Dhammapada Atthakatha

Started by Adhitthana, 30 October 2008, 01:53:09 AM

Previous topic - Next topic

0 Members and 1 Guest are viewing this topic.

Adhitthana

Syair 365-366 (XXV:5. Kisah Bhikkhu Yang Berteman Dengan Bhikkhu Pengikut Devadatta)

Suatu ketika seorang bhikkhu murid Sang Buddha berteman akrab dengan pengikut Devadatta. Ia sering berkunjung dan tinggal selama beberapa hari di vihara tempat Devadatta berdiam.

Bhikkhu-bhikkhu lain melaporkan hal itu kepada Sang Buddha, bahwa terdapat seorang bhikkhu murid Sang Buddha yang bergaul akrab dengan pengikut-pengikut Devadatta, sehingga ia sering berkunjung, bahkan menginap beberapa hari, makan, tidur, dan menikmati berbagai fasilitas yang terdapat pada vihara milik Devadatta.

Sang Buddha mengundang bhikkhu itu, dan meminta keterangan darinya. Sang Buddha mengatakan bahwa Beliau telah mendengar berita tentang kelakuan bhikkhu tersebut, apakah berita itu benar. Bhikkhu itu mengakui bahwa ia telah berdiam beberapa hari di vihara milik Devadatta, tetapi ia berkata kepada Sang Buddha bahwa ia tidak mengikuti ajaran Devadatta.

Kemudian Sang Buddha menegur dan menunjukkan bahwa apa yang bhikkhu itu lakukan sesungguhnya membuat ia menjadi seperti pengikut Devadatta.

Kepada bhikkhu itu Sang Buddha mengatakan, "Anak-Ku, meskipun engkau tidak mengikuti ajaran Devadatta, tetapi engkau memperlakukan dirimu seperti salah satu pengikut Devadatta. Seorang bhikkhu hendaknya puas dengan apa yang telah diperolehnya, dan jangan iri hati terhadap apa yang diperoleh orang lain. Seorang bhikkhu yang penuh dengan kecemburuan pada perolehan bhikkhu lain tidak akan mencapai pemusatan batin dan pandangan terang, atau jalan menuju 'Kebebasan Mutlak?(nibbana). Hanya bhikkhu yang puas dengan apa yang telah ia peroleh akan mendapatkan pemusatan pikiran, pandangan terang, dan jalan menuju 'Kebebasan Mutlak?

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 365 dan 366 berikut ini :

Hendaklah ia tidak mencela apa yang telah ia peroleh, juga hendaklah ia tidak merasa iri terhadap apa yang telah diperoleh orang lain. Seorang bhikkhu yang merasa iri terhadap apa yang diperoleh orang lain, tidak akan dapat mencapai perkembangan dalam semadi.

Walaupun hanya memperoleh sedikit, tetapi apabila seseorang bhikkhu tidak mencela apa yang telah diperolehnya, maka para dewa pun akan memuji orang seperti itu, yang memiliki kehidupan bersih serta tidak malas.
  Aku akan mengalami Usia tua, aku akan menderita penyakit, aku akan mengalami kematian. Segala yang ku Cintai, ku miliki, dan ku senangi akan Berubah dan terpisah dariku ....

Adhitthana

Syair 367 (XXV:6. Kisah Dermawan Hasil Pertama Pekerjaannya)

Ketika Sang Buddha bersemayam di Vihara Jetavana, Beliau membabarkan syair 367 Kitab Suci Dhammapada, berkenaan kisah seorang brahmana yang mempunyai kebiasaan berdana lima macam hasil pertama yang diperoleh dari pekerjaannya sebagai seorang petani. Hasil pertama pertanian yang diberikan sebagai dana diambil pada saat panen, saat menguliti beras, saat menyimpan beras, saat memasak beras, dan saat menaruh nasi pada tempat nasinya.

Suatu hari Sang Buddha melihat brahmana dan istrinya itu dengan kemampuan batin luar biasa Beliau dan Beliau mengetahui bahwa saatnya sudah masak bagi brahmana dan istrinya mencapai tingkat kesucian anagami. Oleh karena itu Sang Buddha berkunjung ke tempat tinggal mereka dan berdiam diri di dekat pintu rumah brahmana untuk berpindapatta.

Pada saat itu brahmana sedang makan sambil melihat ke bagian dalam rumahnya, sehingga ia tidak melihat Sang Buddha berdiri di dekat pintu rumahnya. Isteri brahmana yang sedang berdiri dekat brahmana itu melihat Sang Buddha tiba, tetapi ia khawatir apabila suaminya melihat Sang Buddha berdiri di dekat pintu rumah untuk berpindapatta, suaminya itu akan memberikan seluruh nasi yang ada pada tempat nasinya kepada Sang Buddha, sehingga ia harus menanak nasi lagi.

Dengan pikiran seperti itu wanita itu kemudian berdiri menghalangi penglihatan suaminya, sehingga suaminya tidak bisa melihat Sang Buddha. Kemudian wanita itu perlahan-lahan berjalan menghampiri Sang Buddha, ia menghormat dan berkata kepada Sang Buddha, "Bhante, kita tidak bisa berdana makanan pada hari ini."

Tetapi Sang Buddha memutuskan untuk tidak beranjak dari tempat Beliau berdiri. Beliau hanya menggeleng-gelengkan kepala. Melihat hal itu, isteri brahmana tidak dapat menahan diri, ia ketawa.

Oleh karena itu brahmana membalikkan dirinya dan melihat Sang Buddha. Mengetahui apa yang dilakukan oleh isterinya itu, brahmana menangis keras-keras sambil berkata, "O, isteriku yang buruk, engkau telah meruntuhkan aku."

Segera brahmana mengambil tempat nasinya. Ia menghampiri Sang Buddha dan memohon maaf sambil berkata, "Bhante, silakan menerima pemberian nasi ini meskipun saya sudah mengambilnya sebagian.""Kepada brahmana itu, Sang Buddha membalas, "O brahmana, nasi apapun sesuai buat-Ku, apakah nasi itu belum diambil, atau sudah sebagian diambil, bahkan apabila masih tersisa satu sendok.:

Brahmana sangat gembira mendengar kata-kata Sang Buddha. Pada saat yang sama ia merasa berbahagia karena pemberian nasinya telah diterima oleh Sang Buddha.

Brahmana itu kemudian bertanya kepada Sang Buddha, bagaimana seseorang bisa dikenal, dan disebut sebagai bhikkhu. Sang Buddha mengetahui bahwa baik brahmana maupun isterinya telah siap mendengarkan ajaran Beliau perihal batin dan badan jasmani.

Oleh karena itu Beliau menjawab, "O brahmana, seseorang yang tidak lagi terikat kepada batin dan badan jasmani disebut bhikkhu."

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 367 berikut :

Apabila seseorang tidak lagi melekat pada konsepsi "aku" atau "milikku", baik yang berkenaan dengan batin maupun jasmani, dan tidak bersedih terhadap apa yang tidak dimilikinya, maka orang seperti itu layak disebut bhikkhu.

Brahmana dan isterinya mencapai tingkat kesucian anagami, setelah khotbah Dhamma itu berakhir.
  Aku akan mengalami Usia tua, aku akan menderita penyakit, aku akan mengalami kematian. Segala yang ku Cintai, ku miliki, dan ku senangi akan Berubah dan terpisah dariku ....

Adhitthana

Syair 368-376 (XXV:7. Kisah Bhikkhu-bhikkhu Yang Berjumlah Banyak)

Terdapatlah seorang perempuan yang sangat kaya bertempat tinggal di kota Kuraraghara, kira-kira berjarak 120 yojana dari kota Savatthi. Ia mempunyai seorang putera yang telah menjadi bhikkhu, namanya Sona. Pada suatu kesempatan, bhikkhu Sona berjalan melewati kota kelahirannya.

Pada waktu bhikkhu Sona pulang menuju Vihara Jetavana, ia bertemu dengan ibunya, dan ibunya mengundang bhikkhu Sona untuk menerima sejumlah besar persembahan. Mengetahui bhikkhu Sona dapat menguraikan Dhamma dengan baik, ibunya juga memohon bhikkhu Sona untuk membabarkan Dhamma kepadanya dan orang-orang lain di kota kelahirannya itu.

Bhikkhu Sona menerima permohonan tersebut. Ibunya membangun sebuah bangsal Dhamma yang dapat menampung banyak orang untuk mendengarkan khotbah Dhamma. Ibu itu juga mengundang banyak teman, tetangga, dan anggota keluarganya untuk hadir dalam pembabaran Dhamma tersebut. Ibu kaya itu meninggalkan rumahnya yang hanya dijaga oleh seorang perempuan pembantu rumah tangga.

Ketika pembabaran Dhamma sedang berlangsung, datanglah kawanan pencuri yang berjumlah sangat banyak ke rumah ibu kaya itu. Pemimpin dari kawanan pencuri itu sengaja pergi ke bangsal Dhamma, tempat pembabaran Dhamma sedang berlangsung, dan pemimpin itu berada dekat serta memperhatikan gerak-gerik si ibu kaya. Dengan melakukan hal itu sang pemimpin bermaksud agar dapat memberi kabar kepada anak buahnya untuk segera melarikan diri apabila ibu kaya itu pulang ke rumahnya.

Ketika pembantu rumah tangga si ibu kaya mengetahui banyak pencuri datang memasuki rumah majikannya, ia segera melaporkan hal itu kepada si ibu kaya, tetapi si ibu hanya menjawab, "Biarkan pencuri-pencuri itu mengambil seluruh uangku, saya tidak peduli, tetapi engkau jangan kemari lagi, jangan mengganggu saya saat saya sedang mendengar Dhamma. Engkau sebaiknya kembali saja."

Pembantu rumah tangga itu kembali ke rumah majikannya. Kemudian pembantu rumah tangga itu melihat para pencuri sedang mengambil barang-barang berharga terbuat dari perak milik majikannya. Pembantu rumah tangga itu kembali pergi menemui si ibu kaya di bangsal Dhamma, memberitahukan apa yang sedang dilakukan oleh para pencuri. Tetapi, pembantu rumah tangga itu mendapatkan jawaban yang sama seperti semula. Ia pulang kembali ke rumah majikannya.

Selanjutnya pembantu rumah tangga melihat para pencuri sedang mengambil barang-barang emas dan permata milik majikannya. Ia pergi kembali melaporkan hal itu kepada majikannya. Saat itu si ibu mengatakan, "O sayang, biarkanlah pencuri-pencuri itu mengambil apa yang mereka sukai; mengapa engkau datang kemari lagi dan mengganggu saya saat sedang mendengarkan Dhamma ? Mengapa engkau tidak pulang dan tinggal di rumah saja seperti apa yang sudah saya katakan padamu ? Janganlah engkau mengganggu kembali mendekati saya dan mengatakan perihal barang-barang atau pencuri-pencuri itu lagi."

Pemimpin para pencuri yang berada dekat dengan si ibu itu mendengarkan semua perkataan yang sudah diucapkan oleh si ibu, dan ia benar-benar mengagumi keyakinan ibu itu terhadap Dhamma. Kata-katanya juga menjadikan dirinya berpikir, "Jika kami mengambil barang-barang orang yang bijaksana seperti ibu ini, kami benar-benar akan terkutuk, kehidupan kami akan mengalami kehancuran, dan bisa jadi badan kami akan hancur berkeping-keping."

Pemimpin itu memperoleh penerangan batin, segera ia pergi ke rumah si ibu dan menyuruh anak buahnya untuk mengembalikan seluruh barang milik si ibu yang telah mereka ambil. Kemudian ia mengajak pengikut-pengikutnya ke tempat si ibu berada. Ibu itu sedang mendengarkan Dhamma dengan sepenuh hati di bangsal Dhamma.

Sona Thera mengakhiri pembabaran Dhamma-nya ketika hari menjelang pagi hari. Ia turun dari tempat pembabaran Dhamma (Dhamma-asana), dan menuju ke tempat duduk yang telah disediakan.

Pemimpin para pencuri mendekati si ibu kaya, perempuan bijaksana, memberi hormat kepadanya dan memperkenalkan dirinya. Ia juga mengatakan kepada si ibu bahwa ia bersama kawan-kawannya telah memasuki rumah si ibu dan mengambil barang-barang berharga tetapi ia telah mengembalikan seluruh barang itu sesudah ia mendengar kata-kata si ibu kepada pembantu rumah tangganya yang melaporkan kejadian pencurian itu. Sang pemimpin beserta para pengikutnya memohon si ibu untuk memaafkan segala perbuatan buruk yang telah mereka lakukan.

Selanjutnya mereka memohon kepada Sona Thera untuk diterima sebagai anggota Pasamuan Bhikkhu (Sangha). Setelah mereka ditahbiskan menjadi bhikkhu, sembilan ratus bhikkhu baru itu mendapat bimbingan meditasi dari Sona Thera, dan mereka pergi ke hutan untuk melatih diri bermeditasi di tengah-tengah kesunyian.

Dari jarak 120 yojana, Sang Buddha mengetahui kisah para bhikkhu itu, dan memberikan sinar kebijaksanaan kepada mereka sehingga seolah-olah Beliau berada di tengah-tengah mereka.

Kepada mereka secara pribadi, Sang Buddha membabarkan syair 368, 369, 370, 371, 372, 373, 374, 375, dan 376 berikut ini :

Apabila seorang bhikkhu hidup dalam cinta kasih, dan memiliki keyakinan terhadap ajaran Sang Buddha, maka ia akan sampai pada keadaan damai (nibbana), yang merupakan berhentinya hal-hal yang berkondisi (sankhara).

O bhikkhu, kosongkanlah perahu (tubuh) ini. Apabila telah dikosongkan maka perahu ini akan melaju dengan pesat. Setelah memutuskan nafsu keinginan dan kebencian, maka engkau akan mencapai nibbana.

Putuskanlah lima kelompok belenggu pertama (dari sepuluh belenggu), dan singkirkanlah lima kelompok kedua (dari sepuluh belenggu), serta kembangkan lagi lima kekuatan (keyakinan, perhatian, semangat, konsentrasi, dan kebijaksanaan) secara sempurna. Apabila seorang bhikkhu telah bebas dari lima belenggu, maka ia disebut seorang "Penyeberang Arus" (sotapanna).

Bersemadilah, O bhikkhu ! Jangan lengah ! Jangan biarkan pikiranmu diseret oleh kesenangan-kesenangan indria ! Jangan karena lengah maka engkau harus menelan bola besi yang membara ! Dan jangan karena terbakar maka engkau meratap, "O, hal ini sungguh menyakitkan !"

Tak ada samadi dalam diri orang yang tidak memiliki kebijaksanaan. Dan tidak ada kebijaksanaan dalam diri orang yang tidak bersamadi. Orang yang memiliki samadi dan kebijaksanaan, sesungguhnya sudah berada di ambang pintu Nibbana.

Apabila seorang bhikkhu pergi ke tempat sepi, telah menenangkan pikirannya, dan telah dapat melihat Dhamma dengan jelas, akan merasakan kegembiraan yang belum pernah dirasakan oleh orang-orang biasa.

Bila seseorang dapat melihat dengan jelas akan timbul dan lenyapnya kelompok kehidupan (khandha), maka ia akan merasakan kegembiraan dan ketenteraman batin. Sesungguhnya, bagi mereka yang telah mengerti tak akan ada lagi kematian.

Pertama-tama inilah yang harus dikerjakan oleh seorang bhikkhu yang bijaksana, yaitu : mengendalikan indria-indria, merasa puas dengan apa yang ada, menjalankan peraturan-peraturan (patimokkha), serta bergaul dengan teman kehidupan suci (sabrahmacari) yang rajin dan bersemangat.

Hendaklah ia bersikap ramah dan sopan tingkah lakunya. Karena merasa gembira dalam menjalankan hal-hal tersebut, maka ia akan bebas dari penderitaan.


Setiap akhir satu syair di atas dibabarkan, seratus dari sembilan ratus bhikkhu mencapai tingkat kesucian arahat.
  Aku akan mengalami Usia tua, aku akan menderita penyakit, aku akan mengalami kematian. Segala yang ku Cintai, ku miliki, dan ku senangi akan Berubah dan terpisah dariku ....

Adhitthana

Syair 377 (XXV:8. Kisah Lima Ratus Bhikkhu)

Lima ratus bhikkhu dari Savatthi, setelah memperoleh petunjuk obyek meditasi dari Sang Buddha, pergi menuju hutan untuk berlatih meditasi. Di hutan, mereka melihat bunga-bunga melati yang mekar di pagi hari dan jatuh dari pohonnya ke tanah pada sore hari. Kemudian para bhikkhu membuat keputusan untuk berlatih keras membebaskan diri dari kekotoran batin seperti halnya bunga-bunga akan terlepas dari pohonnya. Sang Buddha dengan kemampuan batin luar biasa Beliau, mengetahui mereka dari kamar harum. Kemudian Beliau mengirimkan sinar dan membuat mereka merasakan kehadiran-Nya. Kepada mereka Sang Buddha berkata, "Para bhikkhu ! Seperti halnya bunga-bunga akan terlepas dari pohonnya, demikian juga hendaknya seorang bhikkhu berupaya keras melepaskan dirinya dari proses tumimbal lahir."

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 377 berikut :

Seperti tanaman Vassika (pohon melati yang merambat) menggugurkan bunga-bunganya sendiri yang layu kering, begitu pula hendaknya engkau, O bhikkhu, membuang nafsu dan dendam.

Lima ratus bhikkhu mencapai tingkat kesucian arahat, setelah khotbah Dhamma itu berakhir.
  Aku akan mengalami Usia tua, aku akan menderita penyakit, aku akan mengalami kematian. Segala yang ku Cintai, ku miliki, dan ku senangi akan Berubah dan terpisah dariku ....

Adhitthana

Syair 378 (XXV:9. Kisah Santakaya Thera)

Terdapat seorang Thera bernama Santakaya, yang dalam kehidupan lampaunya hidup sebagai singa. Seperti biasa dikatakan : bahwa singa-singa pada umumnya pergi seharian mencari makan, kemudian akan beristirahat selama satu minggu berikutnya tanpa bergerak di dalam gua. Santakaya Thera yang hidup sebagai singa dalam kehidupannya yang lampau mempunyai kebiasaan juga seperti singa. Ia bergerak sangat sedikit, geraknya sangat pelan dan pasti, dan ia biasanya tenang serta terpusat. Bhikkhu-bhikkhu lain merasa sangat aneh melihat kelakuannya, mereka memberitahukan hal itu kepada Sang Buddha.

Setelah mendengar keterangan dari para bhikkhu, Sang Buddha berkata kepada mereka, "Para bhikkhu, seorang bhikkhu yang tenang dan terpusat; ia akan berperilaku seperti Santakaya."

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 378 berikut :

Seorang bhikkhu yang memiliki perbuatan, ucapan, serta pikiran yang tenang dan terpusat, yang telah dapat menyingkirkan hal-hal duniawi, maka ia adalah orang yang benar-benar damai.

Santakaya Thera mencapai tingkat kesucian arahat, setelah khotbah Dhamma itu berakhir.
  Aku akan mengalami Usia tua, aku akan menderita penyakit, aku akan mengalami kematian. Segala yang ku Cintai, ku miliki, dan ku senangi akan Berubah dan terpisah dariku ....

Adhitthana

#260
Syair 379-380 (XXV:10. Kisah Nangalakula Thera)

Nangala adalah seorang buruh tani yang bekerja da seorang petani. Suatu hari seorang bhikkhu melihatnya sedang bekerja di sawah dengan pakaian tuanya yang koyak-koyak. Sang bhikkhu bertanya kepadanya apakah ia berminat menjadi seorang bhikkhu. Ketika ia menyetujui, sang bhikkhu membawanya ke vihara, dan mentahbiskannya menjadi bhikkhu. Setelah diterima dalam Pasamuan Bhikkhu seperti yang telah dinasihatkan oleh gurunya, ia meninggalkan bajak dan pakaian tuanya pada sebuah pohon tidak jauh dari vihara. Karena orang miskin itu meninggalkan bajaknya untuk memasuki pasamuan, maka ia dikenal dengan nama Nangala Thera (nangala artinya bajak).

Kehidupan di vihara lebih baik, maka Nangala Thera menjadi lebih sehat, dan berat badannya bertambah. Setelah beberapa saat, ia merasa bosan dengan kehidupannya sebagai bhikkhu dan sering memikirkan untuk kembali menjadi perumah tangga.

Jika pikiran itu muncul, ia akan pergi ke pohon dekat vihara, di mana bajak dan pakaian tuanya ditaruh. Di sana ia menegur dirinya sendiri, "O, orang tak tahu malu ! Apakah kamu masih menginginkan kembali menggunakan pakaian tua ini dan bekerja keras, hidup rendah sebagai buruh kasar ?" Setelah berpikir seperti itu, ketidakpuasan terhadap kehidupan bhikkhunya menjadi sirna, dan ia kembali ke vihara. Ia pergi ke pohon itu setiap tiga atau empat hari, untuk merenungkan kembali tentang masa lalunya yang tidak menyenangkan.

Jika para bhikkhu bertanya kepadanya tentang seringnya ia berkunjung ke pohon itu, ia menjawab, "Saya pergi ke tempat guru saya."

Waktu berlalu, karena ketekunannya, akhirnya ia mencapai tingkat kesucian arahat, dan ia berhenti pergi ke pohon lagi. Para bhikkhu lain memperhatikan hal itu, bertanya kepadanya, "Mengapa engkau sekarang tidak lagi berkunjung kepada gurumu ?" Kepada mereka, ia menjawab, "Saya pergi kepada guru saya karena saya memerlukannya, tetapi sekarang saya tidak memerlukan pergi kepadanya." Para bhikkhu mengerti apa maksud jawabannya itu, mereka pergi menghadap Sang Buddha dan memberitahu, "Bhante, Nangala Thera menyatakan diri telah mencapai tingkat kesucian arahat. Itu barangkali tidak benar; ia membual, ia berkata bohong."

Kepada mereka, Sang Buddha berkata, "Para bhikkhu, jangan berkata seperti itu perihal Nangala, ia tidak berkata bohong. Anak-Ku Nangala, dengan introspeksi diri dan memperbaiki diri sendiri telah berhasil mencapai tingkat kesucian arahat."

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 379 dan 380 berikut ini :

Engkaulah yang harus mengingatkan dan memeriksa dirimu sendiri. O bhikkhu, bila engkau dapat menjaga dirimu sendiri dan selalu sadar, maka engkau akan hidup dalam kebahagiaan.

Sesungguhnya diri sendiri menjadi tuan bagi diri sendiri. Diri sendiri adalah pelindung bagi diri sendiri. Oleh karena itu kendalikan dirimu sendiri, seperti pedagang kuda menguasai kuda yang baik.
  Aku akan mengalami Usia tua, aku akan menderita penyakit, aku akan mengalami kematian. Segala yang ku Cintai, ku miliki, dan ku senangi akan Berubah dan terpisah dariku ....

Adhitthana

Syair 381 (XXV:11. Kisah Vakkali Thera)

Vakkali adalah seorang brahmana yang tinggal di Savatthi. Suatu hari ia melihat Sang Buddha berpindapatta di dalam kota. Ia sangat terkesan dengan kemuliaan Sang Buddha. Pada saat itu ia menjadi sangat tertarik dan hormat kepada Sang Buddha. Ia memohon izin untuk diterima dalam Pasamuan Bhikkhu sehingga ia dapat selalu dekat dengan Sang Buddha.

Sebagai seorang bhikkhu, Vakkali selalu dekat dengan Sang Buddha, ia tidak memperhatikan tugas kewajibannya sebagai bhikkhu lagi, dan tidak berlatih meditasi.

Karena itu Sang Buddha berkata kepadanya, "Vakkali, tidak akan bermanfaat bagimu yang selalu dekat dengan-Ku, memperhatikan wajah-Ku. Kamu harus berlatih meditasi, sebab hanya ia yang melihat Dhamma akan melihat Saya. Ia yang tidak melihat Dhamma tidak akan melihat Saya." Ketika mendengar kata-kata itu Vakkali sangat tertekan.

Ia meninggalkan Sang Buddha dan memanjat bukit Gijjhakuta untuk melakukan bunuh diri dengan cara melompat dari puncak bukit.

Sang Buddha mengetahui kesedihan dan keputusasaan Vakkali. Karena sedih dan putus asa itu Vakkali akan melepaskan kesempatan memperoleh tingkat kesucian. Oleh karena itu, Sang Buddha mengirimkan bayangan Beliau kepada Vakkali, membuat seolah-olah Beliau berada di hadapannya. Ketika Sang Buddha berada dekat dengannya, segera Vakkali melupakan segala kesedihannya, ia menjadi sangat gembira, dan yakin.

Kepadanya Sang Buddha membabarkan syair 381 berikut :

Dengan penuh kegembiraan dan penuh keyakinan terhadap ajaran Sang Buddha, seorang bhikkhu akan sampai pada keadaan damai (nibbana) disebabkan oleh berakhirnya semua ikatan.

Vakkali mencapai tingkat kesucian arahat, setelah khotbah Dhamma itu berakhir.
  Aku akan mengalami Usia tua, aku akan menderita penyakit, aku akan mengalami kematian. Segala yang ku Cintai, ku miliki, dan ku senangi akan Berubah dan terpisah dariku ....

Adhitthana

Syair 382 (XXV:12. Kisah Samanera Sumana)

Samanera Sumana adalah murid dari Anuruddha Thera. Meskipun ia baru berusia tujuh tahun, tetapi ia telah mencapai tingkat kesucian arahat, dan memiliki kemampuan batin luar biasa. Suatu saat, ketika gurunya, Anuruddha Thera, jatuh sakit di vihara yang berada di lereng pegunungan Himalaya, ia mengambil air dari danau Anotatta yang jauhnya lima ratus yojana dari vihara. Perjalanan itu tidak dilakukan dengan jalan darat, tetapi melalui jalan udara (terbang) berkat kemampuan batin luar biasanya. Suatu hari, Anuruddha Thera membawa Samanera Sumana menghadap Sang Buddha, yang saat itu sedang berdiam di Vihara Pubbarama, sebuah vihara persembahan Visakha.

Di sana, para bhikkhu muda dan samanera mengganggu Samanera Sumana, dengan menepuk kepalanya, memegang telinganya, hidungnya, tangannya, dan bersenda gurau menanyakan apakah ia tidak merasa bosan. Sang Buddha melihat mereka, dan berpikir bahwa akan menunjukkan kepada para bhikkhu suatu kualitas luar biasa dari Samanera Sumana yang masih muda.

Sudah direncanakan oleh Sang Buddha bahwa Beliau berharap beberapa samanera mengambil air satu guci dari danau Anotatta. Y.A. Ananda mencari di antara para bhikkhu dan samanera yang berdiam di Vihara Pubbarama yang dapat melakukan pekerjaan itu, tetapi tidak ada satupun yang dapat melaksanakan tugas itu. Akhirnya, Y.A. Ananda meminta Samanera Sumana yang telah siap untuk mengambil air dari danau Anotatta.

Ia mengambil sebuah guci emas besar milik vihara dan segera membawa air dari danau Anotatta untuk Sang Buddha. Seperti hal sebelumnya, ia pergi ke danau Anotatta dan kembali ke vihara melalui jalan udara berkat kemampuan batin luar biasanya.

Pada saat pertemuan para bhikkhu sore hari, para bhikkhu bercerita kepada Sang Buddha perihal perjalanan luar biasa yang telah dilakukan oleh Samanera Sumana.

Kepada mereka Sang Buddha berkata, "Para bhikkhu, seseorang yang melaksanakan Dhamma dengan tekun dan bersemangat, akan dapat memiliki kemampuan batin luar biasa meskipun usianya masih muda."

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 382 berikut :

Walaupun seorang bhikkhu masih berusia muda, namun bila ia tekun menghayati ajaran Sang Buddha, maka ia akan menerangi dunia ini, bagaikan bulan yang terbebas dari awan.
  Aku akan mengalami Usia tua, aku akan menderita penyakit, aku akan mengalami kematian. Segala yang ku Cintai, ku miliki, dan ku senangi akan Berubah dan terpisah dariku ....

Adhitthana

Bab XXVI-BRAHMANA VAGGA

syair 383 (XXVI:1. Kisah Brahmana Yang Memiliki Keyakinan Kuat)

Suatu ketika, di Savatthi, hidup seorang brahmana yang sangat setia kepada Sang Buddha dan Ajaran-Nya. Setelah mendengar khotbah yang diberikan Sang Buddha, setiap hari, ia mengundang para bhikkhu datang ke rumahnya untuk menerima dana makanan. Ketika para bhikkhu telah sampai di rumahnya, ia memperlakukan mereka seperti arahat dan dengan hormat mempersilakan mereka untuk memasuki rumahnya. Mendapat perlakuan demikian, bhikkhu-bhikkhu yang masih belum mencapai tingkat kesucian (puthujjana) maupun bhikkhu-bhikkhu arahat merasa enggan hati dan memutuskan untuk tidak pergi ke rumah brahmana tersebut keesokan harinya.

Ketika brahmana tersebut mengetahui bahwa para bhikkhu tidak lagi datang ke rumahnya, ia merasa tidak bahagia. Ia pergi menemui Sang Buddha dan memberitahu Beliau tentang para bhikkhu yang tidak lagi datang ke rumahnya. Sang Buddha memanggil para bhikkhu tersebut dan meminta penjelasan. Para bhikkhu mengatakan kepada Sang Buddha bahwa brahmana tersebut memperlakukan mereka semua seperti arahat.

Sang Buddha kemudian bertanya kepada mereka, apakah mereka merasa bangga dan senang ketika mereka diperlakukan seperti itu. Para bhikkhu menjawab tidak.

Kepada mereka, Sang Buddha berkata, "O, para bhikkhu, jika engkau tidak merasa bangga dan senang ketika diperlakukan seperti arahat, maka engkau tidak bersalah melanggar peraturan disiplin para bhikkhu yang manapun. Kenyataan brahmana tersebut memperlakukan engkau demikian karena ia sangat setia kepada para arahat. Jadi, murid-Ku, engkau harus berjuang keras mengurangi nafsu keinginan dan mencapai tingkat kesucian arahat."

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 383 berikut :

O, brahmana, berusahalah dengan tekun memotong arus keinginan dan singkirkanlah nafsu-nafsu indria. Setelah mengetahui penghancuran segala sesuatu yang berkondisi, O brahmana, engkau akan merealisasi nibbana, 'Yang Tidak Terciptakan'.

  Aku akan mengalami Usia tua, aku akan menderita penyakit, aku akan mengalami kematian. Segala yang ku Cintai, ku miliki, dan ku senangi akan Berubah dan terpisah dariku ....

Adhitthana

Syair 384 (XXVI:2. Kisah Tiga Puluh Bhikkhu)

Pada suatu kesempatan, tiga puluh bhikkhu datang memberi penghormatan kepada Sang Buddha. Y.A. Sariputta, yang mengetahui bahwa waktu itu adalah saat yang matang dan sesuai bagi para bhikkhu tersebut untuk mencapai tingkat kesucian arahat, mendekati Sang Buddha dan bertanya, semata-mata hanya untuk kepentingan para bhikkhu tersebut. Pertanyaannya berbunyi demikian, "Apakah yang dimaksud dengan dua Dhamma ?"

Terhadap pertanyaan demikian, Sang Buddha menjawab, "Sariputta ! 'Meditasi Ketenangan dan Meditasi Pandangan Terang' adalah dua Dhamma tersebut."

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 384 berikut :

Bila seorang brahmana telah mencapai akhir daripada dua jalan semadi (pelaksanaan Meditasi Ketenangan dan Pandangan Terang), maka semua belenggu akan terlepas dari dirinya. Karena mengerti dan telah memiliki pengetahuan, ia bebas dari semua ikatan.

Tiga puluh bhikkhu mencapai tingkat kesucian arahat setelah khotbah Dhamma itu berakhir.

  Aku akan mengalami Usia tua, aku akan menderita penyakit, aku akan mengalami kematian. Segala yang ku Cintai, ku miliki, dan ku senangi akan Berubah dan terpisah dariku ....

Adhitthana

Syair 385 (XXVI:3. Kisah Mara (Setan/Jin))

Pada suatu kesempatan, Mara datang menemui Sang Buddha, menampakkan diri berujud manusia dan bertanya kepada Beliau, "Bhante ! Anda sering mengucapkan kata 'param'. Apakah arti dari kata tersebut ?"

Sang Buddha, yang mengetahui bahwa Mara-lah yang bertanya tersebut, lalu menegurnya, "O, Mara yang jahat ! Kata 'param' dan 'aparam' tidak berarti apapun bagimu. 'Param' berarti 'pantai seberang' yang hanya dapat dicapai oleh para arahat yang telah terbebas dari kekotoran batin."

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 385 berikut :

Seseorang yang tidak lagi memiliki pantai sini (enam landasan indria dalam) atau pantai sana (enam obyek indria luar), ataupun kedua-duanya (pantai sini dan pantai sana), tidak lagi bersedih dan tanpa ikatan, maka ia Kusebut seorang 'brahmana'.
  Aku akan mengalami Usia tua, aku akan menderita penyakit, aku akan mengalami kematian. Segala yang ku Cintai, ku miliki, dan ku senangi akan Berubah dan terpisah dariku ....

Adhitthana

Syair 386 (XXVI:4. Kisah Brahmana Tertentu)

Suatu hari, seorang brahmana berpikir sendiri. "Buddha Gotama menyebut para pengikutnya dengan 'brahmana'. Saya adalah seorang brahmana jika dilihat dari kasta saya. Tidakkah saya juga dapat disebut seorang brahmana ?" Setelah berpikir, ia pergi menemui Sang Buddha dan mengutarakan pendapat tersebut.

Kepadanya, Sang Buddha menjawab, "Aku tidak menyebut seseorang sebagai brahmana karena kastanya. Aku hanya menyebut seseorang sebagai brahmana jika ia telah mencapai tingkat kesucian arahat."

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 386 berikut :

Seseorang yang tekun bersemadi, bebas dari noda, tenang, telah mengerjakan apa yang harus dikerjakan, bebas dari kekotoran batin dan telah mencapai tujuan akhir (nibbana), maka ia Kusebut seorang brahmana.

Brahmana mencapai tingkat kesucian sotapatti, setelah khotbah Dhamma itu berakhir.

  Aku akan mengalami Usia tua, aku akan menderita penyakit, aku akan mengalami kematian. Segala yang ku Cintai, ku miliki, dan ku senangi akan Berubah dan terpisah dariku ....

Adhitthana

Syair 387 (XXVI:5. Kisah Ananda Thera)

Saat itu adalah hari purnama sidhi di bulan ke tujuh (Assayuja), ketika Raja Pasenadi dari kerajaan Kosala datang menemui Sang Buddha. Raja tampak gemerlapan dengan tanda-tanda kebesaran kerajaan yang megah. Pada waktu itu, Kaludayi Thera juga sedang berada pada ruangan yang sama dan duduk pada ujung kerumunan. Beliau sedang dalam keadaan pencerapan kesadaran yang dalam (jhana). Tubuhnya bersinar terang, dan berwarna keemasan. Dari langit, Y.A. Ananda memperhatikan bahwa matahari sedang tenggelam dan bulan baru saja muncul, baik matahari maupun bulan memancarkan cahayanya.

Y.A. Ananda memandang gemerlapnya cahaya dari raja, sang thera, dan cahaya matahari dan bulan. Akhirnya, Y.A. Ananda melihat Sang Buddha, dan tiba-tiba merasa bahwa cahaya yang bersinar dari Sang Buddha jauh melampaui cahaya yang lainnya. Karena melihat Sang Buddha bersinar dalam kedamaian dan kemegahan Beliau, Y.A. Ananda segera menghampiri Sang Buddha, dan menyambut dengan sorak sorai, "O, Bhante ! Cahaya dari tubuh-Mu yang mulia jauh melampaui cahaya dari raja, cahaya dari sang thera, cahaya dari matahari dan cahaya dari bulan."

Kepada Ananda, Sang Buddha membabarkan syair 387 berikut :

Matahari bersinar di waktu siang. Bulan bercahaya di waktu malam. Ksatria gemerlapan dengan seragam perangnya. Brahmana bersinar terang dalam semadi. Tetapi, Sang Buddha (Ia yang telah mencapai Penerangan Sempurna) bersinar dengan penuh kemuliaan sepanjang siang dan malam.

  Aku akan mengalami Usia tua, aku akan menderita penyakit, aku akan mengalami kematian. Segala yang ku Cintai, ku miliki, dan ku senangi akan Berubah dan terpisah dariku ....

Adhitthana

Syair 388 (XXVI:6. Kisah Seorang Pertapa Brahmana)

Suatu ketika hiduplah seorang pertapa di Savatthi. Suatu peristiwa berkesan pada dirinya, ketika Sang Buddha menggunakan istilah panggilan bagi semua bhikkhu pengikutNya yang meninggalkan keduniawian dengan kata : 'pabbajita'.

Karena ia juga seorang pertapa, maka ia seharusnya disebut juga seorang pabbajita (yang meninggalkan keduniawian). Jadi ia pergi menemui Sang Buddha dan bertanya mengapa ia tidak disebut seorang pabbajita.

Jawaban Sang Buddha terhadap pertanyaannya adalah demikian : "Hanya karena seseorang adalah pertapa, seseorang tidak dapat begitu saja disebut seorang pabbajita; seorang pabbajita juga harus mempunyai persyaratan lain."

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 388 berikut :

Karena telah membuang kejahatan, maka ia Kusebut seorang 'brahmana'; karena tingkah lakunya tenang, maka ia Kusebut seorang 'pertapa' (samana); dan karena ia telah melenyapkan noda-noda batin, maka ia Kusebut seorang 'pabbajjita' (orang yang telah meninggalkan kehidupan berumah tangga).

Pertapa tadi mencapai tingkat kesucian sotapatti setelah khotbah Dhamma itu berakhir.

  Aku akan mengalami Usia tua, aku akan menderita penyakit, aku akan mengalami kematian. Segala yang ku Cintai, ku miliki, dan ku senangi akan Berubah dan terpisah dariku ....

Adhitthana

Syair 389-390 (XXVI:7. Kisah Sariputta Thera)

Y.A. Sariputta sering dipuji oleh banyak orang karena kesabaran dan pengendalian dirinya. Murid-muridnya biasa membicarakannya demikian : "Guru kita adalah orang yang memiliki kesabaran yang tinggi dan pengendalian diri yang luar biasa. Jika beliau diperlakukan kasar atau bahkan dipukul oleh orang lain, beliau tidak menjadi marah tetapi tetap tenang dan sabar."

Karena pembicaraan mengenai Y.A. Sariputta ini sering terjadi, seorang brahmana yang mempunyai pandangan salah mengumumkan kepada para pengagum Sariputta bahwa ia akan memancing kemarahan Y.A. Sariputta.

Pada saat Y.A. Sariputta sedang berpindapatta, muncullah brahmana tersebut menghampiri beliau dari belakang dan memukul punggung beliau dengan keras menggunakan tangan. Sang thera tidak berbalik untuk melihat siapa yang telah menyerangnya, tetapi meneruskan perjalanannya seolah-olah tidak ada apapun yang terjadi. Melihat keluhuran dan ketabahan dari sang thera yang mulia tersebut, brahmana itu menjadi sangat terkejut. Ia berlutut di kaki Y.A. Sariputta, mengakui bahwa ia telah bersalah memukul sang thera, dan meminta maaf. Brahmana itu kemudian melanjutkan, "Yang Ariya, hendaknya engkau memaafkanku, dengan senang hati datanglah ke rumahku untuk menerima dana makanan."

Sore harinya para bhikkhu lain memberitahu Sang Buddha bahwa Y.A. Sariputta telah pergi untuk menerima dana makanan ke rumah seorang brahmana yang telah memukulnya. Lebih lanjut, mereka menduga bahwa brahmana tersebut makin berani dan akan melakukan hal yang sama terhadap para bhikkhu yang lain.

Kepada para bhikkhu tersebut, Sang Buddha menjawab, "Para bhikkhu, seorang brahmana sejati tidak akan memukul brahmana sejati lainnya; hanya orang biasa maupun brahmana biasa yang akan memukul seorang arahat dengan kemarahan dan itikad jahat. Itikad jahat ini akan dilenyapkan oleh seseorang yang telah mencapai tingkat kesucian anagami." Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 389 dan 390 berikut ini :

Janganlah seseorang memukul brahmana, juga janganlah brahmana yang dipukul itu menjadi marah kepadanya. Sungguh memalukan perbuatan orang yang memukul brahmana, tetapi lebih memalukan lagi adalah brahmana yang menjadi marah kepada orang yang telah memukulnya.

Tak ada yang lebih baik bagi seorang 'brahmana' selain menarik pikirannya dari hal-hal yang menyenangkan. Lebih cepat ia dapat menyingkirkan itikad jahatnya, maka lebih cepat pula penderitaannya akan berakhir.


  Aku akan mengalami Usia tua, aku akan menderita penyakit, aku akan mengalami kematian. Segala yang ku Cintai, ku miliki, dan ku senangi akan Berubah dan terpisah dariku ....