Bab 5
Kedudukan Manusia Dalam Agama Buddha Ý
Manusia Memberi Hukum Kepada Alam
Hukum dalam pengertian ilmu pengetahuan pada hakikatnya adalah produk
dari pikiran manusia dan tidak memiliki arti yang terpisah dari
manusia. Terdapat arti yang lebih dalam suatu pernyataan bahwa manusia
memberikan hukum kepada alam daripada dalam kebalikannya bahwa alam
memberikan hukum-hukum bagi manusia.
(Prof. Karl Pearson)
Manusia Bukanlah Barang yang Sudah Jadi
Manusia saat sekarang adalah merupakan hasil dari berjuta-juta
pengulangan pikiran dan perbuatan. Ia bukanlah barang yang sudah jadi;
ia melewati satu kondisi/kehidupan ke kondisi/kehidupan yang lain, dan
hal ini masih akan terus berlangsung. Karakternya ditentukan oleh
pilihannya sendiri, -pikirannya, perbuatannya yang ia pilih-, yakni
oleh kebiasaan, ia terbentuk.
(Ven. Piyadassi)
Manusia Mampu Mandiri
Agama Buddha menjadikan manusia mandiri dan membangkitkan rasa percaya-
diri dan semangat.
(Ven. Narada Thera, "Buddhism in a nutshell")
Manusia Tidak lagi Dapat Dihancurkan
Manusia adalah lebih besar daripada kekuatan-kekuatan alam yang
membuta karena meskipun ia dihancurkan oleh kekuatan-kekuatan tersebut
ia tetap unggul dalam hal kebajikan dari pengertian atau pemahamannya
terhadap kekuatan-kekuatan tersebut. Terlebih-lebih lagi, agama Buddha
membawa kebenaran tersebut lebih jauh lagi: ia menunjukkan bahwa
dengan jalan memiliki pengertian, manusia juga dapat mengendalikan
keadaan/lingkungannya. Ia tidak lagi bisa dihancurkan oleh kekuatan-
kekuatan itu, tetapi menggunakan hukum-hukum alam tersebut untuk
membangun dirinya sendiri.
(Pascal)
Bab 6
Jiwa/Roh Ý
Percaya akan Adanya Jiwa/Roh adalah Sumber Segala Kesulitan
Agama Buddha menduduki posisi unik dalam sejarah pemikiran manusia
dalam hal penolakannya terhadap adanya suatu Roh/jiwa, Diri atau
Atman. Menurut ajaran Sang Buddha, pandangan tentang adanya diri
adalah suatu khayalan, kepercayaan yang keliru/salah yang tidak
berkaitan dengan kenyataan, dan hal itu menghasilkan pikiran-pikiran
yang membahayakan dari "Aku" dan "Milikku", keinginan yang egois,
nafsu, kemelekatan, kebencian, niat jahat, kepongahan, kesombongan,
egoisme, dan noda-noda lainnya, serta ketidak-murnian dan problem-
problem. Hal ini merupakan sumber dari segala kesulitan di dunia ini,
dari konflik pribadi hingga peperangan antar bangsa. Singkatnya, semua
keburukan/kejahatan di dunia ini dapat ditelusuri sumbernya yakni dari
pandangan keliru/salah tersebut.
(Ven. Dr. W. Rahula, "What The Buddha Taught")
Kehidupan Sesudah Kematian Bukanlah Sebuah Misteri
Perbedaan antara kematian dan kelahiran hanyalah satu momen-pikiran
(saat-berpikir): Momen pikiran yang terakhir dalam kehidupan ini
mengkondisikan momen pikiran yang pertama (paling awal) dalam
kehidupan berikutnya, yang mana pada kenyataannya, adalah kontinuitas
dari rentetan/rangkaian yang sama. Sepanjang kehidupan ini juga, satu
momen-pikiran mengkondisikan momen pikiran berikutnya. Jadi dari sudut
pandangan agama Buddha, pertanyaan tentang kehidupan sesudah kematian
bukanlah merupakan suatu misteri besar, dan seorang umat Buddha tidak
pernah cemas tentang hal ini.
(Ven. Dr. W. Rahula, "What The Buddha Taught")
Bab 7
Agama Buddha Dan Ilmu Pengetahuan Ý Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan
Modern
"Saya sudah sering mengatakan, dan saya akan lagi dan lagi mengatakan
bahwa antara agama Buddha dan Ilmu pengetahuan modern terdapat suatu
keterkaitan intelektual yang begitu erat".
(Sir Edwin Arnold)
Agama Buddha Memenuhi Tuntutan Ilmu Pengetahuan
Jika ada suatu agama yang akan memenuhi tuntutan kebutuhan ilmu
pengetahuan modern, maka agama tersebut adalah agama Buddha.
(Albert Einstein)
Ilmu pengetahuan yang Bersifat Spritual
Agama Buddha, sebaliknya adalah suatu sistem berpikir, suatu agama,
suatu sains spritual, dan suatu pandangan hidup, yang masuk akal,
praktis dan menyeluruh. Selama 2500 tahun ia telah memuaskan kebutuhan
spritual dari hampir sepertiga jumlah umat manusia. Ia menarik
perhatian dunia Barat, yang menekankan pada kepercayaan diri yang
disertai dengan rasa toleransi terhadap pandangan orang lain, termasuk
ilmu pengetahuan, agama, filsafat, psikologi, etika dan seni, dan
menunjuk manusia sendiri sebagai si pencipta dari kehidupannya saat
ini serta perancang tunggal atas nasibnya.
(Christmas Humpreys)
Agama Buddha Bertitik Awal di mana Ilmu Pengetahuan Berakhir
Ilmu Pengetahuan tidak dapat memberikan jaminan dalam hal ini. Akan
tetapi agama Buddha dapat memenuhi tantangan Atomik, karena
pengetahuan adi-duniawi dari agama Buddha bertitik awal di mana ilmu
pengetahuan berakhir. Dan hal ini cukup jelas bagi seseorang yang
telah mempelajari agama Buddha. Karena, melalui Meditasi Buddhis,
unsur-unsur atomik penyusun materi telah dilihat dan dirasakan, dan
juga penderitaan, atau ketidak-puasan (dukkha), tentang "kemunculannya
dan kelenyapannya" (yang tergantung pada sebab-sebab) yang sering
telah menjadikan dirinya sendiri sebagai apa yang kita sebut "jiwa/
roh" atau "atma" -sebuah khayalan tentang Sakkayaditthi-, demikian ia
dinamakan di dalam ajaran Sang Buddha.
(Egerton C. Baptist, "Supreme Science of The Buddha")
Sebab dan Akibat Bukannya Ganjaran dan Hukuman
Menurut Sang Buddha, dunia ini tidak terbentuk secara demikian. Umat
Buddha percaya pada hukum Kamma yang rasional yang berjalan secara
otomatis dan dinyatakan dengan istilah "Sebab dan Akibat" dan bukannya
"Ganjaran dan Hukuman".
(Seorang Penulis)
Bab 8 Nibbana Ý
Keselamatan tanpa Tuhan
Untuk pertama kali dalam sejarah dunia ini, Sang Buddha
memproklamasikan suatu keselamatan, yang dapat dicapai oleh setiap
orang untuk dirinya sendiri dan oleh dirinya sendiri di dunia ini
dalam kehidupan sekarang ini, tanpa pertolongan sedikit pun dari suatu
'Tuhan yang Berpribadi' (Personal God) ataupun dari para dewa. Sang
Buddha sangat menekankan ajaran tentang kemampuan diri sendiri,
tentang penyucian, tentang kemoralan, tentang pencerahan, tentang
kedamaian dan cinta kasih yang universal. Beliau amat menekankan
tentang perlunya pengetahuan, karena tanpa kebijaksanaan, pemahaman
terhadap batin tidak akan diperoleh dalam kehidupan ini.
(Prof. Eliot, "Buddhism and Hinduism")
Sang Buddha dan Keselamatan
Bukanlah Sang Buddha yang membebaskan manusia, akan tetapi Beliau
mengajarkan mereka untuk membebaskan diri mereka sendiri, sama seperti
Beliau telah membebaskan diriNya sendiri. Mereka menerima ajaran
Beliau tentang kebenaran, bukan karena hal itu berasal dariNya, tetapi
karena keyakinan pribadi, yang dibangkitkan oleh kata-kataNya, yang
timbul dari cahaya semangat mereka sendiri.
(Dr. Oldenburg, Seorang Sarjana Buddhis Jerman)
Bab 9 Kepercayaan Ý
Sang Buddha Tidak Meminta Kepercayaan
Sang Buddha tidak hanya telah menyadari realitas yang terakhir: Beliau
juga membabarkan pengetahuanNya yang lebih tinggi, yang merupakan
ajaran terunggul, kepada "semua dewa dan manusia" secara amat jelas
dan bebas dari segala tabir mitologi dan selaput misteri. Akan tetapi,
di sini diberikan suatu bentuk yang begitu meyakinkan bahwa ia
mewujudkan dirinya sebagai hal yang nyata dan positif dari pembuktian-
sendiri bagi orang yang mampu mengikutiNya. Karena alasan ini Sang
Buddha tidak menuntut berbagai kepercayaan, tetapi menjanjikan
pengetahuan.
(George Grimm, "The Doctrine of the Buddha")
Bab 10 Agama Buddha Dan Agama-Agama Lainnya Ý
Agama Hindu Sesudah Era-Buddhis
Berbagai jalan dalam mana agama Buddha telah mempengaruhi,
memodifikasi, mentransformasi, dan menghidupkan kembali agama Hindu di
antara semua sutra Filosofi Hindu, adalah diakui sebagai era sesudah-
Buddhis. Pemikiran terdahulu dari filsafat India berkenaan dengan
ajaran Karma dan Tumimbal lahir serta sistem pra-Buddhis lainnya telah
mencapai pengembangan sepenuhnya dari literatur Buddhis dan telah
disusun di atas dasar filosofis.
(Dr. S.N. Dasgupta)
Etika Universal
Tiada agama-agama di India sebelum masa agama Buddha dapat dikatakan
telah mampu merumuskan suatu kode etik dan kode agama yang secara
universal dan diwajibkan berlaku sah bagi semua orang.
(Dr. S.N. Dasgupta)
Agama Buddha adalah Agama Buddha
Agama Buddha (Buddhisme) dan agama Jain (Jainisme) sudah pasti
bukanlah agama Hindu atau bahkan Veda Dharma, meskipun mereka muncul
di India dan merupakan bagian yang menyatu dari kehidupan budaya dan
filsafat bangsa India. Penganut Buddha ataupun penganut Jaina memang
seratus prosen produk pemikiran dan budaya India, akan tetapi tidak
satu pun dari keduanya merupakan penganut Hindu. Adalah suatu
kekeliruan besar untuk menyatakan kebudayaan India sebagai kebudayaan
Hindu.
(Nehru, "Discovery of India")
Hutang Abadi kepada Sang Buddha
Adalah pendapat saya yang berhati-hati bahwasanya bagian penting dari
ajaran Sang Buddha sekarang ini membentuk bagian yang integral pada
Hinduisme. Tidaklah mungkin bagi Hindu India dewasa ini untuk
menelusuri kembali langkah-langkahnya dan melampaui reformasi besar
yang dibuat oleh Gautama yang dapat memberi pengaruh terhadap
Hinduisme. Dengan pengorbananNya yang demikian besar, dengan pelepasan-
agungNya, dan dengan kesucian yang tak bernoda dari hidupNya, beliau
meninggalkan kesan yang tak terhapuskan pada Hinduisme, dan Hinduisme
berhutang suatu hutang budi yang abadi kepada Sang Guru Agung
tersebut.
(Mahatma Gandhi, "Maha Bodhi")
Prinsip-prinsip yang Dominan
Suatu sistem yang tidak mengenal Tuhan Sang Pencipta seperti dalam
pengertian Barat, yang menyangkal adanya suatu jiwa/roh bagi manusia,
yang menganggap kepercayaan terhadap jiwa/roh yang abadi sebagai suatu
kesalahan, yang menolak berbagai keefektifan/kemanjuran dari pemujaan
dan persembahan kurban, yang menetapkan manusia untuk tidak bergantung
pada apapun melainkan kepada daya upaya mereka sendiri dalam mencapai
keselamatan, yang dalam bentuk aslinya tidak mengenal kaul atau sumpah-
sumpah untuk taat/patuh, sebagai hamba, serta tidak pernah mencari
pertolongan dari kekuasaan duniawi. Meskipun ia menyebar pada keaneka-
ragaman yang cukup besar dari dunia-kuno itu, ia menyebar dengan
kecepatan yang mengagumkan, dan masih tetap merupakan prinsip-prinsip
yang dominan bagi sebagian besar umat manusia saat ini.
(T.H. Huxley)
Pemikiran Buddhis Tentang Dosa
Pemikirannya tentang dosa agak berbeda dengan pemikiran kr****n. Dosa
menurut paham Buddhis hanyalah merupakan suatu ketidak-tahuan atau
kebodohan. Manusia yang buruk adalah manusia yang bodoh. Ia tidak
memerlukan hukuman dan penebusan dosa atau penghukuman yang demikian
besar sebagaimana ia memerlukan perintah-perintah. Ia tidak dipandang
sebagai "Melanggar Perintah Tuhan" ataupun sebagai seseorang yang
harus mengemis belas kasihan malaikat dan pengampunan surgawi. Akan
tetapi adalah perlu bagi sahabat-sahabat dari orang tersebut untuk
menjadikannya berakal sehat di dalam jalan kemanusiaan. Umat Buddha
tidak percaya si pendosa tersebut akan dapat meloloskan dirinya dari
akibat-akibat perbuatannya dengan upaya berdoa untuk tawar-menawar
dengan Tuhan.
(John Walters, "Mind Unshaken")
Para Dewa Butuh Keselamatan
Untuk pertama kalinya dalam sejarah umat manusia Sang Buddha
menasehati, meminta, dan memohon kepada manusia agar tidak menyakiti
suatu makhluk hidup, tidak memberikan pemujaan atau pujian atau kurban
kepada para dewa. Dengan segala kefasihannya dalam memberikan nasihat,
Yang Maha Agung mengumumkan dengan tegas bahwasanya para dewa sendiri
juga amat butuh keselamatan.
(Prof. Rhys Davids)
Bab 11
Dunia Dan Alam Semesta dan Dunia yang Tidak Memuaskan
Sang Buddha tidak murka kepada dunia ini. Beliau memandang dunia ini
sebagai sesuatu yang tidak memuaskan dan bersifat sementara, bukannya
dianggap sebagai sesuatu yang kejam atau buruk; adalah suatu ketidak-
tahuan/kebodohan, bukannya sebagai suatu pemberontakan. Beliau tidak
sedikit pun terusik terhadap orang-orang yang tidak mau mendengarkan
kepadaNya, serta tidak menunjukkan kegelisahan dan sifat yang lekas
marah.
(Prof. Eliot, "Buddhism and Hinduism")
Pertempuran Akbar
Keseluruhan alam semesta merupakan sebuah medan pertempuran yang maha
luas. Di mana-mana terjadi pertempuran. Suatu kehidupan (eksistensi)
tidak lain adalah suatu perjuangan yang sia-sia melawan kuman-kuman
penyakit yang mengerikan, molekul-molekul melawan molekul-molekul,
atom-atom melawan atom-atom, elektron-elektron melawan elektron-
elektron. Terlebih-lebih lagi, batin merupakan suatu kancah
pertempuran yang lebih dramatis. Bentuk-bentuk, bunyi-bunyi, cita-
rasa, dll merupakan perpaduan kekuatan-kekuatan yang saling
berinteraksi dan saling bertempur. Keberadaan yang nyata dari perang
membuktikan bahwa terdapat suatu keadaan kedamaian sempurna. Inilah
yang kita namakan Nibbana.
(Ven. Narada Thera, "The Bodhisatta Ideal")
Sumber:
Buddhism in the Eyes of Intellectuals, Ven. K. Sri Dhammananda, Oeij
Sian Pin (Alih Bahasa), Ir. Lindawati. T (editor)