Bro, sebelum berempati keluar (eksternal lingkup Buddhis) apalagi yg di luar ini sudah terkenal di seluruh dunia sebagai 'biang onar', cobalah juga berempati ke dalam lingkup Buddhis sendiri.
Kaum Buddhis sudah begitu teraniaya di mana2, ada yg sudah dibasmi habis sampai ke akar2nya seperti di Pakistan dan Afganistan, bahkan peninggalan orang matinya juga masih dibasmi (contoh: penghancuran patung Buddha di Bamiyan), nah mereka ini siapa yg membela?
Yang bisa membela, bersuara dan menyuarakan penderitaan umat Buddha hanyalah umat Buddha sendiri. Kalau mereka2 dari 'yg nakal itu', sudah banyak koq pendukungnya. Mulai dari sekedar dukungan moral, dukungan suara, sampai dukungan uang dan senjata.
Sama juga kadang2 saya prihatin ada pengumpulan sumbangan utk membantu kaum yg lain yg miskin / kesusahan, sementara umat Buddha sendiri ada yg begitu miskin hingga mati kelaparan tak ada yg mau bantu. Contoh umat2 kita di Tangerang (cina benteng), atau di singkawang. Padahal dengan kemiskinan mereka yg tidak kita bantu, mereka sangat potensial digaet masuk ke agama lain. Di daerah saya, sumbangan uang dari vihara bahkan diserahkan langsung oleh bhantenya ke.......... madrasah korban kebakaran
Bukan berarti tidak boleh bantu agama lain, tapi seperti kata pepatah : sebelum membantu mengurusi anak orang lain, urusi dulu lah (dengan baik) anak sendiri. Jangan malah anak sendiri mati kelaparan sementara kita sibuk membantu anak tetangga.
Mengingat anda orang yang mau berdiskusi dengan kepala dingin. Yang menurut saya dapat menciptakan diskusi yang membangun, yang bisa memberikan faedah bagi kita bersama. Saya memutuskan untuk menanggapi postingan anda untuk saya.
Bro Sanjiva yang baik, perkenankanlah saya yang tidak pintar dan tidaklah lebih pintar dari anda ini memberikan opini saya atas postingan anda.
Sejujurnya saya sangat setuju dan peduli dengan apa yang anda sampaikan. Dan bahkan saya merasa Buddhis sangat membutuhkan orang-orang yang peduli seperti anda, seorang Pembela Buddhis (Patriarch).
Tapi apakah dalam membela Buddhis. kita boleh menggunakan kaidah-kaidah yang sesungguhnya bukan dan bahkan bertentangan dengan Buddhis.
Memang betul banyak musuh di luar diri kita, tapi bukankah menurut Buddha musuh terbesar kita adalah diri kita sendiri.
Contohnya: diantara kita saja gontok-gontokkan (tradisi/aliran) ngak habis-habisnya, ada inisiatif baik dari aliran berbeda tidak disambut baik.
Kalau postingan terdahulu ada yang bahas soal sel yang membelah, itu sama saja membicarakan diri kita sendiri.
Contohnya: di Theravada saja ada STI & STT, jangan2 nanti muncul STM (Myanmar) atau STS (Srilanka).
Begitu juga untuk yang lainnya. Bukalah mata kita lebar-lebar, mau jadi apa kita ke depan.
Sudahkah kita memerangi musuh itu (di dalam diri kita masing-masing). Kalau yang di luar mah musuh cecereh.
Kalau saya amati postingan terakhir anda hanya melanjuti apa yang anda posting sebelumnya.
Inilah yang saya maksud membesar-besarkan masalah dan OOT.
Mengkait-kaitkannya dengan masa lalu yang tidak ada relevansinya dengan masa kini.
Apakah kita dapat melangkah ke depan kalau kita selalu dibayang-bayangi masa lalu.
Lalu bahkan melebarkannya ke regional yang berbeda, ke Thailand, Filipina, dsb.
Kenapa ngak kita kaji saja dahulu yang di Myanmar ini sampai tuntas.
Bahkan yang terakhir ke Indonesia, yang menurut saya semakin bias.
Memang kita akui masih banyak kebijakan yang diskriminatif terhadap kita, tapi kalau kita kaji lebih jauh dengan di Myanmar sangat berbeda.
Coba deh googling "Rohingya", cari berita yang tahun2 sebelumnya, mungkin bisa membuat pemahaman kita lebih jelas.
Mengingat temperamental mayoritas kaum mereka (I5l4m), terpikir ngak kalau komentar2 kita di sini (bukan cuma komentar anda ya) bisa memprovokasi mereka.
Saya tidak bisa bayangkan kalau di antara mereka ada yang memprovokasi untuk bikin kacau di Indonesia.
Saudara kita yang tidak tahu menahu (tahu beritanya saja ngak) menjadi korban kemarahan mereka.
Untung saja, saat ini kita kan adem ayem saja.
Inilah opini saya yang kiranya bisa memberi manfaat buat kita bersama.
Kalau sekiranya tidak, buang saja opini saya ini ke tong sampah, saya ngak keberatan kok.