Pemiskinan dan Pencabutan Hak Politik Djoko merupakan Terobosan.JAKARTA, KOMPAS — Ada semangat di lembaga peradilan untuk memperberat hukuman koruptor mengingat selama ini hukuman badan belum menakutkan dan korupsi tak semakin berkurang, Selain hukuman dinaikkan hampir dua kali lipat, terpidana juga diharuskan membayar uang pengganti yang sangat besar dan hak politiknya dicabut.
Itulah salah satu pertimbangan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta ketika menjatuhkan putusan 18 tahun penjara dan denda Rp 1 miliar subsider satu tahun kurungan kepada mantan Kepala Korps Lalu Lintas Polri Inspektur Jenderal Djoko Susilo. Pengadilan Tinggi DKI Jakarta juga menjatuhkan pidana tambahan berupa pembayaran uang pengganti Rp 32 miliar dan pencabutan hak politik
”Kami ingin mendorong adanya perspektif baru dalam semangat pemberantasan korupsi, yaitu menimbulkan efek jera,” kata Roki Panjaitan, Ketua Majelis Banding Perkara Djoko Susilo, kepada Kompas, Kamis (19/12).
Ia juga menegaskan, pencabutan hak politik seperti yang dilakukan kepada Djoko tidak melanggar hak asasi manusia. Hal itu ada di dalam tuntutan jaksa. Bahkan, tanpa dituntut jaksa pun, hakim memiliki kewenangan berdasarkan undang-undang untuk mencabut hak politik seseorang.
Menurut Roki, putusan mencabut hak politik tersebut didasarkan pada ketentuan Pasal 10 Kitab Undang- undang Hukum Pidana (KUHP) yang mengatur hukuman pokok dan hukuman tambahan.
Pidana tambahan yang dijatuhkan bisa berupa pencabutan hak-hak tertentu, selain perampasan barang. Hak-hak tertentu yang bisa dicabut diatur di dalam Pasal 35 Ayat 1 KUHP, salah satu di antaranya hak memilih dan dipilih (angka 3).
”Ini memang baru pertama (untuk kasus korupsi). Biarlah perjalanan sejarah bangsa ini apakah yang lain mau melanjutkan. Yang jelas, ini kan perkara korupsi. Kalau hanya perkara- perkara seperti pencurian, tidak mungkin dicabut hak politik seseorang,” katanya.
Roki mengingatkan, korupsi sangat berbahaya dan mengancam eksistensi negara. Negara bisa bubar jika korupsi tidak diberantas. Keruntuhan Uni Soviet, Tunisia, pergolakan di Mesir dan Libya, salah satunya juga disebabkan korupsi.
”Kasus yang menimpa Pak Djoko Susilo ini sangat besar. Melibatkan uang ratusan miliar rupiah. Itu uang negara. Kemudian juga masif dan korban langsung adalah masyarakat,” ujar Roki.
Negara menyediakan proyek pengadaan simulator untuk pembuatan SIM roda dua dan roda empat untuk memutus rantai calo dalam pengurusan SIM. Fungsi alat ini adalah mendidik masyarakat untuk mematuhi hukum dalam menggunakan kendaraan di jalan.
”Jadi banyak sekali manfaatnya, tetapi jadinya seperti itu malah bermasalah. Kerugian negara menjadi dobel,” katanya.
Tindakan Djoko juga dinilai tak mendidik ratusan polisi yang berada di bawah. ”Kita melihat mereka (para polisi di bawah) bekerja dengan baik, tetapi yang di atas melakukan hal seperti itu,” katanya.
Majelis hakim pun mempertimbangkan besarnya dampak sosial akibat kasus Djoko Susilo. Hal itu antara lain sempat mencuatnya konflik kelembagaan antara Komisi Pemberantasan Korupsi dan Polri yang mengakibatkan Presiden turun tangan untuk menyelesaikannya.
Pikirkan kasasiSalah satu kuasa hukum Djoko Susilo, Tommy Sihotang, menyatakan bakal mengajukan kasasi terhadap putusan itu. Tommy menilai pencabutan hak politik Djoko berlebihan mengingat perbuatan yang didakwakan kepada kliennya (korupsi) tidak ada hubungan dengan politik. ”Apa dia mengkhianati negara ini, kan enggak juga,” kata Tommy.
Namun, rencana kasasi itu belum final. Secara terpisah, kuasa hukum Djoko yang lain, Juniver Girsang, mengatakan belum dapat menentukan sikap atau mengomentari putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta. Pasalnya, pihaknya belum memperoleh salinan putusan dan mempelajarinya.
”Kami akan baca dan cermati, nanti kami lihat pertimbangannya sudah tepat atau tidak,” kata Juniver.
Perlu menjadi rujukanKomisi Pemberantasan Korupsi sangat mengapresiasi putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta. Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto menilai putusan banding terhadap Djoko tersebut fenomenal dan seharusnya bisa dijadikan tolok ukur dalam perkara tindak pidana korupsi dan tindak pidana pencucian uang lainnya.
”Putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta sangat menarik dan bisa disebut fenomenal sehingga harus dijadikan benchmark (tolok ukur) putusan tindak pidana korupsi lainnya,” kata Bambang.
Putusan itu fenomenal karena menegaskan arah politik hukum tentang penghukuman sesuai Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang bersifat premium remedium.
”Hukuman pokoknya maksimal, yaitu 18 tahun dan denda Rp 1 miliar. Hukuman tambahannya tinggi, yaitu membayar Rp 32 miliar dengan subsider 5 tahun, ditambah dicabutnya hak-hak politik,” kata Bambang.
Menurut dia, putusan itu menghidupkan kembali filsafat keadilan yang berkembang pada awal masa reformasi. ”Yaitu, sistem keadilan retributif sebagaimana tersebut dalam Ketetapan MPR Nomor XI Tahun 1998,” ujarnya.
Wakil Ketua KPK lainnya, Busyro Muqoddas, menilai majelis hakim Pengadilan Tinggi DKI Jakarta yang memutus perkara Djoko punya kepekaan tajam terhadap intuisi keadilan.
”Nalar hukumnya bersukma pada moralitas hukum yang kental. Ada frekuensi moral hukum jaksa dan hakim Pengadilan Tinggi DKI Jakarta. Ini modalitas menarik bagi jaksa dan hakim tindak pidana korupsi ke depan,” kata Busyro.
Vonis banding ini juga bisa direspons kalangan akademik di perguruan tinggi agar tidak lagi mengedepankan paradigma pengajaran hukum yang legalistik positivistik, yang hanya melahirkan penegak hukum sebagai corong undang-undang saja.
Vonis Pengadilan Tinggi DKI Jakarta dan putusan kasasi di Mahkamah Agung, yang salah satu majelis hakim agungnya, Artidjo Alkostar, bisa menambah penguatan wacana pentingnya ideologi hukum di kampus.
Pegiat antikorupsi dari Pusat Kajian Antikorupsi Universitas Gadjah Mada, Oce Madril, berharap putusan banding ini juga menjadi rujukan hakim di daerah. ”Pesan putusan ini adalah pengadilan menginginkan model hukuman yang berat dari tiga sisi: hukuman badan, penyitaan aset, pencabutan hak politik, ataupun hak-hak perdata lainnya,” kata Oce Madril. (ANA/BIL)
KOMPAS, 20 Dec 2013
apakah hukuman yang diberikan sudah memberi "
rasa" keadilan bagi masyarakat, sebagai pemegang kedaulatan negara ?