News:

Semoga anda berbahagia _/\_

Main Menu

Mengaku Paling Sempurna

Started by Kang_Asep, 28 December 2011, 09:04:55 PM

Previous topic - Next topic

0 Members and 1 Guest are viewing this topic.

Kang_Asep

Di dunia ini dengan para dewa, mara dan brahmanya, para dewa dan manusianya, aku tidak melihat petapa atau brahamana lain yang lebih sempurna dalam moralitas dibandingkan dengan diriku sendiri. ( Petikan Angutrara Nikaya 2, hal. 201. Par.1)

Seandainya tidak dinyatakan oleh sang Buddha, tentu pernyataan seperti itu akan dinilai sebagai suatu bentuk kesombongan. Coba bayangkan, apa reaksi umat seandainya ada seseorang di zaman ini yang mengatakan hal sebagaimana yang dikatakan oleh sang Buddha tersebut? Dan mengapa reaksinya demikian?

The Ronald

...

adi lim

#2
Quote from: Kang_Asep on 28 December 2011, 09:04:55 PM
Di dunia ini dengan para dewa, mara dan brahmanya, para dewa dan manusianya, aku tidak melihat petapa atau brahamana lain yang lebih sempurna dalam moralitas dibandingkan dengan diriku sendiri. ( Petikan Angutrara Nikaya 2, hal. 201. Par.1)

Seandainya tidak dinyatakan oleh sang Buddha, tentu pernyataan seperti itu akan dinilai sebagai suatu bentuk kesombongan. Coba bayangkan, apa reaksi umat seandainya ada seseorang di zaman ini yang mengatakan hal sebagaimana yang dikatakan oleh sang Buddha tersebut? Dan mengapa reaksinya demikian?

seperti guru para arahat si ym choa  ^-^

sepertinya hanya Sammbuddha  yg patut mengeluarkan pernyataan ini
andai ada yg mengeluarkan pernyataan ini, berarti orangnya kongtaiwa
Seringlah PancaKhanda direnungkan sebagai Ini Bukan MILIKKU, Ini Bukan AKU, Ini Bukan DIRIKU, bermanfaat mengurangi keSERAKAHan, mengurangi keSOMBONGan, Semoga dapat menjauhi Pandangan SALAH.

Yani Puk

zaman sekarang sama zaman dulu beda pak....

Zaman dulu itu ada budi pekerti, dll

Zaman sekarang budi pekerti?! gak ditipu orang jg udh syukur deh

William_phang

Quote from: Kang_Asep on 28 December 2011, 09:04:55 PM
Di dunia ini dengan para dewa, mara dan brahmanya, para dewa dan manusianya, aku tidak melihat petapa atau brahamana lain yang lebih sempurna dalam moralitas dibandingkan dengan diriku sendiri. ( Petikan Angutrara Nikaya 2, hal. 201. Par.1)

Seandainya tidak dinyatakan oleh sang Buddha, tentu pernyataan seperti itu akan dinilai sebagai suatu bentuk kesombongan. Coba bayangkan, apa reaksi umat seandainya ada seseorang di zaman ini yang mengatakan hal sebagaimana yang dikatakan oleh sang Buddha tersebut? Dan mengapa reaksinya demikian?

Bedanya kalo Buddha menyatakan demikian dan beliau mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan kepada beliau....Dan setelah orang mendengar jawaban yang diberikan oleh Buddha menjadi puas dan ada yang mencapai pencerahan....

Coba kita bandingkan dengan "yang mengaku sudah suci" yang telah hadir di DC, boleh dibilang banyak sekali pertanyaan yang diajukan TIDAK MAMPU dijawab dan JAWABAN-nya pun tidak memuaskan....

K.K.

Quote from: Kang_Asep on 28 December 2011, 09:04:55 PM
Di dunia ini dengan para dewa, mara dan brahmanya, para dewa dan manusianya, aku tidak melihat petapa atau brahamana lain yang lebih sempurna dalam moralitas dibandingkan dengan diriku sendiri. ( Petikan Angutrara Nikaya 2, hal. 201. Par.1)

Seandainya tidak dinyatakan oleh sang Buddha, tentu pernyataan seperti itu akan dinilai sebagai suatu bentuk kesombongan. Coba bayangkan, apa reaksi umat seandainya ada seseorang di zaman ini yang mengatakan hal sebagaimana yang dikatakan oleh sang Buddha tersebut? Dan mengapa reaksinya demikian?
Tidak masalah orang mengaku demikian, asalkan bisa membuktikannya.

Apakah benar seseorang mempunyai pengetahuan dan tindak tanduk sempurna bisa diselidiki dengan mudah. Kita semua punya pengetahuan, jika orang yang mengaku sempurna tapi pengetahuannya kalah sama kita, maka tentu definisi 'sempurna'-nya berbeda. Juga bisa dilihat dari pengendalian perilaku, itu hal-hal yang sederhana.

Jika pengetahuannya baik dan tindak-tanduknya tak bercacat, maka kita bisa menyelidiki lebih lanjut, benarkah dia bisa membimbing kita. Apakah dia bisa memunculkan hal bermanfaat yang belum muncul, mengembangkan yang sudah ada pada diri kita dan di lain pihak mengurangi hal tidak bermanfaat yang sudah ada, dan mencegah hal tidak bermanfaat yang belum muncul untuk muncul.

Bahkan setelah itu pun masih belum selesai. Penyelidikan ini ada dijelaskan di beberapa sutta. Jadi seorang yang sempurna harus bisa membuktikan kesempurnaannya bukan hanya berkoar-koar tanpa kemampuan; dan juga tahan uji dan terbuka untuk penyelidikan.


stephen chow

#6
Quote from: Kainyn_Kutho on 29 December 2011, 10:08:53 AM
Tidak masalah orang mengaku demikian, asalkan bisa membuktikannya.

Apakah benar seseorang mempunyai pengetahuan dan tindak tanduk sempurna bisa diselidiki dengan mudah. Kita semua punya pengetahuan, jika orang yang mengaku sempurna tapi pengetahuannya kalah sama kita, maka tentu definisi 'sempurna'-nya berbeda. Juga bisa dilihat dari pengendalian perilaku, itu hal-hal yang sederhana.

Jika pengetahuannya baik dan tindak-tanduknya tak bercacat, maka kita bisa menyelidiki lebih lanjut, benarkah dia bisa membimbing kita. Apakah dia bisa memunculkan hal bermanfaat yang belum muncul, mengembangkan yang sudah ada pada diri kita dan di lain pihak mengurangi hal tidak bermanfaat yang sudah ada, dan mencegah hal tidak bermanfaat yang belum muncul untuk muncul.

Bahkan setelah itu pun masih belum selesai. Penyelidikan ini ada dijelaskan di beberapa sutta. Jadi seorang yang sempurna harus bisa membuktikan kesempurnaannya bukan hanya berkoar-koar tanpa kemampuan; dan juga tahan uji dan terbuka untuk penyelidikan.


poin paling penting untuk berguru kepada seseorang.. itu jawaban sesungguhnya.. thread klose..  ^:)^  :>-
Menjadi Baik adalah moralitas sejati..
Berbuat Baik adalah mungkin sekadar jalan menuju tujuan..
Y.M. Dr. H. Saddhatissa..

rooney

Quote from: Kainyn_Kutho on 29 December 2011, 10:08:53 AM
Tidak masalah orang mengaku demikian, asalkan bisa membuktikannya.

Apakah benar seseorang mempunyai pengetahuan dan tindak tanduk sempurna bisa diselidiki dengan mudah. Kita semua punya pengetahuan, jika orang yang mengaku sempurna tapi pengetahuannya kalah sama kita, maka tentu definisi 'sempurna'-nya berbeda. Juga bisa dilihat dari pengendalian perilaku, itu hal-hal yang sederhana.

Jika pengetahuannya baik dan tindak-tanduknya tak bercacat, maka kita bisa menyelidiki lebih lanjut, benarkah dia bisa membimbing kita. Apakah dia bisa memunculkan hal bermanfaat yang belum muncul, mengembangkan yang sudah ada pada diri kita dan di lain pihak mengurangi hal tidak bermanfaat yang sudah ada, dan mencegah hal tidak bermanfaat yang belum muncul untuk muncul.

Bahkan setelah itu pun masih belum selesai. Penyelidikan ini ada dijelaskan di beberapa sutta. Jadi seorang yang sempurna harus bisa membuktikan kesempurnaannya bukan hanya berkoar-koar tanpa kemampuan; dan juga tahan uji dan terbuka untuk penyelidikan.

Bagaimana dengan kebijaksanaan duniawi ? kan tidak semua sama, bahkan arahat pun masih bisa dipandang salah dalam hal ini...

K.K.

Quote from: rooney on 29 December 2011, 10:55:11 AM
Bagaimana dengan kebijaksanaan duniawi ? kan tidak semua sama, bahkan arahat pun masih bisa dipandang salah dalam hal ini...
Justru yang tindak-tanduk dan bisa memberikan manfaat itu yang 'kebijaksanaan duniawi'. Kalau kebijaksanaan adi-duniawi, hanya bisa dibuktikan jika orang tersebut mampu membimbing kita mencapai tujuan akhir, yaitu nibbana. Seorang murid dikatakan belum bisa mengambil kesimpulan gurunya tercerahkan sempurna sebelum murid itu sendiri, dengan bimbingan dari gurunya, mencapai kesucian tertinggi (arahatta).

Arahat memang mungkin saja masih melakukan hal yang dinilai salah dari sudut pandang duniawi. Karena itu maka memang kesucian orang lebih baik tidak ditebak-tebak. Kita lihat dan nilai perilakunya secara netral saja. Yang pasti tidak ada orang yang sudah 'menaklukkan diri' tapi tidak bisa 'menguasai diri'.

wang ai lie

Quote from: Kang_Asep on 28 December 2011, 09:04:55 PM
Di dunia ini dengan para dewa, mara dan brahmanya, para dewa dan manusianya, aku tidak melihat petapa atau brahamana lain yang lebih sempurna dalam moralitas dibandingkan dengan diriku sendiri. ( Petikan Angutrara Nikaya 2, hal. 201. Par.1)

Seandainya tidak dinyatakan oleh sang Buddha, tentu pernyataan seperti itu akan dinilai sebagai suatu bentuk kesombongan. Coba bayangkan, apa reaksi umat seandainya ada seseorang di zaman ini yang mengatakan hal sebagaimana yang dikatakan oleh sang Buddha tersebut? Dan mengapa reaksinya demikian?

bagaimana dengan tanggapan seperti ini
QuotePada suatu ketika Sang Bhagavā sedang berdiam di Vesālī di Hutan Besar di Aula Beratap Lancip.[1] Pada saat itu Yang Mulia Anurādha sedang berdiam di sebuah gubuk di hutan tidak jauh dari Sang Bhagavā. Kemudian sejumlah pengembara dari sekte lain mendekati Yang Mulia Anurādha dan saling bertukar sapa dengannya. Ketika mereka menutup ramah-tamah itu, mereka duduk di satu sisi dan berkata kepadanya:

"Sahabat Anurādha, ketika seorang Tathāgata menggambarkan seorang Tathāgata – jenis individu tertinggi, manusia tertinggi, pencapai pencapaian tertinggi[2] – Beliau menggambarkan-Nya sehubungan dengan empat kasus berikut ini: 'Sang Tathāgata ada setelah kematian,' atau 'Sang Tathāgata tidak ada setelah kematian,' atau 'Sang Tathāgata ada dan tidak ada setelah kematian,' atau 'Sang Tathāgata bukan ada juga bukan tidak ada setelah kematian.'"

Ketika hal ini dikatakan, Yang Mulia Anurādha berkata kepada para pengembara itu: 'Sahabat-sahabat, ketika seorang Tathāgata menggambarkan seorang Tathāgata – jenis individu tertinggi, manusia tertinggi, pencapai pencapaian tertinggi – Beliau menggambarkanNya terlepas dari empat kasus berikut ini: 'Sang Tathāgata ada setelah kematian,' atau 'Sang Tathāgata tidak ada setelah kematian,' atau 'Sang Tathāgata ada dan tidak ada setelah kematian,' atau 'Sang Tathāgata bukan ada juga bukan tidak ada setelah kematian.'"[3]

Ketika hal ini dikatakan, para pengembara itu berkata kepada Yang Mulia Anurādha: "Bhikkhu ini pasti baru ditahbiskan, belum lama meninggalkan keduniawian, atau, jika ia adalah seorang bhikkhu senior, ia pasti seorang dungu yang tidak kompeten."

Kemudian para pengembara dari sekte lain itu, setelah merendahkan Yang Mulia Anurādha dengan sebutan "baru ditahbiskan" dan "dungu" bangkit dari duduknya dan pergi.

Kemudian, tidak lama setelah para pengembara itu pergi, Yang Mulia Anurādha berpikir: "Jika para pengembara dari sekte lain itu bertanya lebih jauh, bagaimanakah aku harus menjawab jika aku harus mengatakan apa yang telah dikatakan oleh Sang Bhagavā dan tidak salah memahaminya dengan apa yang berlawanan dengan fakta? Dan bagaimanakah aku harus menjelaskan sesuai dengan Dhamma, agar tidak memberikan celah bagi kritikan?"

Kemudian Yang Mulia Anurādha mendekati Sang Bhagavā, memberi hormat kepadaNya, duduk di satu sisi, dan melaporkan segalanya yang terjadi kepada Sang Bhagavā, dan menanyakan: "Jika para pengembara dari sekte lain itu bertanya lebih jauh, bagaimanakah aku harus menjawab ... agar tidak memberikan celah bagi kritikan?"

"Bagaimana menurutmu, Anurādha, apakah bentuk adalah kekal atau tidak kekal?" – "Tidak kekal, Yang Mulia."... – "Oleh karena itu ... Melihat demikian ... Ia memahami: '... tidak ada lagi kondisi bagi makhluk ini.'

"Bagaimana menurutmu, Anurādha, apakah engkau menganggap bentuk sebagai Sang Tathāgata?" – "Tidak, Yang Mulia." – "Apakah engkau menganggap perasaan ... persepsi ... bentukan-bentukan kehendak ... kesadaran sebagai Sang Tathāgata?" – "Tidak, Yang Mulia."

"Bagaimana menurutmu, Anurādha, apakah engkau menganggap Sang Tathāgata sebagai di dalam bentuk?" – "Tidak, Yang Mulia." – "Apakah engkau menganggap Sang Tathāgata terpisah dari bentuk?" –

"Tidak, Yang Mulia." "Apakah engkau menganggap Sang Tathāgata sebagai di dalam perasaan? Terpisah dari perasaan? Sebagai di dalam persepsi? Terpisah dari persepsi? Sebagai di dalam bentukan-bentukan kehendak? Terpisah dari bentukan-bentukan kehendak? Sebagai di dalam kesadaran? Terpisah dari kesadaran?" – "Tidak, Yang Mulia."

"Bagaimana menurutmu, Anurādha, apakah engkau menganggap bentuk, perasaan, persepsi, bentukan-bentukan kehendak, kesadaran [secara keseluruhan] sebagai Sang Tathāgata?" – "Tidak, Yang Mulia."

"Bagaimana menurutmu, Anurādha, apakah engkau menganggap Sang Tathāgata sebagai seorang yang tanpa bentuk, tanpa perasaan, tanpa persepsi, tanpa bentukan-bentukan kehendak, tanpa kesadaran?" – "Tidak, Yang Mulia."

"Tetapi, Anurādha, jika Sang Tathāgata tidak engkau pahami sebagai nyata dan sebenar-benarnya di sini dalam kehidupan ini, pantaskah engkau menyatakan: 'Sahabat-sahabat, ketika seorang Tathāgata menggambarkan seorang Tathāgata – jenis individu tertinggi, manusia tertinggi, pencapai pencapaian tertinggi - Beliau menggambarkanNya terlepas dari empat kasus berikut ini: 'Sang Tathāgata ada setelah kematian,' atau ... 'Sang Tathāgata bukan ada juga bukan tidak ada setelah kematian.'?"

"Tidak, Yang Mulia."

"Bagus, bagus, Anurādha! Sebelumnya, Anurādha, dan juga saat ini, Aku hanya mengajarkan penderitaan dan lenyapnya penderitaan."[4]

SN 22.86   Anurādha Sutta
[spoiler]http://dhammacitta.org/dcpedia/SN_22.86:_Anur%C4%81dha_Sutta[/spoiler]
Namo Mahakarunikaya Avalokitesvaraya, Semoga dengan cepat saya mengetahui semua ajaran Dharma,berada dalam perahu Prajna,mencapai Sila, Samadhi, dan Prajna,berada dalam kediaman tanpa perbuatan,bersatu dengan Tubuh Agung Dharma

Kang_Asep

perhatikan, apa yang terjadi pada Dalai Lama. bagi pengikutnya, ia adalah manusia sempurna "buddha yang hidup". dengarkan kata manusia lainnya, katanya "ia adalah penganut aliran sesat". Selalu ada jalan bagi bagi orang yang di dalam batinnya terdapt Sekka, yaitu kecenderungan mental untuk selalu menentang dan mempersalahkan orang lain.

Yani Puk

Quote from: Kang_Asep on 29 December 2011, 08:15:36 PM
perhatikan, apa yang terjadi pada Dalai Lama. bagi pengikutnya, ia adalah manusia sempurna "buddha yang hidup". dengarkan kata manusia lainnya, katanya "ia adalah penganut aliran sesat". Selalu ada jalan bagi bagi orang yang di dalam batinnya terdapt Sekka, yaitu kecenderungan mental untuk selalu menentang dan mempersalahkan orang lain.

kita harus bisa kan dnk pak antara dalai lama dan kang asep...
Dalai lama kan sesuai dengan apa yang dilakukannya... terutama bagaimana dia menyatukan beberapa negara agar tidak berperang (itu yang saya tahu).
Ya semua bisa kelihatan dari tindak tanduk orang itu.. klo kelakuan kagak jelas gmn terus ngaku2 Buddha, siapa jg yang percaya?!

Kang_Asep

Quote from: Yani Puk on 29 December 2011, 08:33:26 PM
kita harus bisa kan dnk pak antara dalai lama dan kang asep...
Dalai lama kan sesuai dengan apa yang dilakukannya... terutama bagaimana dia menyatukan beberapa negara agar tidak berperang (itu yang saya tahu).
Ya semua bisa kelihatan dari tindak tanduk orang itu.. klo kelakuan kagak jelas gmn terus ngaku2 Buddha, siapa jg yang percaya?!

mengapa tidak semua umat buddhis setuju dengan ajaran dalai lama?
mengapa sebagian kelompok buddhis menganggap Dalai Lama sebagai penganut aliran sesat?

Yani Puk

Quote from: Kang_Asep on 29 December 2011, 09:00:31 PM
mengapa tidak semua umat buddhis setuju dengan ajaran dalai lama?
mengapa sebagian kelompok buddhis menganggap Dalai Lama sebagai penganut aliran sesat?

semua pasti ada pro kontra nya Kang...
Seperti aliran theravada dan mahayana atau dengan Buddhayana
Klo saya kasih permisalan itu seperti Gula
Gula kan banyak jenis nya: ada gula jawa, gula import, gula pasir, gula merah,
Tapi intinya sama : Manis
Seperti itu pula ajaran Buddha
Walaupun berbeda2 tapi intinya sama

stephen chow

Quote from: Kang_Asep on 29 December 2011, 09:00:31 PM
mengapa tidak semua umat buddhis setuju dengan ajaran dalai lama?
mengapa sebagian kelompok buddhis menganggap Dalai Lama sebagai penganut aliran sesat?
saya sih gk tahu seperti apa dalai lama..

SEMUA UMAT BUDDHIS apakah tindak tanduknya sesuai ajaran Sang Buddha..

Menjadi Baik adalah moralitas sejati..
Berbuat Baik adalah mungkin sekadar jalan menuju tujuan..
Y.M. Dr. H. Saddhatissa..