News:

Semoga anda berbahagia _/\_

Main Menu

Dhammapada Atthakatha

Started by Adhitthana, 30 October 2008, 01:53:09 AM

Previous topic - Next topic

0 Members and 1 Guest are viewing this topic.

Adhitthana

Syair 259 (XIX:3. Kisah Arahat Ekudana)

Bhikkhu ini hidup di sebuah hutan kecil di dekat Savatthi. Ia dikenal dengan nama Ekudana, sebab ia hanya hafal satu bait saja dari Kitab Udana. Tetapi thera tersebut mengerti sepenuhnya makna Dhamma yang terkandung dalam bait tersebut. Pada setiap hari uposatha, dia mendesak orang lain untuk mendengarkan Dhamma, dan dia sendiri akan mengucapkan satu-satunya syair yang dihafalnya itu. Setiap kali ia selesai mengucapkan bait itu, para dewa dalam hutan itu memujinya dan meyambutnya dengan tepuk tangan yang meriah.

Pada suatu hari uposatha, dua thera yang terpelajar, yang benar-benar menguasai semua pelajaran Dhamma, diiringi oleh lima ratus bhikkhu datang ke tempat itu. Ekudana meminta kedua thera tersebut untuk memberikan khotbah Dhamma. Mereka bertanya apakah banyak yang ingin mendengarkan Dhamma di tempat yang terpencil itu. Ekudana membenarkan dan juga menceritakan kepada mereka bahwa bahkan para dewa dalam hutan itu biasanya datang, dan mereka selalu memuji dan bertepuk tangan pada akhir khotbah.

Maka, kedua thera terpelajar itu mulai memberikan khotbah Dhamma, tetapi ketika khotbah mereka berakhir, tidak ada tepuk tangan dari para dewa dalam hutan itu. Kedua thera tersebut menjadi bingung dan bahkan meragukan kata-kata Ekudana. Tetapi Ekudana bersikeras bahwa para dewa biasanya datang dan selalu bertepuk tangan pada akhir setiap khotbah.

Kedua thera itu kemudian mendesak Ekudana untuk berkhotbah. Ekudana memegang kipas di hadapannya dan mengucapkan bait yang biasa diucapkannya. Setelah selesai mengucapkan bait itu, para dewa bertepuk tangan seperti biasa. Para bhikkhu yang mengiringi kedua thera terpelajar itu menuduh bahwa para dewa yang berdiam dalam hutan itu sangat berat sebelah.

Mereka melaporkan masalah itu kepada Sang Buddha pada kunjungannya di Vihara Jetavana. Kepada mereka Sang Buddha berkata, "Para bhikkhu ! Aku tidak mengatakan bahwa seorang bhikkhu yang telah belajar banyak dan berbicara banyak tentang Dhamma adalah seseorang yang mengetahui Dhamma (Dhammadhara).

Seseorang yang belajar sangat sedikit dan hanya mengetahui satu bait dari Dhamma, tetapi memahami sepenuhnya 'Empat Kesunyataan Mulia?dan selalu sadar, adalah orang yang sesungguhnya mengetahui Dhamma."

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 259 berikut :

Seseorang bukan 'pendukung Dhamma?hanya karena ia banyak bicara. Namun seseorang yang walaupun hanya belajar sedikit tetapi batinnya melihat Dhamma dan tidak melalaikannya, maka sesungguhnya ia adalah seorang 'pendukung Dhamma?
  Aku akan mengalami Usia tua, aku akan menderita penyakit, aku akan mengalami kematian. Segala yang ku Cintai, ku miliki, dan ku senangi akan Berubah dan terpisah dariku ....

Adhitthana

Syair 260-261 (XIX:4. Kisah Bhaddiya Thera)

Suatu hari, tiga puluh bhikkhu datang untuk memberikan penghormatan kepada Sang Buddha. Sang Buddha mengetahui bahwa telah tiba saatnya bagi ketiga puluh bhikkhu tersebut untuk mencapai tingkat kesucian arahat.

Maka Beliau bertanya kepada mereka apakah mereka telah melihat seorang thera saat mereka memasuki ruangan. Mereka menjawab bahwa mereka tidak melihat seorang thera tetapi mereka hanya melihat seorang samanera muda ketika mereka masuk.

Sang Buddha berkata kepada mereka, "Para bhikkhu ! Orang tersebut bukanlah samanera, ia adalah seorang bhikkhu senior walaupun bentuk tubuhnya kecil dan sangat sederhana. Aku mengatakan bahwa seseorang tidak dapat disebut thera hanya karena ia berusia tua dan tampak seperti seorang thera; hanya ia yang memahami 'Empat Kesunyataan Mulia?dan tidak menyakiti orang lain yang dapat disebut seorang thera."

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 260 dan 261 berikut ini :

Seseorang tidak disebut thera hanya karena rambutnya telah memutih. Biarpun usianya sudah lanjut, dapat saja ia disebut 'orang tua yang tidak berguna?

Orang yang memiliki kebenaran dan kebajikan, tidak kejam, terkendali dan terlatih, pandai dan bebas dari noda-noda, sesungguhnya ia patut disebut Thera.


Tiga puluh bhikkhu mencapai tingkat kesucian arahat setelah khotbah Dhamma itu berakhir.
  Aku akan mengalami Usia tua, aku akan menderita penyakit, aku akan mengalami kematian. Segala yang ku Cintai, ku miliki, dan ku senangi akan Berubah dan terpisah dariku ....

Adhitthana

Syair 262-263 (XIX:5. Kisah Beberapa Bhikkhu)

Pada suatu vihara, para bhikkhu muda dan samanera mempunyai kebiasaan mengunjungi bhikkhu-bhikkhu lebih tua yang merupakan guru mereka. Mereka mencuci dan mencelup jubah, atau melakukan pelayanan kecil lain bagi guru mereka.

Beberapa bhikkhu lain yang melihat hal ini merasa iri hati kepada para bhikkhu senior, dan mereka memikirkan suatu rencana yang akan menguntungkan mereka secara material. Rencana mereka adalah mengusulkan kepada Sang Buddha bahwa para bhikkhu muda dan samanera harus diminta datang kepada mereka untuk diberi perintah dan petunjuk lebih lanjut walaupun mereka telah diajar oleh guru mereka masing-masing.

Sang Buddha, yang mengetahui sepenuhnya tujuan mereka, menolak usul itu. Kepada mereka, Sang Buddha berkata, "Para bhikkhu ! Aku tidak mengatakan bahwa engkau baik hati hanya karena engkau mampu berbicara dengan fasih. Hanya dia yang telah menyingkirkan sifat iri hati dan semua kejahatan dengan mencapai 'Jalan Kesucian Arahat?(arahatta magga) yang dapat disebut orang yang baik hati."

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 262 dan 263 berikut ini :

Bukan hanya karena pandai bicara dan bukan pula karena memiliki penampilan yang baik seseorang dapat menyebut dirinya orang yang baik hati, apabila ia masih bersifat iri, kikir dan suka menipu.

Orang yang telah memotong, mencabut dan memutuskan akar sifat iri hati, kekikiran serta dusta; maka orang bijaksana yang telah menyingkirkan segala keburukan itulah yang sesungguhnya dapat disebut orang yang baik hati.

  Aku akan mengalami Usia tua, aku akan menderita penyakit, aku akan mengalami kematian. Segala yang ku Cintai, ku miliki, dan ku senangi akan Berubah dan terpisah dariku ....

Adhitthana

Syair 264-265 (XIX:6. Kisah Bhikkhu Hatthaka)

Bhikkhu Hatthaka mempunyai kebiasaan menantang para pertapa bukan pengikut Sang Buddha agar menjumpainya di suatu tempat tertentu untuk berdebat mengenai masalah-masalah keagamaan. Kemudian ia akan pergi seorang diri ke tempat yang telah dijanjikan. Jika tidak seorang pun muncul ia akan membual, "Lihat, pertapa-pertapa pengembara itu tidak berani menjumpaiku, mereka telah kukalahkan !" dan hal-hal semacam lainnya.

Sang Buddha memanggil Hatthaka, dan berkata, "Bhikkhu ! Mengapa engkau bertingkah laku demikian ? Orang yang mengatakan hal-hal semacam itu tidak dapat menjadi seorang samana sekalipun kepalanya gundul. Hanya orang yang telah menyingkirkan semua kejahatan dari dirinya yang dapat disebut seorang samana."

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 264 dan 265 berikut ini :

Seseorang yang tidak memiliki disiplin dan suka berdusta tidak dapat disebut seorang pertapa (samana) walaupun ia berkepala gundul. Mana mungkin orang yang penuh dengan keinginan serta keserakahan dapat menjadi seorang samana ?

Barang siapa dapat mengalahkan semua kejahatan, baik yang kecil maupun yang besar, maka ia patut disebut seorang samana karena ia telah mengatasi semua kejahatan.
  Aku akan mengalami Usia tua, aku akan menderita penyakit, aku akan mengalami kematian. Segala yang ku Cintai, ku miliki, dan ku senangi akan Berubah dan terpisah dariku ....

Adhitthana

Syair 266-267 (XIX:7. Kisah Seorang Brahmana)

Suatu ketika, ada seorang brahmana yang mempunyai kebiasaan berkeliling untuk menerima dana makanan. Suatu hari, ia berpikir, "Samana Gotama telah menyatakan bahwa orang yang hidup dengan cara menerima dana makanan adalah seorang bhikkhu. Dengan demikian, saya juga dapat disebut seorang bhikkhu." Dengan berpikir seperti itu, ia menghadap Sang Buddha, dan berkata bahwa ia (brahmana itu) dapat juga disebut seorang bhikkhu, karena ia juga pergi menerima dana makanan.

Kepadanya Sang Buddha berkata, "Brahmana, aku tidak berkata bahwa engkau seorang bhikkhu hanya karena engkau pergi mengumpulkan dana makanan. Orang yang menganut kepercayaan yang salah dan bertindak sesuai dengan hal itu tidak dapat disebut seorang bhikkhu. Hanya orang yang melaksanakan perenungan tentang ketidak-kekalan, ketidak-puasan, dan keadaan tanpa inti dari gabungan unsur-unsur yang dapat disebut seorang bhikkhu."

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 266 dan 267 berikut ini :

Seseorang tidak dapat disebut bhikkhu hanya karena ia mengumpulkan dana makanan dari orang lain. Selama ia masih bertingkah laku seperti seorang perumah tangga dan tidak mentaati peraturan, maka ia belum pantas disebut bhikkhu.

Dalam hal ini, seseorang yang telah mengatasi kebaikan dan kejahatan, yang menjalankan kehidupan suci dan melaksanakan perenungan tentang kelompok-kelompok khandha, maka sesungguhnya ia dapat disebut seorang bhikkhu.
  Aku akan mengalami Usia tua, aku akan menderita penyakit, aku akan mengalami kematian. Segala yang ku Cintai, ku miliki, dan ku senangi akan Berubah dan terpisah dariku ....

Adhitthana

Syair 268-269 (XIX:8. Kisah Para Pertapa Bukan Pengikut Sang Buddha)

Terhadap orang yang mempersembahkan makanan atau benda-benda lain kepada para pertapa itu, mereka akan mengucapkan kata-kata pemberkahan. Mereka akan berkata, "Semoga engkau bebas dari bahaya, semoga engkau menjadi makmur dan kaya, semoga engkau panjang umur," dan sebagainya. Pada waktu itu, para bhikkhu murid Sang Buddha tidak mengucapkan apa pun setelah menerima sesuatu persembahan dari murid awam mereka.

Hal ini karena selama masa dua puluh tahun pertama setelah Sang Buddha mencapai Penerangan Sempurna, para bhikkhu tetap berdiam diri pada saat menerima persembahan. Karena para pengikut Sang Buddha tetap berdiam sedangkan para pertapa bukan pengikut Sang Buddha mengucapkan hal-hal yang menyenangkan bagi murid-murid mereka, orang-orang mulai membandingkan kedua kelompok tersebut.

Ketika Sang Buddha mendengar hal ini, Beliau mengizinkan para bhikkhu mengucapkan kata-kata pemberkahan kepada murid-murid mereka setelah menerima persembahan. Akibatnya, semakin banyak orang yang mengundang para pengikut Sang Buddha untuk menerima dana makanan.

Kemudian para pertapa dari ajaran lain berkata dengan menghina, "Kami taat pada praktek pertapaan dan berdiam diri, tetapi pengikut Samana Gotama berbicara banyak sekali di tempat makan." Mendengar kata-kata yang merendahkan itu, Sang Buddha berkata, "Para bhikkhu ! Ada orang yang tetap berdiam karena mereka bodoh dan takut, dan ada yang tetap berdiam karena mereka tidak mau membagi pengetahuan mereka yang mendalam kepada orang lain. Jadi, orang tidak menjadi seorang pertapa hanya dengan tetap berdiam. Hanya orang yang telah mengatasi kejahatan yang dapat disebut seorang pertapa."

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 268 dan 269 berikut ini :

Tidak hanya karena berdiam diri seseorang menjadi orang suci (muni), apabila ia dungu dan bodoh. Bagaikan memegang sepasang neraca, orang bijaksana melaksanakan sesuatu yang baik dan menghindari yang jahat.

Karena seseorang dapat memilih apa yang baik dan menghindari apa yang buruk, maka ia disebut orang suci. Demikianlah, ia yang telah mengerti kedua kelompok (batin maupun jasmani), patut disebut orang suci.
  Aku akan mengalami Usia tua, aku akan menderita penyakit, aku akan mengalami kematian. Segala yang ku Cintai, ku miliki, dan ku senangi akan Berubah dan terpisah dariku ....

Adhitthana

Syair 270 (XIX:15. Kisah Seorang Nelayan Bernama Ariya)

Suatu ketika, ada seorang nelayan yang tinggal di gerbang utara kota Savatthi. Suatu hari, melalui kemampuan batin luar biasa, Sang Buddha melihat bahwa telah tiba saatnya bagi nelayan itu untuk mencapai tingkat kesucian sotapatti.

Maka dalam perjalanan pulang dari berpindapatta Sang Buddha bersama dengan para bhikkhu, berhenti di dekat tempat di mana Ariya sedang menangkap ikan. Ketika nelayan itu melihat Sang Buddha, ia melemparkan alat penangkap ikannya kemudian datang dan berdiri di dekat Sang Buddha. Sang Buddha mulai menanyakan nama-nama para bhikkhu di hadapan si nelayan, dan akhirnya, Beliau menanyakan nama nelayan itu.

Ketika si nelayan menjawab bahwa namanya adalah Ariya, Sang Buddha berkata bahwa para orang mulia (Ariya) tidak melukai makhluk hidup apa pun, tetapi karena si nelayan membunuh ikan-ikan maka ia tidak layak menyandang nama Ariya.

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 270 berikut :

Seseorang tidak dapat disebut Ariya (orang mulia) apabila masih menyiksa makhluk hidup. Ia yang tidak lagi menyiksa makhluk-makhluk hiduplah yang dapat dikatakan mulia.

Nelayan Ariya mencapai tingkat kesucian sotapatti setelah khotbah Dhamma itu berakhir.
  Aku akan mengalami Usia tua, aku akan menderita penyakit, aku akan mengalami kematian. Segala yang ku Cintai, ku miliki, dan ku senangi akan Berubah dan terpisah dariku ....

Adhitthana

Syair 271-272 (XIX:10. Kisah Beberapa Bhikkhu)

Suatu ketika, ada beberapa bhikkhu yang memiliki kebajikan; beberapa di antara mereka dengan ketat menjalankan latihan-latihan keras (dhutanga), beberapa orang mempunyai pengetahuan yang luas tentang Dhamma, beberapa orang telah mencapai pencerapan mental (jhana). Beberapa orang telah mencapai tingkat kesucian anagami, dan lain-lain. Mereka semua berpikir bahwa karena mereka telah mencapai banyak hal, akan cukup mudah bagi mereka untuk mencapai tingkat kesucian arahat. Dengan pikiran seperti ini mereka pergi menghadap Sang Buddha.

Sang Buddha bertanya kepada mereka, "Para bhikkhu, sudahkah engkau mencapai tingkat kesucian arahat ?" Mereka menjawab bahwa mereka berada dalam keadaan sedemikian sehingga tidak akan sulit bagi mereka untuk mencapai tingkat kesucian arahat sewaktu-waktu.

Kepada mereka Sang Buddha berkata, "Para bhikkhu ! Hanya karena engkau telah memiliki moralitas (sila), hanya karena engkau telah mencapai tingkat kesucian anagami, engkau tidak boleh puas dan berpikir bahwa hanya tinggal sedikit lagi yang harus dikerjakan; kecuali jika engkau telah menghapuskan semua kekotoran batin (asava). Engkau tidak boleh berpikir bahwa engkau telah mencapai kebahagiaan sempurna tingkat kesucian arahat."

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 271 dan 272 berikut ini :

Bukan hanya karena sila dan tekad, bukan pula karena banyak belajar ataupun karena telah mencapai perkembangan dalam samadhi, atau juga karena berdiam diri di tempat yang sepi;

Lalu ia berpikir, 'Aku telah menikmati kebahagiaan dari pelepasan yang tidak dapat dicapai oleh orang duniawi.?O para bhikkhu, janganlah engkau merasa puas sebelum mencapai penghancuran semua kekotoran batin.


Semua bhikkhu mencapai tingkat kesucian arahat setelah khotbah Dhamma itu berakhir.
  Aku akan mengalami Usia tua, aku akan menderita penyakit, aku akan mengalami kematian. Segala yang ku Cintai, ku miliki, dan ku senangi akan Berubah dan terpisah dariku ....

Adhitthana

Bab XX-MAGGA VAGGA

Syair 273-276 (XX:1. Kisah Lima Ratus Bhikkhu)

Lima ratus bhikkhu, setelah mengikuti Sang Buddha ke sebuah desa, pulang ke Vihara Jetavana. Sore harinya mereka berbicara tentang perjalanannya, khususnya tentang keadaan tanah, apakah datar atau berbukit, lembek atau berbatu, dan lainnya.

Sang Buddha menghampiri mereka, seraya berkata, "Para bhikkhu, jalan yang kalian bicarakan adalah keadaan di luar diri kalian. Seorang bhikkhu seharusnya hanya terpusat pada 'jalan utama' (Jalan Ariya) dan berusaha keras berbuat sesuai dengan 'Jalan Ariya' yang membimbing kita merealisasi kedamaian abadi (nibbana)."

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 273 sampai dengan 276 berikut ini :

Di antara semua jalan, maka 'Jalan Mulia Berfaktor Delapan' adalah yang terbaik; di antara semua kebenaran, maka 'Empat Kebenaran Mulia' adalah yang terbaik. Di antara semua keadaan, maka keadaan tanpa nafsu adalah yang terbaik; dan di antara semua makhluk hidup, maka orang yang 'melihat' adalah yang terbaik.

Inilah satu-satunya 'Jalan'. Tidak ada jalan lain yang dapat membawa pada kemurnian pandangan. Ikutilah jalan ini, yang dapat mengalahkan Mara (penggoda).

Dengan mengikuti 'Jalan' ini, engkau dapat mengakhiri penderitaan. Dan jalan ini pula yang Kutunjukkan setelah Aku mengetahui bagaimana cara mencabut duri-duri (kekotoran batin).

Engkau sendirilah yang harus berusaha, para Tathagata hanya menunjukkan 'Jalan'. Mereka yang tekun bersamadhi dan memasuki 'Jalan' ini akan terbebas dari belenggu Mara.


Kelima ratus bhikkhu mencapai tingkat kesucian arahat, setelah khotbah Dhamma itu berakhir.

  Aku akan mengalami Usia tua, aku akan menderita penyakit, aku akan mengalami kematian. Segala yang ku Cintai, ku miliki, dan ku senangi akan Berubah dan terpisah dariku ....

Adhitthana

Syair 277-279 (XX:2. Kisah Yang Berhubungan Dengan Anicca, Dukkha Dan Anatta)

Anicca
Setelah menerima pelajaran meditasi dari Sang Buddha, lima ratus bhikkhu pergi ke sebuah hutan untuk berlatih meditasi. Tetapi mereka mengalami sedikit kemajuan, sehingga mereka kembali kepada Sang Buddha dan menanyakan pelajaran meditasi lainnya yang akan membuat mereka mencapai hasil yang lebih baik. Dalam benak hati-Nya, Sang Buddha mengetahui bahwa pada masa Buddha Kassapa, bhikkhu-bhikkhu itu bermeditasi dengan obyek ketidakkekalan.

Kemudian Beliau berkata, "Para bhikkhu, semua keadaan yang berkondisi adalah subyek dari perubahan dan akan musnah, oleh karena itu tidaklah kekal."

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 277 berikut :

Segala sesuatu yang berkondisi tidak kekal adanya. Apabila dengan kebijaksanaan orang dapat melihat hal ini; maka ia akan merasa jemu dengan penderitaan. Inilah Jalan yang membawa pada kesucian.

Lima ratus bhikkhu mencapai tingkat kesucian arahat setelah khotbah Dhamma itu berakhir.

Dukkha
Kisahnya sama dengan kisah Anicca. Sang Buddha mengetahui bahwa terdapat kelompok 500 bhikkhu yang lain bermeditasi dengan obyek dukkha, sehingga Beliau berkata, "Para bhikkhu, segala perpaduan hidup adalah menderita dan tidak memuaskan, maka segala kelompok kehidupan (khandha) adalah dukkha."

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 278 berikut :

Segala sesuatu yang berkondisi adalah dukkha. Apabila dengan kebijaksanaan orang dapat melihat hal ini, maka ia akan merasa jemu dengan penderitaan. Inilah Jalan yang membawa pada kesucian.

Lima ratus bhikkhu mencapai tingkat kesucain arahat setelah khotbah Dhamma itu berakhir.

Ketanpa-intian (Anatta)
Kisahnya sama dengan kisah Anicca dan kisah Dukkha. Sang Buddha mengetahui bahwa terdapat kelompok 500 bhikkhu lain lagi bermeditasi dengan obyek Anatta, sehingga Beliau berkata, "Para bhikkhu, segalanya perpaduan hidup adalah tanpa inti/substansi. Hal tersebut bukan subyek keakuan."

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 279 berikut :

Segala sesuatu yang berkondisi adalah tanpa inti. Apabila dengan kebijaksanaan orang dapat melihat hal ini, maka ia akan merasa jemu dengan penderitaan. Inilah Jalan yang membawa pada kesucian.[/colot]

Lima ratus bhikkhu mencapai tingkat kesucian arahat setelah khotbah Dhamma itu berakhir.
  Aku akan mengalami Usia tua, aku akan menderita penyakit, aku akan mengalami kematian. Segala yang ku Cintai, ku miliki, dan ku senangi akan Berubah dan terpisah dariku ....

Adhitthana

Syair 280 (XX:3. Kisah Tissa Thera, Bhikkhu Yang Malas)

Suatu ketika, lima ratus orang pemuda ditahbiskan menjadi bhikkhu, siswa Sang Buddha di Savatthi. Setelah menerima pelajaran meditasi dari Sang Buddha, para bhikkhu baru tersebut, kecuali satu bhikkhu, pergi ke hutan untuk berlatih meditasi. Mereka berlatih dengan tekun dan sungguh-sunguh sehingga dalam waktu singkat mereka semua mencapai tingkat kesucian arahat. Ketika mereka pulang ke vihara untuk memberi hormat kepada Sang Buddha, Beliau sangat gembira dan puas dengan pencapaian mereka. Bhikkhu Tissa, yang tertinggal, tidak berusaha keras sehingga ia tidak mencapai apa-apa.

Ketika Tissa tahu bahwa hubungan antara Sang Buddha dan para bhikkhu sangat baik dan dekat, ia merasa agak dilupakan dan menyesal karena ia telah menyia-nyiakan waktunya selama ini. Sehingga ia memutuskan untuk berlatih meditasi sepanjang malam. Ketika ia sedang berjalan dalam meditasinya di suatu malam, ia tersandung dan mengalami patah tulang di pahanya. Bhikkhu yang lain mendengar teriakannya, segera datang menolongnya.

Saat mendengar peristiwa itu Sang Buddha berkata, "Para bhikkhu, ia yang tidak berusaha keras pada saat harus berusaha, tetapi menyia-nyiakan waktunya, ia tidak akan mencapai jhana dan pandangan terang Sang Jalan."

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 280 berikut :

Walaupun seseorang masih muda dan kuat, namun bila ia malas dan tidak mau berjuang semasa harus berjuang, serta berpikir lamban; maka orang yang malas dan lamban seperti itu tidak akan menemukan Jalan yang mengantarnya pada kebijaksanaan.
  Aku akan mengalami Usia tua, aku akan menderita penyakit, aku akan mengalami kematian. Segala yang ku Cintai, ku miliki, dan ku senangi akan Berubah dan terpisah dariku ....

Adhitthana

Syair 281 (XX:4. Kisah Babi Peta)

Suatu ketika, saat Maha Moggallana Thera berjalan menuruni bukit Gijjhakuta bersama Lakkhana Thera, Beliau melihat sesuatu yang menyedihkan, yaitu makhluk peta kelaparan, dengan kepala berwujud babi dan berbadan manusia. Melihat makhluk peta tersebut, Maha Moggallana Thera tersenyum namun tak berkata sedikit pun. Pada saat tiba di vihara, Maha Moggallana Thera menghadap Sang Buddha, membicarakan tentang makhluk peta berwujud babi yang mulutnya penuh dengan belatung.

Sang Buddha mengatakan bahwa Beliau juga pernah melihat makhluk tersebut saat Beliau baru saja mencapai Ke-Buddha-an, namun Beliau tidak mengatakan hal itu, karena orang-orang mungkin tidak akan percaya dan akan menyalahkan Beliau. Kemudian Sang Buddha menceritakan kisah tentang makhluk peta babi tersebut.

Pada masa Buddha Kassapa, makhluk peta babi itu adalah seorang bhikkhu yang sering membabarkan Dhamma. Suatu ketika, ia mengunjungi sebuah vihara yang ditempati oleh dua bhikkhu. Setelah tinggal beberapa waktu bersama kedua bhikkhu tersebut, ia menyadari bahwa ia telah berbuat cukup baik karena orang-orang menyukai penjelasannya. Ia merasa akan lebih baik lagi bila ia dapat membuat kedua bhikkhu tersebut pergi dan vihara itu menjadi miliknya sendiri. Maka ia mencoba untuk mengadu domba mereka. Kedua bhikkhu tersebut bertengkar dan meninggalkan vihara menuju dua arah yang berlawanan. Akibat dari perbuatan buruk itu, bhikkhu tadi terlahir di alam neraka Avici dan ia harus menjalani sisa hidupnya dengan menderita sebagai makhluk peta yang berwujud babi dengan mulut dipenuhi belatung.

Sang Buddha pun melanjutkan, "Seorang bhikkhu haruslah tenang dan terkendali baik dalam pikiran, ucapan maupun perbuatan."

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 281 berikut :

Hendaklah ia menjaga ucapan dan mengendalikan pikiran dengan baik serta tidak melakukan perbuatan jahat melalui jasmani. Hendaklah ia memurnikan tiga saluran perbuatan ini, memenangkan 'jalan' yang telah dibabarkan oleh Para Suci.

  Aku akan mengalami Usia tua, aku akan menderita penyakit, aku akan mengalami kematian. Segala yang ku Cintai, ku miliki, dan ku senangi akan Berubah dan terpisah dariku ....

Adhitthana

Syair 282 (XX:5. Kisah Potthila Thera)

Potthila adalah seorang bhikkhu senior yang memahami semua teori Dhamma yang telah diajarkan oleh Sang Buddha dengan baik dan sering mengajarkan Dhamma kepada lima ratus bhikkhu dengan bersungguh-sungguh. Pemahamannya itu menjadikan ia sangat sombong. Sang Buddha mengetahui kekurangan itu, dan menginginkan Potthila memperbaiki sikapnya serta mengarahkannya ke jalan yang benar.

Maka kapan pun Potthila datang untuk memberi hormat, Sang Buddha memanggilnya dengan 'Potthila yang tak berguna? Saat Potthila mendengar panggilan itu, ia merenungkan kata-kata Sang Buddha dan menyadari bahwa Sang Buddha menyebutnya demikian karena ia tidak pernah berusaha dengan serius dalam berlatih meditasi dan belum mencapai tingkat kesucian ataupun pencapaian jhana.

Lalu tanpa mengatakan kepada siapa pun, Potthila Thera pergi ke suatu tempat yang letaknya 20 yojana dari Vihara Jetavana. Di tempat itu terdapat 30 bhikkhu. Pertama, ia mendatangi bhikkhu yang paling senior dan memohonnya untuk menjadi penasehat, namun bhikkhu tersebut menyuruhnya pergi ke bhikkhu senior yang lain, yang terus menyuruhnya pergi ke bhikkhu yang lainnya lagi. Potthila terus berpindah dari satu bhikkhu ke bikkhu yang lain sehingga akhirnya ia menghadap seorang samanera arahat berusia 7 tahun. Samanera muda itu menerimanya sebagai murid dengan catatan bahwa Potthila harus mengikuti semua petunjuknya dengan penuh rasa hormat. Setelah diberi berbagai petunjuk oleh samanera itu, Potthila Thera membuat pikirannya benar-benar teguh pada kondisi alamiah badan jasmani, ia menjadi sangat rajin dan bersungguh-sungguh dalam bermeditasi.

Sang Buddha melihat Potthila melalui kemampuan penglihatan luar biasa serta kekuatan batin Beliau. Potthila merasakan kehadiran Beliau serta mendorongnya untuk tetap tabah dan rajin.

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 282 berikut :

Sesungguhnya dari meditasi akan timbul kebijaksanaan; tanpa meditasi kebijaksanaan akan pudar. Setelah mengetahui kedua jalan bagi perkembangan dan kemerosotan batin, hendaklah orang melatih diri sehingga kebijaksanaannya berkembang.

Potthila Thera mencapai tingkat kesucian arahat setelah khotbah Dhamma itu berakhir.
  Aku akan mengalami Usia tua, aku akan menderita penyakit, aku akan mengalami kematian. Segala yang ku Cintai, ku miliki, dan ku senangi akan Berubah dan terpisah dariku ....

Adhitthana

Syair 283-284 (XX:6. Kisah Lima Bhikkhu Tua)

Suatu ketika di Savatthi, terdapat 5 sahabat yang menjadi bhikkhu di saat usianya tidak muda lagi. Telah menjadi kebiasaan bagi 5 bhikkhu tersebut untuk bersama-sama menerima dana makanan tiap hari. Mantan istri salah satu dari mereka, merupakan seorang wanita istimewa, bernama Madhurapacika, sangatlah pandai memasak dan ia selalu melayani mereka dengan baik. Karena itu kelima bhikkhu tersebut sering mengunjungi rumahnya. Akan tetapi pada suatu hari, Madhurapacika jatuh sakit dan tiba-tiba meninggal dunia. Bhikkhu-bhikkhu tua itu menjadi sangat kehilangan dan bersama-sama mereka menangis, memuja kebaikannya, dan meratapi kepergiannya.

Sang Buddha memanggil para bhikkhu tersebut dan berkata, "Para bhikkhu ! Kamu semua merasa sakit dan menderita karena kamu belum terbebas dari keserakahan, kebencian, dan kebodohan (lobha, dosa, moha), seperti layaknya sebuah hutan. Tebanglah hutan itu dan kamu akan terbebas dari keserakahan, kebencian, dan kebodohan."

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 283 dan 284 berikut ini :

O, para bhikkhu, tebanglah hutan nafsu itu, karena dari nafsu timbul ketakutan. Setelah menebang hutan dan belukar nafsu, jadilah orang yang tidak lagi memiliki nafsu.

Selama nafsu keinginan laki-laki terhadap wanita belum dihancurkan, betapapun kecilnya, maka selama itu pula seseorang masih terikat pada kehidupan, bagaikan seekor anak sapi yang masih menyusu pada induknya.


Kelima bhikkhu tua mencapai tingkat kesucian sotapatti setelah khotbah Dhamma itu berakhir.

  Aku akan mengalami Usia tua, aku akan menderita penyakit, aku akan mengalami kematian. Segala yang ku Cintai, ku miliki, dan ku senangi akan Berubah dan terpisah dariku ....

Adhitthana

Syair 285 (XX:7. Kisah Seorang Thera Yang Pernah Terlahir Sebagai Pandai Emas)
Ada seorang pemuda tampan, anak dari seorang pandai emas, ditahbiskan menjadi bhikkhu oleh Sariputta Thera. Sariputta Thera memberikan sebuah perwujudan mayat yang menjijikkan sebagai obyek meditasi itu ia pergi ke sebuah hutan dan berlatih meditasi di sana; namun dia hanya mencapai sedikit kemajuan. Akhirnya ia kembali untuk kedua kalinya kepada Sariputta Thera untuk memohon petunjuk lebih lanjut. Meskipun demikian, ia masih saja belum mencapai kemajuan. Kemudian Sariputta Thera membawa bhikkhu muda itu menghadap Sang Buddha dan menceritakan semuanya tentang bhikkhu muda itu.

Sang Buddha mengetahui bahwa bhikkhu muda itu adalah anak dari seorang pandai emas, dan juga ia pernah terlahir di keluarga pandai emas selama 500 kali kehidupannya yang lampau. Kemudian Sang Buddha mengganti obyek meditasinya dari mayat yang menjijikkan menjadi obyek kesenangan. Dengan kekuatan batin Beliau, Sang Buddha menciptakan sekuntum bunga teratai yang sangat indah sebesar roda kereta dan meminta bhikkhu muda itu untuk menancapkannya pada gundukan tanah di luar vihara.

Bhikkhu muda tersebut memusatkan diri pada bunga teratai yang besar, indah dan harum, akhirnya ia pun dapat menyingkirkan segala rintangan. Ia dipenuhi dengan kepuasan yang menggembirakan (piti), dan selangkah demi selangkah ia mengalami perkembangan hingga mencapai pencerapan batin (jhana) ke empat.

Sang Buddha melihatnya dari kuti harum Beliau dan dengan kekuatan batin Beliau membuat bunga itu layu seketika. Melihat bunga itu layu dan berubah warna, bhikkhu tersebut memahami ketidak-kekalan alamiah bunga tersebut juga segala sesuatu termasuk semua makhluk. Hal tersebut menyebabkan timbulnya kesadaran terhadap ketidakkekalan, ketidakpuasan, dan tanpa inti dari semua hal yang berkondisi. Sesaat kemudian, Sang Buddha memancarkan sinar dan menampakkan diri di hadapan bhikkhu tersebut dan memberikan petunjuk agar segera memusnahkan nafsu keinginan (tanha).

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 285 berikut :

Patahkanlah rasa cinta terhadap diri sendiri, seperti memetik bunga teratai putih di musim gugur. Kembangkanlah jalan kedamaian Nibbana yang telah diajarkan oleh Sang Sugata (Beliau yang telah berlalu dengan baik, Buddha)./i]

Bhikkhu muda mencapai tingkat kesucian arahat setelah khotbah Dhamma itu berakhir.

  Aku akan mengalami Usia tua, aku akan menderita penyakit, aku akan mengalami kematian. Segala yang ku Cintai, ku miliki, dan ku senangi akan Berubah dan terpisah dariku ....