Einstein: Percaya Tuhan Itu Takhayul

Started by Sumedho, 14 May 2008, 02:06:36 PM

Previous topic - Next topic

0 Members and 1 Guest are viewing this topic.

hudoyo

#30
Quote from: Kelana on 19 May 2008, 10:51:02 PM
Quote from: Lex Chan on 19 May 2008, 10:26:19 PM
Kalau menurut Pak Wowor, pada frase "Ketuhanan yang Maha Esa" yang dimaksud dengan kata "Esa" adalah "mutlak", bukan "tunggal" seperti yang sering diajarkan di sekolah2.. (tunggal di sini dapat berarti suatu materi yang dapat dihitung)..

Jadi, Ketuhanan tidak perlu diwujudkan sebagai materi.. ;D

Betul. Esa bukan berarti satu atau tunggal dalam jumlah. Esa sendiri berasal dari kata 'etad' yang berarti mutlak. Dan kalau kita mau meruntun etimologi kata 'tuhan' sendiri berasal dari kata 'tuan' berarti yang ditinggikan atau junjungan. Tapi ketika sudah ditambah imbuhan maka artinya berubah. Awalan ke- dan akhiran -an yang ditambahkan ke dalam kata dasar tuhan membuat makna kata tuhan berubah menjadi bentuk sifat dari kata dasar tersebut. Jadi 'ketuhanan' berarti 'sifat-sifat yang tinggi'. Tapi sayangnya pengaruh monoteis telah cukup kental terhadap sila 1 Pancasila Dasar Negara RI ini, sehingga mayoritas orang menganggap sila 1 berarti tuhan yang 1.

Bagaimana kalau itu Anda katakan kepada teman-teman Muslim atau Keristen ... apakah mereka bisa terima? :)

Kalau saya, sih, sederhana saja ... beberapa kali saya ditanya teman-teman Muslim dan Keristen tentang "Tuhan" dalam agama Buddha dalam kaitan dengan Sila "Ketuhanan Yang Maha Esa" dari Pancasila. ... Selalu saya jawab:

"Setiap agama mempunyai konsep masing-masing tentang 'Tuhan Yang Maha Esa' ...
Agama Is-lam punya konsep/akidah yang disebut Tauhid ...
Agama Keristen mempunyai konsep/kredo yang disebut Trinitas ...
Agama Buddha juga mempunyai konsepnya sendiri, yang bersifat nonteistik dan tak terkatakan (ineffable), namun dapat dicapai oleh manusia ...
konsep itu terkandung dalam ucapan Buddha: "Atthi, bhikkhave, ajatam akatam abhutam asankhatam ..." ("Para bhikkhu, ada yang tak dilahirkan, tak tercipta, bukan makhluk, tak terkondisi ...") ...
konsep yang bukan-konsep (karena tak terdefinisikan) itulah yang belakangan berkembang dalam Mahayana menjadi Dharmakaya, Tathagata-garbha, Buddha-thatata ... dsb ...
Jadi, janganlah memaksakan konsep agama sendiri pada penganut agama lain ..."

Demikianlah pendapat saya berhadapan dengan teman-teman Muslim dan Keristen; pendapat ini tidak menyanggah konsep "Tuhan" mereka, tidak mengundang perdebatan, namun menegaskan identitas-diri umat Buddha.

Setelah saya sampaikan demikian, tidak seorang pun teman-teman Muslim dan Keristen itu bisa membantah ... entah karena sadar, entah karena bingung ... ;D

Pemahaman seperti inilah yang dulu di awal 1970an menginspirasi, memberi kekuatan, dan mendorong berdirinya Sangha Theravada Indonesia dan Mapanbudhi (sekarang Magabudhi).

Salam,
hudoyo





hudoyo

Quote from: Riky_dave on 16 May 2008, 08:02:52 PM
[...]
Setau gw dia membandingkan semua ajaran yg ada Is,Kris,Hin,Bud...
Kemudian semua teori2 yg ada(mksdnya hukum2 yg dia temukan) dia dpt dr filsafat ajaran Buddha...
_/\_

Apa iya ... ? ;D ... Mana buktinya? :)

hudoyo

hudoyo

Quote from: karuna_murti on 17 May 2008, 09:33:01 AM
Bagaimana kalau ada Ilmuwan / Filsuf / Petapa, cocok dengan Ajaran Sang Buddha, lantas menjalani kehidupan yang sesuai dengan Dhamma, tapi dia tidak berlindung kepada tiga permata?

Banyak teman-teman non-Buddhis belajar MMD, lalu menerapkan MMD dalam kehidupan sehari-hari, tapi mereka tidak "berlindung kepada Sang Tiratana". ... :)

Sebaliknya, banyak teman-teman yang setiap hari mengucapkan "berlindung kepada Sang Tiratana", tapi tidak pernah mempraktikkan vipassana-bhavana ... Bagaimana ini? ;D

Salam,
Hudoyo

Suchamda

#33
Mengenai Tuhan?

Menurut penghayatan pribadi saya sendiri. Rasanya tidak bisa menerima adanya Tuhan personal sebagai suatu entity yang menciptakan atau mengatur segala sesuatunya.
Tetapi kalau dikatakan semuanya tergantung dari diri sendiri, rasanya juga tidak bisa menerima ini.
Ada sesuatu yang lebih dari sekedar diri, yang mana membentuk jalinan kehidupan ini. Diri adalah suatu konsep yang membatasi kita dengan sang kehidupan itu sendiri.

"Jadilah dirimu pulau pelindung bagi dirimu sendiri".
Saya bisa setuju dan tidak setuju dengan pernyataan ini.
Saya setuju apabila kalimat itu diartikan sebagai :
Selama kita mempunyai konsep diri, maka hal-hal apa yang dialami oleh diri adalah terbentuk dari perspektif konsep diri tersebut. Jadi, apa yang kita rasakan, kita alami adalah tergantung darimana kita merasa sebagai diri.
Tapi saya tidak setuju bila dikatakan bahwa diri kita berkuasa sepenuhnya untuk menentukan sendiri apa yang terjadi pada diri kita nantinya. Pemahaman yang seperti ini akan menghasilkan ego yg cenderung menguat.
Menurut saya, apa yang terjadi pada 'diri' ini disebabkan oleh banyak faktor yang hanya sebagian saja disadari sebagai 'diri'.

Bagaimana menempatkan ini dalam bahasa 'doktrin'? Apakah saya masih layak disebut sebagai umat Buddha? :)

Oya, Selamat Hari Waisak. :)
"We don't use the Pali Canon as a basis for orthodoxy, we use the Pali Canon to investigate our experience." -- Ajahn Sumedho

Kelana

Quote from: hudoyo on 19 May 2008, 11:47:00 PM

Bagaimana kalau itu Anda katakan kepada teman-teman Muslim atau Keristen ... apakah mereka bisa terima? :)


Mau terima atau tidak itu urusan mereka pak Hud, karena apa yang saya sampaikan itu hanya berdasarkan etimologi bukan agama tertentu. Menurut saya ini justru menguatkan posisi konsep Buddhis yang tidak menganut monotheis. Dan apa yang Pak Hud katakan juga bisa dijadikan pegangan.
GKBU

_/\_ suvatthi hotu


- finire -

hudoyo

#35
Quote from: Suchamda on 20 May 2008, 02:45:59 AM
Mengenai Tuhan?

Menurut penghayatan pribadi saya sendiri. Rasanya tidak bisa menerima adanya Tuhan personal sebagai suatu entity yang menciptakan atau mengatur segala sesuatunya.

Relasi dengan 'Tuhan' seperti itu merupakan kebutuhan emosional & intelektual bagi banyak orang. Menurut hemat saya, pengertian 'Tuhan' seperti itu terkondisi oleh (conditional on) adanya kesadaran 'aku'. Bila kesadaran 'aku' itu runtuh, maka 'Tuhan' pun runtuh.

Jadi bagi teman-teman penganut agama monoteistik, tidak perlu menanggalkan iman kepada Tuhan LEBIH DULU sebelum kesadaran 'aku' itu runtuh, sebagaimana halnya para penganut agama nonteistik seperti Buddhis, misalnya.

Bila kelak kesadaran 'aku' itu runtuh, maka Tuhan pun akan runtuh dengan sendirinya, seperti pengalaman Bernadette Roberts. Ingatlah akan sebuah Hadits Qudsi: "Barang siapa mengenal dirinya, ia akan mengenal Tuhannya." Juga ada 2 ayat di Al-Qur'an yang berbunyi: "Segala sesuatu di muka bumi (eksistensi) ini fana (tidak kekal); yang tetap hanyalah Wajah Tuhanmu."

'Wajah Tuhan' inilah yang dalam Buddhisme disebut "tak dilahirkan, tak tercipta, bukan makhluk, tak terkondisi" (ajatam akatam abhutam asankhatam), oleh karena 'Wajah Tuhan' yang disebut dalam ayat Qur'an itu--berbeda dengan "Tuhan" yang dikenal oleh publik--adalah pengertian metafisikal, yang tercapai ketika si individu menyadari/menembus--bukan memahami secara intelektual saja--hakikat kefanaan (ketidakkekalan, anicca) dari segala sesuatu, termasuk kefanaan dirinya/akunya.

Sebaliknya, bagi para penganut agama nonteistik, terutama Buddhisme, banyak umat Buddha yang secara intelektual telah menanggalkan "Tuhan" monoteis, tetapi si 'aku'-nya tetap kuat berpegang pada KONSEP-KONSEP INTELEKTUAL tentang ajaran Sang Guru sebagai "Tuhan" yang baru, yang memberinya rasa aman hidup di dunia.

*****

Quote"Jadilah dirimu pulau pelindung bagi dirimu sendiri".
Saya bisa setuju dan tidak setuju dengan pernyataan ini.
[...]
Tapi saya tidak setuju bila dikatakan bahwa diri kita berkuasa sepenuhnya untuk menentukan sendiri apa yang terjadi pada diri kita nantinya. Pemahaman yang seperti ini akan menghasilkan ego yg cenderung menguat.
[...]
Bagaimana menempatkan ini dalam bahasa 'doktrin'? Apakah saya masih layak disebut sebagai umat Buddha? :)

Sebetulnya kutipan dari kata-kata Sang Buddha di atas baru separuh lengkap; oleh karena itu jadi tidak sempurna.
Kutipan selengkapnya berbunyi:

"Tasmaatiha, Aananda, atta-diipaa viharatha atta-sara.naa, ana~n~na-sara.naa, dhamma-diipaa dhamma-sara.naa, ana~n~nasara.naa."
"Oleh karena itu, Ananda, jadilah pelita bagi dirimu sendiri, berlindunglah pada dirimu sendiri, jangan berlindung pada yang lain, jadikan Dhamma sebagai pelita, berlindunglah pada Dhamma, jangan berlindung pada yang lain."
(Mahaparinibbana-sutta, D.N. 16)

Kalimat yang sama juga terdapat dalam Cakkavatti-sutta (D.N. 26):
"Atta-diipaa, bhikkhave, viharatha atta-sara.naa, ana~n~na-sara.naa, dhamma-diipaa dhamma-sara.naa, ana~n~nasara.naa."


QuoteOya, Selamat Hari Waisak. :)

Selamat Wesak juga.

Salam,
Hudoyo

hudoyo

#36
Quote from: Kelana on 20 May 2008, 07:16:27 AM
Mau terima atau tidak itu urusan mereka pak Hud, [...]

Sebagai umat Buddha, kita tidak hidup di sebuah pulau secara eksklusif. Kita berelasi dengan saudara-saudara kita umat Islam, Keristen, Hindu dsb. Kita harus mampu beinteraksi dengan mereka dalam hal-hal yang menyangkut iman masing-masing, sedemikian rupa sehingga meningkatkan kehidupan masyarakat pluralistik yang harmonis.

Sering kali saya membaca dalam milis-milis atau situs-situs Buddhis, sesama umat Buddha mempersoalkan masalah Ketuhanan tanpa mempertimbangkan sudut pandang dan perasaan saudara-saudara kita umat Islam dan Keristen, seolah-olah orang yang percaya pada Tuhan itu orang yang bodoh, naif dan penuh takhyul. Diskusi seperti itu sama sekali tidak membantu kita untuk memahami alam pikiran orang Muslim dan orang Keristen, dan hanya menjerumuskan kita sendiri ke dalam kebodohan, sementara kita mengira telah tercerahkan, padahal kita hanya melekat pada konsep-konsep intelektual belaka tentang Buddha-dhamma.

Tidak jarang saya melihat umat Buddha begitu melekat pada konsep-konsep intelektual tentang Buddha-dhamma itu sampai mereka tidak segan-segan berdebat tentang Tuhan, atau tentang anatta, dengan saudara-saudara kita orang Islam & Keristen, padahal si umat Buddha itu sendiri saya lihat justru mempertuhankan konsep-konsep intelektual Buddha-dhamma itu, dalam arti bahwa konsep-konsep intelektual Buddha-dhamma itu memberinya rasa aman dan rasa mengerti, dan ia merasa puas di situ, padahal dirinya sendiri tidak menyadari bahwa ia sedang berada dalam rumah yang sedang terbakar.

Salam,
hudoyo

Suchamda

#37
QuoteSering kali saya membaca dalam milis-milis atau situs-situs Buddhis, sesama umat Buddha mempersoalkan masalah Ketuhanan tanpa mempertimbangkan sudut pandang dan perasaan saudara-saudara kita umat Islam dan Keristen, seolah-olah orang yagn percaya padas Tuhan itu orang yang bodoh, naif dan penuh takhyul. Diskusi seperti itu sama sekali tidak membantu kita untuk memahami alam pikiran orang Muslim dan orang Keristen, dan hanya menjerumuskan kita sendiri ke dalam kebodohan, sementara kita mengira telah tercerahkan, padahal kita hanya melekat pada konsep-konsep intelektual belaka tentang Buddha-dhamma.

Tidak jarang saya melihat umat Buddha begitu melekat pada konsep-konsep intelektual tentang Buddha-dhamma itu sampai mereka tidak segan-segan berdebat tentang Tuhan, atau tentang anatta, dengan saudara-saudara kita orang Islam & Keristen, padahal si umat Buddha itu sendiri saya lihat justru mempertuhankan konsep-konsep intelektual Buddha-dhamma itu, dalam arti bahwa  konsep-konsep intelektual Buddha-dhamma itu memberinya rasa aman dan rasa mengerti, dean ia merasa puas di situ, padahal dirinya sendiri tidak menyadari bahwa ia sedang berada dalam rumah yang sedang terbakar.

Sangat setuju. Terimakasih.
Kedua pihak itu sebenarnya sama saja. Sama-sama berdasarkan kepercayaan, dan berdebat berdasarkan kepercayaan.
Menurut saya, apabila anatta itu ditembusi melalui pengalaman langsung, maka penggunaan konsep Tuhan pun akan dapat dimaklumi secara sungguh-sungguh.
"We don't use the Pali Canon as a basis for orthodoxy, we use the Pali Canon to investigate our experience." -- Ajahn Sumedho

Riky_dave

Quote from: hudoyo on 19 May 2008, 11:57:21 PM
Quote from: Riky_dave on 16 May 2008, 08:02:52 PM
[...]
Setau gw dia membandingkan semua ajaran yg ada Is,Kris,Hin,Bud...
Kemudian semua teori2 yg ada(mksdnya hukum2 yg dia temukan) dia dpt dr filsafat ajaran Buddha...
_/\_

Apa iya ... ? ;D ... Mana buktinya? :)

hudoyo

Baca ulang yg diatas ya...
Baru silakan complain lagi...
^^
_/\_
Langkah pertama adalah langkah yg terakhir...

FZ

#39
Quote from: Riky_dave on 20 May 2008, 10:56:30 AM
Quote from: hudoyo on 19 May 2008, 11:57:21 PM
Quote from: Riky_dave on 16 May 2008, 08:02:52 PM
[...]
Setau gw dia membandingkan semua ajaran yg ada Is,Kris,Hin,Bud...
Kemudian semua teori2 yg ada(mksdnya hukum2 yg dia temukan) dia dpt dr filsafat ajaran Buddha...
_/\_

Apa iya ... ? ;D ... Mana buktinya? :)

hudoyo

Baca ulang yg diatas ya...
Baru silakan complain lagi...
^^
_/\_
Hargai yang lebih tua bro Riky..

Anda harus SADAR.. Nasi yang ANDA MAKAN TIDAK SEBANDING JUMLAHNYA dengan Garam yang PAK HUDOYO MAKAN.

Anda sungguh SANGAT TIDAK SOPAN.
Bersyukur hanya bisa 1 x 1 bulan saya bisa kasih Anda reputasi negatif.

Maaf jika Anda tersinggung, tapi ini demi kebaikan Anda..


Lex Chan

Quote from: FoxRockman on 20 May 2008, 01:36:23 PM
Quote from: Riky_dave on 20 May 2008, 10:56:30 AM
Quote from: hudoyo on 19 May 2008, 11:57:21 PM
Quote from: Riky_dave on 16 May 2008, 08:02:52 PM
[...]
Setau gw dia membandingkan semua ajaran yg ada Is,Kris,Hin,Bud...
Kemudian semua teori2 yg ada(mksdnya hukum2 yg dia temukan) dia dpt dr filsafat ajaran Buddha...
_/\_

Apa iya ... ? ;D ... Mana buktinya? :)

hudoyo

Baca ulang yg diatas ya...
Baru silakan complain lagi...
^^
_/\_
Hargai yang lebih tua bro Riky..

Anda harus SADAR.. Nasi yang ANDA MAKAN TIDAK SEBANDING JUMLAHNYA dengan Garam yang PAK HUDOYO MAKAN.

Anda sungguh SANGAT TIDAK SOPAN.
Bersyukur hanya bisa 1 x 1 bulan saya bisa kasih Anda reputasi negatif.

Maaf jika Anda tersinggung, tapi ini demi kebaikan Anda..

Maaf OOT, tapi saya tergelitik untuk menanggapi.

Sifat Bro Riky_dave itu mirip dengan sifat saya beberapa tahun silam ketika masih SMA dan kuliah S1..
Waktu itu memang masa2nya senang berdebat kalau punya saya pemikiran yang berbeda dari yang lainnya. Baik intra-agama, maupun inter-agama. Pokoknya kalau berbeda pendapat, saya paling senang berdebat.. ;D

Sampai suatu ketika saya "sadar", baru terjadi transformasi.
Tanpa disuruh, tanpa dipaksa, sifat saya berubah dengan sendirinya..

Barangkali Bro Riky_dave perlu melalui "proses" yang mirip dengan pengalaman saya, baru bisa berubah..
Berdasarkan pengalaman saya, saya dapat mengatakan bahwa kata2 Bro FoxRockman, Romo Hudoyo, dan anggota forum DhammaCitta lainnya adalah bagian dari "proses" itu.

Untuk saat ini, ya biarkan saja begitu.. Perubahan tidak bisa dipaksakan secara instan..
Kalau 1 minggu belum berubah, tunggulah 1 bulan.
Kalau 1 bulan masih belum berubah, tunggulah 1 tahun.
Kalau 1 tahun belum berubah juga, tunggulah terus.. ;D

Istilahnya, tidak perlu di-karbid.. Agar buahnya terasa manis alami.. :)
"Give the world the best you have and you may get hurt. Give the world your best anyway"
-Mother Teresa-

ryu

Yang penting mau belajar dan berubah, oce?
Janganlah memperhatikan kesalahan dan hal-hal yang telah atau belum dikerjakan oleh diri sendiri. Tetapi, perhatikanlah apa yang telah dikerjakan dan apa yang belum dikerjakan oleh orang lain =))

Umat Awam

yap, klo kurang manis, tambahin gula aja bro.. :P
Back To Topic dah...

^:)^

Kelana

Quote from: hudoyo on 20 May 2008, 08:46:56 AM

Sebagai umat Buddha, kita tidak hidup di sebuah pulau secara eksklusif. Kita berelasi dengan saudara-saudara kita umat Islam, Keristen, Hindu dsb. Kita harus mampu beinteraksi dengan mereka dalam hal-hal yang menyangkut iman masing-masing, sedemikian rupa sehingga meningkatkan kehidupan masyarakat pluralistik yang harmonis.

Benar Pak Hud, kita tidak hidup di sebuah pulau secara eksklusif, tapi menurut saya ini bukanlah berarti kita harus meninggalkan prinsip-prinsip kita demi menyeragamkan prinsip kita dengan prinsip orang lain.

Etimologi 'ketuhanan' sekali lagi etimologi, yang saya sampaikan ini adalah terlepas dari konsep buddhis (tapi kebetulan mendukung), jadi sifatnya netral. Nah ketika umat lain ingin membahas ketuhanan dalam konteks etimologi maka sebaiknya juga melepas konsep-konsep agamanya dengan demikian mereka bisa memahami makna dari sila 1 Pancasila RI dari konteks etimologi. Nah, ketika mereka tidak mau meninggalkan konsep agamanya dan tidak menemui titik temu terhadap sila 1 Pancasila RI ini, maka siapa yang harus disalahkan? apakah umat Buddha? Jelas tidak bisa karena etimologi ini bukan dibuat oleh umat Buddha . Ironinya, teks sila ke1 Pancasila RI justru diajukan oleh Bung Karno yang pada dasarnya umat dari agama monotheis. Entah ini suatu kesengajaan atau pun tidak, teks sila ke1 Pancasila RI dari segi etimologi lebih mendukung konsep Buddhis ketimbang monotheis.

Berbeda jika kita berbicara dalam konteks konsep  agama, Pak Hud, maka suatu pendekatan istilah dan lainnya diperlukan sehingga umat lain setidaknya memahami. Demikian pendapat saya.





GKBU

_/\_ suvatthi hotu


- finire -

hudoyo

Quote from: Lex Chan on 20 May 2008, 02:03:35 PM
[...]
Istilahnya, tidak perlu di-karbid.. Agar buahnya terasa manis alami.. :)

Saya sendiri sampai sekarang juga suka berdebat. kok ...  secara terkendali.
Tapi tentu ada cara berdebat yang baik, dan cara berdebat yang buruk.
Kita lihat saja hasilnya. ... :)

Salam,
hudoyo