Apa bedanya Bhikkhu Selibat dan Sex Maniac???

Started by Suchamda, 12 June 2008, 12:02:37 AM

Previous topic - Next topic

0 Members and 1 Guest are viewing this topic.

Suchamda

QuoteKalau posisi pribadi, saya sih masih di "tengah", kadang 'melepas' kadang 'menahan'... Embarrassed
Pada saat 'menahan'; ada muncul rasa kesal, tidak enak, terasa ada yang mengganjal..Tapi pas lagi bener2 disadari, terkadang perasaan2 itu membuat diri saya jadi malu sendiri, membuang energi untuk sesuatu yang semu...

Bagus. Ini ditinjau dari pengalaman real. No problem kok.


QuoteDari dasar 'menahan dan 'melepas' itu lha, mendorong munculnya pemikiran, menahan dan melepas terkadang jadi tak beralasan, apakah krn ada-nya 'sila' sehingga setelah melakukan sex ada perasaan "bersalah"? Bagaimana jika "sila" tersebut tidak ada? Apakah masih akan muncul perasaan bersalah seperti ini?

Nah, ini dia, issue yang sebenarnya.


QuoteDengan 'menahan' kita dapat memahami dukkha secara lebih mudah, bahwa pikiran adalah pelolopor, padahal kalau disadari, tidak ada itu yang namanya perasaan kesal, marah, dsb...
Dengan 'melepas' kita membiarkan diri kita untuk terlena dalam kebahagian sementara, padahal kebahagiaan itu pun hanya sebentar, dan hanya ilusi yang menarik kita untuk semakin tidak mawas diri...

Meskipun demikian, kalau mau hidup berumah tangga, ya harus bisa mengapresiasikan seksualitas ke dalam porsi yang sehat.
Note : saya orang yg tidak percaya dengan pandangan yg mengatakan bahwa dengan hidup selibat adalah persyaratan mutlak bagi seseorang untuk bisa mencapai pencerahan (eg. arahat).
Justru menurut saya, seseorang yang menyangkal seksualitasnya, tidak akan pernah bisa melihat jati dirinya apa adanya. Seseorang akan sia-sia belaka mengejar pembebasan dengan penyangkalan.
Akan tetapi, sebaliknya, bila realisasi pembebasan itu tercapai, maka kebutuhan seksualitas --dengan sendirinya-- akan bukan menjadi sesuatu yang berarti penting dalam kehidupannya.
"We don't use the Pali Canon as a basis for orthodoxy, we use the Pali Canon to investigate our experience." -- Ajahn Sumedho

Sumedho

Quote from: Suchamda on 12 June 2008, 05:22:52 PM
Quote from: sumedhoyah mirip kek orang yg ingin membunuh tapi menahan vs orang yg ingin membunuh lalu membunuh.
sama kek orang yg ingin marah tapi menahannya vs orang yg ingin marah lalu marah.

OK.

Manakah yang lebih berarti, untuk menghampiri, memahami dan secara apa adanya menerima rasa marah dan menyelidiki kemarahan itu sendiri sehingga berhenti secara natural, ataukah menahan2 amarah itu (menutup2i amarah, berpura-pura tidak marah) karena terdorong oleh suatu idealisme / cita-cita.

Semoga paham maksud saya.
Pikiran lah yang memberi arti dan makna. Jadi ini tergantung anda ingin yg mana, yah itu lah yg berarti.

Semoga paham juga maksud saya :)
There is no place like 127.0.0.1

Suchamda

Quote from: Sumedho on 12 June 2008, 06:32:40 PM
Quote from: Suchamda on 12 June 2008, 05:22:52 PM
Quote from: sumedhoyah mirip kek orang yg ingin membunuh tapi menahan vs orang yg ingin membunuh lalu membunuh.
sama kek orang yg ingin marah tapi menahannya vs orang yg ingin marah lalu marah.

OK.

Manakah yang lebih berarti, untuk menghampiri, memahami dan secara apa adanya menerima rasa marah dan menyelidiki kemarahan itu sendiri sehingga berhenti secara natural, ataukah menahan2 amarah itu (menutup2i amarah, berpura-pura tidak marah) karena terdorong oleh suatu idealisme / cita-cita.

Semoga paham maksud saya.
Pikiran lah yang memberi arti dan makna. Jadi ini tergantung anda ingin yg mana, yah itu lah yg berarti.

Semoga paham juga maksud saya :)

Justru karena dasar inilah semua ini saya jabarkan demikian.
"We don't use the Pali Canon as a basis for orthodoxy, we use the Pali Canon to investigate our experience." -- Ajahn Sumedho

tesla

Quote from: Suchamda on 12 June 2008, 06:22:00 PM
Note : saya orang yg tidak percaya dengan pandangan yg mengatakan bahwa dengan hidup selibat adalah persyaratan mutlak bagi seseorang untuk bisa mencapai pencerahan (eg. arahat).

sambung...

menurut saya, yg selibat juga pasti akan mengalami tekanan bathin dimana nafsu nya ingin meledak tapi ditahan terus.
disinilah dia menemukan dukkha mendalam.

dilihat dari sisi yg "just do it" pun sama saja, pada akhirnya setelah kebahagiaan sexual yg diinginkan tidak tercapai, dia menemukan dukkha.

dan mengenai pencerahan, saya tidak tahu pastinya karena jelas saya bukan arahat.
jadi menurut pemikiran saya, dukkha inilah celah (peluang) pencerahan.
ketika kita menyadari bahwa kebahagiaan yg kita cari selalu dihantui oleh penderitaan di belakangnya, kita akan berhenti mencari lagi...

saya tidak yakin pencerahan harus dilalui dg dukkha. mungkin saja ada peluang kecil pencerahan dapat dialami tanpa melalui dukkha...
jadi kalau saya pribadi sih, hanya berusaha menerima apapun kenyataan yg terjadi...
Lepaskan keserakahan akan kesenangan. Lihatlah bahwa melepaskan dunia adalah kedamaian. Tidak ada sesuatu pun yang perlu kau raup, dan tidak ada satu pun yang perlu kau dorong pergi. ~ Buddha ~

Suchamda

Quote from: teslamenurut saya, yg selibat juga pasti akan mengalami tekanan bathin dimana nafsu nya ingin meledak tapi ditahan terus.
disinilah dia menemukan dukkha mendalam.

dilihat dari sisi yg "just do it" pun sama saja, pada akhirnya setelah kebahagiaan sexual yg diinginkan tidak tercapai, dia menemukan dukkha.

Nah, anda bisa melihat persamaannya?  ;)

Sekarang, marilah kita tinjau lagi lebih luas. Apa sih di dunia samsara ini yang tidak bisa dijadikan sarana penghayatan tentang dukkha?
Jadi, menurut saya, yang terpenting adalah mampu melihat sesuatu seperti apa adanya. Dan untuk itu, kita tidak boleh melarikan diri dari apa yang hadir kini. Bukan dengan berpegang pada suatu idealisme, atau angan-angan di masa depan, yang tak pernah akan tercapai. Bukan kepada kepercayaan-kepercayaan, tetapi 'menyadari' segala gerak gerik apa yang terjadi pada diri ini. Tindakan2 reaktif itu tidak bermanfaat sama sekali. Semua ini hanya bisa dilalui bila kita bisa membuang pengetahuan.
"We don't use the Pali Canon as a basis for orthodoxy, we use the Pali Canon to investigate our experience." -- Ajahn Sumedho

Edward

yup2....Aye setujuh banget sama Om Tesla...Kyk sekarang nih, lagi mengalami 'dukha' karena harus berhenti merokok.... :'(
"Hanya dengan kesabaran aku dapat menyelamatkan mereka....."

Sumedho

Quote from: Suchamda on 12 June 2008, 07:27:29 PM

Justru karena dasar inilah semua ini saya jabarkan demikian.

ya elah, itu toh, Langsung to the point aja dari awal bro :P
There is no place like 127.0.0.1

Suchamda

Quoteya elah, itu toh, Langsung to the point aja dari awal bro

Hehehe....beda lah....
Saya ingin mengajak orang menyelami pikiran dan perasaannya sendiri, reaksi penolakan dan harapannya; untuk sampai ke pemahaman ini. Oleh karena itu mengapa saya menolak diskusi yg teoritis. ^-^
"We don't use the Pali Canon as a basis for orthodoxy, we use the Pali Canon to investigate our experience." -- Ajahn Sumedho

markosprawira

TS nanya, akhirnya jawaban akhir harus sesuai skenario awal dia sendiri.........

kayanya thread kaya gini makin sering muncul deh.........


end of OOT deh, biar ga dibilang "menghujat" lagi... he3......

tesla

hehehe anatta anatta anatta...

berniat jadi sutradara, ternyata malah jatuh jadi aktor :)

sorry OOT juga... lanjut...
Lepaskan keserakahan akan kesenangan. Lihatlah bahwa melepaskan dunia adalah kedamaian. Tidak ada sesuatu pun yang perlu kau raup, dan tidak ada satu pun yang perlu kau dorong pergi. ~ Buddha ~

williamhalim

Quote from: Suchamda on 12 June 2008, 05:22:52 PM
Manakah yang lebih berarti, untuk menghampiri, memahami dan secara apa adanya menerima rasa marah dan menyelidiki kemarahan itu sendiri sehingga berhenti secara natural, ataukah menahan2 amarah itu (menutup2i amarah, berpura-pura tidak marah) karena terdorong oleh suatu idealisme / cita-cita.

Semoga paham maksud saya.

Lebih bagus menerima dan mengamati kemarahan tsb ketimbang berpura-pura tidak marah...

::
Walaupun seseorang dapat menaklukkan beribu-ribu musuh dalam beribu kali pertempuran, namun sesungguhnya penakluk terbesar adalah orang yang dapat menaklukkan dirinya sendiri (Dhammapada 103)

Suchamda

Quote from: willibordus on 13 June 2008, 12:02:51 PM
Quote from: Suchamda on 12 June 2008, 05:22:52 PM
Manakah yang lebih berarti, untuk menghampiri, memahami dan secara apa adanya menerima rasa marah dan menyelidiki kemarahan itu sendiri sehingga berhenti secara natural, ataukah menahan2 amarah itu (menutup2i amarah, berpura-pura tidak marah) karena terdorong oleh suatu idealisme / cita-cita.

Semoga paham maksud saya.

Lebih bagus menerima dan mengamati kemarahan tsb ketimbang berpura-pura tidak marah...

::

Ya, anda betul, setuju.
"We don't use the Pali Canon as a basis for orthodoxy, we use the Pali Canon to investigate our experience." -- Ajahn Sumedho

williamhalim

Quote from: Suchamda on 12 June 2008, 05:26:19 PM
Quote from: willibordusNamun, apa yg telah kita capai sd sekarang adalah SIKAP kita.
Mungkin saja pencapaian kita baru 1% dari PRINSIP kita, itu biasa, wajar saja, namun sikap kita tsb tidak boleh sampai menggoyahkan PRINSIP kita yg mulia tsb.

Saya kok tidak setuju.

Inilah penyakit orang beragama yang akhirnya mengkronis jadi sikap munafik. Oh, Parisi !

Kondisi apa yang ada dalam kondisi kita saat inilah seharusnya yang dipahami secara aktual. Berpijak pada aktualitas bukan pada angan-angan. Prinsip dibuat atas dasar sesuatu yang real, bukan dari kepercayaan semata yang 'disabdakan'.

Rekan Suchamda,

Saya biasanya berdiskusi atas prinsip yg ingin sy tuju.
Kalau ingin berdiskusi mengenai realita pencapaian kita masing2, tentu bisa saja, dan khsusus bagi diri sy pribadi: tidak pernah bertentangan antara TEORI yg sy tuliskan dan PRAKTEK yg sy lakukan.

Namun, seperti yg telah sy tuliskan sebelumnya, pencapaiannya tentu saja masih jauh dari sempurna... tapi sy tetap mengarahkan diri sy menuju PRINSIP yg telah sy pegang.

Mungkin anda paham apa yg sy maksudkan...

_/\_



PS: Apakah defenisi 'Agama'?  :)

::






Walaupun seseorang dapat menaklukkan beribu-ribu musuh dalam beribu kali pertempuran, namun sesungguhnya penakluk terbesar adalah orang yang dapat menaklukkan dirinya sendiri (Dhammapada 103)

Suchamda

#43
Quote from: markosprawira on 13 June 2008, 10:03:51 AM
TS nanya, akhirnya jawaban akhir harus sesuai skenario awal dia sendiri.........

kayanya thread kaya gini makin sering muncul deh.........


end of OOT deh, biar ga dibilang "menghujat" lagi... he3......

Rupanya kebiasaan anda menghakimi dan "membaca pikiran orang lain" (yg tidak betul) masih juga belum hilang walaupun sudah diperingatkan.

Dimanakah dan kapankah saya melarang anda atau siapapun untuk memberikan jawaban akhir?
Sebagai TS, berhak untuk mengarahkan agar pertanyaannya dipahami dengan benar, diselami dengan benar,  dan juga mengarahkan agar diskusi tetap pada arah yg dimaksudkan. Kalau anda mau membuat skenario sendiri tanpa interferensi dari arahan saya, misalnya "seks adalah menghambat pencerahan", kenapa tidak membuka saja thread tersendiri?
"We don't use the Pali Canon as a basis for orthodoxy, we use the Pali Canon to investigate our experience." -- Ajahn Sumedho

Suchamda


Quote from: willibordusSaya biasanya berdiskusi atas prinsip yg ingin sy tuju.

Maaf, menurut saya ada perbedaan antara "prinsip" dan "tujuan". Prinsip adalah sesuatu yang digunakan untuk panduan perilaku yang relevan di saat ini, sedangkan "tujuan" adalah sesuatu yg terletak di masa depan.

Nah, supaya tidak OOT, saya ingin tahu apakah prinsip anda yang sehubungan dengan topik yang sedang kita bicarakan disini?
Barulah kita nanti bicara lebih lanjut.


Quote from: willibordusApakah defenisi 'Agama'?

Saya tahu arah pertanyaan anda kemana, tapi saya menolak utk mendiskusikan ke arah situ, karena saya melihat akan menjadi semakin jauh dari topik. Sebaiknya, konsentrasi saja dahulu ke pertanyaan saya di atas.
"We don't use the Pali Canon as a basis for orthodoxy, we use the Pali Canon to investigate our experience." -- Ajahn Sumedho