Mengenal Wei Tuo / Dharmapala Veda

Started by chingik, 08 May 2008, 03:00:40 PM

Previous topic - Next topic

0 Members and 1 Guest are viewing this topic.

chingik

Dharmapala Veda

Panglima Jendral Surgawi
Di samping Bodhisattva dan Arahat, dalam agama Buddha dikenal banyak sekali makhluk surgawi yang mengemban misi mulia melindungi Buddha Dharma. Mereka secara tulus berikrar menjadi Dharmapala (Pelindung Dharma) dan pelindung praktisi Buddha Dharma yang tekun. Di antara sekian banyak dewa itu terdapat satu sosok Dharmapala yang sangat menonjol. Dalam tradisi Mahayana Tiongkok, dewa yang berasal dari tradisi India kuno ini sama terkenalnya dengan Dewa Kwan Kong (Guan Yu) yang juga merupakan salah satu Dharmapala.
Bila mengunjungi vihara Mahayana Tiongkok, saat melangkahkan kaki memasuki bangunan pertama vihara, figur pertama yang berhadapan dengan kita adalah Bodhisattva Maitreya dengan deretan Empat Maharaja Dewa dari Surga Caturmaharajika di kedua sisi. Masuk lagi ke dalam, ada satu figur yang membelakangi Bodhisattva Maitreya, dengan posisi berdiri sambil memegang tongkat Vajra. Seorang jendral perang berpenampilan gagah perkasa, namun bermimik muka bak seorang putra remaja. Figur ini menghadap ke dalam vihara berhadapan dengan rupang Buddha. Dialah Dharmapala Veda, jendral surgawi yang berikrar sebagai Pelindung Dharma dan Sangha. Ada pula vihara yang menempatkan rupang Dharmapala Veda ini berpasangan dengan rupang Dewa Kwan Kong.
Veda ini sebenarnya adalah salah satu dari delapan jendral surgawi di bawah pimpinan Raja Dewa Virdhaka – salah satu Empat Maharaja Dewa Surga Caturmaharajika dari penjuru selatan. Setiap Empat Maharaja Dewa di empat penjuru Surga Caturmaharajika memiliki 8 jendral surgawi. Dari 32 jendral surgawi ini, Dharmapala Veda adalah panglima tertinggi. Meskipun merupakan makhluk alam Surga Karmadhatu (alam nafsu), Jendral Veda telah mempraktikkan brahmacari (perilaku suci) sehingga paras mukanya bagaikan seorang remaja dan tidak ternoda oleh kenikmatan alam surgawi.
     Jendral Veda disebut juga dengan nama Dewa Skanda, sedang Buddhisme Tiongkok menyebutnya sebagai Bodhisattva Weituo. Istilah Weituo merupakan transliterasi dari kata Veda. Para umat Mahayana Tiongkok meyakini Gunung Tianmu (Tianmushan) di Propinsi Zhejiang, Tiongkok, sebagai tempat Dharmapala Veda membabarkan Dharma.
   Adapun awal munculnya pemujaan Jendral Veda di vihara-vihara Tiongkok sangat erat hubungannya dengan kisah nyata dalam Daoxuan Lushi Gantonglu (Catatan Kontak Batin Bhiksu Lu Daoxuan) yang ditulis oleh Master Daoxuan, pendiri mazhab Vinaya di Tiongkok. Saat itu Bhiksu Daoxuan banyak berjasa dalam penyusunan literatur Vinaya serta menjalani disiplin Vinaya yang ketat. Moralitas kebajikan Daoxuan menggetarkan batin makhluk alam dewa sehingga seorang dewa dari Surga Caturmaharika datang mengunjungi beliau.
Adapun kontak batin dengan makhluk alam dewa secara perlahan-lahan mulai muncul setelah beliau menyelesaikan kitab "Xu Gaoseng Zhuan" (Lanjutan Riwayat Bhiksu Mulia) dan "Guang Hong Ming Ji" (Kumpulan Perluasan Pembabaran Ajaran Terang). Para dewa mengetahui bahwa usia kehidupan Daoxuan akan segera berakhir, maka satu demi satu berdatangan demi melengkapi berbagai topik vinaya yang belum sempat beliau selesaikan. Dewa pertama yang datang berkunjung memperkenalkan diri sebagai dewa yang mengemban tugas melindungi Buddha Dharma dan merupakan utusan dari Jendral Veda. Dewa tersebut berkata, "Jendral Veda sangat tekun dalam melindungi Buddha Dharma di 3 benua. Bila terdapat perselisihan yang riskan di ruang lingkup agama Buddha, maka Jendral Veda akan memberi nasehat untuk mendamaikan perselisihan itu. Oleh karena itu, beliau sangat sibuk hingga belum sempat datang berkunjung, sebab itu mengutus kami terlebih dahulu untuk menyampaikan hormat, namun tidak lama kemudian beliau pasti akan datang."
Dewa kedua yang datang berkunjung memperkenalkan diri menyatakan telah mengikuti Jendral Veda sejak masa Buddha Kasyapa. Dewa ini berkata bahwa Jendral Veda telah menjalani kehidupan suci dan tidak melekat pada kenikmatan surgawi. Beliau silih berganti mengunjungi 4 benua (Jambudwipa di penjuru selatan, Purvavideha di penjuru timur, Aparagodaniya di penjuru barat dan Uttarakuru di penjuru utara) untuk memberi perlindungan kepada para bhiksu.
Berbeda dengan kondisi di Uttarakuru, ajaran Buddha hanya ada di tiga benua lainnya, namun meski demikian anggota Sangha di tiga benua ini kerap melakukan pelanggaran dan bertindak tidak sesuai dengan Dharma. Karena Buddha pernah berpesan agar selalu melindungi Buddha Dharma, maka para dewa pun tidak berani bersikap lalai dalam menjalankan misi mulia ini. Oleh karena itu, meskipun para bhiksu banyak melakukan pelanggaran sila, namun bila mereka melakukan satu kebajikan saja, maka pelanggaran-pelanggaran tersebut tidak akan dipersoalkan [oleh para dewa]. Meskipun para dewa dapat merasakan aroma busuk alam manusia menebar sejauh 400.000 mil hingga ke atas langit, namun karena pesan dari Buddha pulalah maka para dewa tetap berkenan mengunjungi alam manusia untuk memberi perlindungan. Lantas, Jendral Veda adalah satu dari 32 jendral surgawi yang paling gigih dalam melindungi Buddha Dharma. Setiap ada iblis Mara yang mengganggu para bhiksu, maka beliau akan segera datang untuk melindungi dan menyadarkan sesuai dengan sikon yang tepat. Bila beliau menemui Empat Raja Dewa, maka Raja Dewa akan menyambut beliau dengan sikap berdiri sebagai tanda hormat atas kegigihannya.
   Akhirnya Jendral Veda sendiri datang mengunjungi Daoxuan. Jendral Veda lalu bercerita tentang kemerosotan agama Buddha di tanah India, dan perkembangannya di wilayah Tiongkok. Menurut beliau, para bhiksu di Tiongkok kerap melanggar sila namun masih memiliki rasa bersalah dan melakukan penyesalan. Meski batin mereka sering melakukan pelanggaran, namun perilakunya masih berusaha menjaga Sila. Itu pula sebabnya Jendral Veda sering memberi pesan kepada para dharmapala lain bahwa asalkan terdapat satu kebajikan saja yang dilakukan oleh para bhiksu, maka lupakan saja seratus kesalahannya. Jika melihat ada yang melakukan pelanggaran, walau sampai meneteskan air mata (sedih, karena melihat pelanggaran yang dilakukan para bhiksu tersebut), tetap harus menjaga dan melindungi para pelanggar itu, agar tidak disesatkan oleh para iblis Mara hingga meninggalkan Buddhasasana.
Menurut Dharmapala Veda, pelanggaran Sila yang dilakukan oleh bhiksu di dunia kita ini (benua Jambudwipa) masih tidak seberapa dibandingkan dengan bhiksu di benua Aparagodaniya di penjuru barat. Di Aparagodaniya, pemimpin vihara sangat berkuasa dan otoriter, mereka sanggup memobilisasi bhiksu yang berjumlah puluhan juta orang, hingga raja pun tidak sanggup melawan mereka. Mereka menyembunyikan emas di bawah stupa, dan di dapur menumpuk kepala ikan bagaikan gunung tingginya. Usus kambing menggantung lebih banyak daripada yang ada di tempat penjagalan. Namun dalam kondisi seperti inipun Dharmapala Veda masih berusaha melindungi mereka agar tidak semakin disesatkan oleh Mara. Bayangkan, betapa besar belas kasih beliau kepada para anggota Sangha dan betapa tegarnya beliau menahan diri agar tidak terpancing amarah melihat perilaku buruk para bhiksu sebagai realisasi atas ikrar agung untuk selalu melindungi Buddhasasana.
   
Pentingnya Rasa Malu dan Menyesal
Hal lain yang menarik tentang Dharmapala Veda adalah kisah pertolongan beliau kepada Bhiksu Miaofeng (tradisi Chan) pada masa dinasti Ming (abad 16). Miaofeng adalah seorang terpelajar, namun setelah menyadari bahwa ilmu pengetahuan duniawi tidak sanggup menjawab hakekat hidup secara tuntas, ia kemudian memutuskan untuk menjadi bhiksu.
Setelah menjadi bhiksu, Miaofeng berlatih dengan tekun. Namun setelah melewati satu masa, ia merasa masih belum mencapai kemajuan yang berarti. Salah satu kelemahannya adalah sering mengantuk bila sedang bermeditasi. Dengan menyadari kekurangannya ini, Miaofeng lalu bertekad untuk berlatih di tepi jurang dengan pertimbangan rasa takut untuk terjatuh ke dasar jurang akan membuatnya selalu terjaga.
Saat pertama bermeditasi, terlihat cukup berhasil, ia sanggup mempertahankan kesadarannya dalam jangka waktu yang cukup lama. Namun setelah melewati satu sesi waktu, akhirnya rasa kantuk menyerang dan benar saja dalam sekejap mata tubuhnya langsung terhempas ke dasar jurang. Ia tersentak, "Matilah aku sebelum mencapai keberhasilan!" Namun pada detik-detik yang menegangkan itu, tiba-tiba tubuhnya disanggah oleh sepasang tangan.
"Siapa yang menolongku?" Tidak terlihat sosok makhluk satu pun, hanya terdengar sebuah suara menjawab, "Weituo, sang Pelindung Dharma." Miaofeng bertanya lebih lanjut, "Mengapa menolongku?" Weituo menjawab, "Siapapun yang menjadi praktisi sejati, aku akan melindunginya. Inilah ikrarku terhadap Buddha." Mendengar jawaban ini, Miaofeng merasa sangat senang, lantas dengan rasa bangga bertanya, "Di dunia ini ada berapa banyak praktisi sejati sepertiku?" Weituo menjawab, "Jumlahnya sebanyak pasir di Sungai Gangga. Karena melihat ketekunanmu, aku melindungimu. Tapi ternyata kamu malah menjadi sombong. Mulai sekarang, aku bersumpah tidak akan melindungimu lagi selama dua puluh kehidupan."
Miaofeng yang awalnya begitu bangga disebut sebagai praktisi sejati, justru membuat Weituo kecewa. Semakin dipikirkan, Miaofeng semakin merasa malu dan bersalah, timbullah rasa penyesalan dalam dirinya. Ia lalu kembali ke tepi jurang untuk kembali bermeditasi dengan lebih tekun daripada sebelumnya. Sialnya, rasa kantuk masih saja datang menyerang. Ia terhempas untuk kedua kalinya. Kali ini dengan pasrah ia berkata dalam hati, "Tidak ada lagi yang menolongku kali ini." Di tengah keputus-asaan ini, ternyata muncul lagi sepasang tangan yang sebelumnya pernah menolongnya.
"Bukankah selama dua puluh kehidupan tidak akan melindungiku lagi, mengapa sekarang kembali menolongku?" demikian tanya Miaofeng.
"Karena rasa bersalah dan penyesalan yang kau lakukan telah melampaui dua puluh kehidupan," jawab Weituo.
Kisah Miaofeng ini mengajarkan kita bahwa rasa malu dan menyesal adalah sangat penting bagi praktisi Dharma, pun melukiskan betapa luhur dan konsistennya jiwa Weituo (Dharmapala Veda) dalam melaksanakan Jalan Bodhisattva sebagai Pelindung Dharma yang tidak memendam rasa kecewa ataupun mencampakkan praktisi yang berusaha memperbaiki diri.
   Ikrar agung sebagai Pelindung Dharma sesungguhnya telah muncul sejak kalpa yang tak terhingga di masa lalu. Ikrar agung inilah yang menempatkan sang Jendral Surgawi ini sebagai Bodhisattva. Pada masa kalpa lalu yang tak terhingga, Veda merupakan salah satu dari seribu putra Raja Cakravartin yang bernama Fayi. Seribu putra raja ini kemudian dipastikan akan menjadi Buddha di era kalpa Bhadra, dengan Fayi sebagai calon Buddha yang keseribu.
   Sebagai Buddha terakhir di kalpa Bhadra, Veda berikrar untuk selalu muncul dalam wujud sebagai pelindung Buddha Dharma. Sebagaimana diketahui, masa sekarang ini adalah masa kalpa Bhadra. Buddha pertama di era ini adalah Buddha Krakuchanda, selanjutnya adalah Buddha Kanakamuni, Buddha Kasyapa dan Buddha Sakyamuni. Inilah empat Buddha yang telah muncul di era kalpa Bhadra. Buddha ke-5 adalah Bodhisattva Maitreya, sedangkan Bodhisattva Veda adalah Buddha ke-1.000 dengan sebutan Buddha Rucika. Kata Rucika mengandung makna tangisan haru. Karena melindungi Dharma dan membantu para makhluk hidup mencapai pencerahan, Veda menangis haru dalam kesukacitaan, inilah makna nama Buddha Rucika.
Demikianlah keagungan Dharmapala Veda, Pelindung Dharma dan calon Buddha yang memiliki ikrar luhur. Sebagai siswa Buddha, kita sudah sepatutnya menjadikan Dharmapala Veda sebagai suri tauladan untuk selalu belajar dan berlatih dalam Dharma, agar Buddha Dharma dapat bertahan selamanya di dunia ini serta senantiasa hidup dalam batin setiap makhluk.

El Sol

veda itu..

bukan kitab veda yak? kitabnye Hindhu..-_-"

chingik

Quote from: El Sol on 10 May 2008, 10:59:02 PM
veda itu..

bukan kitab veda yak? kitabnye Hindhu..-_-"

Veda itu memang kitab Hindu.
Tapi Veda di sini adalah nama seseorang. Ada sih yang mengaitkan si Veda ini pernah jadi seorang Hindu yang kemudian menjadi pelindung dharma. Tapi itu tafsiran berdasarkan apa juga kurang jelas. Ada juga yang mengatakan tidak ada kaitannya, cuma kebetulan saja namanya Veda. Barangkali ada yang bisa menambahkan informasi ? monggo...

nyanadhana

Wei Tuo disebut juga sebagai Skanda Bodhisatva, awalnya merupakan dewa dari panteon Hindu lebih tepatnya God Of War,dikatakan setelah Buddhism ada, Skanda dan Vishnu dan beberapa dewa Hindu lainnya menjadi Pelindung Dhamma.
Sadhana is nothing but where a disciplined one, the love, talks to one's own soul. It is nothing but where one cleans his own mind.

nyanadhana

"Buddhicisation" of Gods

The pre-Buddhist deities, Hindu Gods and deified historical personages were "Buddhicised" as Prof. Dharmadasa would call the process. In Buddicisation, the God is believed to have done an act, which acknowledged the superiority of the Buddha. The case of the indigenous God Saman is illustrative.

In 13th century AD, the Buddhist King, Parakramabahu II (1236-70) constructed a shrine in a place called Sri Pada for God Saman. According to the Mahawamsa, Saman invited the Buddha to place his footprint on the rock summit of the Sri Pada. Though Saman was a God himself, he wanted the Buddha, admittedly a superior being, to render the Sri Pada fit for worship.

The Vedic God Vishnu became the protector of the Buddha Sasana (dispensation), and Skanda became a Bodhisatva or a Buddha-to-be. Pattini, a Tamil deity, along with Vishnu and Skanda, were made the guardians of the Temple of the Tooth in Kandy, the holiest of holy Buddhist shrines in Sri Lanka. Ayyanaar, a village guardian in Tamil Nadu, had been made an attendant of the Buddha.

While there was no denial of the deities' extraordinary powers, they were made the worshippers of the Buddha. In the 12th century poem "Sasa da vata", which describes one of Buddha's sermons, it was said that a whole array of Gods, including Maha Brahma, Varuna, Yama, Vibhishana, Vishnu, Maheshwara, Balabhadra, Ganesha and Skanda, were in attendance, worshipping the Buddha.

"The Maha Brahma, who is able to turn the whole world to ashes merely by raising one finger, is like a firefly in the presence of the sun, in Buddha's presence," the poem says.

In the 11th century, the Cholas from Tamil Nadu ruled the Polonnaruwa kingdom in North Central Sri Lanka, the epicentre of Sri Lankan Buddhism at that time. Their 53-year rule had resulted in the worship of Hindu deities.
Sadhana is nothing but where a disciplined one, the love, talks to one's own soul. It is nothing but where one cleans his own mind.

nyanadhana

Buddhist backlash

According to Prof Dharmadasa, the period from the 11th to the 15th centuries was a difficult one for Buddhism in Sri Lanka. The Buddhist purists saw the Hindu influence from South India as a grave threat to Buddhist identity. First they first cautioned against too much dependence on the deities and then ridiculed them.

Bhikkhu Dharmasena exhorted people to avoid getting too close to Vishnu or Ishwara. There was sharp criticism of Hindu Gods in poems written in this period. Leading the attack was the monk-poet Vidagama Maithreya, who authored the Budugunaalamkaraya (the Beauteous virtues of the Buddha) in the 15th century.

On Shiva worship the critic says: " That a man should make offerings to him who puts on the dress of a dancer, and dances in this fashion every day! From this could any lasting good come to the world?"

The worship of the Shiva lingam (phallus) is dismissed with utter contempt. " Such folk take the lingam as an emblem - disgusting to some and inflaming lust in others. That people should make offerings to this! From this how could a blessing arise?" the poet asks.

And the Ramayana is derided thus: " Rama, who could not get across a sea which a monkey hopped over, is believed to have built a bridge to get himself there. Could a God's power be so small in this world?"

But deity worship had entrenched itself so deeply in the Sri Lankan Buddhist psyche that even Vidagama Maithreya acknowledged the worldly power of the deities, Prof Dharamadasa points out.

But apparently, something like a division of labour was worked out to see that the deities did not clash with the Buddha and Buddhism. While the Buddha and Buddhism were put on a higher spiritual and moral plane, the various deities were seen as repositories of temporal or worldly power, which could be useful to the people in day-to-day life. If not for this distinction, ogres like Pitiye Bandara would not have been deified.

However, the worship of Gods and deities has always been viewed with displeasure by Buddhist purists right down history. The most recent movement against deity worship was spearheaded by the popular preacher, Ven Gangodawila Soma Thero, who died in 2003. According to Prof Dharmadasa, Ven Soma Thero has had a "powerful impact" on Buddhist society in Sri Lanka.
Sadhana is nothing but where a disciplined one, the love, talks to one's own soul. It is nothing but where one cleans his own mind.

Che Na

_/\_ Gan En atas infonya tentang Wei To Phu sa .. Sudah lama saya ingin cari tau sejarah Beliau. KArena menurut master saya di Tantra Wei To Phu Sa adalah Dharmapala pribadi saya :)

_/\_
Ketika Melihat Dengan Hati , Mendengar Dengan Mata ..

sun_tzu

Quote from: Che Na on 12 May 2008, 02:36:02 PM
_/\_ Gan En atas infonya tentang Wei To Phu sa .. Sudah lama saya ingin cari tau sejarah Beliau. KArena menurut master saya di Tantra Wei To Phu Sa adalah Dharmapala pribadi saya :)

_/\_

kk, tantra itu apa?? dr mana ya kita bs cari info ttg Dharmapala kita? thx.. _/\_

Heruka



Anumodana buat bro chingik.. Thanks buat artikel Wei Tuo Phu Sa. Sudah lama saya mencari sumber2 yg bisa memberikan penjelasan lebih mengenai Dharmapala yg satu ini.  _/\_

chingik