Buddha tanpa doa

Started by hendri, 29 September 2007, 06:07:21 PM

Previous topic - Next topic

0 Members and 2 Guests are viewing this topic.

kosdi

#30
Doa....
kalo doa dalam artian meminta kepada "seseorang" maka tidak ada doa dalam buddhism (emang mo minta ke siapa?) trus emank kalo udah minta pasti di kabulin? wah makmur donk dunia.... tapi buktinya masi amburadul dan kemiskinan di mana-mana.
tanya kenapa?

tetapi kalo doa dalam artian memancarkan cinta kasih ato dlm arti laen "metta" maka ada doa dalam buddhism. dengan kata2 semoga semua makhluk berbahagia, ato semoga dia berbahagia etc
tentu saja harapan2 ato metta yang kita pancarkan tidak akan ada gunanya apabila orang tersebut tidak mempunyai tabungan karma baik yang cukup.
jadi kesimpulannya doa dalam buddhism adalah membantu mengkondisikan sesuatu hal baik terjadi.

jadi, apapun agamanya, apapun alirannya sah-sah aja meminta ato mengharapkan sesuatu baik itu pada diri sendiri ato orang laen.
tetapi selama karma nya tidak cukup biar doa sampe muntang-munting juga ga bakal terwujud!
_/\_

Wiryanto

Salam kenal,
Tertarik untuk ikutan topik ini. Menurutku, secara teoritis betul bahwa dalam budhisme ga ada doa dalam pengertian meminta sesuatu kepada mahluk 'siluman'. Namun prakteknya?
Mari kita periksa sedikit tujuan paritta2 dalam agama budha.
Antara lain yang saya tahu: puja-puji, menghormati budha, bodhisatva dan mahasatva, pernyataan atau janji (untuk melaksanakan pancasila), perlindungan kepada tisarana, mengulang dhammadesana, terakhir 'minta' sesuatu.

Yang terakhir ini, biasanya kita malu untuk mengakui dan kadarnya beragam. Dari yang paling halus hingga yang lebih terang2an. Yang paling halus dan boleh dibilang mulia, semoga semua mahluk berbahagia. Wong mendoakan semoga semua mahluk berbahagia. Tingkat berikutnya, semoga semua yang ada kaitan karma dengan ku berbahagia, atau semoga semua keluarga sanak saudara berbahagia. Kenapa mereka didoakan, bukankah bahagia atau tidak tergantung dengan karmanya masing2?

Mungkin ada yang menjawab kita cuman memancarkan metta. Apakah ada efek jika kondisi karma orang yang kita pancarkan memang tidak menguntungkan? Kalu tidak efek, buat apa kita berbuat sia2?

Menurutku lagi, sebenarnya jauh di dalam hati kita sesungguhnya juga ada permintaan, minimal pamrih lah. Kalu semua mahluk berbahagia, berarti aku juga bahagia, pan aku masuk di dalamnya. :-)

Yang pelajar dan mahasiswa mungkin ada yang menyelipkan permintaan supaya ujian bisa lulus. Yang single menyelipkan diantara puja-puji kepada budha harapan (baca permintaan) bisa dapat jodoh. Yang dagang menyelipkan doa (baca: permintaan) di-sela2 paritta puja-puji syukur semoga dagang lancar.

So what gitu lo? Emang ga boleh? Dengan ke vihara aku kan berbuat karma baik dan mengharapkan karma baiknya adalah bla-bla-bla... Artinya meski kita yakin dengan free-will dan hukum karma, ada unsur tak berdaya. Saya sudah berbuat segudang karma baik, kapan berbuahnya? Bagaimana proses kerja hukum karma ini? FIFO? Prosesnya berapa lama? Semua masih gelap. Makanya kita tetap perlu berdoa untuk meminta 'yang lebih berkuasa' entah budha atau bodhisatva supaya bisa sedikit 'memperlancar' agar berkas2 karma yang sudah kita buat bisa segera diproses dan keluar juklak (petunjuk pelaksanaannya) sehingga kita segera bisa menikmatinya.

Sekarang coba kita jujur pada diri sendiri, berapa persentase kita ke vihara, yang benar2 hanya untuk puja – puji, berapa persen yang menganggap ke vihara adalah investasi karma baik, dan berapa persen yang ke vihara untuk MINTA (doa).

Kalau memang masih ada unsur mintanya, apakah secara budhisme ini sudah salah? Minimal minta bantuan dikondisikan supaya kusala karma berbuah lebih cepat.

wiryanto
wiry [at] nto
Science without religion is lame,
religion without science is blind.

Sumedho

Salam kenal juga Bro Wiryanto,

Sorry di milis waktu itu saya belum balas salam perkenalannya. _/\_
There is no place like 127.0.0.1

ryu

Salam kenal wiryanto,

Memang betul apa yang anda katakan, tapi mungkin kalau pandangan saya sih seharusnya justru ajaran sang Buddha lebih menekankan kepada pengembangan kepada diri sendiri bukan mengharapkan bantuan dari alam lain / mahluk lain lho, dan berusaha untuk tidak menjadikan kita melekat atau ya seperti yang anda katakan mengharapkan misalnya karma baik cepet berbuah dan lain2, nah itu lah yang membedakan dengan agama yang lain yang menekankan HARUS meminta2 dan menyembah2 kepada sang penciptanya baru katanya bisa dikabulkan.

BTW  sering2 posting yah . . . Hehehehe *lirik2 komedho*
Janganlah memperhatikan kesalahan dan hal-hal yang telah atau belum dikerjakan oleh diri sendiri. Tetapi, perhatikanlah apa yang telah dikerjakan dan apa yang belum dikerjakan oleh orang lain =))

FZ

#34
Yup. Agree.. ^:)^ ^:)^


Kokuzo

Ryu abis bertapa dimane yak? Kok makin wise keliatannya...  ^-^
Ngomongin 'doa' dalam agama Buddha, atatupun agama laen...
Menurut gw cuma sugesti pikiran aja... Sejalanlah dengan law of attraction... Ketika kita memikirkan dan mengucapkan 'semoga semua makhuk berbahagia", ini mensugesti pikiran kita sendiri, dan dari pikiran turun ke perbuatan... Standarlah... Pendapat gw seh begini, n emank gw sendiri lebih prefer 'menyugesti diri daripada minta2 ke yang gak jelas"...  ;D

williamhalim

#36
Bro Wiryanto, salam juga...

Sekalian sy tanggapin soal "doa" dan "permintaan" ini, yah...

Quote
Yang terakhir ini, biasanya kita malu untuk mengakui dan kadarnya beragam. Dari yang paling halus hingga yang lebih terang2an. Yang paling halus dan boleh dibilang mulia, semoga semua mahluk berbahagia. Wong mendoakan semoga semua mahluk berbahagia. Tingkat berikutnya, semoga semua yang ada kaitan karma dengan ku berbahagia, atau semoga semua keluarga sanak saudara berbahagia. Kenapa mereka didoakan, bukankah bahagia atau tidak tergantung dengan karmanya masing2?

Ada perbedaan antara:
~ Permintaan
~ Aspirasi

Permintaan:
ada pihak yg dituju (dimintai sesuatu). Dan pihak inilah yg akan mengabulkan atau tidak. Pihak inilah yg menjadi penentu (misalnya: tuhan). Kita menumpukan harapan kita pada pihak yg kita percaya ini.

Aspirasi:
hanya pengungkapan pikiran.
contoh:
~ semoga kamu lulus ujian (penyampaian aspirasi baik)
~ sialan! moga-moga lu ditabrak deh (penyampaian aspirasi buruk)

Dalam Buddhism, "Semoga semua makhluk berbahagia" adalah cetusan ASPIRASI. Suatu bentuk pikiran baik yg diungkapkan dalam bentuk kata-kata verbal.

Berbeda dengan DOA PERMINTAAN.
Dalam doa permintan, kita menuju ke suatu sosok. Ada pihak yg diharapkan untuk mengabulkan kemauan kita. Terlepas dari karma dan kondisi yg seharusnya terjadi, kita membebankan tanggung jawab Yes or No pada pihak ini. apapun hasil yg terjadi, kita anggap merupakan hasil karya pihak ini.

QuoteMungkin ada yang menjawab kita cuman memancarkan metta. Apakah ada efek jika kondisi karma orang yang kita pancarkan memang tidak menguntungkan? Kalu tidak efek, buat apa kita berbuat sia2?

Pemancaran Metta sasaran utamanya adalah: Batin kita sendiri.
Apakah ber-effect/tidak terhadap orang lain, tidaklah penting.
Dalam meditasi metta, kita melatih meningkatkan trend positif dalam pikiran kita.

QuoteMenurutku lagi, sebenarnya jauh di dalam hati kita sesungguhnya juga ada permintaan, minimal pamrih lah. Kalu semua mahluk berbahagia, berarti aku juga bahagia, pan aku masuk di dalamnya. :-)

Bro Wir benar, terkadang masih sulit bagi kita untuk menghindari mental 'permintaan' ini.
IMO: ini diakibatkan oleh konsep pikiran kita sejak kecil yg hidup dalam lingkungan samawi, yg segala sesuatu bermuara kepada tuhan.

::
Walaupun seseorang dapat menaklukkan beribu-ribu musuh dalam beribu kali pertempuran, namun sesungguhnya penakluk terbesar adalah orang yang dapat menaklukkan dirinya sendiri (Dhammapada 103)

Lex Chan

Berita ini sudah agak basi, tapi menarik untuk disimak..
Di Thailand (yg mayoritas penduduknya Buddhis), terjadi keranjingan (craze) jimat "Jatukam Ramathep".
Konon katanya, si pemakai jimat bisa bebas dari marabahaya, dapat rezeki, dll..
20 tahun yang lalu, harga jimat ini hanya sekitar 50 baht per satuan.
Tapi sekarang bisa mencapai 1 juta baht per satuan. wew..
(kalo 20 tahun yang lalu beli, sekarang bisa kaya raya.. ^-^)
-----------------------

The facts behind the Jatukam Ramathep talisman nonsense
(May 15, 2007)

In the past month or so, several articles have appeared in the Thai and English media concerning the phenomenal popularity of a magical talisman, promising instant wealth to those who wear one.

The talisman features a divine being called Jatukam Ramathep, unknown in Buddhist or Hindu sacred literature. He seems to be the invention of a confused imagination, and most intelligent commentators condemn this new cult as indicating a corruption of both Buddhist morality and Thai animistic spirituality.

In order to understand the problem, we need to get the god's name right:

Jatukam Ramathep is the Thai pronunciation of the Pali Catugamaramadeva, meaning God Rama of the Four Villages. This is near nonsense as no ancient literature, Buddhist or Hindu, connects Rama to "Four Villages". Thus the name seems to have been created out of thin air.

However, the talisman is connected in the popular imagination to the Great Stupa of Nakhon Si Thammarat. According to respectable tradition preserved in an ancient document (see Wyatt, DK, "The Crystal Sands: The Chronicles of Nagara Sri Dharmmaraja", Cornell) the relics enshrined in the Great Stupa there came from Sri Lanka and the stupa was established with the assistance of traders from Sri Lanka, where Buddhism has always been protected by Hindu gods.

(The evidence is in the Mahavamsa and in folk religion to this day.)

Here is the evidence as far as I have been able to trace it from credible physical and documentary sources:

At the Great Stupa at Nakhon Si Thammarat, the stairs leading up to the circumambulatory terminate in a narrow stage with four images of gods. To the extreme left and right are two gods in brick and plaster with no attributes. However inscribed stone plaques (in apparently old lettering) announce that they are Lord Khattugama and Lord Ramadeva.

The door in the centre consists of two wooden leaves each carved with a deity in high relief. One is obviously Vishnu with his disc and conch, but he also holds a bow, indicating that he is the Rama incarnation.

The other deity has four visible faces and so has been identified as Brahma, but he holds weapons (unlike Brahma who holds sacrificial implements).

If one counts the invisible faces (at the back of the relief) one gets six. The six faces and the weapons indicate the god Skanda (known in Sri Lanka as Kataragama) who has six faces and holds all weapons as Commander of the Heavenly Forces.

A 16th century Pali chronicle (see Penth, H Jinakalamali Index, Pali Text Soc, 1994) tells the following tale: the King of Sukhothai had heard of the fame of a Buddha image in Sri Lanka and he desired to acquire it. He sent an emissary to the king of Nakhon Si Thammarat, who reported that Sri Lanka was invincible as it was protected by four gods, namely Khattugama, Rama, Lakkhana and Sumana.

In Sri Lanka, today, popular tradition claims that the island is protected by four great deities, among whom are Kataragama (Khattugama in Pali) and Rama under the tittle Upulvan (the Blue God or Vishnu) but as he holds a bow we must suppose he is the Rama incarnation.

All this information may seem confusing to those unfamiliar with Hindu-Buddhist mythology and iconography, but from this respectable evidence we may construct a credible history.

In the late 12th century Sri Lankan Theravada Buddhism became established in mainland Southeast Asia together with its relics, footprints, Bodhi trees, texts and protective deities.

These were most faithfully recorded and remembered at Nakhon Si Thammarat. However in modern times, tradition has been forgotten. People lack knowledge of the texts to which I have referred. As a result they have confused the two guardian deities, Khattugama and Ramadeva, and conflated and corrupted their names, producing Jatukam Ramathep, a single deity without a historical background.

But who can blame the Thais?

I am reminded of a tale told (I think) by Evelyn Waugh. In Italy he once visited an obscure church that housed a splendid old woodcarving of St George on horseback killing the dragon. It was festooned with scraps of paper bearing prayers for wealth, health and success.

Waugh remonstrated with the parish priest about this gross idolatry.

The priest ruefully agreed and added that when the cultural authorities removed St George for restoration, leaving the horse, his parishioners wanted to attach their petitions to its tail and mane. "My flock don't worship St George," said the priest, "they worship the horse!"

In like manner, it seems, many Thai Buddhists have forgotten the Buddha, his liberating teachings and the relics of his person, and instead devote themselves to a protective deity, and a spurious one at that.

Several distinguished Thai scholars have proposed that the Jatukam Ramathep phenomenon indicates a failure of Buddhism. I would prefer to avoid this conclusion as religions do not fail unless they become fossilised and obsolete (like classical paganism).

Rather, societies fail to remember and live up to the admirable principles of their religions.

Indeed societies tend to pervert and demean their inherited wisdom.

In the case of the Jatukam Ramathep talisman here in Thailand, we have a society that counts greed and gain as the highest good, and an educational system that fails to provide access to Asian cultures. Nor does it make available to the public our most important historical texts.

If many Thais had read the relevant parts of the chronicles that I have quoted, then a nonsense deity like Jatukam Ramathep would never have been conceived.

Michael Wright

Special to The Nation
"Give the world the best you have and you may get hurt. Give the world your best anyway"
-Mother Teresa-

williamhalim

Thailand dan Myanmar,
Meskipun negara2 ini mayoritas Buddhist, namun penduduknya masih percaya dgn jimat2 dan segala macamnya.

Fenomena ini menunjukkan:
bahwa tidaklah mudah untuk dapat memahami Dhamma, meskipun kondisi sekitar sudah menunjang (lingkungan Buddhist semua).
Praktik belum tentu terimplementasi dgn baik.

Wah, teringat kembali nih dengan kura-kura hoki.
Sebenarnya, usaha untuk meningkatkan kualitas bathin kita sudah sangat urgensi, kita tidak tau kapan kita mati, syukur2 terlahir di Myanmar / Thailand yg masih ada Dhamma-nya, kalo terlahir di pedalaman afrika gimana? Mungkin kita akan mengalami penderitaan batin terus menerus tanpa tau penyebabnya, apalagi obatnya......... hiiiiii  :(


::

Walaupun seseorang dapat menaklukkan beribu-ribu musuh dalam beribu kali pertempuran, namun sesungguhnya penakluk terbesar adalah orang yang dapat menaklukkan dirinya sendiri (Dhammapada 103)

tesla

kalau dari sisi psikologis saya melihat ada ketakutan luar biasa dalam diri manusia akan sesuatu hal yg tidak pasti.

apakah nanti saya mati?
apakah nanti saya miskin?
apakah nanti saya sakit?
dll...

apabila tidak dapat menghadapi rasa takut ini, maka kita akan selalu mencari-cari 1 pondasi untuk menghibur (menipu) diri kita sendiri... hal inilah yg menghasilkan jimat, tuhan, dukun, dll...

saya sendiri juga pernah dapat jimat (kalung warna emas) dari vihara Theravada lho... binggung sendiri saya... dikasih sapa nolak... mungkin karena banyak orang yg minta2 akhirnya bhante berikan aja sesuatu untuk menghibur. dan karena yg lain dikasih, saya dikasih juga sebagai cinta kasih bhante yg universal...
Lepaskan keserakahan akan kesenangan. Lihatlah bahwa melepaskan dunia adalah kedamaian. Tidak ada sesuatu pun yang perlu kau raup, dan tidak ada satu pun yang perlu kau dorong pergi. ~ Buddha ~

williamhalim

Quote from: tesla on 15 November 2007, 02:13:38 PM
kalau dari sisi psikologis saya melihat ada ketakutan luar biasa dalam diri manusia akan sesuatu hal yg tidak pasti.
apakah nanti saya mati?
apakah nanti saya miskin?
apakah nanti saya sakit?
dll...
apabila tidak dapat menghadapi rasa takut ini, maka kita akan selalu mencari-cari 1 pondasi untuk menghibur (menipu) diri kita sendiri... hal inilah yg menghasilkan jimat, tuhan, dukun, dll...

Betul sekali, sy juga setuju dgn pendapat bahwa dasar dari terciptanya jimat adalah karena alasan diatas.
karena:
~ ketakutan (lobha)
~ ketidaktahuan (moha / miccha ditthi)

Quotesaya sendiri juga pernah dapat jimat (kalung warna emas) dari vihara Theravada lho... binggung sendiri saya... dikasih sapa nolak... mungkin karena banyak orang yg minta2 akhirnya bhante berikan aja sesuatu untuk menghibur. dan karena yg lain dikasih, saya dikasih juga sebagai cinta kasih bhante yg universal...

Bro Tesla udah benar, kita jangan menyia2kan kesempatan orang untuk berbuat baik. Jimat / apapun, yg jelas orang tsb berusaha untuk berbuat baik kepada kita.


::
Walaupun seseorang dapat menaklukkan beribu-ribu musuh dalam beribu kali pertempuran, namun sesungguhnya penakluk terbesar adalah orang yang dapat menaklukkan dirinya sendiri (Dhammapada 103)

FZ

Quote from: tesla on 15 November 2007, 02:13:38 PM
saya sendiri juga pernah dapat jimat (kalung warna emas) dari vihara Theravada lho...
Di Pekanbaru ? Bukan yang Dharmaloka kan ? Itu Buddhayana(campur)

tesla

Quote from: Hedi Kasmanto on 15 November 2007, 02:37:58 PM
Quote from: tesla on 15 November 2007, 02:13:38 PM
saya sendiri juga pernah dapat jimat (kalung warna emas) dari vihara Theravada lho...
Di Pekanbaru ? Bukan yang Dharmaloka kan ? Itu Buddhayana(campur)
bukan di jalan riau ujung... masuk gang.
vihara nya udah tahunan ga kelar2 bangunnya... sampe sekarang masih pake bangunan dari kayu kayak rumah panggung... jadi kesannya sangat asri.

kalau yg dharmaloka, tempat lihat2 ce cakep. hehehehe
Lepaskan keserakahan akan kesenangan. Lihatlah bahwa melepaskan dunia adalah kedamaian. Tidak ada sesuatu pun yang perlu kau raup, dan tidak ada satu pun yang perlu kau dorong pergi. ~ Buddha ~

williamhalim

riau ujung, kekna Vihara Theravada tuh
Walaupun seseorang dapat menaklukkan beribu-ribu musuh dalam beribu kali pertempuran, namun sesungguhnya penakluk terbesar adalah orang yang dapat menaklukkan dirinya sendiri (Dhammapada 103)

tesla

Quote from: willibordus on 15 November 2007, 03:42:01 PM
riau ujung, kekna Vihara Theravada tuh
iya bro willy. maksud kata
'bukan di jalan riau ujung' itu sebenarnya:
"Bukan (dharmaloka! tetapi yg di) jalan riau ujung"
Lepaskan keserakahan akan kesenangan. Lihatlah bahwa melepaskan dunia adalah kedamaian. Tidak ada sesuatu pun yang perlu kau raup, dan tidak ada satu pun yang perlu kau dorong pergi. ~ Buddha ~