SARAN yg "BAIK"?

Started by inJulia, 28 November 2011, 12:54:03 AM

Previous topic - Next topic

0 Members and 1 Guest are viewing this topic.

inJulia

Namo Buddhaya,

Mohon masukan teman2 sedhamma.


Bila di masyarakat umum, ketika kita menyarankan agar sertifikat tanah seseorang diperbaharui agar sesuai dengan Undang-undang yang berlaku, kemudian kita tambahkan dengan saran, agar nama di sertifikat yang baru nantinya memakai nama kita, dengan alasan: melindungi, ikut menjaga, menolong, mewakili atau alasan apapun.


Memang itu hanya sekedar SARAN, tak ada unsur paksaan, tak ada kata meminta, mengambil alih, yang tertera di saran itu JUSTRU niat baik kita. Apakah dengan demikian saran tersebut akan bermakna positif menurut para bijaksana?

Secara logika masyarakat umum,
Itu trik, taktik meminta yang tidak transparans, terselubung, tidak ada unsur mendewasakan, membimbing, mencerdaskan sedikitpun, bila tak bisa disebut sebagai pembodohan. Kita, Pemberi Saran telah SENGAJA MENGAMBIL POSISI BURUK yang sangat terbuka lebar untuk menerima berbagai tudingan miring. Bahwa kita telah MENCOBA melakukan pengelabuan, memanfaatkan kedunguan orang lain. Kita mempertaruhkan reputasi kita. Posisi buruk yang mestinya kita semua hindari demi menjaga nama baik, dan agar tidak dijadikan contoh, teladan, pembenaran oleh siapapun. Sangat gamblang dan jelas.


Bagimana menurut teman2, setuju atau tidak dengan pemahaman di atas?

Thanks

Indra

Quote from: inJulia on 28 November 2011, 12:54:03 AM
Namo Buddhaya,

Mohon masukan teman2 sedhamma.


Bila di masyarakat umum, ketika kita menyarankan agar sertifikat tanah seseorang diperbaharui agar sesuai dengan Undang-undang yang berlaku, kemudian kita tambahkan dengan saran, agar nama di sertifikat yang baru nantinya memakai nama kita, dengan alasan: melindungi, ikut menjaga, menolong, mewakili atau alasan apapun.

apapun alasannya, tetap saja mencurigakan.
karena sesungguhnya satu2nya alasan mengapa "nama kita" harus ada dalam sertifikat adalah agar "kita" memiliki tanah itu.

Quote
Memang itu hanya sekedar SARAN, tak ada unsur paksaan, tak ada kata meminta, mengambil alih, yang tertera di saran itu JUSTRU niat baik kita. Apakah dengan demikian saran tersebut akan bermakna positif menurut para bijaksana?

sangat tidak positif, baca satu2nya alasan di atas, dan alasan ini dengan mudah ditebak oleh siapa pun juga.

Quote
Secara logika masyarakat umum,
Itu trik, taktik meminta yang tidak transparans, terselubung, tidak ada unsur mendewasakan, membimbing, mencerdaskan sedikitpun, bila tak bisa disebut sebagai pembodohan. Kita, Pemberi Saran telah SENGAJA MENGAMBIL POSISI BURUK yang sangat terbuka lebar untuk menerima berbagai tudingan miring. Bahwa kita telah MENCOBA melakukan pengelabuan, memanfaatkan kedunguan orang lain. Kita mempertaruhkan reputasi kita. Posisi buruk yang mestinya kita semua hindari demi menjaga nama baik, dan agar tidak dijadikan contoh, teladan, pembenaran oleh siapapun. Sangat gamblang dan jelas.[/color]
"kita" memang mempertaruhkan reputasi, dll. tapi cukup sepadan dengan hasilnya jika "seseorang" itu menuruti  saran "kita"


inJulia

Quote from: Indra on 28 November 2011, 01:12:14 AM

"kita" memang mempertaruhkan reputasi, dll. tapi cukup sepadan dengan hasilnya jika "seseorang" itu menuruti  saran "kita"

kalau "kita" mempertaruhkan NAMA LUHUR kita demi sesuatu yg "kita" anggap sangat luar biasa berharganya, masih wajar, logis. tapi kalau demi HAL KEDUNIAWIAN, yg relatif sangat kecil nilainya???

Saya betul2 tidak mengerti....  :'(
Bingung......

adi lim

Quote from: inJulia on 28 November 2011, 02:09:26 AM
kalau "kita" mempertaruhkan NAMA LUHUR kita demi sesuatu yg "kita" anggap sangat luar biasa berharganya, masih wajar, logis. tapi kalau demi HAL KEDUNIAWIAN, yg relatif sangat kecil nilainya???

Saya betul2 tidak mengerti....  :'(
Bingung......

Hak Kepemilikan secara Kebenaran Umum/Duniawi adalah Benar

tapi dilihat dari Kebenaran Mutlak adalah Ini Bukan Milikku karena jelas tidak ada Aku dan Diriku, hanya para Arahant yang bisa 'melihat' dengan jelas hal demikian,
umat awam hanya bisa merenungkan tapi belum mampu 'melihat'

keputusan ada ditangan pemilik, ingin melepas atau mengenggam !  :)
Seringlah PancaKhanda direnungkan sebagai Ini Bukan MILIKKU, Ini Bukan AKU, Ini Bukan DIRIKU, bermanfaat mengurangi keSERAKAHan, mengurangi keSOMBONGan, Semoga dapat menjauhi Pandangan SALAH.

inJulia

Quote from: adi lim on 28 November 2011, 05:47:57 AM
Hak Kepemilikan secara Kebenaran Umum/Duniawi adalah Benar

tapi dilihat dari Kebenaran Mutlak adalah Ini Bukan Milikku karena jelas tidak ada Aku dan Diriku, hanya para Arahant yang bisa 'melihat' dengan jelas hal demikian,
umat awam hanya bisa merenungkan tapi belum mampu 'melihat'

keputusan ada ditangan pemilik, ingin melepas atau mengenggam !  :)
:-)  ya, Anatta.  :-)
Tapi kalo konsep itu diterapkan, maka saran, cetana untuk meminta, apalagi tindakkan memberi saran (yg intinya meminta) itu sudah tentu tidak akan muncul?  :-) jd ini terlalu di awang2....

saya tulis,"Secara logika masyarakat umum, ..."
itu standard etika masyarakat pada umumnya.  Logikanya, dalam lingkup spiritual, standard yg mesti diterapkan adalah yg lebih luhur.

thanks _/\_

Indra

Quote from: inJulia on 28 November 2011, 06:17:52 AM
:-)  ya, Anatta.  :-)
Tapi kalo konsep itu diterapkan, maka saran, cetana untuk meminta, apalagi tindakkan memberi saran (yg intinya meminta) itu sudah tentu tidak akan muncul?  :-) jd ini terlalu di awang2....

saya tulis,"Secara logika masyarakat umum, ..."
itu standard etika masyarakat pada umumnya.  Logikanya, dalam lingkup spiritual, standard yg mesti diterapkan adalah yg lebih luhur.

thanks _/\_

tidak perlu terlalu muluk2 begitu, tidak ada hubungannya dengan anatta atau keluhuran di sini. alasan satu2nya untuk memiliki suatu aset tentu saja adalah "keserakahan". jujurlah pada diri sendiri, coba kita balik alasan "kita" ini, apakah alasan: "melindungi, ikut menjaga, menolong, mewakili" ini tidak dapat dilakukan tanpa pencantuman nama "kita" dalam sertifikat? jika jawabannya "dapat" maka tentu ada alasan lain yg sangat mudah ditebak. tapi walaupun orang lain tidak dapat menebaknya, kenapa "kita" tidak jujur saja mengungkapkan alasa yg sebenarnya?

inJulia

Quote from: inJulia on 28 November 2011, 12:54:03 AM
Bila di masyarakat umum, ketika kita menyarankan agar sertifikat tanah seseorang diperbaharui agar sesuai dengan Undang-undang yang berlaku, kemudian kita tambahkan dengan saran, agar nama di sertifikat yang baru nantinya memakai nama kita, dengan alasan: melindungi, ikut menjaga, menolong, mewakili atau alasan apapun.


Memang itu hanya sekedar SARAN, tak ada unsur paksaan, tak ada kata meminta, mengambil alih, yang tertera di saran itu JUSTRU niat baik kita. Apakah dengan demikian saran tersebut akan bermakna positif menurut para bijaksana?

Secara logika masyarakat umum,
Itu trik, taktik meminta yang tidak transparans, terselubung, tidak ada unsur mendewasakan, membimbing, mencerdaskan sedikitpun, bila tak bisa disebut sebagai pembodohan. Kita, Pemberi Saran telah SENGAJA MENGAMBIL POSISI BURUK yang sangat terbuka lebar untuk menerima berbagai tudingan miring. Bahwa kita telah MENCOBA melakukan pengelabuan, memanfaatkan kedunguan orang lain. Kita mempertaruhkan reputasi kita. Posisi buruk yang mestinya kita semua hindari demi menjaga nama baik, dan agar tidak dijadikan contoh, teladan, pembenaran oleh siapapun. Sangat gamblang dan jelas.


Saya sudah bold, kita tak boleh mengeneralisir agar semua harus setuju dengan pandangan umum di atas. Maka:

Itu MEMANG secara logika masyarakat umum, tapi dalam lingkup Sangha, Pertapa yang melepaskan keduniawian, Pembina Dhamma-Vinaya, Pemberi suri tauladan, bagaimana CARA MEMINTA yang terpuji oleh para bijaksana, kami tentunya tidak berani dan tidak kompeten berkomentar apapun. Bila satu sikap dan tindakan (meminta, mengejar jabatan/wewenang dalam lingkup spiritual, misalnya) bagi Perumah tangga saja sudah dianggap buruk, anggapan kami selama ini, maka Pertapa yang melepaskan keduniawian pasti akan lebih berusaha keras menghindari sikap dan tindakan tersebut. Apalagi dengan cara-cara yang kurang wajar (main sikut dan depak). Ini membunuh karakter sendiri dan sangat kontraproduktif dalam pembinaan Umat, karena jelas-jelas menginjak dan mengabaikan semua materi pembinaan sendiri.

Umat awam tidak tahu, kurang mengerti jalan pikiran pertapa, serta tidak berhak mengatur siapapun, yang bisa dilakukan sekedar menyampaikan feedback, sebagai bahan evaluasi dan pertimbangan.


^:)^

inJulia

Quote from: Indra on 28 November 2011, 07:37:09 AM
tidak perlu terlalu muluk2 begitu, tidak ada hubungannya dengan anatta atau keluhuran di sini. alasan satu2nya untuk memiliki suatu aset tentu saja adalah "keserakahan". jujurlah pada diri sendiri, coba kita balik alasan "kita" ini, apakah alasan: "melindungi, ikut menjaga, menolong, mewakili" ini tidak dapat dilakukan tanpa pencantuman nama "kita" dalam sertifikat? jika jawabannya "dapat" maka tentu ada alasan lain yg sangat mudah ditebak. tapi walaupun orang lain tidak dapat menebaknya, kenapa "kita" tidak jujur saja mengungkapkan alasa yg sebenarnya?
Bagus, Anda cukup hati2 (memberi tanda kutip pada yg saya bold), kita tidak tahu NIAT, CETANA orang lain. Yang bisa kita lakukan adaalah menyampaikan pandangan kita, minta konfirmasi dan penjelasan.

Itu sudah saya pikirkan bro Indra.

Untuk membantu satu organisasi, yayasan melindungi assetnya, mestinya masih ada cara yang lebih selaras dengan nilai-nilai etika masyarakat serta Dhamma-Vinaya dibanding meminta assetnya dengan melakukan pendepakan. Sepengetahuan kami, Sifat dari pembinaan adalah bimbingan, memandirikan, mendewasakan, mencerdaskan, bukan pengambilalihan tanggung jawab. Kami yakin SSS mampu membina, mendewasakan, memandirikan, mencerdaskan Umatnya untuk menjaga, melindungi asset vihara, yayasannya. Kalau ada anggota SSS merasa tidak mampu membina umatnya, merasa tidak mampu mendewasakan umatnya melindungi assetnya , maka :
•   yang rendah hati akan belajar lebih giat lagi;
•   tapi yang arogan akan mengkambing hitamkan, mendepak umatnya sendiri.


_/\_

johan3000

QuoteBila di masyarakat umum, ketika kita menyarankan agar sertifikat tanah seseorang diperbaharui agar sesuai dengan Undang-undang yang berlaku, kemudian kita tambahkan dengan saran, agar nama di sertifikat yang baru nantinya memakai nama kita, dengan alasan: melindungi, ikut menjaga, menolong, mewakili atau alasan apapun.

selain pakai nama "KITA", adakah pilihan lainnya ?
kenapa kepemilikan atas nama yayasan tidak baik ? why ?
:-[
Nagasena : salah satu dari delapan penyebab matangnya kebijaksanaan dgn seringnya bertanya

inJulia

Quote from: johan3000 on 28 November 2011, 09:43:34 AM
selain pakai nama "KITA", adakah pilihan lainnya ?
Itu sekedar pengganti kata "seseorang" atau "satu organisasi", saja.

Quote from: johan3000 on 28 November 2011, 09:43:34 AM
kenapa kepemilikan atas nama yayasan tidak baik ? why ?
:-[
Tidak ada yg bilang demikian, bro Johan.  :)
Justru vihara umum harus mendirikan yayasan.

Kalau vihara pribadi, maka tentu saja boleh dikelola sesuka hati dan no problem.
_/\_

johan3000

maksudnya saran utk mengubah dari 2 orang penyumbang (tanah) menjadi nama yayasan ?
Nagasena : salah satu dari delapan penyebab matangnya kebijaksanaan dgn seringnya bertanya

inJulia

Quote from: johan3000 on 28 November 2011, 01:06:48 PM
maksudnya saran utk mengubah dari 2 orang penyumbang (tanah) menjadi nama yayasan ?
Yang menyumbangkan tanah suami istri, dan suaminya ikut duduk dalam Badan Pendiri Yayasan.
Tanah tersebut sudah di Hibah wasiatkan ke YYY, dg akta Notaris. hanya belum dibalik nama. Sertifikat masih atas nama donatur.

Singkat kata, terjadi perbedaan pendapat antara Donatur tanah dg anggota Badan Pendiri yg lain. 1: 8 orang. Musyawarah Sang Donatur kalah suara. Di sinilah kejeniusannya: ia menghibahkan tanah tersebut ke Sangha. Di sinilah kami sangat terkejut, sangha bersedia mendukung niat Donatur. Kami dibenturkan ke Sangha.

Sesuai perubahan UU tentang Yayasan, semua yayasan harus memperbaharui diri, dan disinilah istilah badan Pendiri diganti dengan Badan Pembina. Ini aturan pemerintah. Karena terlambat, yayasan kami kadaluarsa. Tapi logika, etika, Dhamma: bagaimana status asset YYY? apakah ini menjadi barang tak bertuan yg boleh seorang Buddhist main rebut, atau klaim???



Tapi, apakah sampai terdengar ke SSS atau tidak, Umat binaan SSS (bahkan mungkin masyarakat umum) ingin klarifikasi, konfirmasi dari SSS, untuk pedoman sikap dan tindakan kami:
•   Apakah menurut SSS, dana yang sudah diberikan kepada satu pihak (yayasan, vihara, atau organisasi--baik berbadan hukum maupun tidak berbadan hukum--masih boleh dioperkan lagi ke pihak lain tanpa ijin dari penerima dana pertama? Secara etika masyarakat, hukum formal, Dhamma itu tidak wajar. Sikap, niat, rencana serta tindakan yang mestinya dicegah, ditegur oleh para bijaksana.

•   Apa kapasitas Bapak, Ibu SM sehingga SSS bersedia melakukan kesepakatan dengan beliau untuk mengambil alih wewenang dan asset YYY dengan cara mendepak kami? Dengan membuat kesepakatan pengambilalihan wewenang satu organisasi/yayasan, DENGAN YANG TIDAK BERHAK, berarti SSS telah mengambil posisi yang terbuka lebar untuk menerima berbagai macam tudingan miring. Posisi buruk dan teladan yang buruk, yang mestinya kita semua hindari. Dengan Saran SSS ini, SSS mempertaruhkan nama mulia SSS, entah demi apa.

Itu yang sudah membuat penyerahan hitam di atas putih (tertulis bahkan di notaris dg Akta Hibah Wasiat), apalagi dana yang diberikan begitu saja tanpa hitam di atas putih, tentu semakin banyak dalih yang bisa dibuat-buat oleh para Donatur. Tak terbayangkan kacaunya seluruh vihara dan Yayasan di bawah binaan SSS, KALAU hal ini memang SSS setujui, benarkan dan dukung.

Kami sadar, Yayasan kami bermasalah dari segi Hukum formal, tapi kita dalam lingkup PEMBINAAN(!) Ajaran Sang Buddha, tentu kita bukan hanya melulu melihat dari sudut pandang/acuan Hukum formal, yang mungkin mempunyai celah untuk disiasati oleh seorang ahli hukum bayaran. (SMS Mister Notaris masih kami simpan, bahwa ia membantu/bekerja karena profesinya. Demi asap dapur, sangat patut kita maklumi dan tak patut dihalangi). Masih ada sudut pandang etika moral masyarakat dan terutama Dhamma-Vinaya (Wakil Sang Buddha) sebagai ACUAN, OTORITAS TERTINGGI bagi kita semua, Umat Buddha. Artinya, lemahnya keabsahan status Badan Hukum secara hukum formal, tidak boleh dijadikan ALASAN, PEMBENARAN oleh para donatur YYY (atau siapapun) mengambil apa yang sudah didanakan kepada YYY, TANPA SEIJIN YYY (baca: melawan etika moral masyarakat dan Dhamma-Vinaya). Hal yang sangat amat gamblang mestinya bagi kita semua yang netral dan tidak punya konflik kepentingan.

Jangankan dana ke satu organisasi yang bukan berbadan hukum, bahkan dana kepada seorang anak kecilpun, setelah kita danakan padanya, setelah kita serahkan padanya, secara etika moral dan hukum formal, Dhamma-Vinaya, dana tersebut sudah bukan milik kita/donatur/pemberinya lagi. Mengambilnya—kembali--dan menyerahkan kepada pihak lain tanpa ijin dari anak kecil tersebut adalah pencurian, penggelapan, melawan etika masyarakat, melawan Hukum formal, melawan Dhamma-Vinaya. Dan pihak yang berani menerima barang curian, penggelapan tersebut disebut sebagai pertolongan jahat, alias penadahan. Secara etika masyarakat dan hukum formal itu kejahatan, Pidana, kriminal. Pasal PENGGELAPAN dan PENADAHAN. Dari sudut pandang Dhamma-Vinaya, SSS tentu lebih tahu maknanya. Sangat begitu amat gamblang dan jelas sekali, kalau kita tidak punya konflik kepentingan. Sangat ironis, kalau SSS bersedia dengan sengaja MENCOBA mengambil posisi yang demikian buruk.

Mungkin perlu kami tambahkan.
Hibah wasiat mungkin (kami bukan ahli hukum, dan tak merasa perlu menyewa, membuang dana untuk ini) memang bisa dibatalkan secara hukum. Memanipulasi, memanfaatkan celah hukum, bersilat lidah, trik2, bersiasat, untuk melakukan pembenaran. Tapi secara etika moral dan terutama Dhamma-Vinaya (acuan, pedoman otoritas tertinggi bagi kita semua) jelas dan gamblang itu tercela oleh para bijaksana. Siasat dan trik lihay bin jenius dari Sang Donatur, tapi tidak etis serta tercela oleh para bijaksana: Mengadu domba, Membenturkan para pihak. Sikap dan Tindakan semau gue yang kekanak-kanakan. Yang mestinya ditegur, dibina dan diluruskan oleh para bijaksana.

Kita ini dalam lingkup spiritual, bukan lingkup politik atau bisnis yang lebih bebas menerapkan cara, siasat, trik, taktik, manipulasi, ataupun mencari celah hukum. Celah hukum mungkin bisa disiasati, tapi etika moral dan Dhamma-Vinaya mesti disikapi dengan itikad baik dan kejujuran. Sekali PEMBINA mengijinkan, menyetujui dan mendukung sikap, trik dan taktik demikian, maka kita semua harus punya stamina yang tinggi untuk siap-siap saling balas adu trik dan siasat. Bukannya belajar, berlatih dan berbagi Dhamma.

Apalagi dalam konteks PEMBINAAN DHAMMA-VINAYA, SURI TAULADAN, jelas itu tindakan yang sangat negatif dan buruk sekali. Apa dampaknya buat semua vihara binaan SSS, bila sikap dan cara demikian SSS setujui, benarkan dan dukung? Tak bisa dibayangkan, bagaimana bila donatur yang sudah berdana kayu, pasir, bata, ketika dikemudian hari cekcok dan tidak cocok dengan pengurus viharanya, lalu TANPA IJIN dari Pengurus Vihara MENGAMBIL KEMBALI apa yang sudah didanakan lalu mendanakannya kepada vihara atau tempat ibadah lain, dengan berbagai dalih. Salah satu dalihnya, "SSS kan PERNAH membenarkan, menyetujui dan mendukung sikap dan tindakan Bpk, Ibu SM." Kami tidak ingin kekacauan ini terjadi, kewajiban kami untuk saling mengingatkan, dan turut menjaga keharuman nama SSS. Maaf.. maaf...

Di sinilah posisi kami menjadi serba salah, bila kami setujui saran SSS ini, sama dengan menjerumuskan SSS sendiri. Mendorong SSS ke posisi yang sangat buruk. Tapi bila kami tolak, semua Umat Buddhist akan menuding kami sebagai murid yang tidak mau mentaati saran gurunya sendiri. Bila kami diam saja, itu tidak etis, tidak menghormati Guru sendiri. Tapi bila kami paparkan pemahaman kami, kami bisa disebut lancang. Terjepit, serba salah. Semoga SSS bisa memaklumi dan memaafkan isi Surat ini. Demi kebahagiaan banyak orang.

inJulia

Please...

Apa yang sebaiknya saya lakukan?

_/\_

Indra

Quote from: inJulia on 28 November 2011, 02:42:30 PM
Please...

Apa yang sebaiknya saya lakukan?

_/\_

Bro, anda sudah tau apa yg sebaiknya anda lakukan, dan sejauh ini saya lihat anda juga sebenarnya menyetujui saran dari saya. anda hanya mencari dukungan, dan saya mendukung anda sepenuhnya. semoga berhasil

johan3000

apakah dpt ditambahkan satu point...
   bila X meninggal, maka milik tsb kembali ke yayasan ?
Nagasena : salah satu dari delapan penyebab matangnya kebijaksanaan dgn seringnya bertanya