News:

Semoga anda berbahagia _/\_

Main Menu

perbedaan mahayana ama theravada

Started by sarita, 08 June 2008, 06:27:25 PM

Previous topic - Next topic

0 Members and 1 Guest are viewing this topic.

Nevada

Quote from: purnama on 28 November 2009, 11:05:41 AM
Buddha sesudah Nibbana
Mahayana: Masih ada entah dimana.
Theravada: Tak ada lagi, selain kekosongan itu sendiri.

Bro itu yang masih ada entah dimana vajrayana.

saya rasa kutipannya garis besarnya saja, masih ada beberapa yang di koreksi, mau lengkap mendingan bukunya bro tan punya, dia lebih lengkap, penulisannya juga berdasarkan tesis

Tidak apa-apa. Saya menyisipkan poin-poin itu bukan untuk diterima bahwa perbedaan itu dihasilkan dari tesis yang panjang. Saya hanya menyisipkan poin-poin perbedaan yang paling sering diangkat dalam diskusi.

Dan menurut saya, "Buddha sesudah Parinibbana masih ada tapi entah di mana" itu memang cukup kongruen dengan konsep Mahayana; juga Vajrayana.

Kalau menurut Anda tidak benar, coba kita semua diskusikan dan lihat kesimpulannya.
Semua orang bisa berkomentar bahwa konsep itu tidak ada pada Mahayana. Tapi coba kita bahas, dan nanti kita bisa lihat bersama benar atau tidaknya. :)

purnama

Saya tidak setuju dengan pendapat bahwa jubah Mahayana didesain untuk beradaptasi dengan iklim. Jubah Mahayana justru lebih tipis dari jubah Theravada. Kalau pun dikatakan jubah Mahayana bisa menghangatkan tubuh, itu karena seorang bhiksu memakai baju dalaman yang berlapis-lapis sehingga terasa hangat. Kalau mau dicoba, justru bahan jubah Theravada lebih tebal dan lebar. Kalau dipakai juga lebih hangat. Jangan hanya karena melihat jubah Theravada bisa dibuka bahu kanannya, maka muncul kesan kalau jubah itu lebih dingin. Sama sekali tidak saya katakan. Di India ada tiga musim, salah satunya adalah musim hujan yang dingin. Sejak dahulu bhikkhu di India juga bisa bertahan dengan kain pembungkus mayat saat berdiam di dalam hutan.

==> ada peraturan sangha bro, begini, dalam aturan tera memang dilarang memakai baju berlapis lapis, sementara dalam lingkungan mahayana diperbolehkan karena kondisi iklim disana

Bhikkhu Theravada yang tinggal di London juga bisa bertahan meskipun tinggal di lingkungan yang dingin. Sekadar info, suhu lingkungan di London juga bisa lebih dingin dari suhu di Antartika. Tetapi kita bisa melihat bahwa tidak ada masalah jika seorang bhikkhu memakai jubah Theravada saat hidup dalam kondisi seperti itu.

==> pakai mesin penghangat badan kali bro, jaman dulu mana ada mesin penghangat badan, u tulis kan jaman modern punya berita, kalo didaerah tibet terus terang aja g ngak ahli vajra, loe tanya sama ahlinya si gandalf.


Benar. Saya juga melihat bahwa ada perbedaan di antara Aliran Mahayana di Asia Timur dan Aliran Mahayana "asli" di sekitar India. Bisakah Anda mengutip lagi perbedaan-perbedaannya?

-
ini g mesti liat buku lagi bro, hari ini g ngak bawa, ada sih tulisan mengenai jubah mahayana nama namanya dan kegunaannya, masalah aksesoris adalah masalah budaya saja bro, Kalau di lingkungan Tiongkok, memang kalo kepala bhiku yang masa vassanya 40 tahun memakai aksesoris seperti mahkota, jubah merah dan sebagainya itu diperuntukan hanya pada acara kebaktian besar, itu hanya menunjukan seorang pemimpin kebaktian, dalam budaya tiongkok pakaian tersebut untuk bertemu dengan orang besar, seperti kaisar, atau Buddha, tandanya menghormati sang Buddha itu dalam budaya tionghoa saja.

Garis besarnya kayak gt

bond

Sebenarnya hanya sebuah Jubah mo seperti apa, asal tau fungsi dasar jubah bagi seorang bhikkhu sebagai jubah itu sudah cukup.

Sayangnya walaupun Sang Buddha telah memberi sinyal kepada YM. Ananda untuk menanyakan vinaya mana yg boleh ditiadakan dan vinaya mana yang harus dipertahankan tidak sempat dan terlintas untuk ditanyakan.( kalau saya memilih tetap pada vinaya konsili 1).

Oleh karena itu kalo mau ikutin vinaya sesuai konsili 1 Bhikkhu Theravada sulit beradaptasi pada iklim di pegunungan Himalaya, kecuali punya abinna tertentu.

Ada seorang yogi namanya Sunyogi(masih hidup) bertapa dipegunungan Himalaya bersalju tapi memakai hanya selembar kain untuk atas dan bawah selayaknya pertapa.  Nah kalo ada bhikkhu sakti seperti dia maka bisa dicoba.

Sehingga masalah vinaya sering diperdebatkan sekalipun dari Konsili 1 telah ditetapkan.

Quote
kalau gak salah ada vinaya yang menyebutkan gak boleh pake warna hitam
Kalau ini penyebabnya apa ya ngak boleh warna hitam?
Natthi me saranam annam, Buddho me saranam varam, Etena saccavajjena, Sotthi te hotu sabbada

Nevada

Quote from: Purnama==> ada peraturan sangha bro, begini, dalam aturan tera memang dilarang memakai baju berlapis lapis, sementara dalam lingkungan mahayana diperbolehkan karena kondisi iklim disana

Ada delapan perlengkapan bhikkhu dalam tradisi Theravada, yaitu:
- jubah luar
- jubah dalam
- kain bawah
- ikat pinggang
- mangkuk
- pisau
- jarum
- saringan air

Di Theravada juga ada jubah dalaman. Jadi bhikkhu juga bisa beradaptasi di lingkungan dingin.
Kalau saya melihat bahwa jubah Mahayana tidak didesain semata-mata hanya untuk beradaptasi dengan suhu lingkungan. Tapi juga ada faktor lainnya.


Quote from: Purnama==> pakai mesin penghangat badan kali bro, jaman dulu mana ada mesin penghangat badan, u tulis kan jaman modern punya berita, kalo didaerah tibet terus terang aja g ngak ahli vajra, loe tanya sama ahlinya si gandalf.

Bukan perihal zaman dulu atau zaman sekarang. Yang ingin saya sampaikan adalah: kalau mau beradaptasi di lingkungan yang bersuhu dingin dengan memakai jubah "original", asalkan ada niat pasti bisa.


Quote from: Purnamaini g mesti liat buku lagi bro, hari ini g ngak bawa, ada sih tulisan mengenai jubah mahayana nama namanya dan kegunaannya, masalah aksesoris adalah masalah budaya saja bro, Kalau di lingkungan Tiongkok, memang kalo kepala bhiku yang masa vassanya 40 tahun memakai aksesoris seperti mahkota, jubah merah dan sebagainya itu diperuntukan hanya pada acara kebaktian besar, itu hanya menunjukan seorang pemimpin kebaktian, dalam budaya tiongkok pakaian tersebut untuk bertemu dengan orang besar, seperti kaisar, atau Buddha, tandanya menghormati sang Buddha itu dalam budaya tionghoa saja.

Garis besarnya kayak gt

Baiklah, itu mungkin hanya sisi luar. Saya lebih tertarik dengan sisi dalamnya, yaitu kandungan ajaran. Kalau Bro sempat, tolong sharing di sini mengenai perbedaan kandungan ajaran antara Mahayana di Asia Timur dengan Mahayana "asli" di India.

K.K.

Quote from: upasaka on 28 November 2009, 10:48:32 AM
Saya tidak setuju dengan pendapat bahwa jubah Mahayana didesain untuk beradaptasi dengan iklim. Jubah Mahayana justru lebih tipis dari jubah Theravada. Kalau pun dikatakan jubah Mahayana bisa menghangatkan tubuh, itu karena seorang bhiksu memakai baju dalaman yang berlapis-lapis sehingga terasa hangat. Kalau mau dicoba, justru bahan jubah Theravada lebih tebal dan lebar. Kalau dipakai juga lebih hangat. Jangan hanya karena melihat jubah Theravada bisa dibuka bahu kanannya, maka muncul kesan kalau jubah itu lebih dingin. Sama sekali tidak saya katakan. Di India ada tiga musim, salah satunya adalah musim hujan yang dingin. Sejak dahulu bhikkhu di India juga bisa bertahan dengan kain pembungkus mayat saat berdiam di dalam hutan.

Bhikkhu Theravada yang tinggal di London juga bisa bertahan meskipun tinggal di lingkungan yang dingin. Sekadar info, suhu lingkungan di London juga bisa lebih dingin dari suhu di Antartika. Tetapi kita bisa melihat bahwa tidak ada masalah jika seorang bhikkhu memakai jubah Theravada saat hidup dalam kondisi seperti itu.

- Suhu London

Bhiksu di Tibet malah memakai jubah yang lebih terbuka dari jubah Theravada. Padahal lingkungan Tibet itu gersang dan dingin.
Menurut saya, tidak bisa dipukul rata. Ada kisah seorang bhikkhu yang memiliki penyakit kulit dan tidak ingin mengotori kutinya. Selama musim dingin, ia tidur di udara terbuka hanya dengan modal jubahnya saja. Ia berkata bisa bertahan karena memiliki "kebahagiaan pikiran" (yang mungkin merujuk pada jhana). Tetapi tidak bisa dibilang semua bhikkhu harus bisa hidup demikian. Mungkin saya salah, tetapi setahu saya, sedingin-dinginnya di India, tidak ada daerah yang sampai turun salju walaupun sedang musim dingin.


QuoteOke, sekarang marilah kita asumsikan jubah Mahayana itu didesain untuk mengatasi dinginnya suhu di Asia Timur. Kalau keragaman jubah itu didesain hanya untuk beradaptasi dengan lingkungan, seharusnya bhiksu Mahayana yang tinggal di daerah hangat / tropis bisa bertahan dengan jubah "original" Sang Buddha dong. Apakah [mau] bisa?

Berasimilasi dengan kebudayaan setempat sebenarnya tidak masalah. Tapi perlu dipertanyakan apabila:
- Beradaptasi sampai kehilangan karakter dari jubah murid Sang Buddha itu sendiri.
- Beradaptasi sampai melahirkan karakter jubah yang cukup fashionable
Yang ini saya kurang tahu. Di India, ada "tradisi" mengambil kain pembungkus mayat sebagai jubah. Di Tibet, mayat "dicincang", diberi "bumbu" dan diberikan ke burung bangkai, jadi sepertinya "tradisi" tersebut tentu hilang. Lalu para bhikkhu juga hidup dari pemberian umat. Kalau umatnya di tempat berbeda, kemungkinan juga memberikan jubah dengan "fashion" yang berbeda, mungkin yang dianggap sesuai dengan mereka.

Kalau saya lebih cenderung pada pola pikir, bukan tampilan luar. Biarpun seorang memakai jubah penuh kemewahan, namun tidak ada lagi kesombongan dalam hatinya, maka ia bisa tetap dikatakan "murid Buddha", misalnya seperti Santathi yang parinibbana dalam jubah kebesaran menteri. Sebaliknya seseorang yang hanya menggunakan kain pembungkus mayat sebagai jubah, makan sehari hanya sekali, namun pikirannya tetap angkuh, maka belum bisa dikatakan sebagai "murid Buddha", misalnya Devadatta yang menerapkan peraturan keras dan memecah Sangha.


Nevada

Quote from: Kainyn_KuthoMenurut saya, tidak bisa dipukul rata. Ada kisah seorang bhikkhu yang memiliki penyakit kulit dan tidak ingin mengotori kutinya. Selama musim dingin, ia tidur di udara terbuka hanya dengan modal jubahnya saja. Ia berkata bisa bertahan karena memiliki "kebahagiaan pikiran" (yang mungkin merujuk pada jhana). Tetapi tidak bisa dibilang semua bhikkhu harus bisa hidup demikian. Mungkin saya salah, tetapi setahu saya, sedingin-dinginnya di India, tidak ada daerah yang sampai turun salju walaupun sedang musim dingin.

Di lereng Himava (Gunung Himalaya), itu merupakan tempat yang dingin. Dikatakan bahwa Puncak Himalaya adalah salju abadi.

Tentu bhikkhu tidak perlu bertindak bodoh bila ia kedinginan. Ia bisa saja menghangatkan dirinya sembari bertahan hidup dengan cara yang baik.

Yang sering diartikan keliru oleh orang lain adalah kaum ortodoks itu terlalu kaku, sehingga seperti katak yang mati-matian tidak mau keluar dari tempurung. Padahal yang perlu dipahami adalah seorang bhikkhu harus tegas dalam prinsip, tapi fleksibel dalam metode.


Quote from: Kainyn_KuthoYang ini saya kurang tahu. Di India, ada "tradisi" mengambil kain pembungkus mayat sebagai jubah. Di Tibet, mayat "dicincang", diberi "bumbu" dan diberikan ke burung bangkai, jadi sepertinya "tradisi" tersebut tentu hilang. Lalu para bhikkhu juga hidup dari pemberian umat. Kalau umatnya di tempat berbeda, kemungkinan juga memberikan jubah dengan "fashion" yang berbeda, mungkin yang dianggap sesuai dengan mereka.

Kalau saya lebih cenderung pada pola pikir, bukan tampilan luar. Biarpun seorang memakai jubah penuh kemewahan, namun tidak ada lagi kesombongan dalam hatinya, maka ia bisa tetap dikatakan "murid Buddha", misalnya seperti Santathi yang parinibbana dalam jubah kebesaran menteri. Sebaliknya seseorang yang hanya menggunakan kain pembungkus mayat sebagai jubah, makan sehari hanya sekali, namun pikirannya tetap angkuh, maka belum bisa dikatakan sebagai "murid Buddha", misalnya Devadatta yang menerapkan peraturan keras dan memecah Sangha.

Saya tidak menyinggung soal batin dalam konteks ini. Dalam menghormati seseorang, yang perlu kita junjung tinggi adalah moralitas dan kebijaksanaannya. Saya sendiri menjunjung-tinggi para bhiksu sesepuh Mahayana yang tinggi moralitas dan kebijaksanaannya.

Yang sedang saya bahas adalah perbedaan busana antara anggota Sangha Theravada dengan Mahayana. Dan dalam poin ini, saya mempertanyakan faedah dari keindahan jubah dan ornamennya di Mahayana.


K.K.

Quote from: upasaka on 28 November 2009, 12:28:01 PM
Di lereng Himava (Gunung Himalaya), itu merupakan tempat yang dingin. Dikatakan bahwa Puncak Himalaya adalah salju abadi.

Tentu bhikkhu tidak perlu bertindak bodoh bila ia kedinginan. Ia bisa saja menghangatkan dirinya sembari bertahan hidup dengan cara yang baik.

Yang sering diartikan keliru oleh orang lain adalah kaum ortodoks itu terlalu kaku, sehingga seperti katak yang mati-matian tidak mau keluar dari tempurung. Padahal yang perlu dipahami adalah seorang bhikkhu harus tegas dalam prinsip, tapi fleksibel dalam metode.
Ada pihak-pihak tertentu menyalahkan "ubah-ubah peraturan", sedangkan di lain pihak ada yang mencibir mengatakan "terlalu kaku". Hal ini sudah tidak ada "obat"-nya kecuali masing-masing mau mengerti satu sama lain.

Ya, saya setuju seseorang harus bijaksana dalam vinaya. Seseorang yang terlalu kaku dan merugikan diri sendiri adalah tidak dianjurkan, namun juga seseorang yang menahan lapar karena mematuhi peraturan tidak makan setelah tengah hari, dikatakan mulia. Kembali pada masing-masing kitanya saja.



QuoteSaya tidak menyinggung soal batin dalam konteks ini. Dalam menghormati seseorang, yang perlu kita junjung tinggi adalah moralitas dan kebijaksanaannya. Saya sendiri menjunjung-tinggi para bhiksu sesepuh Mahayana yang tinggi moralitas dan kebijaksanaannya.

Yang sedang saya bahas adalah perbedaan busana antara anggota Sangha Theravada dengan Mahayana. Dan dalam poin ini, saya mempertanyakan faedah dari keindahan jubah dan ornamennya di Mahayana.
OK. Kalau begitu, no comment.

Nevada

Quote from: Kainyn_Kutho on 28 November 2009, 01:07:40 PM
Quote from: upasaka on 28 November 2009, 12:28:01 PM
Di lereng Himava (Gunung Himalaya), itu merupakan tempat yang dingin. Dikatakan bahwa Puncak Himalaya adalah salju abadi.

Tentu bhikkhu tidak perlu bertindak bodoh bila ia kedinginan. Ia bisa saja menghangatkan dirinya sembari bertahan hidup dengan cara yang baik.

Yang sering diartikan keliru oleh orang lain adalah kaum ortodoks itu terlalu kaku, sehingga seperti katak yang mati-matian tidak mau keluar dari tempurung. Padahal yang perlu dipahami adalah seorang bhikkhu harus tegas dalam prinsip, tapi fleksibel dalam metode.
Ada pihak-pihak tertentu menyalahkan "ubah-ubah peraturan", sedangkan di lain pihak ada yang mencibir mengatakan "terlalu kaku". Hal ini sudah tidak ada "obat"-nya kecuali masing-masing mau mengerti satu sama lain.

Ya, saya setuju seseorang harus bijaksana dalam vinaya. Seseorang yang terlalu kaku dan merugikan diri sendiri adalah tidak dianjurkan, namun juga seseorang yang menahan lapar karena mematuhi peraturan tidak makan setelah tengah hari, dikatakan mulia. Kembali pada masing-masing kitanya saja.



QuoteSaya tidak menyinggung soal batin dalam konteks ini. Dalam menghormati seseorang, yang perlu kita junjung tinggi adalah moralitas dan kebijaksanaannya. Saya sendiri menjunjung-tinggi para bhiksu sesepuh Mahayana yang tinggi moralitas dan kebijaksanaannya.

Yang sedang saya bahas adalah perbedaan busana antara anggota Sangha Theravada dengan Mahayana. Dan dalam poin ini, saya mempertanyakan faedah dari keindahan jubah dan ornamennya di Mahayana.
OK. Kalau begitu, no comment.


Kembali ke fungsi dari jubah itu sendiri... Fungsinya hanya untuk menutupi aurat, dan melindungi tubuh dari lingkungan. Sang Buddha hanya memakai sebentang kain sebagai jubah-Nya, karena Beliau tidak ingin dan tidak memiliki kemelekatan pada pakaian. Jika memang untuk beradaptasi dengan kondisi lingkungan, sebaiknya jubah yang didesain baru itu tetap tidak melewati koridor dasar ini. Misalnya, saya pikir jubah yang dipakai oleh Bhiksu Hai Dao di bawah ini tidak masalah. :)


ryu

Quote from: GandalfTheElder on 28 November 2009, 07:47:42 AM
Quotesudah dibaca, sayangnya di sutra2 yang di perbanyak tidak ada kek gitu boss,  cuma adanya perbanyak sutra doang yang di tegaskan laugh

Sebenarnya penjelasan2 seperti itu tidak ada bedanya dengan ajaran lain yang katanya asal percaya masuk surga (itu juga ada penjelasannya dan tidak akan beda jauh sama penjelasan di link itu)

nah kenapa yang populernya itu yang gampangnya saja?bukan yang keterangan2 itu?  tidak beda jauh khan? yang populer itu perbanyak sutra, baca liamkeng, trus kalo ga salah ada san bu yi pai (buat nebus dosa juga yak?) Grin

Ya makanya kalau orang mau belajar, harus sungguh-sungguh dan secara holistik, jangan sepenggal2, apalagi belajar Sutra...hehe....

Jangan pake kata2 "nebus dosa" ah, istilah "purifikasi karma" lebih cocok.

_/\_
The Siddha Wanderer
lanjuttttt, bagaimana pandangan mahayana apabila ada komentar seperti link ini :
http://dhammacitta.org/forum/index.php/topic,8021.msg132275.html#msg132275
tapi Tuhan nya di ganti sama Buddha (mau amitabha atau bhaisajyaguru atau avalokitesvara) :D
Janganlah memperhatikan kesalahan dan hal-hal yang telah atau belum dikerjakan oleh diri sendiri. Tetapi, perhatikanlah apa yang telah dikerjakan dan apa yang belum dikerjakan oleh orang lain =))

marcedes

QuoteHmm.... sampai bernamaskara segala....

Ngomong2 dewa apa itu? Apa secara Buddhisme Thai sang dewa sudah bertekad untuk melindungi Buddha Dhamma dan berlindung pada Tiratana? Apakah sang dewa telah mencapai tingkat-tingkat kesucian?

Kalau memang sudah, maka umat bernamaskara bisa dimaklumi, namun kalau berlindung saja dewanya nggak, kesucian aja belum nyampe, maka namaskara ini patut dipertanyakan. Bagaimana bisa umat Buddhis yang berlindung pada Tiratana menghormat dewa dewi duniawi seperti menghormat pada Tiratana?

Kalau saya, sama dewa dewi duniawi biasanya saya cuma namaste, kalau terhadap para Buddha, Bodhisattva dan para Dewa Pelindung Dharma saya baru bernamaskara.
maksud bikkhu tersebut adalah, semoga keinginan kita akan terpenuhi dan di bantu oleh para dewata.....
bukan namaskara lantas bertekad mau mencoba menjadi suci...

yah,mirip minta-minta kepada sang dewa lah gitu...sambil berusaha,kemudian mencari berkat.. ;D
namanya juga puttujana :hammer:

-------------------------------------------
QuoteKalau anda memakai terjemahan yang salah maka ya bisa saja anda menemukan bahwa Ananda sudah Arhat sebelum Sang Buddha Parinirvana.
yg di pakai adalah terjemahan dari www.nshi.org
jadi itu terjemahan salah yah?

-------------------------------------------------------------------

QuotePencapaian tertinggi
Mahayana: Menolong orang baru menolong diri sendiri.
Theravada: Menolong diri sendiri baru menolong orang.
apabila ini benar, maka dalam pandangan Tipitaka, mahayana adalah sebuah Ajaran yang layak di cela... ref Lohicca sutta.

Quote2.17. 'Kemudian, ada seorang guru yang telah meninggalkan keduniawian ... tetapi belum mencapai buah pertapaan. Dan tanpa mencapai tujuan ini, ia mengajarkan muridnya suatu ajaran, dengan mengatakan: "ini untuk kebaikanmu, ini untuk kebahagiaanmu." Muridnya ingin memerhatikan, mereka mendengarkan, [231] mereka membangkitkan pikiran untuk mencapai pencerahan, dan nasihat si guru tidak dicemooh. Ia harus dicela, dengan mengatakan: "Yang Mulia ini telah meninggalkan keduniawian ..." Ini bagaikan, meninggalkan ladangnya sendiri, ia memikirkan ladang orang lain yang perlu dikerjakan. Aku menyatakan ini sebagai ajaran jahat yang berdasarkan pada kemelekatan ... ini adalah guru ke dua yang layak dicela ....'

-------------------------------------------------------
QuoteBuddha sesudah Nibbana
Mahayana: Masih ada entah dimana.
Theravada: Tak ada lagi, selain kekosongan itu sendiri.

Bro itu yang masih ada entah dimana vajrayana.

saya rasa kutipannya garis besarnya saja, masih ada beberapa yang di koreksi, mau lengkap mendingan bukunya bro tan punya, dia lebih lengkap, penulisannya juga berdasarkan tesis
dalam Sutra sendiri dikatakan bahwa memang SangBuddha akan muncul lagi entah di kalpa mana mengajarkan dharma...ini merupakan bagian dari Tripitaka....jadi merujuk pada mahayana loh.
Ada penderitaan,tetapi tidak ada yang menderita
Ada jalan tetapi tidak ada yang menempuhnya
Ada Nibbana tetapi tidak ada yang mencapainya.

TALK LESS DO MOREEEEEE !!!

GandalfTheElder

QuoteTerserah Bro Gandalf, suka kata2 apa, mau menghormati atau berlindung ! ndak masalah
ndak ada hubungan umat I & K, mereka tidak mengenal Tiratana !
kalau umat Buddhis tahu seperti Bro Gandalf (Buddhis), jadi tidak peduli kata itu (perlindungan atau penghormatan), yang penting Pikiran dan Batin mereka mengerti apa yang sedang lakukan.

Wah baru kali ini saya menemukan ada umat Buddhis yang tidak peduli kata perlindungan atau penghormatan.

QuoteBro Gandalf, Anda hanya suka permaikan kata2 dalam penjelasan, supaya kamu kelihatan lebih bagus dalam menjelaskan ! saya hargai, tapi hasilnya bukan mempermudah orang belajar Dhamma, tapi malah membingungkan, bolak balik, panjang lebar !
Pakai kata yang sederhana, simple, supaya gampang dimengerti, dan umat yang baru mengenal Dhamma, bisa dapat pencerahan yang Baik di batin mereka, sesudah mendapat penjelasan.
kata perlindungan, penghormatan, tidak masalah, yang penting Batin mengerti apa yang sedang dilakukan, bukan dengan kata2.

Huahahaha..... kata anda suka2 saya mau ngomong apa lah kemudian anda kok malah protes??? wkwkwkwk.....

Dan katanya anda menghargai tulisan saya, tapi ternyata di balik itu mencela saya itu pura2 bagus dalam menjelaskan, suka bermain kata2 hingga membuat bingung...... sikap macam apa ini?  ^-^  ^-^ Lucu banget misalnya kalau anda menghargai sesuatu yang anda anggap tidak benar...  ^-^  ^-^ ... ini semakin menunjukkan suatu ketidakkonsistenan dan menggambarkan sebuah permainan kata2 yang sesungguhnya...

Yah emang bukan kata2, tapi tanpa kata2 apa batin anda bisa mengerti? Tanpa kata2 di dalam Tripitaka atau tanpa kata2 yang diucapkan pada saat pembabaran Dharma apa anda bisa anda memahami Dharma? Tanpa kata2 apakah anda bisa mengetahui makna / cara berlindung dan menghormati?

Ah konyol.

Quotemaksud kata Perlindungan arti yang benar dalam bahasa Indonesia, juga tidak cocok seperti yang Bro Gandalf jelaskan diatas jika dipadankan dengan arti bahasa Pali yang dimaksud.

Misalnya Bro Gandalf bernamaskara di depan Altar Buddha, apabila saya sebagai umat yang tidak mengerti juga bisa tertawa, apa saja yang dilakukan Bro Gandalf ini, gila ya !, masak rupang di sembah sujud ! menyesatkan sekali !.
Tapi karena saya mengerti, jadinya ikut Bahagia dengan Bro Gandalf melakukan namaskara, ternyata Bro Gandalf sangat menghormati Tiratana ! gitu lho  Smiley

Wkwkwkwk..... namaskara itu yang memang sudah tradisi Buddhis sejak zaman dahulu untuk menghormati Sang Triratna. Oleh karena itu umat lain yang tidak mengerti lalu mencela ya sah2 aja karena mmg tidak ada tradisi demikian dalam agama mereka.

Nah tapi dalam agama Buddha sesungguhnya nggak ada yang namanya tradisi namaskara sama dewa dewi duniawi (kalau pada para Dewa Pelindung Dharma yang telah mencapai tingkat keuscian tertentu, baru ada). Nah kalau umat Buddhis berusaha meluruskan hal ini, maka itu adalah hal yang wajar. Anda menghormati guru dan ortu pun dengan cara yang berbeda, anda menghormati teman dan saudara pun juga dengan cara yang berbeda pula, demikian juga ketika anda menghormati orang dari dalam negeri sendiri dengan luar negeri juga menggunakan cara yang berbeda sesuai dengan konteks / peran sosial masing2.

Demikian juga dalam agama Buddha, sebaiknya semuanya dilakukan menurut tata cara yang udah ada yang dibentuk oleh para guru2 agung (yang memang setelah dianalisa kita sendiri, itu memang baik dan bermanfaat untuk dilakukan), ini menunjukkan bahwa kita bukanlah orang yang arogan dalam bertindak.

Kalau semuanya itu pikiran, berarti biar aja kalau kita pake baju gembel ke pesta pernikahan teman kita. Orang2 yang melihat akan berpikir bahwa kita benar2 tidak hormat bahkan mungkin sinting, diketawain. Tapi kitanya sendiri secara arogan berpikir, "Ah yang penting kan pikiranku hormat." Dalam kehidupan bermasayarakat, ini suatu perilaku dan pemikiran yang patut dipertanyakan.

QuoteBuddha tidak bisa di bandingin dengan Manusia.
Jadi contoh anda tidak tepat, Raja Sudhodana masih manusia biasa, Sorry ! Grin
Buddha memang tidak boleh namaskara kepada makhluk lainnya, karena itu udah hukum Alam (bahasa gaulnya)

Kepada orang tua kita bukan hanya namaste, tapi juga wajib Namaskara.
Bro Gandalf, jangan meninggikan namaskara, jadinya Mana (sombong)
Namaskara kepada Yesus/Dewa-i yang di Pura/Tuhan(kalau ada) juga ndak masalah !  jangan di tawa in. laugh

Semuanya pikiran... pikiran... pikiran... tau nggak sih kenapa kok bisa sampai muncul istilah "pikiran / sifat seseorang itu tercermin dari tindakannya!"

Ya sudah kalau menurut anda nggak papa... silahkan anda namaskara itu urusan anda sendiri toh... sekalian juga sama Mara Devaputra... kan yang penting kata anda itu... "pikiran ketika bernamaskara"... sedangkan kaidah namaskara dalam konteks sosial maupun relijius anda abaikan beserta objek dewanya siapa juga anda abaikan.

Saya menggunakan contoh Sang Buddha itu untuk menunjukkan bahwa kita seharusnya tidak semudah itu menggampangkan makna namaskara .... bahkan ada hukum alam yang mengatur "namaskara" seorang Buddha bukan? Ini menunjukkan betapa namaskara itu memiliki makna yang cukup penting kedudukannya.

Quoteyang masalah itu, pikiran manusia yang melihat orang yang sedang bernamaskara !

Woww.... berarti ketika kita bertindak keliru dan ada orang yang mencela kita, kita bisa dengan mudah mengatakan "ah itu kan pikiranmu yang kotor".

_/\_
The Siddha Wanderer
Theravada is my root. This is the body of my practice.... It [Tibetan Buddhism]has given me my Compassion practice. Vajrayana is my thunder, my power. This is the heart of my practice..True wisdom is simple and full of lightness and humor. Zen is my no-self (??). This is the soul of my practice.

GandalfTheElder

#341
Quotelanjuttttt, bagaimana pandangan mahayana apabila ada komentar seperti link ini :
http://dhammacitta.org/forum/index.php/topic,8021.msg132275.html#msg132275
tapi Tuhan nya di ganti sama Buddha (mau amitabha atau bhaisajyaguru atau avalokitesvara) Cheesy

Buddha / Bodhisattva kan nggak memegang kuasa atas nasib kita dan segala sesuatunya, ya beda lah.... :hammer:

_/\_
The Siddha Wanderer
Theravada is my root. This is the body of my practice.... It [Tibetan Buddhism]has given me my Compassion practice. Vajrayana is my thunder, my power. This is the heart of my practice..True wisdom is simple and full of lightness and humor. Zen is my no-self (??). This is the soul of my practice.

GandalfTheElder

Quoteyg di pakai adalah terjemahan dari www.nshi.org
jadi itu terjemahan salah yah?

-------------------------------------------------------------------

Bisa saja demikian, makanya kalau mau meneliti bener2, ya jangan dari satu sumber saja, absurd.

Quote
Quote
Pencapaian tertinggi
Mahayana: Menolong orang baru menolong diri sendiri.
Theravada: Menolong diri sendiri baru menolong orang.
apabila ini benar, maka dalam pandangan Tipitaka, mahayana adalah sebuah Ajaran yang layak di cela... ref Lohicca sutta.

Ya itu yang nulis blognya sendiri yang kurang paham.

Tidak ada yang namanya menolong orang lain baru menolong diri sendiri.... ini bodo amat kalau bener.

Yang bener adalah dalam Mahayana kita dan orang lain bersama-sama saling tolong-menolong, bahu membahu dalam menggapai Bodhi. Sambil mengkultivasi / melatih diri sendiri, kita juga turut serta membantu orang lain sesuai kapasitas kita.

Jadi misalnya kalau diperbandingkan secara sederhana A = diri sendiri, B = orang lain, maka
Kalau Theravada itu A > B
Kalau Mahayana A = B
Kalau pandangan tirthika / sesat A < B

Bahkan di dalam Theravada, menurut saya sendiri, A = B itu sendiri bisa2 aja  :)

_/\_
The Siddha Wanderer
Theravada is my root. This is the body of my practice.... It [Tibetan Buddhism]has given me my Compassion practice. Vajrayana is my thunder, my power. This is the heart of my practice..True wisdom is simple and full of lightness and humor. Zen is my no-self (??). This is the soul of my practice.

ryu

Quote from: GandalfTheElder on 29 November 2009, 06:39:18 AM
Quotelanjuttttt, bagaimana pandangan mahayana apabila ada komentar seperti link ini :
http://dhammacitta.org/forum/index.php/topic,8021.msg132275.html#msg132275
tapi Tuhan nya di ganti sama Buddha (mau amitabha atau bhaisajyaguru atau avalokitesvara) Cheesy

Buddha / Bodhisattva kan nggak memegang kuasa atas nasib kita dan segala sesuatunya, ya beda lah.... :hammer:

_/\_
The Siddha Wanderer
bukan memegang kuasa tapi soal permintaan, manusia khan kadang suka meminta2 kepada "sesuatu".
Janganlah memperhatikan kesalahan dan hal-hal yang telah atau belum dikerjakan oleh diri sendiri. Tetapi, perhatikanlah apa yang telah dikerjakan dan apa yang belum dikerjakan oleh orang lain =))

GandalfTheElder

#344
Quotebukan memegang kuasa tapi soal permintaan, manusia khan kadang suka meminta2 kepada "sesuatu".

Yah seperti kata Master Shengyen kan... adalah manusiawi kalau manusia terkadang merasa lemah dan tidak berdaya dalam situasi tertentu.... setegar2nya dia, nah pada saat itu ia dapat meminta pertolongan Bodhisattva.

Namun seorang praktisi sejati tidak pernah meminta2, idealnya seperti itu, meskipun kita bisa meminta pertolongan para Bodhisattva, pada prinsipnya kita jangan manja... apa2 minta pertolongan..... tetap saja kita harus berpraktik sendiri untuk mencapai Bodhi.

Seperti kita hidup di dunia ini kita berusaha mandiri, segala sesuatu kalau bisa kita lakukan sendiri, baru kalau memang tidak mampu, minta pertolongan orang lain. Ini wajar, krn manusia tdk dapat hidup sendiri dalam hal apapun.  ;)

_/\_
The Siddha Wanderer
Theravada is my root. This is the body of my practice.... It [Tibetan Buddhism]has given me my Compassion practice. Vajrayana is my thunder, my power. This is the heart of my practice..True wisdom is simple and full of lightness and humor. Zen is my no-self (??). This is the soul of my practice.