Namo Buddhaya,
Karena saya yang menerjemahkan Sutra yang sedang dibicarakan, maka saya akan memberikan beberapa penjelasan:
1.Sebenarnya kanker itu adalah penafsiran belakangan saja. Bahasa asli menggunakan "zhibing" yang secara harafiah adalah "penyakit berat." Dalam sutra disebutkan mengenai penyakit yang tumbuh pada berbagai organ tubuh manusia, oleh karena itu ada yang menafsirkannya sebagai kanker. Oleh karena itu, kata "kanker" ditaruh di dalam kurung, dalam artian itu hanya tafsiran saja.
2.Konsep "yin" dan "yang" tidak hanya dikenal di Tiongkok, melainkan juga di India. Biasanya literatur-literatur Upanisad menggunakan istilah "langit" dan "bumi," atau pernyataan yang berkesan dikotomis untuk mengkontraskan keduanya. Oleh karena itu, kemungkinan penerjemah menggunakan istilah "yin" hanya agar semata-mata dipahami oleh rakyat Tiongkok zaman itu. Dengan pertimbangan, suatu terjemahan tidak akan bermanfaat apabila tidak dapat dipahami oleh pembaca.
Kalau saya bilang nadi renmai, dumai, dan zhongmai, maka orang akan mengira bahwa itu adalah suatu konsep yang khas Tiongkok, tetapi bangsa India juga mengenal konsep serupa, dan menyebut nadi (jalan energi) itu sebagai ida, pingala, dan susumma. Jadi banyak konsep India dan Tiongkok yang mirip serta universal.
3.Mantra, paritta, jampi-jampi atau apapun namanya sebenarnya berkaitan dengan pikiran. Kita tidak dapat memungkiri bahwa tubuh manusia terdiri dari batin dan jasmani. Ilmu psikologi kepribadian modern sudah membuktikan ada keterkaitan antara keduanya. Penyakit tidak hanya disebabkan oleh sebab2 jasmaniah saja, melainkan juga pikiran. Contoh nyata adalah penyakit maag (lambung) yang dapat pula dipicu oleh pikiran. Penderita kanker yang pikirannya tenang, penyebaran sel kanker juga lebih lambat. Jadi membaca mantra tetap ada gunanya, walaupun orang juga tetap harus berobat ke dokter. Meskipun demikian, bila seseorang sudah divonis penyakitnya tak tersembuhkan (dalam artian sesungguhnya pengobatan medis apapun tak berarti lagi baginya) tidak ada salahnya mencoba membaca mantra, paritta, atau jampi-jampi. Setidaknya itu membangkitkan harapan atau rasa gembira dalam dirinya. Paling tidak dia dapat menghadapi kematian dengan tenang.
4.Saya setuju dengan studi skolastik terhadap suatu sutra/ sutta atau kitab suci apa saja. Tetapi studi skolastik tidak dimaksudkan untuk merendahkan suatu literatur keagamaan. Menurut hasil penelitian saya, Tipitaka Pali ataupun Tripitaka Mahayana itu sebagian besar "palsu," tetapi kenyataan ini tidak menggoyahkan saddha saya sebagai umat Buddha. Karena dalam dunia spiritual yang "palsu" dapat pula "asli," sedangkan yang "asli" dapat pula "palsu."
5.Studi literatur keagamaan tidak dapat mengandalkan logika saja, tetapi juga harus melihat makna esoteris atau tataran batiniah suatu naskah. Jika kita hanya mengandalkan segi logika saja, maka seluruh isi Jataka harus dianggap sebagai dongeng anak-anak dan demikian pula dengan vagga-vagga tertentu dalam Samyutta Nikaya, yang membahas mengenai dewa-dewa. Bahkan dalam Samyutta Nikaya dijelaskan bahwa penyebab gerhana bulan dan matahari adalah deva Suriya dan Chandra dimakan oleh raksasa Rahu. Kalau secara logika jelas sekali ini bertentangan dengan ilmu pengetahuan. Tetapi sebenarnya maknanya bukan di sana. Hanya melihat kepada yang tersirat dalam memahami naskah keagaaan, tanpa bersedia memahami yang tersurat tentu saja tidak akan membuahkan manfaat bagi kemajuan batin.
Saya kira itu saja dahulu. Mohon maaf kalau ada kata yang salah. Semoga mendatangkan manfaat bagi semua makhluk. Sabbe Satta Bhavantu Sukhitthata.
Metta,
Tan