka hanya menjawab 'Itu kan hanya penelitian bukan dalam praktek....'. Saya sedih karena mereka adalah orang medis, tetapi kenapa mereka tidak mau buka mata?" keluhnya.

Lalu bagaimana dengan praktik di luar negeri? Apakah benar hanya Indonesia yang 'melegalkan' praktik puyer? Kuskus, dokter umum yang berpraktik di klinik Buin Batu Nusa Tenggara, menuturkan," Saya pernah bertanya dengan dokter bule disini. Kalau ada pasien batuk pilek biasanya diberikan apa? Secara singkat dokter bule itu menjawab, 'Saya tidak pernah beri obat apa-apa. Just paracetamol. That's all!' Kenyataan berbeda ketika saya terapkan ke pasien lokal. Mereka semua protes,'Dok, masa saya tidak dapat obat? Kan hidung saya mampet. Kasih apa kek, vitamin juga boleh.'"

Yeo, dokter umum yang juga bekerja sebagai asisten peneliti di salah satu laboratorium biologi di Jakarta, punya pendapat lain. "Saya mempunyai teman seorang dosen farmasi yang pernah meraih gelar doktor di Monash University (Australia). Menurut beliau, penggunaan puyer di Australia masih ada. Apoteker yang menganalisa resep, termasuk menghitung dosis, menilai interaksi obat dan memutuskan apakah dibungkus dalam kertas atau ke dalam kapsul. Kalau dibungkus dalam kertas kesalahan dosis akibat obat masih menempel di kertas lebih besar kemungkinannya dibandingkan dengan dikemas di dalam kapsul. Di Australia, 'tukang ngulek' puyernya tidak mesti seorang apoteker tetapi apoteker tetap mengawasi. Jadi intinya ada pengawasan oleh pharmacist."

Perang antara kelompok pro dan kontra puyer di kalangan dokter sampai saat ini terus berlanjut. Rasanya benar kata Prof dr Iwan Dwiprahasto MMedSc PhD dalam pidato pengukuhan guru besarnya di UGM,"Menggeruskan tablet untuk dijadikan puyer, kapsul, bahkan sirup untuk sediaan anak, atau menggeruskan tablet atau kaplet untuk dijadikan salep dan krim adalah bentuk off label use yang jama ditemukan. Hal itu telah terjadi secara turun temurun, berlangsung selama puluhan tahun tanpa ada yang sanggup menghentikannya."

Selagi belum ada aturan yang jelas, rasanya sah-sah saja bagi mereka yang tetap meresepkan puyer. Namun hendaknya semua itu berpulang kepada kepentingan pasien, dalam hal ini, bayi dan anak. Gabriela Mistral, peraih Nobel dalam bidang sastra dari Chili, memperingatkan melalu penggalan syairnya: "We are guilty of many errors and many faults, but our worst crime is abandoning the children, neglecting the fountain of life. Many of the things we need can wait, the child cannot wait. Right now is the time his bones are being formed, his blood is being made, and his senses are being developed. To him we cannot answer 'tomorrow'. His name is Today."

(Felix)

http://www.majalah-farmacia.com/rubrik/one_news.asp?IDNews=801


FZ

Quote from: markosprawira
Teman sejawat penulis itu tentu saja tidak serta merta menyalahkan puyer tanpa alasan. Beliau 'melemparkan' beberapa contoh peresepan obat yang ditulis oleh - meminjam istilahnya - 'dokter zaman sekarang'. Kasus pertama, seorang anak berusia 6 bulan menderita batuk pilek sejak 1 minggu. Karena tak kunjung sembuh, oleh ibunya dibawa ke dokter. Setelah diperiksa ini itu, ibunya diberi resep obat sebagai berikut: augmentin syrup 3x1 sendok teh/hari, bronchophyllin syrup 3x1/2 sendok teh/hari, dan racikan puyer (romilar 2 mg, trifed _ tablet, venterol 1 mg, ventolin 0,5 mg, xyzal 1/3 tablet) 3x1 bungkus/hari.

Kasus kedua, seorang dokter spesialis anak meresepkan obat kepada anak batuk pilek 1 minggu sebagai berikut: claneksi dry syrup 125 mg, transpulmin syrup, parasetamol syrup, dan racikan puyer (salbutamol 2 mg, mucopect 30 mg, kenacort, INH 300 mg, vitamin B 12,5 mg).

Ini bukan salah di puyernya.. tapi salah di dokter meresepkan. Saya pribadi baca resep ini ampe :-SS

Mengenai masalah puyer / pulveres kadang diperdebatkan mengenai teknik pengerjaannya yang harus benar2 bersih. Makanya idealnya di dalam apotek harus disediakan 2 atau lebih lumpang/mortir dan stamfer yang digunakan dalam menggerus. Jadi setelah digunakan, harus langsung dibersihkan dan dikeringkan. Semasa pengeringan stamfer dan mortir yang satu, maka digunakan stamfer dan mortir yang lain.. Hal ini bertujuan agar tidak terjadi cross contamination antar resep, apalagi di dalam resep terdapat antibiotik.

Penggunaan puyer itu juga banyak karena seperti yang telah diuraikan tidak semua obat ada sediaan farmasinya, khususnya yang sesuai dengan dosis anak-anak. Karena anak memiliki umur tertentu.. berbeda pula dosisnya, dan bila salah perhitungan dan melebihi dosis lazim per 1x pakai maka akan berakibat fatal. Dan yang kedua, puyer itu karena dalam bentuk sediaan serbuk, maka proses pelarutannya akan lebih cepat dibanding sediaan tablet bila dikonsumsi bersama secara oral. Dan yang paling cepat adalah sediaan cair khusus untuk oral. Dan yang lebih cepat lagi adalah sediaan steril yang disuntikkan melalui intra vena. Oleh karena itu, kadang ketika saya sakit, misal demam, saya biasa menghaluskan dulu paracetamol yang akan saya konsumsi. Tujuannya agar proses absorbsi tubuh lebih cepat. Namun perlu diingat tidak semua obat bisa diperlakukan demikian, karena ada beberapa obat dapat terurai di dalam lambung dan diharapkan pecah di dalam usus, maka dalam hal ini senyawa tersebut disalut / dilapisi agar tahan dengan suasana lambung. Ada juga beberapa obat yang digunakan dengan dikunyah, digunakan di bawah lidah (seperti yang ditanyakan oleh bro Virya), hal itu bertujuan untuk menghindari 1st pass metabolisme oleh hati.

Dan untuk menjadi seorang peracik itu juga tidak gampang, kami yang awalnya merupakan calon farmasis, dibebani 4 SKS formulasi dasar, 3 SKS teknologi farmasi sediaan cair, 3 SKS teknologi farmasi sediaan padat (tablet), dan 3 SKS teknologi farmasi sediaan steril, jadi total ada 13 SKS yang hanya untuk teknik mengolah formulasi saja. Mengapa ini begitu tegas dan keras, karena nyawa manusia itu cuma 1. Oleh karena itu diharuskan ketelitian, kecepatan dan keakuratan tinggi dalam menangani resep, khususnya resep anak-anak dan orang manula yang mana memiliki resiko keracunan yang lebih tinggi dibanding orang normal. Maka menjadi seorang farmasis itu bukan hanya sebagai tenaga medis, namun juga sebagai seorang ahli seni yang harus memperhitungkan dan menganalisa kemungkinan yang terjadi. Seperti ada huruf l.a. dalam penulisan resep yang berarti dibuat dengan seni (lege artis).

Mengenai penimbangan serbuk, memang dilakukan secara visual, yang sebelumnya dari "adonan" awal dibagi menjadi 2, baru dibagi secara visual seperti yang ditulis dalam resep. Namun perlu digarisbawahi ini berlaku untuk obat2 yang range terapetiknya besar, tidak untuk obat2 yang range terapetiknya kecil seperti misalnya obat jantung, digoxin.

Mengenai kasus batuk.. saya cenderung melihat kasus yang terjadi. Dulu saya pernah komplen di rumah sakit karena menemukan resep yang "aneh", resep antitusif seperti codein, dextromet diresepkan untuk pasien batuk produktif, yang mana sputumnya berwarna pula >_<
Intinya jika sputum / dahaknya berwarna, saya cenderung meresepkan mucolitik, agar dahaknya menjadi lebih encer, bukan diresepkan dengan menekan pusat batuk, (bakterinya masih di dalam tubuh karena gak bisa dikeluarkan). Dan resep seperti codein HCl, dan antitusif lain diberikan untuk batuk kering.

Untuk antibiotik, antivirus, dan antijamur sudah pernah saya uraikan pada thread sebelumnya. Intinya : antibiotik => bakteri, antivirus => virus, antijamur => jamur, jadi kalau flu, sebenarnya tidak perlu diobati dengan antibiotik, kecuali ada sputum yang berwarna yang bisa diindikasikan adanya infeksi oleh bakteri yang menyerang ISPA.

Semoga bermanfaat






hatRed

sorry OOT

jadi tulisan resep dokter yang acak kadut itu memang sengaja dibuat "berseni" ? ;D
i'm just a mammal with troubled soul



FZ

Quote from: hatRed on 13 February 2009, 01:18:24 PM
sorry OOT

jadi tulisan resep dokter yang acak kadut itu memang sengaja dibuat "berseni" ? ;D
Itu juga dipertentangkan pada saat ini, karena pernah kasus salah baca resep, dokter nulis
G~~~~~~ terbaca Glibenklamid, padahal yang dimaksud adalah Griseofulvin.. akhirnya glucose darah drop abizz.. ampe 30 :-SS. Tapi menggunakan bahasa latin seh tetep.. cuma untuk penulisan signa.. udah menggunakan angka, soalnya ada kerancuan pada angka 1 dan 6 dalam akronim huruf latin. s. s.d.d. => bisa tandai 1 x 1 hari, bisa tandai 6 x 1 hari. Makanya biasanya ditulis s 6.d.d atau s 1.d.d




markosprawira

Quote from: Forte on 13 February 2009, 01:08:35 PM
Quote from: markosprawira
Teman sejawat penulis itu tentu saja tidak serta merta menyalahkan puyer tanpa alasan. Beliau 'melemparkan' beberapa contoh peresepan obat yang ditulis oleh - meminjam istilahnya - 'dokter zaman sekarang'. Kasus pertama, seorang anak berusia 6 bulan menderita batuk pilek sejak 1 minggu. Karena tak kunjung sembuh, oleh ibunya dibawa ke dokter. Setelah diperiksa ini itu, ibunya diberi resep obat sebagai berikut: augmentin syrup 3x1 sendok teh/hari, bronchophyllin syrup 3x1/2 sendok teh/hari, dan racikan puyer (romilar 2 mg, trifed _ tablet, venterol 1 mg, ventolin 0,5 mg, xyzal 1/3 tablet) 3x1 bungkus/hari.

Kasus kedua, seorang dokter spesialis anak meresepkan obat kepada anak batuk pilek 1 minggu sebagai berikut: claneksi dry syrup 125 mg, transpulmin syrup, parasetamol syrup, dan racikan puyer (salbutamol 2 mg, mucopect 30 mg, kenacort, INH 300 mg, vitamin B 12,5 mg).

Ini bukan salah di puyernya.. tapi salah di dokter meresepkan. Saya pribadi baca resep ini ampe :-SS

Mengenai masalah puyer / pulveres kadang diperdebatkan mengenai teknik pengerjaannya yang harus benar2 bersih. Makanya idealnya di dalam apotek harus disediakan 2 atau lebih lumpang/mortir dan stamfer yang digunakan dalam menggerus. Jadi setelah digunakan, harus langsung dibersihkan dan dikeringkan. Semasa pengeringan stamfer dan mortir yang satu, maka digunakan stamfer dan mortir yang lain.. Hal ini bertujuan agar tidak terjadi cross contamination antar resep, apalagi di dalam resep terdapat antibiotik.

Penggunaan puyer itu juga banyak karena seperti yang telah diuraikan tidak semua obat ada sediaan farmasinya, khususnya yang sesuai dengan dosis anak-anak. Karena anak memiliki umur tertentu.. berbeda pula dosisnya, dan bila salah perhitungan dan melebihi dosis lazim per 1x pakai maka akan berakibat fatal. Dan yang kedua, puyer itu karena dalam bentuk sediaan serbuk, maka proses pelarutannya akan lebih cepat dibanding sediaan tablet bila dikonsumsi bersama secara oral. Dan yang paling cepat adalah sediaan cair khusus untuk oral. Dan yang lebih cepat lagi adalah sediaan steril yang disuntikkan melalui intra vena. Oleh karena itu, kadang ketika saya sakit, misal demam, saya biasa menghaluskan dulu paracetamol yang akan saya konsumsi. Tujuannya agar proses absorbsi tubuh lebih cepat. Namun perlu diingat tidak semua obat bisa diperlakukan demikian, karena ada beberapa obat dapat terurai di dalam lambung dan diharapkan pecah di dalam usus, maka dalam hal ini senyawa tersebut disalut / dilapisi agar tahan dengan suasana lambung. Ada juga beberapa obat yang digunakan dengan dikunyah, digunakan di bawah lidah (seperti yang ditanyakan oleh bro Virya), hal itu bertujuan untuk menghindari 1st pass metabolisme oleh hati.

Dan untuk menjadi seorang peracik itu juga tidak gampang, kami yang awalnya merupakan calon farmasis, dibebani 4 SKS formulasi dasar, 3 SKS teknologi farmasi sediaan cair, 3 SKS teknologi farmasi sediaan padat (tablet), dan 3 SKS teknologi farmasi sediaan steril, jadi total ada 13 SKS yang hanya untuk teknik mengolah formulasi saja. Mengapa ini begitu tegas dan keras, karena nyawa manusia itu cuma 1. Oleh karena itu diharuskan ketelitian, kecepatan dan keakuratan tinggi dalam menangani resep, khususnya resep anak-anak dan orang manula yang mana memiliki resiko keracunan yang lebih tinggi dibanding orang normal. Maka menjadi seorang farmasis itu bukan hanya sebagai tenaga medis, namun juga sebagai seorang ahli seni yang harus memperhitungkan dan menganalisa kemungkinan yang terjadi. Seperti ada huruf l.a. dalam penulisan resep yang berarti dibuat dengan seni (lege artis).

Mengenai penimbangan serbuk, memang dilakukan secara visual, yang sebelumnya dari "adonan" awal dibagi menjadi 2, baru dibagi secara visual seperti yang ditulis dalam resep. Namun perlu digarisbawahi ini berlaku untuk obat2 yang range terapetiknya besar, tidak untuk obat2 yang range terapetiknya kecil seperti misalnya obat jantung, digoxin.

Mengenai kasus batuk.. saya cenderung melihat kasus yang terjadi. Dulu saya pernah komplen di rumah sakit karena menemukan resep yang "aneh", resep antitusif seperti codein, dextromet diresepkan untuk pasien batuk produktif, yang mana sputumnya berwarna pula >_<
Intinya jika sputum / dahaknya berwarna, saya cenderung meresepkan mucolitik, agar dahaknya menjadi lebih encer, bukan diresepkan dengan menekan pusat batuk, (bakterinya masih di dalam tubuh karena gak bisa dikeluarkan). Dan resep seperti codein HCl, dan antitusif lain diberikan untuk batuk kering.

Untuk antibiotik, antivirus, dan antijamur sudah pernah saya uraikan pada thread sebelumnya. Intinya : antibiotik => bakteri, antivirus => virus, antijamur => jamur, jadi kalau flu, sebenarnya tidak perlu diobati dengan antibiotik, kecuali ada sputum yang berwarna yang bisa diindikasikan adanya infeksi oleh bakteri yang menyerang ISPA.

Semoga bermanfaat

Jadi inget mantan pacar yg dulu kuliah di farmasi juga......

kalo ujian, bawa bukunya banyak banget sampe kudu sewa becak  ^-^

kalo di akuntansi, paling gede bawa 1 buku PSAK yg tebelnya ga sampe 20 cm.......  :))

FZ

Hehe.. iya.. saya dulu waktu ujian jurnal.. 1 minggu sebelum ujian udah pesan tempat buat letak buku.. Ada sekitar 3 kardus + 1 koper isinya buku semua..

Ujiannya cuma 1 soal.. dikerjakan dari jam 07.00 ampe jam 17.00, istirahat dari jam 12.00 - 13.00. Pulang pas hari itu.. kalau bisa tangan gw dilepas buat direndam di air hangat.. soalnya bener2 pegel banget.. tulis 17 halaman folio.. Terus 1 minggu setelah itu ujian sidang mempertanggungkan hasil formula yang dibuat selama 2 jam. total ujian 12 jam.

Dan beberapa minggu setelah selesai sidang, maka diadakan yudisium, semua sarjana farmasi dikumpulkan di dekanat untuk menerima surat yang berisi lulus / tidak. Surat itu menjadi kenangan.. masih saya simpan sampai sekarang.. karena pada saat ujian apoteker awal total kami 52 orang, yang tidak lulus sekitar 21 orang, 31 orang yang lain termasuk saya untungnya lulus.. dan boleh mengikuti sumpah apoteker pada tanggal 12 April 2006.
Benar2 menegangkan waktu menerima surat itu.. ada yang pas buka surat.. baca.. langsung pingsan karena tidak lulus, ada yang nangis, macem2..

Waktu sumpah juga saya yang aneh sendiri.. soalnya disumpah oleh rohaniawan Buddha, pegang hio.. sampe ada yang tanya.. Hed.. Rohaniawan Buddhanya merokok ya di auditorium.. koq ada asep..
Semua jadi kenangan indah.. :)


calon_arahat

Quote from: hatRed on 13 February 2009, 01:18:24 PM
sorry OOT

jadi tulisan resep dokter yang acak kadut itu memang sengaja dibuat "berseni" ? ;D
setelah kul di FK sekian lama, lama2 saya jadi mengerti kenapa kok tulisan dokter jelek2..
klo dah semester tinggi kan pelajarannya udah masuk tingkat klinik, nah dosen klinik itu kan kerjaannya tiap hari gitu2 aja, sesuai dgn bidang spesialisasinya, jd mereka udah hafal betul ttg bidang itu, trus klo ngasih kuliah ngomongnya cepat banget.. trus mhsw supaya bisa mencatat dengan lengkap otomatis harus menulis dengan super cepat, otomatis tulisannya jg jadi jelek.. klo tulis bagus ntar ga keburu sama dosennya ngomong, wkwkwkwk..
trus derajat kejelakan tulisan itu jg tergantung orang, ada tmn gw emang tulisannya jelek, menulis apapun dengan kecepatan lambatpun jg jadinya jelek, kata dia emang tulisannya jelek.. klo dgn kecepatan super cepat, jd tambah susah baca tulisannya..
trus orang2 itu kok juga aneh.. liat tulisan dokter bagus malah dibilang "dokter tulisannya kok bagus"..
The health of my patients will be my first consideration..