Kriteria Guru yang Baik dan Buruk (Master Shengyen)

Started by sobat-dharma, 12 November 2011, 01:30:41 PM

Previous topic - Next topic

0 Members and 1 Guest are viewing this topic.

sobat-dharma

Quote from: Indra on 18 November 2011, 03:08:19 PM
jadi anda mengatakan bahwa tanpa praktik maka tidak ada yg namanya dukkha, tidak ada sumber dukkha, tidak ada lenyapnya dukkha, dst? tanpa praktikk maka tidak ada anicca, tidak ada anatta? demikiankah yg anda maksudkan ya? [pertanyaan ini dapat dijawab dengan ya atau tidak]

Tidak. Pengetahuan tentang Tilakkhana didapatkan oleh Sang Buddha dari praktik-Nya, karena itu dikatakan "Dharma ada karena praktik". Tanpa praktik, maka pengetahuan tentang Tilakkhana, hanya jadi kata-kata dan konsep, bukan pengetahuan sejati: Karena itu dikataka "Tidak ada Dharma tanpa Praktik."  Dari praktiklah kita kemudian mengenali Tilakkhana, melihatnya dan mengetahuinya berdasarkan pengalaman kita sendiri, seperti halnya sang Buddha mengenalinya dari praktik-Nya.
Mereka yang melihat-Ku dari wujud dan mengikuti-Ku dari suara terlibat dalam upaya salah. Mereka takkan melihat Aku. Dari Dharma-lah mestinya ia melihat Para Buddha. Dari Dharmakaya datang tuntunan baginya. Namun hakikat sejati Dharma tak terlihat dan tiada seorangpun bisa menyadarinya sebagai obyek

ryu

Quote from: sobat-dharma on 18 November 2011, 02:37:54 PM
Buddharma yang mengajarkan berpraktik dengan menjalankan sila, samadhi dan prajna.
hmmm, kalau yang mengajarkannya tidak menjalankan sila, samadhi, prajna dia hanya doktrin doang tanpa praktek, maka itu tetap budadrama atau bukan?
QuoteTergantung sutra mana yang kamu maksudkan.
semisal sutra bakti, itu budadarma bukan?
QuotePengetahuan bisa juga dari pengalaman realitas. Doktrin diuji oleh pengalaman realitas. Salah benarnya sebuah doktrin akan terbukti jika di dalam praktik tidak sesuai.
bagaimana kalau doktrin itu tidak bisa dibuktikan?
QuoteKarena guru yang "tidak nyata" (kalau seandainya demikian), sudah pasti lepas dari tanggungjawab berbuat begini atau begitu.  Semuanya bisa dikarang sesuai dengan prinsip yang seharusnya. Sedangkan guru yang nyata, atau guru yang kita kenal dan temui sehari-hari, selalu dibebani oleh penilaian orang lain pada perbuatannya, dan karena ia adalah manusia biasa, mungkin saja ia melakukan kesalahan.
tetap ada tanggung jawabnya, apalagi dengan penyebar yang merasa itu guru benar2 ada, dari semula berbohong, dan terus kebawah berbohong, akan menjadi tanggung jawab bersama, yang belajar akan mengajar dan menjadi guru pembohong.
Janganlah memperhatikan kesalahan dan hal-hal yang telah atau belum dikerjakan oleh diri sendiri. Tetapi, perhatikanlah apa yang telah dikerjakan dan apa yang belum dikerjakan oleh orang lain =))

Indra

Quote from: sobat-dharma on 18 November 2011, 03:12:54 PM
Tidak. Pengetahuan tentang Tilakkhana didapatkan oleh Sang Buddha dari praktik-Nya, karena itu dikatakan "Dharma ada karena praktik". Tanpa praktik, maka pengetahuan tentang Tilakkhana, hanya jadi kata-kata dan konsep, bukan pengetahuan sejati: Karena itu dikataka "Tidak ada Dharma tanpa Praktik."  Dari praktiklah kita kemudian mengenali Tilakkhana, melihatnya dan mengetahuinya berdasarkan pengalaman kita sendiri, seperti halnya sang Buddha mengenalinya dari praktik-Nya.

kenapa berbelok ke pengetahuan? saya tidak mengatakan tentang pengetahuan tentang tilakkhana, yg saya tanyakan apakah jika tidak ada praktik maka tidak ada anicca, anatta itu? ayolah jawaban ini hanya YES/NO, setelah itu baru boleh dijelaskan jika saya meminta penjelasan

morpheus

mengenai berlindung kepada figur dan makna berlindung untuk praktik, sepertinya theravada juga sependapat kok:

Quote
Therefore, Ananda, be islands unto yourselves, refuges unto yourselves, seeking no external refuge; with the Dhamma as your island, the Dhamma as your refuge, seeking no other refuge.
http://www.accesstoinsight.org/tipitaka/dn/dn.16.1-6.vaji.html

Quote
...
To take refuge in the Buddha means, not taking refuge in him as a person, but taking refuge in the fact of his Awakening: placing trust in the belief that he did awaken to the truth, that he did so by developing qualities that we too can develop, and that the truths to which he awoke provide the best perspective for the conduct of our life.
...
http://www.accesstoinsight.org/lib/authors/thanissaro/refuge.html

Quote
...
Another comparison: The sages of the past used the term 'Buddha-ratana,' comparing the Buddha to a jewel. Now, there are three sorts of jewels: artificial gems; gemstones, such as rubies or sapphires; and diamonds, which are held to be the highest. The aspects of the Buddha might be compared to these three sorts of jewels. To place confidence in the external aspect — the body of the Buddha or images made to represent him — is like dressing up with artificial gems. To show respect for the practices followed by the Buddha by giving rise to them within ourselves is like dressing up with rubies and sapphires. To reach the quality of deathlessness is like dressing in diamonds from head to toe.
...
http://www.accesstoinsight.org/lib/thai/lee/triplegem.html

jadi yah pola berpikirnya sejalan aja...
* I'm trying to free your mind, Neo. But I can only show you the door. You're the one that has to walk through it
* Neo, sooner or later you're going to realize just as I did that there's a difference between knowing the path and walking the path

Indra

Quote from: morpheus on 18 November 2011, 03:22:59 PM
mengenai berlindung kepada figur dan makna berlindung untuk praktik, sepertinya theravada juga sependapat kok:
http://www.accesstoinsight.org/tipitaka/dn/dn.16.1-6.vaji.html
http://www.accesstoinsight.org/lib/authors/thanissaro/refuge.html
http://www.accesstoinsight.org/lib/thai/lee/triplegem.html

jadi yah pola berpikirnya sejalan aja...

sebenarnya saya juga memahami hal ini memang sejalan antara theravada dan mahayana (bahkan dengan pengetahuan mahayana saya yg sangat minim), tapi entah kenapa Bro Sobat sangat enggan mengakui kalau mahayana juga berlindung pada Buddha (dengan kualitas-kualitas yg melekat pada figur Sang Buddha itu)

morpheus

Quote from: Indra on 18 November 2011, 03:26:02 PM
sebenarnya saya juga memahami hal ini memang sejalan antara theravada dan mahayana (bahkan dengan pengetahuan mahayana saya yg sangat minim), tapi entah kenapa Bro Sobat sangat enggan mengakui kalau mahayana juga berlindung pada Buddha (dengan kualitas-kualitas yg melekat pada figur Sang Buddha itu)
saya ngeliat yg anda berdua omongin itu sama aja. bahasa dan terminologi yg bikin gak nyambung...
* I'm trying to free your mind, Neo. But I can only show you the door. You're the one that has to walk through it
* Neo, sooner or later you're going to realize just as I did that there's a difference between knowing the path and walking the path

sobat-dharma

#126
Quote from: ryu on 18 November 2011, 03:19:39 PM
hmmm, kalau yang mengajarkannya tidak menjalankan sila, samadhi, prajna dia hanya doktrin doang tanpa praktek, maka itu tetap budadrama atau bukan?

Kalau doktrin yang diajarkan selaras dengan sila, samadhi dan prajna, maka kalau kita mempraktikkannya, maka itu tetap jadi Buddhadharma.

Quote from: ryu on 18 November 2011, 03:19:39 PM
semisal sutra bakti, itu budadarma bukan?
Pesan singkat bahwa kita harus bersyukur dan berterimakasih secara tulus dan sepenuh hati kepada orang yang berjasa kepada kita dalam "sutra palsu" tersebut selaras dengan Buddhadharma. Karena kalau hati kita selalu dipenuhi oleh rasa syukur dan terimakasih, maka akan mencegah kita dari keangkuhan egosentrik.

Quote from: ryu on 18 November 2011, 03:19:39 PM
bagaimana kalau doktrin itu tidak bisa dibuktikan?tetap ada tanggung jawabnya, apalagi dengan penyebar yang merasa itu guru benar2 ada, dari semula berbohong, dan terus kebawah berbohong, akan menjadi tanggung jawab bersama, yang belajar akan mengajar dan menjadi guru pembohong.

Guru yang dimaksud oleh Master Sheng-yen adalah guru nyata yang kita temui orangnya langsung dalam kehidupan kita, bukan sekadar kita baca dari buku atau dengar dari orang lain. Jadi sudah pasti adalah figur nyata.

Kalau guru yang tidak nyata, misalnya hanya merupakan tokoh simbolisasi belaka, penciptaannya tidak bisa disamakan dengan berbohong. Ibaratnya sama dengan mengarang tokoh fiksi dana suatu novel. Pengarang itu tidak berbohong, ia hanya mengimajinasikan tokoh tersebut berdasarkan kombinasi antara bayangan di kepalanya dan berbagai hal (bisa nilai, prinsip atau apapun) yang ia kenal atau temukan dalam dunia nyata. Tokoh itu memang tidak nyata, dan hanya merupakan kulit pembalut bagi kualitas-kualitas positif yang hendak digambarkan atau disampaikan melaluinya. Akan tetapi, meski tokohnya sekalipun adalah fiktif, sebenarnya di dalamnya terdapat nilai2 dan ajaran yang bisa jadi bisa fit-in dengan realitas.

Mereka yang melihat-Ku dari wujud dan mengikuti-Ku dari suara terlibat dalam upaya salah. Mereka takkan melihat Aku. Dari Dharma-lah mestinya ia melihat Para Buddha. Dari Dharmakaya datang tuntunan baginya. Namun hakikat sejati Dharma tak terlihat dan tiada seorangpun bisa menyadarinya sebagai obyek

sobat-dharma

Quote from: Indra on 18 November 2011, 03:22:51 PM
kenapa berbelok ke pengetahuan? saya tidak mengatakan tentang pengetahuan tentang tilakkhana, yg saya tanyakan apakah jika tidak ada praktik maka tidak ada anicca, anatta itu? ayolah jawaban ini hanya YES/NO, setelah itu baru boleh dijelaskan jika saya meminta penjelasan

Meskipun seandainya tilakkhana ada secara obyektif, tanpa ada yang megetahuinya dan menjadikannya pengetahuan sebenarnya maka tidak akan ada yang mengenalinya. Dengan jalan praktik-lah sang Buddha mengenali Tilakkhana dan kemudian disadurkan ke dalam pengetahuan yang bisa dipahami manusia.

Kalau soal Ya?tidak. Kan sudah kujawab "Tidak". Bro Indra, mau konfirmasi pemahaman saya atau sekadar mau mendesakkan pemahaman Bro Indra pada saya?
Mereka yang melihat-Ku dari wujud dan mengikuti-Ku dari suara terlibat dalam upaya salah. Mereka takkan melihat Aku. Dari Dharma-lah mestinya ia melihat Para Buddha. Dari Dharmakaya datang tuntunan baginya. Namun hakikat sejati Dharma tak terlihat dan tiada seorangpun bisa menyadarinya sebagai obyek

sobat-dharma

Quote from: morpheus on 18 November 2011, 03:31:41 PM
saya ngeliat yg anda berdua omongin itu sama aja. bahasa dan terminologi yg bikin gak nyambung...


Sepakat, saya juga melihat hal yang sama.
Mereka yang melihat-Ku dari wujud dan mengikuti-Ku dari suara terlibat dalam upaya salah. Mereka takkan melihat Aku. Dari Dharma-lah mestinya ia melihat Para Buddha. Dari Dharmakaya datang tuntunan baginya. Namun hakikat sejati Dharma tak terlihat dan tiada seorangpun bisa menyadarinya sebagai obyek

sobat-dharma

Quote from: Indra on 18 November 2011, 03:26:02 PM
sebenarnya saya juga memahami hal ini memang sejalan antara theravada dan mahayana (bahkan dengan pengetahuan mahayana saya yg sangat minim), tapi entah kenapa Bro Sobat sangat enggan mengakui kalau mahayana juga berlindung pada Buddha (dengan kualitas-kualitas yg melekat pada figur Sang Buddha itu)

Saya konsisten pada pandangan bahwa berlindung pada kualitas Sang Buddha, bukan berlindung pada figur: To take refuge in the Buddha means, not taking refuge in him as a person, but taking refuge in the fact of his Awakening
Mereka yang melihat-Ku dari wujud dan mengikuti-Ku dari suara terlibat dalam upaya salah. Mereka takkan melihat Aku. Dari Dharma-lah mestinya ia melihat Para Buddha. Dari Dharmakaya datang tuntunan baginya. Namun hakikat sejati Dharma tak terlihat dan tiada seorangpun bisa menyadarinya sebagai obyek

Indra

Quote from: sobat-dharma on 18 November 2011, 03:37:57 PM
Meskipun seandainya tilakkhana ada secara obyektif, tanpa ada yang megetahuinya dan menjadikannya pengetahuan sebenarnya maka tidak akan ada yang mengenalinya. Dengan jalan praktik-lah sang Buddha mengenali Tilakkhana dan kemudian disadurkan ke dalam pengetahuan yang bisa dipahami manusia.

Kalau soal Ya?tidak. Kan sudah kujawab "Tidak". Bro Indra, mau konfirmasi pemahaman saya atau sekadar mau mendesakkan pemahaman Bro Indra pada saya?

thanks atas konfirmasinya,

coba perhatikan kutipan berikut ini
Quote
"O, para bhikkhu, apakah para Tathāgata muncul di dunia atau tidak,
terdapat hukum yang tetap dari segala sesuatu [dhamma],
terdapat hukum yang pasti dari segala sesuatu, bahwa:
SEGALA YANG TERBENTUK adalah TIDAK KEKAL."
[sabbe saṅkhārā aniccā"ti]

Tathāgata mengetahui dan mengerti sepenuhnya hal itu,
Setelah sepenuhnya mengetahui dan mengerti,
Ia Memaklumkannya, Menunjukkannya,Menegaskan, Menandaskan,Menjelaskan, Menguraikan, dan Membentangkan bahwa:
SEGALA YANG TERBENTUK adalah TIDAK KEKAL."
[sabbe saṅkhārā aniccā"ti]


"O, para bhikkhu, apakah para Tathāgata muncul di dunia atau tidak,
terdapat hukum yang tetap dari segala sesuatu [dhamma],
terdapat hukum yang pasti dari segala sesuatu, bahwa:
SEGALA YANG TERBENTUK adalah TIDAK MEMUASKAN."
[sabbe saṅkhārā dukkhā"ti]

Tathāgata mengetahui dan mengerti sepenuhnya hal itu,
Setelah sepenuhnya mengetahui dan mengerti,
Ia Memaklumkannya, Menunjukkannya,Menegaskan, Menandaskan,Menjelaskan, Menguraikan, dan Membentangkan bahwa:
SEGALA YANG TERBENTUK adalah TIDAK MEMUASKAN."
[sabbe saṅkhārā dukkhā"ti]


"O, para bhikkhu, apakah para Tathāgata muncul di dunia atau tidak,
terdapat hukum yang tetap dari segala sesuatu [dhamma],
terdapat hukum yang pasti dari segala sesuatu, bahwa:
SEGALA SESUATU (yang terbentuk maupun yang tidak terbentuk) adalah BUKAN DIRI/BUKAN PERSONAL."
[sabbe dhammā anattā"ti]

Tathāgata mengetahui dan mengerti sepenuhnya hal itu,
Setelah sepenuhnya mengetahui dan mengerti,
Ia Memaklumkannya, Menunjukkannya,Menegaskan, Menandaskan,Menjelaskan, Menguraikan, dan Membentangkan bahwa:
SEGALA SESUATU (yang terbentuk maupun yang tidak terbentuk) adalah BUKAN DIRI/BUKAN PERSONAL."
[sabbe dhammā anattā"ti]

bahkan tanpa adanya Buddha pun ketiga hukum itu (Anicca, Dukkha, Anatta) tetap berlaku, jadi darimana datangnya pemahaman anda bahwa tanpa pengetahuan itu maka tidak ada Anicca, Dukkha, Anatta?

Indra

Quote from: sobat-dharma on 18 November 2011, 03:40:28 PM
Saya konsisten pada pandangan bahwa berlindung pada kualitas Sang Buddha, bukan berlindung pada figur: To take refuge in the Buddha means, not taking refuge in him as a person, but taking refuge in the fact of his Awakening

nah ini hal yg baru anda ungkapkan sekarang, setelah sejak kemarin2 saya mempertanyakan makna "berlindung kepada Buddha" yg anda jawab dengan gaya bahasa berputar.

ryu

Quote from: sobat-dharma on 18 November 2011, 03:34:44 PM
Kalau doktrin yang diajarkan selaras dengan sila, samadhi dan prajna, maka kalau kita mempraktikkannya, maka itu tetap jadi Buddhadharma.
dan acuan sila samadhi prajna nya dari mana? secara kalau doktrinnya bohong, sesuai dengan sila tidak berbohong tidak?
QuotePesan singkat bahwa kita harus bersyukur dan berterimakasih secara tulus dan sepenuh hati kepada orang yang berjasa kepada kita dalam "sutra palsu" tersebut selaras dengan Buddhadharma. Karena kalau hati kita selalu dipenuhi oleh rasa syukur dan terimakasih, maka akan mencegah kita dari keangkuhan egosentrik.
jadi pesan untuk menyebarkan sutra berbohong merupakan selaras dengan budadarma gitu ya?

QuoteGuru yang dimaksud oleh Master Sheng-yen adalah guru nyata yang kita temui orangnya langsung dalam kehidupan kita, bukan sekadar kita baca dari buku atau dengar dari orang lain. Jadi sudah pasti adalah figur nyata.
ya setidaknya tetap harus di runut dari atasnya juga, kalau dari pertama gurunya sudah menceritakan kebohongan maka kebawahnya pun akan menceritakan kebohongan juga.
Sila tidak berbohong menjadi tidak ada artinya.

QuoteKalau guru yang tidak nyata, misalnya hanya merupakan tokoh simbolisasi belaka, penciptaannya tidak bisa disamakan dengan berbohong. Ibaratnya sama dengan mengarang tokoh fiksi dana suatu novel. Pengarang itu tidak berbohong, ia hanya mengimajinasikan tokoh tersebut berdasarkan kombinasi antara bayangan di kepalanya dan berbagai hal (bisa nilai, prinsip atau apapun) yang ia kenal atau temukan dalam dunia nyata. Tokoh itu memang tidak nyata, dan hanya merupakan kulit pembalut bagi kualitas-kualitas positif yang hendak digambarkan atau disampaikan melaluinya. Jadi meski tokoh yang fiktif sekalipun sebenarnya di dalamnya terdapat nilai2 dan ajaran yang bisa jadi bisa fit-in dengan realitas.
apa dalam budadarma ada term & condition, mana nyata mana tidak nyata?
ketika suatu umat "percaya" ini buda, ini nibbana, ini surga, ini ajaran buda, ini ajaran sesat, ini ajaran benar sejauh mana sila samadi prajna berlaku, secara sila samadi prajna itu sendiri dari ajaran itu sendiri, bagaimana cara pengujian budadarmanya
Janganlah memperhatikan kesalahan dan hal-hal yang telah atau belum dikerjakan oleh diri sendiri. Tetapi, perhatikanlah apa yang telah dikerjakan dan apa yang belum dikerjakan oleh orang lain =))

adi lim

#133
demikian tentang Dhammaniyama Sutta
[spoiler]
"O, para bhikkhu, apakah para Tathāgata muncul di dunia atau tidak,
terdapat hukum yang tetap dari segala sesuatu [dhamma],
terdapat hukum yang pasti dari segala sesuatu, bahwa:
SEGALA YANG TERBENTUK adalah TIDAK KEKAL."
[sabbe saṅkhārā aniccā"ti]

Tathāgata mengetahui dan mengerti sepenuhnya hal itu,
Setelah sepenuhnya mengetahui dan mengerti,
Ia Memaklumkannya, Menunjukkannya,Menegaskan, Menandaskan,Menjelaskan, Menguraikan, dan Membentangkan bahwa:
SEGALA YANG TERBENTUK adalah TIDAK KEKAL."
[sabbe saṅkhārā aniccā"ti]


"O, para bhikkhu, apakah para Tathāgata muncul di dunia atau tidak,
terdapat hukum yang tetap dari segala sesuatu [dhamma],
terdapat hukum yang pasti dari segala sesuatu, bahwa:
SEGALA YANG TERBENTUK adalah TIDAK MEMUASKAN."
[sabbe saṅkhārā dukkhā"ti]

Tathāgata mengetahui dan mengerti sepenuhnya hal itu,
Setelah sepenuhnya mengetahui dan mengerti,
Ia Memaklumkannya, Menunjukkannya,Menegaskan, Menandaskan,Menjelaskan, Menguraikan, dan Membentangkan bahwa:
SEGALA YANG TERBENTUK adalah TIDAK MEMUASKAN."
[sabbe saṅkhārā dukkhā"ti]


"O, para bhikkhu, apakah para Tathāgata muncul di dunia atau tidak,
terdapat hukum yang tetap dari segala sesuatu [dhamma],
terdapat hukum yang pasti dari segala sesuatu, bahwa:
SEGALA SESUATU (yang terbentuk maupun yang tidak terbentuk) adalah BUKAN DIRI/BUKAN PERSONAL."
[sabbe dhammā anattā"ti]

Tathāgata mengetahui dan mengerti sepenuhnya hal itu,
Setelah sepenuhnya mengetahui dan mengerti,
Ia Memaklumkannya, Menunjukkannya,Menegaskan, Menandaskan,Menjelaskan, Menguraikan, dan Membentangkan bahwa:
SEGALA SESUATU (yang terbentuk maupun yang tidak terbentuk) adalah BUKAN DIRI/BUKAN PERSONAL."
[sabbe dhammā anattā"ti] [/spoiler]

mungkin ada buda lain yang tidak setuju tentang Sutta ini.  ^-^
Seringlah PancaKhanda direnungkan sebagai Ini Bukan MILIKKU, Ini Bukan AKU, Ini Bukan DIRIKU, bermanfaat mengurangi keSERAKAHan, mengurangi keSOMBONGan, Semoga dapat menjauhi Pandangan SALAH.

adi lim

#134
Quote from: sobat-dharma on 18 November 2011, 03:38:51 PM
Sepakat, saya juga melihat hal yang sama.

terbukti tidak sama,
bro Indra memperlihatkan Dhammaniyama Sutta.
tapi mas sobat tidak yakin adanya Anicca, Dukkha dan Anatta jika tidak ada Buddha yang membabarkannya.
Seringlah PancaKhanda direnungkan sebagai Ini Bukan MILIKKU, Ini Bukan AKU, Ini Bukan DIRIKU, bermanfaat mengurangi keSERAKAHan, mengurangi keSOMBONGan, Semoga dapat menjauhi Pandangan SALAH.