Di dalam Sutra Sagara, putri Raja Naga, Ratnavati, setelah mengatakan tidak ada dualitas antara laki-laki dan perempuan, mendapat vyakarana dari Sang Buddha bahwa ia akan mencapai ke-Buddhaan. Di sini tidak disebutkan bahwa Ratnavati akan berubah menjadi pria:
Mahakashyapa memberitahu Ratnavati, putri Sagara: “Seseorang tidak dapat mencapai Ke-Buddhaan dengan tubuh perempuan.”
Ratnavati menjawab: “Seseorang tidak dapat mencapai Ke-Buddhaan dengan tubuh perempuan. Maka seseorang juga tidak dapat mencapai Ke-Buddhaan dengan tubuh laki-laki. Mengapa? Karena pikiran Pencerahan bukanlah laki-laki maupun perempuan. Sang Buddha pernah berkata: ‘Apa yang dilihat oleh mata bukanlah laki-laki maupun perempuan dan persepsi telinga, hidung, mulut, tubuh dan pikiran juga bukan laki-laki atau perempuan. Apa alasannya? Karena hanya yang berkebajikanlah yang memiliki mata kekosongan. Mereka yang memahami [perceive] melalui kekosongan bukanlah laki-laki maupun perempuan… Seseorang yang memahami melalui pencerahan memiliki Dharma yang bukan laki-laki maupun perempuan.”(Sutra Sagara)Marilah kemudian kita simak kisah Bodhisattva Tara:
Dahulu kala, hiduplah Putri Jnanachandra. Ia setiap harinya memberikan dana persembahan pada Buddha Dundubishvara dan anggota Sangha. Kemudian muncullah aspirasi Bodhicitta dalam dirinya.
Seorang Bhiksu memberikan saran bagi putri Jnanachandra untuk berdoa agar terlahir sebagai pria, dengan demikian ia akan menjadi Buddha [mengingat ada konsep bahwa seorang Samyaksambuddha haruslah lelaki].
Namun Putri Jnanachandra menolak, Putri Jnanachandra berikrar untuk mencapai tingkat Ke-Buddhaan dalam wujud perempuan dan memberi manfaat bagi semua makhluk dalam wujud seorang perempuan. Ia berikrar di hadapan Buddha Dundubishvara dan Sang Buddha mengatakan bahwa ia kelak akan menjadi seorang Bodhisattva dan Buddha yang dikenal dengan nama Tara.
Tidak ada pria maupun wanita
Tidak ada diri, tidak ada orang dan tidak ada kesadaran
Istilah ‘laki-laki’ atau ‘perempuan’ tidaklah memiliki inti,
Tetapi merupakan tipuan dari kekotoran batin
Dan Ia membuat ikrar demikian:
Banyak yang ingin mencapai Pencerahan dengan tubuh pria, namun tidak ada yang bekerja untuk manfaat para makhluk hidup dalam tubuh seorang wanita.
Maka dari itu, sampai samsara kosong, Aku akan bertindak memberikan manfaat bagi para makhluk hidup dalam tubuh seorang perempuan!” Dan selain Tara, sekarang kita bisa melihat beberapa Buddha perempuan seperti Buddha Prajnaparamita, Buddha Locana, Buddha Mamaki, Buddha Akasadatvishvari dan Buddha Pandaravasini.
“Prajnaparamita. Ia adalah Ibu para Bodhisattva….. Ia memiliki 10 kekuatan dari seorang Buddha”(Astasahasrika Prajnaparamita Sutra)Kenapa Vajrayana dan Mahayana mengakui bahwa seorang Samyaksambuddha dapat berwujud sebagai seorang perempuan?
Jawabannya lagi-lagi ada di Mahaparinirvana Sutra, di mana “pria’lelaki” dan “perempuan/wanita” sebenarnya hanya bermakna simbolik saja.
“O pria yang berbudi! Untuk alasan ini, semua pria dan perempuan yang mendengar ajaran Mahayana Mahaparinirvana Sutra harus selalu meninggalkan wujud “perempuan” dan mencari wujud “pria”. Mengapa demikian? Mahayana Sutra dapat diperbandingkan dengan seorang “pria”. Poinnya adalah sifat ke-Budddhaan. Jika seseorang tidak mengetahui sifat ke-Buddhaan, seseorang tidak dapat disebut sebagai “pria”. Kenapa tidak? Karena seseorang tidak menyadari [merealisasikan] bahwa ada sifat ke-Buddhaan di dalam dirinya. Siapapun [pria] yang tidak menyadari bahwa ia memiliki sifat ke-Buddhaan, ia adalah seorang perempuan. Jika ia menyadarinya, ia adalah seorang “pria”. Jika ada perempuan yang mengetahui bahwa ia memiliki sifat ke-Buddhaan, maka perempuan itu adalah seorang pria.”(Mahayana Mahaparinirvana Sutra)Nah ini sudah sangat menjelaskan bahwa apa yang dimaksud sebagai “perempuan” dalam sabda Sang Buddha seperti:
"Adalah tidak mungkin, adalah tidak bisa terjadi bahwa seorang perempuan dapat menjadi orang yang Terampil, Yang Sepenuhnya Tercerahkan (Sammasambuddha)"Dan:
“Berkata bahwa Bodhisattva-mahasattva mencapai Anuttara Samyaksambodhi dalam wujud perempuan tidaklah benar.”Memiliki arti simbolik yaitu lemah, tidak kuat, tidak sepenuhnya menyadari sifat ke-Buddhaan
Sedangkan “pria” memiliki arti kuat, teguh, sepenuhnya menyadari sifat ke-Buddhaan
Ketika Sang Buddha mengatakan bahwa seorang perempuan tidak dapat mencapai Samyaksambuddha,
yang dimaksud sebagai “perempuan’ di sini bukan orang berjenis kelamin perempuan, tetapi orang yang lemah, tidak teguh, yang tidak menyadari sepenuhnya sifat ke-Buddhaannya, tidak peduli laki-laki atau perempuan.Sedangkan kata-kata Samyaksambuddha haruslah “pria” juga simbolik. “Pria” menyimbolkan kuat, teguh, sepenuhnya menyadari sifat ke-Buddhaan.
Perempuan yang kuat, teguh, sepenuhnya menyadari sifat ke-Buddhaan adalah “pria”.Maka dari itu, kesimpulannya: Perempuan dapat menjadi Buddha Yang tercerahkan Sempurna.
Dalam Sutra “Keyakinan Benar”, “Keyakinan benar” bertanya pada Sang Buddha: Apa yang harus dilakukan oleh seorang perempuan untuk menanggalkan tubuh “perempuan” nya? Sang Buddha menjawab ada 16 hal yang perempuan harus lakukan:
tidak iri, tidak kikir, tidak sombong, tidak pemarah, jujur, tidak memfitnah orang, meninggalkan nafsu dan semua pandangan salah, memuja Buddha dan Dharma, memberikan persembahan bagi para bhiksu dan brahmana, melepaskan keterikatan pada rumah dan keluarga, menjalankan sila, tidak memiliki pikiran buruk,
menjaga tubuh perempuannya, berada di dalam pikiran pencerahan dan Dharma dari Mahapurisa, menanggapi kehidupan duniawi sebagai ilusi, seperti mimpi.
Apabila Sang Buddha mengatakan bahwa perempuan tidak dapat menjadi Sammasambuddha, ini tidak akan menjadi suatu yang bertentangan.
Karena perempuan di sini berarti simbolik, bukan harafiah. Selain itu mungkin saja itu adalah upaya kausalya yang dilakukan Sang Buddha.
The Siddha Wanderer