News:

Semoga anda berbahagia _/\_

Main Menu

Persepsi Murni (Mulapariyaya), Citta Vithi (Abhidhamma)

Started by K.K., 19 June 2008, 05:36:38 PM

Previous topic - Next topic

0 Members and 1 Guest are viewing this topic.

K.K.

QuoteJika anda paham misalnya Tipitaka pali maka ini akan mendorong anda untuk menerapkannya dalam hidup sehari2....... misal jika anda tahu teori cetasika, maka anda akan berusaha untuk mengamati proses cetasika dalam batin anda. Dengan ini, anda akan tahu bagaimana akusala  cetasika itu, sehingga jika timbul, kita akan dapat mengeremnya.


jika anda fanatik/melekat maka pada batin anda akan timbul "dosa mula citta" jika kitab suci atau apapun yang dilekati itu berubah.....
Disini jelas, anda boleh tahu semua teori mengenai cetasika, tapi dalam hidup sehari-hari tidak bisa mengontrol kemarahan.
Misal anda sebagai atasan, lalu ada orang yang "ribut" dengan staf anda, anda akan merasa tersinggung.

OK, thanx buat penjelasannya. Saya memang setuju pada penerapan pada kehidupan sehari-hari sesuai dengan kapasitas kita. Misalnya kita dengki sama orang, lalu dalam teori dibahas bagaimana 'tidak bermanfaatnya' dengki itu dan dengan bantuan teori (misalnya ketika kita dengki, ingat pada pembahasannya) sehingga kita bisa menyadarinya, tentu boleh saja. Menurut saya, itu bukan fanatik sama sekali.

Untuk yang tidak/belum masuk dalam kapasitas kita, menurut saya itulah yang berpotensi membuat orang fanatik. Misalnya Abhinna, bagi yang tidak bisa membuktikan atau tidak pernah ketemu, ada orang yang menyangkal habis2an dan ada orang yang membela habis2an tentang keberadaan Abhinna. Nah, di sini orang itu tidak mengalami dan tidak bisa membuat orang mengalami tetapi bersikukuh pada pandangannya. Inilah yang membuat orang fanatik. Kalau ditampung sebagai pengetahuan (misalnya Abhinna secara garis besar dibagi jadi 6), ya tentu saja tidak ada ke-fanatik-an di situ.  ;D

hudoyo

#1
Quote from: markosprawira on 19 June 2008, 05:14:53 PM
pandangan saya jelas karena bersumber dari Tipitaka Pali dalam hal ini, Abhidhamma yang juga selaras dengan Sutta dan Vinaya

misalnya sudah jelas juga bahwa "tidak pernah ada terhentinya pikiran/kesadaran", yang bahkan pada orang suci/lokuttara saja, pikiran/kesadaran itu tetap berproses dan terus berlangsung sampai tercapainya maha parinibbana
Bagi saya sederhana saja, kitab Abhidhamma bukan ajaran Sang Buddha ... seperti dikatakan oleh Buddhadasa Mahathera, Nyanavira Thera dsb. ... Namun saya pun tidak tergantung pada kedua orang itu. ... Menurut pengalaman saya, Abhidhamma bukan ajaran Sang Buddha ... Ini bukan dogma, tapi bisa dicek oleh masing-masing praktisi MMD yang beragama Buddha ... kalau mau ... :)


Quotesemoga ini memperjelas bahwa saya hanya menyuarakan berdasar pegangan atau landasan Buddha Dhamma yang sahih, bukan atas RASA atau pengalaman pribadi yang digunakan untuk menisbikan Buddha Dhamma
karena jika ada yang berbeda dengan buddha dhamma maka dapat dipastikan bahwa ada kekeliruan pada pandangan yang berbeda itu
Ini khas pernyataan orang agama ... "Ini kitab yang sahih ... setiap interpretasi yang berbeda adalah haram ... Ahmadiyah harus dilarang." ... :) Tidak peduli di agama apa pun, pikiran seperti ini ada di setiap agama: FPI, Keristen, Buddhis ... :)

Silakan ... boleh-boleh saja, kok. ... :) MMD sudah punya pangsa pasarnya sendiri: yaitu, mereka yang ingin mencapai keheningan batin tanpa dibebani oleh kitab suci dari mana pun. ... :)  Dan ini tidak bisa dibendung dalam zaman modern ini. ... :)

Salam,
hudoyo

hudoyo

Quote from: markosprawira on 19 June 2008, 05:27:46 PM
dear pak hudoyo,

sudah jelas bahwa kita berbeda..... anda berprinsip : "pikiran terhenti"

sementara saya berdasar Abhidhamma, memegang bahwa "pikiran itu selalu eksis, hanya saja selalu berubah"...... bahkan pada lokuttara sekalipun, pikiran/kesadaran itu tetap muncul, sampai dia mencapai maha parinibbana....

end of discussion karena tidak guna jika dilanjutkan........

anumodana atas sharingnya.........
Setuju, mengakhiri diskusi antara Anda dan saya.

hudoyo

Han Han



QuoteJangan dicampuradukkan pengalaman kekosongan dengan konsep kekosongan. :)

maaf pak , han han hanya ingin bertanya dan sekaligus menyampaikan pendapat dan menanyakan pendapat.
mengenai ini pak :
Quotepengalaman kekosongan dengan konsep kekosongan.
menurut han han " dalam KOSONG ,tidak ada dan tidak dikatakan pengalaman Kekosongan, apalagi Konsep Kekosongan"
dan bukankah bapak sudah menulis seperti kalimat yg dibawah ini  ??( bold )

QuoteApa yang diuraikan dengan kata-kata di sini adalah konsep, itu bukan kekosongan itu sendiri ... Kata-kata itu perlu untuk mengkomunikasikan sesuatu yang pada dasarnya tidak bisa dikomunikasikan. ...

bapak menulis  pengalaman kekosongan dengan konsep kekosongan. dan pada kalimat diatas juga tertulis itu bukan kekosongan itu sendiri, secara tidak langsung bapak mengetahui bahwa Kosong adalah Kosong dan tidak dapat diuraikan, hanya kalimat yang bapak pakai adalah " Konsep Kekosongan " dan " itu bukan Kekosongan itu sendiri ".

pertanyaan han han , kalau Kosong bukanlah Kosong yg sesungguhnya ( apabila dibicarakan ) , kenapa Kosong harus dikonsep dan dibicarakan ??
bukankah dengan dikonsep dan dibicarakan malah tidak membicarakan kosong yg sesungguhnya ??
jadi apa yg mau diambil hikmahnya kalo yg dibicarakan bukan kosong yg sesungguhnya ??



QuoteSang Buddha mengajarkan tentang nibbana ...
han han lebih cenderung memakai kalimat bahwa " Sang Buddha mengabarkan / membabarkan  tentang Nibbana "

Quotetapi konsep nibbana bukanlah pengalaman nibbana itu sendiri ...
maafkan han han yg masih muda pak , merujuk darikata " Membabarkan" maka Nibbana tidak di Konsep dan memang setau han han tidak ada Konsep Nibbana.
jadi seharusnya dan yg memang sudah terjadi adalah " Pengalaman BERNIBBANA yg sudah disampaikan , bukan ajaran dan Konsep  Bernibbana yg disampailkan.

QuoteTapi Sang Buddha perlu mengkomunikasikan pengalaman batinnya sendiri kepada orang lain ...
kata " mengkomunikasikan " yg bapak sampaikan disini adalah sangat berbeda dengan kata " mengajarkan " pada Kalimat bapak "Sang Buddha mengajarkan tentang nibbana ..., makanya saya lebih suka menggunakan kata " membabarkan/ menyampaikan.

QuoteJadi, sekali lagi, jangan dicampuradukkan konsep kekosongan dengan pengalaman kekosongan ... Konsep kekosongan diperlukan sebagai telunjuk yang menunjuk kepada rembulan bagi mereka yang benar-benar serius ingin mengalami kekosongan. ... Perkara orang mau menggunakan telunjuk itu atau tidak, tidak relevan buat saya ... :)
Pak Hudoyo ... han han  tidak membicarakan tentang Konsep atau Pengalaman Kekosongan , yg han han tanya dan sampaikan  adalah :
Kosong adalah Kosong. dan kalau Kosong sudah dibicarakan maka dia sudah bukan Kosong  lagi.
jadi mempertanyakan dan membahas Kosong dengan Pengalaman Kekosongan apalagi dengan Konsep Kekosongan adalah pembahasan yg bukan Kosong .


QuoteLho, kok lucu ... Kalau Anda mengatakan bahwa apa yang saya katakan tidak benar, untuk apa Anda minta tuntunan lebih jauh kepada saya. ... :)
pak Hudoyo .. kita memang berbeda usia yg cukup jauh. jadi han han yg muda minta maaf lebih dulu dan kalu bapak pernah juga berusia muda kiranya bapak juga mengerti pertanyaan seorang anak muda .

so ..han han tidak  menulis bahwa perkataan/ kalimat bapak tidak benar .
kalau han han katakan bahwa tulisan bapak tidak benar , seharusnya tulisan han han yg benar , karna tanpa ada yg benar atau dirasa benar, maka nggak mungkin terlihat yg tidak benar .
tapi disini bapak menyampaikan / mengutip kalimat² dari ajaran Buddha ( pihak ketiga ) dan kalau saya mempertanyakan kalimat² penyampain Bapak apakah tidak lebih baik saya sampaikan  pendapat saya juga sebagai perbandingan , ada yg keliru pak  ??

QuoteSilakan saja Anda mengatakan bahwa apa yang saya katakan tidak benar. ... Saya tidak tersinggung, kok ... :)

pak Hudoyo .. han han udah tulis beberapa kali bahwa han han tidak mengatakan bahwa apa yg bapak tulis " tidak benar " dan tidak ingin menyinggung bapak.maaf saya kalo bapak merasa demikian.
sekali lagi pendapat han han  adalah " kosong yg dibicarakan adalah bukan kosong "

QuoteBerkali-kali saya katakan ... ada banyak jalan untuk sampai pada pembebasan ... MMD salah satunya ... Dan saya berkata, tidak ada SATU jalan yang COCOK untuk SEMUA orang. ...
satu , dua kali han han ada baca tulisan bapak mengenai MMD , tapi maaf pak Hudoyo , tidak ada hubungannya dengan pertanyaan  han han. Han han hanya bertanya Kosong yg dibicarakan adalah bukan kosong.

QuoteNah, silakan memilih jalan Anda sendiri ... saya tidak perlu menyanggah Anda yang tidak membenarkan kata-kata saya. .... :)
pak .. han han masih bertanya mengenai Kekosongan , bukan mempermaslahkan pilihan jalan.
mohon jangan dikomentarkan lagi yah pak.

QuoteCuma kalau boleh saya beri saran: jika Anda sudah memilih satu jalan ... Anda tidak perlu mengatakan jalan orang lain tidak benar ... Setuju, bukan? ... :)

Salam,
hudoyo

saran bapak han han terima dengan senang hati dan akan han han perhatikan buat selanjutnya, tapi tema yg han han tanyakan adalah
tetap " Kosong yg dibicarakan adalah bukan Kosong yg sebenarnya", dan han han tidak ingin / sedang mempermasalhkan pilihan bapak.

salam dari han han


[/quote]

hudoyo

Rekan Han Han,

Tampaknya Anda mau berdebat tentang 'konsep' dan 'pengalaman'.

Lalu Anda mempermasalah kata 'mengkomunikasikan' dan 'mengajarkan' yang saya gunakan, dan lebih suka memakai kata 'membabarkan' ... yang menurut saya, ini cuma debat kusir. ... :)

Anda mengatakan bahwa "Nibbana bukan konsep". ... Rekan Han Han, sekali lagi saya nyatakan dengan tegas, bagi seorang yang belum mencapai nibbana, seperti Anda dan saya, maka Nibbana ADALAH konsep. ... Kalau ini Anda tolak, maka saya tidak bisa memahami jalan pikiran Anda ... dan sorry, saya mengundurkan diri dari debat ini. ... :)

Anda terus mempersoalkan "Mengapa kosong harus dikonsep dan dibicarakan"? ... Padahal dalam posting lalu saya sudah mencoba menjelaskannya ... Kalau Anda terus bertanya seperti ini, maka cuma  ada dua kemungkinan: (1) Anda tidak memahami penjelasan saya, atau (2) Jalan pikiran Anda sangat berbeda dengan jalan pikiran saya ... Dalam kedua hal itu, tidak ada gunanya debat ini diteruskan ...

Sekali lagi, saya jelaskan di sini, kepada Anda (kalau Anda mau mengerti) dan kepada seluruh pembaca di forum ini:

Bagi orang yang belum mencapainya, 'Nibbana' adalah konsep.
Bagi orang yang belum mengalaminya, 'su~n~nata'(kekosongan) adalah konsep.

SETIAP KATA YANG DIGUNAKAN MANUSIA UNTUK BERPIKIR ADALAH KONSEP. Dan dalam hal-hal yang abstrak, kata (konsep) tidak bisa menggantikan apa yang dikatakan (dikonsepsikan).


Dalam bahasa Pali ini disebut 'ma~n~nati' = conceiving = mengkonsepsikan.

Silakan baca Mulapariyaya-sutta (MN 1): Di situ Sang Buddha berkata bahwa seorang puthujjana selalu mengkonsepsikan ('ma~n~nati') segala sesuatu: tanah, air, api, udara ... sampai 'nibbana'.

Di situ Sang Buddha juga mengajarkan bahwa seorang yang tengah berlatih, hendaknya tidak memikir-mikir tentang segala sesuatu, termasuk konsep 'nibbana'.

Di situ Sang Buddha akhirnya menyatakan bahwa dalam batin seorang arahat tidak ada lagi konsep 'nibbana' (nibbana na ma~n~nati).

Lalu, Anda masih mengejar terus sekalipun sudah saya jelaskan, kenapa Kosong harus dikonsep dan dibicarakan ??

Nah, mengapa Sang Buddha mengajarkan (saya tetap pakai kata 'mengajarkan') konsep 'nibbana' kepada orang-orang yang belum mencapai nibbana?

Mengapa Sang Buddha dan saya mengajarkan konsep 'su~n~nata' (kekosongan) kepada orang yang belum mengalami kekosongan?

Silakan dipikirkan sendiri ... Pertanyaan seperti ini tidak perlu saya jawab. ...


Nah, Rekan Han Han, kalau Anda masih menyanggah juga apa yang saya sampaikan di atas, jelas Anda tidak bisa mengikuti jalan pikiran saya (dan saya tidak bisa mengikuti jalan pikiran Anda) ... Dalam hal itu saya tidak bisa menjelaskannya lebih baik lagi kepada Anda, dan saya akan mengundurkan diri dari diskusi ini.

Quotepak Hudoyo .. han han udah tulis beberapa kali bahwa han han tidak mengatakan bahwa apa yg bapak tulis " tidak benar " dan tidak ingin menyinggung bapak.maaf saya kalo bapak merasa demikian.

Lha yang Anda tulis ini apa artinya:

QuoteJadi menurut han han kalimat
Hudoyo: Itulah vipassana sejati yang diajarkan oleh Sang Buddha.
Tidaklah tepat atau malah tidak benar.

Jadi, jelas: (1) entah Anda lupa; (2) entah Anda tidak jujur; (3) Entah pikiran Anda tidak bisa saya ikuti.

Dalam ketiga hal itu, saya tidak perlu lagi menanggapi Anda. Sampai di sini saja.

Salam,
hudoyo


markosprawira

#5
Quote from: hudoyo on 19 June 2008, 06:02:12 PM
Quote from: markosprawira on 19 June 2008, 05:14:53 PM
pandangan saya jelas karena bersumber dari Tipitaka Pali dalam hal ini, Abhidhamma yang juga selaras dengan Sutta dan Vinaya

misalnya sudah jelas juga bahwa "tidak pernah ada terhentinya pikiran/kesadaran", yang bahkan pada orang suci/lokuttara saja, pikiran/kesadaran itu tetap berproses dan terus berlangsung sampai tercapainya maha parinibbana

Bagi saya sederhana saja, kitab Abhidhamma bukan ajaran Sang Buddha ... seperti dikatakan oleh Buddhadasa Mahathera, Nyanavira Thera dsb. ... Namun saya pun tidak tergantung pada kedua orang itu. ... Menurut pengalaman saya, Abhidhamma bukan ajaran Sang Buddha ... Ini bukan dogma, tapi bisa dicek oleh masing-masing praktisi MMD yang beragama Buddha ... kalau mau ... :)

Ini sudah pernah saya bahas pada waktu anda mengajukan Mulapariyaya Sutta mengenai proses citta dimana anda berasumsi bahwa keseluruhan proses harus dipenuhi baru itu menjadi 1 citta/pikiran. Karena itu, saya sangat paham jika anda menyatakan pada pikiran terhenti karena hanya ada proses pertama saja

Sementara dalam abhidhamma, pada setiap proses saja, minimal sudah terjadi 1 proses pikiran yang terdiri dari 17 citta (minimal loh, sehingga pada kenyataannya terdiri dari banyak citta). Jadi walau hanya ada proses pertama saja pada lokuttara, itu berarti setidaknya sudah terjadi 1 proses citta atau 17 citta/pikiran.
Karena itu, cetasika yang dominan pada lokuttara adalah Panna, bukan cetana seperti pada lokiya.

Disini jelas bahwa Abhidhamma dapat menjelaskan sutta (dan juga vinaya mengenai dasar aturannya) dengan lebih jelas dan selaran, yang notabene menjadi salah satu acuan anda mengenai "citta/pikiran". Jika penasaran, hal ini bisa anda tanyakan ke praktisi Abhidhamma

Tentang kesahihan Abhidhamma : Kembali disini anda bertentangan dengan ucapan anda sendiri mengenai asas kemanfaatan yang pernah diangkat oleh bro willibordus.
Anda tidak mau melirik Abhidhamma, hanya karena asumsi "Abhidhamma bukan ajaran Buddha".
Kenapa saya bilang ini asumsi?? karena anda pun sudah menyatakan "tidak bisa membuktikan apakah itu dari mulut Buddha atau bukan" (semoga anda masih ingat menyatakan hal ini dalam thread yang sama)

Sementara jika berdasar asas kemanfaatan, yang anda sudah setujui pada thread yang sama : tidaklah penting apakah itu keluar dari mulut buddha atau ajaran buddha, yang penting adalah bahwa ajaran itu bisa membawa ke arah pencapaian nibbana.


Quote from: hudoyo on 19 June 2008, 06:02:12 PM
Quotesemoga ini memperjelas bahwa saya hanya menyuarakan berdasar pegangan atau landasan Buddha Dhamma yang sahih, bukan atas RASA atau pengalaman pribadi yang digunakan untuk menisbikan Buddha Dhamma
karena jika ada yang berbeda dengan buddha dhamma maka dapat dipastikan bahwa ada kekeliruan pada pandangan yang berbeda itu
Ini khas pernyataan orang agama ... "Ini kitab yang sahih ... setiap interpretasi yang berbeda adalah haram ... Ahmadiyah harus dilarang." ... :) Tidak peduli di agama apa pun, pikiran seperti ini ada di setiap agama: FPI, Keristen, Buddhis ... :)

Silakan ... boleh-boleh saja, kok. ... :) MMD sudah punya pangsa pasarnya sendiri: yaitu, mereka yang ingin mencapai keheningan batin tanpa dibebani oleh kitab suci dari mana pun. ... :)  Dan ini tidak bisa dibendung dalam zaman modern ini. ... :)

mengenai pernyataan orang agama : silahkan anda berkata seperti itu, hanya saja seperti yang sudah saya sebut diatas bahwa abhidhamma dapat menjelaskan sutta (serta vinaya) dengan lebih jelas

pun selaras dengan asas kemanfaatan, abhidhamma, sutta dan vinaya jika dijalankan dengan benar, membawa banyak perkembangan pada batin menuju yang lebih baik

ini yang meyakinkan saya bahwa ini adalah ajaran yang benar, karena pada Simsappa Sutta, Buddha menyebut bahwa ajarannya bagai segenggam daun di hutan Simsappa, namun dengan hanya segenggam ini saja, mampu membawa ke arah pembebasan

Jadi maaf, bukan saya fanatik dengan buddhism, lebih tepatnya melekat pada kebenaran yang membawa manfaat.

mengenai MMD anda : anumodana jika itu memang membawa manfaat bagi banyak orang........  _/\_

hanya saja, jika untuk penerapan Mahapariyaya yang sudah jelas merupakan citta vitthi saja, sudah melenceng, maaf saja karena hasilnya tentunya juga akan melenceng

Karena itu maaf jika saya tidak tertarik dengan MMD, karena abhidhamma lebih bisa memberikan penjelasan mengenai citta, cetasika dan rupa serta penerapan dalam hidup sehari-hari, tidak hanya untuk meditator saja.


NB : di kelas abhidhamma juga sudah banyak orang non buddhis yang merasakan manfaat. Ada dokter muslim yang menyebut dirinya "universalis", juga ada beberapa kristiani yang kritis, yang menyatakan dirinya "selaras dengan pemikiran buddhis", yang ikut beranjali dan menghormat guru Buddha karena sedemikian agungnya ajaran Guru Buddha.

Betul yang anda bilang, masing-masing ada "pangsa pasarnya" sendiri-sendiri, sesuai dengan perkembangan batin masing-masing.

Karena sudah jelas saya berpegang pada Abhidhamma, sementara anda sudah jelas "menolak" Abhidhamma, berarti lebih baik diskusi ini dihentikan saja yah.  ^:)^

anumodana  _/\_

markosprawira

Quote from: Kainyn_Kutho on 19 June 2008, 05:36:38 PM
OK, thanx buat penjelasannya. Saya memang setuju pada penerapan pada kehidupan sehari-hari sesuai dengan kapasitas kita. Misalnya kita dengki sama orang, lalu dalam teori dibahas bagaimana 'tidak bermanfaatnya' dengki itu dan dengan bantuan teori (misalnya ketika kita dengki, ingat pada pembahasannya) sehingga kita bisa menyadarinya, tentu boleh saja. Menurut saya, itu bukan fanatik sama sekali.

Untuk yang tidak/belum masuk dalam kapasitas kita, menurut saya itulah yang berpotensi membuat orang fanatik. Misalnya Abhinna, bagi yang tidak bisa membuktikan atau tidak pernah ketemu, ada orang yang menyangkal habis2an dan ada orang yang membela habis2an tentang keberadaan Abhinna. Nah, di sini orang itu tidak mengalami dan tidak bisa membuat orang mengalami tetapi bersikukuh pada pandangannya. Inilah yang membuat orang fanatik. Kalau ditampung sebagai pengetahuan (misalnya Abhinna secara garis besar dibagi jadi 6), ya tentu saja tidak ada ke-fanatik-an di situ.  ;D


dear Kai,

salah satu iklan yang saya ingat adalah "Menjadi tua itu pasti, menjadi dewasa itu pilihan"

selaras dengan ini, Buddha menyatakan dalam Dhammapada bahwa sia-sia orang hidup 100 tahun tapi tidak mempraktekkan Dhamma.
Lebih baik orang hidup hanya sehari, namun mempraktekkan Dhamma.

Disini jelas, bahwa orang "harus" tahu Dhamma terlebih dahulu, baru kemudian mempraktekkannya.

Yang menjadi sumber keributan adalah :
1. ada yang tahu Dhamma tapi tidak mempraktekkan : sama seperti sendok pada sup. Hanya bisa mengantarkan sup (baca : bicara Dhamma) tapi yang tidak bisa merasakan rasanya sup (baca : manfaat Dhamma).
2. Ada yang mempraktekkan tapi tidak berdasar Dhamma : sama seperti orang diberi pisau tapi tidak diberitahu bahwa pisau digunakan untuk memotong sayur, buah. Karena itu, ada kemungkinan, orang itu akan menggunakannya untuk membunuh orang lain.

Semoga diskusi kita ini bisa membawa manfaat yah.......

K.K.

Wah.. Ditendang ke sini. OOT yah?!  ;D

QuoteDisini jelas, bahwa orang "harus" tahu Dhamma terlebih dahulu, baru kemudian mempraktekkannya.

Kalo di sini, saya setengah setuju. Dhamma atau kebenaran, tidak hanya ada dalam satu ajaran (agama). Dhamma itu ada di dalam kehidupan kita sehari-hari. Jadi ada kebenaran yang kita jalankan sebagai kebenaran tanpa tahu teori/ajaran tentang kebenaran itu. Contohnya, dalam satu masyarakat yang tidak mengenal agama, ada orang yang serakah dan ada yang tidak serakah. Yang tidak serakah ini merasakan bahagia dengan merasa cukup tanpa adanya teori bahwa "keinginan = dukkha" dan sebagainya. Dia menjalankan kebenaran itu sendiri tanpa tahu teori/ajaran kebenaran itu.

Untuk hal yang lain, saya setuju memang ada yang "diperkenalkan" lebih dahulu, baru dijalankan. Misalnya Abhinna dalam contoh sebelumnya, ada orang yang tidak tahu abhinna karena memang tidak ada di komunitasnya. Lalu kemudian ada yang mengajarkan bagaimana mengembangkan Abhinna, dan dia mempraktekkannya.


Quote1. ada yang tahu Dhamma tapi tidak mempraktekkan : sama seperti sendok pada sup. Hanya bisa mengantarkan sup (baca : bicara Dhamma) tapi yang tidak bisa merasakan rasanya sup (baca : manfaat Dhamma).
Ini benar, tetapi di titik lain, ada juga yang pernah makan sup, tapi tidak tahu itu namanya sup.

Quote2. Ada yang mempraktekkan tapi tidak berdasar Dhamma : sama seperti orang diberi pisau tapi tidak diberitahu bahwa pisau digunakan untuk memotong sayur, buah. Karena itu, ada kemungkinan, orang itu akan menggunakannya untuk membunuh orang lain.
Ya, ini namanya 'malpraktek', bisa karena praktek sesuka hati ataupun pemahaman teori yang salah.

Karena saya sendiri tidak tahu bagaimana mengukur teori atau praktek, maka saya pribadi melihat berdasarkan perilaku dan pola pikirnya dalam kehidupan sehari-hari.



tesla

Quote from: markosprawiramisalnya sudah jelas juga bahwa "tidak pernah ada terhentinya pikiran/kesadaran", yang bahkan pada orang suci/lokuttara saja, pikiran/kesadaran itu tetap berproses dan terus berlangsung sampai tercapainya maha parinibbana
ada kok, nirodha-samapatti vithi ;)
Lepaskan keserakahan akan kesenangan. Lihatlah bahwa melepaskan dunia adalah kedamaian. Tidak ada sesuatu pun yang perlu kau raup, dan tidak ada satu pun yang perlu kau dorong pergi. ~ Buddha ~

markosprawira

 [at] Kai : lebih tepatnya "disalurkan kesini" he3.......

mengenai perilaku dan pola pikir : betul sekali yang anda sebutkan. Lihatlah dari perilaku dan pola pikir sehari-harinya, bukan dari "sosok"

itu pula yang selalu ditekankan oleh mentor kami mengenai "kultus individu". Banyak orang yang hanya melihat pada sosok "tokoh", bukan pada kebenaran yang diberitahukannya

Ini membuat orang membela secara "membuta" dan "fanatik"/melekat" namun jika ternyata ada perilaku yang tidak sesuai, banyak orang yang kecewa.

Padahal jika melihat pada kebenaran, Buddha sendiri menyebutkan dalam Simsappa Sutta bahwa kebenaran itu amat sangat buanyak sekali, namun "tidak semua" membimbing ke arah nibbana.

Ini dapat dilihat pada Dhammapada 364 sbb :

Seorang bhikkhu yang selalu berdiam dalam Dhamma dan gembira dalam Dhamma, yang selalu merenungkan dan mengingat-ingat akan Dhamma, maka bhikkhu itu tidak akan tergelincir dari Jalan Benar Yang Mulia.


Jadi tidak masalah kebenaran diucapkan oleh siapapun, bahkan oleh seorang anak kecil.
Yang masalah adalah jika yang diucapkan itu bukanlah suatu kebenaran yang sesuai dengan Buddha Dhamma

Itu yang Buddha nyatakan dalam Dhammapada 392 :

Apabila melalui orang lain seseorang dapat mengenal Dhamma sebagaimana yang telah dibabarkan oleh Sang Buddha maka hendaklah ia menghormati orang tersebut, seperti seorang brahmana menghormati api sucinya.


Semoga bisa memberi pencerahan bagi kita semua...........

tesla

Quote from: markosprawira on 20 June 2008, 09:19:03 AM
Ini sudah pernah saya bahas pada waktu anda mengajukan Mahapariyaya Sutta mengenai proses citta dimana anda berasumsi bahwa keseluruhan proses harus dipenuhi baru itu menjadi 1 citta/pikiran. Karena itu, saya sangat paham jika anda menyatakan pada pikiran terhenti karena hanya ada proses pertama saja
maaf ya ini sepertinya ditujukan ke Pak Hudoyo, tetapi saya ingin menjawab :P

1 tahapan kognisi tanpa disertai oleh konsep pikiran (apa sih istilah Pak Hud) menurut saya tidak dapat di-porsikan, apakah ini 1 citta ataupun 17 citta...

Quote
Sementara dalam abhidhamma, pada setiap proses saja, minimal sudah terjadi 1 proses pikiran yang terdiri dari 17 citta (minimal loh, sehingga pada kenyataannya terdiri dari banyak citta). Jadi walau hanya ada proses pertama saja pada lokuttara, itu berarti setidaknya sudah terjadi 1 proses citta atau 17 citta/pikiran.
menurut saya simple saja, pembedahan setiap orang berbeda bahkan utk objek yg sama.
misalnya pertanyaan saya, "ada berapa tahapan cara kita buang air?".
seseorang bisa saja hanya membedahnya "buka, keluarkan & lepaskan (3)"
& yg lain mungkin bisa dibedah lebih halus lagi "tangan ke resleting, dst... (n)"
& dalam hal ini tdk dapat dikatakann salah satu lebih baik"

Quote
hanya saja, jika untuk penerapan Mahapariyaya yang sudah jelas merupakan citta vitthi saja, sudah melenceng, maaf saja karena hasilnya tentunya juga akan melenceng
saya sendiri, dalam meditasipun belum sampai dpt melihat tahapan citta-vitthi.
jd saya tidak pantas men-judge citta-vitthi adalah kebenaran ataupun ketidakbenaran...

Quote
Karena itu maaf jika saya tidak tertarik dengan MMD, karena abhidhamma "lebih" bisa memberikan penjelasan mengenai citta, cetasika dan rupa serta penerapan dalam hidup sehari-hari, tidak hanya untuk meditator saja.
lebih itu subjektif lho... ;)

Quote
Karena sudah jelas saya berpegang pada Abhidhamma, sementara anda sudah jelas "menolak" Abhidhamma, berarti lebih baik diskusi ini dihentikan saja yah.  ^:)^
dan sebaliknya :)

jadi mari kita hargai perbedaan :)

_/\_
Lepaskan keserakahan akan kesenangan. Lihatlah bahwa melepaskan dunia adalah kedamaian. Tidak ada sesuatu pun yang perlu kau raup, dan tidak ada satu pun yang perlu kau dorong pergi. ~ Buddha ~

K.K.

Quote[at] Kai : lebih tepatnya "disalurkan kesini" he3.......

mengenai perilaku dan pola pikir : betul sekali yang anda sebutkan. Lihatlah dari perilaku dan pola pikir sehari-harinya, bukan dari "sosok"

itu pula yang selalu ditekankan oleh mentor kami mengenai "kultus individu". Banyak orang yang hanya melihat pada sosok "tokoh", bukan pada kebenaran yang diberitahukannya

Ini membuat orang membela secara "membuta" dan "fanatik"/melekat" namun jika ternyata ada perilaku yang tidak sesuai, banyak orang yang kecewa.

Padahal jika melihat pada kebenaran, Buddha sendiri menyebutkan dalam Simsappa Sutta bahwa kebenaran itu amat sangat buanyak sekali, namun "tidak semua" membimbing ke arah nibbana.

Ini dapat dilihat pada Dhammapada 364 sbb :

Seorang bhikkhu yang selalu berdiam dalam Dhamma dan gembira dalam Dhamma, yang selalu merenungkan dan mengingat-ingat akan Dhamma, maka bhikkhu itu tidak akan tergelincir dari Jalan Benar Yang Mulia.


Jadi tidak masalah kebenaran diucapkan oleh siapapun, bahkan oleh seorang anak kecil.
Yang masalah adalah jika yang diucapkan itu bukanlah suatu kebenaran yang sesuai dengan Buddha Dhamma

Itu yang Buddha nyatakan dalam Dhammapada 392 :

Apabila melalui orang lain seseorang dapat mengenal Dhamma sebagaimana yang telah dibabarkan oleh Sang Buddha maka hendaklah ia menghormati orang tersebut, seperti seorang brahmana menghormati api sucinya.


Semoga bisa memberi pencerahan bagi kita semua...........

_/\_

markosprawira

Quote from: tesla on 20 June 2008, 10:36:09 AM
Quote from: markosprawiramisalnya sudah jelas juga bahwa "tidak pernah ada terhentinya pikiran/kesadaran", yang bahkan pada orang suci/lokuttara saja, pikiran/kesadaran itu tetap berproses dan terus berlangsung sampai tercapainya maha parinibbana
ada kok, nirodha-samapatti vithi ;)

dear tesla,

sepengetahuan saya, ini mirip dengan "berdiam dalam jhana", atau masuk ke "nibbana".... cmiiw....

hanya saja disini bukan "terhenti" atau "stop", hanya "halt".....

kasus mirip kaya seolah kalo sudah mencapai nibbana, maka orang itu dianggap selalu berada dalam "nibbana"...... itu yang mendasari "terhenti" atau "stop"

Padahal sebenarnya pada kesehariannya, beliau tidak selalu berada dalam nibbana.... misal pada saat makan, maka dia terpusat pada makan itu

semoga perbedaan ini bisa dimengerti yah.........

markosprawira

Quote from: tesla on 20 June 2008, 11:14:23 AM
Quote from: markosprawira on 20 June 2008, 09:19:03 AM
Ini sudah pernah saya bahas pada waktu anda mengajukan Mahapariyaya Sutta mengenai proses citta dimana anda berasumsi bahwa keseluruhan proses harus dipenuhi baru itu menjadi 1 citta/pikiran. Karena itu, saya sangat paham jika anda menyatakan pada pikiran terhenti karena hanya ada proses pertama saja
maaf ya ini sepertinya ditujukan ke Pak Hudoyo, tetapi saya ingin menjawab :P

1 tahapan kognisi tanpa disertai oleh konsep pikiran (apa sih istilah Pak Hud) menurut saya tidak dapat di-porsikan, apakah ini 1 citta ataupun 17 citta...

mirip kaya proses scanning di scanner komputer, bro....... pada mereka yang hanya melihat lampu scanner berjalan, maka "seolah" scanning hanya terjadi 1x saja, dari awal lampu nyala, sampai lampu mati........ jadi kalau dihentikan di tengah jalan, maka dianggap scanning itu belum terjadi....

bagi yang tahu proses, dapat diketahui bahwa setiap saat optik scanner itu selalu bekerja sehingga walau dihentikan di tengah, tetap saja optik sudah bekerja.

demikian juga:
pengertian pak hud : tahapan kognisi 1 - 6 harus terpenuhi, baru itu 1 citta....
menurut abhidhamma : pada tahap 1 (ada 17 citta sesuai citta vitthi), pada tahap 2 (minimal ada 17 citta, bisa juga lebih), dst...dst.....

singkatnya : tahap 1 mengenali apa adanya..... masuk tahap 2, masuk persepsi2 kita akan bentuk (jadi bisa terjadi banyak proses citta disini), masuk tahap 3 misalnya warna, dst...dst.....

demikianlah proses kognisi menurut penjelasan abhidhamma


Maaf saya sedang ada urusan, sisanya akan saya lanjutkan nanti......... anumodana

tesla

Quote from: markosprawira on 20 June 2008, 11:28:14 AM
dear tesla,

sepengetahuan saya, ini mirip dengan "berdiam dalam jhana", atau masuk ke "nibbana".... cmiiw....
kalau berdasarkan penjelasan pada "Buddha Abhidhamma - Ultimate Science" karya Dr. Mehm Tin Mon,

dijelaskan citta vitthi jhana adalah : Jha(na)-Jha-Jha-dst...-Bha (diakhiri dg bavanga)

sedang nirodha-samapatti adalah : Jha8-...(tidak ada)...-pha(la) (kalau anagami maka anagami phala, kalau arahat ya arahat phala)

kutipannya:
Now the person develops the aråpàvacara fourth-jhàna and
soon after the occurrence of neva-sa¤¤à-n'àsa¤¤à-yatana citta as
appanà-javana for two conscious moments, the stream of
consciousness is cut off—no cittas, cetasikas and cittaja-råpa
(corporeality formed by citta) arise any more.


sekedar info, soal resolusi sebelum nirodha-samapatti ini cocok pula dg pengakuan pengalaman pak Hud ;D
tetapi kemungkinannya adalah:
1. apa benar pak Hud ini jhana8 & sudah setidaknya anagami...
2. atau syarat jhana8 & anagami tidak valid
3. atau pak Hud membual ^-^

Quote
hanya saja disini bukan "terhenti" atau "stop", hanya "halt".....

kasus mirip kaya seolah kalo sudah mencapai nibbana, maka orang itu dianggap selalu berada dalam "nibbana"...... itu yang mendasari "terhenti" atau "stop"

Padahal sebenarnya pada kesehariannya, beliau tidak selalu berada dalam nibbana.... misal pada saat makan, maka dia terpusat pada makan itu

semoga perbedaan ini bisa dimengerti yah.........

setuju... dalam hal ini sebenarnya cuma ada perbedaan bahasa, sedangkan maknanya sama.

PS: saya merasa janggal juga Pak Hud ini selalu berusaha membagi ariya menjadi sekha (berhenti partial) & arahat (berhenti total) saja. bukan sotapanna, sakadagami, anagami & arahat... ;D kenapa pak?
Lepaskan keserakahan akan kesenangan. Lihatlah bahwa melepaskan dunia adalah kedamaian. Tidak ada sesuatu pun yang perlu kau raup, dan tidak ada satu pun yang perlu kau dorong pergi. ~ Buddha ~