Proses Terjajahnya Kembali Indonesia Sejak Bulan November 1967 (Artikel 1)

Started by SandalJepit, 26 August 2008, 01:47:46 PM

Previous topic - Next topic

0 Members and 1 Guest are viewing this topic.

SandalJepit

http://www.koraninternet.com/web/index.php?pilih=lihat&id=7697

Proses Terjajahnya Kembali Indonesia Sejak Bulan November 1967 (Artikel 1)
Selasa, 19 Agustus 08

PENGANTAR

Boleh dikatakan bahwa secara menyeluruh, rakyat dan para pemimpin
masyarakat berpendapat dan merasakan bahwa setelah 63 tahun merdeka,
kualitas kehidupan berbangsa dan bernegara kita mengalami kemerosotan
yang parah.

Maka untuk bahan perenungan apakah demikian kondisinya, kami
menyajikan kondisi dari 8 tonggak yang paling fundamental dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara untuk ditanyakan kepada diri
sendiri, apakah dalam 8 aspek terpenting ini, kita mengalami kemajuan
atau kemerosotan?

8 tonggak tersebut adalah sebagai berikut.

1. Kemandirian

Apakah kita dalam bidang kemandirian mengurus diri sendiri, yaitu
mandiri dan bebas merumuskan kebijakan-kebijakan terbaik untuk diri
sendiri, mengalami kemajuan atau kemunduran? Apakah de facto yang
membuat kebijakan dalam segala bidang bangsa kita sendiri atau bangsa
lain beserta lembaga-lembaga internasional?

Dari berbagai studi oleh para ahli sejarah, baik dalam maupun luar
negeri yang boleh dikatakan obyektif, sejak tahun 1967 kita sudah
tidak mandiri. Ketidakmandirian kita sudah mencapai puncak setelah
kita dilanda krisis pada tahun 1997. Jauh sebelum itu, tetapi menjadi
sangat jelas setelahnya, dapat kita lihat hubungan yang sangat erat
antara kebijakan Pemerintah Indonesia dan apa yang tercantum dalam
country strategy report yang disusun oleh Bank Dunia dan Bank
Pembangunan Asia, serta segala sesuatu yang didiktekan kepada
Pemerintah Indonesia dalam bentuk Memorandum of Economic and Financial
Policies (MEFP), yang lebih dikenal dengan sebutan Letter of Intent.

Bagaimana dampaknya? Buat mayoritas rakyat Indonesia sangat merusak,
bahkan dapat dikatakan sudah membangkrutkan keuangan negara.

2. Peradaban dan Kebudayaan

Terutama dalam bidang tata nilai, mental, moralitas dan akhlak, apakah
setelah 63 tahun merdeka dari penjajahan kita lebih maju atau lebih
mundur? Benarkah Bung Hatta yang sejak puluhan tahun lalu mengatakan
bahwa korupsi mulai menjadi kebudayaan kita? Benarkah kalau sekarang
dikatakan bahwa KKN sudah "mendarah daging" dan merupakan gaya hidup
bagian terbanyak elite bangsa kita? Benarkah peringkat yang diberikan
oleh lembaga asing bahwa Indonesia digolongkan dalam kelompok
negara-negara yang paling korup di dunia?

3. Penguasaan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi

Apakah setelah 60 tahun merdeka, bangsa kita unggul? Dibandingkan
dengan zaman penjajahan, kemampuan kita menggunakan ilmu pengetahuan
dan teknologi yang diciptakan oleh bangsa-bangsa lain memang boleh
dikatakan cukup up to date. Tetapi, yang dimaksud apakah ilmu
pengetahuan itu temuan kita sendiri, dan apakah teknologinya ciptaan
bangsa kita sendiri? Ataukah harus membelinya dengan harga sangat
mahal dari bangsa-bangsa lain?

4. Persatuan dan Kesatuan

Apakah bangsa kita lebih kokoh atau lebih rapuh? Referensi yang dapat
kita gunakan adalah Amandemen UUD 1945. Bentuk dan praktik otonomi
daerah, baik dalam bidang pengelolaan administrasi negara maupun dalam
bidang keuangannya. Gerakan Aceh Merdeka berserta cara penanganannya.
Aktifnya Gerakan Papua Merdeka di dunia internasional. Konflik antar
etnis dan antar agama yang cukup keras, walaupun belum terjadi di
seluruh wilayah Republik Indonesia. Hilangnya Sipadan dan Ligitan.
Digugatnya Ambalat. Terancamnya Aceh dan Irian Barat lepas dari NKRI.
Saya kira sangat mundur dan menjadi sangat rapuh.

5. Hankam

Apakah kondisi kita semakin kuat atau semakin lemah? Referensinya
adalah persenjataan dan alat-alat perang yang kita miliki, dikaitkan
dengan kemampuan serta prospeknya untuk membangun dan mengembangkan
industri pertahanan sendiri. Referensi non materiilnya, apakah dengan
reformasi yang memisahkan fungsi Polri dan TNI dalam bentuknya seperti
sekarang ini membuat ketahanan nasional lebih mantap atau lebih rapuh?

6. Interaksi dan kedudukan kita di dunia Internasional

Dalam pergaulan antar bangsa dan kedudukan kita dalam
organisasi-organisasi internasional, apakah bangsa kita mempunyai
tempat dan kedudukan yang lebih terhormat atau lebih terpuruk?

Pemberitaan dan ulasan di pers internasional menempatkan Indonesia
sebagai negara yang dalam banyak aspek sebagai negara bangsa yang
terbelakang dan kurang terhormat.

7. Kemakmuran dan Kesejahteraan yang Berkeadilan

Tidak dapat disangkal bahwa pendapatan nasional per kapita meningkat
sejak kemerdekaan hingga sekarang. Namun seperti diketahui, pendapatan
nasional per kapita tidak mencerminkan pemerataan maupun keadilan
dalam menikmatinya.

Angka-angka dari berbagai sumber menggambarkan betapa timpangnya
antara kaya dan miskin, antara kota dan desa, antara perusahaan besar
dan kecil.

8. Keuangan Negara

Keterbatasan infrastruktur, pendidikan, pelayanan kesehatan,
penyediaan public utility oleh pemerintah jelas disebabkan oleh
keuangan negara yang sangat terbatas, karena korupsi dan beban utang
yang sangat besar.

KEMEROSOTAN, MALAISE ATAU MELT DOWN

Dalam berbagai seminar dan pertemuan-pertemuan diskusi, bahkan dalam
perbincangan sehari-hari di mana-mana, pada umumnya orang berpendapat
bahwa dalam 8 bidang fundamental tersebut kita mengalami kemerosotan
yang parah.

Dalam sejarah kehidupan bangsa-bangsa, gejala seperti yang sedang
dialami oleh bangsa kita juga pernah dialami oleh bangsa-bangsa lain.
Karena faktor-faktor yang tidak selalu sama, dalam kurun waktu
tertentu yang bisa panjang atau pendek, sebuah bangsa dapat mengalami
kemerosotan dalam segala aspek dan segala bidang kehidupan. Gejala
seperti ini disebut malaise atau melt down. Karena faktor-faktor yang
juga tidak sama buat setiap bangsa, banyak bangsa yang mencapai titik
kemerosotan yang terendah atau titik balik, yang disebut pencerahan
atau aufklarung. Titik balik ini diikuti dengan awal masa jaya dalam
segala bidang, yang disebut rennaisance.

PERAN EKONOMI

Kehidupan berbangsa dan bernegara menyangkut sangat banyak aspek,
karena praktis menyangkut semua aspek kehidupan manusia. Namun
demikian tidak dapat dipungkiri bahwa ekonomi memegang peran penting
dalam membawa keseluruhan bangsa pada kemakmuran dan kesejahteraan
yang berkeadilan.

Kehidupan ekonomi suatu bangsa tidak dapat dipisahkan dari aspek-aspek
kehidupan lainnya yang non materi sifatnya. Keduanya atau bahkan semua
aspek kehidupan berbangsa dan bernegara saling berkaitan secara
interdependen.

Salah satu faktor yang dapat merusak kehidupan ekonomi suatu bangsa
secara dahsyat ialah pengaruh interaksinya dengan bangsa-bangsa lain,
atau kekuatan-kekuatan yang ada di luar wilayah Indonesia (eksternal).

Kita mengalami penjajahan berabad-abad lamanya oleh Belanda yang
diawali dengan "penjajahan" oleh sebuah perusahaan swasta, yaitu
Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC). Kami menggunakan istilah
"penjajahan", karena demikian menguntungkannya, VOC sangat kaya,
sehingga bagaikan negara mempunyai angkatan bersenjata sendiri yang
memaksakan kehendaknya pada para penguasa Nusantara ketika itu. Karena
korupsi yang terjadi dalam tubuh VOC, akhirnya bangkrut, dan
penjajahan atas wilayah Nederlands Indie diambil alih oleh pemerintah
Belanda.

Sekitar tahun empatpuluhan, banyak sekali negara-negara yang terjajah
berhasil mengusir negara-negara penjajah, menjadi negara merdeka. Kita
merebutnya kemerdekaan di tahun 1945.

Namun sejak dekade itu pula, langsung saja muncul benih-benih
penguasaan kebijakan dan kekayaan alam negara-negara yang lemah,
terbelakang dan tidak berpendidikan. Benih-benih dari
kekuatan-kekuatan tersebut sekarang telah menjadi sebuah kekuatan
raksasa yang dahsyat. Bentuknya seperti VOC dahulu, yaitu
perusahaan-perusahaan transnasional dan multinasional. Mereka adalah
business corporations. Maka era yang sekarang merajalela disebut era
corporatocracy. Para ahli Amerika Serikat dan Eropa Barat sendiri yang
sangat banyak menggambarkan kekuatan dan kejahatan mereka terhadap
bangsa-bangsa lebih lemah yang dijadikan mangsanya dalam penyedotan
sumber-sumber daya apa saja, terutama sumber daya mineral. Pembaca
serial artikel ini dipersilakan membacanya sendiri. Yang jelas dan
meyakinkan adalah Joseph Stiglitz, John Pilger, Jeffrey Winters,
Bradley Simpson, John Perkins, dan 12 perusak ekonomi yang atas
prakarsa John Perkins mengaku kejahatan-kejahatan yang telah
dilakukannya. Kesemuanya dituangkan dalam buku paling mutakhir (2006)
yang dikumpulkan dan di-edit oleh Steven Hiatt dengan kata pengantar
oleh John Perkins. Judul bukunya "A Game As Old As Empire".

Dari kesemuanya ini dapat kita baca bahwa di zaman setelah tidak ada
negara jajahan lagi, perusahaan-perusahaan raksasa yang transnasional
itu bagaikan VOC dahulu. Tetapi sekarang mereka tidak perlu melakukan
penjajahan secara politik dan militer untuk menghisap kekayaan dari
negara-negara dan bangsa-bangsa mangsanya. Cara-cara demikian sangat
mahal, dan dapatnya tidak seberapa dibandingkan dengan cara-cara
mereka sekarang ini.

Cara-cara mereka sekarang hanya perlu memelihara elit bangsa-bangsa
mangsa, yang adalah elit bangsa yang secara politik dan secara formal
negara merdeka dan berdaulat. Tetapi karena kekuasaan elit para
anteknya ini, yang secara material maupun secara konsepsional didukung
oleh corporatocracy global, pendiktean mereka dan penghisapan kekayaan
alam serta tenaga manusianya menjadi sangat dahsyat dan mutlak. Di
luar negara-negara mangsa, corporatocracy didukung oleh pemerintahnya
masing-masing yang menguasai lembaga-lembaga internasional seperti
Bank Dunia, IMF dan Bank Pembangunan Asia.

Bagaimana asal mulanya bangsa kita terjajah kembali sejak tahun 1967
sampai sekarang akan diceriterakan dalam serial artikel ini.

MULAINYA PENJAJAHAN KEMBALI SAMPAI SEKARANG

Setelah jatuhnya Bung Karno, segera saja kekuatan modal asing yang
dipakai untuk melakukan eksploitasi atau korporatokrasi melakukan
aksinya. Yang menggambarkan dengan tajam justru para sarjana ekonomi
dan sejarawan Amerika dan Eropa.

Marilah kita kutip berbagai gambaran sebagai berikut.

Seorang wartawan terkemuka berkewarganegaraan Australia yang bermukim
di Inggris, John Pilger membuat film dokumenter tentang Indonesia dan
juga telah dibukukan dengan judul : "The New Rulers of the World". Dua
orang lainnya adalah Prof. Jeffrey Winters, guru besar di North
Western University, Chicago dan Dr. Bradley Simpson yang meraih gelar
Ph.D. dengan Prof. Jeffrey Winters sebagai promotornya dan Indonesia
sebagai obyek penelitiannya. Yang satu berkaitan dengan yang lainnya,
karena beberapa bagian penting dari buku John Pilger mengutip
temuan-temuannya Jeffrey Winters dan Brad Simpson.

Sebelum mengutip hal-hal yang berkaitan dengan Indonesia, saya kutip
pendapatnya John Pilger tentang Kartel Internasional dalam
penghisapannya terhadap negara-negara miskin. Saya kutip :

"Dalam dunia ini, yang tidak dilihat oleh bagian terbesar dari kami
yang hidup di belahan utara dunia, cara perampokan yang canggih telah
memaksa lebih dari sembilan puluh negara masuk ke dalam program
penyesuaian struktural sejak tahun delapan puluhan, yang membuat
kesenjangan antara kaya dan miskin semakin menjadi lebar. Ini terkenal
dengan istilah "nation building" dan "good governance" oleh "empat
serangkai" yang mendominasi World Trade Organization (Amerika Serikat,
Eropa, Canada dan Jepang), dan triumvirat Washington (Bank Dunia, IMF
dan Departemen Keuangan AS) yang mengendalikan setiap aspek detail
dari kebijakan pemerintah di negara-negara berkembang. Kekuasaan
mereka diperoleh dari utang yang belum terbayar, yang memaksa
negara-negara termiskin membayar $ 100 juta per hari kepada para
kreditur barat. Akibatnya adalah sebuah dunia, di mana elit yang
kurang dari satu milyar orang menguasai 80% dari kekayaan seluruh umat
manusia."

Saya ulangi sekali lagi paragraf yang sangat relevan dan krusial,
yaitu yang berbunyi:

"Their power derives largely from an unrepayable debt that forces the
poorest countries...." atau "Kekuatan negara-negara penghisap
didasarkan atas utang besar yang tidak mampu dibayar oleh
negara-negara target penghisapan."

John Pilger mengutip temuan, pernyataan dan wawancara dengan Jeffrey
Winters maupun Brad Simpson. Jeffrey Winters dalam bukunya yang
berjudul "Power in Motion" dan Brad Simpson dalam disertasinya
mempelajari dokumen-dokumen tentang hubungan Indonesia dan dunia Barat
yang baru saja menjadi tidak rahasia, karena masa kerahasiaannya
menjadi kadaluwarsa.

Saya kutip halaman 37 yang mengatakan : "Dalam bulan November 1967,
menyusul tertangkapnya `hadiah terbesar', hasil tangkapannya dibagi.
The Time-Life Corporation mensponsori konferensi istimewa di Jenewa
yang dalam waktu tiga hari merancang pengambilalihan Indonesia. Para
pesertanya meliputi para kapitalis yang paling berkuasa di dunia,
orang-orang seperti David Rockefeller. Semua raksasa korporasi Barat
diwakili : perusahaan-perusahaan minyak dan bank, General Motors,
Imperial Chemical Industries, British Leyland, British American
Tobacco, American Express, Siemens, Goodyear, The International Paper
Corporation, US Steel. Di seberang meja adalah orang-orangnya Soeharto
yang oleh Rockefeller disebut "ekonom-ekonom Indonesia yang top".

"Di Jenewa, Tim Sultan terkenal dengan sebutan `the Berkeley Mafia',
karena beberapa di antaranya pernah menikmati beasiswa dari pemerintah
Amerika Serikat untuk belajar di Universitas California di Berkeley.
Mereka datang sebagai peminta-minta yang menyuarakan hal-hal yang
diinginkan oleh para majikan yang hadir. Menyodorkan butir-butir yang
dijual dari negara dan bangsanya, Sultan menawarkan : ...... buruh murah
yang melimpah....cadangan besar dari sumber daya alam ..... pasar yang besar."

Di halaman 39 ditulis : "Pada hari kedua, ekonomi Indonesia telah
dibagi, sektor demi sektor. `Ini dilakukan dengan cara yang
spektakuler' kata Jeffrey Winters, guru besar pada Northwestern
University, Chicago, yang dengan mahasiwanya yang sedang bekerja untuk
gelar doktornya, Brad Simpson telah mempelajari dokumen-dokumen
konferensi. `Mereka membaginya ke dalam lima seksi : pertambangan di
satu kamar, jasa-jasa di kamar lain, industri ringan di kamar lain,
perbankan dan keuangan di kamar lain lagi; yang dilakukan oleh Chase
Manhattan duduk dengan sebuah delegasi yang mendiktekan
kebijakan-kebijakan yang dapat diterima oleh mereka dan para investor
lainnya. Kita saksikan para pemimpin korporasi besar ini berkeliling
dari satu meja ke meja yang lain, mengatakan : "ini yang kami inginkan
: ini, ini dan ini", dan mereka pada dasarnya merancang infrastruktur
hukum untuk berinvestasi di Indonesia. Saya tidak pernah mendengar
situasi seperti itu sebelumnya, di mana modal global duduk dengan para
wakil dari negara yang diasumsikan sebagai negara berdaulat dan
merancang persyaratan buat masuknya investasi mereka ke dalam
negaranya sendiri.

Freeport mendapatkan bukit (mountain) dengan tembaga di Papua Barat
(Henry Kissinger duduk dalam board). Sebuah konsorsium Eropa mendapat
nikel Papua Barat. Sang raksasa Alcoa mendapat bagian terbesar dari
bauksit Indonesia. Sekelompok perusahaan-perusahaan Amerika, Jepang
dan Perancis mendapat hutan-hutan tropis di Sumatra, Papua Barat dan
Kalimantan. Sebuah undang-undang tentang penanaman modal asing yang
dengan buru-buru disodorkan kepada Soeharto membuat perampokan ini
bebas pajak untuk lima tahun lamanya. Nyata dan secara rahasia,
kendali dari ekonomi Indonesia pergi ke Inter Governmental Group on
Indonesia (IGGI), yang anggota-anggota intinya adalah Amerika Serikat,
Canada, Eropa, Australia dan, yang terpenting, Dana Moneter
Internasional dan Bank Dunia.

Jadi kalau kita percaya John Pilger, Bradley Simpson dan Jeffry
Winters, sejak tahun 1967 Indonesia sudah mulai dihabisi (plundered)
dengan tuntunan oleh para elit bangsa Indonesia sendiri yang ketika
itu berkuasa.

Oleh Kwik Kian Gie