News:

Semoga anda berbahagia _/\_

Main Menu

ada yang tahu mengapa?

Started by Balhamoth, 15 June 2008, 01:00:05 PM

Previous topic - Next topic

0 Members and 1 Guest are viewing this topic.

gajeboh angek

Quotebtw, perjalanan ke tavatimsa hanyalah mitos merupakan sebuah kesimpulan, bukan penafsiran...
bagi yg mempercayainya dan senang berspekulasi silakan saja meneruskan "kemungkinan2" yg berbau super natural, saya hanya menawarkan sebuah kesimpulan yg lebih sederhana. dan juga terserah anda untuk mengecapnya sebagai upaya yg kurang baik...

pertanyaan dari thread starter ini sendiri mengindikasikan adanya sesuatu yg kurang masuk akal. setiap cerita yg berbau supernatural akan selalu melahirkan pertanyaan2 yg supernatural pula...

Maaf, kalau menyinggung ;D

Saya hanya prihatin dengan penafsiran modern yang lebih dilandasi pada logika dan materialisme, atau bahkan penafsiran sendiri.

Sebagai pengikut Theravada, saya lebih memilih asas praduga tidak bersalah, dalam arti Tipitaka benar, referensi Tipitaka benar, kitab komentar benar selama tidak bertentangan dengan Tipitaka, dan penafsiran belakangan ditimbang dengan tiga di atas. Bukan asas praduga bersalah seperti pak Hudoyo, yang mengatakan gila kalau mempercayai hal-hal adikodrati terjadi, atau murid-murid pasti ngantuk  ketika Sutta tertentu yang panjang dibabarkan. Walaupun sama-sama mempercayai padam sebagai akhir, tetapi pola pikir yang terbentuk berbeda sekali.

Kalau penafsiran sendiri, saya ragu apakah ini benar atau salah. Penafsiran modern cenderung berdasarkan pada logika dan materialisme, seperti Mettanando, yang mengatakan Buddha Parinibanna karena radang selaput perut, dan para Arahat mengadakan konsili pertama untuk menegakkan hegemoni pria dan menindas wanita. Semua kejadian adikodrati dikatakan sebagai perumpamaan belaka.
Atau penafsiran citta abadi seperti Ajahn Maha Boowa, atau nihilisme dalam arti kelahiran kembali hanya dalam konteks nama, bukan kelahiran kembali literal seperti Ajahn Buddhadasa.
Atau pendapat Abhidhamma hanya bualan belaka.

Pendapat ini bukan hanya saya pribadi, tetapi juga oleh para praktisi, yang berdasarkan Tipitaka (termasuk Abhidhamma), dan kitab komentar.
Memang yang disebut di atas sama-sama praktisi, dan kebenaran hanya bisa dialami, bukan teori, tetapi saya lebih memilih mengikuti praktisi yang berdasarkan Tipitaka dan kitab komentar.

_/\_
HANYA MENERIMA UCAPAN TERIMA KASIH DALAM BENTUK GRP
Fake friends are like shadows never around on your darkest days

Lex Chan

asas praduga tak bersalah = percaya bahwa benar kecuali ditemukan bukti bahwa salah?

asas praduga bersalah = percaya bahwa salah kecuali ditemukan bukti bahwa benar?
"Give the world the best you have and you may get hurt. Give the world your best anyway"
-Mother Teresa-

morpheus

Quote from: karuna_murti on 18 June 2008, 04:40:53 PM
Sebagai pengikut Theravada, saya lebih memilih asas praduga tidak bersalah, dalam arti Tipitaka benar, referensi Tipitaka benar, kitab komentar benar selama tidak bertentangan dengan Tipitaka, dan penafsiran belakangan ditimbang dengan tiga di atas.
kalo boleh saya simpulkan, yg anda maksudkan dengan "asas praduga tidak bersalah" di atas adalah sikap yg memilih untuk percaya kepada isi kitab2 di atas walaupun kebenarannya belum atau tidak terbuktikan dan nalar tidak boleh bertentangan dengan "kebenaran" yg terdapat dalam kitab2 tersebut...

kalo benar, berarti di sini lah perbedaan cara berpikir kita. silakan saja berpendapat demikian, namun saya tidak sependapat.
dan saya tidak pernah menghakimi sikap conservatism dan skolastik anda sebagai upaya yg jelek :)

seperti cara berpikir yg terdapat dalam kalama sutta dan jalan tengah, saya merasa segala sesuatu harus diragukan dulu, tidak langsung dianggap kebenaran dan juga tidak ditolak. segala yg ada di tipitaka dan kitab komentarnya tidak langsung disertifikasi sebagai kebenaran seperti yg anda sebutkan di atas.

demikian juga dengan cerita tavatimsa di atas, setelah dipikir2 dan memperhatikan pola2 cerita2 yg sejenis dan berkaitan, ada *kemungkinan* cerita2 tersebut adalah mitos dan penambahan belakang. lihat lagi baik2, saya *tidak* mengatakan bahwa cerita2 tersebut *pasti* bohong...

:)

Quote from: karuna_murti on 18 June 2008, 04:40:53 PM
Bukan asas praduga bersalah seperti pak Hudoyo, yang mengatakan gila kalau mempercayai hal-hal adikodrati terjadi, atau murid-murid pasti ngantuk  ketika Sutta tertentu yang panjang dibabarkan.
...
Arahat mengadakan konsili pertama untuk menegakkan hegemoni pria dan menindas wanita.
...
Atau pendapat Abhidhamma hanya bualan belaka.
well, dalam hal ini tampaknya anda me-misquote secara kurang akurat sumber2 di atas, tapi itu urusan anda dengan sumber2 tersebut :)


Quote from: karuna_murti on 18 June 2008, 04:40:53 PM
Pendapat ini bukan hanya saya pribadi, tetapi juga oleh para praktisi, yang berdasarkan Tipitaka (termasuk Abhidhamma), dan kitab komentar.
Memang yang disebut di atas sama-sama praktisi, dan kebenaran hanya bisa dialami, bukan teori, tetapi saya lebih memilih mengikuti praktisi yang berdasarkan Tipitaka dan kitab komentar.
saya mengerti maksud anda bang karuna...

namun saya punya keprihatinan yg berlawanan dengan keprihatinan anda. saya melihat berkembangnya sikap conservatism dan skolastik dalam pengajaran dan pembelajaran buddha dhamma, terutama -tapi tidak terbatas hanya- dalam lingkungan tradisi theravada. saya banyak melihat dan mengamati yg terjadi dalam agama2 lain (sebagai orang luar, kita bisa melihat lebih jernih tanpa subjectivitas) betapa kekuatan otoritas buku2 dan pemuka agama menghambat kebebasan berpikir dan kemajuan spiritual penganutnya. agama yg seharusnya dibuat untuk manusia berbalik menjadi manusia semata2 digunakan untuk kejayaan agama, sebuah label. saya melihat kecenderungan yg sama pada agama buddha sejalan dengan intensitas conservatism dan pengajaran agama secara skolastik. semakin terbelenggu pada kedua hal ini, semakin kuat pasungan yg ada pada pikiran penganutnya dan malah ada kecenderungan pada sikap2 intoleransi dan pemaksaan kehendak pada ajaran2 lain yg tidak sama...

saya sering merefleksikan pada diri saya, apa yg menyebabkan buddha dhamma di indonesia kurang bisa berkembang seperti halnya agama lain. jawaban yg muncul dari dalam adalah pengajaran agama buddha yg berbasiskan metode2 yg skolastik dan teoritis itu kering dan tidak bisa memberikan manfaat yg nyata pada kehidupan penganutnya. penganutnya sibuk membanggakan betapa masuk akalnya tumimbal lahir, betapa dalamnya "dhamma" tinggi yg mereka pelajari, betapa hebatnya guru mereka yg bolak balik tavatimsa, betapa bodohnya "pandangan sesat" kepercayaan lain namun sedikit sekali pelajaran secara skolastik tersebut memberikan manfaat pada kehidupan mereka.

berbeda dengan yg saya lihat pada saat buddha dhamma diajarkan dengan cara yg lebih alami, berbasiskan pemikiran, perenungan, praktek dan pengalaman sendiri. saya melihat mereka yg belajar buddha dhamma dengan cara ini bisa merasakan manfaatnya dengan waktu relatif singkat, tanpa perlu tahu yg namanya tavatimsa, paticca samuppada dan cetopariyonana....

sudah oot terlalu jauh. sampai di sini saja :)
* I'm trying to free your mind, Neo. But I can only show you the door. You're the one that has to walk through it
* Neo, sooner or later you're going to realize just as I did that there's a difference between knowing the path and walking the path

gajeboh angek

Terakhir juga ;D

Quotekalo boleh saya simpulkan, yg anda maksudkan dengan "asas praduga tidak bersalah" di atas adalah sikap yg memilih untuk percaya kepada isi kitab2 di atas walaupun kebenarannya belum atau tidak terbuktikan dan nalar tidak boleh bertentangan dengan "kebenaran" yg terdapat dalam kitab2 tersebut...

Kebenarannya belum terbukti -> keragu-raguan
Di sini prinsip kehati-hatian saya pegang. Karena keragu-raguan adalah penghalang, bagaimana orang bisa tercerahkan jika tidak percaya (saddha, bukan membabi buta) karma dan kelahiran kembali?
kelahiran kembali... alam dewa... mara... tidak masuk akal bagi sebagian orang karena belum dialami. tidak masuk nalar. saya hanya mengatakan nalar belum tentu benar sepenuhnya.
Masalahnya, adalah ada hal-hal yang tidak bisa dibuktikan sekarang, seperti Tavatimsa.
Benar atau salah tidak tahu, tetapi konon para bijaksana telah membawakan hal tersebut.

Quoteseperti cara berpikir yg terdapat dalam kalama sutta dan jalan tengah, saya merasa segala sesuatu harus diragukan dulu, tidak langsung dianggap kebenaran dan juga tidak ditolak. segala yg ada di tipitaka dan kitab komentarnya tidak langsung disertifikasi sebagai kebenaran seperti yg anda sebutkan di atas.

Demikian juga dengan tulisan Anda. Apakah anda pernah baca Kalama Sutta? Di Tipitaka bagian mana Sang Buddha menyatakan ajaranNya harus diragukan atau diterima? Tetapi Beliau mengatakan perkataan para Bijaksana digunakan sebagai pertimbangan dan masukkan. Mungkin ada baiknya anda baca dulu Kalama Sutta dan Tipitaka dengan baik.

Meskipun demikian, saya juga menelaah dan menjalani Tipitaka dan kitab komentar sesuai dengan prinsip dan semangat Kalama Sutta.

Quotewell, dalam hal ini tampaknya anda me-misquote secara kurang akurat sumber2 di atas, tapi itu urusan anda dengan sumber2 tersebut
Darimana saya miss-quote secara kurang akurat?
Tulisan Pak Hudoyo bisa anda cari di sini.
Tulisan Mettanando bisa anda cari di Internet : The First Council and Suppression of Bhikkhuni Order dan juga How Buddha Died
Ceramah Ajahn Maha Boowa bisa anda cari di Internet : Maha Boowa Eternal Citta, dan satu-satunya pembelaan yang masuk akal adalah : Ajahn kami adalah Arahat. Jika Sutta bertentangan dengan Ajahn kami, maka sekianlah nasib Sutta.
Buddhadasa juga bisa anda cari di Internet : Buddhadasa deny rebirth.

Saya juga tidak sembarangan percaya begitu saja, saya buktikan dulu, mana yang baik, benar, berguna, dipuji para bijaksana, membawa manfaat.

QuoteSaya melihat berkembangnya sikap conservatism dan skolastik dalam pengajaran dan pembelajaran buddha dhamma, terutama -tapi tidak terbatas hanya- dalam lingkungan tradisi theravada. saya banyak melihat dan mengamati yg terjadi dalam agama2 lain (sebagai orang luar, kita bisa melihat lebih jernih tanpa subjectivitas) betapa kekuatan otoritas buku2 dan pemuka agama menghambat kebebasan berpikir dan kemajuan spiritual penganutnya. agama yg seharusnya dibuat untuk manusia berbalik menjadi manusia semata2 digunakan untuk kejayaan agama, sebuah label. saya melihat kecenderungan yg sama pada agama buddha sejalan dengan intensitas conservatism dan pengajaran agama secara skolastik. semakin terbelenggu pada kedua hal ini, semakin kuat pasungan yg ada pada pikiran penganutnya dan malah ada kecenderungan pada sikap2 intoleransi dan pemaksaan kehendak pada ajaran2 lain yg tidak sama...

Sama dong. Tapi saya melihat juga mereka yang sangat energik dan terbuka, tanpa label dan tanpa batas, mereka yang mempraktekkan, melihat secara jernih, konservatifisme ini, dengan tujuan menegakkan kebenaran, demi kebahagiaan banyak makhluk.

Saya melihat bahaya yang mungkin terjadi. Karena tidak tahu, karena tidak sesuai nalar, lantas menyatakan sesuatu sebagai yang salah. Ada sebab maka ada akibat. Bukan kesombongan, ketidak-pedulian. Peace.
HANYA MENERIMA UCAPAN TERIMA KASIH DALAM BENTUK GRP
Fake friends are like shadows never around on your darkest days

hudoyo

#34
Quote from: karuna_murti on 18 June 2008, 04:40:53 PM
Sebagai pengikut Theravada, saya lebih memilih asas praduga tidak bersalah, dalam arti Tipitaka benar, referensi Tipitaka benar, kitab komentar benar selama tidak bertentangan dengan Tipitaka, dan penafsiran belakangan ditimbang dengan tiga di atas.

Saya tidak berminat ikut dalam diskusi ini, karena bagi saya kitab suci apa pun tidak relevan bagi pencerahan yang sejati.

Tapi saya cuma ingin mengomentari pernyataan di atas, yang kedengarannya buat saya sedikit lucu ... :)

'Asas praduga tidak bersalah', kalau mau diterapkan juga di sini, seharusnya diterapkan terhadap semua kitab suci, bukan hanya terhadap kitab Tipitaka Pali saja karena saya Theravada. ... Jadi, kalau mau adil terhadap semua orang, saya harus menerapkan asas praduga tidak bersalah juga kepada kitab-kitab Prajnaparamita Sutra, kitab Amitabha Sutra, Alkitab Keristen, Al-Quran Islam, dst. ... :)

Jadi, agak aneh dan sedikit lucu kedengarannya kalau saya mengatakan, saya menerapkan asas praduga tidak bersalah terhadap kitab Tipitaka Pali, tetapi terhadap kitab-kitab suci yang lain saya menerapkan asas praduga bersalah, sampai terbukti sebaliknya. ...:))

Lebih baik katakan saja terus terang: "Karena saya Theravada, saya percaya/beriman bahwa Tipitaka Pali itu asli berasal dari Sang Buddha (tanpa perlu dipertimbangkan lagi keontentikannya)" -- Itu persis sama dengan seorang Keristen yang mengatakan: "Karena saya Keristen, saya percaya/beriman bahwa Alkitab itu Firman Allah."

Jadi, dalam hal ini, saya dan pengikut agama-agama lain persis sama, sama-sama percaya/beriman kepada kitab masing-masing. ... Sama-sama terhormat. ... :)


QuoteDi Tipitaka bagian mana Sang Buddha menyatakan ajaranNya harus diragukan atau diterima?
"Jangan percaya begitu saja berdasarkan pikiran: 'Petapa ini guruku'."

Salam,
hudoyo

gajeboh angek

Ada masanya saya dibaptis, menjalani Islam, materialis, filsafatis, dan lain lain.
Jujur, paling tidak inilah yang terbaik yang saya alami.

Silahkan teruskan teori vs prakteknya.

Saya mau kabur dulu ke hutan selama musim hujan.

_/\_
HANYA MENERIMA UCAPAN TERIMA KASIH DALAM BENTUK GRP
Fake friends are like shadows never around on your darkest days

HokBen

Quote from: hudoyo on 19 June 2008, 10:38:16 AM
Quote from: karuna_murti on 18 June 2008, 04:40:53 PM
Sebagai pengikut Theravada, saya lebih memilih asas praduga tidak bersalah, dalam arti Tipitaka benar, referensi Tipitaka benar, kitab komentar benar selama tidak bertentangan dengan Tipitaka, dan penafsiran belakangan ditimbang dengan tiga di atas.

Saya tidak berminat ikut dalam diskusi ini, karena bagi saya kitab suci apa pun tidak relevan bagi pencerahan yang sejati.

Salam,
hudoyo

knapa pencerahan sejati tidak relevan dengan kitab suci yang dipelajari pak?
misalnya orang mempelajari kitab yang mengajarkan untuk mencapai "pencerahan" dengan berperang... atau malah tidak mempelajari kitab apapun sehingga berpolapikir ala mayoritas, beranggapan bahwa hidup ini cuma sekali, ada tuhan yg mengatur takdir, dll... bukankah hal-hal seperti ini butuh pengetahuan dari kitab suci?

ryu

Mau bagaimanapun kitab suci katakan semua balik lagi kepada diri sendiri yang mengalaminya dan bisa membuktikannya bukan yang lain.
Janganlah memperhatikan kesalahan dan hal-hal yang telah atau belum dikerjakan oleh diri sendiri. Tetapi, perhatikanlah apa yang telah dikerjakan dan apa yang belum dikerjakan oleh orang lain =))

hudoyo

#38
Quote from: HokBen on 19 June 2008, 10:58:17 AM
knapa pencerahan sejati tidak relevan dengan kitab suci yang dipelajari pak?
misalnya orang mempelajari kitab yang mengajarkan untuk mencapai "pencerahan" dengan berperang... atau malah tidak mempelajari kitab apapun sehingga berpolapikir ala mayoritas, beranggapan bahwa hidup ini cuma sekali, ada tuhan yg mengatur takdir, dll... bukankah hal-hal seperti ini butuh pengetahuan dari kitab suci?

Rekan Hok Ben,

Jawabannya sederhana sekali, berasal dari pengalaman: ... seorang Islam, seorang Keristen, seorang Buddhis dst bisa melakukan MMD dan tercerahkan tanpa perlu berpegang pada kitab masing-masing. ... :) ... Mereka mencapai khanika-samadhi, yang menurut teori vipassana adalah pintu menuju magga-phala. ... :)

Sebaliknya, justru mereka yang tidak bisa melepaskan kelekatan kepada kitab suci yang dianutnya--tidak peduli namanya Tipitaka Pali--di dalam meditasi ... tidak akan pernah tercerahkan. ... :)

Mengenai hal-hal yang Anda tampilkan itu, semua itu adanya di pikiran. ... Persis sama dengan doktrin-doktrin Buddha-Dhamma seperti, cattari ariya saccani, ariya atthangika-magga, satipatthana, tilakkhana, paticca-samuppada, dsb dsb ... semua itu letaknya di pikiran. ... Jangan dibawa-bawa ke dalam meditasi kalau mau tercerahkan. ... :)

Semua itu cuma bermanfaat untuk menjadi seorang Buddhis Theravada yang terhormat di masyarakat ... karena punya pengetahuan kitab suci banyak. ... :)) ... tapi tidak bisa membawa Anda ke nibbana. ... :)

Kalau pikiran ini disadari ... dan berhenti ... maka semua yang buruk maupun yang baik pun runtuh ... Itulah nibbana. :)

Salam,
hudoyo

HokBen

bagaimana dengan karma seseorang pak? apakah itu berpengaruh pada proses menyadari pikiran dan berhentinya pikiran itu?

ataukah penghentian pikiran itu benar2 sesuatu yang dapat dilakukan siapapun , terlepas dari agamanya, karma2 lampaunya dll?

EVO

QuoteKalau pikiran ini disadari ... dan berhenti ... maka semua yang buruk maupun yang baik pun runtuh ... Itulah nibbana.

berarti pada saat ini hanya ada kosong ya pak???
aku pernah mengalamin sampai pada titik aku merasa nibbana itu tidak ada...

markosprawira

#41
 [at] EVO : hati2 dengan "kosong" itu sis.... bukannya mengalami kosong, melainkan memahami kosong.... mirip tapi sangat berbeda jauh

banyak yang terjebak karena tidak adanya bimbingan dan pengarahan....  sudah ada beberapa yang terkena sehingga mereka "berilusi" seperti berbicara dengan dewa, mencapai nibbana, mencapai tingkat kesucian tertentu, sampai berujung pada rusaknya syaraf serta harus menjalani perawatan di rumah sakit

contoh lainnya seperti menjalankan abhidhamma dalam hidup sehari-hari dan Cuek. Pada mereka yang menjalankan abhidhamma, gejolak batin sudah lebih teratur, sehingga terlihat seperti orang cuek.
Sementara pada batin orang Cuek, biasanya timbul dosa mula citta atau penolakan, dimana dia tidak mau tahu urusan di luar dirinya

Untuk bimbingan vipassana, sebaiknya konsultasi dengan ahlinya seperti bhante Titha di Bali...... beliau adalah orang yang mahir dalam bervipassana

semoga bisa dimengerti yah........

HokBen


[at] bro markos.. gimana untuk tahu bahwa kita benar2 kosong atau hanya memahami kosong?



markosprawira

kalau kita "kosong", jelas itu hanya ada dalam diri kita..... ada "rasa" kosong.......

kalau paham kosong, lebih melihat ke fenomena2 yang ada di dalam dan diluar kita, singkatnya jadi paham tentang anatta.....

saya contohkan pada saat mengalami kemacetan, bnyk org marah dan memaki.

Bagi yang memahami kemacetan sebagai suatu proses, kemacetan tentunya akan berakhir......

sangat disayangkan jika konsep anatta hanya diterapkan dalam meditasi saja, karena  sebenarnya yang terpenting adalah sati/sadar setiap saat.

sadar pada waktu berjalan, sadar pada waktu makan, sadar pada waktu berbicara, dst...........

hasil yang paling terlihat adalah bahwa ingatan anda akan semakin tajam.

selama ini, karena kita sering "lose" atau out of control, kita sering lupa apa saja yang kita lakukan..... kita lupa makan siang apa minggu lalu, kita lupa akan janji2 kita pada orang lain, dsb........

semoga bisa dimengerti yah.......

hudoyo

Rekan Hok Ben, Anda tidak akan pernah bisa paham tentang "kosong" itu hanya dengan mendengar uraian dari saya atau dari Rekan Markos atau dari siapa pun. ... Mengapa? ... Karena Anda mencoba memahami "kosong" itu dengan pikiran yang tidak "kosong" (berpikir, bertanya, merenung dsb) ... Mustahil, kan? ... :)

Ada satu jalan untuk mengalami "kosongnya pikiran" ... yaitu dengan mengamati, menyadari setiap kali pikiran "tidak kosong", yaitu ketika pikiran bergerak, berpikir dsb ...

Kalau Anda sadari pikiran yang bergerak itu ... pikiran itu akan diam ... sekalipun sebentar lagi muncul pikiran yang sama atau pikiran yang lain lagi ... kalau Anda sadari lagi ... pikiran ini akan diam lagi ... demikian seterusnya ...

Nah ... pada suatu titik kelak ... Anda akan mengalami sendiri "kosongnya" pikiran ... tanpa Anda cari, tanpa Anda harapkan ...

Itulah vipassana sejati yang diajarkan oleh Sang Buddha. ...

Salam,
hudoyo